DISUSUN OLEH :
NIM : 14040118410002
UNIVERSITAS DIPONEGORO
HEGEMONI IDEOLOGI MASKULINITAS DALAM BALUTAN IKLAN AXE
A. PENDAHULUAN
Wacana gender sampai saat ini didominasi gugatan terhadap teguhnya inferioritas
perempuan dibandingkan laki-laki. Konstruksi inferioritas perempuan ini dianggap juga
mencerminkan realitas sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari dan pemaknaan seperti ini
sudah mapan dalam budaya petriarkhi. Dalam budaya patriarkhi ini, perempuan dianggap
sebagai makhluk pasif dan sub-ordinat laki-laki, dan media massa memiliki sumbangan
besar dalam pengukuhan stereotype ini.
Perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya jika dikatakan bahwa
seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok untuk
bekerja di luar rumah dan bahwa seorang perempuan itu lemah lembut, keibuan, halus,
cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus anak, memasak dan
membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah kodrat karena itu dikonstruksi
oleh manusia. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender (gender inequality).
Berbicara mengenai maskulinitas tentu saja tak lepas dari pembicaraan mengenai
gender. Seperti yang telah disinggung diatas, secara umum gender berbeda dengan jenis
kelamin. Jenis kelamin dianggap sebagai konstruksi biologis yang dibawa setiap individu
sesuai dengan kodratnya sejak lahir di muka bumi ini. Konstruksi ini pada dasarnya tidak
pernah berubah. Sedangkan gender adalah konstruksi sosial dan budaya. Konstruksi ini
dibentuk melalui proses panjang dalam kehidupan berbudaya, dari waktu ke waktu. Oleh
karenanya gender bersifat dinamis.
Iklan di media massa menjadi alat komunikasi penyampaian isi pesan yang dianggap
efektif, tidak hanya sebagai media promosi produk, iklan juga dapat ikut andil dalam
mengkonstruk pemahaman dominan sehingga teterbentuk hegemoni dan menyebabkan
konsep gender laki-laki dan perempuan dibenarkan, jika keluar dari ranah tersebut
masyarakat dominan akan menganggapnya sebagai sebuah penyimpangan. Analisis iklan
dalam tulisan ini akan memperlihatkan bentuk-bentuk adengan yang menstimulus
masyarakat untuk percaya terhadap hegemoni yang terbagun.
C. KONSEP MASKULINITAS
Aktivitas kapitalis dalam berbisnis salah satunya dengan mencari pasar bagi
produknya dengan cara propaganda iklan. Perdagangan tidak akan pernah bisa menjual
produknya tanpa pemasaran yang baik. Dengan iklan, masyarakat bisa melihatnya kapan
saja dimana saja dan apapun medianya.
Jika diamati secara lebih jauh sebagai alat dagang, iklan sering kali memanfaatkan
perempuan sebagai titik penarik perhatian dari berbagai macam produk dimana
perempuan dijadikan sebagai hiasan dan cenderung menetapkannya dalam situasi yang
tidak pernah berubah serta menempatkannya sebagai objek sekaligus target iklan dan
berusaha dibawah bayang-bayang dominasi laki-laki. Namun selain perempuan yang
dijadikan penarik perhatian, laki-lagi saat ini dilirik oleh para kapitalis untuk dijadian
penarik perhatian beberapa produk yang akan dijualnya dipasar.
Efek media juga akan semakin kuat mengingat sosok perempuan yang
ditampilkannya adalah cara yang memperkokoh stereotip yang sudah terbangun di tengah
masyarakat. Karenanya media massa memang bukan yang melahirkan ketidaksetaraan
gender tetapi ikut serta memperkokoh, melestarikan, bahkan memperburuk ketidakadilan
terhadap perempuan dalam masyarakat. Ketika media massa menyajikan sebuah
anggapan tentang perempuan secara konsisten, orang menjadi menyangka bahwa pilihan
yang paling logis adalah mengikuti apa yang tampak sebagai kecenderungan umum itu,
seperti yang disajikan media.
