Anda di halaman 1dari 8

LANDASAN TEORI

RETENSIO PLASENTA

A. Pengertian
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir waktu 1
jam setelah bayi lahir (Sinopsis obstetri, jilid I)
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir hal itu
dinamakan retensio plasenta (Sarwono 2007).

B. Penyebab
1) Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena tumbuh melekat lebih
dalam, yang menurut perlekatannya dibagi menjadi ;
a. Plasenta Adhesiva, yang melekat pada desidua endometrium lebih
dalam.
b. Plasenta Inkreta, dimana vili korialis tumbuh lebih dalam dan
menembus desidua sampai ke miometrium.
c. Plasenta Akreta, yang menembus lebih dalam ke dalam
miometrium tetapi belum menembus serosa.
d. Plasenta Perkreta, yang menembus sampai serosa / peritoneum
dinding rahim.
2) Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan
menyebabkan perdarahan yang banyak atau karena adanya lingkaran
kontraksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala II
yang menghalangi plasenta keluar. Bila plasenta belum lepas sama sekali
tidak akan terjadi perdarahan, tetapi bila sebagian plaenta sudah lepas akan
terjadi perdarahan dan ini merupakan indikasi untuk segera
mengeluarkannya. Plasenta mungkin tidak keluar karena kandung kemih
penuh, oleh karena itu harus segera dikosongkan.
C. Gejala
1) Gejala yang selalu ada pada retensio plasenta adalah :
a. Plasenta belum lahir setelah 30 menit
b. Perdarahan segera setelah bayi lahir
c. Kontraksi uterus yang kurang baik
1) Gejala yang kadang – kadang ada pada retensio plasenta adalah :
a. Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
b. Inversio uteri akibat tarikan
c. Perdarahan lanjutan.

D. Komplikasi
1) Syok
2) Atonia uteri
3) Gagal jantung

E. Pencegahan
Umumnya retensio plasenta dapat dicegah. Mencegah retensio berarti
mencegah terjadinya perdarahan post partum dan juga menurunkan angka
kematian ibu. Pencegahan ini dapat dilakukan baik pada saat prakonsepsi,
prenatal maupun pada saat persalina sendiri. Beberapa ahli menganjurkan
untuk memberikan uterutonika secara rutin dengan alasan kala III menjadi
pendek, darah yang keluar pada persalinan berkurang dan frekuensi terjadinya
perdarahan post partum menjadi berkurang. Obat – obatan yang sering
digunakan untuk mencegah terjadinya retensio plasenta dan perdarahan post
partum antara lain adalah ergometrin, oksitosin, dan prostaglandin.

F. Sikap Bidan Dalam Menghadapi Retensio Plasenta


1) Sikap umum bidan
a. Memperhatikan keadaan umum
Apakah anemis
Bagaimana jumlah perdarahan
Keadaan umum penderita (TD, Nadi, Suhu, Respirasi)
Keadaan fundus uteri, kontraksi & TFU
b. Mengetahui keadaan plasenta
Apakah plasenta inkarserata
Melakukan tes plasenta ; metode kusnert, metode klein, metode
strassman, metode manuaba
Memasang infus dan memberikan cairan pengganti.
2) Sikap khusus bidan
a. Retensio plasenta dengan
perdarahan
Langsung lakukan
plasenta manual.
b. Retensio plasenta tanpa
perdarahan
Setelah dapat memastikan keadaan umum penderita, segera
memasang infus dan memberikan cairan
Merujuk penderita ke pusat pelayanan dengan fasilitas cukup,
untuk mendapatkan penanganan lebih baik
Memberikan transfusi
Proteksi dengan antibiotik
Mempersiapkan manual plasenta, dalam keadaan pengaruh narkosa
3) Upaya preventif retensio plasenta pola bidan
a. Meningkatkan penerimaan KB,
sehingga memperkecil terjadinya retensio plasenta.
b. Meningkatkan penerimaan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih.
c. Pola waktu melakukan
pertolongan persalinan kala III tidak diperkirakan untuk melakukan
masase dengan tujuan mempercepat proses persalinan plasenta, masase
yang tidak tepat waktu dapat mengacaukan kontraksi otot rahim dan
mengganggu pelepasan plasenta.
Retensio plasenta dan Plasenta Manual
Plasenta manual merupakan tindakan operasional untuk melakukan
retensio plasenta. Teknik operasional plasenta manual tidaklah sukar,
tetapi harus dilakukan bagaimana persiapan agar tindakan tersebut dapat
menyelamatkan jiwa penderita.

Kejadian retensio plasenta berkaitan dengan ;


1. Grandemulti dengan implantasi plasenta dalam bentuk plasenta
adhesive, plasenta akreta, plasenta inkreta dan plasenta perkreta.
2. Mengganggu kontraksi otot rahim & menimbulkan perdarahan
3. Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan
a) Darah penderita terlalu banyak hilang
b) Keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga pendarahan
tidak terjadi
c) Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam.
4. Plasenta manual dengan segera dilakukan
a) Terdapat perdarahan post partum.
b) Terjadinya perdarahan post partum melebihi 400 cc.
c) Pada pertolongan plasenta dengan narkosa.
d) Plasenta belum lahir setelah menunggu selama ½ jam.

Melahirkan retensio plasenta


Bila kehilangan darah ibu normal / minimal, maka bidan dapat mencoba
hal – hal berikut :
1. Menyusukan bayi sedini mungkin akan merangsang
oksitosin alami yang membantu uterus berkontraksi.
2. Penarikan tali pusat terkendali, bila oksitosin
diberikan bidan harus melakukan beberapa usaha untuk melahirkan
plasenta dengan melakukan penarikan tali pusat dan mendukung /
melindungi uterus.
3. Posisi maternal, bantulah ibu untuk tetap tegak
seperti jongkok / berlutut / duduk diatas toilet.
4. Beri semangat usaha mengejan, ibu bisa mengalami
kontraksinya sebagai “nyeri seperti saat menstruasi”
5. Kandung kemih teraba, kebanyakan ibu tidak
mampu kencing tanpa bantuan pada kala ini. Bila kandung kemih
teraba didiskusikan dengan ibu kemungkinan pemasangan kateter
untuk mengosongkan kandung kemih. Kandung kemih yang penuh
biasanya menggeser letak uterus.

Plasenta manual
Adalah tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan retensio plasenta.
Persiapan Plasenta Manual ;
 Sarung tangan steril
 Desinfektan untuk genitalia luar
Teknik ;
 Cairan & infus sudah terpasang.
 Pastikan kandung kemih kosong (jika penuh lakukan kateterisasi).
 Tangan kiri membuka genitalia eksterna, tangan kanan dimasukkan
secara obstetrik sampai mencapai tali pusat dengan menelusuri tali
pusat.
 Tepi plasenta dilepaskan dengan sisi ulnar tangan, sedangkan
tangan kiri menahan fundus uteri sehingga tidak mendorong ke atas.
 Lakuakn eksplorasi untuk mencari sisa plasenta / membrannya
 Setelah plasenta lahir masase fundus uteri.
 Kontraksi uterus ditimbulkan dengan memberikan uterutonika
 Perhatikan kontraksi uterus dan observasi perdarahan.
Komplikasi tindakan plasenta manual ;
 Terdapat infeksi : sisa plasenta / membrane & bacterial terdorong
ke dalam rongga rahim
 Terjadinya perdarahan karena atonia uteri.
Untuk memperkecil komplikasi dapat dilakukan tindakan profilaksis
dengan memberikan uterutonika interval intramuscular, memasang tampon
uterutonika, memberikan antibiotik, dan memasang infus serta persiapan
transfusi darah.

Luka pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur


Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 tingkatan :
1. Tingkat I
Robekan hanya terjadi pada selaput lender vagina atau tanpa mengenai
kulit perineum sedikit.
2. Tingkat II
Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selama mengenai selaput lendir
vagina juga mengenai muskulus perinei transversalis, tapi tidak
mengenai sfingter ani.
3. Tingkat III
Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai
otot-otot sfingter ani. Ruptura perinei totalis di beberapa kepustakaan
yang berbeda disebut sebagai termasuk dalam robekan derajat III atau
IV. Beberapa kepustakaan juga membagi tingkat III menjadi beberapa
bagian seperti :
 Tingkat III a.
Robekan < 50 % ketebalan sfingter ani.
 Tingkat III b.
Robekan > 50% ketebalan sfinter ani.
 Tingkat III c.
Robekan hingga sfingter ani interna.
4. Tingkat IV
Robekan hingga epitel anus Robekan mukosa rectum tanpa robekan
sfingter ani sangat jarang dan tidak termasuk dalam klasifikasi diatas.
Teknik menjahit robekan perineum
1. Tingkat I
Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan hanya dengan
memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau
dengan cara angka delapan (figure of eight).
2. Tingkat II :
Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat II
maupun tingkat III, jika dijumpai pinggir yang tidak rata atau
bergerigi, maka pinggir bergerigi tersebut harus diratakan terlebih
dahulu.pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem
terlebih dahulu kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru
dilakukan penjahitan luka robekan. Mula-mula otot-otot dijahit dengan
catgut. Kemudian selaput lendir vgina dijahit dengan catgut secra
terputus-putus atau jelujur. Penjahitan selaput lendir vagina dimulai
dari puncak robekan . terakhir kulit perineum dijahit dengan benang
sutera secara terputus-putus.
3. Tingkat III
Mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit. Kemudian fasia
peirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik,
sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah
oleh karena robekan diklem dengan klem pean lurus. Kemudian dijahit
dengan 2-3 jahitan catgut kromil sehingga bertemu kembali.
Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan
perineum tingkat II.
4. Tingkat IV :
Pasien dirujuk ke fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA

Hanifa. Wikjosastro, Bulardi, dkk. 2002. Buku Praktes Pelayanan Kesehatan,


EGC. Maternal dan Neonatal. Jkarta

Prof. Dr. Mochtar, MPH, Rustam. 2002. Sinopsis Obtetri Jilid 1. Obtetri
Fisiologis Obstetri Patologi. Jakarta

Wiknjosastro, hanifa. 2002. Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga. Yayasan Pustaka


Sarwono Prawirohardjo. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai