Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN PUSTAKA

KEGAWATDARURATAN STATUS EPILEPTIKUS

Oleh:

Agilan 1902611231
Dinda Yustisia Dewi 1902611217
Jefri Gilberth D Koibur 1902611232

Pembimbing:
Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S (K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR
TAHUN 2019

i
KEGAWATDARURATAN STATUS EPILEPTIKUS

Lembar Persetujuan Pembimbing

TINJAUAN SISTEMATIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL OKTOBER 2019

Pembimbing,

Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S(K)


NIP. 195610101983121001

Mengetahui,

Ketua Departemen/KSM Neurologi

FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,

Dr. dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S(K)


NIP. 195610101983121001

ii
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya tinjauan sistematis dengan judul “Kegawatdaruratan Status Epileptikus”
ini selesai pada waktunya. Tinjauan sistematis ini disusun sebagai salah satu syarat
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM Neurologi FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu penyelesaian tinjauan sistematis ini. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada:

1. Dr.dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), selaku Ketua Departemen/KSM


Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memfasilitasi dan
memberikan penulis kesempatan selama proses pembelajaran di bagian ini.
2. dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp.S selaku Penanggung Jawab Pendidikan Dokter
Muda Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/RSUP Denpasar yang telah
memberikan penulis kesempatan dan membantu penulis selama proses
pembelajaran di bagian ini.
3. Dr.dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), selaku pembimbing dalam pembuatan
tinjauan sistematis ini yang telah memberikan saran, dan masukkan dalam
penyempurnaan tinjauan sistematis ini.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan tinjauan sistematis ini.
Penulis menyadari tinjauan sistematis ini masih jauh dari kata sempurna sehingga saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan
tinjauan sistematis ini. Semoga tinjauan sistematis ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Om Santih, Santih, Santih Om

Denpasar, Oktober 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................... Error! Bookmark not defined.

LEMBAR PENGESAHAN ....................................... Error! Bookmark not defined.i

KATA PENGANTAR ................................................................................................. iii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 3

2.1 Definisi ................................................................................................................ 3

2.2 Klasifikasi .......................................................................................................... 4

2.3 Faktor Risiko ...................................................................................................... 5

2.4 Patofisiologi ........................................................................................................ 7

2.5 Diagnosis ............................................................................................................. 8

2.6 Penatalaksanaan ............................................................................................... 10

BAB III SIMPULAN .............................................................................................. 155

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 166

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Kegawatan merupakan suatu keadaan dimana seseorang berada dalam keadaan


kritis dan apabila tidak dilakukan suatu usaha atau tindakan akan menyebabkan
kematian. Salah satu kegawatdaruratan di bidang neurologi adalah status epileptikus.1
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang
sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten yang disebabkan
oleh lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara
paroksismal dan disebabkan oleh berbagai etiologi.2
Status epileptikus (SE) memiliki gambaran unik yang disusun selain daripada
epilepsi lain. Kebanyakan bangkitan epilepsi adalah singkat, meskipun sering.
Terhentinya bangkitan bukan merupakan proses yang pasif, tetapi termasuk dalam
mekanisme endogen dari Obat Anti Epileps (OAE)i, di mana seringkali dipicu oleh
bangkitan itu sendiri. Sebaliknya, SE ditandai oleh karakteristik progresif, berturut-
turut atau simultan. Oleh karena itu, SE tidak berhenti tanpa intervensi pengobatan. SE
biasanya didefinisikan sebagai aktivitas bangkitan yang berlangsung 30 menit atau
terdapat dua atau lebih bangkitan lain di antara kesadaran yang tidak pulih secara
penuh. Dalam pengertian yang terbaru, SE didefinisikan sebagai bangkitan konvulsif
yang terus berlangsung secara menyeluruh berakhir lebih dari 5 menit atau terdapat dua
atau lebih bangkitan selama pasien tidak kembali ke kesadaran dasar. 1,2
Insiden status epileptikus bervariasi berdasarkan wilayah dan usia. Insidensi
berkisar antara 9,9 hingga 15,8 per 100 000 orang di Eropa hingga 18,3 hingga 41 per
100.000 orang di Amerika Serikat. Setengah dari pasien tersebut dengan SE konvulsif.
Lebih dari setengah pasien dengan status SE tidak memiliki diagnosis epilepsi, dan
seringkali SE dicetuskan oleh penyakit akut. Kejadian dari SE menunjukan distribusi
bimodal dengan puncak pada anak-anak kurang dari usia setahun dan usia tua. Anak
anak kurang dari setahun dari usia memiliki insidens tertinggi. Secara umum, laki laki
lebih sering terjadi SE, dimana sebagian adalah bukan etnik kulit putih.1

1
Risiko kematian dari status epileptikus berkisar dari 1,9% hingga 40%, dengan
lebar variasi tergantung pada usia, penyebab, dan durasi. Lebih kurang 60-80%
penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat
neurologis atau berlanjut menjadi penderita epilepsi. SE yang berkepanjangan dapat
menyebabkan disritmia jantung, metabolisme kekacauan, disfungsi otonom, edema
paru neurogenik, hipertermia, rhabdomiolisis, dan aspirasi paru. Kerusakan neurologis
permanen dapat terjadi dengan SE yang berkepanjangan. Oleh karena itu, sangat
penting bagi semua dokter untuk melakukan identifikasi dan pengobatan SE dengan
cepat dan efisien.1,2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Status epileptikus merupakan kondisi emergensi di bidang neurologi yang
berkaitan dengan tingginya angka kematian dan kecacatan jangka panjang. Pada
awalnya, status epileptikus didefinisikan sebagai bangkitan yang berlangsung
dalam kurun waktu tertentu atau berulang yang dapat menyebabkan suatu kondisi
epilepsi tetap atau bertahan lama. Definisi tersebut kemudian diperbaharui pada
tahun 1993 sebagai bangkitan yang berlangsung selama lebih dari atau sama
dengan 30 menit atau adanya 2 atau lebih bangkitan dimana diantara bangkitan
tidak terdapat pemulihan kesadaran. Penetapan kurun waktu tersebut didasarkan
pada sebuah penelitian oleh Meldrum dkk. pada hewan coba yang menunjukkan
adanya dekompensasi metabolik dan kerusakan saraf pada bangkitan yang
berkepanjangan.3
International League Against Epilepsy Task Force (ILAE) pada tahun 2015
mendeskripsikan status epileptikus sebagai suatu kondisi yang diakibatkan oleh
kegagalan mekanisme terminasi bangkitan atau mekanisme inisiasi abnormal yang
menyebabkan bangkitan berkepanjangan.4 Status epileptikus sebagai bangkitan
yang berlangsung selama ≥ 5 menit atau bangkitan yang berulang 2 kali atau lebih
tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan.5 Definisi inilah yang pada akhirnya
banyak digunakan oleh para klinisi dan peneliti. Alasan ini didasarkan karena
bangkitan yang berlangsung selama lebih dari 5 menit memiliki kemungkinan
yang sangat kecil untuk berhenti dengan sendirinya dan semakin panjang
bangkitan tersebut semakin sulit pula untuk merespon terhadap obat antiepileptik
sehingga kerusakan saraf yang dihasilkan lebih besar.5

