Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

RIBA DAN ASURANSI


Dosen Pengampu : Dr. A. Syatori. M.Ag

Disusun Oleh :
Putriana Indrawati (1808101067)
Nur Kholifah Abas (1808101068)
Muijah (1808101072)
3/PAI-B

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYEKH NURJATI CIREBON
2019 M/1441 H
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
penyusun panjatkan puji dan syukur atas kehadiratNya yang telah melimpahkan
rahmat dan inayahNya serta Dia-lah yang telah memberikan kesempatan untuk
dapat menimba ilmu dengan mudah di kampus kita tercinta yaitu IAIN Syekh
Nurjati Cirebon. Dan karena karuniaNya lah kita dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah Fiqh Muamalah dengan judul ”Riba dan Asuransi”.
Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kehadirat Nabi Muhammad
Shallahu‟alahi wa sallam, keluarganya, sahabatnya, para Tabi‟in dan Tabi‟ut
yang telah melanggengkan ilmu sampai kepada kita sekarang ini.
Tidak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. A. Syatori.
M.Ag selaku dosen pembimbing, staff perpustakaan, dan teman-teman yang telah
memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini sehingga makalah ini
dapat diselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, dan penyusun menyadari bahwa makalah ini
masih belum sempurna. Oleh karena itu, penyusun sangat membutuhkan kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
berguna bagi seluruh pihak yang membaca. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Cirebon, 14 Desember 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 1
C. Tujuan Masalah ..................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Riba ....................................................................................................... 3
1. Pengertian Riba ................................................................................. 5
2. Penyebab diharamkannya Riba ......................................................... 5
3. Macam-macam Riba ........................................................................... 6
4. Hikmah dilarangnya Riba .................................................................. 9
5. Dasar hukum Riba .............................................................................. 9

B. Asuransi ................................................................................................. 10
1. Pengertian Asuransi ........................................................................... 10
2. Sejarah Asuransi ................................................................................. 12
3. Dasar hukum Asuransi ....................................................................... 13
4. Prinsip Asuransi.................................................................................. 15
5. Macam-macam Asuransi ................................................................... 16
6. Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah .................. 17

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih merupakan bidang ilmu yang membahas tentang hukum-
hukum amaliyyah mustanbathah (praktis) yang diambil dari dalil-dalilnya
secara terinci. Adapun fiqih muamalah adalah salah satu dari cabang fiqih,
yang mana di dalamnya mengatur hubungan antara satu individu dengan
individu lain, atau antara individu dengan negara Islam, dan negara Islam
dengan negara lain.

Adapun dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai riba, dan
asuransi, dimana ketiganya merupakan bagian dari fiqih muamalah. Riba, dan
asuransi merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian
di suatu negara, termasuk di Indonesia.

Riba merupakan bentuk suatu penambahan dari pembayaran yang telah


jatuh tempo. Banyak orang yang menyamakan riba dengan kegiatan jual beli.
Anggapan tersebut jelaslah salah, karena keduanya memiliki perbedaan yang
sangat mencolok yang dapat dilihat dari aktivitas dan akibatnya. Riba memiliki
macam-macam dan sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya riba, yang
sudah tentu harus sangat diperhatikan dengan hukumnya. Asuransi, kedua
kegiatan ekonomi ini pun harus mendapat perhatian, karena keabsahannya pun
masih dipertanyakan oleh para ulama. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih
jelas mengenai pembahasan riba, dan asuransi, akan di bahas pada pembahasan
makalah kali ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Riba?
2. Apa penyebab diharamkanya Riba?
3. Apa saja macam-macam Riba?
4. Apa hikmah dilarangnya Riba?
5. Apa saja dasar hukum Riba?
6. Apa pengertian Asuransi?
7. Bagaimana sejarah Asuransi?
8. Apa saja dasar hukum Asuransi?
9. Apa saja prinsip Asuransi?
10. Apa saja macam-macam Asuransi?
11. Apa Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Riba
2. Untuk mengetahui penyebab diharamkanya Riba
3. Untuk mengetahui macam-macam Riba
4. Untuk mengetahui hikmah dilarangnya Riba
5. Untuk mengetahui dasar hukum Riba
6. Untuk mengetahui pengertian Asuransi
7. Untuk mengetahui sejarah Asuransi
8. Untuk mengetahui dasar hukum Asuransi
9. Untuk mengetahui prinsip Asuransi
10. Untuk mengetahui macam-macam Asuransi
11. Untuk mengetahui Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi
Syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riba
1. Pengertian Riba
Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat
pengembaliaan berdasarkan presentase tertentu dari jumlah peminjaman
pokok yang dibebankan kepada peminjam.Menurut bahasa riba memiliki
beberapa pengertian, yaitu:

1. Bertambah (Aziyaadatu), berasal dari kata “raba” yang sinonimnya :


nama wa zada, artinya tumbuh dan tambah. karena salah satu perbuatan
riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2. Berkembang, berbunga (Annaamu), karena salah satu perbuatan riba
adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan
terhadap orang lain.
3. Berlebihan atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman Allah
dalam QS.Al-haj ayat 5 yang artinnya “Bumi jadi subur dan gembur”

Ada beberapa pengertian riba menurut para ahli :


1. Menurut Imam Ar-Razi dalam tafsir Al-Qur‟an,
“Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti
rugi, sebab orang yang meminjamkan uang 1000 rupiah mengganti
dengan 2000 rupiah, maka ia mendapat tambahan 1000 rupiah tanpa
ganti”
2. Menurut Mughni Muhtaj oleh Syarbini,
“Riba adalah suatu akad atau transaksi atas barang yang ketika akad
berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut syariat atau dengan
menunda penyerahan kedua barang yang menjadi objek akad atau
salah satunya.”1

1
Wardi akhmad. 2013 Fiqh muamalat. Jakarta. Amzah
3. Menurut Al-Jurnaini
“Riba yaitu kelebihan atau tambahan pembayaran tanpa ada ganti
atau imbalan yang disyariatkan dari salah seorang bagi dua orang
yang membuat akad.”
4. Menurut Ijtima Fatwa Ulama Indonesia,
“Riba adalah tambahan tanpa imbalan yang terjadi karena
penanggungan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya atau
biasa disebut dengan riba nasi‟at.”
5. Menutur Al-mali,
“Riba adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang
tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara‟, ketika berakad
atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu
keduannya.”
6. Menurut Abdurrahman al-jaziri,
“Riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak
diketahui sama atau tidak menurut aturan syara‟ atau terlambat salah
satunya.”
7. Menurut Syaikh Muhammad Abduh,
“Riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang
yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya),
karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang
telah ditentukan.”
8. Menurut Al-farabi,
“Riba adalah setiap keuntungan yang bukan berasal dari tambahan
akibat berproduksi (ikhtiar), berdagang produktif (ghurmi) dan
memberikan jasa (dhaman).”2

2
Adam Panji. 2017. Fikih Muamalah Maliyah. Bandung : PT Refika Aditama

3
Adam Panji. 2017. Fikih Muamalah Maliyah. Bandung : PT Refika Aditama
9. Menurut syafi‟iyah,
“Riba adalah akad atas „iwadh (penukaran) tertentu yang tidak
diketahui persamaanya dalam ukuran syara‟ pada waktu akad atau
dengan mengakhirkan (menunda) kedua penukaran tersebut atau salah
satunya.”

2. Sebab-sebab haramnya Riba


a. Adanya nash dari Al Qur‟an dan Al Hadits terkait pengharaman riba
b. Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada
imbangnya, seperti seseorang menukarkan uang kerta Rp. 10.000,00
dengan uang recehan senilai Rp.9.950,00 maka uang senilai Rp.50,00
tidak ada imbangannya, maka uang senilai Rp.50,00 adalah riba.
c. Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia
dengan cara utang-piutang atau menghilangkan faedah utang-piutang
sehingga riba lebih cenderung memeras uang miskin dari pada
menolongnya.
d. Mencerobohi kehormatan seorang mu‟min dengan mengambil berlebihan
tanpa ada pertukaran
e. Membatalkan perniagaan, usaha, kemahiran pengilangan dan sebagainya
ini adalah karena cara mudah mendapatkan uang yang menyebabkan
keperluan asasi yang lain akan terabaikan dan terbengkalai
f. Merugikan Dan Menyengsarakan Orang Lain
g. Orang yang meminjam uang kepada orang lain pada umumnya karena
sedang susah atau terdesak. Karena tidak ada jalan lain, meskipun dengan
persyaratan bunga yang besar, ia tetap bersedia menerima pinjaman
tersebut, walau dirasa sangat berat. Orang yang meminjam ada kalanya
bisa mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya, tetapi adakalanya
tidak dapat mengembalikan pinjaman tepat pada waktu yang telah
ditetapkan. Karena beratnya bunga pinjaman, si peminjam susah untuk
mengembalikan utang tersebut. Hal ini akan menambah kesulitan dan
kesengsaraan bagi kehidupannya.
h. Pemakan riba akan dihinakan dihadapan seluruh makhluk, yaitu ketika
dibangunkan dari kubur, ia seperti orang kesurupan lagi gila.
3. Macam-Macam Riba
Menurut sebagian ulama riba terbagi kepada empat bagian :
a. Riba fadhal
Menurut Hanafiah, riba fadhal adalah tambahan benda dalam akad jual
beli (tukar-menukar) yang menggunakan ukuran syara‟ (yaitu literan atau
timbangan) yang jenis barangnya sama.

