Anda di halaman 1dari 13

Nama : Dewi Santika

NIM : 05011381924155
Prodi : Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis)
MK : Pengantar Ekonomi Pertanian
Hari/Tanggal : Selasa/ 10 dan 17 September 2019
Dosen pengampu : Dr. Ir. H. Marwan Sufri, M.Si
Persoalan-persoalan Ekonomi Pertanian

Jarak Waktu yang Lebar Antara Pengetahuan dan Penerimaan Pendapatan dalam
Pertanian
Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang berhubungan langsung dengan
produksi dan pemakaian hasil-hasil pertaniannya maupun yang dihadapi dalam kehidupan sehari-
hari. Selain merupakan usaha, bagi si petani pertanian sudah merupakan bagian dan kehidupan
bahkan suatu “cara hidup”, sehingga tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek-aspek sosial
dan kebudayaan, aspek kepercayaan dan keagamaan serta aspek-aspek tradisi semuanya
memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan petani. Namun demikian dari segi ekonomi
pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan tingkat harga yang diterima oleh petani untuk
hasil produksinya merupakan faktor yang sangat memengaruhi perilaku dan kehidupan petani.
Perbedaan yang jelas Antara persoalan-persoalan ekonomi pertaniandan persoalan ekonomi di
luar bidang pertanian adalah adanya jarak waktu (gep) antara pengeluaran yang harus dilakukan
para pengusaha pertanian dengan penerimaan hasil penjualan. Jarak waktu ini sering pula disebut
getfation perfod, yang dalam bidang pertanian jauh lebih besar daripada dalam bidang industri.
Di dalam bidang industri, sekali produksi telah berjalan maka penerimaan dari penjualan akan
mengalir setiap hari sebagaimana mengalirnya hasil produksi. Dalam bidang pertanian tidak
demikian kecuali bagi para nelayan penangkap ikan yang dapat menerima hasil setiap hari
sehabis ia menjual ikannya.
Tidak saja petani padi misalnya yang harus menunggu 5-6 bulan sebelum panennya dapat
dijual, tetapi juga perkebunan besar seperti perkebunan tembakau atau kelapa sawit, jarak waktu
antara pengeluaran dan penerimaan ini sangat besar. Keadaan yang demikian mempunyai
berbagai implikasi penting dari segi ekonomi pertanian.
Di antara hasil-hasil pertanian terpenting, tanaman musiman bahan makanan seperti padi,
jagung dan kacang-kacangan mempunyai persoalan yang paling menarik. Untuk tanaman yang
bersifat musiman seperti ini maka pada musim panen (dalam keadaan pasar yang normal)
terdapat harga yang rendah dan pada musim paceklik terdapat harga yang tinggi. Perbedaan
musim ini sangat mencolok untuk padi di Jawa di mana hampir dua pertiga dari seluruh panen
padi ditanam di sekitar bulan-bulan Nopember-Januari dan dipanen pada bulan-bulan April-Juni.
Pada Tabel dan Grafik 3.1 dan dapat dilihat perbedaan antara harga rata-rata gabah pada musim
panen dan musim paceklik dari tahun ke tahun.

[Type text] Page 1


TABEL. 3. 1. Perbedaan antara Harga Gabah per kg pada Musim Panen dan Musim
Paceklik Tahun 1973/1974 – 1985/1986.
Tahun Harga Musim Harga Musim Perbedaan Harga
Panen Mei – Juli Paceklik Terhadap Musim
(Rp/Kg) Desember- Paceklik (%)
Februari (Rp/Kg)
1973/1974 41,50 54,57 23,7

1974/1975 42,25 52,57 19,6

1975/1976 50,22 70,50 28,8

1976/1977 65,89 75,67 12,9

1977/1978 69,33 80,67 14,1

1978/1979 68,40 91,43 25,2

1979/1980 102,36 118,82 13,9

1980/1981 115,42 134,72 14,3

1981/1982 127,69 148,43 14,0

1982/1983 139,50 172,94 19,3

1983/1984 165,14 201,01 17,8

1984/1985 174,44 192,07 9,2

1985/1986 185,31 205,14 9,7

1985/1986 185,31 205,14 9,7

SUMBER : Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI di Depan Sidang MPR,beberapa


edisi.
(Kolom 3)−(Kolom 2)
CATATAN : Kolom 4 =
( Kolom 3 )
Jadi ciri khas kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan pendapatan dan
pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima setiap musim panen,sedangkan pengeluaran
harus diadakan setiap hari,setiap minggu atau kadang-kadang dalam waktu yang
mendesaksebelum panen tiba.
Petani kaya dapat menyimpan hasil panennya yang besar untuk kemudian di jual sedikit
demi sedikit pada waktu keperluannya tiba.tetapi berhubung padatnya penduduk petani maka
milik tanah pertanian menjadi sangat kecil sehingga hasil bersih dari tanah pertaniannya biasanya
tidak mencukupi keperluan petani sepanjang tahun .1 Itulah sebabnya kebanyakan keperluan
petani yang besar seperti memperbaiki rumah,membeli sepeda atau pakaian,hanya dapat

