PALANGGARAN ETIK
3
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua
bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang secara harafiah
bararti pemerintahan oleh para pencuri, yang bertindak seolah-olah jujur.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk
sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering
memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian
uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini
saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat
penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Hal ini tergantung dari negara atau wilayah hukumnya, ada perbedaan
antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh,
pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga
yang tidak legal di tempat lain.
168
kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri
sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Selain itu terdapat beberapa
jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya: memberi
atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); penggelapan
dalam jabatan; pemerasan dalam jabatan; ikut serta dalam
pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara
negara).
Korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana
pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya
menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi
menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang
administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk
menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik
maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan,
martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk
keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak
korupsi.
Mengutip Muhammad Zein, korupsi merupakan kejahatan
luar biasa (extraordinary crime). Korupsi adalah produk dari
sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang memakai uang
sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak.
Sebagai akibat dari korupsi ketimpangan antara si miskin dan si
kaya semakin kentara. Orang-orang kaya dan politisi korup bisa
masuk dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati.
Mereka juga memiliki status sosial yang tinggi.
169
bahwa tidak semua orang menjadi koruptor. Masih ada individu-
individu yang memang tidak mau mendekati dan melakukan
tindakan korupsi. Hal ini bukan berarti orang tersebut tidak
memiliki kepentingan, namun moralnya yang kuat dan logikanya
yang masih sehat menyebabkan kepentingannya tidak lebih
besar dari menjaga integritas dan martabatnya. Jadi, seberapa
kuat pengaruh etika dan moral dalam diri seseorang akan
mempengaruhi dan menentukan apakah melakukan tindakan
korupsi ataukah tidak melakukan.
Sejarah Korupsi
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum
dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru,
berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh
panggang dari api. Kendati demikian, sejarawan di Indonesia
170
umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah
ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan
kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan,
kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland
Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan
lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal
dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu,
khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah
daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta
perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang
bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola
pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat
mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral,
oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang
teramat dahsyat.
171
semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi
taringnya oleh Belanda.
172
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles
(Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun
1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan
yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau
pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas
memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-
nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim,
kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi
penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
173
pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti
dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dan
Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga
berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi
harganya.
174
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat
pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan –
istilah sekarang: daftar kekayaan pejabat negara. Dalam
perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian
formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat.
Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran
tetapi langsung kepada Presiden
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena
kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain,
karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga
tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah
(Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun
1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan.
Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan
kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah
“Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan
negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga
mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari
pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada
Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara
direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum
mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan,
keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp
11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu.
Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya
Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu
pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas
semua kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio
mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang
kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi
ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.
Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa
itu akhirnya mengalami stagnasi.
175
Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala
kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu
memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi
korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu
tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi
(TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam
memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa
dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena
dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes
dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi
Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti
Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto.
Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain
Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom,
dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong”
karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina
tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib,
dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain
juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan
sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk,
suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam
antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan
metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat
apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus
dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada
Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan
berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas
sama sekali.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih
banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada
Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara
sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era
pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali,
kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan
meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta
melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan
konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama
rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945
176
belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara
“konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai
komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga
Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung
Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo,
Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial
review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap
sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan
yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar
agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak
pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan
kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan
proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan
konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki
Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur
lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut
sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg
BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena
kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat
mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol
adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya
konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan
alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo
Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien
King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi
putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat
yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit
pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi,
Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene
memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional.
Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa.
177
Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah
DPRD era Reformasi.
Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah
membalikkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses
pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan
kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat.
Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah
minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor
penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia.
Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum
datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang
dari hati sanubari rakyat. (amanahonline).
178
contohnya adalah pemberian pembebasan pajak bagi
perusahaan besar.
• Penyuapan (bribery)
Bentuk penyuapan yang biasanya dilakukan dalam
birokrasi pemerintahan di Indonesia khususnya di
bidang atau instansi yang mengadministrasikan
penerimaan negara (revenue administration) dapat
dibagi menjadi empat, antara lain:
• Pembayaran untuk menunda atau mengurangi
kewajiban bayar pajak dan cukai
• Pembayaran untuk meyakinkan petugas agar
tutup mata terhadap kegiatan ilegal
• Pembayaran kembali (kick back) setelah
mendapatkan pembebasan pajak, agar di masa
mendatang mendapat perlakuan yang lebih
ringan daripada administrasi normal.
• Pembayaran untuk meyakinkan atau
memperlancar proses penerbitan ijin (license)
dan pembebasan (clearance).
• Penyalahgunaan/penyelewengan (misappropriation)
Penyalahgunaan/penyelewengan dapat terjadi bila
pengendalian administrasi (check and balances) dan
pemeriksaan serta supervisi transaksi keuangan tidak
berjalan dengan baik. Contoh dari korupsi jenis ini
adalah pemalsuan catatan, klasifikasi barang yang
salah, serta kecurangan (fraud).
• Penggelapan (embezzlement)
Korupsi ini adalah dengan menggelapkan atau mencuri
uang negara yang dikumpulkan, menyisakan sedikit
atau tidak sama sekali.
• Pemerasan (extortion)
Pemerasan ini terjadi ketika masyarakat tidak
mengetahui tentang peraturan yang berlaku, dan dari
celah inilah para petugas melakukan pemerasan dengan
menakut-nakuti masyarakat untuk membayar lebih
mahal daripada yang semestinya.
• Perlindungan (patronage)
Perlindungan dilakukan termasuk dalam hal pemilihan, mutasi,
atau promosi staf berdasarkan suku, kinship, dan hubungan
sosial lainnya tanpa mempertimbangkan prestasi dan
kemampuan dari seseorang tersebut
179
Daftar Pustaka
A r tin in g r u m , P r im i, Ku r n ia s ih , A ug u s tin a, Nu r g r o h o ,
A r is s e ty a n to , 201 3 , Etik a d an P e r ilak u P ro f e s io n a l
S a r jana , G r aha I lmu , Y o g ya ka r ta
F e b e V ic to r ia Ch e n , 2 01 2 , S o f t S k ill f o r s u c c e s s ,
S ik ap Te pa t K a r ie r H eb a t, BIP G r am ed ia , Ja ka r ta
Sumber Internet :
http://www.geschool.net/ditaputriliana/blog/post/pengertian-
iq-eq-dan-sq
180