Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
Pengertian nasionalisme di era globalisasi ini sudah semakin meluas. Hal tersebut
terjadi akibat adanya perubahan dari zaman kolonisasi hingga zaman era dekolonisasi
seperti sekarang ini. Jika di zaman kolonisasi sikap nasionalisme lebih terarah pada rasa
patriot untuk meraih kemerdekaan sehingga warga negara berbondong-bondong untuk
bersatu melawan penjajah. Sedangkan di zaman dekolonisasi semakin luas, ada yang
mengatakan sikap nasionalisme dalam hal ingin memisahkan diri dari suatu negara adalah
hal wajar di era dekolonisasi seperti sekarang ini. Rasa nasionalisme di antara suku-suku
yang berbeda. Rasa nasionalisme di antara perbedaan ekonomi, kultur dan ideologi adalah
bukti nyata perubahan makna nasionalisme yang semakin luas. Anderson mengemukakan
bahwa nasionalisme merupakan sebuah ide atas komunitas yang dibayangkan. Diera
globalisasi saat ini, gagasan komunitas yang dibayangkan (imagined communities) yang
diprakarsai oleh Ben Anderson secara langsung memberikan peran yang besar bagi
media.
Pendapat yang cukup terkenal adalah pendapat James G.Kellas yang mengartikan
bahwa nasionalisme adalah ideologi untuk membangun kesadaran rakyat akan sebuah
bangsa untuk memberikan seperangkat sikap dan suatu program tindakan nyata baik di
bidang ekonomi, hukum, kultur. 1
Dalam memahami arti nasionalisme sebaiknya kita melihat bagaimana nasionalisme
itu berdiri dari dua landasan utama. Landasan pertama berpacu dalam pengertian
nasionalisme kewarganegaraan, nasionalisme kewarganegaraan atau biasa disebut civic
nasionalisme adalah rasa persatuan dan kesatuan antar warga negara yang berlandaskan
persamaan senasib dan kesamaan cita-cita dalam sebuah negara. Hal ini biasanya
mendasari setiap warga negara untuk mempertahankan kesatuan dan keutuhan wilayah
sebuah negara. Landasan kedua berpacu dalam nasionalisme etnik atau disebut ethnic
nationalism yang berarti rasa memiliki sebuah etnik tertentu dalam sebuah negara.2
Ethnic nationalism sering dikaitkan dengan sebuah gerakan separatisme untuk
memisahkan diri dari sebuah negara. Kentalnya sikap etnisitas lebih mendominasi

1
Budi Winarno, 2011. Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Caps, hal.226-230
2
Anggresti-fisip12.web.unair.ac.id
ketimbang nasionalisme sebagai bagian dari sebuah negara. Hal tersebut berkaitan erat
dengan krisis identitas warga negara.
Dalam memahami sifat ethnic nationalism di Indonesia pada zaman globalisasi
seperti sekarang ini orang lebih suka disebut suku Aceh, Jawa, Betawi, Papua daripada
disebut sebagai orang Indonesia.3 Hal tersebut tentu memicu gerakan separatisme tumbuh
subur. Contohnya adalah kasus Papua yang sudah lama memperjuangkan diri untuk
memisahkan diri dari Indonesia. Banyak faktor yang mengakibatkan hal tersebut terjadi
salah satunya yang paling dominan adalah adanya ketidakadilan yang dirasakan dari
berbagai aspek.
BAB II
PEMBAHASAN
Papua sering disebut sebagai tanah yang terlupakan oleh beberapa tokoh seperti
mantan Residen Belanda di Irian Barat, Jan Ban Eechoud. Sebutan tanah terlupakan
memanglah benar karena dari dulu hingga sekarang Papua menjadi bagian yang
terlupakan oleh Indonesia. Dulu selama ratusan tahun Papua tidak memiliki kontak
dengan dunia luar yang mengakibatkan ratusan suku bangsa hidup dengan keragaman
suku dan bahasa dalam budaya yang mirip zaman batu. Kehadiran Papua dilupakan oleh
Belanda yang hanya menjadikan Papua tempat pembuangan bagi pejuang kemerdekaan
Indonesia. Kemudian ketika Papua secara sah menjadi bagian dari wilayah Indonesiapun
jauh dari perhatian sehingga kata-kata yang terlupakan mejadi momok penting
terciptanya nasionalisme di Papua.4
Sejarah nasionalisme di Papua, nasionalisme di sini adalah nasionalisme etnik yang
menganggap bahwa Papua layak menjadi sebuah negara yang berangkat dari kebanggaan
terhadap suku ketimbang negara hal tersebut tidak lepas dari peran masyarakat dan
beberapa organisasi seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka), dan PDP (Presidium
Dewan Papua). Secara garis besar tujuan didirikannya OPM dan PDP adalah meraih
kemerdekaan Papua dan memisahkan diri dari Indonesia. Bahkan organisasi ini didukung
penuh oleh sebagian besar masyarakat Papua. Hal tersebut yang membuat kualahan
pemerintah pusat dalam menanggani kasus seperti itu.

3
Josef,2005. Kebangsaan dan Globalisasi dalam DIplomasi, Yogyakarta:Kanisius, hal.23
4
Syamsul Hadi dkk,2006. Disintegarasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika
Internasional, Jakarta: Cires dan Yayasan Obor Indonesia, hal.97
Konflik yang terjadi di banyak belahan dunia salah satu penyebab utamanya adalah
diakibatkan oleh perasaan-perasaan etnisitas dan nasionalisme yang sering kali diawali
oleh marginalisasi, baik marginalisasi secara politik atau ekonomi. Hal yang menarik dari
etnisitas adalah seringkali membawa serta atribut agama. Ada suatu etnik yang mayoritas
memeluk agama tertentu sehingga konflik etnis seolah-olah menjadi konflik agama juga,
sebagai contoh konflik etnis-etnis yang ada di Indonesia merefleksikan hal ini di mana
konflik etnis dibalut dengan isu agama. Sebagai akibatnya, konflik tidak lagi melibatkan
dua atau lebih etnik, tetapi juga menyulut sentimen agama seperti halnya yang terjadi di
Ambon.
Rasa memiliki sebuah negara yang besar dari Sabang sampai Merauke seakan hanya
menjadi lagu kebangaan saja. Bhineka Tunggal Ika yang katanya berbeda-beda tetapi
tetap satu juga hanya menjadi semboyan yang tidak nyata. Pasalnya perbedaan ras, suku
dan agama itu justru meruncingkan masalah terutama di Papua sehingga memunculkan
gerakan-gerakan separatisme melalui organisasi baik itu OPM maupun PDP. Selain itu
ketidakmerataan kesejahteraan baik kesejahteraan sosial, ekonomi dan budaya adalah
akar masalah yang sulit dipecahkan oleh pemerintah Indonesia
Disaat bangsa ini memikirkan keutuhan negeri dan disaat maraknya kasus OPM dan
PDP yang semakin kompleks. Elite politik malah memikirkan partainya. Bagaimana
partai itu bisa tembus dikursi pemerintahan dan bagaimana elite politik bisa menguasai
negeri ini.5 Perebutan politik kekuasaan ini seakan mengesampingkan polemik internal
bangsa sendiri akibatnya berbagai kasus yang terjadi tidak pernah selesai bahkan semakin
rumit untuk diselesaikan.
Bentuk implikasi dari nasionalisme di Papua seperti pudarnya rasa percaya pada
pemerintah Indonesia memungkinkan gerakan-gerakan sepearatisme akan semakin luas
dan terus terjadi hingga Papua menjadi negara merdeka. Papua akan terus menyanyikan
lagu kebangsaan Indonesia Raya, mengibarkan bendera Indonesia dengan rasa penuh
khidmat dan jiwa nasionalisme yang tinggi manakala pemerintah Indonesia mau
memperbaiki polemik baik di bidang ekonomi,sosial maupun budaya di Papua yang
selama ini dinilai masih jauh dari harapan rakyat Papua.