Menurut syafi‟iyah, riba fadhal adalah adanya tambahan atas dua benda
yang ditukarkan termasuk didalamnya riba qardh (utang).

Menurut sayid sabiq, riba fadhal adalah jual beli uang dengan uang atau
makanan dengan makanan disertai dengan kelebihan (tambahan).

Dari beberapa definisi yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa


riba fadhal adalah tambahan yang diisyaratkan dalam tukar-menukar
barang yang sejenis (jual beli barter) tanpa adanya imbalan untuk
tambahan tersebut. Misalnya, menukarkan beras ketan 10 kilogram
dengan beras ketan 12 kilogram. Tambahan 2 kilogram beras ketan
tersebut tidak ada imbalannya, oleh karena itu disebut riba fadhal
(kelebihan). Dengan semikian apabila barangnya berbeda maka
diperbolehkan dan tidak termasuk riba. Misalnya menukarkan beras biasa
10 kilogram dengan beras ketan 8 kilogram.

Ada enam jenis barang yang termasuk harta ribawi :


1. Emas,
2. Perak,
3. Gandum,
4. Jagung,4
5. Kurma, dan

4
Husain, Syahatah Husain. 2006. Asuransi Dalam Perspektif Syariah. Jakarta :
Amzah
6. Garam
b. Riba al-yad
Riba al-yad dikenal digolongan syafi‟iyah dan hanafiyah memasukan
riba yad ini kedalam riba nasi‟ah, dengan istilah “fadhul „ain „alad dain”
(kelebihan barang atas uang).
Pengertian riba al-yad seperti dikemukakan oleh wahbah zuhaili
adalah jual beli atau tukar menukar dengan cara mengakhirkan
penerimaan kedua barang yang ditukarkan atau salah satunya tanpa
menyebutkan masanya. Yakni terjadinya jual beli atau tukar menukar dua
barang yang berbeda jenisnya, seperti gandum dengan jagung (sya‟ir),
tanpa dilakukan penyerahan di majelis akad.
c. Riba nasi‟ah
Menurut Hanafiah, riba nasi‟ah adalah kelebihan tunai atas tempo
dan kelebihan barang atas utang di dalam barang yang ditakar atau
ditimbang ketika berbeda jenisnya, atau di dalam barang yang tidak
ditakar atau ditimbang ketika berbeda jenisnya, atau di dalam barang
yang tidak ditakar atau ditimbang ketika jenisnya sama. Atau dengan kata
lain riba nasi‟ah adalah menjual (menukar) suatu barang dengan barang
yang sama jenisnya, atau dengan barang yang tidak sama dengan
kelebihan takaran sebagai imbalan diakhirkannya penukaran, atau tanpa
tambahan seperti menjual satu kilogram kurma yang penyerahannya
langsung (di manjelis akad) dengan satu kilogram kurma yang
penyerahannya tempo.

Menurut Sayid Sabiq riba nasi‟ah adalah tambahan yang disyaratkan


yang diambil oleh orang yang memberikan utang dari orang yang
menerima utang sebagai imbalan ditundanya pembayaran.

Dari definisi diatas dapat difahami bahwa riba nasi‟ah adalah


tambahan yang disebutkan dalam perjanjian penukaran barang (jual beli
barter atau muqayadah) Sebagai imbalan atas ditundanya pembayaran.
Misalnya menjual (menukar) satu liter beras dengan dua liter beras yang
dibayar satu bulan kemudian. Kelebihan satu liter beras dalam contoh
tersebut merupakan riba, sebagai imbalan atas ditundanya pembayaran
selama satu bulan. Hanafiah juga memasukan kedalam kelompok riba
nasi‟ah suatu bentuk jual beli barter (penukaran) yang tidak ada
kelebihan, tetapi penyerahan imbalan (harga) diakhirnya. Misalnya
menukar satu kilogram satu kilogram yang di serahkan secara langsung
pada waktu akad dengan satu kilogram kurma yang diserahkan secara
langsung pada waktu akad dengan satu kurma juga tetapi penyerahannya
tempo. Ini termasuk riba nasi‟ah, karena menurut hanafiah, satu liter
kurma yang diserahkan pada saat sekarang lebih berharga daripada satu
liter kurma yang diserahkannya nanti (tahun depan misalnya). Riba
nasi‟ah yang terahir ini oleh syafi‟iyah disebut riba yad.

