Anda di halaman 1dari 10

Domestic Case Study 2018

Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta

Tradisi Budaya Kampung Adat Sebagai Destinasi Wisata


Di Kota Ngada Flores
Katarina Sena Soja
162296

Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta

Abstract : Makalah ini merupakan hasil laporan Domestic Case Study untuk syarat publikasi ilmiah di
Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta dengan judul Tradisi Budaya Kampung Adat
Sebagai Destinasi Wisata di Kota Ngada Flores.

1. Pendahuluan
Penulis adalah seorang mahasiswa S1 Hospitality Sekolah Tinggi Pariwasata
Ambarrukmo Yogyakarta (STiPRAM) semester 3 program yang telah mengikuti seminar
Nasional Pariwisata Yogyakarta, yang di laksanakan pada tanggal 15 Mei 2017 di Kampus
STiPRAM Yogyakarta dengan tema Ekspetasi Pembangunan Pariwisata dan MICE Nasional
2044. Pembiacara Pertama, Prof. Azril Azhari Ph. D, dengan judul Perkembangan Ilmu
Pariwisata di Indonesia [1].
Rumpun dan Standarisasi Nomenklatur
a. Hospitalitas (Hospitality)
Akomodasi (accommodation, lodging) terdiri dari : Hotel,resort, losmen, med hotel,
camping/caravan, hostel, apartemen, kondominium, kondotel, Hospitel, homestay, motel, bed
and breakfast. Makanan dan Minuman (food and beverages) terdiri dari : Restoran, kafe,
catering, pelayan. Entertaiment terdiri dari : Entertaiment, klub, klub malam musement, show
consolation, function venues
b. Perjalanan (Travel)
Jasa Perjalanan (transportation services)terdiri dari Agensi perjalanan (travel and tour agencies),
pusat informasi pariwisata (tourism agency & information center, pramuwisata. Jasa
Transportasi (transportasi services) terdiri dari :
Tour operator, kendaraan sewa, coach, kapal pesiar, (cruise), jasa taksi, jasa pesawat terbang,
jasa kapal laut, jasa kereta api, cabin attendance.
c. Event
Industri pertemuan (metting/MICE industry) terdiri dari : Rapat, kunjungan insestif (icentive
travel, konferensi, pameran, (exhibition, exposition, trade show). Industri non pertemuan (non-
metting/MICE industry) terdiri dari : Olahraga dan rekreasi (sports and recreational),
pertandingan (games), turnamen (tournament). Seni dan budaya (arts and cultural) : festival,
konser, kontes, kompetisi. Politik : pameran angkatan bersenjata
Acara khusus : product lunch, pengumpulan dana, perayaan, upacara, pertunjukan besar.
d. Destinasi (Destination)
Daya Tarik Wisata (attraction) terdiri dari kegiatan seperti : Taman, kebun binatang, museum,
galeri, acara budaya, dan lain-lain. Destinasi (Destination) trdiri dari kegiatan seperti : Desa
wisata, kampung budaya, taman wisata, kawasan wisata termaksud wisata perkotaan, pendesaan
dan provinsi. Pembicara kedua, Pak Benny Pasaribu, Ph.D dengan judul Pengembangan industri
MICE di indonesia. Persaingan MICE sangat ketat. Ini dapat dilihat dari beberapa pertumbuhan
sebagai berikut :
a. Growth Limitation
Pertumbuhan ekonomi di indonesia cukup tinggi tetapi tidak di ikuti dengan pertumbuhan
industri MICE. Indonesia belum menjadi hubungan bisnis internasional.
b. Limited Incntive Game
Jutaan konferensi/pertemuan internasional bergantian di seluruh dunia tapi sangat sedikit
anggotanya dari indonesia. Dibutuhkan pengelola MICE yang kuat dan berpengalaman untuk
memenangkan tender-tender.
c. The Incentive Game
Perbedaan costpenting bagi pelanggan mencari destinasi value-for-money. Banyak negara
bersaing secara agresif memberikan insetif untuk menarik event MICE. Seharusnya persaingan
tidak hanya melalui insetif tetapi dengan menemukan higly-customized solutions yang
meyenangkan pelanggan.
d. Rissing Custumer Expectations
Pelanggan selaku menginginkan nilai lebih besar dari sekedar mengorganisir dan menghadiri
pertemuan bisnis sehingga dibutuhkan variasi konten dan SDM berpengalaman.
e. Associations In a Nascent Stage
Banyak asosiasi bisnis yang kurang berpengalaman dan terbatas sumberdaya untuk membuat
dan mengelola MICE, dan mengikuti internasional.
Pembicara Ketiga, Pak Heri Setyawan dengan judul Global Tren Destinasi MICE yaitu :
(1) Destinasi Merupakan tempat-tempat yang memiliki beberapa bentuk batas aktual atau
dirasakan, seperti batas fisik, sebuah pulau, batas-batas politik, atau bahkan batas yang dapat
menciptakan pasar.
(2) Destinasi dapat berupa, Negara, Povinsi , Pulau, Kota.
(3) Pengunjung Destinasi berupa Leisure/Non Business Visitors, Business Visitors. Manfaat
MICE bagi Destinasi
Delegasi Konferensi Nasional dan Internasional (bussiness traveler) merupakan Aset
yang sangat berharga bagi destinasi pariwisata. Karena, jumlah devisa yang di keluarkan atau
bissiness travelers spending adalah tujuh kali lipat dari wisatawan biasa atau leisure traveler
(ICCA,2012). Delegasi konferensi umumnya adalah opinion leader, yang dapat memberikan
pengaruh bagi pihak lain tentang destinasi pelaksanaan sebuah konferensi.
Jadi apabila didengar beberapa pembicara jika dikaitkan dengan Ekspektasi Pengembangan
Pariwisata dan MICE, Pariwisata pada tahun 2045 akan di prediksikan menjadi Pariwisata yang
maju dan terkenal dunia Interasional.
Dalam era globalisasi seperti ini, peranan pariwisata harus didukung dengan sumber daya
manusia yang berkualitas dan prefesional. Hal ini disebabkan dengan persaingan dunia yang
semakin ketat, dan keadaan inilah yang mendorong para pelaku wisata untuk menyediakan
sarana dan prasarana yang vital dalam dunia kepariwisataan. Sarana dan prasara itu sangat
diperlukan untuk menarik wisatawan mengunjungi suatu obyek wisata. Semakin lengkap sarana
dan prasarana yang ada dalam suatu objek wisata akan membuat wisatawan nyaman dan betah
menikmati obyek wisata tersebut.
Misalnya Objek Wisata Kamung Adat Bena merupakan salah satu Desa perkampungan yang
dibilang unik yang memiliki aneka budaya yang ada di Kabupaten Ngada NTT, hingga saat ini
penduduk Kampung Bena masih memegang teguh dengan tradisi budaya yang di warisinya dari
zaman Nenek Moyang mereke sendiri sampai saat ini, bilamana di kehidupan lain justru sedang
berlomba untuk mengikuti perkembangan zaman. Kampung Bena terletak di Gunung Inerie.
Dikampung Bena tidak hanya menwarkan keunikan bentuk perkampung rumah dan tradisinya,
tetapi dikampung Bena memiliki pemandangan Gunung Inerie yang mempesona dan
memanjakan mata.

2. Pembahasan

Kata “Pariwisata” berasal dari bahasa sansekerta, yang terdiri atas dua kata, yaitu “pari”
dan “wisata”. “Pari” yang memiliki arti banyak, berkal-kali dan “Wisata” berarti perjalanan,
bepergian. Atas dasar itu, pariwisata siartikan sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali,
dari suatu tempat ke tempat yang lainnya, yang dalam bahasa inggris disebut dengan Tour [2,3].
Pariwisata merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan perjalanan
yang dilakukan secara sukarela dan bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik
wisata, serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut (UU Republik Indonesia No. 9 Tahun
1990 Tentang Kepariwisataan) [4].
Margenroth dalam Yoeti (1997:117) menjelaskan bahwa pariwisata adalah lintas orang-
orang yang meninggalka tempat tinggalnya untuk sementara waktu, untuk berpesiar ke tempat
lain, semata-mata sebagai konsumen dari buah hasil perekonomian dan kebudayaan guna
memenuhi kebutuhan hidup dan kebudayaan atau keinginan yang beranekaragam dari
pribadinya [5].
Pengertian pariwisata menurut Pendit (1994:35) Pariwisata adalah kegiatan orang-orang
sementara dalam jangka waktu pendek, ke tempat-tempat tujuan di luar tempat tinggalnya dan
temoat bekerjanya, serta diluar kegiatan mereka, dan selama di tempat tujuan mempunyai
berbagai maksud, termasuk kunjungan wisata [6].
Berdasarkan definisi Pariwisata yang telah dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa
pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang
diselenggarakan dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan maksud bukan untuk berusaha
(Business) atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata hanya untuk
menikmati perjalanan tersebut [7].
Destinasi wisata adalah sebuah susunan sistematis dari tiga elemen. Seorang dengan
kebutuhan wisata adalah inti/pangkal (keistimewaan apa saja atau karekteristik suatu tempat
yang akan mereka kunjungi) dan sedikitnya satu penanda (inti informasi) [8]. Seseorang
melakukan perjalanan wisata dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menjadi daya tarik yang
membuat seseorang rela melakukan perjalanan yang jauh dan menghabiskan dana cukup besar.
Suatu daerah harus memiliki potensi daya tarik yang besar agar para wisatawan mau
menjadikan tempat tersebut sebagai destinasi wisata [9,10].
Kampung Adat Bena merupakan salah satu perkampungan adat tertua dan juga
merupakan salah satu Perkampungan adat yang masih sangat memegang kuat tradisi Bena
yang ada di daratan Kabupaten Ngada Nusa Tenggara Timur (NTT) tepatnya di desa Tiwuriwu,
Kecamatan Aimere, sekitar 19 km selatan Bajawa. Kampung yang terletak di puncak bukit
dengan view Gunung Inerie. Keberadaanya dibawah gunung merupakan ciri khas masyarakat
lama pemuja gunung sebagai tempat para Dewa. Menurut penduduk kampung ini, mereka
meyakini keadaan Yeta, Dewa yang bersinggasana di gunung ini yang selalu melindungi
kampung mereka. Gotong Royong merupakan salah satu tradisi Masyarakat Kampung Bena
untuk Menjaga Tradisi Leluhur. Di Kampung Bena, Jerebuu, Kabupaten Ngada, Flores, Nusa
Tenggara Timur, intisari Pancasila itu tak sekadar slogan. Di sana gotong royong bersama
warga Bena justru menjadi nafas dalam aktivitas keseharian mereka untuk menjaga Tradisi
Leluhur dan akan menjaga Tradisi Leluhur turun temurun dan dari tahun ke tahun. Sistem
kepercayaan Wae bena merupakan unsur yang penting dalam keoercayaan asli komunitas
kampung Bena kepercayaan kepada roh-roh leluhur nenek moyang dan roh-roh orang yang
telah meninggal. Pada umumnya mereka percaya bahwa kepada mahluk- mahluk halus seperti
penjaga pintu rumah, desa, sungai, hutan, mata air, dan lain sebagainya. sehingga masyarakat
setempat di setiap melakukan sesuatu hal terlebih dahulu melaksanakan Upacara Puju Kui yaitu
upacara memanggil dua kekuataan besar yaitu Dewa dan Nitu/Penjaga kampung Adat. Dewa
biasa disebut Dewa Enga (atas) merupakan Dewa atau Tuhan Yang Maha Esa, penguasa alam
semesta beserta segala isinya. Dewa inilah yang di percaya selalu memberikan berkah dan
keselamatan.
Hingga saat ini masyarakat Bena masih memegang kuat tradisi budaya yang diwarisi
dari Nenek Moyang mereka. Terletak di kaki Gunung Inerie, membuat kampung yang terkenal
dengan rumah adat Bena ini ti dak hanya menawarkan keunikan tetapi keindahaan rumah dan
tradisinya, tetapi juga bersertakan pemandangan gunung inerie yang begitu menakjubkan
membuat mata tak ingin berpaling setiap orang yang melihatnya. Bagi masyarakat Bena,
mereka percaya bahwa di puncak Gunung Inerie bersemayam Dewa Zeta yang melindungi
mereka. Gunung Inerie setinggi 2.245 m dpl adalah gunung dengan hutan lebat di sebelah
baratnya saja. Sementara itu, di lereng bagian selatannya berupa perkebunan. Bagi warga Bena
Gunung Inerie dianggap sebagai hak mama (Ibu) dan Gunung Surulaki dianggap sebagai hak
bapa (Ayah). Saat ini Kampung Bena dihuni 326 jiwa dalam 120 keluarga. Akan tetapi, ikatan
adat dari kampung ini lebih luas lagi karena ada ribuan jiwa lainnya yang merupakan keturunan
warga Bena bermukim di luar kampung adat. Warga kampung Bena menganut sistem
kekerabatan dengan mengikuti garis keturunan pihak ibu. Lelaki Bena yang menikah dengan
wanita suku lain maka akan menjadi bagian dari klan istrinya. Khusus untuk wanita di Bena
mereka wajib untuk memiliki keahlian menenun dengan bermotifkan kuda dan gajah sebagai
ciri khasnya. Bangunan arsitektur Bena tidak hanya merupakan hunian semata, namun memiliki
fungsi dan makna mendalam yang mengandung kearifan lokal dan masih relevan diterapkan
masyarakat pada masa kini dalam pengelolaan lingkungan binaan yang ramah lingkungan. Nilai
yang dapat diketahui bahwa masyarakat Bena tidak mengeksploitasi lingkungannya ialah lahan
pemukiman yang dibiarkan sesuai kontur asli tanah berbukit. Bentuk kampung Bena
menyerupai perahu karena menurut kepercayaan megalitik perahu dianggap punya kaitan
dengan wahana bagi arwah yang menuju ke tempat tinggalnya. Namun nilai yang tercermin dari
perahu ini adalah sifat kerjasama, gotong royong dan mengisyaratkan kerja keras yang
dicontohkan dari leluhur mereka dalam menaklukkan alam mengarungi lautan sampai tiba di
Bena.
Kampung ini memiliki lebih dari 40 buah rumah yang saling berhadap-hadapan. badan
kampung tumbuh memanjang, dari utara ke selatan. pintu masuk kampung hanya dari utara.
Sementara ujung lainnya di bagian selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi tebing terjal.
Mata pencaharian penduduk kaum laki-laki adalah berladang dan kaum perempuan adalah
menenun untuk dijual kepada para Wisatawan ataupun ke pelosok kota Bajawa Ngada. Pada
umumnya warga suku di Bena bermat pencaharian sebagai pekadang dengan kebun-kebun
menghijau seperti; menanam padi, dan juga sayur-sayuran yang mengelilingi kampung adat
Bena. Untuk komunikasi sehari-hari warga bena mengunakan bahasa Nga’hda. Hampir seluruh
warga Bena memeluk agama Katolik namun tetap menjalankan kepercayaan leluhur termaksud
adat dan tradisinya. Para wisatawan yang datang pun tak hanya dari lokal juga dari manca
negara seperti dari belanda, jepang, belgia, dan negara eropa lainnya. Kampung ini sudah masuk
dalam daerah tujuan wisata Kabupaten Ngada. Ternyata kampung ini menjadi langganan tetap
wisatawan dari jerman dan italia. Di tengah-tengah kampung atau lapangan terdapat beberapa
bangunan yang mereka menyebutnya Bhaga dan Ngahdu. Bangunan Ngahda bentuknya mirip
dengan pondok kecil (tanpa penghuni). Sedangkan Ngahdu berupa bangunan bertiang tunggal
dan beratap serat ijuk hingga bentuknya mirip pondok peneduh da Ngahdu juga merupakan
representasi nenek moyong laki-laki dari satu klen (Suku). Tiang Ngahdu biasa dari jenis kayu
jenis khusus dan keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan Hewan Kurban
ketika pesta Adat.
Unsur yang penting dalam kepercayaan asli komunitas adat Kampung Bena adalah
kepercayaan kepada roh-roh leluhur nenek moyang dan roh-roh orang yang telah meninggal.
Pada umumnya mereka percaya kepada makhluk-makhluk halus seperti penjaga pintu rumah,
desa, hutan, sungai, mata air dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat setempat di setiap
melakukan sesuatu hal terlebih dahulu melaksanakan Upacara Puju Kui yaitu upacara
memanggil dua kekuatan besar yaitu Dewa dan Nitu. Dewa yang biasa disebut Dewa Enga
(atas) merupakan Dewa atau Tuhan Yang Maha Esa, penguasa alam semesta beserta segala
isinya. Dewa inilah yang dipercaya selalu memberikan berkah dan keselamatan. Tuhan terlalu
suci dan mulia, derajatnya terlalu tinggi melebihi segalanya sehingga Manusia dalam memohon
sesuatu kepada-Nya memakai makhluk halus sebagai Perantaranya. Terutama roh-roh leluhur
yang sudah sederajat dengan Dewa. Sedangkan Nitu Ngiu (bawah) merupakan suatu alam yang
ada disekitar yang tidak terlihat, namun memiliki kekuatan yang sangat besar. Kekuatan
tersebut berupa makhluk-makhluk halus roh para leluhur yang dihubungi dengan melakukan
upacara. Semua makhluk-makhluk halus dan roh-roh leluhur ada yang bersifat baik dan jahat.
Makhluk halus yang bersifat baik disebut Inebu (roh nenek moyang) yang selalu memberikan
petunjuk yang benar, arahan demi keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Sedangkan makhluk halus yang bersifat jahat disebut Setan. Kekuatan ini bisa menyebabkan
suatu penyakit dan kematian jika tidak diperhatikan secara seksama pada saat upacara yang
telah ditetapkan oleh adat. Setan sifatnya suka membuat kekacauan dan memberikan jalan yang
salah.
Kepercayaan Masyarakat Kampung Bena Terkait Dengan Upacara Daur Hidup antara lain:
Upacara kelahiran untuk anak yang pertama (anak sulung )
Upacara ini dikenal dengan istilah Lawiasi dilakukan saat bayi tersebut baru lahir. Upacara ini
merupakan syukuran dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga anak yang baru lahir
ini diberi keselamatan dan berkah. Sebagai ungkapan rasa syukur biasanya dilakukan dengan
melakukan pemotongan babi. Pemotongan Babi juga ada proses rituallnya, sebelum babi
disembelih. Pada saat potong babi khusus untuk hatinya diambil untuk dipersembahkan kepada
leluhur sedangkan dagingnya dimakan bersama.
Sedangkan hati babi yang diambil untuk persembahan Roh leluhur diperlakukan secara khusus
dengan suatu prosesi ritual sebagai wujud kepedulian dan rasa hormat, ingat akan keturunan
atau asal leluhurnya. Masyarakat kampung Bena yakin dan kepercayaan dengan
mempersembahkan hati babi kelak anak akan terlindungi, kebal dari penyakit dan terhindar dari
serangan makhluk gaib yang jahat. Upacara tersebut kemudian diakhiri dengan siraman air
kelapa muda ke kepala anak yang dilakukan oleh tetua adat.
Upacara Potong Rambut
Upacara ini sering disebut dengan istilah Koi Fu. Upacara ini dilakukan biasanya pada saat anak
gadis menjadi seorang remaja. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menunjukkan kepada
masyarakat bahwa anaknya sudah remaja. Upacara ini melibatkan seluruh pihak keluarga baik
dari pihak wanita maupun pihak laki-laki. Biasanya sarana yang digunakan adalah pisau cukur
dan tempurung yang berisi air, untuk membersihkan kepala yang telah dicukur. Dalam upacara
ini tentunya pihak keluarga wanita mewajibkan keluarga pihak laki-laki untuk menyumbangkan
satu ekor kuda. Masyarakat kampung Bena memiliki kepercayaan dengan melaksanakan
upacara ini tentunya gadis yang telah remaja ini menjadi anak yang cerdas dan patuh dengan
orang tua.
Upacara Potong Gigi
Upacara dikenal dengan istilah Ripa Ngi’i. Upacara dilaksanakan pada saat anaknya menjelang
dewasa dan siap menerima pinangan atau lamaran. Sarana yang digunakan pada upacara ini
adalah alat berupa kikir yang dilakukan oleh orang yang ahli dan berpengalaman. Pada saat
berlangsung, masyarakat kampung Bena memiliki kepercayaan apabila gigi anak (wanita) yang
sedang dikikir tersebut mengeluarkan darah maka sudah tentu anak tersebut sudah tidak
perawan lagi. Begitu pula sebaliknya. Setelah satu minggu remaja yang telah usai upacara
potong gigi, giginya akan dikuatkan dengan kuku dan laka, kuku merupakan sejenis tanaman
yang tumbuh di hutan dan laka adalah sejenis belerang. Kedua bahan tadi dikunyah sehingga
gigi menjadi kuat dan berubah warna menjadi menjadi hitam selamanya. Tentunya di Kampung
Bena kepercayaan melaksanakan tradisi ini masih tetap terjaga.
Upacara Kematian
Upacara kematian dalam masyarakat kampung Bena dikenal dengan istilah Ngeku. Bagi
masyarakat yang kurang mampu cukup melakukan upacara dengan hanya menyembelih seekor
ayam saja. Namun bagi masyarakat yang ekonominya lebih mampu dalam upacara ini biasanya
membunuh kerbau atau babi. Hewan kurban yang disembelih diambil bagian hatinya. Pada saat
penguburan mayat ditaburkan beras dan moke kemudian diberikan sedikit kepada mayat
tersebut kemudian diberi doa “Engkau Mau Jalan, Makanlah Hati Babi Ini, Berkatilah Sanak
Keluarga Yang Engkau Tinggalkan“. Masyarakat kampung Bena juga tidak pernah melupakan
kebiasaanya, di berbagai upacara selalu menghaturkan sesaji untuk dipersembahkan kepada roh
leluhur yang disebut Inebu agar selalu dibantu segala kelancaran upacara.
Ritual Adat dalam Pesta Reba Bena:
Kata “Reba” arti pesta, Reba atau Uwi. Kepercayaan ini bertujuan untuk menciptakan hubungan
baik antara manusia dengan Tuhan maupun dengan leluhur. Hingga tercermin pula hubungan
baik antara manusia dengan manusia. Upacara Reba Bena dilaksanakan setiap tahun, dan
dirayakan selama tiga hari tiga malam. Upacara Reba Bena dilaksanakan guna memohon
keselamatan dan keharmonisan.
Kepercayaan terhadap simbol-simbol sakral Rumah Adat Bena:
Kepercayaan saat mulai membuat ragam hias rumah adat berupa ukiran disebut dengan Lima
Pada. Kepercayaan ini ditandai dengan mengadakan ritual kepada roh leluhur dengan
menggunakan anak babi yang telinganya dilubangi sebagai sarana upacara. Setelah diadakan
upacara, anak babi tersebut boleh diambil oleh tukang yang akan mengerjakan pekerjaan
mengukir tersebut. Pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu khususnya wanita pemilik rumah
selama pekerjaan membuat ukiran belum selesai, dilarang meminyaki rambutnya, rambut hanya
boleh dibasuh dengan air. Apabila hal tersebut dilanggar, akan terjadi mara bahaya dan sakit
yang akan menimpa penghuni dari rumah tersebut. Ragam hias yang dapat dilihat dari beberapa
rumah adat Bena berupa Ukiran kuda, ayam Kelantan, tanduk kerbau dan anting. Ornamen di
depan maupun di sekeliling rumah terdapat berbagai jenis dekorasi dengan berbagai bentuk
seperti: tanduk kerbau di kanan atau kiri tiang penyangga rumah, tanduk tersebut adalah bekas
kerbau yang dipotong dan tanduknya tidak diperbolehkan untuk membuangnya. Ukiran kuda
terdapat dibelakang pintu rumah. Kuda menurut masyarakat Bena memiliki simbol kekuatan.
Motif kuda dipercaya dapat mengalahkan kekuatan jahat yang ingin mengganggu penghuni
rumah. Tanduk kerbau yang diletakkan di beranda rumah merupakan simbol kekayaan dan
kemakmuran. Ini juga merupakan suatu tanda bahwa tanduk yang tersusun rapi di depan rumah
berarti bahwa di rumah tersebut telah pernah dilakukan suatu upacara adat yang relatif besar.
Bagi masyarakat yang berekonomi (kaya) yang mampulah melaksanakan upacara tersebut
dengan menggunakan kerbau. Hewan kerbau adalah salah satu binatang termahal bagi kalangan
masyarakat Bena, dan tanduk itulah sebagai simbol pristise bagi masyarakat Bena.
Ritual Rumah Adat Bena
Pelaksanaan ritual rumah adat Bena dilakukan setelah rumah baru selesai dibangun. Rumah
yang baru selesai dibangun harus diupacarai terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pesta
atau bentuk syukuran. Pelaksanaan pesta diawali dengan upacara yang disebut dengan upacara
Kasao. Upacara ini diadakan dengan pesta yang cukup meriah. Sarana yang digunakan Tibo
yaitu pucuk bambu. Disertakan dengan upacara potong ayam dan potong babi di depan pintu
rumah hal ini dipersembahkan kepada roh leluhur, memohon doa restu agar dilancarkan segala
pelaksanaan upacara tersebut. Persembahan diletakkan di Ture Sabarajo kemudian sisa dari
persembahan tersebut dibagikan kepada seluruh masyarakat. Upacara persembahan berupa
bentuk sesajian kepada roh leluhur dengan menggunakan pucuk bambu disebut Upacara Pa’I
Tibo. Pada perayaan ini dipersembahkan pula tari-tarian dari masyarakat yaitu Tari Ja’i.
Simbol-simbol Sakral Dalam Wujud Bangunan di Kampung Bena:
1. Ngadhu adalah sebuah bangunan pemujaan terhadap roh leluhur yang berbentuk seperti
paying. Dalam banguan Ngadhu terdapat ornamen berupa ukiran dengan berbagai motif tertera
dipermukaan tiang. Elemen dasar dari tiang Ngadhu adalah kayu. Ngadhu merupakan simbol
dari leluhur laki-laki, yang tepat berada di depan Bagha. Sedangkan Bagha disimbolkan sebagai
leluhur perempuan. Makna bangunan tersebut sesuai dengan pola tata ruang atau diletakkan
yang diposisikan seperti itu memiliki arti yakni disimbolkan sebagai sepasang suami istri.
Seorang suami harus berada di depan istrinya, berusaha bertanggung jawab dan melindungi
istrinya. Ngadhu dan Bagha di kampung Bena juga berfungsi sebagai lambang keberadaan suatu
suku (So’e). Bangunan ini didirikan ketika suatu klan akan dibentuk.
2. Bagha adalah bangunan atau miniatur yang berupa rumah kecil simbol pemujaan bagi
leluhur perempuan. Bangunan Bagha terletak juga di depan bangunan Sao Sakapu’u. Hal ini
sangat dimengerti karena sistem kekerabatan Bena menganut sistem matrilineal atau garis
keturunan pihak perempuan memegang pangkal dasar keluarga. Bagi masyarakat kampung
Bena, bangunan bagha ini juga dipercaya sebagai simbol para leluhur pokok dari satu so’e yang
berdasarkan satu keturunan darah. Ada suatu filosofi tentang Bagha yaitu kesucian yang
menjadi asas atau dasar hidup perkawinan orang Bena adalah ajaran tentang menjaga kesucian
leluhur pokok perempuan yakni Bagha.
3. Saka Pu’u. Rumah tradisional di Bena yang menganut sistem matrilineal artinya rumah
ini merupakan rumah utama yang dimiliki oleh keturunan perempuan. Saka Pu’u ini ditandai
dengan terdapatnya miniatur rumah di atas atap, rumah ini juga disebut Anaiye.
4. Sakalobo adalah Rumah adat Bena yang dimiliki oleh laki-laki dari keturunan
perempuan Bena. Bangunan memiliki ciri khas dengan adanya simbol patung kecil pada puncak
atap bangunan yang disebut Ata.
5. Sao Kaka adalah bangunan rumah yang digolongkan sebagai rumah pendukung dari
Saka Pu’u dan Sakalobo. Sao Kaka didirikan apabila keluarga tidak memiliki sua. Penghuni dari
Sao Kaka merupakan keluarga sampingan dari Saka Pu’u dan Sakalobo.
Kepercayaan Terhadap Tinggalan Megalitik Di Kampung Bena
Bukti peninggalan leluhur dapat ditemukan berupa menhir dan tahta bebatuan yang sangat unik.
Peninggalan megalitik tersebut antara lain :
1. Ture Sabarajo
Turesa Barajo merupakan salah satu makam leluhur pendiri kampung Bena yang ditampilkan
melalui susunan bebatuan yang membentuk lingkaran batu-batu runcing dan ditutup dengan
batu ceper diatasnya sebagai tempat persembahan.
2. Peo
Peo merupakan salah satu menhir yang terdapat di Kampung Bena. Batu runcing kecil satu buah
yang terdapat di depan Ngadhu dan Bagha. Menurut masyarakat setempat, Peo ini diibaratkan
sebagai anak dari pertemuan Ngadhu dan Bagha. Biasanya hewan kurban yang akan digunakan
sebagai kurban upacara diikat di Peo tersebut. Seperti misalnya Upacara pesta rumah adat
(Kasao), Kerbau yang akan disembelih tersebut diikat terlebih dahulu di Peo.
3. Ture dan Menhir
Susunan batu menyerupai bentuk kubur dilengkapi dengan dolmen dan menhir. Dolmen sebagai
batu perempuan dan menhir sebagai batu laki-laki.
4. Meri
Meri adalah batu diluar kampung yang berfungsi sebagai tempat diletakankanya ubi pada
upacara adat Reba.

Potensi yang Dimiliki


Potensinya adalah Keunikan yang dimiliki Kampung Adat Bena Bajawa yaitu kampung yang
masih memiliki bebatuan besar megalit yang masih tersisa dan terjaga keasliannya di bajawa.
dengan kata lain, kampung Bena masih menjaga keasliannya dengan kata lain kampung ini
masih banyak keaslian budaya megalit mulai dari kubur batu, upacara adat, bentuk rumah
maupun tata cara hidup. keunikan lainya kampung ini masih sangatlah asri dan hening
karenakan belum adanya teknologi yang di gunakan.
Akses menuju Desa Bena
Kampung Bena terletak kurang lebih 19 km arah selatan pusat kota ngada(bajawa) atau tepatnya
berada di desa kecamatan aimere Kab. Ngada perjalanan menuju ke kampung bena dengan
mengunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. medannya cukup hakus karena sudah
aspal hoxmtix, akan tetapi jalannya berkelok kelok dan naik turun. Namum jika anda baru saja
berwisata ke kota ende anda bisa naik tavel atau bis jurusan Ende-Bajawa dan turun di mataloko
selanjutnya anda bisa mengunakan jasa ojek untuk sampai ke kampung bena.
Rute penerbangan dari Kupang naik pesawat menuju Bajawa. dari bajawa anda dapat menyewa
mobil atau naik ojek untuk menuju ke kampung bena. Dari penerbangan Bali biasanya transit
Labuan Bajo naik trvel menuju Bajawa. dari bajawa anda dapat menyewa mobil atau naik ojek
untuk mmenuju ke kampung adat Bena. Perkampungan adat bena dibuka untuk para wisatawan
mulai dari pukul 08.00 – 17.00 wita. untuk tiket masuk belum ada tetapi untuk warga bena akan
meminta anda untuk mengisi dan memberikan sedikit donasi dan diberi seiklasnya pada kotak
yang telah di siapkan.
Fasilitas yang ada di sekitar Kampung Bena
1. Penginapan
Di kampung bena tidak tersedia dengan penginpan apalagi hotel karena di sekitar kampung bena
masih sangat terpencil dan masih berada di bawah kaki gunung. jadi para wisatawan sering
menginap di Kota Bajawa yang memliki hotel dan penginpan selain ada hotel dan peninginapan
jarak yang di tempuh ke kota bajawa juga tidak terlalu jauh dan juga hotelnya paling murah
hotel kambera milik pak haji hanya dengn sekitar 50-100 ribu per malam. namun jika anda
menginginkan hotel dengan fasilitas air hangat untuk mandi, maka anda bisa memilih hotel
Jhoni, hotel Edelweis, hotel Korina, hotel Bintang wisata dengan rentang harga antara 150 ribu
hingga 350 per malam.
2. Rumah Makan
Dilokasi tersebut juga tidak terdapat warung makan dan hanya ada warung kelontong dan
menjajakan makanan dan minuman ringan. jadi sebelum berangkat kesana kampung adat bena
pastikan anda selalu bawa bekal yang cukup. bagi yang kaum muslim sebaiknya makan di kota
bajawa karena disana terdapat banyak warung padang, maupun lamongan yang tentu terjamin
halalnya.
3. Arae Parkir
Kendaraan yang bisa langsung masuk di halaman pintu masuk rumah adat hanyalah kendaraan
beroda 2, sedangkan untuk mobil sudah diarahkan untuk parkir d bagian sebelah utara. area
parkirnya cukup luas.
4. WC umum
Disana juga terdapat beberapa buah kamar mandi.
5. Toko cindera mata
Kebanyakan para wanita di kampung bena merupakan penuan dengan motif kain adat bena
( bajawa ) yang memang untuk dijualan kepada wisatawan.
harga kain adat tersebut yang bisa dijadikan baju kurang lebih 600 ribuper potong.
Tips Berwisata Ke Kampung bena
1. Ketika memberikan donasi,sebaiknya anda memberikan uang kertas karena uang koin
tidak di gunakan lagi oleh masyarakat Kabupaten Ngada. dan berikan donasi sesuai keinginan
anda sendiri
2. Jika anda berencana menginap di kota bajawa, pastikan anda membawa pakaian yang
hangat karena suhu di kota bajawa cukup dingin terutama di malam hari.
3. Anda harus membawa bekal sendiri karena warung makan di kampung Bena cukup
terjangkau.
3. Tiga Pilar Pengembangan Pariwisata
Tiga pilar pengembangan pariwisata ;
1. Kebijakan pemerintah terhadap objek daya tarik wisata
Adalah menyediakan infrastruktur (tidak hanya dalam bentuk fisik), memperluas berbagai
bentuk fasilitas, kegiatan koordinasi antara operatur pemerintah denga pihak swasta pengaturan
dan peomosi umum keluar negeri.
2. Indastri
Sarana yang terdapat di daerah tujuan wisata hal ini sangat membantu kepariwisataan dalam
bidang ekonomi dan perlu di kembangkan industripariwisata yang menerapkan prinsip
berkelanjutan karena bisnis pelancong erat kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan.
3. Masyarakat
Merupakan ujung tombak objek daya tarik wisata, karena keberadaan pariwisata. Masyarakat
memiliki peranan penting dalam pembangunan pariwisata. Sebagaimana yang tercantum dalam
pariwisata berkelanjutan yang mana mengikut sertakan masyarakat sebagai salah satu aspek
penting dari tiga aspek lainya. Social comunity atau masyarakat memberikan dukungan
terhadap suatu kawasan Wisata Kamung Adat Bena, yang dapat berupa penyediaan tenaga
kerja, informasi, dan secara tidak langsung melakukan kegiatan promosi. Peran masyarakat juga
menjaga keasrian dan keindahan Kampung Adat Bena.
4. Korelasi Dengan Studium General Ekspetasi Pengembangan Pariwisata Dan
MICE Nasional 2045
1. Penataan Wilayah
Arsitektur tradisional rumah adat yang beratap alang-alang berpadu dengan susunan batu-batu
gunung menjadi bukit bahwa kampung ini merupakan sisa peradaban megalitikum yang masih
bertahan sampai sekarang.
2. Kehidupan masyarakat sekitar Kampung Adat Bena
Karena Kampung Adat Bena sudah menjadi terkenal karena destinasinya yang menakjubkan
dan juga membuat wisatawan lokal maupun asing yang sering berdatagan untuk menyaksikan
langsung keindahan dan keunikan Kampung Adat Bena. Hal ini membuat masyarakat sekitar
Kampung Adat Bena menjadi lebih moderen dan tidak ketinggalan jaman. Masyarakat setempat
juga memiliki gaya hidup yang baik dan juga penampilan yang sangat menarik. dan juga
kesembilan suku Bena yang hidup di kampung ini sangat harmonis, saling menghargai, bentuk
kebersamaan mereka semakin terlihat ketika terdapat pembangunan rumah adat.
3. Gaya Bahasa
Yang digunakan oleh masyarakat sekitar Kampung Adat Bena
Dalam keseharianya penduduk setempat lebih menggunakan Bahasa Nga’dha yaitu bahasa
kampung Bena dan masyarakat Bena sering mengunakan bahasa Indonesia setempat tapi ada
juga masyarakat yang bisa berbicara menggunakan bahasa inggris atau bahasa aing karena
hampir setiap saat masyarakat sekitar Bena bertemu dengan turis dan bisa beradaptasi dengan
turis.

3. Penutup
A. Simpulan
Kampung Adat Bena merupakan salah satu perkampungan adat yang ada di Kabupaten
Ngada yang saat ini masih memegang kuat tradisi budaya yang di warisnya dari nenek moyang
mereka. terletak di kaki gunung inerie, membuat kampung yang terkenal dengan rumah adat
bena yang tidak hanya menawarkan keunikan rumah dan tradisinya, tapi juga pemandangan
gunung inerie yang menabjukan mata setiap orang yang melihatnya. Banyak hal menarik yang
ada di kampung adat bena yang menjadikan para wisatawan penasaran dan ingin melihat secara
langsung keindahan dan keunikan tersebut, dan beberapa diantaranya karena kampung adat
bena sering melakukan tenunan kain yang bisa diajarkan kepada wisatawan yang datang, selain
itu juga di kampung adat bena sering melakukan upacara adat,ada pertunjukan tari-tarian dan
juga selalu melakukan upacara syukuran setiap tahun untuk perkerjaan mereka.Matapencaharian
masyarakat setempat yaitu, memenun kain serta bercocok tanam. Kampung Adat Bena yang
begitu unik, merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi wisatawan, sehingga ada ucapan,
keindahan dan keunikan Kampung Adat Bena yang sangat mempesona untuk para wisatawan
yang berkunjung. inilah yang di sebut dengan ciptaan Tuhan yang begitu besar kala
menciptakan Indonesia dengan tersenyum serta keindahan. Kampung adat bena juga banyak
menyajikan pemandangan yang sangat indah dan romantis. Sambil menikmati hembusan udara
sejuk menyegarkan, di tambah dengan pemandangan yang begitu menarik di kampung adat
tersebut. Dan juga di kota bajawa terdapat beberapa tempat penginapan, hotel, restorant dan
juga fasilitas lain yang di butuhkan.
B. Saran
Saran dari penulis dari semua pihak adalah :
a. Mengunjungi objek-objek wisata itu sangat penting karena bukan hanya untuk sekedar
berekreasi tetapi untuk menambah pengetahuan bagi kita agar mengetahui aspek budaya,
sosial maupun aspek lain yang terkandung di dalamnya. Maka mahasiswa sebaiknya lebih
banyak mengunjungi objek wisata di Indonesia untuk mempelajari obyek tersebut
b. Kembangkanlah potensi wisata yang ada di daerah anda masing-masing agar lebih dikenal
oleh parah wisatawan domestik maupun mancanegara.
c. Luangkanlah waktu anda untuk berwisata, karena dengan berwisata anda bisa merasa lebih
baik dan anda juga bisa mendapatkan pengetahuan yang mungkin sebelumnya belum anda
ketahui
d. Khusus dalam kegiatan Domestic case study, para mahasiswa diharapkan untuk aktif dalam
perjalanan obyek wisata karena menyangkut bidang yang kita geluti.

References
[1] Observasi di Kampung Adat Bena, 15-20 mei 2016
[2] Nugraha, B. S., & Putri, L. P. 2016. Analisis Dampak Lingkungan Dalam Kebijakan
Perlindungan Situs Ratu Boko Menuju Pengembangan Pariwisata yang Berkelanjutan. Jurnal
Kepariwisataan.
[3] Suhendroyono, S., & Nugraheni, N. 2016. Mixed Media Sebagai Alternatif Penciptaan Lukisan
di Museum Rudy Isbandi Surabaya. Jurnal Kepariwisataan, 10(2), 15-22.
[4] Susilo, Y. S., & Soeroso, A. (2014). Strategi pelestarian kebudayaan lokal dalam menghadapi
globalisasi pariwisata: Kasus Kota Yogyakarta. Jurnal Penelitian BAPPEDA Kota
Yogyakarta, 4, 3-11.
[5] Soeroso, A., & Susilo, Y. S. (2017). REVITALISASI POTENSI SAUJANA BUDAYA
KAWASAN PERDESAAN KREBET YOGYAKARTA BERBASIS PADA AKTIVITAS
EKO-EKONOMI. KINERJA, 12(1), 1-16.
[6] Isdarmanto, I. (2014). Strategi psikologis pengembangan Pariwisata Yogyakarta menuju Era
Globalisasi dan Asian Economy Community Year 2015. Jurnal Kepariwisataan, 8(3), 105-118.
[7] Isdarmanto, I. (2012). PENGEMBANGAN EKOWISATA DANAU SENTANI PAPUA. Jurnal
Kepariwisataan, 6(1), 41-48.
[8] Prakoso, A. A. (2016). Dampak Multiganda Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Daerah (RIPPARDA) terhadap Kepariwisataan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal
Kepariwisataan, 10(1), 1-26.
[9] Suhendroyono, S. (2014). EKOWISATA TAMAN NASIONAL LORENTZ PAPUA. Jurnal
Kepariwisataan, 8(1), 1-12.
[10] Prakoso, A. A. (2015). Pengembangan Wisata Pedesaan Berbasis Budaya Yang Berkelanjutan
Di Desa Wisata Srowolan Sleman. Jurnal Kepariwisataan, 9(2), 61-76.

Anda mungkin juga menyukai