5
Thung Ju Land an M Azzam Manan, 2011. Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di Indonesia Sebuah
Tantangan, Jakarta LIPI Press, hal.41
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kasus atau polemik yang terjadi di Papua menjadi PR besar dan menjadi sindiran atas
ketidakadilan yang terjadi di Indonesia. Indonesia tentu tidak ingin kasus terlepasnya
Timor Timur dari wilayah Indonesia ini terjadi lagi. Apalagi Papua yang menjadi sumber
utama baik di bidang ekonomi maupun sosial dan menyumbangkan begitu besar
pendapatan bagi pemerintah Indonesia. Jika hal ini dibiarkan maka tentu negara Papua
tidak akan mustahil menjadi sebuah negara merdeka. Meskipun secara yuriditas Papua
secara sah menjadi wilayah Indonesia melalui Resolusi PBB, namun tidak ada hal yang
mungkin di dunia ini selama ketidakadilan terus merajalela di Papua.
Pemerintah Indonesia tidak ingin bentuk nasionalisme di Papua adalah nasionalisme
etnik yang mengesampingkan nasionalisme kebangsaan. Nasionalisme etnik tentunya
sangat berbahaya terutama karena munculnya gerakan separatisme. Gerakan separatisme
selain mengancam keutuhan wilayah dan budaya Indonesia juga menimbulkan berbagai
dampak negatif seperti pembunuhan, perusakan gedung dan institusi sampai sikap acuh
tak acuh dan saling tidak mempercayai.
2. Saran
Sebagai akademisi di perguruan tinggi seharusnya kita peka terhadap isu-isu yang
melanda negeri ini. Peran pemerintah saja tidak cukup dalam menanggani kasus
nasionalisme etnik di Papua. Sebagai akademisi seharusnya kita punya andil dalam
mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai hanya pro elite politik saja. Tugas
mahasiswa sebagai agent of change sangat dibutuhkan dalam membenahi Indonesia agar
lebih baik lagi.
Selain itu yang terpenting adalah mahasiswa-mahasiswa Papua baik yang menimba
ilmu di Papua atau di luar Papua agar lebih pro pemerintah dalam memperbaiki kebijakan-
kebijakan pembangunan pemerintah Indonesia di Papua baik di bidang ekonomi, sosial,
maupun budaya di Papua. Bukannya mendukung gerakan separatisme dan mendukung
Papua sebagai negara merdeka. Meskipun rakyat Papua memiliki hak penuh bukan berarti
rakyat Papua lupa akan kewajibannya sebagai warga negara yang baik dan taat terhadap
hukum.Tentunya gerakan nasionalisme etnik di Papua tidak akan pernah terjadi manakala
pemerintah Indonesia lebih adil dan transparan dalam menjalankan kebijakannya.
Daftar Pustaka
Anggresti-fisip12.web.unair.ac.id

Hadi, Syamsul dkk. Disintegarasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika
Internasional. Jakarta: Cires dan Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Ju Lan, Thung dan M Azzam Manan. Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di Indonesia Sebuah
Tantangan. Jakarta: LIPI Press, 2011.

Josef. Kebangsaan dan Globalisasi dalam DIplomasi. Yogyakarta:Kanisius, 2005.

Winarno, Budi. Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Caps, 2011.


Lampiran
1.1.Sejarah Nasionalisme Etnik di Papua
Papua sering disebut sebagai tanah yang terlupakan oleh beberapa tokoh seperti
mantan Residen Belanda di Irian Barat, Jan Ban Eechoud. Sebutan tanah terlupakan
memanglah benar karena dari dulu hingga sekarang Papua menjadi bagian yang
terlupakan oleh Indonesia. Dulu selama ratusan tahun Papua tidak memiliki kontak
dengan dunia luar yang mengakibatkan ratusan suku bangsa hidup dengan keragaman
suku dan bahasa dalam budaya yang mirip zaman batu. Kehadiran Papua dilupakan oleh
Belanda yang hanya menjadikan Papua tempat pembuangan bagi pejuang kemerdekaan
Indonesia. Kemudian ketika Papua secara sah menjadi bagian dari wilayah Indonesiapun
jauh dari perhatian sehingga kata-kata yang terlupakan mejadi momok penting
terciptanya nasionalisme di Papua.6
Sejarah nasionalisme di Papua, nasionalisme di sini adalah nasionalisme etnik yang
menganggap bahwa Papua layak menjadi sebuah negara yang berangkat dari kebanggaan
terhadap suku ketimbang negara hal tersebut tidak lepas dari peran masyarakat dan
beberapa organisasi seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka), dan PDP (Presidium
Dewan Papua). Secara garis besar tujuan didirikannya OPM dan PDP adalah meraih
kemerdekaan Papua dan memisahkan diri dari Indonesia. Bahkan organisasi ini didukung
penuh oleh sebagian besar masyarakat Papua. Hal tersebut yang membuat kualahan
pemerintah pusat dalam menanggani kasus seperti itu.
Kilas OPM tidak lepas dari peristiwa penyerangan terhadap Batalyon 751 di
Manokwari 1965. Penyerangan ini pimpin oleh Sersan Mayor Parmenas Ferry Awon dari
suku Arfak yang mengeluh karena adanya ketimpangan dari sektor ekonomi di suku
Arfak tersebut. Peristiwa penyerangan ini meluas hingga ke daerah Sorong, Fakfak,
Merauke, Jayawijaya, dan Jayapura. Tidak hanya aksi saling menyerang tapi juga aksi
pengibaran bendera Papua Barat, Penempelan dan penyebaran pamphlet disepanjang
perbatasan Papua New Guinea, aksi perusakan gedung pemerintah dan sebagainya.
Akibatnya delapan anggota ABRI terbunuh pada waktu itu.7
Tidak hanya OPM, PDP juga melancarkan aksi protes terhadap pemerintah Indonesia
apalagi seteleh Theys Eluai, pemimpin organisasi PDP ditemukan meninggal secara