Riba nasi‟ah ini disebut dengan riba jahiliyah, karena berasal dari
kebiasaan orang-orang arab jahiliyah. Kebiasaan tersebut adalah apabila
masa utang diperpanjang maka modal dan tambahannya diribakan lagi,
sehingga lama kelamaan utang tersebut akan beranak cici, sampai
ahirnya orang yang berutang (debitur) tidak mampu melunasinya dan
habislah hartanya. Hal ini tentu saja sangat merugikan masyarakat, oleh
karena itu Allah melarangnya dengan keras dalam beberapa ayat.

Pada masa sekarang riba nasi‟ah banyak dilakukan di lembaga-


lembaga keuangan atau perbankan, yaitu dengan model pinjaman uang
yang pengembaliannya diangsur dengan bunga bulanan atau tahunan
seperti 7 %, 5 %, atau 1 % per bulan. Praktik model ini jelas menunjukan
riba dan bentuknya adalah riba nasi‟ah, yang hukumnya sama dengan
riba nasi‟ah. Pada masa sekarang ini praktik riba nasi‟ah inilah yang
banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu mengambil
keuntungan atau kelebihan atas pinjaman uang yang pengembaliannya
ditunda.

d. Riba Qardh
Riba Qardh yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat adanya
keuntungan atau tambahan bagi orang yang meminjami atau
mempiutangi.
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi.
Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan
hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000
adalah riba Qardh.

4. Hikmah Dilarangnya Riba


Hikmah diharamkannya riba yaitu :
a. Menghidari tipu daya diantara sesama manusia
b. Melindungi harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil
c. Memotifasi orang muslim untuk menginvestasi harta pada usaha-usaha
yang bersih dari penipuan, jauh dari apa saja yang dapat menimbulkan
kesulitan dan kemarahan di antara kaum muslimin
d. Membuka pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar ia mencari
bekal untuk akhirat
e. Rajin mensyukuri nikmat Allah Swt. Dengan cara memanfaatkan untuk
kebaikan serta tidak menyia-nyiakan nikmat tersebut
f. Melakukan praktik jual bali dan utang piutang secara baik menurut islam
5. Dasar Hukum Riba
a) Q.S. Al-Baqarah : 275

‫انَّ ِزٌٍَ ٌَأْ ُكهٌَُٕ انشِّ ثَب ََل ٌَقُٕ ُيٌَٕ إِ ََّل َك ًَب ٌَقُٕ ُو انَّ ِزي ٌَتَخَ جَّطُُّ ان َّش ٍْطَبٌُ ِيٍَ ْان ًَسِّ ۚ َٰ َرنِكَ ثِأَََُّٓ ْى قَبنُٕا‬
‫َّللاُ ْانجَ ٍْ َع َٔ َح َّش َو انشِّ ثَب ۚ فَ ًَ ٍْ َجب َءُِ َيْٕ ِعظَخٌ ِي ٍْ َسثِّ ِّ فَب َْتََٓ َٰى فَهَُّ َيب‬
َّ ‫إََِّ ًَب ْانجَ ٍْ ُع ِي ْث ُم انشِّ ثَب ۗ َٔأَ َح َّم‬
َٰ ُ
ِ َُّ‫َّللاِ ۖ َٔ َي ٍْ عَب َد فَأٔنَئِكَ أَصْ َحبةُ ان‬
ٌَٔ‫بس ۖ ُْ ْى فٍَِٓب خَ بنِ ُذ‬ َّ ‫َسهَفَ َٔأَ ْي ُشُِ إِنَى‬

Artinya :

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan


seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)

