Anda di halaman 1dari 14

[ETIK 14]

PALANGGARAN ETIK

Korupsi hingga kini belum dapat diberantas di


Indonesia. 1 Fenomone korupsi terus saja terjadi yang
dibuktikan dengan semakin banyaknya operasi-operasi tangkap
tangan yang dilakukan oleh pihak berwenang. Begitu juga
proses hukum terhadap para pelaku atau para koruptor terus
saja dilakukan baik yang sedang dalam tahap penyidikan
maupun yang sudah sampai ke pengadilan. 2 Peristiwa yang
paling aktual saat ini adalah OTT oleh KPK yang diduga
melibatkan Gubernur Aceh periode 2017-2022.
Korupsi jelas merupakan tindakan yang melanggar etika
dan tidak bermoral. Dikatakan demikian karena korupsi
merupakan tindakan melanggar norma hukum, khususnya
Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
seperti UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 28 Tahun 1999.
Mengingat perilaku korupsi melanggar norma hukum tersebut,
maka jelas tindakan korupsi adalah perbuatan melanggar etika
dan karena itu dipandang sebagai perbuatan tercela dan tidak
bermoral serta suatu kejahatan sosial.

1 Di era reformasi sekarang ini, Indonesia mengalami banyak

perubahan. Perubahan sistem politik, reformasi ekonomi, sampai


reformasi birokrasi menjadi agenda utama di negeri ini. Yang paling
sering dikumandangkan adalah masalah reformasi birokrasi yang
menyangkut masalah-masalah pegawai pemerintah yang dinilai korup
dan sarat dengan nepotisme. Reformasi birokrasi dilaksanakan dengan
harapan dapat menghilangkan budaya-budaya buruk birokrasi seperti
praktik korupsi yang paling sering terjadi di dalam instansi pemerintah.
Reformasi birokrasi ini pada umumnya diterjemahkan oleh instansi-
instansi pemerintah sebagai perbaikan kembali sistem remunerasi
pegawai. Anggapan umum yang sering muncul adalah dengan perbaikan
sistem penggajian atau remunerasi, maka aparatur pemerintah tidak
akan lagi melakukan korupsi karena dianggap penghasilannya sudah
mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dan untuk masa depannya.
Namun pada kenyataannya, tindakan korupsi masih terus terjadi
walaupun secara logika gaji para pegawai pemerintah dapat dinilai
tinggi.
2
Sehingga dapat disinyalir negara mengalami kerugian hingga
triliunan rupiah. Tentunya ini bukan angka yang sedikit, melihat
kebutuhan kenegaraan yang semakin lama semakin meningkat. Jika
uang yang dikorupsi tersebut benar-benar dipakai untuk kepentingan
masyarakat demi mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan
kualitas pendidikan, mungkin cita-cita tersebut bisa saja terwujud.
Dana-dana sosial akan sampai ke tangan yang berhak dan tentunya
kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
Pandangan tersebut bukan hanya didukung secara
normatif, namun juga didukung dari segi kebahasaan dan
terminologinya. Dalam bahasa Latin misalnya, istilah korupsi
disebut corruptio dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk,
rusak, menyogok, menggoyahkan, dan memutarbalik. Karena
itu secara harfiah korupsi berarti kebusukan, kebejatan,
ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan
dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah.
Menurut Andi Hamzah, (2005) dari bahasa latin itulah turun ke
banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt;
Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie.
Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia
yaitu korupsi. Begitu juga dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, korupsi dimaknai sebagai penyelewengan atau
penggelapan seperti uang negara atau perusahaan dsb. untuk
keuntungan pribadi atau orang lain.
Adapun menurut pasal 435 KUHP, korupsi berarti
busuk, buruk, bejat dan dapat disogok, suka disuap, pokoknya
merupakan perbuatan yang buruk. Undang-undang korupsi
korupsi menyebutkan bahwa korupsi adalah tindak pidana
yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
yang yang secara langsung ataupun tidak langsung merugikan
keuangan negara dan perkenomian negara. Sementara korupsi
dalam perspektif kriminologi digolongkan ke dalam kejahatan
White Collar Crime.3
Secara hukum, tindak pidana korupsi mencakup unsur-
unsur seperti perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan

3
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua
bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang secara harafiah
bararti pemerintahan oleh para pencuri, yang bertindak seolah-olah jujur.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk
sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering
memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian
uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini
saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat
penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Hal ini tergantung dari negara atau wilayah hukumnya, ada perbedaan
antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh,
pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga
yang tidak legal di tempat lain.
168
kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri
sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Selain itu terdapat beberapa
jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya: memberi
atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); penggelapan
dalam jabatan; pemerasan dalam jabatan; ikut serta dalam
pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara
negara).
Korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana
pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya
menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi
menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang
administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk
menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik
maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan,
martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk
keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak
korupsi.
Mengutip Muhammad Zein, korupsi merupakan kejahatan
luar biasa (extraordinary crime). Korupsi adalah produk dari
sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang memakai uang
sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak.
Sebagai akibat dari korupsi ketimpangan antara si miskin dan si
kaya semakin kentara. Orang-orang kaya dan politisi korup bisa
masuk dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati.
Mereka juga memiliki status sosial yang tinggi.

Muncul dan Berkembangnya Korupsi


Tindakan korupsi disebabkan oleh berbagai faktor seperti
kepentingan politik dan ekonomi, kerusakan moral, dan
pengaruh budaya. Namun dari semua faktor tersebut, faktor
yang sangat mendasar menurut saya adalah karena moralitas
yang rendah. Semua perkara korupsi dengan motif apapun tidak
bisa tidak didasari oleh hilangnya prinsip etika dan moral dalam
diri sang koruptor. Oleh karenanya, demi alasan kepentingannya
seperti bisnis, politik, persahabatan, dan kekuluargaan dll.,
seseorang mengabaikan nilai-nilai luhur dalam dirinya seperti
kejujuran, sehingga melakukan korupsi dan nepotisme.
Akibatnya, hak-hak bersama, hak-hak publik, menjadi tertutup
seolah-olah merupakan hak privat, hak keluarganya, atau
kelompoknya.
Faktor rendahnya etika dan moral dalam kasus korupsi
sebagai hal yang mendasar dapat difahami berdasarkan fakta

169
bahwa tidak semua orang menjadi koruptor. Masih ada individu-
individu yang memang tidak mau mendekati dan melakukan
tindakan korupsi. Hal ini bukan berarti orang tersebut tidak
memiliki kepentingan, namun moralnya yang kuat dan logikanya
yang masih sehat menyebabkan kepentingannya tidak lebih
besar dari menjaga integritas dan martabatnya. Jadi, seberapa
kuat pengaruh etika dan moral dalam diri seseorang akan
mempengaruhi dan menentukan apakah melakukan tindakan
korupsi ataukah tidak melakukan.

Faktor pengaruh Budaya


Tindakan korupsi juga dapat terjadi disebabkan oleh
budaya yang dianut dan diyakini masyarakat. Pada masyarakat
Jawa dikenal budaya mbecek, upeti, patron-klien dan lain
sebagainya. Dalam budaya Patron-Klien, diyakini bahwa Patron
memiliki kebesaran hak dan kekuasaan, sedangkan klien
terbatas pada kekecilan hak dan kebesaran kewajiban terhadap
patron. Klien selalu berupaya meniru apa yang dilakukan Patron,
serta membenarkan setiap tindakan patronnya. Hal tersebut
didasari karena adanya pandangan bahwa semua yang berasal
dari patron dianggap memiliki nilai budaya luhur. Patron tidak
dapat menolak tindakan tersebut, termasuk tindakan yang tidak
terpuji, antimanusiawi, merugikan orang lain yang kemudian
disebut dengan korupsi. Umumnya klien sering memberikan
barang-barang tertentu kepada patronnya, dengan harapan
mereka akan diberikan pekerjaan ataupun upah lebih tinggi.
Klien juga memberikan penghormatan yang berlebihan kepada
patronnya.
Korupsi kecil tersebut lambat laun meluas kepada
kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Proses penyebaran
korupsi tersebut disebut dengan continous imitation (peniruan
korupsi berkelanjutan). Proses ini bisa terjadi tanpa disadari
oleh masyarakat. Dalam keluarga misalnya, seringkali orang tua
tanpa sengaja telah mengajarkan perilaku korupsi kepada
anaknya. Meskipun sebenarnya orang tua tidak bermaksud
demikian, namun tidak boleh dilupakan bahwa anak adalah
peniru terbaik, mereka meniru apapun yang dilakukan oleh
orang-orang dewasa disekitarnya.

Sejarah Korupsi
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum
dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru,
berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh
panggang dari api. Kendati demikian, sejarawan di Indonesia

170
umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah
ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan
kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan,
kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland
Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan
lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal
dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu,
khususnya dalam “budaya korupsi” yang sudah mendarah
daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta
perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang
bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola
pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat
mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral,
oportunis dan lain-lain” dan banyak menimbulkan tragedi yang
teramat dahsyat.

Era Sebelum Indonesia Merdeka


Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh
“budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh
motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyimak
bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan
perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh
keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan
seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan
lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang),
Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng
Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya
sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di
Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di
Indonesia.

Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab


ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara
politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi –
memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan –
belum nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya,
Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari
sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir
karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan
sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur
karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal
Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan

171
semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi
taringnya oleh Belanda.

Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah


Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC
memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan
yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada
beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi
dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih


dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan
VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah
ada yang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa
asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun
(versi Sejarah Nasional), lebih karena perilaku elit bangsawan
yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga,
kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang
memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum
apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagianbesar penduduk di
Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau
mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh
subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et
Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara!
Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya
intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah
dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaanyang tiada
berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi
dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi
oleh kalangan bangsawan,sultan dan raja, sedangkan rakyat
kecil nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.

Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat


Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan
Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi
atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur
dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebihdari 200 orang
pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan
korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan
bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh
pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga
gemar korup.

172
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles
(Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun
1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan
yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau
pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas
memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-
nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim,
kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi
penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.

Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar


karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat
“nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain,
mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain.
Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan
termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di
kala orang lain tidak mengetahui.

Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar


menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada
umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari
perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka
mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit
kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan
tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saranyang
disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan
atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu
budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung
otoriter. Daiam aspekekonomi, raja dan lingkaran kaum
bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di
masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas,
tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak
“penguasa”.

Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut


menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi
dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti”
(pajak)dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah)
selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung.
Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau
propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) hartayang akan
diserahkan kepada Raja atau Sultan.

Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum


ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang

173
pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti
dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dan
Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga
berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi
harganya.

Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan


oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara
(1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat
kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat
terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro
(1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904)
dan lain-lain. Namun,yang lebih menyedihkan lagi yaitu
penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang
terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut
saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem
“Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem
Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah
membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya
mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi
kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat
memprihatinkan.

Era Pasca Kemerdekaan


Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa
dijelaskan? Sebenarnya “Budaya korupsi” yang sudah mendarah
daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah
diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era
PascaKemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di
Era Orde Baru.

Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah


masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah
dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya
sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk
penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat
sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran
dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu
setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia
Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-
undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution
dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan
Roeslan Abdulgani.

174
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat
pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan –
istilah sekarang: daftar kekayaan pejabat negara. Dalam
perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian
formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat.
Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran
tetapi langsung kepada Presiden
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena
kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain,
karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga
tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah
(Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun
1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan.
Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan
kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah
“Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan
negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga
mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari
pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada
Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara
direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum
mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan,
keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp
11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu.
Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya
Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu
pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas
semua kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio
mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang
kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi
ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.
Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa
itu akhirnya mengalami stagnasi.

Era Orde Baru


Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16
Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde

175
Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala
kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu
memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi
korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu
tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi
(TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam
memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa
dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena
dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes
dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi
Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti
Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto.
Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain
Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom,
dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong”
karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina
tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib,
dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain
juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan
sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk,
suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam
antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan
metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat
apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus
dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada
Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan
berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas
sama sekali.

Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih
banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada
Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara
sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era
pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali,
kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan
meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta
melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan
konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama
rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945

176
belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara
“konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai
komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga
Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung
Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo,
Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial
review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap
sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan
yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar
agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak
pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan
kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan
proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan
konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki
Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur
lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut
sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg
BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena
kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat
mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol
adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya
konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan
alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo
Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien
King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi
putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat
yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit
pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi,
Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene
memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional.
Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa.

177
Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah
DPRD era Reformasi.
Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah
membalikkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses
pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan
kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat.
Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah
minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor
penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia.
Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum
datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang
dari hati sanubari rakyat. (amanahonline).

Bentuk-Bentuk Korupsi di Indonesia


Korupsi merupakan tindakan yang sangat tercela. selain
merugikan negara, tindakan korupsi juga dapat merugikan
pelaku korupsi itu sendiri jika terbukti perbuatannya diketahui
oleh badan penindak korupsi yang berwenang.

Di indonesia, klasifikasi tindakan korupsi secara garis besar


dapat digolongkan dalam beberapa macam bentuk. khusus
untuk instansi yang melakukan administrasi penerimaan
(revenue administration) yang meliputi instansi pajak dan bea
cukai, tidak termasuk pemda dan pengelola penerimaan pnbp,
tindakan korupsi dapat dibagikan menjadi beberapa jenis,
antara lain:
• Korupsi kecil-kecilan (petty corruption) dan korupsi
besar-besaran (grand corruption)
Korupsi kecil-kecilan merupakan bentuk korupsi sehari-
hari dalam pelaksanaan suatu kebijakan pemerintah.
korupsi ini biasanya cenderung terjadi saat petugas
bertemu langsung dengan masyarakat.
korupsi ini disebut juga dengan nama korupsi rutin
(routine corruption) atau korupsi untuk bertahan hidup
(survival corruption). korupsi kecil-kecilan umumnya
dijalankan oleh para pejabat junior dan pejabat tingkat
bawah sebagai pelaksana fungsional.
contohnya adalah pungutan untuk mempercepat proses
pencairan dana yang terjadi di kppn. Sedangkan korupsi
besar-besaran umumnya dijalankan oleh pejabat level
tinggi, karena korupsi jenis ini melibatkan uang dalam
jumlah yang sangat besar. Korupsi ini terjadi saat
pembuatan, perubahan, atau pengecualian dari
peraturan.

178
contohnya adalah pemberian pembebasan pajak bagi
perusahaan besar.
• Penyuapan (bribery)
Bentuk penyuapan yang biasanya dilakukan dalam
birokrasi pemerintahan di Indonesia khususnya di
bidang atau instansi yang mengadministrasikan
penerimaan negara (revenue administration) dapat
dibagi menjadi empat, antara lain:
• Pembayaran untuk menunda atau mengurangi
kewajiban bayar pajak dan cukai
• Pembayaran untuk meyakinkan petugas agar
tutup mata terhadap kegiatan ilegal
• Pembayaran kembali (kick back) setelah
mendapatkan pembebasan pajak, agar di masa
mendatang mendapat perlakuan yang lebih
ringan daripada administrasi normal.
• Pembayaran untuk meyakinkan atau
memperlancar proses penerbitan ijin (license)
dan pembebasan (clearance).
• Penyalahgunaan/penyelewengan (misappropriation)
Penyalahgunaan/penyelewengan dapat terjadi bila
pengendalian administrasi (check and balances) dan
pemeriksaan serta supervisi transaksi keuangan tidak
berjalan dengan baik. Contoh dari korupsi jenis ini
adalah pemalsuan catatan, klasifikasi barang yang
salah, serta kecurangan (fraud).
• Penggelapan (embezzlement)
Korupsi ini adalah dengan menggelapkan atau mencuri
uang negara yang dikumpulkan, menyisakan sedikit
atau tidak sama sekali.
• Pemerasan (extortion)
Pemerasan ini terjadi ketika masyarakat tidak
mengetahui tentang peraturan yang berlaku, dan dari
celah inilah para petugas melakukan pemerasan dengan
menakut-nakuti masyarakat untuk membayar lebih
mahal daripada yang semestinya.
• Perlindungan (patronage)
Perlindungan dilakukan termasuk dalam hal pemilihan, mutasi,
atau promosi staf berdasarkan suku, kinship, dan hubungan
sosial lainnya tanpa mempertimbangkan prestasi dan
kemampuan dari seseorang tersebut

179
Daftar Pustaka

A r tin in g r u m , P r im i, Ku r n ia s ih , A ug u s tin a, Nu r g r o h o ,
A r is s e ty a n to , 201 3 , Etik a d an P e r ilak u P ro f e s io n a l
S a r jana , G r aha I lmu , Y o g ya ka r ta

F e b e V ic to r ia Ch e n , 2 01 2 , S o f t S k ill f o r s u c c e s s ,
S ik ap Te pa t K a r ie r H eb a t, BIP G r am ed ia , Ja ka r ta

Sumber Internet :
http://www.geschool.net/ditaputriliana/blog/post/pengertian-
iq-eq-dan-sq

180

Anda mungkin juga menyukai