NIM : 05011381924155
Prodi : Sosial Ekonomi Pertanian (Agribisnis)
MK : Pengantar Ekonomi Pertanian
Hari/Tanggal : Selasa/ 10 dan 17 September 2019
Dosen pengampu : Dr. Ir. H. Marwan Sufri, M.Si
Persoalan-persoalan Ekonomi Pertanian
Jarak Waktu yang Lebar Antara Pengetahuan dan Penerimaan Pendapatan dalam
Pertanian
Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang berhubungan langsung dengan
produksi dan pemakaian hasil-hasil pertaniannya maupun yang dihadapi dalam kehidupan sehari-
hari. Selain merupakan usaha, bagi si petani pertanian sudah merupakan bagian dan kehidupan
bahkan suatu “cara hidup”, sehingga tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek-aspek sosial
dan kebudayaan, aspek kepercayaan dan keagamaan serta aspek-aspek tradisi semuanya
memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan petani. Namun demikian dari segi ekonomi
pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan tingkat harga yang diterima oleh petani untuk
hasil produksinya merupakan faktor yang sangat memengaruhi perilaku dan kehidupan petani.
Perbedaan yang jelas Antara persoalan-persoalan ekonomi pertaniandan persoalan ekonomi di
luar bidang pertanian adalah adanya jarak waktu (gep) antara pengeluaran yang harus dilakukan
para pengusaha pertanian dengan penerimaan hasil penjualan. Jarak waktu ini sering pula disebut
getfation perfod, yang dalam bidang pertanian jauh lebih besar daripada dalam bidang industri.
Di dalam bidang industri, sekali produksi telah berjalan maka penerimaan dari penjualan akan
mengalir setiap hari sebagaimana mengalirnya hasil produksi. Dalam bidang pertanian tidak
demikian kecuali bagi para nelayan penangkap ikan yang dapat menerima hasil setiap hari
sehabis ia menjual ikannya.
Tidak saja petani padi misalnya yang harus menunggu 5-6 bulan sebelum panennya dapat
dijual, tetapi juga perkebunan besar seperti perkebunan tembakau atau kelapa sawit, jarak waktu
antara pengeluaran dan penerimaan ini sangat besar. Keadaan yang demikian mempunyai
berbagai implikasi penting dari segi ekonomi pertanian.
Di antara hasil-hasil pertanian terpenting, tanaman musiman bahan makanan seperti padi,
jagung dan kacang-kacangan mempunyai persoalan yang paling menarik. Untuk tanaman yang
bersifat musiman seperti ini maka pada musim panen (dalam keadaan pasar yang normal)
terdapat harga yang rendah dan pada musim paceklik terdapat harga yang tinggi. Perbedaan
musim ini sangat mencolok untuk padi di Jawa di mana hampir dua pertiga dari seluruh panen
padi ditanam di sekitar bulan-bulan Nopember-Januari dan dipanen pada bulan-bulan April-Juni.
Pada Tabel dan Grafik 3.1 dan dapat dilihat perbedaan antara harga rata-rata gabah pada musim
panen dan musim paceklik dari tahun ke tahun.
1
Istilah “cukup” dan “tidak cukup” di bahas secara menarik oleh Sudarwono dari UGM,Lihat D. H. Penny dan Masri
Singarimbun,”A Case Study of Rural Poverty”,Bulletin of Indonesian Economic Studies,Vol. VIII , No. 1 March 1972,
hal. 79-88.
Pembiayaan Pertanian
Dengan titik tolak kenyataan adanya kemelaratan yang luas di kalangan petani,
keterlibatan mereka pada hutang, baik hutang biasa maupun dengan sistem ijon, maka biasanya
orang lalu mnyimpulkan bahwa persoalan yang paling sulit dalam ekonomi pertanian adalah
persoalan pembiayaan. Orang mengatakan bahwa petani tidak dapat meningkatan produksinya
karena uang biaya. Petani memerlukan kredit murah dari Bank Rakyat dan sebagainya.
Sudah dijelaskan bahwa jatuhnya petani dalam hutang melalui sistem ijon adalah karena tidak
ada alertnatif kredit yang lebih baik bagi petani. Kalau dalam keadaan demikian Bank Rakyat
Indonsia (BRI) melalui unit-unit Bank desa dapat memberikan kredit pada petani dengan bunga
yang lebih rendah, maka petani sungguh-sungguh tertolong. Apabila demikian, keadaan petani
dapat diselamatkan dari ancaman sistem ijon. Tetapi dalam praktek masalahnya tidak
sesederhana sebagaimana dibayangkan.