5
Janwari, Yadi. 2005. Asurasni Syariah. Bandung : Pustaka Bani Quraisssy
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

b) Q.S. Al-Baqarah: 276

‫بس أَ ِث ٍٍى‬ َّ َٔ ۗ ‫د‬


ٍ َّ‫َّللاُ ََل ٌ ُِحتُّ ُك َّم َكف‬ ِ ‫ص َذقَب‬ َّ ‫ق‬
َّ ‫َّللاُ انشِّ ثَب ٌَُٔشْ ثًِ ان‬ ُ ‫ٌَ ًْ َح‬

Artinya:

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak


menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa.”

c) Q.S. Al-Baqarah : 278


َّ ‫ٌَب أٌََُّٓب انَّ ِزٌٍَ آ َيُُٕا اتَّقُٕا‬
ٍٍَُِ‫َّللاَ َٔ َرسُٔا َيب ثَقِ ًَ ِيٍَ انشِّ ثَب إِ ٌْ ُك ُْتُ ْى ُي ْؤ ِي‬

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan


sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”

d) Q.S Ar-Ruum 39

َّ َّ ْ‫َّللاِ ۖ َٔ َيب آتَ ٍْتُ ْى ِي ٍْ صَ َكب ٍح تُ ِشٌ ُذٌَٔ َٔج‬


ِ‫َّللا‬ َّ ‫بس فَ ََل ٌَشْ ثُٕ ِع ُْ َذ‬ ِ َٕ ‫َٔ َيب آتَ ٍْتُ ْى ِي ٍْ ِسثًب ِنٍَشْ ث َُٕ فًِ أَ ْي‬
ِ َُّ‫ال ان‬
ٌَُٕ‫فَأُٔ َٰنَئِكَ ُْ ُى ْان ًُضْ ِعف‬

Artinya:

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-
orang yang melipat gandakan (pahalanya).”

e) Q.S Ali „Imran : 130

ٌَُٕ‫َّللاَ نَ َعهَّ ُك ْى تُ ْف ِهح‬ َ ‫ٌَب أٌََُّٓب انَّ ِزٌٍَ آ َيُُٕا ََل تَأْ ُكهُٕا انشِّ ثَب أَضْ َعبفًب ُي‬
َّ ‫ضب َعفَخً ۖ َٔاتَّقُٕا‬
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.”

B. Asuransi
1. Pengertian Asuransi
Istilah asuransi berasal dari bahasa Inggris, Insurance, yang berarti
pertanggungan. Dalam bahasa Belanda, assurantie, yang dalam hukum
Belanda disebut Verzekering yang berarti pertanggungan.
Sedangkan pengertian asuransi pada tahun 1992 tentang usaha
perasuransian sebagaimana pasal 1 ayat 1 adalah sebagai berikut:
"Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih
dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung,
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin
akan di derita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti,
atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan."6
Definisi Asuransi juga terdapat pada KUHD pada bab 9 pasal 246 yang
berbunyi:
"Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian di mana seorang
penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan

6
Janwari, Yadi. 2005. Asurasni Syariah. Bandung : Pustaka Bani Quraisssy
menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena
suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan
yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.
Dari kedua definisi asuransi dalam 2 undang-undang tersebut dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pihak pertama, yaitu tertanggung, mengalihkan beban atau resikonya
kepada pihak penanggung.
2. Pihak pertama mewajibkan untuk membayar premi sesuai dengan
perjanjian yang ada.
3. Pihak kedua yaitu pihak penanggung, mengelola uang premi tersebut
untuk membiayai risiko yang terjadi pada tertanggung.
4. Kedua belah pihak saling mendapatkan keuntungan dari perjanjian ini.

