Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengakui adanya
fraud atau penyimpangan di perusahaan. Hal ini menjadi faktor adanya defisit yang mencapai
triliunan.
"Defisit ini sebagaimana dipaparkan DJSN [Dewan Jaminan Sosial Nasional] sebelumnya, biaya
per orang per bulan memang makin ke sini makin lebar perbedaannya dengan premi," tutur Fahmi
saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPR, Senin (2/9/2019).
"Setelah BPKP turun, dilihat ada fraud. Memang akhirnya bahwa secara nyata ditemukan under
price terhadap iuran. Rata-rata iuran Rp 36.500/Bulan ada gap Rp 13.000/Bulan," jelas Fahmi.
Selama ini memang per bulan Penerima Bantuan Iuran dibayar Rp 23.000 sedangkan iuran peserta
mandiri dibayar Rp 25.500/bulan. Ini yang menurut Fahmi ada gap atau selisih.
Saat ini BPJS Kesehatan bersama Kementerian terkait masih melangsungkan Rapat dengan DPR.
Diharapkan ada kesepakatan dengan Dewan terkait solusi menyelesaikan defisit BPJS Kesehatan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris saat memberikan penjelasan dalam rapat kerja
gabungan antara Komisi IX dan Komisi XI di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen
MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Senin (2/9/2019). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI
memanggil sejumlah pihak untuk membahas defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial atau BPJS Kesehatan. | AKURAT.CO/Sopian
"Secara nyata ditemukan adanya underprice terhadap iuran BPJS, dimana pada tahun 2018 rata-
rata iuran nya sebesar Rp36.200 sementara biaya kesehatan per orang itu Rp46.000 jadi memang
ada gap Rp13.000," katanya.
Fahmi juga menyebut pada 2019 juga terdapat selisih, menurutnya iuran BPJS yang dibayarkan
masyarakat perbulannya sebesar Rp36.700 sementara biaya kesehatannya perbulannya sudah
mencapai Rp50.700.
"Maka perlu untuk mempersempit gap ini dengan meningkatkan premi per-member perbulannya,"
ujarnya.
Fahmi juga menyebut penyebab lainnya ada kecurangan atau fraud yang terjadi dalam pelaksanaan
Program Jaminan Kesehatan Nasional JKN.
Fahmi mengatakan setelah audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangun (BPKP)
kecurangan tersebut ternyata dikarenakan kesenjangan (gap) antara premi yang dibayar peserta
dengan biaya orang per orang per bulan makin melebar.
"Kemarin Menteri Keuangan sempat menyampaikan setelah audit BPKP dilihat ada fraud, dan
secara nyata ditemukan underprice terhadap iuran," ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memang mengatakan keberadaan peserta BPJS
Kesehatan yang hanya ikut program saat butuh perawatan memang turut memberi sumbangan ke
pelebaran defisit keuangan pelaksana Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut.
Peserta jenis ini biasanya hanya membayar iuran ketika sakit dan membutuhkan jaminan biaya
kesehatan. Namun, begitu sehat, mereka tidak lagi membayar iuran kepesertaan BPJS Kesehatan.
Bendahara negara mengungkap hal ini ia uangkap berdasarkan hasil temuan dan audit yang telah
dilakukan oleh BPKP.
Untuk mengatasinya, Fachmi mengatakan pihaknya akan menerapkan beberapa kebijakan. Salah
satunya, merekam sidik jari peserta untuk peserta yang mendaftar.
Dirut BPJS Kesehatan Tak Bantah Ada Kecurangan yang Sebabkan Defisit
Tapi hanya 1 persen, ada faktor lain yang membuat defisit
“Setelah audit BPKP memang ada potensi fraud, tapi angkanya tidak lebih dari 1 persen dari
total spending kita Rp95 triliun per tahun,” kata Fachmi dalam Forum Merdeka Barat 9, di
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Senin (7/10).
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit seluruh rumah sakit mitra
BPJS, termasuk puskesmas, dokter dan klinik perorangan. “Jadi hampir 26.000 entitas yang
diaudit, belum lagi perusahaan-perusahaan yang bekerja sama,” kata Fachmi.
Editor: Sugiyarto
e-administrasi biasa dilakukan dengan menyuruh pasien BPJS Kesehatan untuk pulang setelah
dirawat dua hari dan dirawat lagi setelah di rumah satu hari.
"Modus seperti itu banyak terjadi dilakukan oleh pihak Rumah Sakit," tutur Dede saat melakukan
kunjungan kerja ke BPJS Kesehatan Kantor Cabang Soreang, Kamis (1/8/2019).
Dia menjelaskan, dengan menyuruh pasien pulang dulu dan kemudian dirawat kembali
memungkinkan pihak Rumah Sakit melakukan administrasi, sehingga mereka bisa melakukan
klaim kembali kepada BPJS Kesehatan.
Fraud dengan modus seperti itu dilakukan untuk menutup kurang bayar. Dijelaskannya, standar
biaya pelayanan Rumah Sakit dengan paket BPJS Kesehatan ada perbedaan.
"Rata-rata selisih biaya standar pelayanan di Rumah Sakit dengan BPJS Kesehatan itu berkisar 30
persen. Nah untuk menutup yang 30 persen itu pihak rumah sakit melakukan fraud," ujarnya.
Kasus tersebut banyak ditemukan di rumah sakit, Dede meminta kepada BPJS Kesehatan untuk
memberi sanksi jika ditemukan adanya fraud yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit.
"Sanksi bisa diberikan bahkan dengan memutus kerjasama," ujarnya.
Dengan memutus kerjasama, maka pihak Rumah Sakit bisa kehilangan pendapatan terbesar. Dia
menjelaskan, selama ini pemasukan terbesar rumah sakit bersumber dari BPJS, hingga mencapai
90 persen.
"Tapi dengan memutus kerjasama tentu akan berdampak besar terhadap layanan kesehatan
masyarakat. Jadi yang kami minta kepada Menkes itu menurunkan akreditasi rumah sakit
tersebut," katanya.
Saat rumah sakit yang melakukan fraud diturunkan akreditasi, maka paket layanan akan menurun,
sehingga tidak ada lagi selisih biaya paket layanan.