6
Syamsul Hadi dkk,2006. Disintegarasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika
Internasional, Jakarta: Cires dan Yayasan Obor Indonesia, hal.97
7
Ibid, hal.102
misterius. Masyarakat Papua menduga kalau kematian Theys Eluai berkaitan dengan
TNI. Namun anehnya kasus Theys dicabut oleh pengadilan setelah pihak keluarga
melaporkan kasus pelanggaran HAM dan pembunuhan. Pengadilan tidak menemukan
bukti apa-apa yang menyatakan kalau Theys tewas dibunuh. Sehingga kasus tersebut
hilang begitu saja. Namun bukan berarti gerakan PDP musnah seiring ditutupnya kasus
Theys, bahkan gerakan ini terus berjalan sesuai misinya yakni ingin memisahkan diri dari
8
Indonesia.
1.2. Faktor Nasionalisme Etnik di Papua
Papua sebagai salah satu bagian Negara Indonesia sebelah ujung timur mengalami
perubahan nama, mulai dari Irian Barat, kemudian berubah menjadi Irian Jaya, namun
sekarang lebih dikenal sebagai Papua karena letaknya yang bersebelahan dengan Papua
New Guinea. Letaknya yang sangat jauh dari pusat ibukota membuat Papua tumbuh pesat
secara mandiri. Sehingga secara tidak langsung mengukuhkan rasa nasionalisme di
Papua, bukan nasionalisme kebangsaan atau kewarganegaraan melainkan nasionalisme
etnik.
Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya rasa nasionalisme etnik yang begitu
kuat pada masyarakat Papua. Faktor pertama adalah faktor historis. Historis Papua tidak
lepas dari campur tangan pemerintah Belanda yang pada waktu penjajahan mendirikan
sekolah pamong praja. Puncaknya adalah ketika pemerintahan Belanda membentuk
Committee Road/komite rakyat yang mana rakyat Papua sudah menyiapkan perlengkapan
kemerdekaan Papua atas Belanda. Rakyat Papua sudah membuat bendera nasional, lagu
kebangsaan dan lambang negara.9 Namun pada akhirnya Papua diakui secara sah sebagai
bagian dari Negara Indonesia melalui Resolusi PBB No.2504 (XXIV) pada 19 November
1969. Hal tersebut memunculkan organisasi pembebasan papua atau biasa dikenal OPM.
OPM meyakini bahwa menurut historis dan ramalan suku Papua menyebutkan bahwa
Papua tidak akan makmur jika dikendalikan oleh pemerintahan Belanda maupun
pemerintahan Indonesia.
Faktor kedua adalah faktor kekacauan ekonomi. Selama ini kita tahu bahwa PT
Freeport yang menjadi andalan pendapatan ekonomi pemerintah Indonesia tidak
dirasakan oleh rakyat Papua secara menyeluruh. Pasalnya hasil dari penambangan PT

8
Ibid, hal.106
9
Ibid, hal.111
Freeport dialokasikan untuk kebutuhan ekonomi dan pembangunan umum di Jakarta dan
sebagian besar dialokasikan untuk Amerika Serikat yang mempunyai kontrak lama di
tanah Papua. Tidak hanya itu pekerja yang dipekerjakan di PT Freeport bukanlah rakyat
asli Papua melainkan pendatang baru. Sehingga hal tersebut memicu kecemburuan
ekonomi rakyat Papua.
Faktor ketiga adalah diskriminasi sosial dan budaya. Pemerintah Indonesia
melakukan kebijakan transmigrasi ke Papua yang mengakibatkan sebagian rakyat Papua
merasa didiskriminasi. Pendatang baru di Papua mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan
(HPH) yang menjadikan hutan-hutan di Papua sebagai ladang bisnis sehingga
mengakibatkan kerusakan lingkungan dan berdampak pada rakyat asli Papua yang
mengandalkan hutan untuk hidup sehari-hari. Selain itu tindakan transmigrasi
menggeserkan kesempatan rakyat Papua asli untuk hidup lebih baik karena mulai dari
institusi pemerintahan, perusahaan diisi oleh pendatang baru. Bahkan menurut catatan
Departemen Sosial, sekitar 40 % rakyat asli Papua tinggal di daerah pinggiran kota dan
mengalami kemiskinan sedangkan bantuan dari pemerintah tidak sampai kepada
mereka.10

10
Ibid, hal.113-117

Anda mungkin juga menyukai