2. Sejarah Asuransi
Istilah asuransi mulai dikenal di Eropa Barat pada abad pertengahan yang
berupa asuransi kebakaran pada abad 13 dan 14 berkembang asuransi
angkutan laut. Asuransi jiwa baru dikenal pada abad 19. Pada abad 19 ini
Ibnu Abidin (1784-1836), seorang ahli hukum mazhab Hanafi
mendiskusikan ide asuransi dan dasar-dasar hukum nya. Dia adalah orang
pertama yang melihat asuransi sebagai sebuah lembaga resmi, bukan
sebagai praktik adat.
Pada masyarakat Arab terdapat sistem Aqilah yang merupakan
kebiasaan sejak masa sebelum Islam. Kebiasaan itu dilanjutkan oleh Nabi
Muhammad SAW yang dapat dilihat pada hadis berikut.
Abu Hurairah ra., dia berkata; berselisih 2 seorang wanita dari suku
hudzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang
lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang
dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut
mengadukan peristiwa kepada Rasulullah SAW memutuskan ganti rugi dari
pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak
laki-laki atau perempuan dan memutuskan ganti rugi kematian wanita
tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh Aqilah nya
(kerabat dari orang tua laki-laki).
Prinsip Aqila memang didasarkan pada kejadian tidak sengaja atau
kekeliruan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang sehingga yang
lain menanggung kompensasi terhadap ahli waris korban. Beban
kompensasi ini tidak ditanggung oleh si pembuat kekeliruan.
Sebelum abad 14, asuransi telah dilakukan oleh orang-orang Arab
sebelum datangnya Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Bahkan
nabi sendiri telah melakukan asuransi ketika berdagang di Mekah. Suatu
ketika barang dagangannya hilang di padang pasir karena bencana.
Mengelola usaha yang menjadi anggota dana kontribusi kemudian
membayar ganti rugi baik atas barang dagangan an, unta dan kuda yang
hilang, dan juga memberikan santunan kepada korban yang selamat dan
keluarga korban yang hilang. Nabi Muhammad ikut serta dalam
memberikan dana dan kontribusi tersebut.
Pada paruh abad 20, beberapa negara Timur Tengah dan Afrika telah
mulai mencoba mempraktikkan asuransi dalam bentuk Takaful, yang
kemudian berkembang pesat hingga ke negara-negara dengan penduduk non
muslim sekalipun di Eropa dan Amerika.
Pada abad ke-20, seorang ahli hukum islam terkenal, Muhammad
Abduh, mengeluarkan 2 fatwa antara tahun 1900-1901 M, melegalkan
praktik asuransi. Dalam fatwanya Abdul menggunakan beberapa sumber
untuk menyatakan Mengapa di memperbolehkan praktek asuransi jiwa.
Adapun 2 fatwa Muhammad Abduh tentang asuransi jiwa adalah
sebagai berikut:
1. Memandang hubungan antara pihak tertanggung dan perusahaan asuransi
sebagai kontrak mudharabah.
2. Melegitimasi sebuah model transaksi yang sama dengan wakaf asuransi
jiwa.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa asuransi syariah
sudah dilakukan sejak zaman rasul, walau belum dikenal sebagai asuransi
tetapi pembayaran ganti rugi. Dengan Aqilah, orang-orang yang
mengumpulkan dana gotong royong untuk membantu keluarga yang terlibat
dalam pembunuhan tidak sengaja. Baru pada paruh abad 20 atau abad ke-19
asuransi jiwa mulai dikenal.
Mereka adalah ulama-ulama ternama yang hidup di abad modern asuransi
Islam atau asuransi syariah merupakan hasil pemikiran ulama kontemporer.
3. Dasar Hukum Asuransi
Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits
Asuransi Islam berdiri atas dasar kerjasama dan tolong menolong dalam
kebaikan dan taqwa. Sebagaimana firman Allah:
Yang artinya:

ِ ‫اْل ْث ِم َوا ْن ُعد َْو‬


‫ان‬ َ ‫اووُىا َعهًَ ا ْنبِ ِّر َوانتَّ ْق َى ٰي ۖ َو ََل تَ َع‬
ِ ْ ًَ‫اووُىا َعه‬ َ ‫َوتَ َع‬
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS.
Al-Maidah:2).
Dan diambil dari hadits Nabi saw:
‫ َمثَ ُم ا ْن ُمؤْ ِمىِيْهَ فًِ ت ََىا ِّد ِه ْم‬: ِ‫ّللا‬ ُ ‫ّللاِ َع ْى ُه َما قَا َل قَا َل َر‬
ّ ‫س ْى ُل‬ ّ ًَ ‫ض‬ ِ ‫بش ْي ٍر َر‬ِ ْ‫ان ِبه‬ ِ ‫َه ان ُّى ْع َم‬
ِ ‫َوع‬
ُ‫ُض ٌى تَدَاعًَ نَه‬ ْ ‫شتَ َكً ِم ْىهُ ع‬ ْ ‫س ِد اِ َذاا‬َ ‫احم ِه ْم َوتَ َعا طُفِ ِه ْم َمثَ ُم ا ْن َج‬ ُ ‫َوت ََر‬
‫ش ْه ِر َوا ْن ُح َّمً متفق عهيه‬ َ ‫سائِ ُرا ْن َج‬
َّ ‫س ِدبِاان‬ َ
7

Yang artinya
“Perumpamaan orang mukmin dalam kasih sayang mereka seperti satu
tubuh, jika salah satu anggota tubuh mereka itu merasa sakit maka seluruh
anggota tubuh itu akan ikut merasakannya.” (Muttafaqun Alaih)
Menurut Pandangan Para Ulama
Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari
Fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut dibagi tiga, yaitu:
1. Pendapat pertama: Mengharamkan.