3
2.2 Klasifikasi
Status epileptikus dapat diklasifikasikan berdasarkan 4 aksis, yaitu
semiologi (berdasarkan manifestasi klinis), etiologi, EEG dan usia. Secara ideal,
setiap pasien harus dikategorikan berdasarkan 4 aksis tersebut namun,
penggunakan klasifikasi yang saat ini sering dipakai hanyalah berdasarkan
elektrofisiologis dan klinis. Berdasarkan manifestasi klinisnya, status epileptikus
dapat dibagi melalui ada tidaknya gejala motorik yang prominen dan derajat
penurunan kesadaran. Bangkitan yang bermanifestasi sebagai penurunan
kesadaran dan gejala motorik yang prominen disebut sebagai status epileptikus
konvulsif, sedangkan bangkitan tanpa penurunan kesadaran dan gejala motorik
yang prominen diklasifikasikan sebagai status epileptikus non-konvulsif.
Gangguan motorik tersebut didefinisikan sebagai episode kontraksi otot yang
abnormal dan berlebihan, biasanya bilateral dapat berlangsung secara kontinyu
maupun terputus.6
Berdasarkan ILAE, status epileptikus konvulsif selanjutnya dapat
digolongkan menjadi kejang umum tonik-klonik, kejang fokal yang menjadi yang
menjadi kejang umum tonik-klonik, tidak diketahui fokal atau umum. Selain itu,
SE dengan gejala motorik yang prominen dapat digolongkan menjadi SE
mioklonik, fokal, tonik maupun hiperkinetik SE. Status epileptikus non-konvulsif
dapat digolongkan lebih lanjut menjadi dengan koma dan tanpa koma. Status
epileptikus non-konvulsif dibedakan menjadi status epileptikus non-konvulsif
umum, sering disebut absence status dan status epileptikus non-konvulsif fokal.6,7
Status epileptikus jika dibagi berdasarkan etiologinya, terdapat 3 golongan
utama yaitu simptomatik, idiopatik dan kriptogenik atau tidak diketahui. Status
epileptikus simptomatik berarti penyebabnya diketahui, dapat berupa gangguan
struktural, metabolik, inflamasi, infeksi, toksik ataupun genetik. Status epileptikus
idiopatik sebenarnya tidak banyak digunakan, karena penyebab dari status tidak
sama dengan penyebab dari penyakitnya. Sebagai contoh pasien dengan epilepsi
mioklonik juvenil dapat menjadi simptomatik apabila penggunaan obat
antiepilepsi tidak adekuat, intoksikasi obat maupun intoksikasi obat. Status

4
epileptikus kriptogenik adalah istilah yang sebenarnya digunakan untuk status
epileptikus yang penyebabnya benar-benar tidak diketahui.6,8
Klasifikasi status epileptikus berdasarkan hasil EEG dapat dibagi
berdasarkan lokasinya (umum, multifokal, lateralisasi, dll), tipe EEG yang
dihasilkan (periodik, aktivitas delta yang ritmik, spike‐and‐wave/sharp‐and‐wave
plus), morfologi (sharpness, jumlah fase, dll), yang berhubungan dengan waktu
(frekuensi, durasi, onset, dll), modulasi serta efek medikasi terhadap EEG.
Terakhir, berdasarkan usia dapat dibedakan menjadi neonatal (0 – 30 hari), infansi
(1 bulan – 2 tahun), anak-anak (> 2 sampai 12 tahun), adolesens (> 12 sampai 59
tahun) dan usia tua (> 60 tahun).9

2.3 Faktor Risiko


Berbagai faktor dapat menempatkan pasien pada risiko lebih tinggi dari
transisi kejang ke status epileptikus. Faktor-faktor spesifik memiliki dampak yang
lebih besar dalam hal perbedaan kelompok usia, tetapi riwayat kejang saja dapat
meningkatkan risiko terlepas dari usia. Pada kejang tanpa provokasi sendiri, risiko
kejang lebih lanjut adalah 40% hingga 52%, dan setelah terdapat dua kejang,
risikonya adalah 73%. Faktor risiko terkait usia untuk status epileptikus tercantum
pada Tabel 1. Penyebab tambahan dimana menurunkan ambang kejang dapat
dibagi menjadi kategori struktural, infeksi, metabolik, dan terkait obat. Contoh
faktor struktural termasuk neoplasma, stroke, atau cedera otak traumatik. Infeksi,
virus, demam, dan gangguan metabolisme seperti hiponatremia, hipoglikemia,
hiperglikemia, ensefalopati hati, hipokalemia, dan hipomagnesemia juga dapat
meningkatkan risiko status epileptikus pasien. Efek toksik obat-obatan serta
beberapa agen antiepilepsi juga dapat berkontribusi terhadap kejang (Tabel 2).
Oleh karena itu, ketika memunculkan riwayat pasien, seorang dokter harus
memiliki kecurigaan klinis yang meningkat akan status epileptikus jika faktor-
faktor tersebut diketahui.2,4

