Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar belakang

Keperawatan merupakan kebutuhan pokok manusia sebagaimana halnya


dengan semua usaha untuk memajukan kesejahteraan. Uraian tentang
keperawatanyang baik harus dilakukan oleh seseorang perawat dengan
sendirinya harus dimulai perawat itu sendiri.

Model keperawatan yang dijelaskan oleh Hildegard peplau mencakup


segala sesuatu tentang diri individu itu sendiri yang tepatnya didalam dirinya, yaitu
interpersonal, dan ini mengarah pada kejiwaan seseorang.ini lah model konsep
teori yang dijadikan acuan perawat untuk melakukan tindakan keperawatan.

Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu


mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya
serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Mampu
menghadapi kecemasan didalam diri individu.

Jika seseorang tidak sanggup untuk mengatasi permasalahn didalam


hidup mereka, terutama pada dalam diri mereka sendiri, akan timbul
permasalahan permasalahan yang akan berakibat fatal yang tentunya akan
mengganggu kehidupan orang yang mengalami permasalahan interpersonal ini.
untuk itu diperlukan peran perawat dalam mengatasi masalah ini, untuk membantu
pasien mengatasi masalah yang mungkin tidak bisa diselesaikan sendiri oleh
seseorang.

Perawat juga harus tau apa saja yang harus dilakukan, untuk inilah kami
kelompok mengangkat model konseputual jiwa interpersonal yang dimana model
konsep ini erat sekali dengan teori Hildegard E. Peplau. sehingga perawat memiliki
gambaran untuk melakukan tindakan keperawatan yang tepat.
II.I Tujuan

Setelah menyusun makalah ini mahasiswa diharapkan mampu untuk :

1. Menjelaskan pengertian strategi pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa

2. Menjelaskan fase orientasi dalam asuhan keperawatan jiwa

3. Menjelaskan fase kerja dalam asuhan keperawatan jiwa

4. Menjelaskan fase terminasi dalam asuhan keperawatan jiwa


BAB II

KONSEP TEORI

II.I PENGERTIAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA

A. Menurut American Nurses Associations (ANA)

Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang


menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri
sendiri secara teraupetik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan
kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada
(American Nurses Associations).

B. Menurut WHO

Kesehatan Jiwa bukan hanya suatu keadaan tdk ganguan jiwa, melainkan
mengandung berbagai karakteristik yg adalah perawatan langsung, komunikasi
dan management, bersifat positif yg menggambarkan keselarasan dan
keseimbangan kejiwaan yg mencerminkan kedewasaan kepribadian yg
bersangkutan.

C. Menurut UU KES. JIWA NO 03 THN 1966

Kondisi yg memungkinkan perkembangan fisik, intelektual emosional


secara optimal dari seseorang dan perkebangan ini selaras dgn orang lain.

Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional didasarkan pada


ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan
dengan respons psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-
psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa
(komunikasi terapeutik dan terapi modalitas keperawatan kesehatan jiwa) melalui
pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah,
mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa klien (individu,
keluarga, kelompok komunitas).

Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berusaha untuk


meningkatkan dan mempertahankan perilaku sehingga klien dapat berfungsi utuh
sebagai manusia.
II.II STRATEGI KOMUNIKASI

A. Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

1. Fase Orientasi

Fase ini, perawat dan klien bertindak sebagai 2 individu yang belum saling
mengenal. Selama fase orientasi, klien merupakan seseorang yang memerlukan
bantuan profesional dan perawat berperan membantu klien mengenali dan
memahami masalahnya serta menentukan apa yang klien perlukan saat itu. Jadi,
fase orientasi ini merupakan fase untuk menentukan adanya masalah,dimana
perawat dan klien melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan
terjadi proses pengumpulan data.

Fase orientasi dipengaruhi langsung oleh sikap perawat dan klien dalam
memberi atau menerima pertolongan. Selain itu fase ini juga dipengaruhi oleh ras,
budaya, agama, pengalaman, latar belakang, dan harapan klien maupun perawat.
Akhir dari fase ini adalah perawat dan klien bersama-sama mengidentifikasi
adanya masalah serta menumbuhkan rasa saling percaya sehingga keduanya
siap untuk melangkah ke fase berikutnya.

Fase orientasi terdiri dari :

a) Salam terapeutik

b) Evaluasi /validasi data

c) Kontrak (topik,waktu,tempat)

2. Fase Kerja

Fase kerja adalah fase dimana seorang ners melakukan inti terapeutik
dalam berkomunikasi dengan topik atau tujuan sesuai dengan strategi
pelaksanaan yang telah ditetapkan berdasarkan diagnosa keperawatan jiwa.

Pada fase ini, perawat memberi layanan keperawatan berdasarkan


kebutuhan klien. Disini, masing-masing pihak mulai merasa menjadi bagian
integral dari proses interpersonal. Selama fase kerja, klien mengambil secara
penuh nilai yang ditawarkan kepadanya melalui sebuah hubungan.

Prinsip tindakan pada fase ini adalah menggali, memahami keadaan klien
dan mencegah meluasnya masalah. Perawat mendorong klien untuk menggali dan
mengungkapkan, perasaan, emosi, pikiran, serta sikapnya tanpa paksaan dan
mempertahankan suasana terapeutik yang mendukung.
Fase kerja dimana perawat telah membantu kalien dalam membereikan
gambaran kondisi klien.

Pada fase ini perawat juga dituntut untuk menguasai keterampilan


berkomunikasi secara terapeutik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fase
kerja merupakan fase pemberian bantuan pada klien sebagai langkah pemecahan
masalah. Jika fase ini berhasil, proses interpersonal akan berlanjut ke fase akhir,
yaitu fase terminasi.

3. Fase Terminasi/Resolusi

Pada fase resolusi, tujuan bersama antara perawat dan klien sudah sampai
pada tahap akhir dan keduanya siap mengakhiri hubungan terapeutik yang selama
ini terjalin. Fase resolusi terkadang menjadi fase yang sulit bagi kedua belah pihak
sebab disini dapat terjadi peningkatan kecemasan dan ketegangan jika ada hal-
hal yang belum terselesaikan pada masing-masing fase. Indikator keberhasilan
untuk fase ini adalah jika klien sudah mampu mandiri dan lepas dari bantuan
perawat. Selanjutnya, baik perawat maupan klien akan menjadi individu yang
matang dan lebih berpengalaman.

Dalam hubungan perawat-klien, ada enam peran perawat yang harus


dilakukan. Peran tersebut berbeda pada setiap fasenya. Keenam peran tersebut
adalah peran sebagai orang asing (role of the stranger), peran sebagai
narasumber (role of resource person), peran sebagai pengajar (teaching role),
peran sebagai kepemimpinan (leadership role), peran sebagai wali (surrogate
role), dan peran sebagai penasihat (counseling role).

Role of the stranger merupakan peran awal dalam hubungan perawat-


klien. Di sini, kedua belah pihak merupakan orang asing bagi pihak lain. Sebagai
orang asing, perawat harus memperlakukan klien secara sopan, tidak boleh
memberi penilaian sepihak, menerima klien apa adanya, serta memperlakukan
klien dengan penuh perasaan. Dalam perannya sebagai narasumber (role of
resource person), perawat memberi jawaban yang spesifik dari setiap pertanyaan
klien, terutama mengenai informasi kesehatan. Selain itu, perawat juga
menginterpretasiakan kepada klien rencana perawatan dan rencana medis untuk
hal tersebut.

Teaching role merupakan kombinasi dari seluruh peran dalam


menggunakan informasi. Teaching role menurut peplau terdiri atas dua kategori
yaitu intruksional, dan eksperimental. Penyuluhan intruksional adalah pemberian
informasi secara luas dan merupakan bentuk yang di pakai dalam literatur
pendidikan. Menyuluhan eksperimental adalah penyeluhan dengan menggunakan
pengalaman dalam pengembangan pengajaran.

Leadership role merupakan peran yang berkaitan dengan kepemimpinan,


terutama mengenai proses demokratis dalam asuahan keperawatan. Perawat
membantu klien dalam mengerjakan tugas-tugasnya melalui hubungan yang
sifatnya kooperatif dan melibatkan partisipasi aktif klien. Dalam surrogate role,
klien menggap perawat sebagai walinya. Oleh sebab itu, sikap perawat dan
perilakunya harus menciptakan perasaan tertentu dalam diri klien yang bersifat
reaktif yang muncul dari hubungan sebelumnya. Funsi perawat disini adalah
membimbing klien mengenali dirinya sendiri dan sosok yang ia bayangkan lalu
membantunya melihat perbedaan antara dirinya dan sosok yang ia bayangkan
tersebut.

Fase resolusi dimana perawat berusaha untuk secara bertahan klien untuk
membebaskan diridari kertegantungan kepada tenaga kesehatan dan
menggunakan kemampuan yang dimliki agar mampu menjalankan secara sendiri.

Peplau mempercayai bahwa counseling role memiliki peranan yang besar


dalam keperawatan psikiatri. Dalam hubungan perawat-klien peran ini sangant
penting sebab tujuan dari teknik hubungan antar-personal adalah membantu klien
mengingat dan memahami sepenuhnya peristiwa yang terjadi pada dirinya saat
ini. Dengan demikian, satu pengalaman dapat diintegrasikan dengan pengalaman
lainnya dalam hidupnya, bukannya justru dipisahkan.

Fase terminasi terdiri dari :

a) Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah


dilaksanakan

b) Rencana tindak lanjut

c) Kontrak yang akan datang

II.III STATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP)

Pada suatu hari tepatnya hari minggu jam 9 pagi dirumah sakit jiwa Lawang
terlihat seorng bapak dan ibu sedang menunngui anaknya yang mengalami
gannguan halusinasi di ruang kamar pasien.

1. Orientasi

a) Salam Terapeutik

Perawat : assalamu’alaikum bapak/ibu

Bapak & ibu : wa’alaikum salam sus…

Perawat : saya perwat dina,saya yang merwat anak bapak dan Ibu

Bapak : iya sus…


b) Evaluasi

Perawat : bagaimana perasaan Bapak/Ibu hari ini?

Ibu : saya merasa sedih sus melihat anak saya seperti ini.

Perawat : Ibu yang sabar ya,saya akan berusaha membatu untuk


kesembuhan anak ibu

Ibu : ya sus,terima kasih

Perawat : Apa pendapat ibu tentang anak Ibu?