E. TEORI MEDIA-MARXIST
Istilah Marxis sendiri memiliki berbagai term lain seperti : critical dan radical. Di
Eropa, pendekatan marxis terhadap media massa dan budaya (sering disebut cultural
studies) dominan pada pertengahan 1960-an sampai pertengahan tahun 1980-an. Teori
Media-Marxist mengasumsikan media sebagai arena pertarungan ideologi berbagai
kelas. Dalam perspektifnya, para profesional media menikmati ilusi otonomi dan
tersosialisasikan dalam kerangka norma budaya dominan. Media dianggap memiliki
kerangka interpretasi yang sesuai dengan budaya dominan. Sementara, khalayak
media sendiri lebih sering menegaskan dan mengontekskan kerangka tersebut karena
ketidaksiapan menghadapi sistem makna alternatif yang memungkinkan mereka
menolak definisi yang ditawarkan media secara konsisten. Bertitik tolak dari asumsi
ini, maka teori Media-Marxist menawarkan cara pandang baru untuk menganalisis
media dengan sejumlah konsep kunci: media sebagai cara produksi, media sebagai
amplifier, hegemoni ala Gramsci.
Dalam istilah klasik Marxist, media massa merupakan suatu cara produksi yang
dalam masyarakat kapitalis merupakan milik kelas penguasa. Menurut Marxist Klasik,
media massa menyebarkan gagasan dan pandangan dunia kelas penguasa dan menolak
gagasan-gagasan altematif. Media massa berfungsi untuk menghasilkan false conscious
(kesadaran semu) pada kelas pekerja. Produk-produk media merupakan cerminan nilai-
nilai kelas penguasa yang mengabaikan keragaman nilai-nilai dalam kelas penguasa dan
dalam media itu sendiri, serta kemungkinan bacaan oposisi tandingan bagi khalayak
media. Kunci utama teori Marxist adalah ‘materialis’ yang menentukan kesadaran
makhluk sosial. Sesuai dengan pandangan ini, posisi ideologi adalah fungsi dari posisi
kelas dan ideologi dominan dalam masyarakat adalah ideologi dari kelas dominan.
F. ANALISIS IKLAN
Saya mencoba mencoba mengaitkan contoh dalam bentuk iklan yang menurut saya
masih terlihat pada hegemoni idiologi maskulinitas dan iklan yang telah berhasil melabrak
ke“semesti”an peran keduanya. Saya mengambil contoh iklan dengan merk produk yang
sama agar terlihat perbandingan yang setara, merk parfum yang identik dengan produk
laki-laki Axe. Dari dua iklan dari tahun yang berbeda saya menjadikannya bahan analisis
kali ini, iklan pertama yang dipublikasi pada tahun 2013 dan iklan yang lain dipublikasi
pada tahun 2017.
1. pria ini menyemprotkan 2. Pria berbaring untuk tidur 3. Tidak lama ada wanita
parfum Axe sebelum tidur yang dipersepsikan sebagai
bidadari, jatuh masuk dalam
kamar dan menarik selimut
4. Pria ini terkejut, saat 5. Datang bidadari kedua 6. Saat sedang dipijiti dating
bidadari mencoba menghirup yang memijiti kepala pria bidadari ketiga membawakan
bau parfun di badannya tersebut suguhan minuman
7. Bidadari keempat kembali
dating dan bergabung dengan
bidadari lain beserta pria
tersebut
Screenshot adegan di iklan Axe 2017:
1. seorang pria berbadan kekar sedang 2. Pria tersebut masuk dalam sebuah ruangan
menyemprotkan parfum Axe ketubuhnya latihan tinju
3. Pria tersebut digambarkan hanya melewati 4. Ternyata pria tersebut berjalan masuk
ruangan latihan tinju saja tanpa ikut berlatih keruangan dance yang diisi oleh para wanita
tinju
5. Pria yang bertubuh kekar tersebut ternyata 6. Dalam bagian ini narasin terdapat narasi
ikut berlatih dance dengan para wanita “Wanginya berani lebih percaya diri”
Menurut Raymond Williams (1977) dalam Fiske (1990) definisi ideologi adalah suatu
system keyakinan ilusioner atau gagasan palsu atau kesadaran palsu (false consciousness)
yang bisa dikontraskan dengan ilmu pengetahuan sejati atau pengetahuan ilmiah.