[Type text] Page 2


dipenuhi pada masa panen. Karena harga hasil-hasil pertanian sangat rendah pada saat panen
maka sebenarnya petani dua kali terpukul,yaitu pertama karena harga hasil produksinya yang
rendah dan kedua karena ia harus menjual lebih banyak untuk mencapai jumlah uang yang di
perlukannya. Misalnya untuk membeli sebuah radio transistor,pada saat panen padi dijualnya
setengah ton padahal saat-saat lain tidak perlu dijual sebanyak itu. Biasanya untuk keperluan-
keperluan besar saperti ini petani mengharapkan panenan diluar padi seperti tembakau,kacang
tanah atau tanaman-tanaman perdaganga lain.disamping itu ternak dapat pula diusahakan untu
dijual guna memenuhi kebutuhan yang serupa itu.
Yang sering sangat merugikan petani adalah pengeluaran-pengeluaran besar petani yang
kadang-kadang tidak dapat diatur dan tidak dapat di tunggu sampai panen tiba, misalnya
kematian dan tidak jarang juga pesta perkawinan atau selamatan lain-lain. Dalam hal demikian
petani sering menjual tanamannya pada saat masih hijau disawah atau pekarangan dan ladang-
ladangnya baik dengan harga penuh atau berupa pinjaman sebagian.
Penjual tanaman selama masih hijau disebut ijon. Di banyak tempat sistem penjualan ijon
ini bahkan dapat lebih jauh lagi yaitu 2-3 panenan atau 2-3 tahun sebelumnya dengan harga yang
jauh lebih rendah. Masalah demikian merupakan masalah yang gawat dan sukar sekali
dipecahkan terutama di Jawa. Petani jatuh dalam hutang yang makin lama menjadi makin berat.
Tetapi pandangan kebanyakan orang terhadap persoalan ijon ini kadang-kadang tidak tepat. Ijon
dianggap merupakan hantu dan penyakit yang harus diberantas dengan segala cara. Mengingat
tujuannya, pemberantasan sistem ijon adalah benar dan semua pihak menginginkanya termasuk
petani sendiri yang terlibat dalam sistem itu. Menurut definisi dan pengertian sehari-hari, sistem
ijon adalah sistem “pinjam” dengan jaminan tanaman hidup dengan bunga yang sangat tinggi,
jauh lebih tinggi daripada tingkat bunga yang berlaku.
Kalau tidak terpaksa, petani tidak akan meminjam uang menurut sistem ijon dengan
bunga yang sangat tinggi itu karena ini berarti menggelapkan hari kehidupan petani dan
keluarganya. Namun demikian banyak diantara kita sering tidak menyadari bahwa petani
biasanya tidak mempunyai alternatif yang lebih baik, sehingga dalam keadaan mendesak ini ia
termasuk pihak yang sangat membutuhkan sehingga tidak memandang petani kaya atau pemilik
uang yang menolongnya sebagai pihak uang harus dibenci.
Sebaliknya petani berterima kasih kepadanya dan menganggapnya sebagai orang yang
suka menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan. Karena itu sitem ijon tidak dapat
diberantas dengan cara melarangnya, tetapi dengan cara menciptakan sistem kredit yang lebih
ringan yang merupakan alternatif lebih baik dari sistem ijon itu.
Demikianlah, masalah fluktuasi harga hasil-hasil pertanian yang disebabkan oleh adanya
fluktuasi musiman merupakan fenomena yang biasa dalam kehidupan ekonomi pertanian. Dalam
bidang-bidang di luar pertanian ada pula jarak waktu (gap) antara saat-saat pengeluaran dan
penerimaan, walaupun dalam bidang pertanian jarak waktu ini biasanya lebih panjang sehingga
persoalan yang ditimbulkannya menjadi gawat. Untuk mengatasi persoalan-persoalan demikian
maka salah satu tujuan utama kebijaksanaan pertanian adalah mengusahakan stabilisasi harga
dan pendapatan petani antara musim yang satu dengan 1musim yang lain dari tahun ke tahun.
Fluktuasi harga yang terlalu besar akan merupakan penghambatan pembangunan pertanian.
Harga dan pendaptan yang rendah mengurangi semangat petani untuk berproduksi dan
sebaliknya harga dan pendapatan yang tinggi merangsang kaum tani. Kebiijaksanaan harga beras

1
Istilah “cukup” dan “tidak cukup” di bahas secara menarik oleh Sudarwono dari UGM,Lihat D. H. Penny dan Masri
Singarimbun,”A Case Study of Rural Poverty”,Bulletin of Indonesian Economic Studies,Vol. VIII , No. 1 March 1972,
hal. 79-88.

[Type text] Page 3


yang dimulai pada tahun 1969 dengan menentukan harga tertinggi dan harga terendah adalah
dalam rangka stabilitas harga dan pendapat petani ini. Juga kebijaksanaan pemasaran dan ekspor-
impor pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama. Dengan adanya berbagai kebijaksanaan
Pemerintah pada sektor Pertanian, terlihat pada Grafik 3.1. Perbedaan harga yang terjadi dari
tahun ke tahun cenderung lebih stabil, terutama setelah tahun 78/79, perbedaan harganya
semakin stabil dan menurun. Stabilisasi harga dan pendapatan serta stabilisasi ekonomi pada
umumnya tidak lepas dari tujuan untuk menciptakan “iklim” usaha yang baik dalam kegiatan
ekonomi baik di bidang pertanian maupun bidang-bidang lain diluar pertanian.

Pembiayaan Pertanian
Dengan titik tolak kenyataan adanya kemelaratan yang luas di kalangan petani,
keterlibatan mereka pada hutang, baik hutang biasa maupun dengan sistem ijon, maka biasanya
orang lalu mnyimpulkan bahwa persoalan yang paling sulit dalam ekonomi pertanian adalah
persoalan pembiayaan. Orang mengatakan bahwa petani tidak dapat meningkatan produksinya
karena uang biaya. Petani memerlukan kredit murah dari Bank Rakyat dan sebagainya.
Sudah dijelaskan bahwa jatuhnya petani dalam hutang melalui sistem ijon adalah karena tidak
ada alertnatif kredit yang lebih baik bagi petani. Kalau dalam keadaan demikian Bank Rakyat
Indonsia (BRI) melalui unit-unit Bank desa dapat memberikan kredit pada petani dengan bunga
yang lebih rendah, maka petani sungguh-sungguh tertolong. Apabila demikian, keadaan petani
dapat diselamatkan dari ancaman sistem ijon. Tetapi dalam praktek masalahnya tidak
sesederhana sebagaimana dibayangkan.
Marilah kita ambil contoh kredit dalam Bimas padi. Petani dapat memperoleh kredit
untuk membeli pupuk dan obat-obatan dan sekedar biaya hidup untuk pengolahan tanah yang
disebut cost of iving (COL).
Tetapi dalam pada itu Bank Rakyat sebagai pihak pemberi kredit harus yakin bahwa
kredit tersebut benar-benar dapat kembali pada waktunya dengan bunga yang sudah ditetapkan.
Salah satu cara untuk menjamin kembalinya hutang adalah petani peminjam memberikan
jaminan (borg) seharga 125-150% dari besarnya hutang.Jaminan ini biasanya berupa sawah,
rumah atau pekarangan. Tetai tidak jarang penggarap bukanlah pemiliknya sendiri melainkan
penyakap.
Selain itu tanah tesebut biasanya terbagi dalam petak petak yang ukurannya sangat kecil,
misalnya 100-200 meter persegi bahkan kadang kadang kurang dari itu, dan letaknya terpencar
pencar. Tentu saja dalam hal ini dibutuhkan administras yang lebih banyak.
Pada waktu petani sudah menerima uang kontan (COL) maka petani serig kali menggunakannya
untuk keperluan lain yang dianggap lebih mendasak, misalnya untuk membayar uang sekolah
anak anaknya, membantu tetangga yang sedang kematian atau kadang kadang untuk segera
melunasi hutang hutang lain.
Hal hal demikian jelas tidak dapat diawasi oleh bank. Dan kalau kredit memang benar
tidak digunakan untuk keperluan produksi padi maka berarti padi mungkin tidak di pupuk, hama
danpenyakit tidak diberantas dan akibatnya produksi tidak baik sehingga kredit bank tidak dapat
dikembalikan tepat pada waktunya. Dalam keadaan demikaian BRI tidak mungkin menjual tanah
petani untuk melunasi hutangnya maka dicoba memperpanjang pengembalian. Penunggakan
hutang kredit bimas ini merupakan persoalaan yang selalu memusingkan BRI, suatu keadaan
yang dapat mengakibatan BRI menjadi lebih kaku dalam memberikan kreditdan selanjutnya
menutup sumber kredit petani, yang kini tidak punya alternatif lain kecuali pergi pada para
pelepas uang dan terlibat lagi dalam sistem ijon. Persoalannya menjadi lebih sulit bila ternyata

[Type text] Page 4


petani sebenarnya sudah melunasi hutangnya tetapi uangnya “dipakai dulu” oleh pejabat pejabat
desa baik untuk keperluan dinas misalny untuk melinasi uang IPEDA maupun untuk keperluan
pribadi. Dalam hal demikian petani yang baik yang menjadi korban.
Dalam musim tanam berikutnya seluruh desa mungkin tidak berhak lagi memperoleh
kredit Bimas dan petani menjadi korban sistem ijon lagi. Petugan BRI dan pemeritah menyadari
persoalan persoalan ini dan sudah berusaha dengan berbagai cara untuk mengatasinya.
Salah satu usaha yang terakhir yang sudah mulaii dilaksanakan adalah Bank Unit Desa yang
dimulai dengan proyek percobaan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1969/1970 sebanyak 18
buah. Sistem ini dikenal dengan nama “Bima Yang Disempurnakan” dengan luas areal 20. 000
ha atau ± 1.000 ha per unit desa.
Berhasilnya proyek percobaan ini mendorong BRI untuk memperluas proyek menjadi
dua kali lipat pada musim tanam 1970/1971 seluas

TABEL 3.2 Penyaluran Kredit Bimas dan Inmas Padi 1971/1972 – 1984/1985 (000.000)
Tahun Realisasi Pengembalian Tunggakan Petani
Penyaluran (Rp.000.000) (orang)
(Rp.000.000) (Rp.000.000) %

1971/72 9.815,1 9.463,7 351,4 3,5 1.538,4


1972/73 15.330,8 14.569,4 761,4 4,9 2.071,4
1973/74 36.492,3 33.651,7 2.840,6 7,7 3.106,9
1974/75 53.096,5 48.437,2 4.659,3 8,7 3.603,2
1975/76 72.288,5 64.902,3 7.386,2 10,21 3.581,9
1976/77 71.314,5 61.364,4 9.949,3 13,95 3.004,1
1977/78 62.084,7 51.543,4 10.541,3 16,97 2.434,5
1978/79 60.282,9 50.571,4 9.911,5 16,44 2.151,1
1979/80 49.503,9 42.482,8 7.020,1 14,18 1.606,5
1980/81 50.115,2 40.545,1 9.570,1 19,09 1.519,8
1981/82 62.501,8 45.280,5 17.221,3 27,55 4.740,2
1982/83 59.353,7 37.379,7 21.974 37,02 481,9
1983/84 23.493,2 16.349,7 7.143,5 30,04 563
1984/85 5.649,7 4.415,8 1.233,9 21,84 154,9
SUMBER : Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 1987/88.
CATATAN :
1. Sejak musim tanam 1982/83 tidak termasuk BIMAS yang disalurkan melalui KUD.
2. Posisi 31 Oktober 1986 Kredit Inmas berlangsung mulai 1977/78.
3. Sejak musim 1985/86 Kredit Binmas dan Inmas pada petani dilayani melalui pola
Kredit Usaha Tani.

[Type text] Page 5


39.000 ha dengan 35.000 unit desa dan hampirr 1 juta ha untuk seluruh indonesia. Dengan tanda
tanda berhasilnya cara pendekatan baru ini maka dapatlah disimpulkan adanya suatu prinsip
pembiayaan dan perkreditan bagi petani kecil yang sebenarnya sudah pula dilakasaan sejak
jaman sebelum kemerdekaan dengan sisten Bank Desa dan Lumbung Desa atau Badan badan
Kredit Desa (BKD) sejak 1929 atau di DIY dan Surakarta sejak 1937. 2 juga diluar Jawa
lembaga lembaga kredit demikian dikenal dengan peraturan peraturan adat adat setempat. Dalam
teori perkreditan pertanian cara baru ini dikenal sebagai supervised credit dimana lembaga kredit
didekatkan pada petani dan pengguna kredit dapat diawasi dan dibimbing oleh Bank yang
bersangkutan. Suatu kenyataan yang harus diakui adalah bahwa usahatani Indonesia sangat
kecil-kecil dan jumlahnya lebih dari 14 juta.Mereka tinggal di pelosok-pelosok desa yang jauh
dari kantor-kantor BRI padahal mereka membutuhkan kredit yng tepat baik jumlah maupun
waktunya.Begitu juga pengawasan penggunaannyaharus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
demi kepentingan mereka.Ditambah dengan sifat khas pertanian yang sangat tergantung pada
iklim dan adat istiadat yang kompleks, maka risiko tiap-tiap macam perkreditan sangat
besar.Suatu sistem perkreditan yang tepat harus memperhatikan semua kenyataan kehidupan
petani yang demikian itu.Dengan berkembang majunya pertanian, kebutuhan pembiayaan ini
akan meluas tidak hanya dibidang produksi tetapi juga pada bidang pemasaran hasil-hasil
produksi maupun sarana produksi.
Begitu juga dibidang pengolahan hasil-hasil produksi kredit makin terasa
keperluannya.Dalam sistem Unit Desa juga sudah mulai difikirkan kredit-kredit penyimpanan
(storage credit), kredit pemasaran dan pengolahan.Akhir-akhir ini sudah mulai dapat disediakan
kredit-kredit jaminan produksi untuk mengurangi risiko-risiko yang mengancam usaha pertanian
baik yang berasal dari bencana alam maupun dari faktor-faktor lain seperti perubahan harga dan
pendapatan petani.
Sistem ijon ini tidak saja dialami oleh petani dan usaha pertanian rakyat, tetapi juga oleh
nelayan baik penangkap ikan maupun pengasin.Hal ini bisa terjadi karena kedudukan kedudukan
mereka yang lemah dipasar,sehingga mereka dapat dipermainkan oleh para tengkulak yang
jumlahnya banyak.Persoalan pembiayaan ini juga dialami oleh usaha pertanian yang besar-besar
seperti perkebunan dan eksploitasi hasil hutan.Namun jika dibandingkan dengan usahatani kecil
yang memerlukan administrasi yang lebih banyak, maka perkreditan bagi usaha-usaha petanian
besar relatif lebih banyak, maka perkreditan bagiusaha-usaha pertanian besar relatif lebih mudah
dan dapat diperlukan sama seperti perusahaan-perusahaan di bidang industri.2

Tekanan Penduduk dan Pertanian


Contoh persoalan lain yang sifatnya lebih jelas lagi dalam ekonomi pertanian adalah
persoalan yang menyangkut hubungan antara pembangunan pertanian dan jumlah penduduk.
Malthus dalam tahun 1888 menerbitkan buku yang terkenal mengenai persoalan-
persoalan penduduk dan masalah pemenuhan kebutuhan manusia akan bahan makanan.Penduduk
bertambah lebih cepat daripada pertambahan produksi bahan makanan.Penduduk bertambah
menurut deret ukur, sedangkan produksi bahan makanan hanya bertambah menurut deret
hitung.Walaupun demikian ternyata kemajuan teknologi mampu melipat-gandakan produksi
bahan makanan dan produksi pertanian pada umumnya.Akan tetapi sampai sekarang Malthus
tetap diakui sebagai ilmu Persoalan Penduduk.Setiap pembicaraan soal penduduk selalu sampai

2
. J. Soedradjat Djiwandono, “Bank dan Lumbang Desa Untuk Petani”,dalam Masalah Ekonomi Keuangan dan
Pembangunan (kumpulan karangan LIPI,1970),hal. 75-79

