Dina Cantik
Dina Cantik
PENDAHULUAN
Perawat juga harus tau apa saja yang harus dilakukan, untuk inilah kami
kelompok mengangkat model konseputual jiwa interpersonal yang dimana model
konsep ini erat sekali dengan teori Hildegard E. Peplau. sehingga perawat memiliki
gambaran untuk melakukan tindakan keperawatan yang tepat.
II.I Tujuan
KONSEP TEORI
B. Menurut WHO
Kesehatan Jiwa bukan hanya suatu keadaan tdk ganguan jiwa, melainkan
mengandung berbagai karakteristik yg adalah perawatan langsung, komunikasi
dan management, bersifat positif yg menggambarkan keselarasan dan
keseimbangan kejiwaan yg mencerminkan kedewasaan kepribadian yg
bersangkutan.
1. Fase Orientasi
Fase ini, perawat dan klien bertindak sebagai 2 individu yang belum saling
mengenal. Selama fase orientasi, klien merupakan seseorang yang memerlukan
bantuan profesional dan perawat berperan membantu klien mengenali dan
memahami masalahnya serta menentukan apa yang klien perlukan saat itu. Jadi,
fase orientasi ini merupakan fase untuk menentukan adanya masalah,dimana
perawat dan klien melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan
terjadi proses pengumpulan data.
Fase orientasi dipengaruhi langsung oleh sikap perawat dan klien dalam
memberi atau menerima pertolongan. Selain itu fase ini juga dipengaruhi oleh ras,
budaya, agama, pengalaman, latar belakang, dan harapan klien maupun perawat.
Akhir dari fase ini adalah perawat dan klien bersama-sama mengidentifikasi
adanya masalah serta menumbuhkan rasa saling percaya sehingga keduanya
siap untuk melangkah ke fase berikutnya.
a) Salam terapeutik
c) Kontrak (topik,waktu,tempat)
2. Fase Kerja
Fase kerja adalah fase dimana seorang ners melakukan inti terapeutik
dalam berkomunikasi dengan topik atau tujuan sesuai dengan strategi
pelaksanaan yang telah ditetapkan berdasarkan diagnosa keperawatan jiwa.
Prinsip tindakan pada fase ini adalah menggali, memahami keadaan klien
dan mencegah meluasnya masalah. Perawat mendorong klien untuk menggali dan
mengungkapkan, perasaan, emosi, pikiran, serta sikapnya tanpa paksaan dan
mempertahankan suasana terapeutik yang mendukung.
Fase kerja dimana perawat telah membantu kalien dalam membereikan
gambaran kondisi klien.
3. Fase Terminasi/Resolusi
Pada fase resolusi, tujuan bersama antara perawat dan klien sudah sampai
pada tahap akhir dan keduanya siap mengakhiri hubungan terapeutik yang selama
ini terjalin. Fase resolusi terkadang menjadi fase yang sulit bagi kedua belah pihak
sebab disini dapat terjadi peningkatan kecemasan dan ketegangan jika ada hal-
hal yang belum terselesaikan pada masing-masing fase. Indikator keberhasilan
untuk fase ini adalah jika klien sudah mampu mandiri dan lepas dari bantuan
perawat. Selanjutnya, baik perawat maupan klien akan menjadi individu yang
matang dan lebih berpengalaman.
Fase resolusi dimana perawat berusaha untuk secara bertahan klien untuk
membebaskan diridari kertegantungan kepada tenaga kesehatan dan
menggunakan kemampuan yang dimliki agar mampu menjalankan secara sendiri.
Pada suatu hari tepatnya hari minggu jam 9 pagi dirumah sakit jiwa Lawang
terlihat seorng bapak dan ibu sedang menunngui anaknya yang mengalami
gannguan halusinasi di ruang kamar pasien.
1. Orientasi
a) Salam Terapeutik
Perawat : saya perwat dina,saya yang merwat anak bapak dan Ibu
Ibu : saya merasa sedih sus melihat anak saya seperti ini.
Ibu : anak saya masih masih sering menyendiri dan berbicara sendiri
tiba-tiba berteriak teriak..
Ibu : iya sus saya takutdengan kondisi anak kami yang seperti ini.
c) Kontrak
Perawat : Hari ini kita akan berdiskusi tentang masalah apa yang anak bapak
dan ibu alami dan bantuan apa yang bapak dan ibu bisa berikan’’
Perawat : apa yang bapak /ibu rasakan menjadi maslah dalam merwat ’’W”?
Bapak : kami masih belum bisa menghadapi anak kami saat berbicara
sendiri dan berteriak teriak sendiri.
Perawat : ya, gejala yang dialami oleh anak bapak/ibu itu itu dinamakan
halusinsi pendengaran yaitu mendengar sesuatu yang sebetulnya
tidak ada yang berbicara.”tanda tandanya bicara dan tertawa
sendiri atau marah marah tanpa sebab.jadi kalau anak bapak /ibu
mendengar suara-suara,sebenarnya suara itu tidak ada.
Perawat : Penyebabnya harga diri rendah bu. Anak ibu merasa harga dirinya
rendah sehingga anak ibu menarik diri kemudian timbul halusinasi.
Perawat :Ada beberapa cara untuk membantu anak Bapak/ibu agar bisa
mengendalikan halusinasi.
Kedua, jangan biarkan anak bapak/ibu melamun dan sendiri, karena kalu
melamun halusinasi akan muncul lagi. Upayakan ada orang mau bercakap-cakap
dengannya. Buat kegiatan keluarga seperti makan bersama, sholat bersama-sam.
Tentang kegiatan, saya telah melatih anak bapak/ibu untuk membuat jadwal
kegiatan sehari-hari. Tolong bapak/ibu pantau pelaksanaannya. Yaa……dan
berikan pujian jika dia lakukan! Apakah ibu mengerti?
Ibu : Iya sus saya mengerti, saya akan melakukan sesuai saran suster
dan memantaunya.
Perawat : Cara yang ketiga yaitu bantu anak bapak/ibu minum obat secara
teratur. Jadi bapak/ibu dapat mengingatkan kembali, ya
babak/ibu...
Bapak : Iya sus, kami akan selalu mengingatkan anak kami agar selalu
minum obat. Karena kami sangat mengharapkan anak kami cepat
sembuh. Kami sangat sedih sekali dengan kondisi anak kami yang
seperti ini. Oh ya sus, obatnya apa saja?
Perawat : Obatnya ada 3 macam, ini yang orange namanya CPZ gunanya
untuk menghilangkaan suara-suara. Diminum 3x sehari pada jam 7
pagi, jam 1 siang, dan jam 7 malam. Yang putih namanya THP
gunanya membuat rileks, jam minumnya sama dengan CPZ tadi.
Yang biru namanya HP gunanya menenangkan cara berfikir, jam
minumnya sama dengan CPZ. Obatnya perlu selalu diminum untuk
mencegah kekambuhannya pak/bu, apakah ibu dan bapak sudah
mengerti?
Perawat : Yang terakhir, bila ada tanda-tanda halusinasi mulai muncul, putus
halusinasi anak bapak/ibu dengan cara menepuk punggung anak
bapak/ibu.Suruhlah anak bapak/ibu menghardik suara tersebut.
Anak bapak/ibu sudah saya ajarkan cara halusnasi.
3. Terminasi
a) Evaluasi Subyektif
Ibu : Perasaan saya lebih baik dari sebelumnya, dan kekhawatiran saya
menjadi berkurang karena sudah mengetahui cara-cara untuk
memutus halusinasi ketika halusinasi anak kami muncul.
b) Evaluasi Obyektif
c) Kontrak
§ Topik
Perawat : “Baiklah, waktu kita sudah habis, bagaimana kalau dua hari lagi
kita bertemu untuk mempraktekkan cara memutus halusinasi
langsung dihadapan anak bapak/ibu?”