5
Tabel 2.1 Faktor risiko pada status epileptikus karena usia2

Usia Faktor yang Berkontribusi


<=35 tahun Trauma otak, alcohol
withdrawal, tumor otak, dan
penggunaan obat
>35 tahun Penyakit serebrovaskular,
tumor otak, alcohol withdrawal,
penyakit metabolik seperti uremia
dan ketidakseimbangan elektrolit,
penyakit neurogenerative, dan
penyebab idiopatik

Tabel 2.2 Obat-obatan yang dapat mempengaruhi ambang kejang2

Obat-obatan psikiatri Tricyclic antidepressants


Bupropion
Venlafaxine
Citalopram
Quetiapine
Obat recreational Cocaine
Methylenedioxy methampetamine
(MDMA)
Antibiotik Beta Lactam antibiotics
Carbapenems
Isoniazid
Obat-obatan lainnya Carbamazepine
Diphenhydramine
Flumazenil (in benzodiazepinedependent
patients)

6
2.4 Patofisiologi
Aktivitas neuron normal terjadi melalui keseimbangan mekanisme tingkat
sel yang kompleks. Keadaan membran potensial yang istirahat dipertahankan di
seluruh dinding sel oleh pompa natrium-kalium. Mekanisme ini memompa
natrium dan klorida ke konsentrasi tinggi ke dalam ruang interstisial dan kalium
ke konsentrasi tinggi di dalam sel. Ketika terdapat stimulus yang cukup, maka akan
terjadi potensi aksi dan sel terdepolarisasi. Neurotransmiter akan melakukan
eksitasi atau inhibisi terhadap neuron lain. Fungsi otak normal merupakan hasil
keseimbangan antara inhibisi dan eksitasi. Glutamat merupakan neurotransmitter
eksitasi yang paling umum dan asam γ-minobutyric (GABA) adalah
neurotransmitter inhibisi yang paling umum. Selama kejadian status epileptikus,
kegagalan mekanisme inhibisi GABAergik dapat menyebabkan kejang menjadi
terus menerus dan terdapat farmakoresisten. Resistensi benzodiazepine dapat
berkembang setelah 10 hingga 45 menit kejadian status epileptikus, mungkin
karena perubahan sinaptik fisiologi yang mengurangi jumlah reseptor GABA A.
Obat penambah GABAA seperti benzodiazepin, barbiturat, propofol, dan beberapa
obat anestesi efektif untuk menghentikan kejang dengan mengatasi eksitasi dengan
stimulasi inhibisi, tetapi penghentian obat inhibisi tersebut dapat memprovokasi
kejang berulang (rebound seizure). Aktivitas kejang, apakah non-konvulsif atau
konvulsif, menyebabkan tuntutan metabolisme yang intens dimana membutuhkan
peningkatan aliran darah otak. Beban kerja ini meningkat selama detik-detik
pertama kejang. Bahkan selama beberapa menit pertama kejang, biasanya ikatan
aktivitas neuron, permintaan energi, dan aliran darah otak terpisah karena energi
yang sangat tinggi menuntut bangkitan neuron dalam konteks sirkulasi terbatas
mengirim energi ke sel-sel yang secara dasar tidak menyimpan energi.1,2
Ketika peningkatan permintaan metabolisme seluler tidak terjadi, maka akan
menghasilkan kerusakan saraf dan kematian sel sel. Belum terpenuhinya
permintaan metabolisme neuron bukan satu-satunya faktor yang bertanggung

7
jawab untuk kematian sel. Depolarisasi besar-besaran dari potensial aksi neuronal
selama kejang menyebabkan kelebihan pelepasan glutamat, yang mengaktifkan
post-sinaptik reseptor N-metil-D-aspartat, memicu masuknya kalsium ke dalam
sel. Dalam mempertahankan homeostasis neuronal membutuhkan energi dengan
jumlah besar, tetapi neuron umumnya tidak menggunakan energi yang tersimpan
dan khususnya rentan terhadap stres energik. Jadi selama kejadian status
epileptikus, homeostasis seluler gagal dan konsentrasi kalsium intraseluler yang
tinggi masuk ke mitokondria, yang kemudian kehilangan potensial membran, dan
kemudian respirasi mitokondria gagal berakhir dengan kaskade di dalam nekrosis
sel. Perubahan patofisiologis dan cedera saraf yang diakibatkan oleh kejadian
status epileptikus menuntut diagnosis dan perawatan yang mendesak dan agresif.1,2