Marilah kita ambil contoh kredit dalam Bimas padi. Petani dapat memperoleh kredit
untuk membeli pupuk dan obat-obatan dan sekedar biaya hidup untuk pengolahan tanah yang
disebut cost of iving (COL).
Tetapi dalam pada itu Bank Rakyat sebagai pihak pemberi kredit harus yakin bahwa
kredit tersebut benar-benar dapat kembali pada waktunya dengan bunga yang sudah ditetapkan.
Salah satu cara untuk menjamin kembalinya hutang adalah petani peminjam memberikan
jaminan (borg) seharga 125-150% dari besarnya hutang.Jaminan ini biasanya berupa sawah,
rumah atau pekarangan. Tetai tidak jarang penggarap bukanlah pemiliknya sendiri melainkan
penyakap.
Selain itu tanah tesebut biasanya terbagi dalam petak petak yang ukurannya sangat kecil,
misalnya 100-200 meter persegi bahkan kadang kadang kurang dari itu, dan letaknya terpencar
pencar. Tentu saja dalam hal ini dibutuhkan administras yang lebih banyak.
Pada waktu petani sudah menerima uang kontan (COL) maka petani serig kali menggunakannya
untuk keperluan lain yang dianggap lebih mendasak, misalnya untuk membayar uang sekolah
anak anaknya, membantu tetangga yang sedang kematian atau kadang kadang untuk segera
melunasi hutang hutang lain.
Hal hal demikian jelas tidak dapat diawasi oleh bank. Dan kalau kredit memang benar
tidak digunakan untuk keperluan produksi padi maka berarti padi mungkin tidak di pupuk, hama
danpenyakit tidak diberantas dan akibatnya produksi tidak baik sehingga kredit bank tidak dapat
dikembalikan tepat pada waktunya. Dalam keadaan demikaian BRI tidak mungkin menjual tanah
petani untuk melunasi hutangnya maka dicoba memperpanjang pengembalian. Penunggakan
hutang kredit bimas ini merupakan persoalaan yang selalu memusingkan BRI, suatu keadaan
yang dapat mengakibatan BRI menjadi lebih kaku dalam memberikan kreditdan selanjutnya
menutup sumber kredit petani, yang kini tidak punya alternatif lain kecuali pergi pada para
pelepas uang dan terlibat lagi dalam sistem ijon. Persoalannya menjadi lebih sulit bila ternyata
TABEL 3.2 Penyaluran Kredit Bimas dan Inmas Padi 1971/1972 – 1984/1985 (000.000)
Tahun Realisasi Pengembalian Tunggakan Petani
Penyaluran (Rp.000.000) (orang)
(Rp.000.000) (Rp.000.000) %
2
. J. Soedradjat Djiwandono, “Bank dan Lumbang Desa Untuk Petani”,dalam Masalah Ekonomi Keuangan dan
Pembangunan (kumpulan karangan LIPI,1970),hal. 75-79
TABEL 5.4. Persentase Penduduk menurut Umur Daerah Kota dan Daerah Pedesaan, 1971
dan 1985.
Daerah Kota Daerah Peds.. Indonesia
Umur
1971 1985 1971 1985 1971 1985
0-14 41,98 36,29 44,57 40,44 44,12 59,35
15-24 20,20 22,89 15,52 17,35 16,34 18,80
25-44 25,65 25,93 26,33 25,06 26,20 25,29
45-65 9,93 11,94 11,03 13,56 10,84 13,14
>65 2,20 2,92 2,55 3,56 2,49 3,39
Tak Terjawab 0,04 0,03 - 0,03 0,01 0,03
Jumlah 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Sumber : Untuk Tahun 1971,BPS,Sensus Penduduk 1971.
Untuk Tahun 1985,BPS,Supas, 1985.
Jumlah ini ternyata tidak berarti jika dibandingkan dengan pertambahan penduduk di
Jawa yang jumlahnya lebih dari 1,5 juta jiwa per tahun. Sesudah kemerdekaan transmigrasi tidak
mampu memecahkan persoalan tekanan penduduk di Jawa. Antara tahun 1951-1972 penduduk
Jawa yang dapat ditransmigrasikan keluar Jawa hanya 473.545 jiwa.
