Anda di halaman 1dari 23

Nama : Luthfi Qowy Zhafrani

NIM : 111.160.015
Kelas : B

1. GENESA TIMAH

Timah Primer
Endapan timah primer merupakan endapan timah yang biasanya berkaitan dengan
intrusi batuan beku granit dan biasanya endapan ini terbentuk dalam sistem endapan greisen.
Akan tetapi ada kemungkinan juga didapatkan pada sistem lain seperti skarn. Greisen
merupakan istilah yang definisikan sebagai suatu agregat granoblastik kuarsa dan muscovit
(atau lepidolit) dengan mineral aksesoris antara lain topaz, tourmalin dan flourite yang
dibentuk oleh post-magmatik alterasi metasomatik dari granit (Best, 1982; Stemprok, 1987).

System endapan greisen merupakan system endapan bijih yang terbentuk pada fase
post magmatik suatu pembekuan magma. Fase post magmatik merupakan fase dimana batuan
sudah membeku dan mengahasilkan fluida sisa pembekuan magma yang didominasi fase gas,
kemuadian fluida inilah yang akan bereaksi dengan batuan samping. Proses ini juga
diistilahkan sebagai fase Penumatolitis.
Lebih jauh dalam suatu endapan mineral dimana fluidahidrotermal menjadi salah satu
faktor pengontrolnya maka fluidahidrotermal ini dapat di bagi menjadi dua yaitu fase gas dan
fase cair. Pada fase gas inilah yang disebut sebagai fase penumatolitis dan fase cair sebagai
fase hidrotermal.
Sistem endapan greisen biasanya beraosiasi dengan beberapa unsur yaitu Sn, W, Mo,
Be, Bi, Li dan F. Sistem ini dapat terbentuk dalam dua tipe yaitu endogreisen dimana fluida
tetap didalam batuan granitiknya tipe ini juga disebut sistem tertutup. Kemudian tipe
eksogreisen dimana fluida keluar melalui rekahan-rekahan yang ada. Untuk endapan timah
yang berkaitan dengan intrusi granit dan greisen sangat tergantung dari faktor tipe granitnya.
Tipe Granit dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu granit tipe S dan granit tipe I. Untuk
granit yang biasanya berkaitan dengan endapan timah adalah granit tipe S. Hal ini berkaitan
dengan geokimia magma pembawa timah.

Pada I tipe (magnetite series) yang kaya akan Fe , kandungan Sn pada magma akan
tergantikan oleh Fe dan Ti untuk membentuk mineral sperti Sphen, magnetite, dan
Hornblend, sehingga tidak akan cukup untuk membentuk endapan timah yang ekonomis.
Sedangkan pada S tipe (Ilmenit series) yang tidak kaya akan Fe, Sn tidak akan tergantikan
oleh Fe dan Ti sehingga memungkinkan untuk dapat terbentuk endapan Sn.
Berdasarkan Shcherba (1970) greisen dapat di bedakan menjadi tiga tahap yaitu tahap
fase alkali , fase gresenisasi, dan fase pengendapan pada urat. Pada fase alkali yang terjadi
adalah proses alkali metasomatisme yang menghasilkan alterasi berupa albitisasi dan
mikrilonisasi. Albitisasi merupakan hasil dari Na- Metasomatisme dimana yang terjadi adalah
penggantian unsur K ( K-feldspar ) contoh pada mineral albit menjadi Na. Biasanya pada
zona alterasi ini berasosiasi dengan mineral berupa Nb,Ta,Sn,W, Li dan Bl.Sedangkan untuk
alterasi Mikrolinisasi merupakan hasil dari K-Metasomatisme yaitu penggantian unsur K oleh
Na. Biasanya zona Alterasi ini berkaitan dengan asosiasi Rb,Li,dan Za.
Pada fase greisenisasi biasanya yang terjadi adalah yang bekerja adalah proses H-
Metasomatisme. Terbentuk pada kontak bagian atas antara intrusi granit atau kadang-kadang
muncul berupa stockwork.Mineralisasi muncul secara irregular (tidak beraturan) yang
terkonsentrasi pada sekitar zona kontak. Host rock menunjukkan komposisi granitik dan
berkembang.
Sedangkan untuk fase urat dimana kontrol struktur sangat berpengaruh , fluida yang
berasal dari sisa pembekuan magma akan mengisi rekahan-rekahan yang ada dalam batuan
samping membetuk sustem urat (vein).

Timah Sekunder
Berdasarkan tempat atau lokasi pengendapannya (Sutopo Sujitno, 1972) endapan bijih
timah sekunder dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
- Endapan Elluvial : Terdapat dekat sekali dengan sumbernya, tersebar pada batuan sedimen
atau batuan granit yang telah lapuk, Ukuran butir agak besar dan angular
- Endapan Kollovial : Butiran agak besar dengan sudut runcing, biasanya terletak pada lereng
suatu lembah
- Endapan Alluvial : Terdapat di daerah lembah, mempunyai bentuk butiran yang
membundar.
- Endapan Miencang : Endapan bijih timah yang terjadi akibat pengendapan yang selektif
secara berulang-ulang pada lapisan tertentu, dengan ciri-ciri : Endapan berbentuk lensa-lensa,
bentuk butiran halus dan bundar
- Endapan Disseminated : Jarak transportasi sangat jauh sehingga menyebabkan penyebaran
yang luas tetapi tidak teratur. Ciri-ciri : tersebar luas, tetapi bentuk dan ukurannya tidak
teratur, ukuran butir halus karena jarak transportasi jauh, terdapat pada lapisan pasir atau
lempung
Untuk pembentukan timah di Indonesia, terjadi pada mineralisasi logam pada perioda
Trias Tengah hingga Kapur Akhir. Pada perioda tersebut mineralisasi kasiterit terjadi pada
batuan sedimen dan volkanik periode Akhir-Mesozoik yang diintrusi batuan plutonik, terjadi
proses pegmatitik, kontak metasomatik, alterasi hidrotermal dan mineralisasi logamtimah
yang berasosiasi dengan logam jarang di pulau-pulau timah. Mineralisasi dalam jalur plutonik
batuan granitik Asia Tenggara ini sangat karakteristik, yaitu terbentuknya kasiterit yang
umumnya berasosiasi dengan scheelite, xenotime, columbite, monasit.

Di Bangka mineralisasi berlangsung di sekitar badan granit, dengan demikian deposit


diketemukan di daerah kontak (contact zone). Hal yang mirip diketemukan di Singkep, dan
Pulau Karimun Kundur. Sedangkan di Belitung, mineralisasi terjadi jauh dari badan granit,
dimana likwida berada dalam temperatur rendah dan mampu mengisi dari celah-celah dari
host rock termasuk bedding plane.
Dalam proses kelanjutannya, di alam tropis yang panas dan lembab, terjadilah proses
pelapukan baik kimiawi maupun mekanis, yang kemudian berlanjut dengan proses erosi,
elutriasi dan dilanjutkan oleh transportasi lewat sungai-sungai dimana terendaplah kasiterit
sebagai mineral berat (BD=7), bersama produk rombak lain yang lebih ringan seperti pasir
kuarsa, dan mineral-mineral ikutan seperti zircon, monasit, rutil, ilmenit. Lapisan pasir
bertimah yang terletak di atas bedrock setempat dikenal dengan nama kaksa.
Jenis endapan sekunder sangat bervariasi, sejak dari elluvial, colluvial, alluvial
dangkal hingga alluvial dalam (lebih dari 120 m) dan alluvial fan. Tingkat erosi terhadap
deposit primer berlangsung dengan tingkat intesitas yang berbeda antara satu pulau timah dan
pulau timah lainnya. Pulau Bangka dalam masa tersier dan periode kwarter, berada dalam
altitute yang tinggi, oleh karena itu erosi nampaknya berjalan dengan sangat intensif, hal
mana menyebabkan terbentuknya cebakan timah sekunder di sungai-sungai purba, yang
bukan saja kaya, tetapi juga dalam jumlah yang besar dan dapat ditemukan di banyak tempat
baik pada daratan maupun di daerah lautan.
Penyebaran konsentrasi lapisan pasir bertimah (tin bearing sand) baik vertikal maupun
lateral dalam banyak hal sangat dipengaruhi oleh gejala naik turunnya permukaan laut (sea
level chenges), antara lain karena glasiasi dalam masa pleistocene, yang mana diperkirakan
terayun dari 100 m di atas permukaan laut sekarang. Pada hakekatnya proses yang terjadi
pada penyusunan endapan timah alluvial di darat, adalah sama dengan yang membentuk
deposit timah alluvial di laut. Namun kejadian, baik vertikal maupun lateral, telah mengalami
pengulangan-pengulangan proses, sehingga penyebarannyapun bersistimasi tidak sesederhana
yang ditemukan di daratan sekarang.
Sesuai dengan teori sundaself, dan Molengraaff valley-nya diperkirakan bahwa lautan
di sekitar pulau-pulau timah relatif dangkal, sedang kemampuan menambang lautan semakin
meningkat, maka sejak permulaan abad ini dan untuk masa yang akan datang, potensi timah
lautan telah dan akan menjadi sumber utama produksi timah Indonesia.

Metode Eksplorasi
Untuk timah primer, metode eksplorasi dapat dilakukan dengan menentukan zona
zona mineralisasi batuan granit dan menentukan kemenerusan – kemenerusan vein / urat pada
sistem seperti endapan greissen. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pemetaan bawah
permukaan atau dengan menggunakan metode geofisika seperti geolistrik atau geomagnetik.
Sedangkan untuk timah sekunder eksplorasi dapat dilakukan dengan cara uji
pemboran, pemetaan zona zona lemah yang intens mengalami pelapukan, resistivity meter,
dan survei seismik jika endapan timah tersebut berada di bawah laut.
2. GENESA EMAS

Emas umumnya ditemui bersama dengan perak dan tembaga sebagai hasil mineralisasi.
Model endapan emas yang umumnya dijadikan acuan sumber eksplorasi dan eksploitasi
adalah endapan emas epithermal dan endapan emas mesothermal. Emas juga bisa didapati
sebagai endapan placer.

Endapan Epithermal
Endapan emas epithermal pada umumnya didapatkan dalam bentuk urat kuarsa atau
urat karbonat yang terbentuk pada suhu 150-300oC dengan pH sedikit asam atau mendekati
netral.
Proses terbentuknya endapan epithermal adalah sebagai berikut; emas diangkut oleh
larutan hydrothermal yang kaya akan ligan HS– DAN OH–. Ligan-ligan ini mengangkut emas
hingga ke tempat pengendapannya. Larutan hydrothermal yang bersuhu tinggi akan bertemu
dengan air meteoric dengan suhu rendah pada proses boiling di bawah permukaan Bumi
dekat magma dengan suhu dan tekanan yang tinggi. Pada proses pendidihan yang
menimbulkan tekanan tinggi terjadi penghancuran dinding batuan yang dilalui oleh larutan
hydrothermal. Akibat dari proses pendidihan tersebut gas H2S menghilang dan diikuti
peningkatan nilai pH dan suhu perlahan akan menurun. Proses tersebut dapat menghantarkan
emas pada batuan sehingga kadar emas primer yang cukup tinggi dapat dijumpai pada breksi
hydrothermal sebagai batuan yang mengalami proses breksiasi akibat proses boiling.

Emas Mesothermal
Emas mesothermal merupakan produk endapan hidrothermal yang terbentuk pada
lingkungan batuan metamorf. Endapan ini dicirikan dengan oleh adanya urat-urat kuarsa-
emas yang terdapat pada batuan metamorf. Dari hasil analisis inklusi sulfide diperoleh hasil
bahwa sifat-sifat fluida yang berpengaruh pada pembentukan endapan ini adalah salinitas
yang relatif rendah, air yang kaya akan H2O, CO2, CH4 dan pH fluida yang mendekati netral.
Penyebab utama dari presipitasi emas adalah destabilisasi dari kompleks bisulfide Au dimana
mineral-mineral sulfidanya dalam reaksi fluida batuan, melalui tahap separasi dalam
pencampuran fluida air dan karbon (Fyfe dan Henley, 1973 dalam Reidley, 1997).
Mineral-mineral bijih yang biasa muncul pada model endapan ini antara lain
kelompok mineral sulfide, mineral arsenide, mineral sulfantimonida dan mineral sulfarsenida
(Lindgren, 1933). Sedang mineral yang umum didapatkan pada model endapan ini meliputi
pirit, kalkopirit, arsenopirit, galena, sfalerit, tetrahedrit-tenantit dan emas murni. Endapan ini
dikelompokkan endapan mesothermal karena endapan ini berasosiasi dengan fasies sekis
hijau dan umumnya pada kondisi 250-400oC, pada tekanan 1-3 kbar.
Komposisi emas pada batuan metamorfik dikontrol oleh batuan asalnya (protolith).
Batuan metamorf yang dapat menyimpan emas salah satu contohnya adalah sekis hijau yang
berasal dari batuan pelitik seperti lempung dan serpih serta batuan alterasi dari batuan ultra
basa. Konsentrasi emas pada batuan ini dapat mencapai 0.1-2 ppm. Akibat proses
metamorfose air dan volatile yang lain seperti CO2 dan CH4 keluar dari kristal mengangkut
logam-logam yang ada pada batuan asal. Presipitasi larutan yang kaya akan logam ini di
ruang tertentu seperti rekahan akibat deformasi akan menghasilkan urat yang kaya emas.
Hasil analisis inklusi fluida pada endapan mesothermal pada batuan pembawa metamorfik
derajat rendah seperti sekis hijau diperoleh bahwa suhu rata-rata pembentukan mineralisasi
mesothermal didapatkan sekitar 277oC dengan toleransi lebih kurang 48oC. suhu
homogenisasi yang diperoleh dari pengukuran inklusi fluida (suhu minimum) pada jenis
endapan yang lain, jenis ini bervariasi antara 200-490oC. salinitas yang diestimasi dari data
inklusi rendah <4 wt.% NaCl equivalent.
Ada beberapa sumber larutan pembentuk mineralisasi mesothermal yang diperoleh yaitu;
- Larutan metamorfik
- Larutan juvenile yang terbentuk karena proses granulitisasi kerak bagian bawah atau
pengeluaran gas pada mantel bagian atas
- Larutan hydrothermal magmatic
- Sirkulasi kembali air laut

Metode Eksplorasi
Untuk eksplorasi emas, karena umunya terdapat sebagai urat – urat di batuan hasil
proses magmatik, maka kita perlu memetakan persebaran zona alterasi / mineralisasi atau
menentukan kemenerusan urat pembawa mineral emas tersebut. Kita juga perlu mengetahui
border zona mineralisasi dan pada kedalaman berapa terdapat kadar emas tertinggi. Zona dan
kemenerusan tersebut nantinya yang akan digunakan untuk penentuan metode eksploitasi,
semisal akan dibuat pertambangan dengan sistem open pit atau tunnel. Sedangkan untuk
emas yang sudah dalam bentuk endapan placer, kita dapat melakukan eksplorasi pada tempat
endapan terakumulasi seperti pada bagian slip of slope sungai atau pada channel bar.
3. GENESA PANAS BUMI

Sistem panasbumi merupakan energi yang tersimpan dalam bentuk air panas atau uap
panas pada kondisi geologi tertentu pada kedalaman beberapa kilometer di dalam kerak bumi.
Sistem panasbumi meliputi panas dan fluida yang memindahkanpanas mengarah ke
permukaan. Adanya konsentrasi energi panas pada sistem panasbumi umumnya
dicirikan oleh adanya anomali panas yang dapat terekam dipermukaan, yang ditandai dengan
gradien temperatur yang tinggi. Sistem panasbumi mencakup sistem hydrothermal yang
merupakan sistem tata air, proses pemanasandan kondisi sistem dimana air yang terpanasi
terkumpul. Sehingga sistem panasbumimempunyai persyaratan seperti harus tersedia air,
batuan pemanas, batuan sarang danbatuan penutup. Air disini umumnya berasal dari air
hujanatau air meteorik. Batuan pemanas akan berfungsi sebagai sumber pemanasan air, yang
dapat berwujud tubuh terobosan granit maupun bentuk-bentuk batolit lainnya. Panas yang
ditimbulkan oleh pergerakan sesar aktif kadang-kadang berfungsi pula sebagai sumber panas,
seperti sumber-sumber matair panas di sepanjang jalur sesar aktif (Azwar, M., dkk, 1988).
Batuan sarang berfungsi sebagai penampung air yang telah terpanasi atau uap yang telah
terbentuk. Nilai kesarangan batuan cadangan ini ikut menentukan jumlah cadangan air
panas atau uap. Batuan penutup lebih berfungsi sebagai penutup kumpulan airpanas
atau uap sehingga tidak merembes ke luar. Syarat dari batuan penutup ini adalah sifatnya
yang tidak mudah ditembus atau dilalui cairan atau uap. Umumnya sumber panasbumi
terdapat di daerah jalur gunungapi, maka sebagai sumber panas adalah magma atau
batuan yang telah mengalami radiasi panas darimagma. Sedang batuan penutup dan batuan
cadangan biasanya dibentuk oleh batuan hasil letusan gunungapi seperti lava dan piroklastik.
Meskipun dibeberapa daerah panasbumi, tufa atau labu halus yang terlempungkan atau
lapisan air tanah dapat berfungsi sebagai batuan penutup sistem panasbumi.
Adanya suatu sistem hidrothermal di bawah permukaan sering kali
ditunjukkan oleh adanya manifestasi panasbumi di permukaan (geothermal surface
manifestation), seperti mata air panas, kubangan lumpur panas (mud pools), geyser dan
manifestasi panasbumi lainnya (Gambar 2.2), dimana beberapa diantaranya, yaitu mata air
panas, kolam air panas sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mandi,
berendam, mencuci, masak dan yang lainnya. Manifestasi panasbumi di permukaan
diperkirakan terjadi karena adanya perambatan panas dari bawahpermukaan atau
karena adanya rekahan- rekahan yang memungkinkan fluida panasbumi (uap dan air
panas) mengalir ke permukaan (Saptadji, N. M., 2002).

Metode Eksplorasi
Metode eksplorasi panas bumi umunya untuk menentukan bentuk sumber panas bumi,
apakah kaldera, kawah, dsb. Kemudian untuk eksplorasi secara rinci dilakukan untuk
menentukan source rock, tipe reservoir, suhu dan kedalaman reservoir, caprock serta
menentukan ekonomis atau tidaknya panas bumi di daerah tersebut untuk dikembangkan.
4. GENESA BATUBARA

Batubara adalah bahan bakar hidrokarbon yang merupakan gabungan atau campuran dari
beberapa macam zat yang mengandung karbon, hidrogen dan oksigen dalam suatu ikatan
kimia bersama-sama dengan sedikit sulfur dan nitrogen. Secara garis besar batubara terdiri
atas : zat organik, air, dan bahan anorganik (mineral matter). Tahapan dan proses
pembentukan batubara dapat digolongkan menjadi dua tahapan :

- Tahap Biokimia
Ekosistem rawa berbeda dengan ekosistem sungai dan danau, demikian pula kondisi
air dan tanahnya. Lingkungan rawa yang selalu basah/berair atau muka air tanah yang sangat
dangkal dan tanpa sirkulasi air yang baik, menghasilkan lingkungan yang cocok untuk bakteri
anaerob berkembang biak. Adanya bakteri anaerob ini mempengaruhi proses penguraian
tumbuhan rawa yang telah mati. Tumbuhan rawa yang telah mati diuraikan oleh bakteri
anaerob menjadi gel atau jelly.
Tahap selanjutnya, gel atau jelly semakin lama semakin tebal, membentuk sedimen,
mampat dan memadat. Pemadatan biasanya diikuti dengan penurunan kandungan air, hingga
akhirnya membentuk endapan/sedimen yang kaya bahan-bahan organik (humin) yang dikenal
sebagai gambut (peat).