Ibu : anak saya masih masih sering menyendiri dan berbicara sendiri
tiba-tiba berteriak teriak..

Perawat : Jadi anak ibu halusinasinyabelum terkontrol ya bu?

Ibu : iya sus saya takutdengan kondisi anak kami yang seperti ini.

c) Kontrak

Perawat : Hari ini kita akan berdiskusi tentang masalah apa yang anak bapak
dan ibu alami dan bantuan apa yang bapak dan ibu bisa berikan’’

Ibu : iya sus…

Perwat : kita mau berdiskusi dimana bu?’’

Bagaimamna kalau diruang wawancara’’?

Ibu : iya sus..

Perawat : Berapa lama waktu bapak dan ibu untuk berdiskusi?

Ibu : Bagaimana kalau 15 menit saja sus

Perawat : baiklah ibu…

Mari kita menuju ruang wawancara

Perawat, bapak dan ibu meninngalkan pasien diruangannya dan menuju


ruang wawancara untuk mendiskusikan tentanghalusinasi dan cara cara merawat
pasien halusinasi.
2. Kerja

Perawat : silahkan duduk bapak dan ibu

Ibu dan bapak : iya sus…

Perawat : apa yang bapak /ibu rasakan menjadi maslah dalam merwat ’’W”?

Bapak : kami masih belum bisa menghadapi anak kami saat berbicara
sendiri dan berteriak teriak sendiri.

Perawat : apa yang ibu / bapak lakukan?

Ibu : kami hanya bisa menyuruhnya diam dan mencoba menenangkan,


tetapi anak kami tetap saja berteriak teriak dan marah marah sendiri

Perawat : ya, gejala yang dialami oleh anak bapak/ibu itu itu dinamakan
halusinsi pendengaran yaitu mendengar sesuatu yang sebetulnya
tidak ada yang berbicara.”tanda tandanya bicara dan tertawa
sendiri atau marah marah tanpa sebab.jadi kalau anak bapak /ibu
mendengar suara-suara,sebenarnya suara itu tidak ada.

Ibu : ooo….jadi anak kami mengalami mengalami halusinasi


pendengaran. Penyebabnya apa ya sus?

Perawat : Penyebabnya harga diri rendah bu. Anak ibu merasa harga dirinya
rendah sehingga anak ibu menarik diri kemudian timbul halusinasi.

Ibu : Terus bagaimana cara mengatasinya sus?

Perawat :Ada beberapa cara untuk membantu anak Bapak/ibu agar bisa
mengendalikan halusinasi.

Bapak : Apa cara-caranya sus?

Perawat : Cara-caranya tersebut antara lain :

Pertama, dihadapan anak bapak/ibu, jangan membantah halusinasi atau


mendukungnya. Katakan saja bapak/ibu percaya bahwa anak tersebut memang
mendengar suara, tetapi bapak/ibu sendiri tidak mendengar suara apa-apa.

Kedua, jangan biarkan anak bapak/ibu melamun dan sendiri, karena kalu
melamun halusinasi akan muncul lagi. Upayakan ada orang mau bercakap-cakap
dengannya. Buat kegiatan keluarga seperti makan bersama, sholat bersama-sam.
Tentang kegiatan, saya telah melatih anak bapak/ibu untuk membuat jadwal
kegiatan sehari-hari. Tolong bapak/ibu pantau pelaksanaannya. Yaa……dan
berikan pujian jika dia lakukan! Apakah ibu mengerti?
Ibu : Iya sus saya mengerti, saya akan melakukan sesuai saran suster
dan memantaunya.

Perawat : Cara yang ketiga yaitu bantu anak bapak/ibu minum obat secara
teratur. Jadi bapak/ibu dapat mengingatkan kembali, ya
babak/ibu...

Bapak : Iya sus, kami akan selalu mengingatkan anak kami agar selalu
minum obat. Karena kami sangat mengharapkan anak kami cepat
sembuh. Kami sangat sedih sekali dengan kondisi anak kami yang
seperti ini. Oh ya sus, obatnya apa saja?

Perawat : Obatnya ada 3 macam, ini yang orange namanya CPZ gunanya
untuk menghilangkaan suara-suara. Diminum 3x sehari pada jam 7
pagi, jam 1 siang, dan jam 7 malam. Yang putih namanya THP
gunanya membuat rileks, jam minumnya sama dengan CPZ tadi.
Yang biru namanya HP gunanya menenangkan cara berfikir, jam
minumnya sama dengan CPZ. Obatnya perlu selalu diminum untuk
mencegah kekambuhannya pak/bu, apakah ibu dan bapak sudah
mengerti?

Ibu : Iya sus, kami mengerti.

Perawat : Yang terakhir, bila ada tanda-tanda halusinasi mulai muncul, putus
halusinasi anak bapak/ibu dengan cara menepuk punggung anak
bapak/ibu.Suruhlah anak bapak/ibu menghardik suara tersebut.
Anak bapak/ibu sudah saya ajarkan cara halusnasi.

3. Terminasi

a) Evaluasi Subyektif

Perawat : Bagaimana perasaan bapak/ibu setelah kita berdiskusi memutus


halusinasi anak bapak/ibu

Ibu : Perasaan saya lebih baik dari sebelumnya, dan kekhawatiran saya
menjadi berkurang karena sudah mengetahui cara-cara untuk
memutus halusinasi ketika halusinasi anak kami muncul.

b) Evaluasi Obyektif

Perawat : Sekarang coba bapak/ibu sebutkan kembali tiga cara merawat


anak bapak/ibu untuk memutus halusinasi.

Bapak : Yang pertama, tidak boleh membantah halusinasi atau


mendukungnya. Mengatakan percaya memang anak mendengar
suara, tetapi saya sendiri tidak mendengarnya. Kedua, tidak boleh
mendengarkan anak melamun dan sendiri, mengupayakan ada
orang mau bercakap-cakap dengannya, dan membuatkan jadwal
kegiatan sehari-hari. Ketiga, membantu anak minum obat secara
teratur.

Perawat : Bagus sekali, bapak/ibu telah memahaminya. Rencana tindak


lanjut

Perawat : Nah...bagaimana kalu bapak/ibu lakukan terus selama di RS agar


nanti dirumah sudah lancar.

Ibu : Iya sus, akan kami lakukan terus selama di RS.

c) Kontrak

§ Topik

Perawat : “Baiklah, waktu kita sudah habis, bagaimana kalau dua hari lagi
kita bertemu untuk mempraktekkan cara memutus halusinasi
langsung dihadapan anak bapak/ibu?”

Bapak : Iya sus, kami bersedia.

§ Tempat

Perawat : Tempatnya mau dimana pak/bu?

Ibu : Disini saja sus.

§ Waktu

Perawat : Mau jam berapa ?

Bapak : Jam 09.00 wib saja, seperti hari ini.

Perawat : Baiklah bapak/ibu sampai jumpa hari selasa.

Ibu : Iya sus, kalau begitu saya permisi dahulu. Assalamu’alaikum....

Perawat : Wa’alaikumsalam….

Setelah mengucapkan salam kepada perawat, bapak/ibu dari anak “W”


meninggalkan ruang wawancara. Mereka terlihat lebih tenang. Dan kemudian
mereka menuju ruang anak “W”. Untuk melakukan cara-cara yang telah diajarkan
perawat.
BAB III

PENUTUP

III.I Kesimpulan

Teori Hildegard Peplau (1952) berfokus pada individu, perawat, dan proses
interaktif (Peplau, 1952) yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien
(Torres, 1986). Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan
perasaan, dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik.

Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bisa muncul akibat
adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety).
Ansietas timbul dan alami seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan
dengan orang lain (interpersonal).

Menurut konsep ini perasaan takut seseorang didasari adanya ketakutan


ditolak atau tidak diterima oleh orang sekitarnya. Dalam permasalahan
interpersonal, seorang individu akan menampakan perilaku, diantaranya individu
merasa terasingi, merasakan kecemasan yang berlebihan, senang menyendiri dan
enggan untuk membicarakan permasalahan yang dialaminya.

Tujuan keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga dan untuk
membantu klien mencapai kemantapan pengembangan kepribadian (Chinn dan
Jacobs, 1995). Teori dan gagasan Peplau dikembangkan untuk memberikan
bentuk praktik keperawatan jiwa. Oleh sebab itu perawat berupaya
mengembangkan hubungan antara perawat dan klien dimana perawat bertugas
sebagai narasumber, konselor, dan wali.

III.II Saran

A. Perawat

Perawat harus menjaga sosialisasi antara perawat dan klien, dalam


melakukan tindakan keperawatan jiwa yang menyangkut tentang permasalahan
interpersonal, sebaiknya perawat menggunakan konsep teori yang ada.

B. Mahasiswa perawat
Makalah ini sangat bagus untuk dibaca sebagai pedoman kita dalam
memahami teori peplau mengenai konseptual model keperawatan jiwa
interpersonal, Sehingga kedepan nanti kita bisa berkerja dengan baik,dan
hubungan interpersonal yang kita lakukan baik. Sehingga kita bisa memberikan
keperawatan yang baik kepada pasien.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kecepatan informasi dan mobilitas manusia di era modernisasi saat
ini begitu tinggi sehingga terjadi hubungan social dan budaya. Hubungan
social antar manusia dirasakan menurun akhir – akhir ini, bahkan kadang-
kadang hanya sebatas imitasi saja. Padahal bangsa Indonesia yang
mempunyai / menjunjung tinggi adat ketimuran sangat memperhatikan
hubungan social ini. Dengan demikian kita patut waspada dari kehilangan
identitas diri tersebut. Perubahan yang terjadi tadi dapat membuat rasa
bingung karena muncul rasa tidak pasti antara moral, norma,nilai – nilai dan
etika bahkan juga hokum. Menurut Dadang Hawari ( 1996 ) hal – hal
tersebut dapat menyebabkan perubahan psikososial, antara lain : pola
hidup social religious menjadi materialistis dan sekuler. Nilai agama dan
tradisional diera modern menjadi serba boleh dan seterusnya.

Perubahan – perubahan yang dirasakan dapat mempengaruhi tidak


hanya fisik tapi juga mental, seperti yang menjadi standar WHO ( 1984 )
yang dikatakan sehat tidak hanya fisik tetapi juga mental,social dan
spiritual. Standar sehat yang disampaikan oleh WHO tersebut dapat
menjadi peluang besar bagi perawat untuk berbuat banyak, karena perawat
mempunyai kesempatan kontak dengan klien selama 24 jam sehari.
Olehnya itu dalam tulisan ini kami bermaksud mebahas tentang dimensi
spiritual, dimensi spiritual dalam kesehatan, konsep dalam memberikan
asuhan keperawatan spiritual dan proses keperawatan dalam dimensi
spiritual.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang Sejarah Singkat Perkembangan
keperawatan jiwa di dunia dan di Indonesia ?
2. Bagaimana penjelasan tentang model pendekatan keperawatan jiwa ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu agar pembaca dapat
mengetahui sejarah singkat keperawatan jiwa di dunia dan Indonesia serta
mengetahui apa saja model keperawatan jiwa.
D Sistematika Penulisan
Makalah ini di susun atas : BAB I : Pendahuluan yang berisi tentang
latar belakang, rumusan masalah, tujuan, sisitematika penulisan. BAB II :
Pembahasan yang berisi tentang sejarah singkat perkembangan
keperawatan jiwa di dunia dan Indonesia dan model pendekatan
keperawatan jiwa. BAB III : Penutup yang tersusun atas kesimpulan dan
saran.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Perkembangan Keperawatan Jiwa Di Dunia


Sejarah keperawatan di dunia diawali pada zaman purbakala
(Primitive Culture) sampai pada munculnya Florence Nightingale sebagai
pelopor keperawatan yang berasal dari Inggris. Perkembangan keperwatan
sangat dipengaruhi oleh perkembangan struktur dan kemajuan peradaban
manusia.
Perkembangan keperawatan diawali pada :
1. Zaman Purbakala (Primitive Culture)
Manusia diciptakan memiliki naluri untuk merawat diri sendiri
(tercermin pada seorang ibu). Harapan pada awal perkembangan
keperawatan adalah perawat harus memiliki naluri keibuan (Mother Instinc).
Dari masa Mother Instic kemudian bergeser ke zaman dimana orang masih
percaya pada sesuatu tentang adanya kekuatan mistic yang dapat
mempengaruhi kehidupan manusia. Kepercayaan ini dikenal dengan nama
Animisme. Mereka meyakini bahwa sakitnya seseorang disebabkan karena
kekuatan alam/pengaruh gaib seperti batu-batu, pohon-pohon besar dan
gunung-gunung tinggi.
Kemudian dilanjutkan dengan kepercayaan pada dewa-dewa
dimana pada masa itu mereka menganggap bahwa penyakit disebabkan
karena kemarahan dewa, sehingga kuil-kuil didirikan sebagai tempat
pemujaan dan orang yang sakit meminta kesembuhan di kuil tersebut.
Setelah itu perkembangan keperawatan terus berubah dengan adanya
Diakones & Philantrop, yaitu suatu kelompok wanita tua dan janda yang
membantu pendeta dalam merawat orang sakit, sejak itu mulai
berkembanglah ilmu keperawatan.
2. Zaman Keagamaan
Perkembangan keperawatan mulai bergeser kearah spiritual dimana
seseorang yang sakit dapat disebabkan karena adanya dosa/kutukan
Tuhan. Pusat perawatan adalah tempat-tempat ibadah sehingga pada
waktu itu pemimpin agama disebut sebagai tabib yang mengobati pasien.
Perawat dianggap sebagai budak dan yang hanya membantu dan bekerja
atas perintah pemimpin agama.
3. Zaman Masehi
Keperawatan dimulai pada saat perkembangan agama Nasrani,
dimana pada saat itu banyak terbentuk Diakones yaitu suatu organisasi
wanita yang bertujuan untuk mengunjungiorang sakit sedangkan laki-laki
diberi tugas dalam memberikan perawatan untuk mengubur bagi yang
meninggal.
Pada zaman pemerintahan Lord-Constantine, ia mendirikan Xenodhoecim
atau hospes yaitu tempat penampungan orang-orang sakit yang
membutuhkan pertolongan. Pada zaman ini berdirilah Rumah Sakit di
Roma yaitu Monastic Hospital.
4. Pertengahan abad VI Masehi
Pada abad ini keperawatan berkembang di Asia Barat Daya yaitu
Timur Tengah, seiring dengan perkembangan agama Islam. Pengaruh
agama Islam terhadap perkembangan keperawatan tidak lepas dari
keberhasilan Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam.
Abad VII Masehi, di Jazirah Arab berkembang pesat ilmu pengetahuan
seperti Ilmu Pasti, Kimia, Hygiene dan obat-obatan. Pada masa ini mulai
muncul prinsip-prinsip dasar keperawatan kesehatan seperti pentingnya
kebersihan diri, kebersihan makanan dan lingkungan. Tokoh keperawatan
yang terkenal dari Arab adalah Rufaidah.
5. Permulaan abad XVI
Pada masa ini, struktur dan orientasi masyarakat berubah dari
agama menjadi kekuasaan, yaitu perang, eksplorasi kekayaan dan
semangat kolonial. Gereja dan tempat-tempat ibadah ditutup, padahal
tempat ini digunakan oleh orde-orde agama untuk merawat orang sakit.
Dengan adanya perubahan ini, sebagai dampak negatifnya bagi
keperawatan adalah berkurangnya tenaga perawat. Untuk memenuhi
kurangnya perawat, bekas wanita tuna susila yang sudah bertobat bekerja
sebagai perawat. Dampak positif pada masa ini, dengan adanya perang
salib, untuk menolong korban perang dibutuhkan banyak tenaga sukarela
sebagai perawat, mereka terdiri dari orde-orde agama, wanita-wanita yang
mengikuti suami berperang dan tentara (pria) yang bertugas rangkap
sebagai perawat.

Pengaruh perang salib terhadap keperawatan :


a. Mulai dikenal konsep P3K
b. Perawat mulai dibutuhkan dalam ketentaraan sehingga timbul peluang
kerja bagi perawat dibidang sosial.
Ada 3 Rumah Sakit yang berperan besar pada masa itu terhadap
perkembangan keperawatan :
a. Hotel Dieu di Lion
Awalnya pekerjaan perawat dilakukan oleh bekas WTS yang telah
bertobat. Selanjutnya pekerjaan perawat digantikan oleh perawat terdidik
melalui pendidikan keperawatan di RS ini.
b. Hotel Dieu di Paris
Pekerjaan perawat dilakukan oleh orde agama. Sesudah Revolusi
Perancis, orde agama dihapuskan dan pekerjaan perawat dilakukan oleh
orang-orang bebas. Pelopor perawat di RS ini adalah Genevieve Bouquet.
c. ST. Thomas Hospital (1123 M)
Pelopor perawat di RS ini adalah Florence Nightingale (1820). Pada
masa ini perawat mulai dipercaya banyak orang. Pada saat perang Crimean
War, Florence ditunjuk oleh negara Inggris untuk menata asuhan
keperawatan di RS Militer di Turki. Hal tersebut memberi peluang bagi
Florence untuk meraih prestasi dan sekaligus meningkatkan status
perawat. Kemudian Florence dijuluki dengan nama “ The Lady of the Lamp”.
d. Perkembangan keperawatan di Inggris
Florence kembali ke Inggris setelah perang Crimean. Pada tahun
1840 Inggris mengalami perubahan besar dimana sekolah-sekolah perawat
mulai bermunculan dan Florence membuka sekolah perawat modern.
Konsep pendidikan Florence ini mempengaruhi pendidikan keperawatan di
dunia.
Kontribusi Florence bagi perkembangan keperawatan a. l :
Nutrisi merupakan bagian terpenting dari asuhan keperawatan.
Okupasi dan rekreasi merupakan terapi bagi orang sakit
Manajemen RS
Mengembangkan pendidikan keperawatan
Perawatan berdiri sendiri berbeda dengan profesi kedokteran
Pendidikan berlanjut bagi perawat.
Negara-negara yang berpengaruh dalam perkembangan keperawatan jiwa
1. Peru
Dari zaman purbakala telah terdapat tanda- tanda yang
menunjukkan bahwa pada waktu itu manusia sudah mengenal dan
berusaha mengobati gangguan jiwa. Ditemukan beberapa tengkorak yang
di lubangi, mungkin pada penderita penyakit ayan atau yang menunjukan
perilaku kekerasan dengan maksud untuk mengeluarkan roh jahat.
Kepercayaan bahwa gangguan jiwa itu timbul karena masuknya roh nenek
moyang ke dalam tubuh seseorang lalu menguasainya merupakan suatu
hal yang universal.

2. Mesir
Kira –kira dalam tahun 1500 SM terdapat tulisan tentang orang yang
sudah tua, sebagai berikut: “... hati menjadi berat dan tidak dapat mengingat
lagi hari kemarin”. Dalam tahun-tahun berikutnya di sana di dirikan
beberapa buah kuil yang terkenal dengan nama “Kuil Saturn” untuk
merawat orang dengan gangguan jiwa
3. Yunani
Hippocrates (460-357 SM) yang sekarang di anggap sebagai bapak
ilmu kedokteran yang terkenal karena rumus sumpah dokternya telah
menggambarkan gejala- gejala melancholia dan berpendapat bahwa
penyakit ayan itu bukanlah suatu penyakit keramat akan tetapi mempunyai
penyebab alamiah seperti penyakit lain.Dalam kuil-kuil yang di pakai
sebagai tempat perawatan pasien dengan gangguan jiwa di gunakan hawa
segar, air murni dan sinar matahari serta musik yang menarik dalam
pengobatan para penderita itu. Dalam jaman romawi pada waktu itu di
lakukan “pengeluaran darah dan mandi belerang”. Setelah jatuhnya
kebudayaan yunani dan romawi, dan ilmu kedokteran mengalami
kemunduran. Penderita gangguan jiwa di ikat, di kurung, di pukuli atau
dibiarkan kelaparan. Ada yang di masukan ke dalam sebuah tong lalu di
gulingkan dari atas bukit ke bawah ada yang di cemplungkan ke dalam
sungai secara mendadak dari atas jembatan.
4. Negara-negara Arab
Di pakai cara-cara yang lebih berprikemanusiaan. Mereka memakai
tempat pemandian, diit, obat-obatan , wangi-wangian, dan musik yang
halus dalam suasana yang santai.
5. Eropa
Pada abad ke -17 dan 18 di dirikan rumah perawatan penderita
gangguan jiwa yang dinamakan “rumah amal”, “ rumah kontrak” atau “suaka
duniawi”. Cara pengobatan yang populer pada waktu itu ialah “ pengeluaran
darah “, penderita di pakaikan “ “pakaian gila” dan di cambuk.
6. Prancis
Pada akhir revolusi abad ke- 18 terjadi perubahan dalam tempat
penampungan penderita gangguan jiwa. PHILLIPE PINEL (1745- 1826)
menjadi pengawas rumah sakit Bicetre ( untuk penderita pria) dan
kemudian pada Salpetriere ( untuk penderita wanita). Keduanya di huni oleh
penjahat , penderita retradasi mental dan penderita gangguan jiwa.
Tindakan pertama pinel ialah melepaskan penderita gangguan jiwa dari
belenggu mereka.