Penjelasan ini sebetulnya digunakan untuk melenggangkan kapitalisme, menurut Karl
Marx, kaum proletar dijejalkan (instilled) dengan kesadaran palsu bahwa apa yang
mereka lakukan untuk para kapitalis didalam proses produksi adalah suatu hal yang
wajar, pun jika muncul dibenak mereka pertanyaan mengenai ketidakadilan yang terjadi
pada mereka, maka unsur-unsur dari agama/norma/moralistas akan dimasukan sebagai
bentuk pedoman bagi kaum sub-ordinat, sehingga jika mereka tidak melakukan apa yang
dianggap benar dalam norma yang berlaku, maka akan dianggap sebagai penyimpangan.
Pada iklan Axe 2013, idiologi maskulinitas dan feminitas direpresentasikan secara
tegas dan gamblang berdasarkan “common opinion” yang telah beredar dalam
masyarakat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan. Pada adegan tersebut, setelah si
laki-laki (digambarkan dalam balutan baju tidur) menggunakan parfum Axe, kemudian
berdatangan beberapa perempuan yang digambarkan sebagai bidadari dalam kostum yang
serba minim dan terlihat mengekspose lekuk tubuh mereka. Pada dasarnya dalam
masyarakat terkonstruksi keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk yang patut untuk
dinikmati “keindahannya”, yang kemudian dibenarkan oleh teori dari Fredricson &
Roberts (1997) tentang fenomena objektifikasi perempuan, bahwa: “women exist in a
culture whice their bodies are looked at, evaluated, and always potentially objectified”.
Objektifikasi adalah memperlakukan seseorang layaknya benda tanpa
mempertimbangkan harkat dan martabatnya. Pada iklan tersebut kita bisa melihat bahwa
perempuan memang sedang dijadikan sebagai “objek” yang tertarik pada aroma tubuh si
“subjek” (laki-laki). Dalam teori Marxist posisi ideologi adalah fungsi dari posisi kelas
dan ideologi dominan dalam masyarakat adalah ideologi dari kelas dominan, sehingga
dalam dalam cuplikan iklan tersebut seolah-olah membenarkan bahwa konstruksi idiologi
tersebut terjadiberdasarkan idiologi dominan di masyarakat. Kemudian para perempuan
digambarkan sedang memberikan pelayanan berupa pijatan dan menyiapkan minuman
untuk si laki-laki tersebut. Perempuan yang digambarkan sebagai second sex dalam iklan
ini akan semakin menguatkan dan melenggangkan hegemoni idiologi maskulinitas bahwa
betul-betul memang laki-laki memengang kontrol atas perempuan, maka dari itu debuah
kewajaran bagi seorang perempuan untuk tunduk atau submissive. Perempuan tidak lepas
dari gambaran bahan pelengkap bagi laki-laki.
Pada iklan Axe 2017, bisa dilihat bahwa pemeran laki-laki tersebut
direpresentasikan dengan sangat maskulin dan macho. Tubuh tegap gagah dan berotot,
potongan cepak, dirasa sangat sempurna untuk menggambarkan definisi seorang “Laki-
laki” berdasarkan realitas yang terkonstruksi pada masyarakat. Iya terlihat berjalan kearah
sebuah tempat latihan tinju cocok seperti apa yang di konstruksikan masyarakat bahwa
laki-laki harus kuat dan salah satunya dengan belajar tinju yang diasosiasikan sebagai
olahraga laki-laki. Yang menarik pada iklan ini, ternyata si Laki-laki yang macho tersebut
ternyata bukan seorang petinju dan tidak sedang latihan tinju. Laki-laki tersebut ternyata
seorang penari/dancer yang digambarkan dalam iklan tersebut merupakan satu-satunya
laki-laki yang berada dalam kelas dance. Hal yang terjadi pada iklan yang ini nampaknya
berhasil mendobrak ideology maskulinitas dengan menunjuk pemeran tersebut meskipun
ia seorang laki-laki, walaupun ia memiliki ketertarikan pada seni tari (yang konsep tari
lemah gemulai, hanya untuk keindahan dan identik dengan hal femnim) ternyata tidak
mengurangi esensi ke laki-laki an nya.
Luois Althusser seorang filsuf Perancis, dalam fatma, 2012; Ideologi tidak hanya
berada dalam tataran konsep, tetapi juga memiliki eksistensi material, misalnya
kepercayaan masyarakat terhadap stereotip perempuan sebagai makhluk yang patut
dinikmati keindahannya., perempuan lebih condong diperankan sebagai objek ketimbang
subjek, laki-laki dianggap normal untuk mendominasi perempuan dan perempuan normal
untuk melayani laki-laki ini kemudian diikuti dengan eksistensi material dengan
merealisasikan anggapan imajiner masyarakat dalam kehigupan nyata dalam bentuk iklan
ini.
Berdasarkan kedua iklan yang dijadikan contoh laki-laki dan perempuan masih
lebur dalam hegemoni ideologi maskulinitas, kesadaran para stakeholders di bidang
media untuk menggunakan lensa gender sudah mengalami peningkatan. Terlihat dengan
adanya iklan Axe tahun 2013, bagaimana produk iklan parfum Axe dapat membentuk
kesadaran palsu dimasyarakat bahwa jika ingin disukai para perempuan-perempuan
cantik dengan aroma badan yang wangi, para laki-laki dapat menggunakan parfum
tersebut sebagai cara memdapatkan hati wanita. Namun pada iklan Axe tahun 2017 yang
berhasil mengaktualisasikan laki-laki tanpa terjebak bingkai-bingkat struktur
maskulinitas. Sehingga seorang laki-laki tidak harus melulu melakukan sesuatu hal
berdasarkan kontruksi sebuah idiologi dominan yang tertanam di masyarakat, dengan
narasi “ wanginya berani lebih percaya diri” saya melihat bahwa pemilik iklan mulai
sadar bahwa produk yang dia pasarkan tidak selalu bahwa laki-laki harus seutuhnya
maskulin namun dengan memilih berbeda kesukaan tidak menjadi masalah dan harus
percaya diri. Pada akhirnya media merupakan sebuah alat yang mampu membawa
dampak positif maupun negatif terhadap eksistensi perempuan. Mengapa demikian?
karena memang kita tidak bisa menutup mata bahwa hanya segelintir media sudah mulai
sensitif gender dan memulai mendekonstruksi realitas pada masyarakat. Media bukan
hanya saja mengajarkan namun juga ikut andil dalam meneguhkan skema yang sudah
terbangun. Jika perempuan secara terus menerus digambarkan dalam peran memasak,
mencuci, atau bersih-bersih rumah maka akan terkonstruksi keyakinan dalam masyarakat
bahwa memang betul perempuan berada pada ranah domestik.
Referensi:
Fatma, Andina D.D. Laki-Laki dan Perempuan dalam Bingkai Struktur: Isu Gender dalam
Film Billy Elliot. Jurnal Ilmu Komunikasi: Universitas Atma Jaya
Jewitt, Carey. Images of Men: Male suxuality in sexual health leaflets and poster for young
people. https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.5153/sro.64
Khaliq, Abdul. 2005. Perilaku komunikasi aparat pemda kabupaten dalam pengrusutamaan
gender di era otonomi daerah. Tesis IPB
Levine, Martin P. 1998. Gay Macho. New York: New York University Press