Jumlah ini tidak terhitung jumlah perpindahan penduduk dari Luar Jawa ke Jawa yang juga
sangat besar jumlahnya.
Dengan Pengalaman-pengalaman program penyebaran penduduk yang kurang berhasil
ini maka para ahli menyadari akan kelemahan kebijaksanaan ini. Mungkin sekali dasar dan titik
tolak pemecahan persoalan penduduk di Indonesia selama ini tidak benar, karena terlalu
menekankan pada persoalan transmigrasi pertanian.
Memang benar bahwa lebih dari 62% penduduk di Jawa adalah petani (1971) sehingga
kelebihan penduduk paling terasa di pedesaan. Namun demikian kenyataan ini tidaklah berarti
bahwa pemecahannya haruslah dengan pemindahan ke Luar Jawa. Cara-cara mengatasi
persoalan ini bermacam-macam, dari usaha peningkatan intensifikasi pertanian dan
industrialisasi sampai pada pembatasan jumlah penduduk melalui Keluarga Berencana. Disini
tidak dianjurkan bahwa program transmigrasi dilepaskan. Transmigrasi memang harus terus
menerus dilanjutkan tetapi tidak perlu pada pencapaian target jumlah tertentu. Pengkaitan
program ini dengan usaha pembangunan daerah di Luar Jawa mungkin merupakan cara
pendekatan yang lebih tepat. Daerah-daerah di Luar Jawa harus dibangun dalam segala bidang
sehingga merupakan daerah yang menarik, tidak saja bagi penduduk Jawa yang ingin mencari
penghidupan yang lebih baik juga menghambat perpindahan penduduk luar Jawa ke Jawa
terutama pemuda-pemudanya. Pada saat ini, program transmigrasi tidak hanya dijalankan pada
pembangunan pertanian (transmigrasi pertanian), tetapi telah dikaitkan pula dengan program-
4. Sri- Edi Swasono,The Land Beyond Transmigration and Development in Indonesia,Ph. D . Disertation ,University
of Pitsbug,1969
TABEL 3.5. Jumlah Akseptor Baru Menurut Metode Kontrasepsi 1969-1985 (000)
Tahun Pil IUD Lain - lain Jumlah
1969/70 14,6 29,1 9,5 53,2
1970/71 79,8 76,4 24,9 181,1
1971/72 281,8 212,7 24,9 519,4
1972/73 607,0 380,3 91,6 1.078,9
1973/74 857,7 293,2 218,2 1.369,1
1974/75* 1.087,8 187,2 317,9 1.592,9
1975/76 1.330,3 252,0 383,4 1.965,7
1976/77 1.481,7 400,2 330,9 2.212,8
1977/78 1.595,5 366,6 286,4 2.248,5
1978/79 1.524,5 405,7 285,7 2.215,9
1979/80 1.550,9 398,2 280,5 2.229,6
1980/81 2.120,8 496,8 433,5 3.051,1
1981/82 1.908,6 596,8 461,5 2.966,9
1982/83 1.091,0 468,0 425,1 1.984,1
1983/84 2.316,2 1.424,5 1.505,4 5.246,1
1984/85 1.708,0 979,9 1.384,8 4.072,7
1985/86** 2.054,5 1.131,4 1.881,7 5.067,6
SUMBER: Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI di depan Sidang DPR,
beberapa edisi.
** angka sementara
* sumber dari : Nota Keuangan dan RAPBN 1976/77.
Catatan : Tahun anggaran
Pertanian Subsisten
Perkataan subsisten ini banyak sekali dipakai dalam berbagai karangan mengenai
ekonomi pertanian sebagai terjemahan dari perkataan subsistence dari kata subsist yang berarti
hidup. Pertanian yang subsisten dengan demikian diartikan sebagai suatu sistem bertani di mana
tujuan utama dari si petani adalah untuk memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya.
Namun dalam menggunakan definisi yang demikian sejak semula harus diingat bahwa tidak ada
petani subsisten yang begitu homogen, yang begitu sama sifat-sifatnya satu dari yang lain.
Dalam kenyataannya petani subsisten ini sangat berbeda-beda dalam hal luas dan kesuburan
tanah yang dimilikinya dan dalam kondisi-kondisi sosial ekonomi lingkungan kehidupanya.
Apa yang sama diantara mereka adalah bahwa mereka memandang pertanian sebagai sarana
pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga yaitu melalui hasil produksi pertanian itu. 4
Dengan definisi tersebut sama sekali tidak berrarti bahawa petani subsisten tidak berpikir dalam
pengertian biaya dan penerimaan. Mereka juga berpikir dalam pengertian itu, tetapi tidak dalam
bentuk pengeluaran biaya tunai, melainkan dalam kerja, kesempatan beristirahat dan partisipasi
dalam kegiatan-kegiatan upacara adat dan lain-lain.
4
Yang dianggap sebagai ghasil penerimaan adalah apa yang dapat dinikmatinya secara pribadi
dan bersama-sama masyarakat. Sedangkan biaya adalah apa yang tida5k dapat dinikmatinya.
Perhatian dn penelitian yang mendalam mengenai petani dan pertanian subsisten ini relatif belum
lama. Namun banyak ahli ekonomi, antropologi dan sosiologi yang menaruh perhatian sangat
besar terhadap persoalan ini karena mereka berkeyakinan bahwa petani subsisten mempunyai
ciri-ciri khas yang harus diperhatikan dalam kebijaksanaan pertanian.
Tanpa latar belakang pengetahuan teoritis mengenai ciri-ciri mereka, maka suatu tindakan
kebijaksanaan untuk membantu meningkatkan produktivitas tidak akan mengenai sasarannya.
Itulah sebabnya banyak ahli dari berbagai cabang pengetahuan sosial ekonomi pertanian dan
pedesaan tekun mengadakan penelitian di berbagai negara dan hasil-hasilnya telah dilaporkan
dalam banyak penerbitan.
Salah satu buku yang secara komprehensif melaporkan hasil-hasil penemuan para ahli adalah buku yang
diedit oleh C. R. Wharton Jr. Yang telah disebutkan di atas yaitu Subsistence Agriculture and Economic
Development. Wharton dalam pendahuluan buku ini mengemukakan konsep-konsep dasar dan ruang
lingkup pertanian subsisten. 5 Pertama-tama diingatkan bahwa harus dibedakan antara produksi
subsisten (subsistence production) dan tingkat hidup subsisten (subsistence level of living). Yang pertama
menunjuk pada sebuah unit swasembada dimana semua hasil produksi dikonsumsikan dan sama sekali
tidak ada yang dijual. Di samping itu juga tidak ada barang - barang produksi atau barang - barang
konsumsi yang di beli dari luar unit itu. Jadi produksi subsisten yang murni ditandai oleh tidak adanya
aspek - aspek komersial dan penggunaan uang. Tanda - tanda yang menarik pada produksi subsisten
yang murni adalah sangat eratnya hubungan usaha tani dan rumah tangga petani atau antara produksi
dan konsumsi. Keduanya merupakan satu proses yang tak terpisahkan.
5 A.T. Mosher “The Development Problem of Subsistance Farmers: A Premilinary Review”dalam C.R.Wharton jr
(ed),Subsistence Agriculture and Economic Development ,(Chicago: Aldine Publishing Company,1969),hal 7
5. C.R wharton Jr.Subsistence Agriculture:Concepts and scope”dalam C.R. Wharton Jr.(Ed),Subsistence Agriculture
and Economic Development,Ibid,hal. 12-20
6. Ibid,hal 13
1. Terangkan peredaan - perbedaan yang ada antara usaha pertanian dan usaha industri!
2. Teliti kalau di desa yang Saudara kenal ada asisten ijon. Kemudian terangkan sebab -
sebab terjadinya. Apa sebab sistem ijon tumbuh subur dalam pertanian di negara kita?
Bagaimana menurut pendapat Saudara cara mengatasinya?
3. Terangkan sifat persoalan pembiayaan pertanian dan usaha pertanian Bank Unit Desa
untuk mengatasi persoalannya!
4. Apakah yang dimaksud dengan persoalan penduduk dalam ekonomi pertanian? Apakah
tanda - tandanya dan bagaimana cara mengatasinya?
5. Apa faedahnya kita mendalami soal - soal yang berhubungan dengan pertanian subsisten?
Bacaan
Mosher, A.T., Creating A Progressive Rural Structure, New York, A/D/C, 1969.
Ikatan Petani Pantjasila, Simposium Masalah Tenaga Kerdja Desa Pantjasila, Jakarta, 1969.
Mubyarto & Fletcher, L.B., Marketable Surplus Beras di Jawa, Yogyakarta: FE UGM, 1970.
Singarimbun, Masri & Penny D.H., Penduduk dan Kemiskinan; Kasus Srihardjo di P