B. Sejarah dan Perkembangan Keperawatan Jiwa di Indonesia


Sejarah dan perkembangan keperawatan di Indonesia dimulai pada masa
penjajahan Belanda sampai pada masa kemerdekaan.
1. Masa Penjajahan Belanda
Perkembangam keperawatan di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi sosial
ekonomi yaitu pada saat penjajahan kolonial Belanda, Inggris dan Jepang. Pada
masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat berasal dari penduduk pribumi
yang disebut Velpeger dengan dibantu Zieken Oppaser sebagai penjaga orang
sakit.
Tahun 1799 didirikan rumah sakit Binen Hospital di Jakarta untuk
memelihara kesehatan staf dan tentara Belanda. Usaha pemerintah kolonial
Belanda pada masa ini adalah membentuk Dinas Kesehatan Tentara dan Dinas
Kesehatan Rakyat. Daendels mendirikan rumah sakit di Jakarta, Surabaya dan
Semarang, tetapi tidak diikuti perkembangan profesi keperawatan, karena
tujuannya hanya untuk kepentingan tentara Belanda.

2. Masa Penjajahan Inggris (1812 – 1816)


Gurbernur Jenderal Inggris ketika VOC berkuasa yaitu Raffles sangat
memperhatikan kesehatan rakyat. Berangkat dari semboyannya yaitu kesehatan
adalah milik manusia, ia melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki derajat
kesehatan penduduk pribumi antara lain :
pencacaran umum
cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa
kesehatan para tahanan
Setelah pemerintahan kolonial kembali ke tangan Belanda, kesehatan
penduduk lebih maju. Pada tahun 1819 didirikan RS. Stadverband di Glodok
Jakarta dan pada tahun 1919 dipindahkan ke Salemba yaitu RS. Cipto
Mangunkusumo (RSCM). Tahun 1816 – 1942 berdiri rumah sakit – rumah sakit
hampir bersamaan yaitu RS. PGI Cikini Jakarta, RS. ST Carollus Jakarta, RS. ST.
Boromeus di Bandung, RS Elizabeth di Semarang. Bersamaan dengan itu berdiri
pula sekolah-sekolah perawat.
3. Zaman Penjajahan Jepang (1942 – 1945)
Pada masa ini perkembangan keperawatan mengalami kemunduran, dan
dunia keperawatan di Indonesia mengalami zaman kegelapan. Tugas
keperawatan dilakukan oleh orang-orang tidak terdidik, pimpinan rumah sakit
diambil alih oleh Jepang, akhirnya terjadi kekurangan obat sehingga timbul wabah.
4. Zaman Kemerdekaan
Tahun 1949 mulai adanya pembangunan dibidang kesehatan yaitu rumah
sakit dan balai pengobatan. Tahun 1952 didirikan Sekolah Guru Perawat dan
sekolah perawat setimgkat SMP. Pendidikan keperawatan profesional mulai
didirikan tahun 1962 yaitu Akper milik Departemen Kesehatan di Jakarta untuk
menghasilkan perawat profesional pemula. Pendirian Fakultas Ilmu Keperawatan
(FIK) mulai bermunculan, tahun 1985 didirikan PSIK ( Program Studi Ilmu
Keperawatan ) yang merupakan momentum kebangkitan keperawatan di
Indonesia. Tahun 1995 PSIK FK UI berubah status menjadi FIK UI. Kemudian
muncul PSIK-PSIK baru seperti di Undip, UGM, UNHAS dll.
C. Model Pendekatan Keperawatan Jiwa
Berdasarkan konseptual model keperawatan diatas, maka dapat
dikelompokkan ke dalam 6 model yaitu:
1. Psycoanalytical (Freud, Erickson)
Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapt terjadi pada
seseorang apabila ego(akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id
(kehendak nafsu atau insting). Ketidakmampuan seseorang dalam
menggunakan akalnya (ego) untuk mematuhi tata tertib, peraturan, norma,
agama(super ego/das uber ich), akan mendorong terjadinya penyimpangan
perilaku (deviation of Behavioral).
Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya
konflik intrapsikis terutama pada masa anak-anak. Misalnya ketidakpuasan
pada masa oral dimana anak tidak mendapatkan air susu secara sempurna,
tidak adanya stimulus untuk belajar berkata- kata, dilarang dengan
kekerasan untuk memasukkan benda pada mulutnya pada fase oral dan
sebagainya. Hal ini akan menyebabkan traumatic yang membekas pada
masa dewasa.
Proses terapi pada model ini adalah menggunakan metode asosiasi
bebas dan analisa mimpi, transferen untuk memperbaiki traumatic masa
lalu. Misalnya klien dibuat dalam keadaan ngantuk yang sangat. Dalam
keadaan tidak berdaya pengalaman alam bawah sadarnya digali dengamn
pertanyaan-pertanyaan untuk menggali traumatic masa lalu. Hal ini lebih
dikenal dengan metode hypnotic yang memerlukan keahlian dan latihan
yang khusus.
Dengan cara demikian, klien akan mengungkapkan semua pikiran
dan mimpinya, sedangkan therapist berupaya untuk menginterpretasi
pikiran dan mimpi pasien.
Peran perawat adalah berupaya melakukan assessment atau
pengkajian mengenai keadaan-keadaan traumatic atau stressor yang
dianggap bermakna pada masa lalu misalnya ( pernah disiksa orang tua,
pernah disodomi, diperlakukan secar kasar, diterlantarkan, diasuh dengan
kekerasan, diperkosa pada masa anak), dengan menggunakan pendekatan
komunikasi terapeutik setelah terjalin trust (saling percaya).

2. Interpersonal ( Sullivan, peplau)


Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bias muncul
akibat adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan
kecemasan (Anxiety).Ansietas timbul dan alami seseorang akibat adanya
konflik saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal). Menurut
konsep ini perasaan takut seseorang didasari adnya ketakutan ditolak atau
tidak diterima oleh orang sekitarnya.
Proses terapi menurut konsep ini adalh Build Feeling
Security (berupaya membangun rasa aman pada klien), Trusting
Relationship and interpersonal Satisfaction (menjalin hubungan yang saling
percaya) dan membina kepuasan dalam bergaul dengan orang lain
sehingga klien merasa berharga dan dihormati.
Peran perawat dalam terapi adalah share anxieties (berupaya
melakukan sharing mengenai apa-apa yang dirasakan klien, apa yang
biasa dicemaskan oleh klien saat berhubungan dengan orang
lain), therapist use empathy and relationship ( perawat berupaya bersikap
empati dan turut merasakan apa-apa yang dirasakan oleh klien). Perawat
memberiakan respon verbal yang mendorong rasa aman klien dalam
berhubungan dengan orang lain.
3. Social ( Caplan, Szasz)
Menurut konsep ini seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau
penyimpangan perilaku apabila banyaknya factor social dan factor
lingkungan yang akan memicu munculnya stress pada seseorang ( social
and environmental factors create stress, which cause anxiety and
symptom).
Prinsip proses terapi yang sangat penting dalam konsep model ini
adalah environment manipulation and social support ( pentingnya
modifikasi lingkungan dan adanya dukungan sosial)
Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model ini adalah
pasien harus menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di
masyarakat melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga atau suami-istri.
Sedangkan therapist berupaya : menggali system sosial klien seperti
suasana dirumah, di kantor, di sekolah, di masyarakat atau tempat kerja.
4. Existensial ( Ellis, Rogers)
Menurut teori model ekistensial gangguan perilaku atau gangguan
jiwa terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya.
Individu tidak memiliki kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan
mengalami gangguan dalam Bodi-image-nya
Prinsip dalam proses terapinya adalah : mengupayakan individu
agar berpengalaman bergaul dengan orang lain, memahami riwayat hidup
orang lain yang dianggap sukses atau dapat dianggap sebagai
panutan(experience in relationship), memperluas kesadaran diri dengan
cara introspeksi (self assessment), bergaul dengan kelompok sosial dan
kemanusiaan (conducted in group), mendorong untuk menerima jatidirinya
sendiri dan menerima kritik atau feedback tentang perilakunya dari orang
lain (encouraged to accept self and control behavior).
Prinsip keperawatannya adalah : klien dianjurkan untuk berperan
serta dalam memperoleh pengalaman yang berarti untuk memperlajari
dirinya dan mendapatkan feed back dari orang lain, misalnya melalui terapi
aktivitas kelompok. Terapist berupaya untuk memperluas kesadaran diri
klien melalui feed back, kritik, saran atau reward & punishment.
5. Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)
Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor
biopsikososial dan respo maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi
masalah seperti: sering sakit maag, migraine, batuk-batuk. Aspek
psikologisnya mengalami banyak keluhan seperti : mudah cemas, kurang
percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek sosialnya
memiliki masalah seperti : susah bergaul, menarik diri,tidak disukai,
bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya.
Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan jiwa.
Fenomena tersebut muncul akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi
pada masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya
dengan masa lalu.
Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif,
individu diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang
ada pada dirinya; kekuatan mana yang dapat dipakai alternative
pemecahan masalahnya.
Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi
coping yang dimiliki dan yang biasa digunakan klien. Terapist berupaya
menjalin hubungan yang hangat dan empatik dengan klien untuk
menyiapkan coping klien yang adaptif.
6. Medica ( Meyer, Kraeplin)
Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat
multifactor yang kompleks meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan
factor sosial. Sehingga focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui
pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologik dan teknik
interpersonal. Perawat berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis
dalam melakukan prosedur diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist
berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai dampak terapi,
menentukan diagnose, dan menentukan jenis pendekatan terapi yang
digunakan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa Perkembangam keperawatan di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi
sosial ekonomi yaitu pada saat penjajahan kolonial Belanda, Inggris dan Jepang.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat berasal dari penduduk
pribumi yang disebut Velpeger dengan dibantu Zieken Oppaser sebagai penjaga
orang sakit.
Dalam pendekatan keperawatn jiwa kita menggunakan beberapa model
konseptual yaitu Psycoanalytical (Freud, Erickson), Interpersonal ( Sullivan,
peplau), Social ( Caplan, Szasz), Existensial ( Ellis, Rogers), Supportive Therapy
( Wermon, Rockland), Medica ( Meyer, Kraeplin)
B. Saran
Kita sebagai perawat tidak boleh lupa akan sejarah perjuangan
keperwatan jiwa yang selalu dipandang sebalah mata terhdapa khalayak
umum & harus terkobarkan semangat juang membantu orang yang
mengalami gangguan jiwa untuk sembuh seperti semula.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi
kausal, suatu penyakit dengan berbagai penyebab yang sangat bervariasi. Kausa
gangguan jiwa selama ini dikenali meliputi kausa pada area organobiologis, area
psikoedukatif, dan area sosiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab
perilaku maladaptif digambarkan sebagai tahapan mulai adanya faktor
predisposisi, faktor presipitasi dalam bentuk stressor pencetus, kemampuan
penilaian terhadap stressor, sumber koping yang dimiliki, dan bagaimana
mekanisme koping yang dipilih oleh seorang individu. Dari sini kemudian baru
menentukan apakah perilaku individu tersebut adaptif atau maladaptif.
Banyak ahli dalam kesehatan jiwa memiliki persepsi yang berbeda-beda
terhadap apa yang dimaksud gangguan jiwa dan bagaimana gangguan perilaku
terjadi. Perbedaan pandangan tersebut tertuang dalam bentuk model konseptual
kesehatan jiwa. Pandangan model psikoanalisa berbeda dengan pandangan
model social, model perilaku, model eksistensial, model medical, berbeda pula
dengan model stress – adaptasi. Masing-masing model memiliki pendekatan unik
dalam terapi gangguan jiwa.
Berbagai pendekatan penanganan klien gangguan jiwa inilah yang
dimaksud dengan terapi modalitas. Suatu pendekatan penanganan klien
gangguan yang bervariasi yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa
dengan perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif (Dahlia Majnun,
2009).
B. Tujuan Masalah
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami Terapi Modalitas
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian Terapi Modalitas
b. Mahasiswa mampu memahami tujuan Terapi Modalitas
c. Mahasiswa mampu mengimplementasikan jenis Terapi Modalitas
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Terapi Modalitas