- Tahap Geokimia
Proses pembentukan gambut berhenti, Karena adanya penurunan cekungan atau dasar
rawa tempat terdapatnya lapisan gambut yang berlangsung secara cepat, maka akan terjadi
akumulasi sedimentasi rawa diatas lapisan gambut seperti sedimentasi batu lempung,
sedimentasi batu lanau dan sedimentasi batu pasir. Dalam perjalanan waktu yang sangat lama
yaitu puluhan juta tahun yang lalu, gambut ini akan mengalami perubahan sifat fisik dan
kimia akibat pengaruh tekanan (P) dan temperatur (T), sehingga berubah menjadi batubara.
Pada proses pembatubaraan, gambut berubah menjadi batubara lignit, bituminous sampai
dengan batubara antrasit. Proses perubahan tersebut dikenal dengan istilah pembatubaraan
(coalification).
Tipe Endapan Batubara dan Kondisi Geologi

Tipe Endapan Batubara


Secara umum endapan batubara utama di indonesia terdapat dalam tipe endapan
batubara ombilin, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Bengkulu. Tipe endapan
batubara tersebut masing-masing memiliki karakteristik tersendiri yang mencerminkan
sejarah sedimentasinya. Selain itu, proses pasca pengendapan seperti tektonik, metamorfosis,
vulkanik dan proses sedimentasi lainnya turut mempengaruhi kondisi geologi atau tingkat
kompleksitas pada saat pembentukan batubara.

Kondisi Geologi/ Kompleksitas


Berdasarkan proses sedimentasi dan pengaruh tektonik, karakteristik geologi tersebut
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama : Kelompok geologi sederhana,
kelompok geologi moderat, dan kelompok geologi kompleks.

- Kelompok Geologi Sederhana


Endapan batubara dalam kelompok ini umumnya tidak dipengaruhi oleh aktivitas
tektonik, seperti sesar, lipatan, dan intrusi. Lapisan batubara pada umumnya landai, menerus
secara lateral sampai ribuan meter, dan hampir tidak mempunyai percabangan. Ketebalan
lapisan batubara secara lateral dan kualitasnya tidak memperlihatkan variasi yang berarti.
Contoh jenis kelompok ini antara lain, di lapangan Bangko Selatan dan Muara Tiga Besar
(Sumatera Selatan), Senakin Barat (Kalimantan Selatan), dan Cerenti (Riau).

- Kelompok Geologi Moderat


Batubara dalam kelompok ini diendapkan dalam kondisi sedimentasi yang lebih
bervariasi dan sampai tingkat tertentu telah mengalami perubahan pasca pengendapan dan
tektonik. Sesar dan lipatan tidak banyak, begitu pula pergeseran dan perlipatan yang
diakibatkannya relatif sedang. Kelompok ini dicirikan pula oleh kemiringan lapisan dan
variasi ketebalan lateral yang sedang serta berkembangnya percabangan lapisan batubara,
namun sebarannya masih dapat diikuti sampai ratusan meter. Kualitas batubara secara
langsung berkaitan dengan tingkat perubahan yang terjadi baik pada saat proses sedimentasi
berlangsung maupun pada pasca pengendapan. Pada beberapa tempat intrusi batuan beku
mempengaruhi struktur lapisan dan kualitas batubaranya. Endapan batubara kelompok ini
terdapat antara lain di daerah Senakin, Formasi Tanjung (Kalimantan Selatan), Loa Janan-
Loa Kulu, Petanggis (Kalimantan Timur), Suban dan Air Laya (Sumatera Selatan), seta
Gunung Batu Besar (Kalimantan Selatan).

- Kelompok Geologi Kompleks


Batubara pada kelompok ini umumnya diendapkan dalam sistim sedimentasi yang
komplek atau telah mengalami deformasi tektonik yang ekstensif yang mengakibatkan
terbentuknya lapisan batubara dengan ketebalan yang beragam. Kualitas batubaranya banyak
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada saat proses sedimentasi berlangsung
atau pada pasca pengendapan seperti pembelahan atau kerusakan lapisan (wash out).
Pergeseran, perlipatan dan pembalikan (overturned) yang ditimbulkan oleh aktivitas
tektonik, umum dijumpai dan sifatnya rapat sehingga menjadikan lapisan batubara sukar
dikorelasikan. Perlipatan yang kuat juga mengakibatkan kemiringan lapisan yang terjal.
Secara lateral, sebaran lapisan batubaranya terbatas dan hanya dapat diikuti sampai puluhan
meter. Endapan batubara dari kelompok ini, antara lain, diketemukan di Ambakiang, Formasi
warukin, Ninian, Belahing dan Upau (Kalimantan selatan), Sawahluhung (Sawahlunto,
Sumatera Barat), daerah Air Kotok (Bengkulu), Bojongmanik (Jawa Barat), serta daerah
batubara yang mengalami ubahan intrusi batuan beku di Bunian Utara (Sumatera selatan).

Metode Eksplorasi
Tahap eksplorasi batubara umumnya dilaksanakan melalui empat tahap, yakni survei
tinjau, prospeksi, eksplorasi pendahuluan, dan eksplorasi rinci. Tujuan penyelidikan geologi
ini adalah untuk mengindentifikasi keterdapatan, keberadaan, ukuran, bentuk, sebaran,
kuantitas, serta kualitas suatu endapan batubara sebagai dasar analisis/kajian kemungkinan
dilakukannya investasi. Tahap penyelidikan tersebut menentukan tingkat keyakinan geologi
dan kelas sumber daya batubara yang dihasilkan. Penghitungan sumber daya batubara
dilakukan dengan berbagai metoda diantaranya poligon, penampangan, isopach, inverse
distance, geostatisik, dan lain-lain.

Survei Tinjau (Reconnaissance)


Survei tinjau merupakan tahap eksplorasi batubara yang paling awal dengan tujuan
mengindentifikasi daerah–daerah yang secara geologis mengandung endapan batubara yang
berpotensi untuk diselidiki lebih lanjut serta mengumpulkan informasi tentang kondisi
geografi, tata guna lahan, dan kesampaian daerah. Kegiatannya, antara lain, studi geologi
regional, penafsiran penginderaan jauh, metode tidak langsung lainnya, serta inspeksi
lapangan pendahuluan yang menggunakan peta dasar dengan skala sekurang-kurangnya
1:100.000.

Prospeksi (Prospecting)
Tahap eksplorasi ini dimaksudkan untuk membatasi daerah sebaran endapan batubara
yang akan menjadi sasaran eksplorasi selanjutnya. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini, di
antaranya, pemetaan geologi dengan skala minimal 1:50.000, pengukuran penampang
stratigrafi, pembuatan paritan, pembuatan sumuran, pemboran uji (scout drilling),
pencontohan, dan analisis. Metode eksplorasi tidak langsung, seperti penyelidikan geofisika,
dapat dilaksanakan apabila dianggap perlu.

Eksplorasi Pendahuluan ( Preliminary Exploration)


Tahap eksplorasi ini dimaksudkan untuk mengetahui gambaran awal bentuk tiga-
dimensi endapan batubara yang meliputi ketebalan lapisan, bentuk, korelasi, sebaran,
struktur, kuantitas dan kualitas. Kegiatan yang dilakukan antara lain, pemetaan geologi
dengan skala minimal 1:10.000, pemetaan topografi, pemboran dengan jarak yang sesuai
dengan kondisi geologinya, penampangan (logging) geofisika, pembuatan sumuran/paritan
uji, dan pencontohan yang andal. Pengkajian awal geoteknik dan geohidrologi dimulai dapat
dilakukan.

Eksplorasi Rincian (Detailed exploration)


Tahap eksplorasi ini dimaksudkan untuk mengetahui kuantitas dan kualitas serta model tiga-
dimensi endapan batubara secara lebih rinci. Kegiatan yang harus dilakukan adalah pemetaan
geologi dan topografi dengan skala minimal 1:2.000, pemboran dan pencontohan yang
dilakukan dengan jarak yang sesuai dengan kondisi geologinya, penampangan (logging)
geofisika, serta pengkajian geohidrologi dan geoteknik. Pada tahap ini perlu dilakukan
penyelidikan pendahuluan pada batubara, batuan, air dan lainnya yang dipandang perlu
sebagai bahan pengkajian lingkungan yang berkaitan dengan rencana kegiatan penambangan
yang diajukan.
5. NIKEL

Endapan nikel laterit terbentuk akibat pelapukan batuan ultramafik seperti peridotit, dunit
yang disebabkan oleh pengaruh perubahan cuaca (iklim). Cuaca telah merubah komposisi
batuan dan melarutkan unsur unsur yang mudah larut seperti Ni, Co, dan Fe.
Air hujan yang mengandung CO2 dari udara meresap ke bawah sampai ke permukaan air
tanah sambil melindih mineral primer yang tidak stabil seperti olivin/serpentin, dan piroksin.
Air tanah meresap secara perlahan dari atas ke bawah sampai ke batas antara zona limonit
dan zona saprolit, kemudian mengalir secara lateral dan selanjutnya lebih banyak didominasi
oleh transportasi larutan secara horisontal (Valeton, 1967). Magnesium dan silikon termasuk
nikel terlindih dan terbawa bersama larutan, demikian hingga memungkinkan terbentuknya
mineral baru melalui pengendapan kembali dari unsur-unsur yang larut tadi. Batuan asal
ultramafik pada zona saprolit di impregnasi oleh nikel melalui larutan yang mengandung
nikel, sehingga kadar nikel dapat naik hingga 7 %. Dalam hal ini nikel dapat mensubtitusi
magnesium dalam serpentin atau juga mengendap pada rekahan bersama dengan larutan yang
mengandung magnesium silikon sebagai garnierit.
Akibat disintegrasi pada batuan, air tanah akan masuk pada rekahan yang terbentuk dan
memungkinkan intensitas pelindian, karena pengaruh morfologi yang semakin besar.
Disamping hidrolisa magnesium dan silikon, maka air tanah kontak yang dengan batuan pada
zona saprolit tersebut juga akan dijenuhkan oleh unsur nikel (Friedrich, et al, 1984).
Pada rekahan batuan asal sebagian magnesium mengendap sebagai gel magnesit yang
dilapangan dikenal sebagai akar pelapukan (roots of weathering). Unsur –unsur yang
tertinggal seperti besi, almunium, mangan, kobal dan juga nikel di zona limonit akan
dikayakan sebagai mineral oksida/hidroksida seperti limonit, goethit, hematit, manganit.
Selain itu terdapat juga mineral sisa (relict minerals) spinel-khrom sertaan (accessory
chromspinels) sebagai hasil konsentrasi residu akibat terlindinya magnesium dan silikon.
Karena sifatnya resisten terhadap pelapukan khromit akan dikayakan secara relatif (relatif
enrichment)
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nikel
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan endapan nikel laterit adalah sebagai
berikut
• Batuan Asal
Dalam hal ini yang bertindak sebagai batuan asal adalah batuan ultrabasa, karena :
Mempunyai elemen Ni yang paling banyak diantara batuan-batuan lainnya Mineral-
mineralnya mudah lapuk (tidak stabil) Komponen-komponennya mudah larut yang
memungkinkan terbentuknya endapan nikel. • Iklim Adanya pergantian musim hujan dan
kemarau dimana terjadi kenaikan dan penurunan permukaan air tanah juga dapat
menyebabkan terjadinya proses pernisahan dan akumulasi unsur-unsur. Perbedaan temperatur
yang cukup besar akan membantu terjadinya pelapukan mekanis, dimana akan timbul
rekahan-rekahan dalam batuan yang akan mempermudah proses atau reaksi
• Reagen-reagen kimia dan vegetasi
Reagen-reagen kimia adalah unsur-unsur dan senyawa-snayawa yang menbantu mempercepat
proses pelapukan. CO2 yang terlarut bersama dengan air memegang peranan penting dalam
proses pelapukan kimia. Asam-asam humus dapat menyebabkan dekomposisi batuan dan
merubah PH larutan, asam-asam humus ini erat hubungannya dengan vegetasi, dalam hal ini
vegetasi akan mengakibatkan Penetrasi air dapat lebih dalam dan lebih mudah dengan
mengikuti jalur akar-akar pohon-pohonan. Akumulasi dari air hujan akan lebih banyak
Humus akan lebih tebal
Keadaan ini merupakan suatu petunjuk, dimana hutannya lebat pada lingkungan yang baik
akan terdapat endapan bijih nikel lebih tebal dengan kadar yang lebih tinggi. Selain itu
vegetasi dapat berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap erosi mekanis.
• Struktur Geologi
Struktur menyebabkan deformasi dari batuan, yang sangat dominan dalam pembentukan
endapan nikel adalah sturktur rekahan (joints) dibandingkan terhadap struktur patahan.
Batuan ultrabasa mempunyai porositas dan permeabilitas yang kecil sekali sehingga penetrasi
air menjadi sulit , maka dengan adanya rekahan- rekahan tersebut akan lebih memudahkan
masuknya air dan berarti proses pelapukan akan lebih intensif
• Topografi
Keadaan topografi setempat sangat mempengaruhi sirkulasi air beserta reagen- reagen lain.
Untuk daerah yang landai maka air akan begerak perlahan-lahan sehingga mempunyai
kesempatan untuk mengadakan penetrasi lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori
batuan. Akumulasi endapan umumnya berada di daerah yang landai sampai kemiringan
sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan mengikuti bentuk topograti. Pada
daerah yang curam jumlah air yang meluncur "run off” lebih banyak dari pada air yang
meresap, ini dapat menyebabkan pelapukan kurang intesif. Pada tempat- tempat dimana
terdapat keseimbangan, nikel akan mengendap melalui proses pelapukan kimia
• Waktu
Waktu yang cukup lama akan menghasilkan pelapukan yang cukup intensif karena akumulasi
unsur nikel cukup tinggi.

Metode Eksplorasi :
Tahapan Eksplorasi Endapan Nikel Laterit Tahapan — tahapan eksplorasi khususnya
eksplorasi nikel yang diterapkan terdiri : Perencanaan Eksplorasi, Eksplorasi Regional,
Eksplorasi Semi Detail, Eksplorasi Detail
1. Perencanaan Eksplorasi
Pada tahapan ini kegiatan - kegiatan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut :
a. Studi Literatur
Studi literatur bertujuan untuk mempelajari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh para
ahli geologi terdahulu di daerah Sulawesi Tenggara, dan mengetahui di mana keterdapatan
suatu batuan induk dari suatu bijih mineral serta mempelajari karakteristik suatu endapan
bijih mineral di daerah yang akan di teliti. b. Interprestasi Lansat Interprestasi lansat ini
biasanya dilakukan pada tahap awal dari kegiatan eksplorasi yang sangat bermanfaat untuk
orientasi daerah. penyelidikan, disamping sabagai peta dasar juga sebagai peta untuk
mendesain eksplorasi.
b. Interprestasi Peta Topografi
Interperstasi peta topografi bertujuan untuk mengetahui keungkinan dimana terdapat sebaran
batuan ultramafik sebagai batuan induk baik terdapat di topografi terjal atau topografi landai.
Hal ini penting untuk efisiensi waktu sehingga daerah yang dianggap kemungkinan
terdapatnya ultramafik saja yang dikunjungi/diteliti.

2. Eksplorasi Regional
Kegiatan ini bertujuan untuk melokalisir sebaran laterit secara horizontal. Adapun kegiatan
pada tahap ini adalah sebagai berikut :
a. Pemetaan regional
Pemetaan regional sebagai tindak lanjut dari hasil interpertasi lansat dan peta topografi yaitu
dengan melihat langsung ke lapangan sehingga dapat dilokalisir wilayah atau sebaran batuan
ultrabasa sebagai batuan induk bijih nikel begitu halnya dengan sebaran laterit. Pada kegiatan
ini dilakukan pengambilan conto batuan dan laterit secara random dengan spasi diatas 500 m,
khusus untuk pengambilan conto laterit, biasanya dilakukan pengambilan conto bawah
permukaan dengan membuat beberapa sumur uji. Skala yang biasanya digunakan pada
kegiatan ini adalah skala 1 : 50.000 atau skala 1 : 25.000.
b. Resistivity
Penyelidikan ini pada perinsipnya menggunakan sifat fisika dari endapan bahan galian yang
akan dicari terutama yang berada di bawah permukaan. Untuk suatu endapan yang tersingkap
di permukaan cara ini tetap diperlakukan untuk mengetahui bentuk geometri endapan bahan
galian tersebut secara keseluruhan. Mengingat tidak semua endapan mempunyai singkapan
dipermukaan, maka cara penyelidikan geofisika menjadi sangat penting
Dari hasil pengukuran geofisika maka dilakukan pemboran inti spasi diatas 500 m dengan
tujuan untuk membuktikan hasil pengukuran geofisika. Jika hasil menunjukan adanya
anomali yang cukup menarik, maka kegiatan eksplorasi dilanjutkan ke tahap lebih detail

3. Eksplorasi Semi Detail


Setelah kegiatan eksplorasi regional maka dilanjutkan dengan kegiatan eksplorasi semi detail,
dimana pada tahap ini kegiatan lebih diperrapat atau difokuskan pada wilayah atau daerah
yang mempunyai anomali yang cukup menarik pada waktu kegiatan eksplorasi regional.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik bijih baik sifat kimianya (kadar unsur
yang dikandungnya) maupun sifat fisik. Adapun kegiatan pada tahap ini adalah sebagai
berikut :
a. Pemetaan Geologi Semi Detail
Kegiatan ini dilakukan dengan melakukan pengambilan conto lebih rapat lagi serta
melokalisir sebaran laterit daerah prospek. Untuk kegiatan ini biasanya digunakan skala 1 :
10.000 atau 1 5.000.
b. Pengukuran Lintasan
Pengukuran lintasan dilakukan untuk menentukan titik -titik bor pada lokasi yang sudah
dipetakan sebaran lateritnya. Pengukuran lintasan ini dengan sistem grid dengan spasi 200 m
x 200 m dan spasi 100 m x 100 m.
c. Pemboran Inti
Kegiatan ini dilakukan dengan pemboran spasi 200 m x 200 m kemudian diperapat lagi
menjadi spasi 100 m x 100 m. kegiatan ini bertujuan untuk mengambil conto laterit bawah
permukaan dan untuk mengetahui dimensi vertikal dari latent
4. Eksplorasi Detail
Tahapan ini merupakan kelanjutan dari tahapan eksplorasi semi detail dimana pada tahapan
ini bertujuan untuk mengetahui sumberdaya ore secara pasti sehingga dapat didesain sistem
penambangan yang nantinya akan digunakan. Adapun kegiatan yang dilaksanakan pada tahap
ini adalah :
a. Pemetaan Geologi
Detail Pada kegiatan ini areal kegiatan semakin dipersempit dengan membuat beberapa lokasi
prospek berdasarkan atas skala prioritas, biasanya skala yang digunakan juga semakin besar
yaltu skala 1 : 1.000 atau skala 1: 500.
b. Pemboran Inti
Pemboran inti dilakukan dengan pemboran bersistem spasi 50 m x 50 m kemudian diperapat
lagi menjadi spasi 25 m x 25 m. kegiatan ini bertujuan untuk mengambil conto laterit bawah
permukaan dan untuk mengetahui dimensi vertikal dan horisontal dari laterit secara detail. c.
Evaluasi Hasil akhir dari kegiatan eksplorasi sumber daya bahan galian dalam penentuan
ekonomis atau tidak suatu bahan galian dapat ditambang adalah menentukan besarnya
sumberdaya sampai dengan cadangan bahan galian. Dalam suatu penaksiran data lapangan
dari hasil eksplorasi harus merupakan cerminan kondisi geologi dan karakter / sifat dari
batuannya lebih jauhnya sesuai dengan tujuan evaluasinya.
Selain hal tersebut, suatu penaksiran harus didasarkan kepada data faktual yang
diolah/diperlakukan secara objektif. Metoda penaksiran yang digunakan harus dapat
memberikan hasil yang dapat diuji ulang atau diverifikasi. Salah satu metoda yang dapat
digunakan untuk menghitung sumber daya bahan galian yaitu metoda “Area of Influence”
atau biasa dikenal metoda daerah pengaruh.

6. MINYAK BUMI

Petroleum System merupakan sebuah sistem yang menjadi panduan utama dalam
eksplorasi hidrokarbon. Sistem ini digunakan untuk mengetahui keadaan geologi dimana
minyak dan gas bumi terakumulasi. (Koesoemadinata,1980)

1. Batuan Sumber ( Source Rock )


Batuan sumber adalah batuan yang merupakan tempat minyak dan gas bumi
terbentuk. Pada umumnya batuan sumber ini berupa lapisan serpih (shale) yang tebal dan
mengandung material organik. Secara statistik disimpulkan bahwa prosentasi kandungan
hidrokarbon tertinggi terdapat pada serpih, yaitu 65%, batugamping 21%, napal 12% dan
batubara 2%.
Kadar material organik dalam batuan sedimen secara umum dipengaruhi oleh
beberapa faktor (Koesoemadinata,1980) antara lain lingkungan pengendapan dimana
kehidupan organisme berkembang secara baik, sehingga material organik terkumpul,
pengendapan sedimen yang berlangsung secara cepat, sehingga material organik tersebut
tidak hilang oleh pembusukan dan atau teroksidasi. Faktor lain yang juga mempengaruhi
adalah lingkungan pengendapan yang berada pada lingkungan reduksi, dimana sirkulasi air
yang cepat menyebabkan tidak terdapatnya oksigen. Dengan demikian material organik akan
terawetkan.
Proses selanjutnya yang terjadi dalam batuan sumber ini adalah pematangan. Dari
beberapa hipotesa (Koesoemadinata, 1980) diketahui bahwa pematangan hidrokarbon
dipandang dari perbandingan hidrogen dan karbon yang akan meningkat sejalan dengan umur
dan kedalaman batuan sumber itu sendiri.

2. Batuan Reservoar ( Reservoar Rock )


Batuan reservoar merupakan batuan berpori atau retak-retak, yang dapat menyimpan
dan melewatkan fluida. Di alam batuan reservoar umumnya berupa batupasir atau batuan
karbonat. Faktor-faktor yang menyangkut kemampuan batuan reservoar ini adalah tingkat
porositas dan permeabilitas, yang sangat dipengaruhi oleh tekstur batuan sedimen yang secara
langsung dipengaruhi sejarah sedimentasi dan lingkungan pengendapannya.

3. Lapisan penutup ( Seal Rock )


Lapisan penutup merupakan lapisan pelindung yang bersifat tak permeabel yang dapat
berupa lapisan lempung, shale yang tak retak, batugamping pejal atau lapisan tebal dari
batuan garam. Lapisan ini bersifat melindungi minyak dan gas bumi yang telah terperangkap
agar tidak keluar dari sarang perangkapnya.

4. Perangkap ( Trap )
Secara geologi perangkap yang merupakan tempat terjebaknya minyak dan gasbumi
dapat dikelompokan dalam tiga jenis perangkap, yaitu perangkap struktur, perangkap
stratigrafi dan perangkap kombinasi dari keduanya.
Perangkap struktur banyak dipengaruhi oleh kejadian deformasi perlapisan dengan
terbentuknya struktur lipatan dan patahan yang merupakan respon dari kejadian tektonik.
Perangkap stratigrafi dipengaruhi oleh variasi perlapisan secara vertikal dan lateral,
perubahan fasies batuan dan ketidak selarasan. Adapun perangkap kombinasi merupakan
perangkap paling kompleks yang terdiri dari gabungan antara perangkap struktur dan
stratigrafi.

5. Migrasi
Migrasi adalah perpindahan hidrokarbon dari batuan sumber melewati rekahan dan
pori-pori batuan waduk menuju tempat yang lebih tinggi. Beberapa jenis sumber penggerak
perpindahan hidrokarbon ini diantaranya adalah kompaksi, tegangan permukaan, gaya
pelampungan, tekanan hidrostatik, tekanan gas dan gradien hidrodinamik
(Koesoemadinata,1980).
Mekanisme pergerakan hidrokarbon sendiri dibedakan pada dua hal, yaitu
perpindahan dengan pertolongan air dan tanpa pertolongan air. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa migrasi hidrokarbon dipengaruhi oleh kemiringan lapisan secara regional.
Waktu pembentukan minyak umumnya disebabkan oleh proses penimbunan dan ‘heat
flow’ yang berasosiasi dengan tektonik Miosen Akhir.
Mackenzie dan Quigley (1988) : diterangkan dengan jenis hidrokarbon yang dibebaskan dari
berbagai jenis batuan sumber ada 3 kelas batuan sumber, berdasarkan tipe kerogen dan
konsentrasi inisialnya :

- Kelas 1 : dominan kerogen labil (oil-prone) pada


konsentrasi > 10 kg/t, mulai melepaskan minyak pada suhu 100 oC dan pada 120 - 150 oC
membebaskan sampai 60-90 % kandungan minyak
Misalnya : batuan sumber North Sea Kimmeridge Clay

- Kelas 2 : masih mengandung kerogen labil dengan


konsentrasi < 5 kg/t, membebaskan minyak dalam bentuk kondensat dan diikuti gas kering
Misalnya : batuan sumber Nova Scotia dan Nile Delta

- Kelas 3 : mengandung refractory kerogen, yang menghasilkan gas kering


Misalnya : Batubara palezoic dari Eropa dan Amerika Utara

Migrasi Hidrokarbon , Migrasi ini merupakan Gabungan Kelas 1 dan Kelas 3


Misalnya : Mahakam Delta dan Gippsland Basin, Aust dan Gabungan Kelas 2 dan Kelas 3
Misalnya : batubara Australia

Tipe kerogen dan kandungannya diterangkan dengan PGI (petroleum generation


index; fraksi organik yang mengalami transformasi menjadi minyak) dan PEE (petroleum
expulsion efficiency; fraksi hidrokarbon yang digenerasi keluar dari batuan sumber) yang
diplot versus suhu dengan kenaikan suhu dperkirakan 5°C /Ma.

Metode Eksplorasi

1. Lingkungan Terdapatnya Minyak dan Gas Bumi

Hampir sebagian besar minyak dan gas bumi ditemukan pada lapisan batuan pasir dan
karbonat. Sangat terbatas terbentuk batuan shale, batuan vulkanik ataupun rekahan batuan
dasar (basalt). Studi pendahuluan meliputi geologi regional, yang menyangkut studi
komparatif atau perbandingan dengan daerah geologi lainnya yang telah terbukti produktif.
studi ini mempertimbangkan formasi yang bisa dijadikan sasaran eksplorasi, struktur yang
dapat bertindak sebagai perangkap dan seterusnya. Pada umumnya lebih tebal lapisan
sedimen didapatkan, kemungkinan ditemukannya minyak bumi akan lebih besar. Hal ini
disebabkan karena pada umumnya lebih tebal lapisan sedimen itu, tentu lebih banyak lagi
formasi yang dapat bertindak sebagai reservoir maupun sebagai batuan induk. Lebih luasnya
batuan sedimen tersebar, akan lebih memungkinkan atau lebih leluasa kita mencapai
perangkap minyak dan gas bumi.
a. Survey Geologi Permukaan
Pemetaan geologi pada permukaan secara detail dapat dilakukan jika memeng terdapat
singkapan. Pemetaan dilakukan pada rintisan dan juga di sepanjang sungai.
b. Survey Seismik
Untuk survey detail, metode seismik merupakan metode yang paling teliti dan dewasa ini
telah melampaui kemampuan geologi permukaan. metode yang digunakan adalah khusus
metode refleksi. Walaupun pemetaan geologi detail terhadap tutupan telah dilakukan,
pengecekan seismik selalu harus dilaksanakan, untuk penentuan kedalam objektif pemboran
serta batuan dasar dan juga lapisan yang akan menghasilkan minyak.
c. Survey Gravitasi detail
Survey Gravitasi detail kadang-kadang juga digunakan untuk mendetailkan adanya suatu
tutupan (closure), terutama jika yang diharapkan adalah suatu intrui kubah garam (salt dome)
atau suatu terumbu, daripadanya diharapkan adanya kontras dalam gravitasi antara lapisan
penutup dengan batuan reservoir atau batuan garam. Metode ini sudah agak jarang digunakan
karena teknologi sismik sudah semakin maju.

2. Prognosis

Semua propek yang telah dipilih serta dinilai dalam suatu sistem penilaian, kemudian
dipih untuk dilakukan pemboran eksplorasi terhadapnya. Maka semua prospek ini haruslah
diberi prognosis. Yang dimaksud Prognosis adalah rencana pemboran secara terperinci serta
ramalan-ramalan mengenai apa yang akan ditemui waktu pemboran dan pada kedalaman
berapa. Prognosis meliputi ;
a. Lokasi Yang Tepat
Lokasi ini biasanya harus diberikan dalam koordinat. Untuk mencegah terjadinya kesalahan
dalam lokasi titik terhadap tutupan struktur, sebaliknya semua koordinat lokasi tersebut
penentuannya dilakukan dari pengukuran seismik, terutama jika tutupan ditentukan oleh
metode seismik. Jika hal ini terjadi di laut misalnya, maka pengukuran harus dilakukan dari
pelampung (buoy) yang sengaja ditinggalkan di laut pada pengukuran seismik, juga dari titik
pengukuran radar di darat. Setidak-tidaknya pengukuran lokasi itu harus teliti sekali sebab
kemelesetan beberapa ratus meter dapat menyebabkan objektif tidak diketemukan.
b. Kedalaman Akhir
Kedalaman Akhir pemboran eksplorasi biasanya merupakan batuan dasar cekungan sampai
mana pemboran itu pada umumnya direncanakan. penntuan kedalaman akhir ini sangat
penting karena dengan demikian kita dapat memperkirakan berapa lama pemboran itu akan
berlangsung dan dalam hal ini juga untuk berapa lama alat bor itu kita sewa. Penentuan
kedalaman akhir ini diasarkan atas data seismik, setelah dilakukan korelasi dengan semua
sumur yang ada dan juga dari kecepatan rambat reflektor yang ditentukan sebagai batuan
dasar.
c. Latar Belakang Geologi
Alasan untuk pemboran didsarkan atas latar belakang geologi. Maka harus disebutkan
keadaan geologi daerah tersebut, alasan pemboran eksplorasi dilakukan di daerah tersebut,
jenis tutupan prospek dan juga struktur yang diharapkan dari prospek tersebut.
d. Objektif Atau Lapisan Reservoir Yang Diharapkan
Ini biasanya sudah ditentukan dan stratigrafi regional dan juga diikat dengan refleksi yang
didapat dari seismik. Objektif lapisan reservoir ini harus ditentukan pada tingginya
kedalaman yang diharapkan akan dicapai oleh pemboran, dimana diperoleh dari perhitungan
kecepatan rambat seismik.
e. Kedalaman Puncak Formasi Yang Akan Ditembus
Juga dalam prognosis ini harus kita tentukan formasi-formasi mana yang akan dilalui bor,
maka kedalaman puncak (batas) formasi ini harus ditentukan dari data seismik.
f. Jenis Survey Lubang Bor Yang Akan Dilaksanakan
Pada setiap Pemboran eksplorasi selalu dilakukan survey lubang bor. Survey meliputi
misalnya peng-Logan lumpur, Peng-Logan Cutting, Peng-Logan Listrik, Peng-Logan
Radioaktif, dan sebagainya. Sebaiknya pada pemboran eksplorasi dilakukan survey yang
lengkap , selain itu juga harus direncanakan apakah akan dilakukan pengambilan batu inti
(coring) atau tidak.
Dalam pembuatan prognosis ini juga ahli geologi harus bekerja sama dengan bagian
eksploitasi dan bagian pemboran. Dengan demikian diharapkan diperoleh hasil yang sangat
baik dalam pengembangan suatu lapangan nantinya.

Anda mungkin juga menyukai