2.5 Diagnosis
Diagnosis status epileptikus dapat ditegakkan melalui hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologis dan pada kasus-kasus dengan gejala dan tanda klinis
yang tidak khas dapat dibantu dengan pemeriksaan EEG. Status epileptikus
didefinisikan sebagai bangkitan yang berkelanjutan atau multipel tanpa adanya
fase kembali sadar, dapat diamati adanya gejala sensoris, motoris dan atau
disfungsi kognitif minimal 30 menit. Walaupun begitu, bangkitan pada umumnya
berlangsung hanya beberapa menit. Oleh karena itu, pada serangan kejang yang
berlangsung selama 20 menit, 10 menit atau bahkan hanya 5 menit dan bertahan
dalam kondisi tidak sadar, maka secara fungsional dikategorikan sebagai status
epileptikus.1
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menegakkan diagnosis status
epileptikus dari hasil anamnesis maupun allo-anamnesis adalah gejala-gejala
sebelum, selama dan setelah bangkitan. Anamnesis harus dilakukan secara
terstruktur dengan menggunakan prinsip Basic 4 and Sacred 7. Sebelum
bangkitan perlu ditanyakan kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan
terjadinya bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat,

8
hipotermi, mengantuk, dll. Pola/bentuk bangkitan juga perlu ditanyakan, mulai
dari deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, otomatisasi,
gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik,
inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. Pasca bangkitan
perlu ditanyakan apakah terdapat bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur,
gaduh gelisah, Todd’s paresis.11 Untuk mengetahui klasifikasi status
epileptikus yang dialami maka perlu ditanyakan lebih lanjut mengenai usia
awiatan, faktor pencetus, respons terhadap terapi epilepsi dan riwayat penyakit
penderita.
2. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Pemeriksaan fisik dan neurologis berguna untuk menentukkan sebab
terjadinya serangan kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pemeriksaan fisik awal yang harus dilakukan antara lain
memastikan jalan napas aman, pasien mendapat suplai oksigen yang cukup dan
fungsi sirkulasi yang baik. Pemeriksaan neurologis digunakkan untuk mencari
defisit neurologis fokal maupun global melalui pemeriksaan fungsi motorik dan
sensorik, refleks fisiologis, patologis, status mental, gait, koordinasi dan saraf
kranialis.12 Pada pasien dengan status epileptikus umum tonik-klonik, diagnosis
biasanya dapat ditegakkan melalui gejala klinis yang muncul, sedangkan pada
pasien dengan status epileptikus non-konvulsif, penegakkan diagnosis definitif
membutuhkan bukti dari EEG karena gejala-gejala yang ditimbulkan seperti
sikap bingung dan mengantuk disertai agitasi, perilaku kasar, halusinasi,
automatisme, kedipan mata dan gerakan menyentak pada wajah dan tubuh dapat
menyerupai manifestasi klinis penyakit lain.13
3. Pemeriksaan Penunjang
cEEG (Continuous Electro-encephalography) monitoring merupakan
salah satu metode penegakkan diagnosis SE secara efektif, walaupun begitu
pada pasien yang datang dengan gejala klinis SE yang khas pemberian terapi
harus tetap lebih dulu dilakukan sebelum mengonfirmasi diagnosis SE.
Terutama pada pasien dengan status epileptikus non-konvulsif yang datang ke

9
IGD dengan koma maupun gejala klinis lain yang tidak khas, penegakkan
diagnosis tanpa bantuan cEEG akan menjadi sulit. Diagnosis Non-compulsive
Status Epilepticus (NCSE) berdasarkan EEG yang disusun atas dasar gambaran
EEG yang utama sesuai kriteria yang telah ada yaitu : (1) adanya aktivitas
epileptiform yang bersifat fokal dan berulang atau yang bersifat general (seperti
adanya gelombang spike, sharp, spike-and-wave, spike-and-slow-wave
complexes) atau gelombang ritmis dengan frekuensi lebih dari 2,5 Hz selama
lebih dari 10 detik atau (2) adanya perubahan yang mirip dengan frekuensi
kurang dari 2,5 Hz dengan adanya gambaran klinis dan EEG yang menyertai
evolusi yang tegas pada frekuensi atau morfologinya, manifestasi klinis motorik
(seperti kedutan fokal pada area tubuh tertentu atau pada wajah) atau adanya
gejala klinis klinis yang hilang dan perbaikan pada gambaran EEG setelah
pemberian rapid-acting OAE intravena terutama benzodiazepine.
Di samping pemeriksaan EEG, pemeriksaan radiologi seperti MRI dan
CT Scan, adalah bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di
beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak menentu. MRI maupun CT scan
berguna untuk mengidentifikasi abnormalitas di kranial yang dapat
menyebabkan terjadinya kejang, seperti perdarahan karena trauma ataupun
stroke.14 Pemeriksaan radiologi tidak begitu penting pada pasien kejang umum
yang telah dikonfirmasi dengan EEG. Pemeriksaan lainnya seperti glukosa,
darah lengkap, kadar Ca dan Mg serta parameter lainnya yang dapat
mengindikasikan terjadinya gangguan metabolik perlu dilakukan untuk
mencari etilogi status epileptikus.16

2.6 Penatalaksanaan
Prinsip tata laksana kegawatdaruratan status epileptikus meliputi
penanganan jalan nafas, suplementasi oksigen apabila diperlukan,
mempertahankan sirkulasi, pemasangan akses intravena, serta pemberian obat
untuk menghentikan kejang. Selain itu pemeriksaan glukosa juga harus dilakukan
untuk mengetahui apakah ada kondisi hipoglikemia pada pasien.17 Seiring dengan

10
diberikannya obat anti konvulsan, evaluasi tanda vital serta penilaian airway,
breathing, dan circulation harus terus dikerjakan.18

Secara umum, penatalaksanaan status epileptikus dibedakan pada saat


sebelum ke Rumah Sakit, saat di kamar emergensi, dan penanganan status
epileptikus refrakter di ruang terapi intensif. Dalam Panduan Praktis Klinis
Neurologi tahun 2016, penanganan status epileptikus dibagi menjadi 4 stadium.11

1. Stadium 1 (0-10 menit)


 Pertahankan patensi jalan nafas dan resusitasi
 Berikan oksigen
 Periksa fungsi kardiorespirasi
 Pasang infus
 Berikan Diazepam 10 mg intravena secara lambat dalam 5 menit,
stop apabila kejang berhenti. Diazepam dapat diulang 1 kali lagi
apabila kejang masih berlanjut, atau dapat diganti dengan pemberian
Midazolam dengan dosis 0,2 mg/kgBB secara intramuskular.
2. Stadium 2 (0-30 menit)
 Monitor pasien
 Pertimbangkan adanya kemungkinan kondisi non epileptic
 Pemeriksaan emergensi laboratorium
 Berikan glukosa dengan Dextrose 50% sebanyak 50 ml dan/atau
thiamine 250 mg secara intravena apabila dicurigai ada
penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi
 Tangani asidosis apabila terdapat asidosis berat
3. Stadium 3 (0-60 menit)
 Pastikan etiologi
 Siapkan pasien untuk dirujuk ke ICU
 Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi
 Berikan vasopressor bila diperlukan

11
 Berikan Phenytoin secara intravena dengan dosis 15-18 mg/kg
dengan kecepatan pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus
Phenobarbital 10-15 mg/kg secara intravena dengan kecepatan
pemberian 100 mg/menit
4. Stadium 4 (30-90 menit)
 Pindah ke ICU
 Berikan anestesi umum dengan Propofol 1-2 mg/kgBB secara bolus
dan dilanjutkan 2-10 mg/kgBB/jam yang dititrasi naik sampai status
epileptikus terkontrol, atau Midazolam 0,1-0,2 mg/kgBB secara
bolus dan dilanjutkan 0,05-0,5 mg/kgBB/jam yang dititrasi naik
sampai status epileptikus terkontrol, atau Thiopental sodium 3-5
mg/kgBB bolus dan dilanjutkan 3-5 mg/kgBB/jam yang dititrasi naik
sampai terkontrol.
 Rawat pasien secara intensif dan monitor EEG
 Monitor tekanan intrakranial apabila dibutuhkan
 Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang.

Tabel 2.3 OAE untuk status epileptikus konvulsif20


Stadium premonitor Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat
(sebelum ke rumah sakit) diulangi 15 menit kemudian bila kejang masih
berlanjut, atau midazolam 10 mg diberikan
intrabuccal( belum tersedia di Indonesia)

Status Epileptikus Dini Lorazepam (intravena) 0,1 mg/kgBB


(dapat diberikan 4 mg bolus, diulang satu kali
setelah 10-20 menit). Berikan OAE yang biasa
digunakan bila pasien sudah pernah mendapat
terapi OAE

12
Status Epileptikus Phenytoin i.v dosis of 15-18 mg/kg dengan
Menetap kecepatan pemberian 50 mg/menit dan/atau
(Bila bangkitan masih bolus Phenobarbital 10-15 mg/kg i.v dengan
berlanjut) kecepatan pemberian 100 mg/menit

Status Epileptikus Anestesi umum dengan salah satu obat


Refrakter dibawah ini :
- Propofol 1-2 mg/KgBB bolus,
dilanjutkan 2-10 mg/kg/jam dititrasi naik
sampai SE terkontrol
- Midazolam 0,1-0,2 mg/kg bolus,
dilanjutkan 0,05-0,5 mg/kg/jam dititrasi naik
sampai SE terkontrol
- Thiopental sodium 3-5 mg/kg bolus ,
dilanjut 3-5 mg/kg/jam dititrasi naik sampai
terkontrol
Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan
harus diturunkan karena saturasi pada lemak.
Anastesi dilanjutkan sampai 12-24 jam
setelah bangkitan klinis atau ektrografis
terakhir, kemudian dosis diturunkan perlahan

Penanganan lebih lanjut pada status epileptikus berupa tindakan operasi


dapat dipertimbangkan apabila terdapat indikasi berupa fokal epilepsi yang
intraktabel terhadap obat-obatan, atau pada sindrom epilepsi fokal dan simtomatik.
Adapun kontraindikasi absolut untuk tindakan operasi pada status epileptikus
meliputi adanya penyakit neurologik yang progresif, baik yang bersifat metabolik
maupun degeneratif, dan sindrom epilepsi yang ringan, yang diharapkan akan
terjadi remisi di kemudian hari. Sedangkan kontraindikasi relatif untuk

13
dilakukannya tindakan operasi pada status epileptikus meliputi ketidakpatuhan
pasien terhadap pengobatan, adanya psikosis interiktal, dan adanya mental
retardasi.21

14
BAB III
SIMPULAN

Status epileptikus adalah bangkitan yang berlangsung selama lebih dari atau
sama dengan 30 menit, atau terdapat 2 atau lebih bangkitan dimana di antara setiap
bangkitannya tidak terdapat pemulihan kesadaran. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan pasien memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami status epileptikus
meliputi usia, riwayat kejang sebelumnya, infeksi, metabolik, obat-obatan, neoplasma,
stroke, dan cedera otak traumatik. Diagnosis status epileptikus ditegakkan melalui hasil
anamnesis yang meliputi kondisi fisik dan psikis sebelum bangkitan, pola dan bentuk
bangkitan, serta kondisi pasca bangkitan, pemeriksaan fisik dan neurologis untuk
mencari defisit neurologis fokal maupun global, serta pemeriksaan penunjang berupa
cEEG, MRI, maupun CT Scan. Penatalaksanaan kegawatdaruratan status epileptikus
meliputi penanganan jalan nafas, suplementasi oksigen, mempertahankan sirkulasi,
pemasangan akses intravena, serta pemberian obat anti kejang. Penanganan lebih lanjut
berupa tindakan operasi dapat dipertimbangkan sesuai dengan indikasi dan
kontraindikasinya masing-masing.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Lawson T, Yeager S. Status Epilepticus in Adults: A Review of Diagnosis and


Treatment. Critical Care Nurse. 2016; 36(2): 62–73.
2. Kolegium Neurologi Indonesia Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Modul Epilepsi (Buku Induk). Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia;
2015.
3. Meldrum BS, Horton RW. Physiology of status epilepticus in primates. Arch
Neurol 1973; 28: 1–9.
4. Trinka E, Cock H, Hesdorffer D, Rossetti AO, Scheffer IE, Shinnar S, dkk. A
definition and classification of status epilepticus: report of the ILAE Task Force
on Classification of Status Epilepticus. Epilepsia. 2015; 56: 1515–1523.
5. Poblete R, Sung G. Status Epilepticus and Beyond: A Clinical Review of Status
Epilepticus and an Update on Current Management Strategies in Super-
refractory Status Epilepticus. The Korean Journal of Critical Care Medicine.
2017; 32(2): 89–105.
6. Leach, Paul J. A Definition and Classification of Status Epilepticus--Report of
the ILAE Task Force on Classification of Status Epilepticus [Internet]. F1000 -
Post-Publication Peer Review of the Biomedical Literature. 2016 [diakses 17
Agustus 2019]. Dapat diakses di : doi:10.3410/f.725768340.793515044.
7. Bauer G, Trinka E. Nonconvulsive status epilepticus and coma. Epilepsia.
2010; 51: 177–190.
8. Berg AT, Berkovic SF, Brodie MJ, dkk. Revised terminology and concepts for
organization of seizures and epilepsies: report of the ILAE Commission on
Classification and Terminology, 2005–2009. Epilepsia. 2010; 51: 676–685.
9. Hirsch LJ, LaRoche SM, Gaspard N, dkk. American Clinical Neurophysiology
Society's Standardized Critical Care EEG Terminology: 2012 version. J Clin
Neurophysiol. 2012; 30: 1–27.

16
10. Kinney, M, Craig J. Grand Rounds: An Update on Convulsive Status
Epilepticus. Ulster Med J. 205; 84(2): 88-93.
11. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Acuan Panduan Praktik Klinis
Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2016.
12. Behrouz R, Chen S, dan William O. Evaluation and Management of Status
Epilepticus in the Neurological Intensive Care Unit. The Journal of the
American Osteopathic Association. 2009; 109: 237-245.
13. Pramesti F, Husna M, Kurniawan S. Penegakan Diagnosis Dan Tatalaksana
Nonconvulsive Status Epileptikus (NCSE). Malang Neurology Journal. 2017;
3(1): 30-38.
14. Mendes A, Sampaio L. Brain magnetic resonance in status epilepticus: A
focused review. Seizure. 2016; 38: 63–67.
15. Bleck TP. Status Epilepticus and the Use of Continuous EEG Monitoring in the
Intensive Care Unit. CONTINUUM: Lifelong Learning in Neurology. 2012;
18: 560–578.
16. Brophy GM, Bell R, Claassen J, dkk. Guidelines for the evaluation and
management of status epilepticus. Neurocrit Care. 2012; 17(1): 3–23.
17. Prasetyo A, Prasetyo BH. Tatalaksana Status Epileptikus di Instalasi Gawat
Darurat. CDK-270. 2018; 45(11): 866-868.
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Penatalaksanaan Status
Epileptikus. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.
19. Wasterlain CG, Chen JWY. Mechanistic and pharmacologic aspects of status
epilepticus and its treatment with new antiepileptic drugs. Epilepsia. 2008;
49(9): 63-73.
20. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; 2014.
21. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Standar Pelayanan Medik
PERDOSSI. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2017.

17

Anda mungkin juga menyukai