Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asma merupakan masalah kesehatan global yang serius yang

mempengaruhi semua kelompok umur baik di negara maju maupun negara

berkembang. Asma merupakan penyakit pernafasan kronis yang

mempengaruhi 1-18% populasi masyarakat di berbagai negara. (GINA, 2018)

Di seluruh dunia diperkirakan sebanyak 300 juta jiwa menderita asma

dan diramalkan akan meningkat menjadi 400 juta pada tahun 2025. Jumlah

tersebut bisa saja meningkat karena asma merupakan penyakit yang

underdiagnosed. Buruknya kualitas udara dan adanya perubahan pola hidup

masyarakat juga dapat menjadi penyebab meningkatnya penyakit asma. Asma

merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di

hampir semua negara di dunia, di derita oleh anak-anak sampai dewasa

dengan derajat penyakit dari ringan sampai berat, bahkan beberapa kasus

dapat menyebabkan kematian. Asma merupakan penyakit inflamasi

(peradangan) kronik saluran nafas yang ditandai adanya mengi, batuk, dan

rasa sesak di dada yang berulang dan timbul terutama pada malam atau

menjelang pagi akibat penyumbatan saluran pernafasan (Kementerian

Kesehatan, 2015).

Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2011

menyebutkan bahwa terdapat 235 juta orang menderita asma di dunia, 80%

berasal dari negara dengan pendapatan rendah hingga menengah,

1
termasukIndonesia. Hampir 44 juta penduduk di Asia Timur atau daerah

Pasifik menderita asma, meskipun pravalansi dan laporan yang ada

menunjukan variasi yang besar di daerah itu, di Cina terdapat variasi

prevalensi asma sebesar 10 kali lipat. Para ahli percaya bahwa peningkatan

prevalensi asma yang signifikan akan dilaporkan di Cina. Mereka

meramalkan bahwa peningkatan absolut prevalensi asma sebesar 2% di Cina

akan menyebabkan penambahan 20 juta pasien asma di seluruh dunia (Clark,

M V, 2011 dalam Echwan, M M, 2016).

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,

menyatakan bahwa prevalensi asma semua umur di Indonesia mencapai

angka 4,5% (11.196.000 jiwa), sedangkan di Provinsi Kalimantan Selatan

mencapai angka 6,3% (242.834 jiwa). Penderita asma di Indonesia paling

banyak diderita oleh golongan menengah ke bawah dan terbawah (tidak

mampu). Persentase untuk golongan menengah kebawah sebanyak 4,7%

(11.413 jiwa) dan golongan terbawah sebanyak 5,8% (14.084 jiwa) (Echwan,

M M, 2016).

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang disebabkan

oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti mast sel, eosinophils, dan T-

lymphocytes terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala dyspnea,

whizzing, dan batuk akibat obstruksi jalan nafas yang bersifat reversibel dan

terjadi secara episodeik berulang (Brunner and Suddarth, 2011 dalam

Rahman, Dodi, 2015).

2
Tanda dan gejala yang biasanya muncul pada penderita asma dapat

berupa batuk, mengi, hipoksia, takikardi, berkeringat, pelebaran tekanan nadi

dan sesak napas serta sesak dada yang ditimbulkan oleh alergen, infeksi atau

stimulus lain. Namun, keluhan yang sering diutarakan oleh pasien asma yaitu

sesak napas. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa pasien asma

memerlukan penanganan keperawatan di rumah sakit (Padila, 2012)

Sesak nafas menyebabkan saturasi oksigen turun di bawah level

normal. Jika kadar oksigen dalam darah rendah, oksigen tidak mampu

menembus dinding sel darah merah. Sehingga jumlah oksigen dalam sel

darah merah yang dibawa hemoglobin menuju jantung kiri dan dialirkan

menuju kapiler perifer sedikit. Sehingga suplai oksigen terganggu, darah

dalam arteri kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan penurunan saturasi

oksigen (Muttaqin, 2008, hlm.87; Asmadi, 2008, hlm.25 dalam Qorisetyarta,

Niko dkk, 2017).

Penanganan penurunan saturasi oksigen membutuhkan penanganan

yang tepat. Penanganan penurunan saturasi oksigen dapat dilakukan dengan

pengaturan posisi, latihan pernafasan, batuk efektif, dan fisioterapi dada,

pembemberian oksigen nasal, masker, dan pemberian obat-obatan

bronkodilator (Soemantri, 2009 hlm 73 dalam Qorisetyarta, Niko dkk,

2017).Adapun salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi

penurunan pengembangan dinding dada adalah dengan memberikan

pengaturan posisi. Posisi fowler merupakan posisi tempat tidur dimana posisi

3
kepala dan tubuh ditinggikan 45o hingga 60o dimana posisi lutut

mungkin/mungkin tidak dalam posisi tertekuk. (Kozier & Erb’s, 2016)

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Listyati (2017)

menyatakan bahwa ada perbedaan antara posisi high fowler terhadap

perubahan saturasi oksigen pada pasien dengan asma bronkial sebesar 3,6

pada perubahan saturasi oksigen. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh

Sucahyono (2012) dengan judul "Identifikasi Penempatan Posisi Terhadap

Saturasi Oksigen Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis Di Ruang

Dahlia Rumah Sakit Dr. Ario Wirawan Salatiga" menyatakan bahwa hasil

pretest dan posttest menunjukkan rata-rata kenaikan saturasi oksigen pada

posisi fowler yaitu 4,99%.

Intervensi lain yang dapat meningkatkan SaO2 adalah pernafasan bibir

(pursed lip breathing). Latihan pernafasan menggunakan bibir yang dirapatkan

bertujuan melambatkan ekspirasi, mencegah kolap paru, mengendalikan

frekuensi nafas ke dalam pernafasan dan meningkatkan oksigen dalam

hemoglobin (Smeltzer & Bare, 2013, hlm.197). Kondisi ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Hafiizh & Basuki (2013) yang berjudul Pengaruh

Pursed-Lip Breathing Terhadap Penurunan Respiratory Rate Dan Peningkatan

Pulse Oxygen Saturation (SpO2) menunjukkan adanya pengaruh pemberian

pursed-lip breathing (PLB) terhadap penurunan respiratory rate (RR) dan

peningkatan Pulsed Oxygen Saturation (SpO2). Hasil Penelitian terdapat

pengaruh pemberian pursed-lip breathing (PLB) terhadap penurunan respiratory

rate (RR) dan peningkatan Pulsed Oxygen Saturation (SpO2).

4
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Adhitya Kusuma Bakti (2015)

yang berjudul pengaruh pursed lip breathing exercise terhadap penurunan tingkat

sesak napas pada penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yang menunjukkan

adanya pengaruh pursed lip breathing exercise terhadap penurunan tingkat sesak

napas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pursed lip

breathing exercise terhadap penurunan tingkat sesak napas pada penyakit paru

obstruktik kronik (PPOK).

Intervensi lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan SaO2 pada

pasien asma adalah buteyko breathing. Buteyko breathing adalah tehnik yang

dirancang khusus untuk penderita asma dengan prinsip latihan tehnik

bernafas dangkal (GINA, 2005 dalam Rahman, Dodi, 2015)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sutrisna, Marlin dkk (2018)

yang berjudul "Pengaruh Teknik Pernafasan Buteyko Terhadap ACT (Asthma

Control Test)" menyatakan bahwa adanya pengaruh teknik pernafasan

buteyko terhadap ACT (Asthma Control Test). Kondisi ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Melastuti, Erna dan Husna, Lailya (2015)

yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan kontrol asma sebelum dan

sesudah dilakukan teknik pernafasan buteyko di Balai Kesehatan Paru

Masyarakat Semarang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan di atas maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan

efektivitas metode Pursed Lip Breathing dan Buteyko Breathing dalam posisi

5
fowlerter hadap Perubahan Saturasi pada Pasien Asma Bronkial di Ruang

paru RSUD Ratu Zalecha ?

C. Tujuan Penelitian

a. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk menilai perbedaan efektivitas

metodePursed Lip Breathing dan Buteyko Breathing dalam posisi

fowlerterhadap Saturasi Oksigen pada Pasien Asma Bronkial di Ruang

paru RSUD Ratu Zalecha.

b. Tujuan khusus

1) Mengidentifikasi saturasi sebelum dan sesudah pemberian metode

Pursed Lip Breathingdan Buteyko Breathing dalam posisi fowler pada

pasien asma bronkial di Ruang paru RSUD Ratu Zalecha.

2) Mengidentifikasi efektivitas pemberian metode Pursed Lip

Breathingdan Buteyko Breathing dalam posisi fowler pada pasien asma

bronkial ddi Ruang paru RSUD Ratu Zalecha.

3) Menganalisaperbedaan efektivitas pemberian metode Pursed Lip

Breathing dan Buteyko Breathing dalam posisi fowlerterhadap Saturasi

Oksigen pada Pasien Asma Bronkial di Ruang paru RSUD Ratu

Zalecha.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan

sumber informasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan

6
mahasiswa khususnya tentang efektivitas metodePursed Lip Breathing dan

Buteyko Breathing dalam posisi fowler terhadap Saturasi Oksigen pada

Pasien Asma Bronkial di Ruang paru RSUD Ratu Zalecha

2. Secara Praktis

a. Bagi Peneliti

Manfaat hasil penelitian ini dapat menambahkan pengetahuan,

wawasan, dan pengalaman mengenai efektivitas metode Pursed Lip

Breathing dan Buteyko Breathing dalam posisi fowlerterhadap Saturasi

Oksigen pada Pasien Asma Bronkial di di Ruang paru RSUD Ratu

Zalecha.

b. Bagi Pasien

Manfaat penelitian ini bagi pasien yaitu dapat mengurangi sesak

napas serta meningkatkan pengetahuan pasien tentang penanganan

sesak.

c. Bagi Rumah Sakit Umum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan

bagi pihak Rumah Sakit Umum Daerah Ratu Zalecha khususnya

Ruang paru RSUD Ratu Zalecha sehingga dapat memberikan informasi

khususnya mengenai efektivitas metodePursed Lip Breathing dan

Buteyko Breathingdalam posisi fowlerterhadap Saturasi Oksigen pada

Pasien Asma Bronkial di Ruang paru RSUD Ratu Zalecha.

7
d. Bagi Institusi Pendidikan

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah

pustaka bagi para mahasiswa dan tenaga pengajar yang membutuhkan

tambahan ilmu dan informasi tentang efektivitas metodePursed Lip

Breathing dan Buteyko Breathing dan posisi fowler terhadap Saturasi

Oksigen pada Pasien Asma Bronkial di Ruang paru RSUD Ratu

Zalecha.

e. Bagi peneliti Selanjutnya

Sebagai referensi atau bahan kepustakaan yang dapat digunakan

oleh peneliti selanjutnya yang memiliki peminatan dengan masalah

yang sama.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Asma

a. Definisi

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan)

kronik saluran napas yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus

terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik

berulang berupa mengi, batuk, sesak napas, dan rasa berat di dada

terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat

reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. (Nugroho, Taufan dkk,

2015)

Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik

saluran nafas yang ditandai adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada

yang berulang dan timbul terutama pada malam atau menjelang pagi

akibat penyumbatan saluran pernafasan (Kementerian Kesehatan,

2015).

Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkial yang

mempunyai ciri bronkospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran

napas) terutama pada percabangan trakeobronkial yang dapat

diakibatkan oleh berbagai stimulus seperti oleh faktor bokemial,

endokrin, infeksi, otonomik, dan psikologi (Soemantri, I, 2009)

9
Jadi, dapat disimpulkan bahwa asma adalah suatu penyakit yang

terjadi pada saluran bronkial yang ditandai dengan adanya penyempitan

jalan napas akibat adanya inflamasi (peradangan) sehingga terjadi

hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai

dengan gejala episodik berulang dan reversible.

b. Etiologi

Sampai saat ini etiologi asma belum diketahui dengan pasti,

suatu hal yang menonjol pada semua penderita asma adalah fenomena

hiperreaktivitas bronkus.Bronkus penderita asma sangat peka terhadap

rangsangan imunologi maupun non-imunologi. (Soemantri, I, 2009)

Adapun menurut Taufan Nugroho dkk (2015) faktor penyebab

dari asma adalah faktor infeksi dan faktor non infeksi.

1) Faktor infeksi misalnya virus, jamur, parasit, dan bakteri.

2) Sedangkan faktor non infeksi seperti faktor alergi, iritan, perubahan

cuaca, kegiatan jasmani dan psikis.

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronkial,

adalah:

1) Allergen

Allergen adalah zat-zat tertentu yang bila dihisap atau

dimakan dapat menimbulkan serangan asma, misalnya debu rumah,

tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus), spora jamur,

bulu kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya.

2) Infeksi saluran pernapasan

10
Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus,

virus influenza merupakan salah satu faktor pencetus yang paling

sering menimbulkan asma bronkhial.Diperkirakan, dua pertiga

penderita asma dewasa, serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi

saluran pernapasan.

3) Tekanan jiwa

Tekanan jiwa bukan penyebab asma tetapi pencetus asma,

karena banyak orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak

menjadi penderita asma bronkhial.Faktor ini berperan mencetuskan

serangan asma terutama pada orang yang agak labil

kepribadiannya.Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak.

4) Olahraga/kegiatan jasmani yang berat

Sebagian penderita asma bronkhial akan mendapatkan

serangan asma bila melakukan olahraga atau aktivitas fisik yang

berlebihan. Lari cepat dan bersepeda adalah dua jenis kegiatan

paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena

kegiatan jasmani (exercise induced asma) terjadi setelah olahraga

atau aktivitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul

beberapa jam setelah olahraga.

5) Obat-obatan

Beberapa klien dengan asma bronkial sensitive atau alergi

terhadap obat tertentu seperti penisillin salisilat, beta blocker,

kodein, dan sebagainya.

11
6) Polusi udara

Klien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap

pabrik/kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil

pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam.

7) Lingkungan kerja

Lingkungan kerja diperkirakan merupakan faktor pencetus

yang menyumbang 2-15% klien dengan asma bronkhial.

(Nugroho, Taufan dkk, 2015)

Berdasarkan etiologi, asma terbagi menjadi 2 yaitu:

1) Asma bronkhial Tipe Atopik (Ekstrinsik)

Asma timbul karena seseorang yang mengalami atopi akibat

pemaparan alergen. Alergen yang masuk tubuh melalui saluran

pernapasan, kulit, saluran pencernaan, dan lain-lain akan ditangkap

oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC).

Setelah alergen diproses dalam sel APC selanjutnya oleh sel

tersebut, alergen dipresentasikan ke sel T helper (Th).Sel APC

melalui pelepasan interleukin I (II-I) mengaktifkan sel Th. Melalui

pelepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel

B diberikan sinyal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan

membentuk IgE (Immunoglobulin E).

IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada

dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini

dimungkinkan karena kedua sel tersebut pada permukaannya

12
memiliki reseptor untuk IgE.Sel eosinofil, makrofag, dan tombosit

juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang

lemah.Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan basofil

dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan

gejala.Orang tersebut sudah dianggap desentisasi atau baru menjadi

rentan.

Bila orang suda rentan itu terpapar dua kali atau lebih dengan

alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah

ada dalam permukaan mastosit dan basofil. Ikatan ini akan

menimbulkan influks 𝐶𝑎++ ke dalam sel dan perubahan di dalam sel

dan yang menurunkan kadarcyclic adenosine

monophosphate(cAMP).

Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan

degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali

dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-

granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat

biologis, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor A (ECF-A),

Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase, dan kinin. Efek yang

segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.

Hiperreaktivitas bronkhus merupakan yang mudah sekali

mengerut (Konstriksi) bila terpapar dengan bahan/faktor dengan

kadar rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi

apa-apa misalnya alergen (inhalan dan kontaktan), polusi, asap

13
rokok/dapur, bau-bauan yang tajam, dan lainnya baik yang berupa

iritan maupun yang bukan iritan.

2) Asma Bronkhial Tipe Non-atopik (Intrinsik)

Asma nonalergik (asma intrinsik) terjadi bukan karena

pernapasan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus

seperti infeksi saluran pernapasan bagian atas, olahraga atau kegiatan

jasmani yang berat, dan tekanan jiwa atau stress psikologis.

Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama

gangguan saraf simpatis, yaitu blokade adrenergik beta dan

hiperreaktivitas adrenergik alfa.Dalam keadaan normal aktivitas

adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa.Pada

sebagian penderita asma, aktivitas adrenergik alfa diduga meningkat

sehingga mengakibatkan bronkokonstriksi dan menimbulkan sesak

nafas.

Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat enzim yang

berada di membran sel yang dikenal dengan adenil siklase atau

disebut juga messenger kedua. Bila reseptor ini dirangsang, enzim

adenil siklase tersebut diaktifkan dan akan mengatalisasi ATP dalam

sel menjadi 3'5' siklik AMP.

cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot

polos pada bronkhus, menghambat pelepasan mediator dari

mastosit/basofil, dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat

blokade reseptor adrenergik beta, fungsi reseptor adrenergik lebih

14
dominan akibatnya terjadi bronkhus sehingga menimbulkan sesak

nafas.Hal ini dikenal dengan teori Blokade Adrenergik Beta.

(Muttaqin, Arif, 2008)

c. Klasifikasi

1) Berdasarkan Kegawatannya

a) Asma Bronkhial

Asma bronkial merupakan tipe asma yang ditandai dengan

hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan dari luar, seperti

debu rumah, bulu binatang, asap, dan bahan lain penyebab alergi.

Gejala kemunculannya sangat mendadak, sehingga gangguan

asma bisa datang secara tiba-tiba. Jika tidak mendapatkan

pertolongan secepatnya, risiko kematian bisa datang. Gangguan

asma bronkial juga bisa muncul karena adanya radang yang

mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan bagian bawah.

Penyempitan ini akibat berkerutnya otot polos saluran

pernapasan, pembengkakan selaput lendir, dan pembentukan

timbunan lendir yang berlebihan(Nurarif, A.H dan Hardhi

Kusuma, 2015).

b) Asma Kardial

Asma kardial merupakan tipe asma yang timbul akibat

kelainan jantung.Gejala asma kardial ini biasanya terjadi pada

malam hari, disertai sesak napas yang hebat.Kejadian ini disebut

15
nocturnal paroxymul dispnea.Biasanya terjadi pada saat penderita

sedang tidur (Nurarif, A.H dan Hardhi Kusuma, 2015).

Penatalaksanaan farmakologis pada asma kardial yaitu

pemberian obat furosemide (Intra Vena) 40 mg berfungsi untuk

menghambat penyerapan sodium dan klorida di lengkung henle

dan tubulus distal. Nitrogliserin (Intra Vena) dengan dosis awal 5

mcg/menit dan dapat dititrasi hingga 200 mcg/menit berfungsi

untuk mengurangi tekanan di ventrikel kiri, sehingga dapat

mengurangi kongesti paru. Morfin (Intra Vena) dengan dosis 1-3

mg setiap 5 menit sampai bantuan terjadi tanpa terjadi depresi

pernapasan, digunakan dalam pengaturan asma jantung

memungkinkan bernapas lebih mudah dan mengurangi tingkat

kecemasan pasien selama episode asma.Mekanisme kerja obat

morfin melibatkan venodilation dan pengurangan preload

(Litzinger, M.H.J, et al, 2013).

c) Status Asmatikus

Status asmatikus merupakan suatu serangan asma berat

yang gagal berespon terhadap terapi konvensional dengan

bronkodilator dan dapat menyebabkan ALF (Richards, Ann &

Edwards, Sharon, 2013)

Terapi status asmatikus mencakup pelaksanaan modalitas

terapeutik multiple. Semua pasien yang mengalami status

asmatikus menunjukkan hipoksemia dan memerlukan terapi

16
oksigen. Terapi oksigen yang digunakan pada pasien status

asmatikus berupa oksigen high-flow, yaitu menggunakan sungkup

non-rebreather, namun jika fungsi paru tidak dapat diperbaiki dan

terjadi gagal napas, pasien mungkin memerlukan intubasi dan

bantuan ventilasi (Smeltzer & Bare, 2010).

2) Berdasarkan derajat beratnya asma


Berdasarkan derajat beratnya asma, asma diklasifikasikan

menjadi asma intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan

persisten berat (Kemenkes RI, 2015).

Tabel 2.1 Klasifikasi asma berdasarkan derajat asma


Gejala
Derajat Asma Gejala Faal Paru
Malam
I. Intermiten Bulanan ≤ 2 kali APE ≥ 80%
1. Gejala < sebulan 1. VEP1 ≥
1x/minggu 80% nilai
2. Tanpa gejala di prediksi
luar serangan
3. Serangan singkat 2. APE ≥
80% nilai
terbaik
3. Variabiliti
APE <
20%
Gejala
Derajat Asma Gejala Faal Paru
Malam
II. Persisten Mingguan >2 kali APE > 80%
Ringan 1. Gejala > sebulan 1. VEP1 ≥
1x/minggu, tetapi < 80% nilai
1x/hari. prediksi

2. APE ≥
80% nilai
2. Serangan dapat
terbaik.
mengganggu
3. Variabiliti
aktivitas dan tidur
APE 20-
30%
III. Persisten Harian >1x/minggu APE 60 – 80%
sedang 1. Gejala setiap hari 1. VEP1 60 –
2. Serangan 80% nilai
mengganggu prediksi
aktivitas dan tidur 2. APE 60 –
3. Membutuhkan 80% nilai
bronkodilator terbaik

17
setiap hari 3. Variabiliti
4. APE >
30%
IV. Persisten Kontinyu Sering APE ≤ 60%
Berat 1. Gejala terus 1. VEP1 ≤
menerus 60%nilai
2. Sering kambuh prediksi
Aktivitas fisik terbatas 2. APE ≤
60% nilai
terbaik.
Variabiliti
APE >
30%
Sumber : (Morton, PG dkk, 2012)

3) Berdasarkan Tipe Asma:

a) Asma alergik/Ekstrinsik

Merupakan suatu bentuk asma dengan alergen seperti bulu

binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan, dan lain-

lain.Alergen terbanyak adalah airbone dan musiman

(seasonal).Klien dengan asma alergik biasanya mempunyai

riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan

eksim atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan

mencetuskan serangan asma. Bentuk asma ini biasanya dimulai

sejak kanak-kanak.

b) Asma idiopatik atau non alergik

Tipe ini disebut juga sebagai asma Intrinsik yaitu tidak

berhubungan secara langsung dengan alergen spesifik. Faktor-

faktor seperti common cold, infeksi saluran napas atas, aktivitas,

emosi/stress, dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan.

Beberapa agen farmakologi, seperti antagonis ß-adrenergik dan

bahan sulfat (penyedap makanan) juga dapat menjadi faktor

18
penyebab.Serangan dari asma idiopatik atau nonalergik menjadi

lebih berat dan sering kali dengan berjalannya waktu dapat

berkembang menjadi bronkitis dan emfisema.Pada beberapa

kasus dapat berkembang menjadi asma campuran.Bentuk asma ini

biasanya dimulai ketika dewasa (>35 tahun).

c) Asma gabungan (Mixed Astma)

Merupakan bentuk asma yang paling

sering.Dikarakteristikkan dengan bentuk jenis asma alergi dan

idiopatik atau nonalergi.

(Soemantri, I, 2009)

d. Manifestasi klinis

Adapun manifestasi klinis yang ditimbulkan antara lain:

mengi/wheezing, sesak nafas, dada terasa tertekan atau sesak, batuk

produktif, pilek, nyeri dada, takikardi, retraksi otot dada, nafas cuping

hidung, takipnea, kelelahan, lemah, anoreksia, sianosis, berkeringat,

ekspirasi memanjang dan gelisah. (Nugroho, Taufan dkk, 2015)

Menurut sumber National Asthma Educational and Prevention

Program (Nurarif, A.H dan Hardhi Kusuma, 2015), tanda dan gejala

asma bervariasi sesuai dengan derajat bronkospasme.

Tabel 2.2 Manifestasi klinis asma berdasarkan derajat asma

Tanda dan Ringan Sedang Berat Gagal nafas yang


Gejala mungkin terjadi

Gejala
Dispnea Saat Saat berbicara Pada saat Saat istirahat
beraktivitas istirahat

19
Bicara Dalam kalimat Dalam frasa Dalam kata- Diam
kata
Tanda
Posisi tubuh Mampu Lebih suka Tidak mampu Tidak mampu
berbaring duduk berbaring berbaring
Frekuensi Meningkat Meningkat Sering kali >30 kali/menit
pernapasan >30 kali/menit
Penggunaan Biasanya tidak Umumnya Biasanya ada Gerakan
obat bantu ada ada torakoabdominal
pernapasan (paradoksal)
Suara napas Mengi sedang Mengi keras Mengi keras Gerakan udara
pada selama selama sedikit tanpa
pertengahan ekspirasi inspirasi dan mengi
sampai akhir ekspirasi
ekspirasi
Frekuensi <100 100-120 >120 Bradikardia
jantung reaktif
(kali/menit)
Pulsus <10 10-25 Seing>25 Sering kali tidak
paradoksus ada
(mmHg)
Tanda dan Ringan Sedang Berat Gagal nafas yang
Gejala mungkin terjadi
Status mental Mungkin Biasanya Biasanya Bingung atau
agitasi agitasi agitasi mengantuk
Pengkajian fungsional
PEF (% yang >80 50-80 <50/respons <50
diprediksi atau terhadap terapi
terbaik secara berlangsung
personal) <2 jam
SaO2 (% >95 91-95 <91 <91
udara ruangan)
PaO2 (mmHg, Normal >60 <60 <60
udara ruangan)
PaCO2 <42 <42 >42 >42
(mmHg)
Sumber : National Asthma Educational and Prevention Program (Keperawatan Kritis)

e. Patofisiologi

Faktor-faktor penyebab seperti virus, bakteri, jamur parasit,

alergi, iritan, cuaca, kegiatan jasmani dan psikis akan merangsang

reaksi hiperreaktivitas bronkus dalam saluran pernafasan sehingga

merangsang sel plasma menghasilkan imunoglubulin E (IgE). IgE

20
selanjutnya akan menempel pada reseptor dinding sel mast, kemudian

sel mast tersensitisasi. Sel mast tersentisisasi akan mengalami

degranulasi, sel mast yang mengalami degranulasi akan mengeluarkan

sejumlah mediator seperti histamin dan bradikinin. Mediator ini

menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga timbul edema

mukosa, peningktan produksi mukus dan kontraksi otot polos

bronkiolus. Hal ini akan menyebabkan proliferasi akibatnya terjadi

sumbatan dan daya konsulidasi pada jalan napas sehingga proses

pertukaran O2 dan CO2 terhambat akibatnya terjadi gangguan ventilasi.

Rendahnya masukan O2 ke paru-paru terutama pada alveolus

menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan CO2 dalam alveolus atau

yang disebut dengan hiperventilasi, yang akan menyebabkan terjadi

alkalosis respiratorik dan penurunan CO2 dalam kapiler (hipoventilasi)

yang akna menyebabkan terjadi asidosis respiratorik. Hal ini dapat

menyebabkan paru-paru tidak dapat memenuhi fungsi primernya dalam

pertukaran gas yaitu membuang karbon dioksida sehingga

menyebabkan konsentrasi O2 dalam alveolus menurun dan terjadilah

gangguan difusi, dan akan berlanjut menjadi gangguan perfusi dimana

oksigenasi ke jaringan tidak memadai sehingga akan terjadi hipoksemia

dan hipoksia yang akan menimbulkan manifestasi klinis (Nugroho,

Taufan dkk, 2015). Hipoksia adalah suatu kondisi ketidakcukupan

oksigen di tempat manapun di dalam tubuh, dari gas yang di inspirasi

ke jaringan. Hipoksia dapat dihubungkan dengan setiap bagian dalam

21
pernapasan-ventilasi, difusi gas, atau transpor gas oleh darah-dan dapat

disebabkan oleh setiap kondisi yang mengubah satu atau semua bagian

dalam proses tersebut. (Kozier et al, 2010)

22
f. Pathway

Ekstrinsik (Inhaled Alergi) Intrinsik (infeksi, psikososial, stress)

Bronkhial mukosa menjadi Penurunan stimuli reseptor terhadap


sensitif oleh Ig E iritan pada trakheobronkhial

Peningkatan sel mast Hiperaktif non spesifik stimuli


pada trakheobronkhial penggerak dari cell mast

Perangsang reflek reseptor


Stimulasi reflek reseptor Pelepasan histamin terjadi
tracheobronkhial
syarat parasimpatis pada stimulasi pada bronkial
mukosa bronkhial smooth sehingga terjadi
kontraksi bronkus
Stimuli bronchial smooth dan
kontraksi otot bronkhiolus

Peningkatan permiabilitas
vaskuler akibat kebocoran
protein dan cairan dalam
jaringan

Perubahan jaringan, peningkatan Ig E dalam serum

Respon dinding bronkus

Bronkospasme Udema Mukosa Hipersekresi mukosa

Bronkus menyempit Penumpukan sekret kental


Wheezing

Ventilasi terganggu Sekret tidak keluar


Ketidakefektifan
pola napas

Hipoksemia Bernapas Batuk tidak


Gangguan melalui mulut efektif
pertukaran gas

Gelisah Intoleransi
Ketidakefektifan
Mukosa
aktivitas
kering bersihan jalan

Risiko
Gangguan Pola Tidur infeksi
Ansietas

Gambar 2.1Pathway asma


Sumber : Soemantri, I. (2009)

23
g. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang mungkin dapat timbul adalah :

1) Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam

rongga pleura yang dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan

dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut

lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.

Penyakit asma rentan terhadap ruptur bleb pleura dan

pneumotoraks akibat bronkospasme dan hiperinflamasi yang akan

meningkatkan tekanan pleura yang dibutuhkan untuk

mempertahankan ventilasi (Eugenia, 2018).

2) Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”,

juga dikenal sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi

dimana udara hadir di mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819

oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik

atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru,

saluran udara atau usus ke dalam rongga dada.

Pada asma akut yang parah, ekspansi berlebihan dari saluran

napas distal karena obstruksi jalan udara minor dan ruptur alveolar

dapat berkembang menjadi pneumomediastinum (Eugenia, 2018)

3) Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-

paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun

24
bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal. Atelektasis

dapat disebabkan oleh penghalang berupa plak mukus. Plak mukus

sangat sering ditemukan pada penderita asma.

4) Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang

disebabkan oleh jamur dan tersifat oleh adanya gangguanpernapasan

yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi pada berbagai

organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis

dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.

Pada penyakit asma persisten dapat menyebabkan

peningkatan resiko Aspergillosis Bronkopulmonalis Alergi (APBA)

karena respons berlebihan dari sistem imun terhadap jamur

aspergillusyang umumnya ditemukan dalam mukus pasien asma

(Lubis, 2008)

5) Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap

karbodioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju

konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel

tubuh.

6) Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana

lapisan bagian dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil

(bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi

peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa

25
perlu batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang

berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara

menjadi sempit oleh adanya lender (Mansjoer, A, 2008).

2. Posisi Fowler

a. Definisi

Posisi fowler adalah posisi duduk dengan bagian kepala tempat

tidur lebih tinggi atau dinaikkan 90o (Hidayat, A. Aziz, 2008).

Posisi fowler merupakan posisi tempat tidur dimana posisi

kepala dan tubuh ditinggikan 45o hingga 60o dimana posisi lutut

mungkin/mungkin tidak dalam posisi tertekuk (Kozier & Erb’s, 2016).

b. Tujuan

Menurut Hidayat, A. Aziz, (2008) posisi fowler bertujuan untuk

mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan

pasien.

c. Rasional

Meningkatkan dorongan pada diafragma sehingga

meningkatnya ekspansi dada dan ventilasi paru serta menurunkan

upaya pernapasan(Doenges, M.E, et al, 2010).

3. Teknik Pursed Lip Breathing

a. Definisi

Pursed lip breathing merupakan salah satu bentuk

penatalaksanaan untuk pola pernapasan tidak efektif dengan

penatalaksanaan non farmakologis yaitu dengan latihan

26
pernapasan.Pursed lip breathing adalah teknik pernapasan dengan cara

menghirup udara melalui hidung dan mengeluarkan udara dengan cara

bibir dirapatkan. Teknik ini dapat memperbaiki transport oksigen,

membantu menginduksi pola nafas lambat dan dalam, dan membantu

pasien untuk mengontrol pernapasan, tujuannya untuk melatih otot-otot

ekspirasi untuk memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan tekanan

jalan napas selama ekspirasi (Brunner & Suddarth, 2010).

b. Tujuan

Membantu klien memperbaiki transport pasien, menginduksi

pola nafas lambat dan dalam, membantu pasien untuk mengontrol

pernafasan, mencegah kolaps dan melatih otot ekspirasi dalam

memperpanjang ekshalasi, peningkatan tekanan jalan napas selama

ekspirasi dan mengurangi terjebaknya udara dalam saluran nafas

(Brunner & Suddarth, 2010)

Pursed Lip Breathing dapat mencegah atelektasis dan

meningkatkan fungsi ventrikel pada paru, pemulihan kemampuan otot

pernapasan akan meningkatkan compliance paru sehingga ventilasi

lebih adekuat dan menunjang oksigenasi jaringan (Westerdhal, 2005

dalam Bakti, 2015)

c. Langkah-langkah dalam pelaksanaan Latihan Pernapasan Pursed Lip

Breathing

Latihan nafas ini dengan cara menghirup nafas melalui hidung

sambil menghitung sampai 3 seperti saat menghirup wewangian.

27
Menghembuskan nafas secara pelan dan merata menggunakan bibir

yang dirapatkan sambil mengencangkan otot-otot perut (bibir yang

rapat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra trakea,

menghembuskan melalui mulut menyebabkan tahanan udara yang

dihembuskan lebih sedikit). Menghitung sampai 7 sambil

memperpanjang ekspirasi dengan merapatkan bibir seolah-olah sedang

meniup lilin.

Pursed lip breathingdalam posisi duduk dikursi dilakukan

dengan melipat tangan di atas perut, menghirup nafas melalui hidung

dengan menghitung sampai 3. Setelah itu badan membungkuk ke depan

sambil menghembuskan nafas secara pelan melalui bibir yang

dirapatkan dan menghitungnya sampai 7 (Brunner & Suddarth, 2007)

4. Teknik Buteyko Breathing

a. Definisi

Teknik Buteykomerupakan sistem latihan pernapasan dan

perubahan perilaku yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesehatan

dengan mengubah keseimbangan oksigen dan karbon dioksida dalam

udara yang dihembuskan. (Bull and David, 2007).

Teknik pernapasan Buteykoefektif dalam meningkatkan nilai

saturasi oksigen pada pasien asma bronkial (Natalia, 2010). Penelitian

yang dilakukan oleh Awan (2015) menunjukkan bahwa terdapat

peningkatan yang signifikan pada nilai saturasi oksigen pasien asma

bronkial setelah dilakukan teknik pernapasan buteyko, dari 20% pasien

28
yang memiliki nilai saturasi diatas nilai normal (<95%) meningkat

menjadi 60% yang memiliki nilai saturasi diatas nilai normal (<95%).

b. Tujuan

Metode teknik pernapasan Buteyko disarankan oleh Profesor

Buteyko membantu menurunkan jumlah dan keparahan serangan serta

dosis obat.Sebagai hasil dari terapi ini, indikator keseimbangan asam-

alkali dan ventilasi paru membaik. Teknik pernapasan ini juga

bertujuan untuk mengurangi hiperventilasi kronis. (Hassan dkk, 2012)

c. Langkah-langkah Teknik Pernapasan Buteyko

Langkah 1: Tes Pernapasan "Control Pause"

1) Duduklah di kursi yang tegak dan gunakan postur yang baik.

rilekskan bahu dan istirahatkan punggung bawah ke belakangkursi.

2) Jangan merubah pernapasan sebelum melakukan control pause.

3) Ambil nafas kecil selama 2 detik dan hembuskan nafas kecil selama

3 detik. Tahan hidung pada saat '‘keluar’ nafas, dengan paru-paru

kosong tetapi tidak terlalu kosong. Memegang hidung diperlukan

untuk mencegah udara masuk ke saluran napas.

4) Hitung berapa detik bisa bertahan dengan nyaman sebelum perlu

bernapas lagi. Tahan napas sampai merasakan kebutuhan pertama

untuk bernapas. Asupan napas pertama setelah control pause

seharusnya tidak lebih besar dari napas sebelum mengambil

pengukuran.Tidak boleh menahan napas terlalu lama karena ini

29
dapat menyebabkan pengambilan napas besar setelah mengukur

control pause.

Langkah 2: Pernapasan dangkal

1) Duduk tegak

2) Pantau jumlah udara yang mengalir melalui lubang hidungdengan

menempatkan jari di bawah hidung dalam posisi horizontal. Jari

harus berada tepat di atas bibir atas, cukup dekat dengan lubang

hidungsehinggadapat merasakan aliran udara, tetapi tidak begitu

dekat sehingga aliran udara terhambat.

3) Sekarang, hirup udara sedikit melali ujung lubang hidung. Misalnya,

cukup ambil udara untuk mengisi lubang hidung dan tidak lagi.

Bernafas dalam sekilas udara (mungkin 1 cm) dengan setiap napas.

4) Saat menghembuskan napas, berpura-puralah bahwa jari adalah

sebuah bulu. Bernapas dengan lembut ke jari sehingga bulu tidak

bergerak.

5) Pada saat menghembuskan napas, semakin hangat udara yang

dirasakan menunjukkan semakin besar udara yang diambil.

Konsentrasi untuk napas yang tenang untuk mengurangi jumlah

udara hangat yang terasa di jari.

6) Selama jumlah udara hangat di jari berkurang, maka akan merasakan

ingin atau butuh udara.

30
7) Cobalah untuk mempertahankan kebutuhan udara selama sekitar 4

menit

Langkah 3: Menggabungkan

1) Lakukan control pause

2) Kurangi bernapas selama 4 menit.

3) Tunggu 2 menit dan lakukan control pause

4) Kurangi bernapas selama 4 menit.

5) Tunggu 2 menit dan lakukan control pause

6) Kurangi bernapas selama 4 menit.

7) Tunggu 2 menit dan lakukan control pause

8) Kurangi bernapas selama 4 menit.

9) Tunggu 2 menit dan lakukan control pause

5. Saturasi Oksigen

a. Definisi

Saturasi oksigen merupakan presentasi hemoglobin yang

berikatan dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah

antara 95 – 100 %. Hal ini di tujukan sebagai derajat kejenuhan atau

saturasi (SpO2) (Widiyanto dan Yamin, 2014).

Faktor-faktor yang dapat memengaruhi saturasi oksigen antara

lain : jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru, kecepatan melakukan

difusi, dan kapasitas hemoglobin (Hb) dalam membawa oksigen (Potter

& Perry, 2006).

31
b. Pengukuran saturasi oksigen

Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa

tehnik. Salah satunya adalah penggunaan oksimetri nadi merupakan

tehnik yang efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi

oksigen yang kecil atau mendadak (Tarwoto dan Watonah 2010).

Adapun cara pengukuran saturasi oksigen antara lain:

1) Saturasi oksigen arteri (SaO2) nilai di bawah 90% menunjukan

keadaan hipoksemia (yang juga dapat disebabkan oleh anemia).

Hipoksemia karena SaO2 rendah ditandai dengan sianosis. Oksimetri

nadi adalah metode pemantauan non invasif secara kontinyu

terhadap saturasi oksigen hemoglobin (SaO2). Oksimetri nadi

digunakan dalam banyak lingkungan, termasuk unit perawatan kritis,

unit keperawatan umum, dan pada area diagnostik dan pengobatan

ketika diperlukan pemantauan saturasi oksigen selama prosedur.

2) Saturasi oksigen vena (SvO2) diukur untuk melihat berapa banyak

mengkonsumsi oksigen tubuh. Dalam perawatan klinis, SvO2 di

bawah 60%, menunjukkan bahwa tubuh adalah dalam kekurangan

oksigen, dan iskemik penyakit terjadi. Pengukuran ini sering

digunakan pengobatan dengan mesin jantung-paru (Extracorporeal

Sirkulasi), dan dapat memberikan gambaran tentang berapa banyak

aliran darah pasien yang diperlukan agar tetap sehat.

32
3) Tissue oksigen saturasi (StO2) dapat diukur dengan spektroskopi

inframerah dekat. Tissue oksigen saturasi memberikan gambaran

tentang oksigenasi jaringan dalam berbagai kondisi.

4) Saturasi oksigen perifer (SpO2) adalah estimasi dari tingkat

kejenuhan oksigen yang biasanya diukur dengan oksimetri.

c. Oksimetri

Oksimetri adalah alat non-invasif yang digunakan untuk

memperkirakan saturasi oksigen darah arteri klien dengan cara

mendekatkan sensor pada jari tangan, jari kaki, hidung, cuping telinga,

atau dahi (atau sekitar tangan atau kaki pada neonatus).

Oksimetri memiliki dua jenis, yaitu oksimetri yang terhubung

dengan kabel listrik dan oksimetri yang tidak terhubung dengan kabel

listrik Nilai saturasi oksigen adalah persentase dari semua hemoglobin

yang mengikat oksigen. Oksimetri dapat mendeteksi hipoksemia

sebelum tanda-tanda klinis dan gejala, seperti warna kehitaman di kulit

dan kuku (Kozier & Erb’s, 2016).

Sensor oksimetri memiliki dua bagian, yaitu:

1) Dua diode pengemisi cahaya (LED) (satu cahaya merah satu

inframerah) pada satu sisi probe, yang mentransmisikan cahaya dan

inframerah melalui kuku, jaringan, darah vena, dan darah arteri.

2) Sensor cahaya ditempatkan tepat di seberang LED (misalnya, sisi

lain dari jari, kaki, atau hidung), karena photodetektor mengukur

jumlah cahaya merah dan inframerah diserap oleh hemoglobin

33
oksigen dan terdeoksigenasi dalam darah arteri perifer disebut

dengan SpO2. Nilai saturasi oksigen normal berkisar 95% sampai

100% dan di bawah 70% dapat mengancam kehidupan.

d. Faktor-faktor yang Memengaruhi Pembacaan Saturasi Oksigen

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembacaan saturasi oksigen

antara lain:

1) Hemoglobin

Jika Hb tersaturasi penuh dengan O2 walaupun nilai Hb

rendah maka akan menunjukkan nilai normalnya. Misalnya pada

klien dengan anemia memungkinkan nilai SpO2 dalam batas normal.

2) Sirkulasi

Oksimetri tidak akan memberikan bacaan yang akurat jika

area yang di bawah sensor mengalami gangguan sirkulasi.

3) Aktivitas

Menggigil atau pergerakan yang berlebihan pada area sensor

dapat menggangu pembacaan SpO2 yang akurat.

4) Keracunan Karbon monoksida

Oksimetri tidak bisa membedakan antara hemoglobin jenuh

dengan karbon monoksida dibandingkan oksigen. Dalam hal ini,

langkah-langkah lain oksigenasi diperlukan(Potter & Perry, 2006,

Kozier & Erb’s, 2016).

34
B. Kerangka Teori

35
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dengan jenis penelitian

eksperimental yaitu suatu rancangan penelitian yang digunakan untuk

mencari hubungan sebab-akibat dengan adanya keterlibatan penelitian dalam

melakukan manipulasi terhadap variabel bebas. Penelitian ini untuk

melakukan observasi antara penggunaanpursed lip breathingdengan buteyko

breathing pada pemberian posisi fowler terhadap perubahan saturasi oksigen

dan kemudian membandingkan variabel tersebut.

B. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam

penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan Quasy Experiment yaitu

jenis penelitan yang bertujuan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat

dengan cara melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok

eksperimental (Nursalam, 2017). Peneliti melakukan observasi pada variabel

dependen (perubahan saturasi) dan variabel independen (metode pursed lip

breathingdan buteyko breathingdalam posisi fowler). Pengambilan data

saturasi menggunakan alat ukur oksimetri.

36
Tabel 4.1 Rancangan Penelitian

Subjek Pra Perlakuan Pasca-tes

K-A O I1 O1-A

K-B O I2 O1-B

Keterangan :

K-A : Subjek (asma bronkial) perlakuan 1

K-B : Subjek (asma bronkial) perlakuan 2

O : Observasi saturasi sebelum pemberian posisi dan teknik

napas

I1 : Intervensi 1 (pursed lip breathingdalam posisi fowler)

I2 : Intervensi 2 (buteyko breathing dalam posisi fowler)

O1(A+B) : Observasi saturasi sesudah pemberian posisi dan teknik napas

(kelompok perlakuan 1 dan perlakuan 2)

Dengan menggunakan metode ini, diharapkan akan mendapatkan

informasi yang sistematis dan akurat tentang penggunaanmetode pursed lip

breathingdengan buteyko breathing dalam posisi fowler dan perubahan

saturasi pada subjek yang diteliti. Sehingga tersaji data-data tersebut secara

mendetail dan tergambar jelas serta dapat menggambarkan suatu masalah

yang ingin dideskripsikan.

37
C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Sebelum dilakukan penarikan sampel terlebih dahulu peneliti

menentukan populasi. Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya

manusia; klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam,

2017).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang

mengalami serangan asma bronkial yang masuk di Ruang Paru RSUD

Ratu Zalecha Martapura

2. Sampel Penelitian

Sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling, sedangkan

sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat

mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2017).

Menurut Roscoe dalam Sugiyono (2012) ukuran sampel untuk

penelitian sebagai berikut :

a. Ukuran sampel yang layak dalam penelitian antara 30 sampai dengan

500.

b. Bila sampai dibagi dalam kategori maka jumlah anggota sampel setiap

kategori minimal 30.

c. Bila dalam penelitian akan melakukan analisis dengan mulivariat (misal

korelasi atau regresi ganda), maka jumlah anggota sampel minimal 10

kali dari jumlah variabel yang diteliti.

38
d. Penelitian eksperimen yang sederhana, yang menggunakan kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol, maka jumlah anggota sampel

masing-masing antara 10 sampai dengan 20.

3. Teknik Sampling

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien yang

mengalami serangan asma bronkial, di mana dalam pengambilan sampel

peneliti menggunakan teknik non-probability sampling dengan cara

Purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang didasarkan

pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri,

berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya

(Notoatmodjo, S, 2010). Pada penelitian ini, peneliti menentukan jumlah

sampel yang diteliti sebanyak 20 pasien asma bronkial yang berobat ke

Ruang Paru RSUD Ratu Zalecha Martapura, yang dibagi menjadi 10

sampel untuk kelompok intervensi 1 dan 10 sampel untuk kelompok

intervensi 2.

Penentuan kriteria sampel sangat membantu peneliti untuk

mengurangi bias hasil penelitian. Kriteria sampel dapat dibedakan menjadi

dua bagian (Nursalam, 2017), yaitu:

a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari

suatu popolusi target yang terjangkau dan akan diteliti

(Nursalam,2017).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kriteria inklusi

sebagai berikut :

39
1) Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani surat

pernyataan (informed consent).

2) Responden yang mengalami serangan asma bronkial yang masuk ke

Ruang Paru RSUD Ratu Zalecha Martapuradengan rentang saturasi

91-95 %.

3) Responden dengan rentang usia 20 – 50 tahun.

4) Responden yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung.

5) Responden tidak mengalami serangan asmatikus.

6) Responden yang belum mendapatkan terapi oksigen.

7) Responden yang belum mendapatkan terapi farmakologis.

b. Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek

yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena pelbagai sebab

(Nursalam,2017).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kriteria ekslusi

sebagai berikut :

1) Responden menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

2) Responden mengalami gangguan nafas berat/gawat nafas.

3) Responden yang mengalami penyakit hormon.

4) Responden yang mengalami gangguan kejiwaan.

5) Responden yang mengalami penurunan kesadaran.

40
D. Tempat Penelitian

1. Tempat Penelitian

Tempat penelitian ini adalah Ruang Paru RSUD Ratu Zalecha,

Jalan Menteri Empat, Martapura, Banjar, Kalimantan Selatan.

2. Waktu Penelitian

WaktuPenelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Agustus sampai

dengan bulan November 2019

E. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai

beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) (Soeparto, Putra, &

Haryanto, 2000 dalam Nursalam 2017). Variabel dalam penelitian ini

adalah variabel ganda, yaitu pemberian metode pursed lip breathing

dengan metodebuteyko breathing dalam posisi fowler dan perubahan

saturasi.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karateristik yang

diamati dari sesuatu yang didefinisikan (Nursalam, 2017). Definisi

operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran

dalam penelitian, sedangkan cara pengukuran merupakan cara di mana

variabel dapat diukur dan ditentukan karakteristiknya (Hidayat, A. Aziz,

2017).