Terapi modalitas adalah suatu kegiatan dalam memberikan askep baik di
institusi maupun di masyarakat yg bermanfaat dan berdampak terapeutik.
B. Tujuan Terapi Modalitas
1. menimbulkan kesadaran terhadap salah satu perilaku klien
2. mengurangi gejala gangguan jiwa
3. memperlambat kemunduran
4. membantu adaptasi terhadap situasi sekarang
5. membantu keluarga dan orang-orang yang berarti
6. mempengaruhi keterampilan merawat diri sendiri
7. meningkatkan aktivitas
8. meningkatkan kemandirian
(Gostetamy, 1973).
C. Jenis Terapi Modalitas
1. Terapi Lingkungan
a. Pengertian
Milieu Therapy, berasal dari bahasa Perancis yang berarti perencanaan
ilmiah dari lingkungan untuk tujuan yang bersifat terapeutik atau mendukung
kesembuhan.
Pengertian lainnya adalah tindakan penyembuhan pasien melalui
manipulasi dan modifikasi unsur-unsur yang ada pada lingkungan dan
berpengaruh positif terhadap fisik dan psikis individu serta mendukung proses
penyembuhan.
Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi
perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif.
Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti terapeutik.
Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan berubah perilaku
dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi.
Dalam terapi lingkungan perawat harus memberikan kesempatan,
dukungan, pengertian agar klien dapat berkembang menjadi pribadi yang
bertanggung jawab. Klien juga dipaparkan pada peraturan-peraturan yang harus
ditaati, harapan lingkungan, tekanan peer, dan belajar bagaimana berinteraksi
dengan orang lain. Perawat juga mendorong komunikasi dan pembuatan
keputusan, meningkatkan harga diri, belajar keterampilan dan perilaku yang baru.
Bahwa lingkungan rumah sakit adalah lingkungan sementara di mana klien
akan kembali ke rumah, maka tujuan dari terapi lingkungan ini adalah
memampukan klien dapat hidup di luar lembaga yang diciptakan melalui belajar
kompetensi yang diperlukan untuk beralih dari lingkungan rumah sakit ke
lingkungan rumah tinggalnya.
b. Tujuan
Membantu Individu untuk mengembangkan rasa harga diri,
mengembangkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, membantu
belajar mempercayai orang lain, dan mempersiapkan diri untuk kembali ke
masyarakat.
Menurut Stuart dan Sundeen:
1. Meningkatkan pengalaman positif pasien khususnya yang mengalami gangguan
mental, dengan cara membantu individu dalam mengembangkan harga diri.
2. Meningkatkan kemampuan untuk berhubungan denagan orang lain
3. Menumbuhkan sikap percaya pada orang lain
4. Mempersiapkan diri kembali ke masyarakat, dan
5. Mencapai perubahan yang positif
c. Karakteristik
Lingkungan harus bersifat terapeutik yaitu: mendorong terjadi proses
penyembuhan, lingkungan tersebut harus memiliki karakteristik sbb:
1. Pasien merasa akrab dengan lingkungan yang diharapkannya.
2. Pasien merasa senang /nyaman.dan tidak merawsa takut dengan lingkungannya.
3. Kebutuhan-kebutuhan fisik pasien mudah dipenuhi
4. Lingkungan rumah sakit/ bangsal yang bersih
5. Lingkungan menciptakan rasa aman dari terjadinya luka akibat impuls-impuls
pasien.
6. Personal dari lingkungan rumah sakit/bangsal menghargai pasien sebagai individu
yang memiliki hak, kebutuhan dan pendapat serta menerima perilaku pasien
sebagai respon adanya stress.
7. Lingkungan yang dapat mengurangi pembatasan-pembatasan atau larangan dan
memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan pilihannya dan
membentuk perilaku yang baru.
Disamping hal tersebut terapi lingkungan harus memiliki karakteristik:
1. Memudahkan perhatian terhadap apa yang terjadi pada individu dan kelompok
selama 24 jam.
2. Adanya proses pertukaran informasi.
3. Pasien merasakan keakraban dengan lingkungan.
4. Pasien merasa senang, nyaman, aman, dan tidak meraswa takut baik dari
ancaman psikologis maupun ancaman fisik.
5. Penekanan pada sosialisasi dan interaksi kelompok dengan focus komunikasi
terapeutik.
6. Staf membagi tanggung jawab bersama pasien.
7. Personal dari lingkungan manghargai klien sebagai individu yang memiliki hak,
kebutuhan, dan tanggung jawab.
8. Kebutuhan fisik klien mudah terpenuhi.
d. Jenis-jenis lingkungan
1. Lingkungan Fisik
Aspek terapi lingkungan meliputi semua gambaran yang konkrit yang merupakan
bagian eksternal kehidupan rumah sakit. Setting nya meliputi:
a. Bentuk dan struktur bangunan.
b. Pola interaksi antara masyarakat dengan rumah sakit.
Tiga aspek yang mempengaruhi terwujudnya lingkungan fisik terapeutik:
a. Lingkungan fisik yang tetap.

b. Lingkungan fisik semi tetap.

c. Lingkungan fisik tidak tetap.

2. Lingkungan Fisik Tetap


Mencakup struktur dari bentuk bangunan baik eksternal maupun internal.
Bagian eksternal meliputi struktur luar rumah sakit, yaitu lokasi dan letak gedung
sesuai dengan program pelayanan kesehatan jiwa, salah satunya kesehatan jiwa
masyarakat. Berada di tengah-tengah pemukiman penduduk atau masyarakat
sekitarnya serta tidak diberi pagar tinggi. Hal ini secara psikologis diharapkan
dapat membantu memelihara hubungan terapeutik pasien dengan masyarakat.
Memberikan kesempatan pada keluarga untuk tetap mengakui keberadaan pasien
serta menghindari kesan terisolasi.

Bagian internal gedung meliputi penataan struktur sesuai keadaan rumah


tinggal yang dilengkapi ruang tamu, ruang tidur, kamar mandi tertutup, WC, dan
ryang makan. Masing-masing ruangan tersebut diberi nama dengan tujuan untuk
memberikan stimulasi pada pasien khususnya yang mengalami gangguan mental,
merangsang memori dan mencegah disorientasi ruangan.
Setiap ruangan harus dilengkapi dengan jadwal kegiatan harian, jadwal
terapi aktivitas kelompok, jadwal kunjungan keluarga, dan jadwal kegiatan khusus
misalnya rapat ruangan.

3. Lingkungan Fisik Semi Tetap


Fasilitas-fasilitas berupa alat kerumahtanggaan meliputi lemari, kursi,
meja, peralatan dapur, peralatan makan, mandi, dsb. Semua perlengkapan diatur
sedemikian rupa sehingga memungkinkan pasien bebas berhubungan satu
dengan yang lainnya serta menjaga privasi pasien.

4. Lingkungan Fisik Tidak Tetap


Lebih ditekankan pada jarak hubungan interpersonal individu serta
sangat dipengaruhi oleh social budaya.

5. Lingkungan Psikososial
Lingkungan yang kondusif yaitu fleksibel dan dinamis yang
memungkinkan pasien berhubungan dengan orang lain dan dapat mengambil
keputusan serta toleransi terhadap tekanan eksternal.
a. Komunikasi terapeutik, sikap bersahabat dan perasaan empati.
b. Observasi pasien tiap 15 menit.
c. Jelaskan tujuan pengikatan/pengekangan secara berulang-ulang.
d. Penuhi kebutuhan fisik pasien.
e. Libatkan keluarga.