7
Janwari, Yadi. 2005. Asurasni Syariah. Bandung : Pustaka Bani Quraisssy
Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, termasuk
asuransi jiwa dan kesehatan. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid
Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan
Muhammad Bakhil al-Muth‟i (Mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka
kemukakan adalah:
a) Asuransi sama dengan judi.
b) Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti.
c) Asuransi mengandung unsur riba.
d) Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya
dengan mendahului takdir Allah.
2. Pendapat kedua: Membolehkan.
Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa
Akhmad Zarqa (guru besar hukum Islam pada fakultas syari‟ah
Universitas Syiria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Islam
pada Universitas Cairo Mesir) dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab
al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
a) Tidak ada nash (al-Qur‟an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
b) Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak .
c) Saling mengutungkan kedua belah pihak.
d) Asuransi termasuk akad mudharabah (bagi hasil).
3. Pendapat ketiga:
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah
(guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo). Alasan kelompok
ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat
komersial yakni haram dan sama pula dengan alasan kelompok kedua,
dalam asuransi yang bersifat sosial yakni boleh. Alasan golongan yang
mengatakan asuransi itu syubhat adalah karena atidak ada dalil yang
tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
4. Prinsip-Prinsip Asuransi
a) Tauhid
Seorang muslim ketika membeli dan menjual, menyewakan dan
mempekerjakan, melakukan penukaran barang dengan harta atau dengan
berbagai kemanfaatan. Selalu tunduk terhadap aturan Allah dalam
muamalah-Nya, tidak akan berusaha dengan sesuatu yang haram seperti
riba, penimbunan, zalim, menipu, berjudi, mencuri, menyuap dan
menerima suapan. Oleh karena itu, segala aktivitas dalam muamalah
harus senan tiasa mengarahkan para pelakunya dalam rangka untuk
meningkatkan ketakwaan kepada Allah.
b) Bersikap Adil
Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil dan membenci orang-
orang yang berbuat zalim. Sikap adil dibutuhkan ketika menentukan
nisbah mudarabah, musyawarah,wakalah, dan wadiah. Dalam bank,
asuransi juga dibutuhkan ketika menentukan bagi hasil dalam surplus
under writing dan bagi hasil investasi antara perusahaan dan peserta.
c) Larangan Melakukan Kezaliman
Kezaliman adalah kebalikan dari prinsip keadilan. Islam sangat ketat
dalam memberikan perhatian terhadap pelanggaran kezaliman. Bagi para
pelaku bisnis yang tidak memperhatikan kepentingan orang lain,
sebagaimana islam juga memperingatkan sesuatu yang akan
8
menimbulkan kerugian pada orang lain. Al-Qur‟an telah menentukan hal
tersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 41. Yang artinya “Dan janganlah
kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah hanya kepada
Akulah kamu bertakwa.
d) Ta‟awun
Ta‟awuun adalah prinsip utama dalam interaksi muamalah, dan juga
dapat dijadikan fondasi dalam membangun system masyarakat.
Ta‟awuun juga merupakan inti dari konsep takaful, dimana antar satu
peserta dengan peserta lain saling menanggung resiko melalui
mekkanisme dana Tabarru dengan akad yang benar yaitu Aqd Takafulli.
e) Al-Amanah

8
Janwari, Yadi. 2005. Asurasni Syariah. Bandung : Pustaka Bani Quraisssy
Diantara nilai transaksi yang terpenting dalam bisnis adalah al-
amanah atau kejujuran. Merupakan puncak moralitas iman dan
karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang yang beriman.
Kejujuran juga merupakan karakteristik para Nabi, tanpa kejujuran
kehidupan agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan agama tidak
akan berjalan dengan baik. Kejujuran, profesionalisme dan termasuk
penempatan seseorang sesuai dengan keahlian dan kemampuannya
merupakan bagian dari prinsip al-amanah dalam mu‟amalah yang islami.
5. Macam-macam Asuransi
a. Asuransi timbal balik
Beberapa orang yang memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan
maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dari mereka saat
mendapatkan kecelakaan. Jika uang yang dikumpulkan tersebut telah
habis, dipungut lagi iuran yang baru untuk persiapan selanjutnya.
b. Asuransi dagang
Beberapa manusia yang senasib bermupakat dalam mengadkan
pertanggungjawaban bersama untuk memikul kerugian yang menimpa
salah seorang anggota mereka. Apabila timbul kecelakaan, yang
merugikan salah seorang anggota yang telah berjanji seluruh orang yang
bergabung dalam perjanjian memikul beban kerugian dengan cara
memungut iuran yang telah ditetapkan atas dasar kerjasama untuk
meringankan teman masyarakat.
c. Asuransi pemerintah
Menjamin pembayaran harga kerugian kepada siapa saja yang menderita
di waktu terjadinya suatu kejadian yang merugikan tanpa
mempertimbangkan keuntungannya, bahkan pemerintah menanggung
kekurangan yang ada karena uang yang dipungut sebagai iuran dan
asuransi lebih kecil daripada harga pembayaran kerugian yang harus
diberikan kepada penderita diwaktu kerugian itu terjadi.
d. Asuransi Jiwa
Asuransi atas jiwa orang-orang yang mempertanggung jawabkan atas
jiwa orang lain. Penanggung berjanji akan membayar sejumlah uang
kepada orang yang disebut namanya dalam polis apabila yang
mempertanggungjawabkan meninggal dunia.
e. Asuransi terhadap bahaya-bahaya Pertanggungjawaban Sipil
Asuransi yang diadakan terhadap benda-benda, seperti asuransi rumah,
perusahaan, mobil, kapal udara, dan lain sebagainya.

6. Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah


Asuransi Konvensional Asuransi Syariah
1. Pengelolaan menggunakan prinsip menggunakan prinsip
Risiko transfer of risk sharing of risk
2. Pengelolaan dana memberlakukan premi pengelolaan dana
tertentu pada para dilakukan dengan sifat
peserta yang dibarengi transparan dan
dengan berbagai macam digunakan sebaik-
biaya la9innya baiknya untuk
mendapatkan
keuntungan
3. Sistem Perjanjian menggunakan akad menggunakan akad
perjanjian jual beli tabarru atau hibah
4. Kepemilikan perusahaan asuransi milik bersama
Dana memiliki wewenang
penuh terhadap dana
5. Pembagian akan menjadi hak milik dibagikan kepada
Keuntungan perusahaan asuransi peserta asuransi
6. Kewajiban Zakat kewajiban membayar mewajibkan untuk

9
Khosiyah siah. 2014. Fiqih muamalah perbandingan. Bandung.CV pustaka
setia
zakat tidak diberlakukan membayar atau
mengeluarkan zakat
7. Klaim dan setiap orang harus mendapatkan
Layanan memiliki polis nya perlindungan biaya
sendiri-sendiri rawat inap di RS untuk
semua anggota
keluarganya
8. Pengawasan tidak mendapatkan dilakukan oleh Dewan
perhatian yang khusus Syariah Nasional
dengan ketat
9. Instrumen melakukan berbagai kegiatan usaha yang
Investasi macam investasi dalam tidak bertentangan
berbagai maca instrumen dengan hukum islam
yang bertujuan untuk atau syariat islam
mendapatkan
keuntungan sebesar-
besarnya bagi
perusahaan

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang


memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena
pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah
ditentukan. Hukum riba yaitu haram. Riba terbagi ke dalam tiga macam yaitu
riba fadhl, riba yadd, dan riba nasi‟ah.

Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang dalam hukum
Belanda disebut verzekering yang artinya pertanggungan. Dari
peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung,
dangeassureerde bagi tertanggung. terdapat empat pendapat tentang hukum
asuransi, yaitu mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya
seperti sekarang ini, termasuk asuransi jiwa. Kedua, membolehkan semua
asuransi dalam praktiknya dewasa ini. Ketiga, membolehkan asuransi yang
bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata.
Keempat, menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat karena tidak ada dalil-
dalil syar‟i yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas
menghalalkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Adam Panji. 2017. Fikih Muamalah Maliyah. Bandung : PT Refika Aditama


Husain, Syahatah Husain. 2006. Asuransi Dalam Perspektif Syariah. Jakarta :
Amzah
Janwari, Yadi. 2005. Asurasni Syariah. Bandung : Pustaka Bani Quraisssy
Khosiyah siah. 2014. Fiqih muamalah perbandingan. Bandung.CV pustaka setia

Wardi akhmad. 2013 Fiqh muamalat. Jakarta. Amzah.

Anda mungkin juga menyukai