Anda di halaman 1dari 9

TINJAUAN PUSTAKA

Tanin
Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada beberapa
tanaman. Tanin mampu mengikat protein, sehingga protein pada tanaman dapat
resisten terhadap degradasi oleh enzim protease di dalam silo ataupun rumen (Kondo
et al., 2004). Tanin selain mengikat protein juga bersifat melindungi protein dari
degradasi enzim mikroba maupun enzim protease pada tanaman (Oliveira et al.,
2009), sehingga tanin sangat bermanfaat dalam menjaga kualitas silase.
Tanin merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam senyawa polifenol
(Deaville et al., 2010). Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein,
karena tanin mengandung sejumlah kelompok ikatan fungsional yang kuat dengan
molekul protein yang selanjutnya akan menghasilkan ikatan silang yang besar dan
komplek yaitu protein tanin. Tanin mempunyai berat molekul 0,5-3 KD. Tanin alami
larut dalam air dan memberikan warna pada air, warna larutan tanin bervariasi dari
warna terang sampai warna merah gelap atau coklat, karena setiap tanin memiliki
warna yang khas tergantung sumbernya (Ahadi, 2003).
Tanin pada tanaman diklasifikasikan sebagai tanin terhidrolisis dan tanin
terkondensasi. Tanin terhidrolisis merupakan jenis tanin yang mempunyai struktur
poliester yang mudah dihidrolisis oleh asam atau enzim, dan sebagai hasil
hidrolisisnya adalah suatu asam polifenolat dan gula sederhana. Golongan tanin ini
dapat dihidrolisis dengan asam, mineral panas dan enzim-enzim saluran pencernaan.
Sedangkan tanin terkondensasi, yang sering disebut proantosianidin, merupakan
polimer dari katekin dan epikatekin (Maldonado, 1994). Tanin yang tergolong tanin
terkondensasi, banyak terdapat pada buah-buahan, biji-bijian dan tanaman pangan,
sementara yang tergolong tanin terhidrolisis terdapat pada bahan non-pangan
(Makkar, 1993), untuk lebih jelas struktur tanin dapat dilihat pada Gambar 1.
Menurut Susanti (2000), sifat utama tanin pada tanaman tergantung pada
gugus fenolik-OH yang terkandung dalam tanin. Secara garis besar sifat tanin dapat
dijabarkan sebagai berikut :

3
(a) Tanin terhidrolisis (b) Tanin terkondensasi

Gambar 1. Struktur tanin terhidrolisis (a) dan terkondensasi (b)


Sumber: (Dennis et al., 2005)

1. Tanin secara umum memiliki gugus fenol dan bersifat koloid.


2. Semua jenis tanin dapat larut dalam air, kelarutannya besar dan akan bertambah
besar apabila dilarutkan dalam air panas. Begitu pula dalam pelarut organik
seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik lainnya.
3. Reaksi warna terjadi bila disatukan dengan garam besi. Reaksi ini digunakan
untuk menguji klasifikasi tanin. Reaksi tanin dengan garam besi akan
memberikan warna hijau dan biru kehitaman, tetapi uji ini kurang baik karena
selain tanin yang dapat memberikan reaksi warna, zat-zat lain juga dapat
memberikan reaksi warna yang sama.
4. Tanin mulai terurai pada suhu 98,8 0C.
5. Tanin dapat dihidrolisis oleh asam, basa, dan enzim.
6. Ikatan kimia yang terjadi antara tanin-protein atau polimer lainnya terdiri dari
ikatan hidrogen, ikatan ionik, dan ikatan kovalen.
7. Tanin mempunyai berat molekul tinggi dan cenderung mudah dioksidasi menjadi
suatu polimer, sebagian besar tanin amorf (tidak berbentuk) dan tidak
mempunyai titik leleh.

4
8. Warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya atau dibiarkan di udara
terbuka.
9. Tanin mempunyai sifat bakteristatik dan fungistatik.
Tanin dikenal sebagai senyawa antinutrisi karena kemampuannya membentuk
ikatan komplek dengan protein. Kemampuan tanin untuk mengendapkan protein ini
disebabkan tanin memiliki sejumlah group fungsional yang dapat membentuk
komplek kuat dengan molekul-molekul protein, oleh karena itu secara umum tanin
dianggap sebagai anti-nutrisi yang merugikan. Ikatan antara tanin dan protein sangat
kuat sehingga protein tidak mampu tercerna oleh saluran pencernaan. Pembentukan
komplek ini terjadi karena adanya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan ikatan
kovalen antara kedua senyawa tersebut (Makkar, 1993). Menurut Ariningsih (2004),
ikatan kovalen terbentuk apabila tanin telah mengalami oksidasi dan membentuk
polimer quinon yang selanjutnya melalui reaksi adisi eliminasi atom N dari gugus
asam amino protein menggantikan atom oksigen dari senyawa poliquinon. Ikatan
hidrogen yang terbentuk merupakan ikatan antara atom H yang polar dengan atom O
baik dari protein (dari asam amino yang memiliki rantai samping non-polar) atau
tanin (cincin benzena), adapun yang mendominasi kekuatan ikatan ini adalah ikatan
hidrogen dan interaksi hidrofobik. Pembentukan ikatan antara tanin-protein
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu (1) karakteristik protein, seperti komposisi
asam amino, struktur, titik isoelektrik dan bobot molekul, (2) karakteristik tanin,
seperti berat molekul, struktur, dan heterogenitas tanin, (3) kondisi pereaksi, seperti
pH, suhu, waktu, komposisi pelarut. Semakin rendah pH, jumlah tanin yang
berinteraksi semakin kecil. Hal ini menunjukkan penurunan afinitas tanin terhadap
protein untuk membentuk komplek dikarenakan adanya efek elektrostatik dari
protein, pada pH tinggi dimana group fenolhidroksil terionisasi maka tanin tidak
berinteraksi dengan protein.
Menurut Makkar (1993), keberadaan sejumlah gugus fungsional pada tanin
akan menyebabkan terjadinya pengendapan protein, selain membentuk komplek
dengan protein bahan pangan, tanin juga berikatan dengan protein mukosa sehingga
mempengaruhi daya penyerapan terhadap nutrien. Proses ikatan tanin dan nutrisi
pakan bisa dilihat pada Gambar 2.

5
Gambar 2. Contoh interaksi tanin dengan protein
Sumber: (Matteo et al., 2010)

Tanin merupakan senyawa yang mampu mengurangi produksi gas metan.


Semakin tinggi konsentrasi tanin maka produksi CH 4 akan menurun. Menurut Patra
et al. (2006), tanin yang terkandung dalam ekstrak tanaman Terminalia chebula
mempunyai aktivitas anti-metanogenik. Sementara itu McSweeney et al. (2001)
menyatakan bahwa penurunan produksi gas CH 4 dapat pula disebabkan oleh
penurunan degradasi karbohidrat struktural akibat terbentuknya suatu komplek antara
tanin dengan selulosa atau hemiselulosa.

Silase
Teknologi pasca panen merupakan salah satu hal penting dalam
mempertahankan kandungan nutrisi hijauan pakan. Salah satu teknik penyimpanan
yang umum digunakan adalah pembuatan silase. Silase merupakan teknik
penyimpanan yang dapat dimanfaatkan tidak hanya dalam musim kemarau, tetapi di
semua musim (Ohmomo et al., 2002).
Silase merupakan metode penyimpanan dengan prinsip fermentasi, dari
proses ini akan dihasilkan asam laktat (Muck, 2002). Bakteri asam laktat merupakan
bakteri Gram positif, tidak berspora, berbentuk batang atau basil maupun kokus,
tidak memiliki sitokrom, bersifat anaerobik tetapi toleran terhadap O 2 , mampu
menghasilkan asam laktat yang berguna sebagai bahan pengawet silase (Salminen
6
dan Wright, 1998). Apabila kondisi pH di dalam silo kurang dari 4, aktivitas bakteri
asam laktat mulai terhambat, sehingga proses pembentukan asam laktat menjadi
stabil. Di dalam silase terbentuk senyawa asam butirat yang berasal dari konversi
asam laktat menjadi asam butirat, CO 2 dan H 2 . Hal ini terjadi akibat adanya aktivitas
bakteri pembusuk (Ohmomo et al., 2002). Pada saat pH kurang dari 4, kualitas silase
menjadi stabil selama tetap dalam kondisi anaerob. Sebaliknya apabila terjadi
pasokan oksigen atau air di dalam silo, pH menjadi meningkat dan fermentasi bakteri
clostridium dapat berlangsung, pada kondisi ini asam laktat diubah menjadi asam
butirat (Ohmomo et al., 2002). Selain menghasilkan asam laktat bakteri asam laktat
dapat juga menghasilkan hidrogen peroksida yang mampu menghambat
pertumbuhan mikroba pembusuk. Aktivitas hidrogen peroksida sebagai senyawa
antimikroba, melibatkan sistem laktoperoksidase. Sistem ini dapat merusak membran
sitoplasma bakteri gram negatif.
Penilaian kualitas silase dapat diamati dari beberapa aspek diantaranya adalah
pH silase, pH silase dikategorikan sebagai berikut : 3,5-4,2 baik sekali, 4,2-4,5 baik,
4,5-4,8 sedang, lebih dari 4,8 dikategorikan dalam kualitas jelek (Siregar, 1996).
Warna merupakan salah satu penentu kualitas silase selain pH. Menurut Siregar
(1996), secara umum silase yang baik mempunyai warna hijau atau kecoklatan.
Penilaian silase juga ditentukan oleh bau yang dihasilkan. Silase yang baik memiliki
aroma asam dan memiliki palatabilitas yang lebih baik dari silase yang jelek. Tekstur
silase merupakan salah satu komponen penting dalam menilai kualitas silase.
Kualitas silase yang baik umumnya memilki tekstur yang mirip dengan aslinya dan
dalam silase tidak terdapat jamur.
Silase sebagai teknik menurunkan pH lingkungan hijauan ternyata
dipengaruhi oleh iklim wilayah pembuatan silase, tingginya nilai pH silase yang
dibuat di daerah tropis dibanding dengan nilai pH silase yang dibuat di daerah
subtropis disebabkan rumput tropis pada umumnya berbatang, berserat tinggi, dan
rendah kandungan karbohidrat mudah terfermentasi, sehingga pada pembuatan silase
rumput tropis perlu ditambahkan pakan sumber karbohidrat mudah terfermentasi
sebagai makanan bagi bakteri penghasil asam (Kondo, 2004). Disamping itu, pH
silase yang tinggi juga disebabkan dalam pembuatan silase di daerah tropis tidak
ditambah dengan bahan pengawet (Siregar, 1996).

7
Disamping pH warna silase merupakan salah satu kriteria penilaian kualitas
silase. Menurut Siregar (1996), secara umum silase yang baik mempunyai warna
hijau atau kecoklatan. Namun dalam proses pembuatan silase ditemukan perubahan
warna. Menurut Reksohadiprodjo (1988), perubahan warna ini terjadi karena proses
respirasi aerobik yang berlangsung selama persediaan oksigen masih ada, sampai
gula sederhana pada tanaman habis. Gula sederhana yang terdapat pada silase akan
teroksidasi menjadi CO 2 dan air, dan akan menghasilkan panas. Bila temperatur
terlalu panas, silase akan berwarna coklat tua sampai hitam. Hal ini menyebabkan
turunnya palatabilitas silase. Proses kenaikan temperatur pada silase juga dapat
menurunkan jumlah karbohidrat, serta dapat memicu proses denaturasi protein yang
dapat menurunan kecernaan protein. Warna coklat pada silase juga dapat disebabkan
oleh pigmen phatophytin suatu derivat klorofil yang tidak mengandung magnesium.
Pada proses pembuatan silase umur tanaman berpengaruh terhadap jumlah
karbohidarat mudah terfermentasi. Tanaman muda pada umumnya memiliki
kandungan karbohidrat mudah terfermentasi lebih tinggi. Karbohidrat ini nantinya
akan dirombak menjadi volatil fatty acid (VFA) yaitu asam laktat, asam asetat,
asam butirat, asam karbonat, serta alkohol dalam jumlah yang kecil (Oliveira, 2009).
Asam laktat merupakan komponen penting dalam pengawetan silase, namun asam
lemak terbang lain seperti asam butirat bila terlalu tinggi akan menyebabkan
penurunan kualitas silase. Perlu diketahui bahwa aktivitas mikroba pembusuk seperti
spesies Clostridium sp akan mengubah asam laktat yang baik bagi kualitas silase
menjadi asam butirat yang bersifat merusak silase (Salawu, 1999).

Pengaruh Mikroba dan Tanin Terhadap Kualitas Silase


Silase merupakan teknik penyimpanan yang memanfaatkan proses fermentasi
oleh bakteri asam laktat yang memiliki kemampuan dalam merubah lingkungan
sekitar silo menjadi asam. pH yang rendah ini menyebabkan bakteri pembusuk tidak
dapat tumbuh. Bakteri asam laktat (BAL) juga menghasilkan hidrogen peroksida
yang bersifat racun terhadap bakteri pembusuk (Muck, 2002). Selain bakteri asam
laktat di dalam silase terdapat bakteri yang memiliki fungsi bertolak belakang dengan
bakteri asam laktat seperti Bacterium herbicola, Escherichia coli, Bacillus sp,
Listeria monocytogenes. Mikroba–mikroba ini memiliki kemampuan dalam

8
merombak bahan organik dan protein menjadi CO 2 , CH 4 , CO, NO, NO 2 dan air
(Ohmomo et al., 2002).
Kualitas silase selain ditentukan oleh mikroba–mikroba yang terdapat dalam
lingkungan silo, juga dipengaruhi oleh senyawa metabolit sekunder. Penambahan
tanin yang berasal dari tanaman chestnut, mimosa atau residu daun teh hijau
meningkatkan kualitas silase yang ditandai dengan penurunan degradasi bahan
kering (BK) dan protein kasar (PK) selama ensilase, serta konsentrasi N-amonia atau
N total, hal ini dapat menujukkan bahwa pembusukan yang dilakukan mikroba
berkurang (Salawu et al., 1999; Kondo et al., 2004, dan Tabacco et al., 2006).
Santoso et al. (2007) juga melaporkan bahwa penambahan tanin yang berasal dari
residu daun teh hitam menurunkan degradasi BK dan PK selama ensilase rumput
gajah. Oleh sebab itu, senyawa tanin dapat dijadikan agen proteksi protein yang
bersifat alami selama ensilase. Salawu et al. (1999) menyatakan bahwa tanin dapat
menghambat aktivitas bakteri dan jamur, hal ini berpengaruh terhadap jumlah
konversi asam laktat yang diubah menjadi asam asetat, etanol atau butirat. Penurunan
konversi ini terjadi akibat bakteri Closridium sp yang merupakan bakteri pembusuk
jumlahnya menurun, hal ini ditunjukkan oleh penurunan jumlah asam butirat dalam
silase. Yahaya et al. (2004) dan Santoso et al. (2010), menyatakan bahwa
peningkatan kadar tanin akan menurunkan jumlah NDF dan hemiselulosa. Menurut
Santoso (2010) penurunan NDF dan hemiselulosa dapat meningkatkan kualitas
silase, karena dapat meningkatkan kecernaan silase oleh ternak.
Penelitian–penelitian diatas menyatakan bahwa tanin memiliki pengaruh
positif terhadap kualitas silase. Penelitian Oliveira et al. (2009) menyatakan bahwa
hasil silase dari sorgum bertanin tinggi dan bertanin rendah tidak berbeda nyata
terhadap jumlah kadar asam butirat, propionat, dan asetat. Kadar NH 3 pada
penelitian ini menunjukkan jumlah yang lebih tinggi pada silase sorgum dengan
kadar tanin tinggi daripada silase sorgum pada kadar tanin rendah baik yang
ditambah dengan polyetilen glycol maupun tidak, sedangkan penelitian lain
menyatakan bahwa tanin tidak berpengaruh terhadap proses fermentasi dalam silase,
tetapi tanin mampu menjaga protein dari proses de-aminasi (Cavallarin, 2007).

9
Meta-analisis
Meta-analisis merupakan suatu studi dengan cara menganalisis data yang
berasal dari studi primer. Hasil analisis studi primer dipakai sebagai dasar untuk
menerima atau mendukung hipotesis, menolak atau menggugurkan hipotesis yang
diajukan oleh beberapa peneliti (Sugiyanto, 2004). Teknik meta-analisis dapat juga
digunakan sebagai alat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan baru dengan
berpedoman pada data lama yang dimiliki (Glass, 1981). Sutjipto (1995)
menyatakan bahwa meta-analisis adalah salah satu teknik merangkum berbagai hasil
penelitian secara kuantitatif.
Meta-analisis pada awalnya dikembangkan dalam proses penelitian psikologi,
kesehatan, dan ilmu sosial, namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
terutama dalam bidang nutrisi makanan ternak maka metode ini diadopsi dalam
menjawab permasalahan–permasalahan yang ada dalam bidang tersebut (Sauvant et
al., 2008).
Meta-analisis memiliki keuntungan dalam membantu peneliti di negara
berkembang yang tidak memiliki peralatan dan dana yang memadai untuk
melakukan penelitian melalui pengumpulan data publikasi ilmiah di seluruh dunia.
Meta-analisis juga dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk menguji hipotesis suatu
penelitian secara global, seperti menguji pengaruh obat, dan feed aditif yang
terdapat dalam beberapa publikasi ilmiah. Metode ini dapat juga dimanfaatkan
sebagai model empiris suatu respon biologis ternak terhadap suatu perlakuan. Meta-
analisis juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan dan meringkas suatu
pengukuran yang didapatkan dari penelitian sekunder atau data minor dari suatu
penelitian utama (Sauvant et al., 2008). Metode ini sangat membantu dalam
permodelan percobaan secara mekanistik, untuk mengestimasi atau menduga
parameter dan memperkirakan variabel tetap suatu model matematis respon ternak
terhadap suatu perlakuan (Sauvant et al., 2008).
Proses meta-analisis pada ilmu peternakan yang selama ini dilakukan
seringkali mengabaikan efek studi, dengan mengabaikan efek studi ini akan
mengakibatkan tingginya nilai bias atau eror pada nilai slope dan intercept pada
model matematis yang didapat (St-Pierre, 2001). Studi ini disebut juga sebagai fixed
effect. Secara garis besar pengertian fixed effect adalah proses analisis yang hanya

10
berkonsentrasi pada nilai peluang dan mengabaikan variasi penelitian, oleh karena itu
diperlukan analisis yang mampu mengurangi pengaruh perbedaan variasi dalam
pengumpulan data. Analisis yang mampu mengurangi pengaruh variasi antar studi
adalah random effect, dengan menggunakan metode analisis ini akan didapatkan
selang kepercayaan yang lebih lebar dibandingkan fixed effect, sehingga pada
penelitian ini dilakukan proses penggabungan antara metode fixed effect dan random
effect yang selanjutnya disebut mixed model, dengan metode ini kelebihan dan
kekurangan kedua analisis dapat digabungkan. Analisis mixed model ini terdapat
pada software SAS 9.1 (St-Pierre, 2001).
Penelitian meta-analisis diawali dengan pengumpulan data dari berbagai
jurnal secara objektif, dengan pendekatan konsep yang baik, selanjutnya dilakukan
penyeleksian jurnal dan tabulasi data. Dari hasil penyeleksian tersebut, dilakukan
analisis grafik yang dilanjutkan dengan pembuatan desain meta-analisis, setelah
proses pembuatan grafik selesai dilakukan proses seleksi model statistik yang tepat,
kemudian setelah tahap diatas selesai maka dilakukan analisis dan evaluasi, apabila
terjadi kesalahan bisa dilakukan pemeriksaan data pada tahap–tahap sebelumnya,
setelah dirasa benar maka hasil meta-analisis dapat digunakan (Sauvant et al., 2008).

11

Anda mungkin juga menyukai