Beberapa prinsip yang perlu diyakini petugas kesehatan dalam


berinteraksi dengan pasien:
1. Tingkah laku dikomunikasikan dengan jelas untuk mempertahankan, mengubah
tingkah laku pasien.
2. Penerimaan dan pemeliharaan tingkah laku pasien tergantung dari tingkah laku
partisipasi petugas kesehatan dan keterlibatan pasien dalam kegiatan belajar.
3. Perubahan tingkah laku pasien tergantung pada perasaan pasien sebagai
anggota kelompok dan pasien dapat mengikuti atau mengisi kegiatan.
4. Kegiatan sehari-hari mendorong interaksi antara pasien.
5. Mempertahankan kontak dengan lingkungan misalnya adanya kalender harian
dan adanya papan nama dan tanda pengenal bagi petugas kesehatan.

e. Peran Perawat dalam Terapi Lingkungan


1. Pencipta lingkungan yang aman dan nyaman
a. Perawat menciptakan dan mempertahankan iklim/suasana yang akrab,
menyenangkan, saling menghargai di antara sesame perawat, petugas
kesehatan, dan pasien.
b. Perawat yang menciptakan suasana yang aman dari benda-benda atau
keadaan-keadaan yang menimbulkan terjadinya kecelakaan/luka terhadap pasien
atau perawat.
c. Menciptakan suasana yang nyaman.
d. Pasien diminta berpartisipasi melakukan kegiatan bagi dirinya sendiri dan orang
lain seperti yang biasa dilakukan di rumahnya. Misalnya membereskan kamar.

2. Penyelenggara proses sosialisasi


a. Membantu pasien belajar berinteraksi dengan orang lain, mempercayai orang
lain, sehingga meningkatkan harga diri dan berguna bagi orang lain.
b. Mendorong pasien untuk berkomunikasi tentang ide-ide, perasaan dan
perilakunya secara terbuka sesuai dengan aturan di dalam kegiatan-kegiatan
tertentu.
c. Melalui sosialisasi pasien belajar tentang kegiatan-kegiatan atau kemampuan
yang baru, dan dapat dilakukannya sesuai dengan kemampuan dan minatnya
pada waktu yang luang.

3. Sebagai teknis perawatan


Fungsi perawat adalah memberikan/memenuhi kebutuhan dari pasien,
memberikan obat-obatan yang telah ditetapkan, mengamati efek obat dan
perilaku-perilaku yang menonjol/menyimpang serta mengidentifikasi masalah-
masalah yang timbul dalam terapi tersebut.

4. Sebagai leader atau pengelola.


Perawat harus mampu mengelola sehingga tercipta lingkungan terapeutik
yang mendukung penyembuhan dan memberikan dampak baik secara fisik
maupun secara psikologis kepada pasien.

f. Jenis-jenis Kegiatan Terapi Lingkungan


a. Terapi rekreasi
yaitu terapi yang menggunakan kegiatan pada waktu luang, dengan tujuan pasien
dapat melakukan kegiatan secara konstruktif dan menyenangkan serta
mengembangkan kemampuan hubungan sosial.

b. Terapi kreasi seni


Perawat dalam terapi ini dapat sebagai leader atau bekerja sama denagn orang
lain yang ahli dalam bidangnya karena harus sesuai dengan bakat dan minat.

c. Dance therapy/ menari

d. Terapi musik

e. Terapi dengan menggambar/melukis Dengan menggambar akan menurunkan


ketegangan dan memusatkan pikiran yang ada.

f. Literatur/ biblio therapy


Terapi dengan kegiatan membaca seperti novel, majalah, buku-buku dan
kemudianmendiskusikannya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan wawasan
diri dan bagaimana mengekspresikan perasaan/pikiran dan perilaku yang sesuai
dengan norma-norma yang ada.

g. Pettherapy
Terapi ini bertujuan untuk menstimulasi respon pasien yang tidak mampu
mengadakan hubungan interaksi dengan orang-orang dan pasien biasanya
merasa kesepian, menyendiri.

h. Planttherapy
Terapi ini bertujuan untuk mengajar pasien untuk memelihara segala
sesuatu/mahluk hidup, dan membantu hubungan yang akrab antara satu pribadi
kepada pribadi lainnya.

2. Terapi Keluarga
a. Pengertian
Terapi keluarga adalah model terapi yang bertujuan mengubah pola
interaksi keluarga sehingga bisa membenahi masalah-masalah dalam keluarga
(Gurman, Kniskern & Pinsof, 1986).
Terapi keluarga merupakan pendekatan terapeutik yang melihat masalah
individu dalam konteks lingkungan khususnya keluarga dan menitik beratkan pada
proses interpersonal. Tetapi keluarga merupakan intervensi spesifik dengan tujuan
membina komunikasi secara terbuka dan teraksi keluarga secara sehat.

b. Tujuan
1. Menurunkan konflik kecemasan keluarga
2. Meningkatkan kesadaran keluarga terhadap kebutuhan masing-masing anggota
keluarga.
3. Meningkatkan kemampuan penanganan terhadap krisis.
4. Mengembangkan hubungan peran yang sesuai
5. Membantu keluarga menghadapi tekanan dari dalam maupun dari luar anggota
keluarga.
6. Meningkatkan kesehatan jiwa keluarga sesuai dengan tingkat perkembangan
anggota keluarga.

c. Perkembangan
Penelitian mengenai terapi keluarga dimulai pada tahun 1950-an oleh
seorang Antropologis bernama Gregory Bateson yang meneliti tentang pola
komunikasi pada keluarga pasien skizofrenia di Palo Alto, California.
Pada pertengahan 1970-an, masyarakat prefesional mulai menganggap
serius perspektif dan terapi keluarga. Sejalan dengan itu, buku-buku dan artikel-
artikle bermunculan, begitu juga program pelatihan terapi keluarga (Gale dan
Long, 1996)
Munculnya buku-buku semipopuler sejak tahun 1968 hingga 1992
memberikan pandangan dan proses yang melekat pada kehidupan perkawinan
dan pasangan yang senantiasa berubah.
Perkembangan dari fokus pada individu, psikodinamik berdasarkan
psikoterapi ke fokus pada keluarga sebagai unit dari terapi, dikemukakan of Jones
sebagai " Sceentific Revoketion ".

Penggunaan terapi keluarga ini yaitu untuk mengerti perilaku manusia,


khususnya disfungsi manusia. Berikut ini adalah asumsi yang digunakan sebagai
pedoman untuk menggunakan pendekatan –pendekatan dalam praktek
perawatan kesehatan.
Keluarga merupakan unti sosial dasar dalam fungsi manusia.
Keluarga adalah fenomena sosial yang multikultural dan multidimensi.
Keluarga mempengaruhi seluruhnya sistem sosial baik pada perkembangan
maupun kelangsungan perilaku seseorang.
Sebagai satu sistem sosial dasar keluarga mempunyai fungsi utama untuk
mentransfer nilai budaya dan tradisi melalui generasinya. Perkembangan dan
peningkatan sistem keluarga melalui organisasi yang kompleks berlangsung
melalui tahap –tahap perkembangan. Individu juga berkembang melalui tahap –
tahap perkembangan dan perjalanan ini umumnya terjadi dalam konteks keluarga.
Keluarga mengalami transisi dalam periste\iwa perkembangan seperti :
melahirkan, meninggal, dan menikah. Kejadian ini menimbulkan perubahan pada
anggota dan komposisi dari sistem keluarga. Keluarga memproses dan
mengembangkan kekuatan dan sumber internal. Diantara sumber –sumber
tersebut adalah kemampuan untuk beradaptasi dan berubah dalam respon
terhadap kebutuhan internal dan eksternal.
Perubahan dalam struktur dan proses keluarga menunjukkan perubahan
dalam seluruh anggota keluarganya. Perubahan dalam perilaku dan fungsi individu
sebagai anggota keluarga berpengaruh terhadap sistem keluarga dan seluruh
anggota keluarga lainnya. Keluarga sebagai sistem adalah lebih dari sejumlah
fungsi dari tiap –tiap individu dari anggotanya. Perubahan dalam struktur dan
fungsi keluarga dapat difasilitasi melalui terapi keluarga.
d. Kerangka teoritis
Terapi keluarga adalah model terapi yang bertujuan mengubah pola interaksi
keluarga sehingga bisa membenahi masalah-masalah dalam keluarga (Gurman,
Kniskern & Pinsof, 1986).
Terapi keluarga muncul dari observasi bahwa masalah-masalah yang ada
pada terapi individual mempunyai konsekuensi dan konteks sosial. Contohnya,
klien yang menunjukkan peningkatan selama menjalani terapi individual, bisa
terganggu lagi setelah kembali pada keluarganya.
Terapi keluarga didasarkan pada teori system (Van Bertalanffy, 1968) yang
terdiri dari 3 prinsip :
Pertama, adalah kausalitas sirkular, artinya peristiwa berhubungan dan saling
bergantung bukan ditentukan dalam sebab satu arah–efek perhubungan.
Kedua, ekologi, mengatakan bahwa system hanya dapat dimengerti sebagai pola
integrasi, tidak sebagai kumpulan dari bagian komponen. Dalam system keluarga,
perubahan perilaku salah satu anggota akan mempengaruhi yang lain.
Ketiga, adalah subjektivitas yang artinya tidak ada pandangan yang objektif
terhadap suatu masalah, tiap anggota keluarga mempunyai persepsi sendiri dari
masalah keluarga.
Ketika masalah muncul, terapi akan berusaha untuk mengidentifikasi
masalah keluarga atau komunikasi keluarga yang salah, untuk mendorong semua
anggota keluarga mengintrospeksi diri menyangkut masalah yang muncul. Tujuan
umum terapi keluarga adalah meningkatkan komunikasi karena keluarga
bermasalah sering percaya pada pemahaman tentang arti penting dari komunikasi
(Patterson, 1982).
Terapis keluarga biasa dibutuhkan ketika :
1. Krisis keluarga yang mempengaruhi seluruh anggota keluarga.
2. Ketidak harmonisan seksual atau perkawinan
3. Konflik keluarga dalam hal norma atau keturunan

Beberapa teori yang mendasari terapi keluarga adalah :


Psychodynamik Family Therapy.
Safir mengatakan bahwa ada hubungan antara psikopatologi individual dengan
dinamika keluarga.
Contoh :seseorang yang mempunyai harga diri rendah akan menampilkan suatu "
False Self" yang ditampilkan pada saat yang sama diajuga takut kecewa dan sulit
mempercayai orang lain termasuk pasangan hidupnya. Hal ini menyebabkan
kesulitan yang serius dalam perkawinannya.
Tujuan dari terapi keluarga yang berorientasi psikodinamika yaitu untuk
menolong anggota keluarga mencapai suatu pengertian tentang dirinya dan
caranya beraksi satu sama lain di dalam keluarga.
Di sini anggota keluarga didorong kearah asosiasi bebas dengan
membiarkan pikiran mereka berjalan bebas tanpa sensor alam sadar dan
memverbalisasilan pikirannya. Terapist hendaknya dab tudak secara aktif
melakukan intervensi juga hindari memberi saran dan memanipulasi keluarga.
Behavioural Family Therapy
Terapi perilaku dalam keluarga diawali dengan mempelajari pola perilaku
keluarganya untuk menentukan keadaan yang menimbulkan masalah perilaku
itu.Berdasarkan analisis ini, terapist membuat rencana untuk merubah keadaan
tersebut dengan cara intervensi langsung dalam keluarga.
Tujuan utamanya adalah meningkatkan perilaku yang positif yang
diinginkan dan menghilangkan perilaku negatif. Hal ini dilakukan dengan mengatur
keluarga sehingga perilaku yang diinginkan diperkuat dengan memberi " Reward
".
Group Therapy Approaches
Terapi kelompok dapat diterapkan didalam keluarga.
Tujuannya adalah menolong anggota keluarga mendapatkan insight melalui
proses interaksi didalam kelompok. Peranan terapist adalah sebagai fasilitator dan
kadang – kadang menginter pretasi apa yang terjadi pada anggota kelompok.
Terapi keluarga menggunakan teori komunikasi proses komunikasi yang
terjadi didalam keluarga dapat dijelaskan sebagai berikut :
Komunikasi dan kognisi
Terapist dari kelompok ini menaruh perhatian untuk menolong keluarga
dan menjelaskan arti komunikasi yang terjadi diantara mereka. Terapist menyuruh
anggota keluarga meneliti apa yang dimaksud oleh anggota keluarga yang lain
saat menyatakan sesuatu.
Terapist juga memperhatikan punktuasi dari proses komunikasi yang
terjadi pada keluarga dengan tujuan memperjelas kesalah pengertian, juga
diperhatikan bahwa non verbal yang digunakan.
Komunikasi dan kekuatan
Haley mengatakan bahwa bila seseorang mengkomunikasikan pesan pada
orang lain berati dia sedang membuat siasat untuk menentukan hubungan.
Contoh : orang tua bertanggung jawab terhadap anak – anak dan dia punya hak
untuk membatasi perilaku anak jika anak sudah besar, dia punya hak sendiri untuk
mengambil keputusan. Cara ini sering ditemukan pada terapi struktural dimana
tujuan proses, terapi untuk merubah posisi dari batasan diatara sub sistem yang
berbeda dalam keluarga.
Komunikasi dan Perasaan.
Virginia safir adalah orang yang banyak memberi penekanan komunikasi dari
perasaan. Dikatakan bahwa pasangan perkawinan yang mempunyai kebutuhan
emosional diharapkan ditentukan dalam perkawinan jika kita menemukan
kebutuhan emosional hari setiap orang maka komunikasi perasaan ini sangat
penting artinya : Tujuan dari terapi adalah memperbaiki bila terdapat
ketidakpuasan.

Structural Family Therapy.


Dikembangkan oleh Salvador Minuchin.
Perlu dinilai 6 aspek dari fungsi keluarga.
Struktur keluarga yang terdiri dari susunan yang mengatur transaksi diatara
anggota keluarga. Fleksibilitas dari fungsi keluarga dan kemampuannya untuk
berubah. " The Family Resonance " pada anggota keluarga dapat saling terikat
atau saling merenggang.
Konteks kehidupan keluarga ini merupakan supra sistem yang teridiri dari keluarga
besar, tetangga lingkungan kerja, lingkungan sekolah dari anggota keluarga supra
sistem bisa merupakan sumber stress atau sumber supprot dari lingkungan.bisa
merupakan.
Tingkatan perkembangan keluarga
Cara keluarga memperlakukan gejala – gejala yang terdapat pada anggota
keluarga yang sakit.
Terapist memulai terapi dengan cara bergabung dengan keluarga dan
berpartisipasi dalam transaksi, sehingga terapist dapat mengobservasi aspek
tertentu dari fungsi keluarga dan struktur keluarga tersebut. Kemudian tentukan
seberapa jauh gejala dari pasien atau masalah keluarga berkaitan dengan fungsi
keluarga (struktur keluarga). Jika berkaitan maka intervensi merubah struktur
diperlukan.
e. Indikasi
Terapi keluarga akan sangat bermanfaat jika digunakan pada kasus yang
tepat.
Indikasi terapi keluarga menurut walrond skinner adalah :
Gejala yang timbul merupakan ekspresi disfungsi dari sistem keluarga.
Gejala yang timbul lebih menyebabkan beberapa perubahan dalam hubungan
anggota keluargannya dapat merupakan masalah secara individual.
Kesulitan berpisah. Terapi keluarga yang berorientasi psikomaktika
menyatakan bahwa terapi keluarga akan berguna pada keluarga – keluarga dapat
fungsi yang didasari oleh paranoid Skizoid, hubungan yang " part object "
kurangnya " ego goundaries " dan terlalu banyakmemamakai denial projeksi. a "
Saverely Disorganized Family " dan keadaan sosial ekonomi yang sangat buruk.

f. Teknis
Terapi keluarga dilakukan dengan menggunakan tehnik berikut :
Terapi Keluarga Berstruktur.
Terapi keluarnya berstruktur adalah suatu kerangka teori tehnik
pendekatan individu dalam konteks sosialnya.
Tujuan adalah mengubah organisasi keluarga.
Terapi keluarga berstruktur memepergunakan proses balik antara lingkungan dan
orang yang terlibat perubahan– perubahan yang ditimbulkan oleh seseorang
terhadap sekitarnya dan cara–cara dimana umpan balik terhadap perubahan
perubahan tadi mempengaruhi tindakan selanjutnya. Terapi keluarga
mempergunakan tehnik – tehnik dan mengubah konteks orang–orang terdekat
sedemikian rupa sehingga posisi mereka berubah dengan mengubah hubungan
antara seseorang dengan konteks yang akrab tempat dia berfungsi, kita
mengubah pengalaman subyektifnya.
Terapi Individu / Perorangan
Melihat individu sebagai suatu tempat yang patologis dan mengumpulkan
data yang di peroleh dari atau tentang individu tadi.
Pada terapi perorangan dilakukan pengungkapan pikiran dan perasaan tentang
kehidupannya sekarang, dan orang – orang didalamnya. Riwayatnya
perkembangan konfliknya dengan orang tua dan saudara – saudaranya.
Bila akan dirujuk ke dalam terapi keluarga maka terapist akan mengekporasi
interaksi individu dalam konteks hidup yang berarti.
Dalam wawancara keluarga terapist mengamati hubungan individu dengan
anggota keluarga lainnya dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga.
h. Karakteristik
1. Mempertahankan keseimbangan, fleksibel & adaptif perubahan tahap transisi
dalam hidup.
2. Problem emosi merupakan bagian dari fungsi tiap individu
3. Kontak emosi dipertahankan oleh tiap generasi & antar keluarga
4. Hubungan antar keluarga yang erat & hindari menjauhi masalah
5. Perbedaan antar anggota keluarga mendorong untuk meningkatkan
pertumbuhan & kreativitas individu.
6. Orang tua & anak hubungan terbuka.

i. Peran Perawat
1. mendidik kembali dan mengorientasikan kembali seluruh anggota keluarga
2. memberikan dukungan kepada klien serta sistem yang mendukung klien untuk
mencapai tujuan dan usaha untuk berubah
3. mengkoordinasi dan mengintegrasikan sumber pelayanan kesehatan.
4. memberi penyuluhan, perawatan di rumah, psiko edukasi, dll.

Aktifitas :
1. Komponen dikdaktik : memberikan informasi & pendkes tentang gangguan jiwa,
sistem keswa & yankep.
2. Komponen ketrampilan : latihan komunikasi, asertif, menyelesaikan konflik,
mengatasi perilaku & stress
3. Komponen emosi : memberikan kesempatan untuk memvalidasi perasaan &
bertukar pengalaman
4. Komponen proses keluarga fokus pada koping keluarga & gejala sisa terhadap
keluarga.
5. Komponen sosial : meningkatkan penggunaan dukungan jaringan
formal/informal untuk klien & keluarga

Selain Peran perawat yang perlu diperhatikan juga adalah bagaimana


perawat membantu serta mendorong keluarga untuk terlibat dalam mencegah
klien kambuh.

3. Terapi Okupasi
a. Pengertian
Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan
partisipasi seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan.
Terapi ini berfokus pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada
seseorang, pemeliharaan dan peningkatan bertujuan untuk membentuk
seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang lain (Riyadi dan
Purwanto, 2009).

b. Fungsi dan Tujuan


Adapun tujuan terapi okupasi menurut Riyadi dan Purwanto (2009),
adalah:
1. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi mental:
a. Menciptakan kondisi tertentu sehingga klien dapat mengembangkan
kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat
sekitarnya.
b. Membantu melepaskan dorongan emosi secara wajar.
c. Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan kondisinya.
d. Membantu dalam pengumpulan data untuk menegakkan diagnosa dan terapi.
2. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan gerak, sendi, otot
dan koordinasi gerakan.
3. Mengajarkan ADL seperti makan, berpakaian, BAK, BAB dan sebagainya.
4. Membantu klien menyesuaikan diri dengan tugas rutin di rumah.
5. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan meningkatkan kemampuan yang
dimiliki.
6. Menyediakan berbagai macam kegiatan agar dicoba klien untuk mengetahui
kemampuan mental dan fisik, kebiasaan, kemampuan bersosialisasi, bakat, minat
dan potensinya.
7. Mengarahkan minat dan hobi untuk dapat digunakan setelah klien kembali di
lingkungan masyarakat.

c. Peranan aktivitas dalam terapi okupasi


Muhaj (2009), mengungkapkan aktivitas yang digunakan dalam terapi
okupasi, sangat dipengaruhi oleh konteks terapi secara keseluruhan, lingkungan,
sumber yang tersedia, dan juga oleh kemampuan si terapi sendiri (pengetahuan,
keterampilan, minat dan kreativitasnya).
1. Jenis
Jenis kegiatan yang dapat dilakukan meliputi: latihan gerak badan,
olahraga, permainan tangan, kesehatan, kebersihan, dan kerapian pribadi,
pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti dengan
mengajarkan merapikan tempat tidur, menyapu dan mengepel), praktik pre-
vokasional, seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain), rekreasi (tamasya, nonton
bioskop atau drama), diskusi dengan topik tertentu (berita surat kabar, majalah,
televisi, radio atau keadaan lingkungan) (Muhaj, 2009).

2. Aktivitas
Aktivitas adalah segala macam aktivitas yang dapat menyibukan
seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan
berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasan emosional maupun fisik. Oleh
karena itu setiap aktivitas yang digunakan harus mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
a. Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi, bukan
hanya sekedar menyibukkan klien.
b. Mempunyai arti tertentu bagi klien, artinya dikenal oleh atau ada hubungannya
dengan klien.
c. Klien harus mengerti tujuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa kegunaanya
terhadap upaya penyembuhan penyakitnya.
d. Harus dapat melibatkan klien secara aktif walaupun minimal.
e. Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi klien, bahkan harus dapat
meningkatkan atau setidaknya memelihara kondisinya.
f. Harus dapat memberi dorongan agar klien mau berlatih lebih giat sehingga dapat
mandiri.
g. Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.
h. Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan
kemampuan klien.
d. Katakteristik
Riyadi dan Purwanto, (2009), mengemukakan bahwa karateristik dari
aktivitas terapi okupasi, yaitu: mempunyai tujuan jelas, mempunyai arti tertentu
bagi klien, harus mampu melibatkan klien walaupun minimal, dapat mencegah
bertambah buruknya kondisi, dapat memberi dorongan hidup, dapat dimodifikasi,
dan dapat disesuaikan dengan minat klien.
e. Analisa Aktivitas
Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa analisa dari kegiatan terapi
okupasi, meliputi: jenis kegiatan yang dilakukan seperti latihan gerak badan atau
pekerjaan sehari-hari, maksud dan tujuan dari kegiatan dilakukan dan manfaatnya
bagi klien, sarana atau alat atau aktivitas dilakukan disesuaikan dengan jenis
kegiatan yang dilakukan, persiapan terhadap sarana pendukung dan klien maupun
perawat, pelaksanaan dari kegiatan yang telah direncanakan, kontra indikasi dan
disukai klien atau tidak disukai yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki
oleh klien.
f. Tindakan Terapi
Adapun proses dari terapi okupasi, sebagai berikut:
1. Pengumpulan data, meliputi data tentang identitas klien, gejala, diagnosis,
perilaku dan kepribadian klien. Misalnya klien mudah sedih, putus asa, marah.
2. Analisa data dan identifikasi masalah dari data yang telah dikaji ditegakkan
diagnosa sementara tentang masalah klien maupun keluarga.
3. Penentuan tujuan dan sasaran dari diagnosa yang ditegakkan dapat dibuat
sasaran dan tujuan yang ingin dicapai.
4. Penentuan aktivitas jenis kegiatan yang ditentukan harus disesuaikan dengan
tujuan terapi.
5. Evaluasi kemampuan klien, inisiatif, tanggungjawab, kerjasama, emosi dan
tingkah laku selama aktivitas berlangsung. Dari hasil evaluasi rencanakan kembali
kegiatan yang sesuai dan akan dilakukan. Evaluasi dilakukan secara periodik,
misalnya 1 minggu sekali dan setiap selesai melaksanakan kegiatan.
g. Pelaksanaan Terapi
Terapi okupasi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok
tergantung dari kondisi klien dan tujuan terapi.
1. Metode
a. Individual: dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum mampu berinteraksi
dengan kelompok dan klien lain yang sedang menjalani persiapan aktivitas.
b. Kelompok: klien dengan masalah sama, klien yang lama dan yang memiliki tujuan
kegiatan yang sama. Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok
kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang (Keliat dan Akemat, 2005).
Jumlah anggota kelompok kecil menurut Stuart dan Laraia (2001, dalam Keliat dan
Akemat, 2005) adalah 7-10 orang, Rawlins, Williams, dan Beck (1993, dalam
Keliat dan Akemat, 2005) menyatakan jumlah anggota kelompok adalah 5-10
orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota
mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan
pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang
terjadi. Johnson (dalam Yosep, 2009) menyatakan terapi kelompok sebaiknya
tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan reaksi interpersonal yang terbaik
terjadi pada kelompok dengan jumlah sebanyak itu. Apabila keanggotaanya lebih
dari 10, maka akan terlalu banyak tekanan yang dirasakan oleh anggota sehingga
anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas, dan seringkali bertingkah
laku irrasional.
2. Waktu
Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individual maupun
kelompok dengan frekuensi kegiatan per sesi 2-3 kali dalam seminggu. Setiap
kegiatan dibagi menjadi 2 bagian, pertama: ½-1 jam yang terdiri dari tahap
persiapan dan tahap orientasi, kedua: 1-1/2 jam yang terdiri dari tahap kerja dan
tahap terminasi (Riyadi dan Purwanto, 2009).
4. Psikoterapi Suportif
a. Pengertian
Psikoterapi adalah cara pengobatan dengan ilmu kedokteran terhadap
gangguanmental emosional dengan mengubah pola pikiran, perasaan, dan
perilaku agar terjadi keseimbangan dalam diri individu tersebut.
Dalam psikoterapi sangat diperlukan hubungan yang baik antara dokter dan
pasien.
b. Tujuan
1. Menguatkan daya tahan mental yang telah dimilikinya
2. Mengembangkan mekanisme daya tahan mental yang baru dan yang lebih baik
untuk mempertahankan fungsi pengontrolan diri
3. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan
c. Jenis Terapi
1. Ventilasi
Psikoterapi ventilasi adalah bentuk psikoterapi yang memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada pasien untuk mengemukakan isi hatinya dan sebagai
hasilnya ia akan merasa lega serta keluhannya akan berkurang.
a. Sikap terapis: menjadi pendengar yang baik dan penuh pengertian
b. Topik pembicaraan: permasalahan yang menjadi stres yang utama
2. Persuasi
Persuasi adalah psikoterapi suportif yang dilakukan dengan menerangkan
secara masuk akal tentang gejala-gejala penyakitnya yang timbul akibat cara
berpikir, perasaan, dan sikapnya terhadap masalah yang dihadapinya
.
a. Sikap terapis:
1. Terapis berusaha membangun, mengubah, dan menguatkan impuls tertentu serta
membebaskannya dari impuls yang mengganggu secara masuk akal dan sesuai
hati nurani
2. Berusaha meyakinkan pasien dengan alasan yang masuk akal bahwa gejalanya
akan hilang
b. Topik pembicaraan: ide dan kebiasaan pasien yang mengarah pada terjadinya
gejala.
3. Psikoterapi reassurance
Psikoterapi reassurance adalah psikoterapi yang berusaha meyakinkan
kembali kemampuan pasien bahwa ia sanggup mengatasi masalah yang
dihadapinya.
a. Sikap terapis: meyakinkan secara tegas dengan menunjukkan hasil-hasil yang
telah dicapai pasien.
b. Topik pembicaraan: pengalaman pasien yang berhasil nyata
4. Psikoterapi sugestif
Psikoterapi sugestif adalah psikoterapi yang berusaha menanamkan
kepercayaan pada pasien bahwa gejala-gejala gangguannya akan hilang.
a. Sikap terapis: meyakinkan dengan tegas bahwa gejala pasien pasti hilang
b. Topik pembicaraan: gejala-gejala bukan karena kerusakan organik/fisik dan
timbulnya gejala-gejala tersebut adalah tidak logis
5. Bimbingan
Bimbingan adalah psikoterapi yang memberi nasihat dengan penuh
wibawa dan pengertian
a. Sikap terapis: menyampaikan nasihat dengan penuh wibawa dan pengertian
b. Topik pembicaraan: cara hubungan antar manusia, cara berkomunikasi, dan cara
bekerja dan belajar yang baik
6. Penyuluhan
Penyuluhan atau konseling adalah psikoterapi yang membantu pasien
mengerti dirinya sendiri secara lebih baik, agar ia dapat mengatasi
permasalahannya dan dapat menyesuaikan diri.
a. Sikap terapis: menyampaikan secara halus dan penuh kearifan.
b. Topik pembicaraan: masalah pendidikan, pekerjaan, pernikahan,
dan pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
KeperawatanNers. 2013. Terapi
Lingkungan. http://keperawatanners.wordpress.com
/2013/01/31/terapi-lingkungan/
(Posted on Januari 31, 2013)
http://isthyqamadewi.blogspot.com/2012/06/makalah-terapi-keluarga.html
Chaplin, JP. 1968. Dictionary of Psychology (Kamus Lengkap Psikologi). M: 355.
Terjemahan oleh Dr. Kartini Kartono. 1981. Jakarta : Raja Grafindo

Sundberg, D, Winebarger, A, Taplin, J. 2007. Psikologi Klinis. Yogyakarta : Pustaka


Pelajar

Wiramihardja, S.A. 2004. Pengantar Psikologi Klinis (Edisi Revisi). Bandung : Refika
Aditama

Friedman, Marlyn M. 1998. Praktik Keperawatan Keluarga: Teori, Pengkajian, Diagnosa,


dan Intervensi. Toronto: Appleton&Lange.
Hershenson, David B.; Power, Paul W.; & Waldo, Michael. 1996. Community Counseling,
Contemporer Theory and Practice.
Massachusetts, A Simon & Scuster Company. Imbercoopersmith, Evan. 1985. Teaching
Trainee To Think In Triad. Journal of Marital and Family Therapy, Vol.11, No.1,61-
66.
Kendall, Philip C. & Norton-Ford, Julian. Professional Dimension Scientific and
Professional Dimension. USA, John Willey and Sons, Inc.
Perez, Joseph F. 1979. Family Counseling : Theory and Practice. New York, Van
Nostrand, Co.
Yosef, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.

http://mypondokiklan.blogspot.com/2011/01/terapi-keluarga.html
Cortinash, KM and Holeday Worret, P.A. Psychyatric Nursing care Plan, St. Louis ; Mosby
year Book, 1991.
Mc Farland, Gertrude K. and Themas M.D, Psychiatric Mental Health Nursing, St. Louis :
The CV. Mosby Co. 1987.
Made Winarta. 2012. Terapi Okupasi. available
from:http://wirnursing.blogspot.com/2012/03/terapi-okupasi.html
(dipostkan oleh Madw Winarta pada Senin, 19 Maret 2012)
Keliat, B.A. dan Akemat. 2005. Keperawatan Jiwa: Terapi Akitivitas Kelompok. Jakarta:
EGC.
Muhaj, K. 2009. Terapi Okupasi dan Rehabilitasi.
Available:http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/01/terapi-okupasi-dan-
rehabilitasi.html.
Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha
Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai