Anda di halaman 1dari 32

1

Pendahuluan

Latar Belakang

Infertilitas atau kemandulan adalah penyakit sistem reproduksi yang

ditandai dengan ketidakmampuan atau kegagalan dalam memperoleh kehamilan,

walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3 kali seminggu dalam

kurun waktu 1tahun atau lebih dan tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Saraswati,

2015).

Prevalensi infertilitas yang tepat belum diketahui secara pasti, sangat

bervariasi tergantung keadaan geografis, budaya dan status sosial negara. Kebiasaan

masyarakat timur yang membicarakan atau menganggap segala sesuatu yang

berhubungan dengan seks itu tabu dan privasi, sehingga tidak layak untuk dibicarakan

memberi kontribusi terhadap kejadian infertilitas. Semakin banyaknya wanita karir

yang menikah pada usia lebih dewasa pada status sosial yang lebih tinggi akan sangat

mempengaruhi kesuburan seseorang wanita, diperkirakan muncul sekitar 2 juta

pasangan infertilitas baru setiap tahun dan jumlah ini terus meningkat (Williem,

2018). Diperkirakan 85-90% pasangan yang sehat akan mendapat pembuahan dalam

1 tahun (DepKes, 2010).

Dengan angka infertilitas yang tinggi, maka harus diketahui apa saja yang

dapat mempengaruhi keadaan infertilitas. Berbagai faktor dapat menyebabkan

seorang wanita dan pria menjadi infertil. Penyebab seorang wanita infertil disebabkan

oleh beberapa faktor contohnya gangguan ovulasi yang terjadi karena Polycystic

Ovarium Syndrome (PCOS). Primary Ovarian Insufficiency (POI) yang seringmuncul

Latar Belakang
2

Bagi pasangan suami istri memiliki keturunan merupakan hal yang di sangat
diharapkan. Namun, sebanyak 15% pasangan didunia memiliki gangguan kesuburan
atau infertilitas (Agarwa et al, 2015). Infertil merupakan masalah yang sangat sensitif
dan sulit bagi pasangan yang sudah menikah, terutama bagi pasangan yang sudah
menikah dalam waktu yang lama (Wiweko, 2017).
Infertilitas menurut Kusmiran (2013) adalah ketidak mampuan untuk hamil
sesudah 12 bulan atau enam bulan pada waktu berusia lebih dari 35 tahun tanpa
menggunakan kontrasepsi dan melakukan hubungan seksual aktif. Sebagian besar
kasus infertilitas wanita disebabkan oleh masalah dengan ovulasi. Tanpa ovulasi tidak
ada telur yang bisa dibuahi. Beberapa tanda-tanda bahwa wanita tidak berovulasi
biasanya mencakup tidak teratur atau tidak adanya menstruasi (Lasari, 2014).
Infertil merupakan suatu krisis dalam kehidupan yang dapat mempengaruhi
berbagai aspek. Berdasarkan dari sekian banyak pasangan yang mengalami masalah
infertil, akan berdampak besar pada kesehatan mental baik dari aspek fisik,
emosional, seksual, spritual dan keuangan. Pada umumnya pasien yang mengalami
gangguan kesuburan akan timbul gejala seperti kecemasan dan stres, gejala yang lain
diantaranya marah, pengkhianatan, rasa bersalah dan kesedihan (Ezzell, 2016).
Menurut Saraswati (2015) infertil atau kemandulan adalah penyakit sistem
reproduksi yang ditandai dengan ketidak mampuan atau kegagalan dalam
memperoleh kehamilan, walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3
kali seminggu dalam kurun waktu 1 tahun atau lebih tampa menggunakan alat
kontrasepsi.
Menurut Noveryanti (2016) infertilitas atau ketidak suburan Adalah keadaan
diimana seseorang tidak dapat hamil secara alami atau tidak dapat menjalani
kehamilannya secara utuh. Devenisi standar infertil adalah kondisi yang menunjukan
tidak terdapatnya pembuahan dalam waktu 1 tahun setelah melakukan hubungan
seksual tampa perlindungan kontrasepsi.
Data infertilitas di dunia menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health
Organization, WHO) dan laporan lainnya diperkirakan 8-12% pasangan yang
mengalami masalah infertilitas selama masa reproduktif mereka. Jika 8 % dari
3

gambaran global populasi maka sekitar 60-80 juta pasangan yang belum dikaruniai
anak. Di china, infertil mempengaruhi sekitar 18 % dari populasi melahirkan dan
lebih dari 50 juta pasien tidak subur, menurut sebuah konvrensi nasional tentang
infertilitas pada tahun 2014 (FU, 2016). Frevalensi rata - rata infertilitas di negara-
negara maju adalah 3.5% - 16,7 % dan di Negara - negara berkembang adalah 6,9 % -
9,3% (Masoumil et al,2015 ). Di Amerika Serikat 6,1 juta wanita dan pasangan nya
mengalami infertil (Brune dan Thatcer, 2011).
Prevalensi infertilitas yang tepat belum diketahui secara pasti, sangat
bervariasi tergantung keadaan geografis, budaya dan status sosial negara. Kebiasaan
masyarakat timur yang membicarakan atau menganggap segala sesuatu yang
berhubungan dengan seks itu tabu dan privasi, sehingga tidak layak untuk dibicarakan
memberi kontribusi terhadap kejadian infertilitas. Semakin banyaknya wanita karir
yang menikah pada usia lebih dewasa pada status sosial yang lebih tinggi akan sangat
mempengaruhi kesuburan seseorang wanita, diperkirakan muncul sekitar 2 juta
pasangan infertilitas baru setiap tahun dan jumlah ini terus meningkat (Williem,
2018).
Menurut Riset Kesehatan Dasar pasangan infertil di Indonesia tahun 2018
adalah 50 juta pasangan atau 15-20% dari seluruh pasangan yang ada (Riskesdas,
2018). Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 menyebutkan dari total 23 juta penduduk
Indonesia, terdapat kurang lebih 39,8 juta wanita usia subur, namun 10–15 persen
diantaranya infertil. Menurut Ariyadi, (2016).
Menurut Robert (2014), Secara global dapat disimpulkan bahwa penyebab
terjadinya infertilitas diakibatkan dari faktor laki-laki sekitar 30% meliputi kelainan
pengeluaran sperma, penyempitan saluran mani karena infeksi bawaan, faktor
immunologik/antibodi, antisperma, serta faktor gizi. Sedangkan gangguan dari
perempuan 30% yang mempunyai masalah pada vagina, serviks, uterus, kelainan
pada tuba, ovarium dan pada peritoneum. Gangguan dari keduanya 30% dan yang
tidak diketahui sekitar 10%.
Dengan angka infertilitas yang tinggi, maka harus diketahui apa saja yang
dapat mempengaruhi keadaan infertilitas. Berbagai faktor dapat menyebabkan
4

seorang wanita dan pria menjadi infertil. Penyebab seorang wanita infertil disebabkan
oleh beberapa faktor contohnya gangguan ovulasi yang terjadi karena Polycystic
Ovarium Syndrome (PCOS). Primary Ovarian Insufficiency (POI) yang sering
muncul ketika wanita berumur lebih dari 40 tahun, tersumbatnya tuba fallopi yang
sering disebabkan oleh Pelvic Inflammatory Deases (PID), endometriosis, pasca
operasi kehamilan ektopik, kelainan di uterus dan uterine fibroid (Djuwanto, 2015)
Anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa infertil disebabkan oleh
wanita, padahal pada pria juga dapat terjadi infertilitas sebesar 20-40%, pada wanta
30-55%, faktor gabungan 35% dan penyebab yang tidak dapat diketahui penyebabnya
5-15% (Masoumil et al, 2015).
Penyebab infertilitas pada perempuan dan laki-laki atara lain yang dialami
oleh perempuan mandul adalah gangguan ovulasi. Bila ovulasi tidak terjadi maka
tidak ada sel telur yang bisa dibuahi. Penyebab kemandulan pada laki-laki antara lain
gangguan pada pabrik sperma sehingga sel sperma yang dihasilkan sedikit atau tidak
sama sekali (Rukiyah, 2017).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2015) tentang
determinan kejadian infertilitas pria di Kabupaten Tulang Bawang menunjukan
bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya infertilitas pada pria diantaranya yaitu
pekerjaan yang harus terpapar dengan zat berbahaya 46,3%, perilaku merokok 68,3%,
riwayat konsumsi alkohol 21,5%, pria dengan kebiasaan olahraga berat 56,1%.
Sedangkan pada wanita berdasarkan penelitian yang dilakukan Oktariana (2014)
faktor yang mempengaruhi infertilitas pada wanita diantaranya usia dengan kelompok
tertinggi 25-35 tahun sebanyak 71%, wanita karir sebanyak 66,1%, endometrosis
25,6%, masalah uterus 33%.
Menurut Robert (2014), Secara global dapat disimpulkan bahwa penyebab
terjadinya infertilitas diakibatkan dari faktor laki-laki sekitar 30% meliputi kelainan
pengeluaran sperma, penyempitan saluran mani karena infeksi bawaan, faktor
immunologik/antibodi, antisperma, serta faktor gizi. Sedangkan gangguan dari
perempuan 30% yang mempunyai masalah pada vagina, serviks, uterus, kelainan
5

pada tuba, ovarium dan pada peritoneum. Gangguan dari keduanya 30% dan yang
tidak diketahui sekitar 10%.
Koes (2015), mengatakan bahwa faktor-faktor infertil yang sering ditemukan
adalah faktor koitus pada pria, faktor ovulasi, faktor serviks, faktor tuba - rahim dan
faktor peritoneum. Faktor - faktor tesebut tergantung pada keadaan lokal, populasi
dan prosedur rujukan.
Infertilitas memberikan efek pada kualitas pernikahan, beresiko penceraian,
penurunan seksual, putus asa, depresi, atau gangguan psikologis lainnya (Jahromi,
2014). Beberapa perempuan merasa tersingkir terutama oleh keluarga pasangan
mereka, mereka mengalami diskriminasi, menerima ancaman dan tekanan bercerai,
mengalami pelecehan dari keluarga pasangan mereka yang menyebabkan tingginya
tingkat stres dan masalah psikologis (Karanca, 2015).
Menurut Odek, 2014 ditemukan sebanyak 64 % kasus perceraian karena
infertilitas. Individu yang tidak mempunyai keturunan akan memiliki kecenderungan
lebih tinggi untuk bercerai dibandingkan dengan individu yang memiliki anak.
Temuan ini menggambarkan bahwa infertilitas adalah ancaman serius terhadap
institusi perkawinan dan kerukunan keluarga. Sebagian perempuan dengan masalah
infertilitas khawatir tentang pernikahan mereka dan merasa suami mereka
kemungkinan besar akan meninggalkan mereka.
Penanggulangan infertilitas di Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah
adalah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor.61 tahun 2014 telah diatur
mengenai kesehatan reproduksi pada pasangan usia subur sebelum hamil, sesudah
hamil dan masa sesudah melahirkan. Pemerintah memberikan tugas dan tanggung
jawab kepada tenaga kesehatan untuk diberikan konseling sebelum hamil, sesudah
hamil dan masa sesudah hamil (Trisnawati, 2015). Namun hingga saat ini program
tersebut belum terlaksana secara tepat.

Angka kemandulan di Sumatera Utara mencapai 15% hingga 17% per tahun
dari semua pasangan suami istri (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2017), menurut
dr. Ichwanul Adenin, SpOG (K) kejadian infertil dapat terjadi pada pria dan wanita.
6

Infertil dari pria biasanya di sebabkan oleh abnormalitas sperma, ejakuasi,


abnormalitas ereksi, abnormalitas cairan semen, infeksi pada saluran genital dan
lingkungan.
Dari hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti di klink dr. Binarwan
Halim SpOG, ditemukan rata-rata kunjungan pasangan usia subur yang mengalami
infertilitas adalah
Berdasarkan survey awal yang dilakukan maka penulis tertarik untuk
mengetahui “Faktor - Faktor Apa Saja Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Infertil Pada Pasangan Usia Subur (PUS) Di Praktek dr. Binarwan Halim
SpOG”
1.1 Rumusan Masalah

Yang Menjadi Perumusan Masalah Dalam Penelitian ini adalah untuk


mengetahui apa saja faktor - faktor yang berhubungan dengan kejadian infertilitas
Pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Praktek dr. Binarwan Halim SpOG.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menganalisis faktor - faktor yang berhubungan dengan kejadian
infertilitas pada Pasangan Usia Subur (PUS) di Praktek dr. Binarwan Halim SpOG.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Untuk mengetahui hubungan usia PUS terhadap infertilitas
b. Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian infertilitas
c. Untuk mengetahui usia menarche dengan kejadian Infertilitas pada WUS
d. Untuk mengetahui hubungan siklus menstruasi dengan kejadian infertilitas
pada WUS
e. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan PUS tentang infertilitas

1.4 Manfaat Penelitian


a. Bagi Dinas Kesehatan
7

Memberikan informasi untuk perencanaan dan pelaksanaan program


penanggulangan infertil pada Pasangan Usia Subur yang tepat di
masyarakat sesuai dengan sumber daya yang ada.
b. Bagi PUS
Sebagai bahan masukan dan menambah pemahaman bagi PUS tentang
infertilitas.
c. Bagi Peneliti
Memberikan informasi dan menambah khasanah ilmu pengetahuan
tentang resiko terjadinya infertilitas, serta faktor-faktor penyebab infertil
pada pasangan usia subur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infertilitas
8

2.1.1 Pengertian Infertilitas


Menurut Saraswati, 2015 Infertilitas atau kemandulan adalah penyakit sistem
reproduksi yang ditandai dengan ketidakmampuan atau kegagalan dalam memperoleh
kehamilan, walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3 kali seminggu
dalam kurun waktu 1tahun atau lebih dan tanpa menggunakan alat kontrasepsi.
Infertilitas atau ketidak suburan adalah keadaan dimana seseorang tidak
hamill secara alami atau tidak dapat menjalani kehamilannya secara utuh. Defenisi
standar infertilitas adalah kondisi yang menunjukkan tidak terdapatnya pembuahan
selama setahun setelah melakukan hubungan seksual tanpa perlindungan kontrasepsi
(Noveriyanti, 2016).
Sedangkan menurut teori Setya, (2014) Infertilitas adalah ketidak mampuan
sepasang suami istri untuk mencapai kehamilan setelah selama satu tahun
melaksanakan hubungan seksual secara teratur dan tidak menggunakan alat
kontrasepsi.
Infertilitas memberikan dampak bagi pasangan suami istri yang
mengalaminya, selain menyebabkan masalah medis, juga berdampak pada masalah
psikologis bahkan perekonomian. Secara garis besar, pasangan yang mengalami
infertilitas akan menjalani proses panjang, dimana proses ini dapat menjadi beban
fisik dan psikologis bagi pasangan infertilitas (Koes, 2015).
Infertil (mandul) adalah pasangan suami istri yang telah menikah selama satu
tahun dan sudah melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat kontrasepsi,
tetapi belum memiliki anak (Rukiyah dkk, 2017).
Infertilitas adalah ketidak mampuan pasangan suami istri untuk memperoleh
anak setelah menikah selama setahun tanpa menggunakan alat kontrasepsi dan pada
perempuan yang berusia lebih dari 35 tahun atau yang diketahui mengidap sesuatu
yang menyebabkan infertil dievaluasi lebih dini (Cunningham, 2011).
Infertilitas merupakan ketidak mampuan seorang istri untuk menjadi hamil
dan melahirkan bayi hidup dari suami yang mampu menghamilinya (Nugroho, 2017).
2.1.2 Jenis Infertilitas
9

Menurut koes, 2015 secara medis infertil dibagi menjadi ada 2 (dua) jenis
yaitu:
a. Infertilitas Primer
Infertilitas primer yaitu pasangan suami istri belum mampu dan belum pernah
memiliki anak setelah 1 tahun berhubungan seksual sebanyak 2-3 kali per minggu
tanpa mengunakan alat kontrasepsidalam bentuk apapun.
b. Infertilitas Sekunder
Infertilitas sekunder berarti pasangan suami istri telah atau pernah memiliki anak
sebelumnya tetapi saan ini belum mampu memiliki anak lagi setelah 1 tahun
berhubungan seksual sebanyak 2-3 kali per minggu tanpa menggunakan alat atau
metode kontrasepsi jenis apapun.
Menurut Maria (2013) infertilitas di bagi menjadi 2 jenis yaitu:
a. Infertilitas primer
Dikatatakan infertil primer adalah apabila istri belum pernah hamil walaupun
bersenggama dan dihadapkan pada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan.
b. Infertilitas sekunder
Dikatakan infertilitas sekunder adalah apabila istri pernah hamil akan tetapi
kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan dihadapkan
kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bula.
Klasifikasi infertilitas menurut kesehatan atau medis dibagi menjadi 2 jenis
sebagai berikut:
a) Infertilitas primer, adalah kondisi dimana pasangan suami istri belum
mampu dan belum pernah memiliki anak setelah 1tahun berhubungan seksual
sebanyak 2-3 kali seminggu tanpa menggunakan alat kontrasepsi.
Infertilitas sekunder, adalah kondisi dimana pasangan suami istri yang telah
atau pernah memiliki anak sebelumnya tetapi saat ini belum mampu memiliki anak
lagi setelah 1tahun berhubungan seksual sebanyak 2-3 kali seminggu tanpa
menggunakan alat kontrasepsi (Fauziyah, 2012).
2.1.3 Etiologi
a. Hormonal
10

Ketidak seimbangan hormon akibat gangguan pada sistem reproduksi


(kelenjar hipofisis, hipotalamus, dan ovarium) dapat menyebabkan gangguan ovulasi,
gangguan tuba fallopi, dan gangguan siklus menstruasi (Purwoastuti, 2015).
Penyebab ketidak seimbangan hormonal adalah kelainan ovarium, stress, obesitas,
penurunan berat badan berlebih, dan olahraga berlebihan (Web RS Universitas
Airlangga, 2015). Gangguan hormonal menyumbang 40% dari seluruh kasus
infertilitas (Miller, 2007).
b. Sumbatan
Sumbatan pada saluran tuba fallopi dapat disebabkan karena kelainan
kongenital, infeksi traktus genitalis seperti gonorhoe, penyakit radang panggul seperti
apendiksitis atau peritonitis, penyakit radang tuba (salpingitis), dan endometriosis.
Apabila saluran tuba tersumbat, maka ovum (sel telur) tidak dapat bertemu dengan sel
sperma (Saraswati, 2015). Sumbatan pada saluran tuba fallopi menyumbang sekitar
30 % dari seluruh kasus infertilitas (Miller, 2007).
c. Faktor lokal
Faktor lokal yang mengakibatkan infertilitas yaitu infeksi pada vagina seperti
trikomonas vaginalis dan vaginitis yang bisa menyebabkan kegagalan konsepsi,
kelainan serviks seperti infeksi, mioma, tumor, dan polip yang bisa menghasilkan
asam bersifat racun bagi sperma sehingga menyebabkan sperma menjadi rusak atau
bahkan mati, kelainan ovarium seperti kista, tumor, dan sindrom ovarium polikistik
yang bisa menyebabkan gangguan ovulasi, dan kelainan uterus seperti fibroid,
adenomiosis, mioma, dan polip yang bisa mengganggu implantasi ovum
(Sibagariang, 2010) dan Faktor lokal menyumbang sekitar 3% dari seluruh kasus
infertilitas (Miller, 2007).
Menurut penelitian WHO, pasien yang diteliti dari 33 pusat kesehatan di 25
negara termasuk didalamnya Timur dan Barat Eropah, Canada, Australia,
Scandinavia, Afrika, Asia, Amerika Latin dan Mediterania diperoleh kesimpulan
bahwa penyebab infertilitas adalah akibat gangguan fungsi ovarium 33%, oklusi tuba
dan perlengketan tuba 36%, endometriosis 6% dan 40% tidak diketahui penyebabnya
(Williem, 2008).
11

2.1.4 Faktor Terjadinya Infertilitas


a. Faktor Pria
Penyebab infertilitas pada pria dibagi menjadi 3 kategori utama yaitu :
1. Gangguan produksi sperma misalnya akibat kegagalan testis primer yang
disebabkan oleh faktor genetik (sindrome, klinefelter, mikrodelesi kromosom Y)
atau kerusakan langsung lainnya terkait anatomi, infeksi, atau gonadotoksin.
Stimulasi gonadotropin yang tidak adekuat yang disebabkan karena faktor genetik
atau efek langsung maupun tidak langsung dari tumor hipotalamus atau pitutari,
atau penggunaan androgen eksogen, misalnya Danaz Metitestoteron (penekanan
pada sekresi gonadotropin) merupakan penyebab lain dari produksi sperma yang
buruk.
2. Gangguan fungsi sperma, misalnya akibat antibodi sperma radang saluran genital
(prostatitis), varikokel, kegagalan reaksi ketidaknormalan blokimia atau gangguan
dengan perlengketan sperma (ke zona pelusida) atau penetrasi.
3. Sumbatan pada duktus, misalnya akibat vasektomi, tidak adanya vas deferens
bilateral, atau sumbatan kongenital atau didapat (acquired) pada epididimis atau
duktus ejakulatorius (penanganan infertil) (Fauziah, 2012).
Kualitas dan kuantitas sperma ditentukan oleh parameter volume, jumlah
spermatozoa, motilitas dan morfologi sperma, meskipun nilai morfologi normal
bukan merupakan faktor utama. volume semen utamanya dihasilkan oleh sekresi
kelenjar vesika seminalis, selain dari sekresi kelenjar vesika seminalis, vesika
seminalis, selain dari sekresi prostat dan epididimis seminalis adalah kelenjar asesoris
organ reproduksi pria yang androgen dependent. Karena itu, jika kadar testosteron
rendah maka kemungkinan volume semen menurun. Jumlah spermazoa dihasilkan
dari proses spermatogenesis yang dikontrol oleh hormon dari hipotalamus
menghasilkan Gonadotrophin Realeasing Hormone yang memicu sel Leydig
menghasilkan testosteron (androgen) (Eddyman, 2016).
Kemampuan seorang pria untuk memberikan keturunan tergantung pada
kualitas sperma yang dihasilkan oleh testis dan kemampuan reproduksinya untuk
menghantarkan sperma bertemu dengan ovum. Kualitas sperma yang baik dapat
12

dihasilkan oleh testis yang sehat setelah mendapatkan rangsangan dari organ-organ
pretestikuler melalui sumbu hipotalomo-hipofisis-gonad. Kemampuan sperma untuk
melakukan fertilisasi ditentukan oleh patensi organ-organ pasca testikuler dalam
menyalurkan sperma untuk bertemu ovum. Proses produksi sperma berlangsung di
dalam testis dimulai dari diferensiasi sel stem primitif spermatogonium yang terdapat
pada membrana basalis tubulus seminiferus testis. Spermatogonium kemudian
mengalami mitosis, dan mengalami transformasi menjadi spermatozoa sesuai dengan
urutan dari : Sperma togonium, Spermatosid I, spermatosid II, spermatid,
spermatozoa (Sophia, 2001).
Selain penyebab diatas ada juga penyebab lain menurut (Siswadi, 2006)
1. Kelainan pada alat kelamin
a. Hipospadia yaitu muara saluran kencing letaknya abnormal, antara lain pada
permukaan testis.
b. Ejakulasi retrograd yaitu ejakulasi dimana air mani masuk kedalam kandung
kemih.
c. Varikokel yaitu suatu keadaan dimana pembuluh darah menuju buah zakar
terlalu besar, sehingga jumlah dan kemampuan gerak spermatozoa berkurang
yang berarti mengurangi kemampuannya untuk menimbulkan kehamilan
d. Testis tidak turun dapat terjadi karena testis atrofi sehingga tidak turun
2. Kegagalan fungsional
a. Kemampuan ereksi kurang.
b. Kelainan pembentukan spermatozoa
c. Gangguan pada sperma
d. Gangguan di daerah sebelum testis (pretesticular)
Gangguan biasanya terjadi pada bagian otak, yaitu hipofisis yang
bertugas mengeluarkan hormon FSH (Folicle Stimulating Hormone) dan LH
(Luteinizing hormone). Kedua hormon tersebut mempengaruhi testis dalam
menghasilkan hormon testosteron, akibatnya produksi sperma dapat terganggu
serta mempengaruhi spermatogenesis dan keabnormalan semen. Terapi yang
bisa dilakukan untuk peningkatan testosterone adalah dengan terapi hormone.
13

e. Gangguan di daerah testis (testicular)


Kerja testis dapat terganggu bila terkena trauma pukulan, gangguan
fisik, atau infeksi. Bisa juga terjadi, selama pubertas testis tidak berkembang
dengan baik, sehingga produksi sperma menjadi terganggu. Dalam proses
produksi, testis sebagai “pabrik” sperma membutuhkan suhu yang lebih
dingin daripada suhu tubuh, yaitu 34-35 °C, sedangkan suhu tubuh normal
36,5 – 37,5 °C. Bila suhu tubuh terus-menerus naik 2-3 °C saja, proses
pembentukan sperma dapat terganggu.
f. Gangguan di daerah setelah testis (posttesticular)
Gangguan terjadi di saluran sperma sehingga sperma tidak dapat
disalurkan dengan lancar, biasanya karena salurannya buntu. Penyebabnya
bisa jadi bawaan sejak lahir, terkena infeksi penyakit seperti tuberkulosis
(TB), serta vasektomi yang memang disengaja.
g. Tidak adanya semen
Semen adalah cairan yang mengantarkan sperma dari penis menuju
vagina. Bila tidak ada semen maka sperma tidak terangkut (tidak ada
ejakulasi). Kondisi ini biasanya disebabkan penyakit atau kecelakaan yang
memengaruhi tulang belakang.
h. Kurangnya hormon testosterone
Kekurangan hormon ini dapat mempengaruhi kemampuan testis dalam
memproduksi sperma.

b. Faktor Wanita
1. Gangguan Ovulasi
Gangguan ovulasi jumlahnya sekitar 30-40% dari seluruh kasus infertilitas
wanita. Gangguan-gangguan ini umumnya sangat mudah di diagnosis menjadi
penyebab terjadinya infertilitas, karena ovulasi sangat berperan dalam konsepsi,
ovulasi harus di catat sebagai bagian dari penilaian dasar pasangan infertil.
14

Terjadinya ganguan ovulasi dapat disebabkan tidak ada atau sedikitnya


produksi gonadotropin releasing hormon (GnRH) oleh hipotalamus (40% kasus),
sekresi hormon plolaktin dan tumor hipopise (20% kasus) PCOS ( 30% kasus)
kegagalan ovarium dini (10%) (Djuwanto, 2010).
WHO membagi kelainan ovulasi ini dalam 4 kelas (Baziad, 2008).
a. Kelas 1 yaitu kegagalan pada hipotalamus hipopise. Karakteristik dari kelas ini
adalah gonadotropin yang rendah, prolaktin normal, dan rendahnya estradiol,
kelainan ini terjadi sekitar 105 dari seluruh kelainan ovulasi.
b. Kelas 2 yaitu gangguan fungsi ovarium, karakteristik dari kelas ini adalah
kelainan pada gonadotropin namun estradiol normal. Anovulasi ovulasi
manifestasi klinik kelainan kelompok ini adalah oligomenorea atau amonorea
yang banyak terjadi pada kasus PCOS akan mengalami aligomenorea dan 30%
akan mengalami amenorea.
c. Kelas 3 yaitu kegagalan ovarium, karakteristik kelainan ini adalah kadar
gonadotropin yang tinggi dengan kadar esestradiol yang rendah. Terjadi sekitar
4-5% dari seluruh gangguan ovulasi. Kelompok wanita yang mengalami
gangguan ovulasi akibat gangguan cadangan ovarium.
d. Kelas 4 yaitu wanita kelompok yang mengalami gangguan ovulasi akibat
disfungsi ovarium, memiliki kadar prolak yang tinggi (hiperprolaktinemia).
2. Kelaian Anatomis
Kelainan anatomis yang sering ditemukan berhubungan dengan infertilitas
adalah abnormalitas tuba fallopi dan peritoneum, dan faktor uterus.

3. Organ Reproduksi
a. Organ Reproduksi Luar (Genitalia Eksterna)
1) Tundun (mons veneris), merupakan lapisan lemak pada bagian depan simfisis
pubis yang ditumbuhi rambut saat pubertas.
2) Labia mayor, merupakan lanjutan mons veneris, bagian luar ditutupi rambut
dan bagian dalam mengandung kelenjar lemak.
15

3) Labia minor, merupakan jaringan tipis di balik labia mayor yang tidak
memiliki folikel rambut. Pada labia minor banyak terdapat otot polos,
ujung serabut saraf, dan pembuluh darah.
4) Klitoris, merupakan bagian sensitif yang banyak mengandung pembuluh
darah dan saraf sensoris.
5) Vestibulum, merupakan bagian yang terdiri dari enam buah lubang
(orifisium) meliputi orifisium uretra eksternum, introitus vagina, kelenjar
bartolini kanan-kiri yang berfungsi sebagai pelindung terhadap kuman
patogen, dan kelenjar skene kanan-kiri.
6) Himen (selaput dara), merupakan lapisan tipis yang terdiri dari jaringan ikat
kolagen dan elastis. Pada bagian tengah himen terdapat lubang yang
berfungsi sebagai saluran pengeluaran darah menstruasi.
7) Perineum, merupakan bagian yang terletak diantara genitalia eksterna dan
anus. Perineum dibatasi oleh otot-otot diafragma panggul dan otot-otot
diafragma urogenitalis (Purwoastuti, 2015).
b. Organ Reproduksi Dalam (Genitalia Interna)
1) Vagina, merupakan rongga muskulo membranosa yang menghubungkan
genitalia eksterna dan uterus. Fungsi vagina adalah sebagai alat untuk
melakukan hubungan seksual, sebagai jalan lahir pada saat persalinan, dan
sebagai saluran untuk mengeluarkan lendir uterus dan darah menstruasi
(Purwoastuti, 2015).
2) Uterus, merupakan jaringan otot yang terdiri dari 3 bagian yaitu bagian atas
(fundus), bagian tengah (korpus), dan bagian bawah (serviks). Bagian fundus
terhubung dengan tuba fallopi, sementara bagian serviks terhubung dengan
vagina. Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan luar
(peritoneum), lapisan tengah (miometrium), dan lapisan dalam
(endometrium). Pada saat konsepsi, lapisan dalam (endometrium) melakukan
proliferasi dan seksresi sehingga memungkinkan terjadinya implantasi
(Purwoastuti, 2015).
16

3) Tuba fallopi, merupakan saluran yang menjadi penghubung antara uterus dan
ovarium. Fungsi tuba fallopi adalah sebagai alat transportasi bagi ovum untuk
menuju ke uterus, sebagai tempat terjadinya konsepsi, dan sebagai tempat
bagi pertumbuhan dan perkembangan hasil konsepsi. Konsepsi terjadi
dibagian tuba yang paling dalam atau ampula tuba (Fauziyah, 2012).
4) Ovarium, merupakan kelenjar yang terletak pada kedua sisi uterus. Terdiri
dari dua bagian yaitu inner medulla dan korteks. Fungsi ovarium adalah
sebagai tempat untuk memproduksi ovum, hormon estrogen, dan progesteron.
Pada ovarium bayi perempuan yang baru lahir terdapat sekitar 1 juta oosit (sel
yang mengalami pembelahan untuk membentuk ovum). Cadangan ovarium
(oosit) ini akan terus berkurang jumlahnya seiring bertambahnya umur,
dikarenakan oosit berubah secara bertahap menjadi folikel atresia dan tidak
ada ovum yang beregenerasi selama siklus kehidupan seorang wanita (Kubo,
2009).
5) Ovulasi
Masa reproduksi seorang wanita diawali dengan perkembangan ovum di
dalam ovarium. Ovum membelah sel secara mitosis sehingga terbentuk oosit
primer. Pada usia kehamilan 30 minggu, terdapat 6 juta oosit primer di dalam
ovarium. Sebagian oosit primer berdegenerasi (atresia) sehingga pada saat
lahir jumlah oosit primer sekitar 2 juta, pada saat pubertas jumlah oosit primer
sekitar 300-500 ribu, pada saat mencapai umur 37 tahun jumlah oosit primer
berkurang menjadi 25 ribu, dan pada umur 51 tahun jumlah oosit primer
hanya tinggal 1.000 buah (American Society for Reproductive Medicine,
2017).
Oosit primer dilapisi oleh sel-sel granulosa yang disebut folikel primordial.
Folikel merupakan lapisan pembungkus yang berisi cairan nutrisi yang
dibutuhkan untuk proses pertumbuhan ovum hingga ovum mencapai
kematangan dan siap dilepaskan. Di dalam folikel primer yang berkembang
menjadi folikel sekunder, oosit primer juga berkembang menjadi oosit
sekunder. Saat oosit sekunder terbentuk, folikel sekunder telah berkembang
17

menjadi folikel de graaf (folikel yang matang) sehingga mampu melepaskan


oosit sekunder (ovum yang telah matang). Folikel yang telah melepas oosit
sekunder berubah menjadi korpus luteum. Korpus luteum mengalami
degenerasi sehingga membentuk korpus albicans. Selama masa reproduksi,
hanya sekitar 400 folikel yang berkembang dan mampu melepaskan oosit
sekunder. Peristiwa lepasnya oosit sekunder dari folikel dinamakan ovulasi
(Fauziyah, 2012).
Gangguan ovarium dapat terjadi karena ketidak seimbangan hormone seperti
adanya hambatan seperti sekresi hirmon FSH dan LH yang memiliki pengaruh
besar terhadap ovulasi. Hambatan ini dapat terjadi karena adanya tumor
cranial, stress, dan penggunaan obat-obatan yang me yebabkan terjadinya
disfungsi hipotalamus dan hifofisis. Bila terjadi gangguan sekresi pada kedua
hormone ini, maka folikel akan mengalami hambatan untuk matang dab
berakhir pada gangguan ovulasi (koes, 2015).
6) Menstruasi
Menstruasi merupakan perdarahan akibat meluruhnya dinding endometrium
karena ovum tidak dibuahi oleh sperma. Menstruasi pertama atau menarche
menandai bahwa seorang wanita telah memasuki masa pubertas. Pubertas
biasanya terjadi pada usia 11 atau 12 tahun, dimana pada usia tersebut organ
reproduksi mengalami pertumbuhan yang pesat hingga mencapai kematangan
dan siap bereproduksi. Siklus menstruasi setiap wanita tidak sama, normalnya
sekitar 28 hari (Fauziyah, 2012) Siklus menstruasi terdiri dari 4 fase yaitu fase
menstruasi, fase proliferasi, fase ovulasi, dan fase sekresi sebagai berikut:

a. Fase Menstruasi
Fase menstruasi berlangsung sekitar 5 hari. Fase ini terjadi apabila
ovum tidak dibuahi oleh sperma, sehingga korpus luteum tidak memproduksi
hormon estrogen dan progesteron. Penurunan kadar kedua hormon tersebut
menyebabkan ovum terlepas dari endometrium. Lepasnya ovum
18

menyebabkan endometrium robek dan meluruh sehingga terjadi perdarahan


(Fauziyah, 2012).
b. Fase Proliferasi
Hormon pembebas Gonadotropin atau Gonadotropin Releasing
Hormone (GnRH) yang disekresikan hipotalamus memacu kelenjar hipofisis
untuk mensekresikan hormon pemicu folikel atau follicle stimulating
hormone (FSH). FSH memacu pematangan folikel dan merangsangnya untuk
mensekresikan hormon estrogen. Hormon estrogen menyebabkan dinding
endometrium berproliferasi. Pada saat ovulasi, tebalnya sekitar 2-3 mm.
Peningkatan hormon estrogen menyebabkan serviks menyekresikan lendir
bersifat basa yang berfungsi untuk menetralkan suasana keasaman vagina
sehingga mendukung kehidupan sperma.
c. Fase Ovulasi
Ovulasi terjadi pada hari ke-14 pada siklus normal (28 hari).
Peningkatan kadar hormon estrogen menghambat sekresi FSH, lalu kelenjar
hipofisisis mensekresikan luteinizing hormone (LH). Peningkatan kadar LH
merangsang terjadinya ovulasi.
d. Fase Sekresi
Fase sekresi berlangsung selama 14 hari sebelum menstruasi
berikutnya. Folikel yang telah melepas oosit sekunder akan mengerut dan
menjadi korpus luteum. Korpus luteum mensekresikan hormon progesteron
dan tetap mensekresikan hormon estrogen meskipun jumlahnya tidak
sebanyak saat menjadi folikel. Hormon progesteron mendukung estrogen
untuk menumbuhkan pembuluh darah, menebalkan dinding endometrium, dan
mempersiapkan endometrium untuk menerima implantasi (perlekatan ovum)
apabila terjadi pembuahan. Apabila tidak terjadi pembuahan, maka korpus
luteum akan berubah menjadi korpus albicans. Korpus albicans
mensekresikan hormon dalam jumlah sedikit, akibatnya kadar hormon
estrogen dan progesteron menjadi rendah sehingga terjadi menstruasi.
2.1.5 Pemeriksaan Pasangan Infertilitas
19

Sekitar 1 dan 5 pasangan usia subur akan hamil dalam 1 tahun pertama
pernikahan dengan senggema yang normal dan teratur (Widyastuti, 2010).
a. Riwayat penyakit dan pemeriksaan
Pemeriksaan asal dari pasangan infertil mencakup riwayat penyakit, riwayat
perkawinan terdahulu dan sekarang pemeriksaan terhadap masing-masing pasangan.
Sungguh baik jika pertama kali pasangan di periksa bersama-sama, karena dokter
yang memeriksa akan dapat menilai interaksi mereka, untuk pemeriksaan berikutnya
lebih baik dinilai sendiri-sendiri.
b. Analisis Sperma
Analisis sperma harus dilakukan pada tahap awal, contoh sperma dikumpulkan dalam
plastik atau dalam wadah gelas, tidak boleh pakai karet kondom, kemudian harus di
kirim ke laboratorium dalam masa dua jam ejakulasi. Tidak adanya semen dalam dua
atau lebih contoh merupakan indikasi untuk pemeriksaan ulang.
Tidak adanya fruktosa didalam, contoh semen menjadi petunjuk tidak adanya
vesikula dan vasa seminalis yang bersifat kongenital, ini menjadi patokan bahwa
pemeriksaan fungsi testis berikutnya tidak ada gunanya. Apabila fruktosa dalam
contoh semen ada, maka perlu dilakukan biopsi testis.
c. Uji Pasca Senggama (UPS)
Apabila telah diyakini bahwa analisis spermanya normal, maka UPS bisa
dijadwalkan. Ini akan memperlihatkan apakah semen sudah terpancar dengan baik ke
puncak vagina selama senggama.
UPS dilakukan sekitar 2-3 hari sebelum perkiraan ovulasi. Pasien diminta datang 2-8
jam setelah senggama normal. Getah serviks dihisap dari kanal endoserviks yang
pada tahap ini harus banyak dan bening.
Pemeriksaan dilakukan dengan mikroskop, jika dijumpai 1- 20 sperma yang aktif
sehingga harapan untuk kehamilan cukup besar. Uji ini harus dilakukan sekurang-
kurangnya pada dua keadaan yang terpisah, hasil negatif bisa disebabkan oleh teknik
senggama.
d. Pembasahan dan Pemantauan Ovulasi
20

UPS dapat menyimpulkan sebab infertilitas suami, dan yang sangat penting adalah
ovarium secara teratur menghasilkan ova. Riwayat haid dapat memberikan pegangan
terhadap hal ini. Ovulasi lebih mungkin terjadi jika siklus haid berlangsung teratur
dan dengan jumlah darah haid yang sedang untuk jangka waktu 3-5 hari.
Sebagian wanita merasakan nyeri pada sisi fosca iliaca untuk 12-24 jam pada saat
ovulasi, dan hal ini mungkin bersamaan atau tanpa disertai pendarahan ringan atau
dengan suatu peningkatan limbah vagina. Matalgia prahaid menandakan adanya suatu
korpus luteum yang aktif, artinya ovulasi sebelumnya telah terjadi dalam siklus itu.
2.1.6 Pencegahan Infertilitas
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya infertil
menurut Siswadi, 2006 :
1. Mengobati infeksi pada organ reproduksi pria ada berbagai jenis infeksiyang
diketahui menyebabkan infertilitas seperti : infeksi prostat, testis / buah zakar,
maupun saluran sperma.
2. Menghindari rokok, karena rokok mengandung zat-zat yang dapat meracuni
pertumbuhan, jumlah dan kualitas sperma.
3. Menghindari alkohol dan zat adiktif.
Alkohol dalam jumlah banyak dihubungkan dengan rendahnya kadar
hormon testosterone yang tentu akan mengganggu pertumbuhan sperma.
Ganja /mariyuana juga dikenal sebagai salah satu penyebab gangguan
pertumbuhan sperma.
4. Perubahan gaya hidup yang sederhana dan yang terkoreksi. Seperti, perbaikan
nutrisi, tidak membiasakan penggunaan celana yang panas dan ketat.

2.1.7 Pengobatan Infertitas


Adapun pengobatan dalam infertilitas antara lain (Siswadi, 2006 ):
1. Pemberian antibiotik
21

Pemberian antibiotik diberikan pada pria yang memiliki gangguan infeksi


traktus genitalis yang menyumbat vas deferens atau merusak jaringan
testis.
2. Pembedahan
Tindakan pembedahan dapat dilakukan pada pasien mioma dan tuba yang
tersumbat. Tindakan pembedahan ini akan meninggalkan parut yang dapat
meyumbat atau menekuk tuba sehingga akhirnya memerlukan pembedahan
untuk mengatasinya.
3. Terapi
Terapi dapat dilakukan pada penderita endometriosis. Terapi endometriosis
terdiri dari menunggu sampai terjadi kehamilan sendiri, pengobatan
hormonal atau pembedahan konservatif.
4. Tindakan pembedahan /operasi Varikokel.
Tindakan yang saat ini dianggap paling tepat adalah dengan operasi berupa
pengikatan pembuluh darah yang melebar (varikokel) tersebut. Suatu
penelitian dengan pembanding menunjukkan keberhasilan tindakan pada
66% penderita berupa peningkatan jumlah sperma dan kehamilan,
dibandingkan dengan hanya 10 % pada kelompok yang tidak dioperasi.
5. Memberikan suplemen vitamin
Infertilitas yang tidak diketahui penyebabnya merupakan masalah
bermakna karena meliputi 20 % penderita. Penanggulangannya berupa
pemberian beberapa macam obat, yang dari pengalaman berhasil
menaikkan jumlah dan kualitas sperma. Usaha menemukan penyebab di
tingkat kromosom dan keberhasilan manipulasi genetik tampaknya menjadi
titik harapan di masa datang.

6. Tindakan operasi pada penyumbatan di saluran sperma


22

Bila sumbatan tidak begitu parah, dengan bantuan mikroskop dapa


diusahakan koreksinya. Pada operasi yang sama, dapat juga dipastikan ada
atau tidaknya produksi sperma di buah zakar.
7. Menghentikan obat-obatan yang diduga menyebabkan gangguan sperma.
8. Menjalani teknik reproduksi bantuan
Dalam hal ini adalah inseminasi intra uterin dan program bayi tabung.
Tindakan inseminasi dilakukan apabila ada masalah jumlah sperma yang
sangat sedikit atau akibat masalah antobodi di mulut rahim. Pria dengan
jumlah sperma hanya 5-10 juta/cc (dari normal 20 juta) dapat mencoba
inseminasi buatan.
2.2 Pasangan Usia Subur (PUS)
Pasangan usia Subur (PUS) adalah pasangan suami istri yang usia istrinya
berumur antara 15 sampai dengan 49 tahunatau pasangan suami istri yang istrinya
berumur 50 tahun tetapi masih mengalami menstruasi (Kurniawati, 2014).
2.3 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infertilitas Pada
Pasangan Usia Subur (PUS)
a. Usia reproduksi
Umur merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya infertilitas pada
wanita. Seiring dengan bertambahnya umur, maka fungsi organ reproduksi
juga ikut menurun yang mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan.
Penurunan kesuburan terjadi secara bertahap, yaitu dimulai pada umur 32
tahun dan akan menurun semakin cepat pada umur 37 tahun (American,
2017).
Kemampuan reproduksi wanita menurun drastis pada umur ≥ 35 tahun, hal ini
disebabkan karena selama siklus kehidupan wanita, tidak ada ovum yang
beregenerasi sehingga jumlah oosit terus berkurang (Purwoastuti, 2015)
kualitas oosit juga semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya gangguan ovulasi (American Society for
Reproductive Medicine, 2017) Studi di Kabupaten Lampung Tengah tahun
2015 menunjukkan bahwa kejadian infertilitas lebih banyak terjadi pada
23

wanita berusia ≥ 35 tahun (77,4%) dengan risiko 8,03 kali lebih besar
dibandingkan wanita yang berusia < 35 tahun, usia reproduksi sehat yaitu usia
20-35 tahun dan usia reproduksi akhir yaitu usia dibawah dari 20 tahun dan
diatas 35 tahun (Karsiyah, 2015).
b. Status Gizi/ Obesitas.
Status gizi yang mempengaruhi terjadinya infertilitas adalah obesitas.
Obesitas merupakan kondisi dimana kadar lemak dalam tubuh berlebihan
yaitu 10-15% dari kadar lemak normal (Ambarwati, 2012) Fungsi lemak
selain sebagai cadangan energi, juga berperan dalam produksi hormon
estrogen sebesar 30%. Peningkatan kadar hormon estrogen dapat menghambat
FSH (Folicle Stimulating Hormone) dan memacu pelepasan LH (luteinizing
hormone) dari hipofisis. Luteinizing hormone memacu produksi hormon
androgen di dalam ovarium. Kelebihan androgen menyebabkan proses ovulasi
terganggu (Sibagariang, 2010). Studi di Desa Wonosari Tanjung Morawa
tahun 2014 menunjukkan bahwa obesitas memiliki risiko 3,102 kali terhadap
kejadian infertilitas (Silvia, 2014).
c. Usia Menarche.
Menarche biasanya terjadi pada usia 10-14 tahun karena pada usia ini organ
reproduksi tumbuh dengan pesat hingga mencapai kematangan untuk dapat
bereproduksi (Prawirohardjo, 2009). Usia menarche yang terlalu dini (< 10
tahun) atau terlalu lambat (> 14 tahun) mengindikasikan adanya gangguan
hormonal di dalam tubuh (Wiknjosastro, 2009). Studi yang menunjukkan
bahwa usia menarche berpengaruh terhadap kejadian infertilitas belum pernah
dilakukan, akan tetapi studi di Kota Surakarta tahun 2014 menunjukkan
bahwa usia menarche berhubungan dengan kejadian endometriosis, yang
mana endometriosis dapat menyebabkan saluran tuba tersumbat sehingga
mengakibatkan terjadinya infertilitas (Mukti, 2010).
Berdasarkan studi di Kota Semarang tahun 2016, kista endometriosis
memiliki resiko 8,08 kali untuk terjadi infertilitas (Octavianny, 2016).
24

Endometriosis lebih sering terjadi pada wanita yang mengalami menarche


pada umur ≤ 11 tahun atau ≥ 14 tahun (Mukti, 2014).
d. Siklus Menstruasi
Menstruasi adalah proses alami yang terjadi pada perempuan. Menstruasi
merupakan pendarahan yang teratur dari uterus sebagai tanda bahwa organ
kandungan telah berfungsi matang. Umumnya, remaja mengalami menarche
adalah pada usia 12 sampai dengan 16 tahun (Eny kusmira, 2014).
Siklus menstruasi yang teratur adalah antara 21-35 hari terhitung sejak hari
pertama menstruasi sampai hari pertama menstruasi yang berikutnya
(Kemenkes, 2012). Gangguan pada siklus menstruasi dipengaruhi oleh status
gizi. Studi di Kota Manado tahun 2015 menunjukkan bahwa ada hubungan
antara siklus menstruasi dengan status gizi. Status gizi yang kurang atau lebih
menyebabkan penurunan fungsi hipotalamus yang berfungsi memacu
hipofisis untuk memproduksi FSH (Folicle Stimulating Hormone) dan LH
(luteinizing hormone). FSH (Folicle Stimulating Hormone) berfungsi
mematangkan folikel, sedangkan LH berfungsi mematangkan ovum. Produksi
FSH (Folicle Stimulating Hormone) dan LH (luteinizing hormone) yang
terganggu dapat menyebabkan terganggunya siklus menstruasi (Felicia, 2015)
Siklus menstruasi yang tidak teratur disebabkan karena gangguan hormonal
yang mengakibatkan terjadinya gangguan ovulasi (Fauziyah, 2012) Studi di
Yunani tahun 2009 menunjukkan bahwa gangguan pada siklus menstruasi
menyumbang 20% dari seluruh kejadian infertilitas pada wanita (Roupa,
2009).
25

2.4 Kerangka Konsep


Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau
kaitan antara konsep lainnya atau antara variable yang satu dengan variable lainnya
dari masalah yang ingin di teliti (Natoadmodjo, 2010).

Variabel Bebas Variabel Terkait

1. Usia
2. Status gizi Faktor - fator yang berhubungan
3. Usia Menarche dengan kejadian infertilitas
4. Siklus menstruasi
tingka
5. Pengetahuan

Gambar 2.4 kerangka Konsep Penelitian

Dari kerangka konep diatas dapat dilihat bahwa variable besas (independen)
dalam penelitian ini adalah factor usia, status gizi, Usia menarche dan Sedangkan
terkait (dependen) adalah fator-faktor yang berhubungan dengan kejadian infertilitas
pada Pasangan Usia Subur (PUS).
26

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian Dan Desain Penelitian


3.1.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analitik kuantitatif dengan pendekatan
case control. Penelitian survey analitik merupakan suatu penelitian yang mencoba
mengetahui mengapa masalah kesehatan tersebut bisa terjadi, kemudian melakukan
analisis pengaruh faktor risiko terhadap faktor efek. Pendekatan case control
merupakan suatu penelitian yang mempelajari pengaruh antara faktor resiko
(independent) dengan faktor efek (dependent), pada waktu yang sama (Riyanto,
2014).
3.2 Lokasi Dan Wakru Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di klinik dr. Binarwan Halim, SpOG. Jalan
Pemuda Baru II No 6-12, AUR Kec. Medan Maimun, Kota Medan Sumatera Utara.
Alasan Penelitian memilih lokasi penelitian di Klinik dr. Binarwan Halim adalah
klinik telah memenuhi kriteria syarat penelitian mendapat izin penelitian untuk
meneliti di Klinik dr. Binarwan Hakim, SpOG.
3.2.2 Waktu Penelitian
Waktu yang dipilih dalam penelitian di Klinik dr. Binarwan Halim, SpOG
dilakukan mulai bulan Januari 2020. Dilakukan mulai dari melakukan survey awal
sampai pengisian kuesioner.

3.3 Populasi Dan Sampel


3.3.1 Populasi
27

Menurut Ryanto (2017), populasi merupakan seluruh subjek (manusia,


binatang percobaan, data laboratorium dan lain - lain) yang akan diteliti dan
memenuhi karakteristik yang ditentukan. Pada penelitian ini yang menjadi
populasinya adalah seluruh PUS yang melakukan pemeriksaan di Klinik dr. Binarwan
Halim, SpoG.
3.3.2 Sampel
Menurut Ryanto (2017), sampel merupakan sebagian dari populasi yang
diharapkan dapat mewakili atau reprevesentative populasi. Sampel pada penelitian ini
sebanyak 30 orang PUS yang melakukan pemeriksaan di Klinik dr. Binarwan Halim,
SpoG.
3.4 Jenis Dan Cara Pengumpulan Data
3.4.1 Jenis Data
Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data
primer adalah data yang diambil langsung dari objek (sasaran) penelitian, sedangkan
data sekunder yaitu data yang diperoleh berdasarkan data rekam medik pasien yang
telah melakukan kunjungan dan pengobatan di Klinik dr. Binarwan Halim, SpoG
tahun 2019.
Penelitian jenis data yang digunakan ada 2 yaitu :
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperole h dari responden peneliti. Pada
penelitian ini data primer dengan mengunakan wawancara dan kuesioner
berupa daftar pernyataan sebagai alat bantu, dimana terlebih dahulu
memberikan penjelasan singkat tentang kuesionernya, dibagikan dan diisi
oleh responden, kemudian dikumpulkan kembali oleh peneliti dan diperiksa
kelengkapannya.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain badan atau
inpementasi lain, nadan atau instansi lainnya yang rutin mengumpulkan data.
Data sekunder dari penelitian ini diperoleh dari rekam medic pasien berobat
dan konsultasi di klinik dr. Binarwan Halim, SpoG.
28

3.4.2 Cara Pengumpulan Data


1. Mengkonsulkan judul KTI kepada pembimbing proposal kemudian
setelah disetujui, mengkonsulkan kepada dosen penanggung jawab semua
judul proposal siswa D-III Kebinana Institut Kesehatan Sumatera Utara.
2. Meminta surat survey pendahuluan kelokasi yang dilakukan penelitian di
Klinik dr. Binarwan Halim, SpoG. Menemui dr. Binarwan Halim, SpoG,
meminta izin penelitian dan meminta izin bekerja sama dr. Binarwan
Halim, SpoG dan seluruh staf yang bekerja di klinik dokter tersebut.
3. Menemui dan mendatangi perawat untuk mendapatkan data pasangan
Usia Subur yang mengalami masalah infertil.
4. Mewawancarai 30 PUS yang mengalami masalah infertil, apakah mereka
mengetahui faktor - faktor apa saja yang mengakibatkan infertilitas yang
dialaminya.
5. Dari hasil mewawancarai pasangan usia subur yang mengalami masalah
infertil peneliti menyusun proposal dan selalu mengkonsulkannya kepada
dosen pembimbing, sampai disetujui dan melakukan ujian proposal.
3.5 Defenisi Operasional Dan Aspek Pengukuran Data
Defenisi Operasional merupakan defense variable-variabel yang akan diteliti
secara operasional di lapangan. Defenisi operasional bermanfaat untuk mengarahkan
kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variable-variabel yang akan diteliti
serta untuk pengembangan instrument. Dengan defenisi operasional yang tepat maka
ruang lingkup atau pengertian variable-variabel yang diteliti menjadi terbatas dan
penelitian akan lebih fokus (Riyanto, 2017). Yang menjadi batas - batas variable
dalam penelitian ini adalah: usia, status gizi, usia menarche, siklus menstruasi dan
pengetahuan Pasangan Usia Subur (PUS) tentang faktor - faktor yang berhubungan
dengan kejadian infertilitas pada pasangan usia subur.

Adapun yang menjadi defenisi operasional dari penelitian ini yaitu :


Variable Indefenden
29

Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur


Usia Usia responden ketika Kuisioner a. Usia reproduksi sehat: usia
melakukan kunjungan 24-35
pengobatan infertilitas dan
pada saat di lakukan wawancara
penelitian b. Usia reproduksi akhir: usia
36-49

Status gizi / Gizi yang berlebih/ Kuisioner a. Obesitas/Kegemukan


b. Tidak Obesitas
Obesitas obesitas yang dapat
menyebabkan infertilitas
berdasarkan diagnosa
medis
Usia Usia haid pertama yang Kuisioner a. Normal
dialami oleh responden
menarche wanita, yaitu dikatakan b. Tidak normal
normal apabila
mengalami menarche
pada usia 10-14 tahun,
sedangkan dikatakan
tidak normal apabila
tidak haid sama sekali
antara rentan umur 10-14
tahun.

Siklus Jumlah hari dalam satu Kuisioner a. <21 hari


menstruasi bulan siklus menstruasi b. 28 hari
terhitung dari hari c. 31hari
pertama menstruasi
sampai hari pertama
menstruasi yang
berikutnya
Table 3.5.1 Variabel Independen
30

Variabel Dependent
Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur
infertilitas Pasangan suami istri yang Kuisioner a. Infertil
telah menikah 1 tahun b. Tidak
dan sudah melakukan infertile
hubungan seksual tampa
menggunakan alat
kontrasepsi, tetapi belum
memiliki anak.
Table 3.5.2 Variabel Dependen
3.6 Pengelolahan Data Dan Analisis Data
3.6.1 Pengelolahan Data
Pengelolahan data dilakukan setelah pengumpulan data dilaksanakan dengan
maksud agar data yang dikumpulkan memiliki sifat yang jelas (Natoadmojo, 2017).
Pengelolahan data yang dilakukan antara lain:
a. Editing (Penyuntingan Data )
Editing adalah pemeriksaan data yang telah dikumpulkan untuk menyesuaikan
terhadap apa yang seharusnya, baik pengisian kuesioner maupun tahap ukuran
– ukuran dan kejelasan yang harus dilakukan sedini mun gkin.
b. Coding Sheet ( Pemberian Kode)
Coding adalah member kode pada jawaban – jawaban responden atau ukuran
– ukuran yang diperoleh dari unit analisis sesuai dengan trancangan awal.
c. Scoring (penghitungan)
Scoring adalah menghitung skor yang diperoleh oleh setiap responden
berdasarkan jawaban atas pernyataan yang diajukan.
d. Tabulating (tabulasi)
31

Tabulating adalah proses yang akan dilakukan untuk menghitung setiap


variable berdasarkan kategori - kategori yang telah ditetapkan sebelumnya
sesuai dengan tujuan penelitian.

3.6.2 Teknik Analisa Data


Analisis data dilakukan setelah semua data dalam kuesioner terkumpul dengan
lengkap. Data yang akan diperoleh di analisa secara deskriptif. Hasil analisa data baik
demogratif maupun pertanyaan kuesioner yang berisikan pengetahuan akan dijadikan
dalam bentuk distibusi frekwensi yang kemudian akan di analisa dengan mengunakan
modus yaitu nilai yang paling banyak muncul.
3.7 Lokasi Dan Waktu Penelitian
3.7.1 Lokasi
Penelitian ini akan dilakukan di klinik dr. Binarwan Halim, SpoG yang
bertempat di Jalan Pemuda Baru II No 6-12, AUR Kec. Medan Maimun, Kota Medan
Sumatera Utara.
3.7.2 Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – Juli 2020.
Tabel 3.7.1
Waktu Penelitian
Bulan
No Kegiatan
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
1 Pengajuan Judul
2 Survey awal
Bimbingan
3
proposal
4 Siding proposal
5 Penelitian
6 Bimbingan KTI
32

7 Sidang Akhir

Anda mungkin juga menyukai