§ Tempat
§ Waktu
Perawat : Wa’alaikumsalam….
PENUTUP
III.I Kesimpulan
Teori Hildegard Peplau (1952) berfokus pada individu, perawat, dan proses
interaktif (Peplau, 1952) yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien
(Torres, 1986). Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan
perasaan, dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik.
Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bisa muncul akibat
adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety).
Ansietas timbul dan alami seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan
dengan orang lain (interpersonal).
Tujuan keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga dan untuk
membantu klien mencapai kemantapan pengembangan kepribadian (Chinn dan
Jacobs, 1995). Teori dan gagasan Peplau dikembangkan untuk memberikan
bentuk praktik keperawatan jiwa. Oleh sebab itu perawat berupaya
mengembangkan hubungan antara perawat dan klien dimana perawat bertugas
sebagai narasumber, konselor, dan wali.
III.II Saran
A. Perawat
B. Mahasiswa perawat
Makalah ini sangat bagus untuk dibaca sebagai pedoman kita dalam
memahami teori peplau mengenai konseptual model keperawatan jiwa
interpersonal, Sehingga kedepan nanti kita bisa berkerja dengan baik,dan
hubungan interpersonal yang kita lakukan baik. Sehingga kita bisa memberikan
keperawatan yang baik kepada pasien.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kecepatan informasi dan mobilitas manusia di era modernisasi saat
ini begitu tinggi sehingga terjadi hubungan social dan budaya. Hubungan
social antar manusia dirasakan menurun akhir – akhir ini, bahkan kadang-
kadang hanya sebatas imitasi saja. Padahal bangsa Indonesia yang
mempunyai / menjunjung tinggi adat ketimuran sangat memperhatikan
hubungan social ini. Dengan demikian kita patut waspada dari kehilangan
identitas diri tersebut. Perubahan yang terjadi tadi dapat membuat rasa
bingung karena muncul rasa tidak pasti antara moral, norma,nilai – nilai dan
etika bahkan juga hokum. Menurut Dadang Hawari ( 1996 ) hal – hal
tersebut dapat menyebabkan perubahan psikososial, antara lain : pola
hidup social religious menjadi materialistis dan sekuler. Nilai agama dan
tradisional diera modern menjadi serba boleh dan seterusnya.
PEMBAHASAN
2. Mesir
Kira –kira dalam tahun 1500 SM terdapat tulisan tentang orang yang
sudah tua, sebagai berikut: “... hati menjadi berat dan tidak dapat mengingat
lagi hari kemarin”. Dalam tahun-tahun berikutnya di sana di dirikan
beberapa buah kuil yang terkenal dengan nama “Kuil Saturn” untuk
merawat orang dengan gangguan jiwa
3. Yunani
Hippocrates (460-357 SM) yang sekarang di anggap sebagai bapak
ilmu kedokteran yang terkenal karena rumus sumpah dokternya telah
menggambarkan gejala- gejala melancholia dan berpendapat bahwa
penyakit ayan itu bukanlah suatu penyakit keramat akan tetapi mempunyai
penyebab alamiah seperti penyakit lain.Dalam kuil-kuil yang di pakai
sebagai tempat perawatan pasien dengan gangguan jiwa di gunakan hawa
segar, air murni dan sinar matahari serta musik yang menarik dalam
pengobatan para penderita itu. Dalam jaman romawi pada waktu itu di
lakukan “pengeluaran darah dan mandi belerang”. Setelah jatuhnya
kebudayaan yunani dan romawi, dan ilmu kedokteran mengalami
kemunduran. Penderita gangguan jiwa di ikat, di kurung, di pukuli atau
dibiarkan kelaparan. Ada yang di masukan ke dalam sebuah tong lalu di
gulingkan dari atas bukit ke bawah ada yang di cemplungkan ke dalam
sungai secara mendadak dari atas jembatan.
4. Negara-negara Arab
Di pakai cara-cara yang lebih berprikemanusiaan. Mereka memakai
tempat pemandian, diit, obat-obatan , wangi-wangian, dan musik yang
halus dalam suasana yang santai.
5. Eropa
Pada abad ke -17 dan 18 di dirikan rumah perawatan penderita
gangguan jiwa yang dinamakan “rumah amal”, “ rumah kontrak” atau “suaka
duniawi”. Cara pengobatan yang populer pada waktu itu ialah “ pengeluaran
darah “, penderita di pakaikan “ “pakaian gila” dan di cambuk.
6. Prancis
Pada akhir revolusi abad ke- 18 terjadi perubahan dalam tempat
penampungan penderita gangguan jiwa. PHILLIPE PINEL (1745- 1826)
menjadi pengawas rumah sakit Bicetre ( untuk penderita pria) dan
kemudian pada Salpetriere ( untuk penderita wanita). Keduanya di huni oleh
penjahat , penderita retradasi mental dan penderita gangguan jiwa.
Tindakan pertama pinel ialah melepaskan penderita gangguan jiwa dari
belenggu mereka.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa Perkembangam keperawatan di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi
sosial ekonomi yaitu pada saat penjajahan kolonial Belanda, Inggris dan Jepang.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat berasal dari penduduk
pribumi yang disebut Velpeger dengan dibantu Zieken Oppaser sebagai penjaga
orang sakit.
Dalam pendekatan keperawatn jiwa kita menggunakan beberapa model
konseptual yaitu Psycoanalytical (Freud, Erickson), Interpersonal ( Sullivan,
peplau), Social ( Caplan, Szasz), Existensial ( Ellis, Rogers), Supportive Therapy
( Wermon, Rockland), Medica ( Meyer, Kraeplin)
B. Saran
Kita sebagai perawat tidak boleh lupa akan sejarah perjuangan
keperwatan jiwa yang selalu dipandang sebalah mata terhdapa khalayak
umum & harus terkobarkan semangat juang membantu orang yang
mengalami gangguan jiwa untuk sembuh seperti semula.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi
kausal, suatu penyakit dengan berbagai penyebab yang sangat bervariasi. Kausa
gangguan jiwa selama ini dikenali meliputi kausa pada area organobiologis, area
psikoedukatif, dan area sosiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab
perilaku maladaptif digambarkan sebagai tahapan mulai adanya faktor
predisposisi, faktor presipitasi dalam bentuk stressor pencetus, kemampuan
penilaian terhadap stressor, sumber koping yang dimiliki, dan bagaimana
mekanisme koping yang dipilih oleh seorang individu. Dari sini kemudian baru
menentukan apakah perilaku individu tersebut adaptif atau maladaptif.
Banyak ahli dalam kesehatan jiwa memiliki persepsi yang berbeda-beda
terhadap apa yang dimaksud gangguan jiwa dan bagaimana gangguan perilaku
terjadi. Perbedaan pandangan tersebut tertuang dalam bentuk model konseptual
kesehatan jiwa. Pandangan model psikoanalisa berbeda dengan pandangan
model social, model perilaku, model eksistensial, model medical, berbeda pula
dengan model stress – adaptasi. Masing-masing model memiliki pendekatan unik
dalam terapi gangguan jiwa.
Berbagai pendekatan penanganan klien gangguan jiwa inilah yang
dimaksud dengan terapi modalitas. Suatu pendekatan penanganan klien
gangguan yang bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa
dengan perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif (Dahlia Majnun,
2009).
B. Tujuan Masalah
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami Terapi Modalitas
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian Terapi Modalitas
b. Mahasiswa mampu memahami tujuan Terapi Modalitas
c. Mahasiswa mampu mengimplementasikan jenis Terapi Modalitas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5. Lingkungan Psikososial
Lingkungan yang kondusif yaitu fleksibel dan dinamis yang
memungkinkan pasien berhubungan dengan orang lain dan dapat mengambil
keputusan serta toleransi terhadap tekanan eksternal.
a. Komunikasi terapeutik, sikap bersahabat dan perasaan empati.
b. Observasi pasien tiap 15 menit.
c. Jelaskan tujuan pengikatan/pengekangan secara berulang-ulang.
d. Penuhi kebutuhan fisik pasien.
e. Libatkan keluarga.
d. Terapi musik
g. Pettherapy
Terapi ini bertujuan untuk menstimulasi respon pasien yang tidak mampu
mengadakan hubungan interaksi dengan orang-orang dan pasien biasanya
merasa kesepian, menyendiri.
h. Planttherapy
Terapi ini bertujuan untuk mengajar pasien untuk memelihara segala
sesuatu/mahluk hidup, dan membantu hubungan yang akrab antara satu pribadi
kepada pribadi lainnya.
2. Terapi Keluarga
a. Pengertian
Terapi keluarga adalah model terapi yang bertujuan mengubah pola
interaksi keluarga sehingga bisa membenahi masalah-masalah dalam keluarga
(Gurman, Kniskern & Pinsof, 1986).
Terapi keluarga merupakan pendekatan terapeutik yang melihat masalah
individu dalam konteks lingkungan khususnya keluarga dan menitik beratkan pada
proses interpersonal. Tetapi keluarga merupakan intervensi spesifik dengan tujuan
membina komunikasi secara terbuka dan teraksi keluarga secara sehat.
b. Tujuan
1. Menurunkan konflik kecemasan keluarga
2. Meningkatkan kesadaran keluarga terhadap kebutuhan masing-masing anggota
keluarga.
3. Meningkatkan kemampuan penanganan terhadap krisis.
4. Mengembangkan hubungan peran yang sesuai
5. Membantu keluarga menghadapi tekanan dari dalam maupun dari luar anggota
keluarga.
6. Meningkatkan kesehatan jiwa keluarga sesuai dengan tingkat perkembangan
anggota keluarga.
c. Perkembangan
Penelitian mengenai terapi keluarga dimulai pada tahun 1950-an oleh
seorang Antropologis bernama Gregory Bateson yang meneliti tentang pola
komunikasi pada keluarga pasien skizofrenia di Palo Alto, California.
Pada pertengahan 1970-an, masyarakat prefesional mulai menganggap
serius perspektif dan terapi keluarga. Sejalan dengan itu, buku-buku dan artikel-
artikle bermunculan, begitu juga program pelatihan terapi keluarga (Gale dan
Long, 1996)
Munculnya buku-buku semipopuler sejak tahun 1968 hingga 1992
memberikan pandangan dan proses yang melekat pada kehidupan perkawinan
dan pasangan yang senantiasa berubah.
Perkembangan dari fokus pada individu, psikodinamik berdasarkan
psikoterapi ke fokus pada keluarga sebagai unit dari terapi, dikemukakan of Jones
sebagai " Sceentific Revoketion ".
f. Teknis
Terapi keluarga dilakukan dengan menggunakan tehnik berikut :
Terapi Keluarga Berstruktur.
Terapi keluarnya berstruktur adalah suatu kerangka teori tehnik
pendekatan individu dalam konteks sosialnya.
Tujuan adalah mengubah organisasi keluarga.
Terapi keluarga berstruktur memepergunakan proses balik antara lingkungan dan
orang yang terlibat perubahan– perubahan yang ditimbulkan oleh seseorang
terhadap sekitarnya dan cara–cara dimana umpan balik terhadap perubahan
perubahan tadi mempengaruhi tindakan selanjutnya. Terapi keluarga
mempergunakan tehnik – tehnik dan mengubah konteks orang–orang terdekat
sedemikian rupa sehingga posisi mereka berubah dengan mengubah hubungan
antara seseorang dengan konteks yang akrab tempat dia berfungsi, kita
mengubah pengalaman subyektifnya.
Terapi Individu / Perorangan
Melihat individu sebagai suatu tempat yang patologis dan mengumpulkan
data yang di peroleh dari atau tentang individu tadi.
Pada terapi perorangan dilakukan pengungkapan pikiran dan perasaan tentang
kehidupannya sekarang, dan orang – orang didalamnya. Riwayatnya
perkembangan konfliknya dengan orang tua dan saudara – saudaranya.
Bila akan dirujuk ke dalam terapi keluarga maka terapist akan mengekporasi
interaksi individu dalam konteks hidup yang berarti.
Dalam wawancara keluarga terapist mengamati hubungan individu dengan
anggota keluarga lainnya dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga.
h. Karakteristik
1. Mempertahankan keseimbangan, fleksibel & adaptif perubahan tahap transisi
dalam hidup.
2. Problem emosi merupakan bagian dari fungsi tiap individu
3. Kontak emosi dipertahankan oleh tiap generasi & antar keluarga
4. Hubungan antar keluarga yang erat & hindari menjauhi masalah
5. Perbedaan antar anggota keluarga mendorong untuk meningkatkan
pertumbuhan & kreativitas individu.
6. Orang tua & anak hubungan terbuka.
i. Peran Perawat
1. mendidik kembali dan mengorientasikan kembali seluruh anggota keluarga
2. memberikan dukungan kepada klien serta sistem yang mendukung klien untuk
mencapai tujuan dan usaha untuk berubah
3. mengkoordinasi dan mengintegrasikan sumber pelayanan kesehatan.
4. memberi penyuluhan, perawatan di rumah, psiko edukasi, dll.
Aktifitas :
1. Komponen dikdaktik : memberikan informasi & pendkes tentang gangguan jiwa,
sistem keswa & yankep.
2. Komponen ketrampilan : latihan komunikasi, asertif, menyelesaikan konflik,
mengatasi perilaku & stress
3. Komponen emosi : memberikan kesempatan untuk memvalidasi perasaan &
bertukar pengalaman
4. Komponen proses keluarga fokus pada koping keluarga & gejala sisa terhadap
keluarga.
5. Komponen sosial : meningkatkan penggunaan dukungan jaringan
formal/informal untuk klien & keluarga
3. Terapi Okupasi
a. Pengertian
Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan
partisipasi seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan.
Terapi ini berfokus pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada
seseorang, pemeliharaan dan peningkatan bertujuan untuk membentuk
seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang lain (Riyadi dan
Purwanto, 2009).
2. Aktivitas
Aktivitas adalah segala macam aktivitas yang dapat menyibukan
seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan
berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasan emosional maupun fisik. Oleh
karena itu setiap aktivitas yang digunakan harus mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
a. Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi, bukan
hanya sekedar menyibukkan klien.
b. Mempunyai arti tertentu bagi klien, artinya dikenal oleh atau ada hubungannya
dengan klien.
c. Klien harus mengerti tujuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa kegunaanya
terhadap upaya penyembuhan penyakitnya.
d. Harus dapat melibatkan klien secara aktif walaupun minimal.
e. Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi klien, bahkan harus dapat
meningkatkan atau setidaknya memelihara kondisinya.
f. Harus dapat memberi dorongan agar klien mau berlatih lebih giat sehingga dapat
mandiri.
g. Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.
h. Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan
kemampuan klien.
d. Katakteristik
Riyadi dan Purwanto, (2009), mengemukakan bahwa karateristik dari
aktivitas terapi okupasi, yaitu: mempunyai tujuan jelas, mempunyai arti tertentu
bagi klien, harus mampu melibatkan klien walaupun minimal, dapat mencegah
bertambah buruknya kondisi, dapat memberi dorongan hidup, dapat dimodifikasi,
dan dapat disesuaikan dengan minat klien.
e. Analisa Aktivitas
Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa analisa dari kegiatan terapi
okupasi, meliputi: jenis kegiatan yang dilakukan seperti latihan gerak badan atau
pekerjaan sehari-hari, maksud dan tujuan dari kegiatan dilakukan dan manfaatnya
bagi klien, sarana atau alat atau aktivitas dilakukan disesuaikan dengan jenis
kegiatan yang dilakukan, persiapan terhadap sarana pendukung dan klien maupun
perawat, pelaksanaan dari kegiatan yang telah direncanakan, kontra indikasi dan
disukai klien atau tidak disukai yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki
oleh klien.
f. Tindakan Terapi
Adapun proses dari terapi okupasi, sebagai berikut:
1. Pengumpulan data, meliputi data tentang identitas klien, gejala, diagnosis,
perilaku dan kepribadian klien. Misalnya klien mudah sedih, putus asa, marah.
2. Analisa data dan identifikasi masalah dari data yang telah dikaji ditegakkan
diagnosa sementara tentang masalah klien maupun keluarga.
3. Penentuan tujuan dan sasaran dari diagnosa yang ditegakkan dapat dibuat
sasaran dan tujuan yang ingin dicapai.
4. Penentuan aktivitas jenis kegiatan yang ditentukan harus disesuaikan dengan
tujuan terapi.
5. Evaluasi kemampuan klien, inisiatif, tanggungjawab, kerjasama, emosi dan
tingkah laku selama aktivitas berlangsung. Dari hasil evaluasi rencanakan kembali
kegiatan yang sesuai dan akan dilakukan. Evaluasi dilakukan secara periodik,
misalnya 1 minggu sekali dan setiap selesai melaksanakan kegiatan.
g. Pelaksanaan Terapi
Terapi okupasi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok
tergantung dari kondisi klien dan tujuan terapi.
1. Metode
a. Individual: dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum mampu berinteraksi
dengan kelompok dan klien lain yang sedang menjalani persiapan aktivitas.
b. Kelompok: klien dengan masalah sama, klien yang lama dan yang memiliki tujuan
kegiatan yang sama. Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok
kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang (Keliat dan Akemat, 2005).
Jumlah anggota kelompok kecil menurut Stuart dan Laraia (2001, dalam Keliat dan
Akemat, 2005) adalah 7-10 orang, Rawlins, Williams, dan Beck (1993, dalam
Keliat dan Akemat, 2005) menyatakan jumlah anggota kelompok adalah 5-10
orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota
mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan
pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang
terjadi. Johnson (dalam Yosep, 2009) menyatakan terapi kelompok sebaiknya
tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan reaksi interpersonal yang terbaik
terjadi pada kelompok dengan jumlah sebanyak itu. Apabila keanggotaanya lebih
dari 10, maka akan terlalu banyak tekanan yang dirasakan oleh anggota sehingga
anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas, dan seringkali bertingkah
laku irrasional.
2. Waktu
Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individual maupun
kelompok dengan frekuensi kegiatan per sesi 2-3 kali dalam seminggu. Setiap
kegiatan dibagi menjadi 2 bagian, pertama: ½-1 jam yang terdiri dari tahap
persiapan dan tahap orientasi, kedua: 1-1/2 jam yang terdiri dari tahap kerja dan
tahap terminasi (Riyadi dan Purwanto, 2009).
4. Psikoterapi Suportif
a. Pengertian
Psikoterapi adalah cara pengobatan dengan ilmu kedokteran terhadap
gangguanmental emosional dengan mengubah pola pikiran, perasaan, dan
perilaku agar terjadi keseimbangan dalam diri individu tersebut.
Dalam psikoterapi sangat diperlukan hubungan yang baik antara dokter dan
pasien.
b. Tujuan
1. Menguatkan daya tahan mental yang telah dimilikinya
2. Mengembangkan mekanisme daya tahan mental yang baru dan yang lebih baik
untuk mempertahankan fungsi pengontrolan diri
3. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan
c. Jenis Terapi
1. Ventilasi
Psikoterapi ventilasi adalah bentuk psikoterapi yang memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada pasien untuk mengemukakan isi hatinya dan sebagai
hasilnya ia akan merasa lega serta keluhannya akan berkurang.
a. Sikap terapis: menjadi pendengar yang baik dan penuh pengertian
b. Topik pembicaraan: permasalahan yang menjadi stres yang utama
2. Persuasi
Persuasi adalah psikoterapi suportif yang dilakukan dengan menerangkan
secara masuk akal tentang gejala-gejala penyakitnya yang timbul akibat cara
berpikir, perasaan, dan sikapnya terhadap masalah yang dihadapinya
.
a. Sikap terapis:
1. Terapis berusaha membangun, mengubah, dan menguatkan impuls tertentu serta
membebaskannya dari impuls yang mengganggu secara masuk akal dan sesuai
hati nurani
2. Berusaha meyakinkan pasien dengan alasan yang masuk akal bahwa gejalanya
akan hilang
b. Topik pembicaraan: ide dan kebiasaan pasien yang mengarah pada terjadinya
gejala.
3. Psikoterapi reassurance
Psikoterapi reassurance adalah psikoterapi yang berusaha meyakinkan
kembali kemampuan pasien bahwa ia sanggup mengatasi masalah yang
dihadapinya.
a. Sikap terapis: meyakinkan secara tegas dengan menunjukkan hasil-hasil yang
telah dicapai pasien.
b. Topik pembicaraan: pengalaman pasien yang berhasil nyata
4. Psikoterapi sugestif
Psikoterapi sugestif adalah psikoterapi yang berusaha menanamkan
kepercayaan pada pasien bahwa gejala-gejala gangguannya akan hilang.
a. Sikap terapis: meyakinkan dengan tegas bahwa gejala pasien pasti hilang
b. Topik pembicaraan: gejala-gejala bukan karena kerusakan organik/fisik dan
timbulnya gejala-gejala tersebut adalah tidak logis
5. Bimbingan
Bimbingan adalah psikoterapi yang memberi nasihat dengan penuh
wibawa dan pengertian
a. Sikap terapis: menyampaikan nasihat dengan penuh wibawa dan pengertian
b. Topik pembicaraan: cara hubungan antar manusia, cara berkomunikasi, dan cara
bekerja dan belajar yang baik
6. Penyuluhan
Penyuluhan atau konseling adalah psikoterapi yang membantu pasien
mengerti dirinya sendiri secara lebih baik, agar ia dapat mengatasi
permasalahannya dan dapat menyesuaikan diri.
a. Sikap terapis: menyampaikan secara halus dan penuh kearifan.
b. Topik pembicaraan: masalah pendidikan, pekerjaan, pernikahan,
dan pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
KeperawatanNers. 2013. Terapi
Lingkungan. http://keperawatanners.wordpress.com
/2013/01/31/terapi-lingkungan/
(Posted on Januari 31, 2013)
http://isthyqamadewi.blogspot.com/2012/06/makalah-terapi-keluarga.html
Chaplin, JP. 1968. Dictionary of Psychology (Kamus Lengkap Psikologi). M: 355.
Terjemahan oleh Dr. Kartini Kartono. 1981. Jakarta : Raja Grafindo
Wiramihardja, S.A. 2004. Pengantar Psikologi Klinis (Edisi Revisi). Bandung : Refika
Aditama
http://mypondokiklan.blogspot.com/2011/01/terapi-keluarga.html
Cortinash, KM and Holeday Worret, P.A. Psychyatric Nursing care Plan, St. Louis ; Mosby
year Book, 1991.
Mc Farland, Gertrude K. and Themas M.D, Psychiatric Mental Health Nursing, St. Louis :
The CV. Mosby Co. 1987.
Made Winarta. 2012. Terapi Okupasi. available
from:http://wirnursing.blogspot.com/2012/03/terapi-okupasi.html
(dipostkan oleh Madw Winarta pada Senin, 19 Maret 2012)
Keliat, B.A. dan Akemat. 2005. Keperawatan Jiwa: Terapi Akitivitas Kelompok. Jakarta:
EGC.
Muhaj, K. 2009. Terapi Okupasi dan Rehabilitasi.
Available:http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/01/terapi-okupasi-dan-
rehabilitasi.html.
Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha
Ilmu.