Anda di halaman 1dari 3

Kompas, Selasa, 14 Desember 2004

Memahami Kampung Kota secara Lebih Luas


Pius Widiyatmoko

JARANG orang mau memahami arti kampung sebenarnya dalam konteks kota dan konteks
wilayah yang lebih luas. Untuk memulainya, ada baiknya kita menelusuri sejenak citra kampung
yang bersarang dalam benak pemerintah dan masyarakat awam (diwakili oleh kamus bahasa)
dan baru mencari konteksnya.

Kata kampung telah dikenal sejak zaman Kolonial Belanda. Pada waktu itu diselenggarakan
program kampong verbetering (perbaikan kampung) yang dilakukan di Jakarta (1920) dan
Surabaya (1924) untuk membenahi keadaan fisik kampung yang memburuk. Pembenahan
meliputi perbaikan jalan, gang, selokan, dan pembangunan fasilitas MCK (mandi, cuci, dan
kakus). Program itu lalu diatur dalam Kampong Verbetering Ordonantie (1934).

Kata ’kampung’ masih terdengar pada tahun 1939 melalui laporan dari Komisi Perbaikan
Kampung. Laporan itu mengemukakan ada pertambahan tingkat hunian per rumah di beberapa
kampung, seiring pertumbuhan penduduk.

Antara tahun 1945-1966 praktis kata ’kampung’ tenggelam oleh berbagai hiruk-pikuk persoalan
mempertahankan dan memantapkan RI yang baru saja terbentuk. Baru tahun 1966
kata ’kampung’ muncul kembali ketika Gubernur DKI Ali Sadikin merespons keinginan warga
Jakarta agar tempat tinggalnya diperbaiki.

Kata ’kampung’ menjadi semakin dikenal ketika diangkat menjadi program nasional Kampung
Improvement Program (KIP) yang diawali oleh proyek MH Thamrin di Jakarta dan WR Supratman
di Surabaya. KIP menjadi lebih terkenal lagi dengan masuknya donor asing yang memberikan
pinjaman, seperti Bank Dunia (1974-79), ADB, Unicef (pelaksanaannya mulai 1980), dan UNEP
(1976-79). Konsep KIP kemudian juga berkembang menjadi P3K (Proyek Perintis Perbaikan
Kampung, 1979-84) dan PKT (Perbaikan Kampung Terpadu) yang membuat kata ’kampung’
semakin sering digunakan.

Pada kebijakan Pemerintah Indonesia hampir tidak ada perbedaan signifikan dengan Pemerintah
Kolonial Belanda dalam memandang kampung. Kampung dipandang sebagai daerah yang harus
diperbaiki secara fisik. Walaupun KIP kemudian mengalami perluasan (proyek UNEP menyoroti
masalah nonfisik dan proyek Unicef soal kesehatan ibu dan anak), tetap saja masih masalah fisik
yang diutamakan.

Proyek KIP Bank Dunia menggunakan asumsi bahwa perbaikan lingkungan fisik akan berakibat
pada perubahan sosial ekonomi masyarakat. Asumsi ini dipakai karena melalui KIP akan timbul
pengakuan de jure pemerintah terhadap lahan yang dihuni penduduk kampung. Akibat
selanjutnya, mereka akan mau menginvestasikan sumber daya yang dimilikinya terhadap
kampung untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik (Amir Karamoy, Prisma No 6/1984).

Kampung dalam bahasa

Menelusuri arti kata ’kampung’ dapat juga dilakukan dengan menggunakan kamus karena ia
merupakan salah satu alat rekam dari pergerakan kata-kata yang sedang dipakai oleh
masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi
ketiga (Balai Pustaka, 2001), pada urutan pertama, kampung diartikan sebagai kelompok rumah
yang merupakan bagian kota (biasanya dihuni oleh orang yang berpenghasilan rendah). Apabila
pendapat orang awam sekarang selalu melekatkan kata ’kumuh’ pada kata ’kampung’, hal itu
ternyata disokong oleh arti kata ’kumuh’ di dalam KBBI. Di situ disebutkan kumuh berarti cemar
(tt wilayah, kampung, dsb); kotor.

Kata ’kampung’ semakin lengket dengan kata ’miskin’, ’kumuh’, dan ’kotor’ setelah melihat arti
kata slum yang biasanya digunakan untuk menerjemahkan kata ’kampung’. Menurut kamus
Inggris-Indonesia terbitan PT Gramedia Pustaka Utama yang disusun John M Echols dan
Hassan Shadily, kata slum memiliki arti perkampungan yang miskin dan kotor, perkampungan
yang melarat. Arti jamaknya adalah daerah jembel, rumah-rumah gubuk.

Dari dua kamus itu, kampung selalu dikaitkan dengan keadaan fisiknya yang kotor dan kondisi
ekonomi penghuninya yang miskin dan melarat. Serangkaian bantuan yang akan menolong
mereka memperbaiki hidupnya menjadi logis untuk dilakukan pemerintah.

Mencari konteks ’kampung kota’

Kampung sebagai salah satu bentuk permukiman padat di perkotaan umumnya dihuni pendatang
dari berbagai daerah. Sebagai pendatang, mereka belum memperoleh tempat yang pasti untuk
mendapatkan pekerjaan. Sebab, mereka umumnya datang ke kota untuk mengadu nasib atau
bermotif ekonomi.

Sebagai pendatang, mereka harus tinggal di dalam kota. Pilihan paling masuk akal adalah
menempati lahan-lahan kosong dan membangun rumah tempat tinggal. Lahan-lahan kosong
yang dipilih biasanya berupa bantaran sungai, saluran drainase ataupun rel kereta api.
Sedangkan tempat tinggalnya dibangun setahap demi setahap dari bahan yang tidak permanen
sampai dengan yang permanen. Pembangunan tersebut sama sekali tidak memintakan izin
terlebih dahulu sehingga dikategorikan sebagai perbuatan ilegal.

Untuk terus bertahan hidup, mereka biasanya mengambil pekerjaan di sektor informal yang lebih
mudah dimasukinya. Pendapatan dari sektor ini banyak yang tidak tetap sehingga para
pendatang terus bergelut untuk memenuhi kebutuhan primernya.

Selain sebagai perumahan tidak layak, kampung juga memiliki mekanisme sendiri dalam
menampung manusia di dalamnya. Penghuni menerapkan strategi membagi-bagi lahan dan
memperluas lahan secara vertikal maupun horizontal dengan menutup saluran drainase. Strategi
lain adalah membangun rumah menjorok ke sungai untuk menciptakan lahan bagi pendatang
baru yang terus bermunculan.

Banyaknya manusia di dalam kampung dan kesusahan mendapatkan penghasilan bukannya


tidak mendatangkan rezeki tersendiri bagi sektor formal di kota. Sektor formal mempunyai
cadangan tenaga kerja yang besar untuk dipekerjakan dengan upah yang murah (Babar Mumtaz,
Why Cities Needs Slums). Persediaan kuli bangunan, kuli galian, tenaga bangunan, dapat
diambil dari kampung dengan bayaran yang relatif rendah.

Dengan melihat kondisi kampung dan penghuninya, cukupkah menjadikan kampung hanya
sebagai suatu obyek yang terpisah dari sejarah berdirinya dan kemudian merancang suatu
penyelesaian tersendiri?

Program KIP sebenarnya mengulang apa yang pernah dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda
dalam program kampong verbetering. Skala yang diperhatikan hanya terbatas kampungnya saja,
sementara program selesai begitu keadaan fisik kampung sudah memenuhi standar. Kebijakan-
kebijakan itu melupakan sejarah terbentuknya kampung yang kebanyakan diawali oleh
pendatang.
Persoalan kampung memiliki arti lebih apabila dinilai juga sebagai persoalan perpindahan
penduduk ke kota karena tidak seimbangnya pembangunan yang dilakukan Pemerintah
Indonesia.

Program KIP yang diangkat menjadi kebijakan nasional dan kemudian melibatkan peminjam
asing terlalu banyak berkutat pada masalah kampung dan mengabaikan permasalahan arus
migrasi masuk ke kota. Selain itu, ada fakta menarik lainnya sebagai akibat memberlakukan
kampung secara terpisah tanpa memedulikan konteks terjadinya, yaitu mematikan peran serta
warga kampung yang pada awal KIP masih cukup besar. Warga dipandang sebagai orang yang
perlu diobati dan tinggal menunggu hasil diagnosis dokter plus obat yang diberikannya.

Hal yang dilupakan pemerintah adalah jika persoalan mikro telah selesai, siapa yang akan
menjamin bahwa kampung itu tidak akan ’rusak’ kembali seiring terus berdatangannya orang-
orang yang ingin mengadu nasib di kota-kota?

Pius widiyatmoko Mahasiswa Teknik Planologi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITB

Anda mungkin juga menyukai