[Type text] Page 6


pada “Hukum Malthus”.Persoalan tekanan penduduk di Indonesia juga sudah lama menjadi
obyek penelitian para ahli.Indonesia adalah negara terbesar nomor 5 di dunia dengan jumlah
penduduk 132 juta orang pada tahun 1975.Selama bertahun-tahun Indonesia terpaksa mengimpor
bahan makanan utama yaitu beras di samping bulgur dan tepung terigu.Dalam tahun 1975
Indonesia mengimpor beras seharga US $439,4 juta (yaitu kurang lebih 10%dari nilai impor
Indonesia secara keseluruhan).
Persoalan penduduk di Indonesia sebenarnya lebih kompleks daripada itu.Tidak hanya
penduduk sangat padat dan tingkat pertambahan taiap tahun yang tinggi, tapi juga pembagiannya
antardaerah tidak seimbang.Komposisinya menunjukkan suatu penduduk yang muda dengan
pemusatan penduduk di kota-kota besar.Tingkat pertambahan penduduk tinggi, karena angka
kelahiran tinggi, sedangkan angka kematian menurun.Menurunnya angka kematian disebabkan
oleh kemajuan kesehatan dan sanitasi.Tingkat pertambahan penduduk untuk Indonesia adalah
2,1% antara tahun 1961-1971.
Tabel 3.3 menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun penyebaran penyebaran penduduk di
Indonesia kurang merata, tetapi terlihat bahwa setelah tahun 1980-an penyebaran dan
pertumbuhannya di pulau-pulau Luar Jawa menjadi cepat, sedangkan di Jawa rata-rata
mengalami penurunan; hal ini erat berkaitan dengan program transmigrasi.Namun penyebaran
yang kurang merata masih jelas terlihat baik di Jawa maupun di Luar Jawa.DKI Jakarta tetap
mempunyai kepadatan tertinggi dibanding wilayah lain di Pulau Jawa.Demikian pula perbedaan
penyebaran antar Pulau, Jawa masih mempunyai kepadatan yang jauh lebuh tinggi daripada
pulau-pulau lain, sedangkan Maluku dan Irian Jaya mempunyai penduduk yang sangat jarang,
masing-masing 6 dan 3 jiwa per km.Berdasar luas daerahnya pulau Jawa dan Madura yang
luasya hanya kurang lebih 7% dari luas Indonesia dan DKI Jakarta hanya kurang lebih 0,03
%dari luas Indonesia, Sebaliknya jumlah penduduk Indonesia yang berdiam di Jawa atau Madura
± 60% dan ± 4% berada di DKI Jakarta (1985). Dengan demikian kepadatan penduduk di Jawa
dan Madura tertinggi untuk seluruh Indonesia (759 jiwa per km2).
TABEL 3.3. Jumlah Penduduk Indonesia menurut Daerah, Rata-rata Pertambahan dan
Kepadatannya, 1980 dan 1985.
Daerah Jumlah Penduduk % Pertambahan Kepadatan
1980 1985 1980-1985 1980 1985*
DKI Jaya 6.503 7.890 3,87 11.023 13.372
Jawa Barat 27.454 30.973 2,42 593 664
Jawa Tengah 25.373 27.145 1,35 742 794
DIY 2.751 2.990 1,67 868 943
Jawa Timur 29.189 31.281 1,39 609 653
Jawa 91.270 100.279 1,89 690 759
Sumatera 28.016 32.922 3,24 59 70
Kalimantan 6.723 7.842 3,09 12 15
Sulawesi 10.410 11.688 2,32 55 62
Nusa 8.487 9.411 2,07 96 106
Tenggara
Maluku 1.411 1.646 3,09 3 3
Irian Jaya 2.585 3.013 3,07 5 6
Indonesia 147.490 165.155 2,27 77 108
SUMBER : Statistik Indonesia, 1985 * Angka Proyeksi.

[Type text] Page 7


Komposisi penduduk di Indonesia menurut umur, tahun 1971 dan 1985 bahwa sebagian
terbesar penduduk berusia muda, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Sedangkan
golongan yang tidak produktif (umur 0-14 dan 65 tahun) mencapai 46,61% (1971) dan 42,74
(1985). Dengan demikian tingkat ketergantungan adalah tinggi. Ketergantungan ini sangat terasa
baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.
Pemencaran penduduk yang tidak seimbang inilah yang menimbulkan pemikiran
transmigrasi, permindahan penduduk dari J awa ke Luar Jawa. Program ini telah dimulai oleh
pemerintah Belanda pertama kali tahun 1905 dengan permindahan 155 keluarga ke Lampung.
Kemudian antara tahun 1906-1941 setiap tahun dikirim dengan jumlah rata-rata 5.000 keluarga.

TABEL 5.4. Persentase Penduduk menurut Umur Daerah Kota dan Daerah Pedesaan, 1971
dan 1985.
Daerah Kota Daerah Peds.. Indonesia
Umur
1971 1985 1971 1985 1971 1985
0-14 41,98 36,29 44,57 40,44 44,12 59,35
15-24 20,20 22,89 15,52 17,35 16,34 18,80
25-44 25,65 25,93 26,33 25,06 26,20 25,29
45-65 9,93 11,94 11,03 13,56 10,84 13,14
>65 2,20 2,92 2,55 3,56 2,49 3,39
Tak Terjawab 0,04 0,03 - 0,03 0,01 0,03
Jumlah 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Sumber : Untuk Tahun 1971,BPS,Sensus Penduduk 1971.
Untuk Tahun 1985,BPS,Supas, 1985.
Jumlah ini ternyata tidak berarti jika dibandingkan dengan pertambahan penduduk di
Jawa yang jumlahnya lebih dari 1,5 juta jiwa per tahun. Sesudah kemerdekaan transmigrasi tidak
mampu memecahkan persoalan tekanan penduduk di Jawa. Antara tahun 1951-1972 penduduk
Jawa yang dapat ditransmigrasikan keluar Jawa hanya 473.545 jiwa.
Jumlah ini tidak terhitung jumlah perpindahan penduduk dari Luar Jawa ke Jawa yang juga
sangat besar jumlahnya.
Dengan Pengalaman-pengalaman program penyebaran penduduk yang kurang berhasil
ini maka para ahli menyadari akan kelemahan kebijaksanaan ini. Mungkin sekali dasar dan titik
tolak pemecahan persoalan penduduk di Indonesia selama ini tidak benar, karena terlalu
menekankan pada persoalan transmigrasi pertanian.
Memang benar bahwa lebih dari 62% penduduk di Jawa adalah petani (1971) sehingga
kelebihan penduduk paling terasa di pedesaan. Namun demikian kenyataan ini tidaklah berarti
bahwa pemecahannya haruslah dengan pemindahan ke Luar Jawa. Cara-cara mengatasi
persoalan ini bermacam-macam, dari usaha peningkatan intensifikasi pertanian dan
industrialisasi sampai pada pembatasan jumlah penduduk melalui Keluarga Berencana. Disini
tidak dianjurkan bahwa program transmigrasi dilepaskan. Transmigrasi memang harus terus
menerus dilanjutkan tetapi tidak perlu pada pencapaian target jumlah tertentu. Pengkaitan
program ini dengan usaha pembangunan daerah di Luar Jawa mungkin merupakan cara
pendekatan yang lebih tepat. Daerah-daerah di Luar Jawa harus dibangun dalam segala bidang
sehingga merupakan daerah yang menarik, tidak saja bagi penduduk Jawa yang ingin mencari
penghidupan yang lebih baik juga menghambat perpindahan penduduk luar Jawa ke Jawa
terutama pemuda-pemudanya. Pada saat ini, program transmigrasi tidak hanya dijalankan pada
pembangunan pertanian (transmigrasi pertanian), tetapi telah dikaitkan pula dengan program-

[Type text] Page 8


program lain di dalam kebijaksanaan pemerintahan; salah satunya adalah dengan mengundang
pihak swasta untuk ikut serta pada program transmigrasi PIR (Perkebunan Inti Rakyat)yang pada
saat ini sedang digalakkan. Dengan dikaitkan pada berbagai sektor lain (industri, tranportasi,
perbaikan lingkungan, perdagangan, koperasi dan lain-lain) telah mengundang transmigran terus
mengalir ke luar Jawa. Kalau pada Repelita I yang telah berhasil dipindahkan adalah 46.268 KK
maka dalam Repelita III dan IV (sampai dengan Oktober) 1985) adalah sebanyak 709.472 KK.
Ditinjau dari sudut ekonomi pertanian maka adanya persoalan penduduk dapat dilihat dari tanda-
tanda berikut:3
1. Persediaan tanah pertanian yang makin kecil.
2. Produksi bahan makanan per jiwa yang terus menurun.
3. Bertambahnya pengangguran.
4. Memburuknya hubungan-hubungan pemilik tanah dan bertambahnya hutang-hutang
pertanian.
Dengan gejala-gejala tersebut maka tidaklah mungkin kita memastikan secara mudah
kelebihan penduduk di Jawa hanya dengan menggunakan satu bukti statistik seperti persediaan
tanah pertanian per Jiwa. Dengan penelitian yang lebih mendalam maka akan terlihat bahwa
pembagian penduduk di Pulau Jawa pun tidak seimbang. Di daerah-daerah tertentu seperti,
Yogyakarta dan bekas Karesidenan Kedu penduduk sangat padat tetapi di daerah-daerah lain
penduduk tidak sepadat seperti di kedua daerah tersebut. Terdapat pertanianyang tersebar dan di
daerah-daerah dekat kota di mana telah tersedia lebih banyak lapangan kerja.Daerah-daerah yang
miskin seperti Gunung Kidul, Wonogiri, atau Purwodadi di Jawa jumlah penduduknya relatif
jarang, Sementara itu, kalau hanya mengingat luas tanah pertanian yang tersedia per jiwa tanpa
mengindahkan sumber-sumber penghidupan lain yang mungkin tersedia bag3i petani, maka
kesimpulan kelebihan penduduk dapat juga keliru.
Tetapi dari penelitian lebih dalam dapat kita lihat bahwa milik tanah per jiwa tidak banyak
berbeda antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau diLuar Jawa. Ini berarti bahwa pemindahan
petani dari Jawa tidak akan berarti suatu perbaikan yang menonjol. Tanah-tanah yang masih luas
di Luar Jawa kebanyakan belum merupakan tanah pertanian yang sudah dibuka. Yang masih luas
terdapat di Luar Jawa adalah hutan-hutan atau tanah rawa-rawa yang mempunyai potensi besar
untuk pertanian bila sudah dibuka. Maluku dan Irian Jaya dengan kepadatan penduduk per jiwa
yang sangat rendah (4 jiwa/km per segi) hanya sebagian kecil yang dapat dijadikan tanah
pertanian.
Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari Tabel 3.3 adalah adanya kemungkinan yang masih
besar dari Jawa untuk mengatasi persoalan penduduk dengan intensifikasi pertanian. Bahwa
industrialisasi dapat pula membantu mengatasi persoalan penduduk kiranya tidak perlu lagi
ditekankan. Di samping dapat membantu menyediakan tambahan lapangan kerja di Jawa,
industri juga lebih tertarik untuk membuka atau memperluas usahanya di Jawa karena tenaga
kerja yang lebih murah dan karena pasaran hasil prosuksiny lebih luas.
Sejak Repelita 1 (1969) pemerintah indonesia secara resmi melaksanakan keluarga Berencana.
Tujuan makro ialah menurunkan fertilitas guna mengatasi masalah penduduk di Jawa, Madura
dan Bali. Untuk tahun 1970/71 – 1975/76 ditetapkan target akseptor sebanyak 6 juta, agar dapat
menengah 1,7 juta kelahiran.Dengan demikian tingkat kelahiran kasar dapat diturunkan sebesar 5
per 1000. Jumlah akseptor yang dicapai sejak Repelita 1 menurut metode kontrasepsi dapat
dilihat pada tabel 3.5

4. Sri- Edi Swasono,The Land Beyond Transmigration and Development in Indonesia,Ph. D . Disertation ,University
of Pitsbug,1969

[Type text] Page 9


Para ahli ekonomi, demografi dan kedokteran kini bekerjasama untuk mengusahakan
berhasilnya program ini. Kalau semula ahli geografi karena minat ilmiahnya lebih tertarik pada
pemencaran penduduk, maka kini ahli demografi dan ekonomi berdaya upaya untuk mengurangi
tingkat pertambahan penduduk itu sendiri.
Demikianlah masalah penduduk tidak lagi semata-mata merupakan masalah
perbandingan jumlah kelahiran dan jumlah produksi bahan makanan (Malthusian), masalah
penyebaran jumlah penduduk (geografi sosial), masalah demografi (keluarga Berencana) atau
masalah kesehatan atau gizi, tetapi merupakan gabungan keseluruhan persoalan kehidupan petani
sehari-hari. Ekonomi pertanian meninjau persoalan keseluruhan ini dari segi efisiensi dalam
menggunakan sumber-sumber ekonomi yang tersedia di dalam masyarakat. Sumber-sumber
ekonomi yang

TABEL 3.5. Jumlah Akseptor Baru Menurut Metode Kontrasepsi 1969-1985 (000)
Tahun Pil IUD Lain - lain Jumlah
1969/70 14,6 29,1 9,5 53,2
1970/71 79,8 76,4 24,9 181,1
1971/72 281,8 212,7 24,9 519,4
1972/73 607,0 380,3 91,6 1.078,9
1973/74 857,7 293,2 218,2 1.369,1
1974/75* 1.087,8 187,2 317,9 1.592,9
1975/76 1.330,3 252,0 383,4 1.965,7
1976/77 1.481,7 400,2 330,9 2.212,8
1977/78 1.595,5 366,6 286,4 2.248,5
1978/79 1.524,5 405,7 285,7 2.215,9
1979/80 1.550,9 398,2 280,5 2.229,6
1980/81 2.120,8 496,8 433,5 3.051,1
1981/82 1.908,6 596,8 461,5 2.966,9
1982/83 1.091,0 468,0 425,1 1.984,1
1983/84 2.316,2 1.424,5 1.505,4 5.246,1
1984/85 1.708,0 979,9 1.384,8 4.072,7
1985/86** 2.054,5 1.131,4 1.881,7 5.067,6
SUMBER: Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI di depan Sidang DPR,
beberapa edisi.
** angka sementara
* sumber dari : Nota Keuangan dan RAPBN 1976/77.
Catatan : Tahun anggaran

[Type text] Page 10


Selalu terbatas akan harus diatur sedemikian rupa sehingga tingkat hidup penduduk
secara keseluruhan dapat dinaikkan dan kesejahteraan masyarakat lebih meningkat.

Pertanian Subsisten
Perkataan subsisten ini banyak sekali dipakai dalam berbagai karangan mengenai
ekonomi pertanian sebagai terjemahan dari perkataan subsistence dari kata subsist yang berarti
hidup. Pertanian yang subsisten dengan demikian diartikan sebagai suatu sistem bertani di mana
tujuan utama dari si petani adalah untuk memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya.
Namun dalam menggunakan definisi yang demikian sejak semula harus diingat bahwa tidak ada
petani subsisten yang begitu homogen, yang begitu sama sifat-sifatnya satu dari yang lain.
Dalam kenyataannya petani subsisten ini sangat berbeda-beda dalam hal luas dan kesuburan
tanah yang dimilikinya dan dalam kondisi-kondisi sosial ekonomi lingkungan kehidupanya.
Apa yang sama diantara mereka adalah bahwa mereka memandang pertanian sebagai sarana
pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga yaitu melalui hasil produksi pertanian itu. 4
Dengan definisi tersebut sama sekali tidak berrarti bahawa petani subsisten tidak berpikir dalam
pengertian biaya dan penerimaan. Mereka juga berpikir dalam pengertian itu, tetapi tidak dalam
bentuk pengeluaran biaya tunai, melainkan dalam kerja, kesempatan beristirahat dan partisipasi
dalam kegiatan-kegiatan upacara adat dan lain-lain.
4

Yang dianggap sebagai ghasil penerimaan adalah apa yang dapat dinikmatinya secara pribadi
dan bersama-sama masyarakat. Sedangkan biaya adalah apa yang tida5k dapat dinikmatinya.
Perhatian dn penelitian yang mendalam mengenai petani dan pertanian subsisten ini relatif belum
lama. Namun banyak ahli ekonomi, antropologi dan sosiologi yang menaruh perhatian sangat
besar terhadap persoalan ini karena mereka berkeyakinan bahwa petani subsisten mempunyai
ciri-ciri khas yang harus diperhatikan dalam kebijaksanaan pertanian.
Tanpa latar belakang pengetahuan teoritis mengenai ciri-ciri mereka, maka suatu tindakan
kebijaksanaan untuk membantu meningkatkan produktivitas tidak akan mengenai sasarannya.
Itulah sebabnya banyak ahli dari berbagai cabang pengetahuan sosial ekonomi pertanian dan
pedesaan tekun mengadakan penelitian di berbagai negara dan hasil-hasilnya telah dilaporkan
dalam banyak penerbitan.
Salah satu buku yang secara komprehensif melaporkan hasil-hasil penemuan para ahli adalah buku yang
diedit oleh C. R. Wharton Jr. Yang telah disebutkan di atas yaitu Subsistence Agriculture and Economic
Development. Wharton dalam pendahuluan buku ini mengemukakan konsep-konsep dasar dan ruang
lingkup pertanian subsisten. 5 Pertama-tama diingatkan bahwa harus dibedakan antara produksi
subsisten (subsistence production) dan tingkat hidup subsisten (subsistence level of living). Yang pertama
menunjuk pada sebuah unit swasembada dimana semua hasil produksi dikonsumsikan dan sama sekali
tidak ada yang dijual. Di samping itu juga tidak ada barang - barang produksi atau barang - barang
konsumsi yang di beli dari luar unit itu. Jadi produksi subsisten yang murni ditandai oleh tidak adanya
aspek - aspek komersial dan penggunaan uang. Tanda - tanda yang menarik pada produksi subsisten
yang murni adalah sangat eratnya hubungan usaha tani dan rumah tangga petani atau antara produksi
dan konsumsi. Keduanya merupakan satu proses yang tak terpisahkan.

5 A.T. Mosher “The Development Problem of Subsistance Farmers: A Premilinary Review”dalam C.R.Wharton jr
(ed),Subsistence Agriculture and Economic Development ,(Chicago: Aldine Publishing Company,1969),hal 7
5. C.R wharton Jr.Subsistence Agriculture:Concepts and scope”dalam C.R. Wharton Jr.(Ed),Subsistence Agriculture
and Economic Development,Ibid,hal. 12-20
6. Ibid,hal 13

[Type text] Page 11


Definisi tingkat hidup subsisten, lebih sukar diberikan karena menyangkut keadaan yang
jauh lebih relatif lagi siatnya. “Lebih mudah berbicara tentang kemelaratan dari pada
memberikan definisinya”, kata seorang ahli. Di pedesaan Jawa Tengah banya digunakan
perkataan cukup atau cukupan yang dalam kenyataannya sukar sekali diukur, baik secara
kualitatif, apalagi secara kuantitatif.
Adapun kepentingan kita dan soal ilmiah yang kita hadapi dalam hubungan pertanian
subsisten nampaknya tidak lagi sukar dibayangkan. Terutama dalam ekonomi pertanian
sebagaimana telah disinggung dalam bab pendahuluan, alat analisa kita yang utama adalah teori
ekonomi. Karena teori ekonomi ini mula - mula dikembangkan dan terutama didasarkan pada
pertanian yang lebih maju dari kebanyakan pertanian di negara kita, maka timbul pertanyaan
sampai di mana teori - teori tersebut dapat diterapkan. Karena sifat - sifat subsistensi petani dan
pertaniannya, dimana usahatani dan rumah tangga sama sekali tidak terpisah atau dimana
tindakan dan kegiatan produksi menjadi satu dengan tindakan dan kegiatan konsumsi, maka teori
- teori ekonomi yang pada dasarnya terpisah antara produksi dan konsumsi, mungkin sekali tidak
dapat dipakai begitu saja. Kalau kebijaksanaan pemerintah menaikkan harga hasil - hasil
pertanian secara teoritis dapat diharapkan merangsang produksi dan pemasaran; bagaimana
menerangkannya bila kebijaksanaan ini justru berakibat sebaliknya. Dari penelitian - penelitian
para ahli ternyata bahwa kemungkinan seperti ini selalu ada. Kadang - kadang justru inilah yang
menimbulkan persoalan khusus dalam hubungan dengan kebijaksanaan ekonomi pertanian.
Penelitian - penelitian mendalam harus diadakan dalam rangka persiapan kebijaksanaan. Hal ini
berarti pula makin memperkuat dasar - dasar teori dalam kebijaksanaan - kebijaksanaan yang
akan diambil kemudian.

[Type text] Page 12


Pertanyaan dan Latihan

1. Terangkan peredaan - perbedaan yang ada antara usaha pertanian dan usaha industri!
2. Teliti kalau di desa yang Saudara kenal ada asisten ijon. Kemudian terangkan sebab -
sebab terjadinya. Apa sebab sistem ijon tumbuh subur dalam pertanian di negara kita?
Bagaimana menurut pendapat Saudara cara mengatasinya?
3. Terangkan sifat persoalan pembiayaan pertanian dan usaha pertanian Bank Unit Desa
untuk mengatasi persoalannya!
4. Apakah yang dimaksud dengan persoalan penduduk dalam ekonomi pertanian? Apakah
tanda - tandanya dan bagaimana cara mengatasinya?
5. Apa faedahnya kita mendalami soal - soal yang berhubungan dengan pertanian subsisten?

Bacaan

Mosher, A.T., Menggerakkan dan Membangun Pertanian, Jakarta: Yasaguna, 1968.

Mosher, A.T., Creating A Progressive Rural Structure, New York, A/D/C, 1969.

Mubyarto, Kebijaksanaan Pembangunan Ekonomi, Pembangunan Daerah dan Pembangunan


Pertanian, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM, 1969.

Ikatan Petani Pantjasila, Simposium Masalah Tenaga Kerdja Desa Pantjasila, Jakarta, 1969.

Mubyarto & Fletcher, L.B., Marketable Surplus Beras di Jawa, Yogyakarta: FE UGM, 1970.

Singarimbun, Masri & Penny D.H., Penduduk dan Kemiskinan; Kasus Srihardjo di P

[Type text] Page 13

Anda mungkin juga menyukai