41
Tabel 4.2 Variabel dan Definisi Operasional Penelitian
Alat Skala
No Variabel Definisi Operasional Parameter Kategori
Ukur Ukur
1. Variabel Bebas Merupakan pemberian Pemberian teknik Tabel Ordinal 1 = Pursed Lip
/ Independen : teknik napas pursed lip napas pursed lip Observasi Breathing
Pursed Lip breathing dengan cara breathing atau 2 = Buteyko
Breathing menghirup udara teknik napas Breathing
melalui hidung dan buteyko breathing
mengeluarkan udara pada pasien asma
dengan cara bibir bronkial.
dirapatkan pada pasien
asma bronkial yang
masuk ke IGD RSUD
Ulin

Buteyko Merupakan pemberian


Breathing teknik napas buteyko
breathing dengan cara
menghirup udara secara
dangkal melalui hidung
dan mengeluarkan
udara secara perlahan
melalui hidung pada
pasien asma bronkial
yang masuk ke IGD
RSUD Ulin.

42
Alat Skala
No Variabel Definisi Operasional Parameter Kategori
Ukur Ukur
2 Variabel Saturasi oksigen adalah Pemeriksaan Oksimetri Ratio Normal = 95-99
Terikat / nilai persentase saturasi oksigen %
Dependen : hemoglobin (Hb) yang (SpO2)
berikatan dengan menggunakan Tidak normal =
Perubahan oksigen dalam arteri pulse oximetry < 95%
saturasi yang ditujukan sebagai yaitu dengan cara
derajat kejenuhan atau mendekatkan
saturasi (SpO2) yang sensor pada jari
diukur pada saat tangan ataupun
sebelum pemberian jari kaki dengan
teknik napas pursed lip nilai normal 95 –
breathing dengan 99 %. Adapun
buteyko breathing serta merk yang
diukur kembali pada digunakan adalah
menit ke-5, ke-10, dan Fingertip Pulse
ke-15 setelah diberikan Oximeter yaitu
posisi fowler beserta salah satu jenis
teknik napas. pulse oximetry
yang tidak
terhubung dengan
kabel listrik.
Spesifikasinya
dilengkapi
dengan layar
OLED 2 warna, ,
konsumsi daya
rendah, bisa
digunakan secara
terus menerus
selama 40 jam,
resoluai 1%,
keakuratan 2%
(70%-99%).

43
F. Metode Pengumpulan Data

1. Jenis Instrumen

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa observasi. Jenis

observasi yang digunakan observasi terstruktur yaitu peneliti secara cermat

mendefinisikan apa yang akan diobservasi melalui suatu perencanaan yang

matang. Peneliti tidak hanya mengobservasi fakta-fakta yang ada pada

subjek, tetapi lebih didasarkan pada perencanaan penelitian

yang sudah disusun sesuai pengelompokannya, pencatatan, dan pemberian

kode terhadap hal-hal yang sudah ditetapkan (Nursalam, 2017).

Untuk memperoleh data yang diperlukan, peneliti menggunakan

instrumen penelitian berupa tabel observasi, dalam tabel tersebut tercatat

karakteristik responden dan saturasi oksigen sebelum dan sesudah

pemberian metodepursed lip breathing dalam posisi fowlerdan metode

buteyko breathing dalam posisi fowler, untuk pengukuran nilai saturasi

oksigen menggunakan pulse oximetrydengan merk yang digunakan adalah

Fingertip Pulse Oximeter yaitu salah satu jenis pulse oximetry yang tidak

terhubung dengan kabel listrik. Spesifikasinya dilengkapi dengan layar

OLED 2 warna, konsumsi daya rendah, bisa digunakan secara terus

menerus selama 40 jam, resolusi 1%, keakuratan 2% (70%-99%).

2. Cara Pengumpulan Data

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil observasi

pada saat pasien yang mendapat serangan asma bronkial datang berobat

44
ke ruang paru RSUD Ratu Zalecha Martapura. Langkah-langkah yang

dilakukan antara lain:

1) Mengkaji kondisi asma bronkial pasien.

2) Mengukur nilai SpO2 pasien menggunakan oksimetri.

3) Memilih responden yang yang memiliki nilai SpO2 91 – 95%.

4) Melakukan informed concent pada pasien atau keluarga.

Peneliti melakukan pengelompokan sampel menjadi dua

kelompok, berdasarkan urutan angka ganjil dan genap. Responden yang

datang pertama (ganjil) di kelompokan dalam pemberian metode pursed

lip breathing dalam posisi fowler dan responden yang datang kedua

(genap) di kelompokan dalam pemberian metode buteyko

breathingdalam posisi fowlerdemikian seterusnya. Setelah dilakukan

penilaian saturasi oksigen pada kedua kelompok tersebut, baik sebelum

maupun sesudah pemberian metodepursed lip breathing dalam posisi

fowlerdan metodebuteyko breathing dalam posisi fowler, nilai saturasi

dicatat pada lembar observasi yang sudah disiapkan oleh peneliti pada

responden.

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari laporan tahunan Instalasi Rekam

Medik RSUD Ratu Zalecha Martapura. Data-data tersebut diharapkan

dapat menjadi bahan pelengkap bagi ini.

45
3. Prosedur Eksperimen

a. Persiapan

1) Menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian sesuai

dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

2) Menyiapkan instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data

berupa lembar observasi saturasi.

b. Pelaksanaan

1) Mempersiapkan lingkungan yang aman dan kondusif, yaitu :

a) Memberi pembatas di tempat pasien dirawat menggunakan

sampiran untuk menjaga privasi pasien.

b) Menaikkan pagar pembatas tempat tidur pasien untuk menjaga

keselamatan pasien.

c) Jika ada keluarga pasien, maka dipersilahkan untuk berada di luar

sampiran.

2) Pasien diposisikan supinasi dengan peninggian sedikit pada bagian

punggung.

3) Pengukuran nilai saturasi menggunakan pulse oxymetri di bagian

ujung jari telunjuk.

4) Pasien diberikan posisi fowler (45º-60º)

5) Pasien diajarkan untuk melakukan teknik napas pursed lip breathing

dengan cara menghirup udara melalui hidung dan mengeluarkan

udara dengan cara bibir dirapatkanpada kelompok Intervensi 1 serta

teknik napas buteyko breathingdengan cara mengirup udara secara

46
dangkal melalui hidung dan mengeluarkan udara secara perlahan

melalui hidungpada kelompok intervensi 2.

6) Pasien berada di Ruang Paru RSUD Ratu Zalecha Martapura diatas

tempat tidur pasien.

7) Durasi pengukuran nilai saturasi yaitu ± 15 menit, dengan

pembagian waktu 1 menit sebelum diberikan pengaturan posisi dan

teknik napas dan 14 menit setelah dilakukan latihan teknik napas

pursed lip breathing dan teknik napas buteyko breathing dalam

posisi fowler pada kelipatan 5 menit (menit ke-5, ke-10, dan ke-15).

8) Latihan teknik napas pursed lip breathing dan buteyko

breathingdilakukan oleh responden dan akan diobservasi oleh

peneliti yang akan menilai saturasi pasien.

9) Menilai saturasi pasien dimulai saat pasien tiba ke Ruang paru dan

dilakukan pemeriksaan fisik, dan akan diobservasi lagi setelah

dilakukan teknik napas pursed lip breathing dan buteyko

breathingdalam posisi fowler pada menit ke-5, ke-10, dan ke-15.

10) Setelah didapatkan data nilai saturasi pasien, data kemudian

dimasukkan ke dalam lembar observasi untuk dikoreksi

kelengkapannya.

G. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Dalam malakukan analisis data, data terlebih dahulu harus diolah

dengan tujuan mengubah data menjadi informasi. Dalam statistik,

47
informasi yang diperoleh dipergunakan untuk proses pengambilan

keputusan, terutama dalam pengujian hipotesis (Hidayat, A. Aziz, 2017).

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengukuran nilai saturasi dengan

langkah-langkah sebagai berikut:

a. Mengukur nilai saturasi menggunakan oksimetri pada saat pasien

datang ke Ruang Paru RSUD Ratu Zalecha Martapura.

b. Mengatur posisi posisi pasien, yaitu fowler.

c. Mengajarkan teknik napas pursed lip breathing atau buteyko breathing.

d. Mengukur kembali nilai saturasi menggunakan oksimetri pada menit ke

-5, ke-10, dan ke-15 setelah menggunakan lembar observasi.

e. Menghitung nilai rata-rata (mean) saturasi setelah responden melakukan

teknik napas pursed lip breathing atau buteykobreathing dari menit ke-

5, ke-10, hingga ke-15.

Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang

harus di tempuh, yaitu :

a. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data

yang diperoleh atau dikumpulkan. Pada penelitian ini, editing dilakukan

setelah data terkumpul.

b. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka)

terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pada penelitian ini

coding dilakukan setelah proses editing data dilakukan.

48
Adapun pengkodean data hasil penelitian yang digunakan

adalah sebagai berikut:

1) Kategori penggunaan teknik napas

1 = pursed lip breathing

2 = buteyko breathing

2) Kategori perubahan saturasi oksigen


Normal = 95-99 %
Tidak normal = < 95%

Setelah semua data hasil penelitian diberi kode, kemudian

dimasukkan kedalam program analisis statistik bebasis aplikasi

komputer.

c. Pembersihan Data

Data yang telah dimasukkan diperiksa kembali untuk

memastikan bahwa data telah bersih dari kesalahan, baik pada waktu

pengkodean maupun pada waktu membaca kode sehingga siap di

analisa.

d. Penetapan Skor

Setelah data terkumpul dan kelengkapannya diperiksa,

kemudian dilakukan tabulasi data sesuai dengan kategori.

2. Analisis Data

Pada tahap ini, peneliti akan menyajikan dan mendeskripsikan

suatu data dengan ringkas agar mudah dimengerti dan lebih mempunyai

makna. Data dari hasil pengambilan dan pengumpulan data, penelitian

akan menganalisa secara statistic dengan menggunakan uji T sampel

49
berpasangan atau dependent T test atau sering diistilahkan dengan Paired

Sample T test dan uji T dua sampel bebas atau Independent T test.

Uji T sampel berpasangan atau dependent T test digunakan untuk

mengetahui perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan metode pursed lip

breathingdan buteyko breathingterhadap nilai saturasi oksigen, dengan

tingkat kemaknaan/nilai probabilitas (p) <0,05. Sedangkan Uji T dua

sampel bebas atau Independent T test digunakan untuk melihat pengaruh

pada kedua kelompok (teknik napas pursed lip breathing dengan teknik

napas buteyko breathing) terhadap nilai saturasi oksigen, dengan tingkat

kemaknaan / nilai probabilitas (p)< 0,05. Uji T dua sampel bebas ini dapat

dilakukan apabila data berdistribusi normal (p)> 0.05, jika data

berdistribusi tidak normal maka dilakukan transformasi data terlebih

dahulu tetapi jika hasil data transformasi tidak berdistribusi normal, maka

uji alternatifnya adalah uji Wilcoxon (Dahlan, S, 2011).

Data yang telah dikumpulkan diolah melalui dua cara yaitu:

a. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan dengan menganalisa variabel-

variabel yang ada dengan menghitung distribusi frekuensi dan

proporsinya untuk mengetahui karakteristik dari subyek peneliti. Dalam

penelitian ini analisa univariat digunakan untuk mengetahui proporsi

dari masing-masing variabel penelitian meliputi pursed lip breathing,

buteyko breathing, dan saturasi oksigen.

Untuk mendapatkan nilai dari variabel independen penggunaan

teknik napas pursed lip breathingdenganteknik napas buteyko

50
breathingdapat dilakukan dengan membuat tabel distribusi penggunaan

teknik napas pursed lip breathingdenganteknik napas buteyko

breathing, sedangkan nilai variabel dependen perubahan saturasi

oksigen pada pasien asma bronkial di Ruang Paru menggunakan mean.

Nilai tersebut sebagai nilai tengah (central tendency). Salah satu aspek

yang paling penting untuk menggambarkan distribusi data adalah nilai

pusat data pengamatan (tendensi sentral). Setiap pengukuran aritmatika

yang ditujukan untuk menggambarkan suatu nilai yang mewakili nilai

pusat atau nilai sentral dari suatu gugus data (himpunan pengamatan)

dikenal sebagai ukuran tendensi sentral.

Terdapat tiga ukuran tendensi sentral yang sering digunakan,

yaitu:

1) Mean, merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk

menggambarkan ukuran tendensi sentral. Mean dihitung dengan

menjumlahkan semua nilai data pengamatan kemudian dibagi

dengan banyaknya data. Definisi tersebut dapat di nyatakan dengan

persamaan berikut:

∑𝑥
𝑛
=

= nilai rata-rata sampel

∑ = lambang penjumlahan semua gugus data pengamatan

n =banyaknya data populasi

51
2) Median, adalah nilai pengamatan yang terletak di tengah gugus data

setelah data tersebut diurutkan. Apabila banyaknya pengamatan (n)

ganjil, median terletak tepat ditengah gugus data, sedangkan

bila n genap, median diperoleh dengan cara interpolasi yaitu rata-rata

dari dua data yang berada di tengah gugus data. Oleh karena itu,

median membagi himpunan pengamatan menjadi dua bagian yang

sama besar, 50% dari pengamatan terletak di bawah median dan 50%

lagi terletak di atas median.

Cara menentukan posisi median yaitu:

Keterangan:

n = banyaknya data pengamatan

Pengukuran rata-rata (mean)digunakan untuk mengukur nilai

sentral suatu distribusi data berdasarkan nilai rata-rata yang dihitung

dengan cara membagi nilai hasil penjumlahan sekelompok data

dengan jumlah data yang diteliti(Nursalam, 2017).

b. Analisa Bivariat

Untuk melakukan perhitungan bivariat akan digunakan program

software SPSS untuk mengetahui perbedaan sebelum dan sesudah

dilakukan intervensi pada dua kelompok menggunakan rumus

Dependent sample t Test dan membandingkan rata-rata dari dua

kelompok yaitu dengan menggunakan rumus danIndependent sample t

Test. Penggunaan rumus ini adalah untuk menguji efektifitas suatu


52
perlakuan terhadap suatu besaran variabel yang ingin ditentukan

(Dahlan, S, 2011).

Rumus umum dependent t Test adalah sebagai berikut:

Keterangan:

d : Selisih nilai sesudah dan sebelum dilakukan perlakuan

n : Banyaknya sampel

Dengan uji statistikdependentSamples t-test dengan tingkat

kemaknaan  = 0,05 apabila hasil yang diperoleh < maka ada

perbedaan antara sesudah dan sebelum dilakukan metode Pursed Lip

Breathing atau Buteyko Breathing dalamposisi fowler yang berarti

menunjukkan metode tersebut efektif terhadap perubahan saturasi pada

pasien asma bronkial di Ruang Paru RSUD Ratu Zalecha Martapura.

Rumus umum independent t Test adalah sebagai berikut:

d
𝑡=
S𝑑 /√n

Keterangan :

Sd : Simpangan baku dari d

n : Banyaknya sampel

Dengan uji statistikIndependentSamples t-test dengan tingkat

kemaknaan  = 0,05 apabila hasil yang diperoleh < maka H0 ditolak

berarti ada perbedaan efektivitas metode pursed lip breathing dan

53
buteyko breathingdalam posisi fowlerterhadap perubahan saturasi pada

pasien asma bronkial di Ruang Paru RSUD Ratu Zalecha Martapura

H. Etika penelitian

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat

penting dalam penelitian, karena penelitian keperawatan berhubungan

langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan

(Hidayat, A. Aziz, 2017). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan etika

penelitian sebagai berikut:

1. Informed Concent (Persetujuan)

Lembar persetujuan ini di tujukan kepada responden yang telah

memenuhi kriteria dalam penelitian. Bila subyek menolak, maka peneliti

tidak memaksa dan tetap menghormati hak pasien tersebut. Lembar

persetujuan ini di maksudkan agar responden mengetahui maksud dan

tujuan penelitian. Jika responden bersedia, maka responden harus

mencantumkan tandatangan pada lembar persetujuan yang sudah di

sediakan.

2. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas pasien, peneliti tidak

mencantumkan nama tetapi hanya inisial saja.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Kerahasian informasi subyek yang menjadi responden akan di

jamin peneliti, hanya data-data tertentu saja yang akan di laporkan sebagai

hasil dari penelitian.

54
BAB IV

HASIL YANG DICAPAI

Penelitian yang telahdilaksanakandi Ruang paru RSUD Ratu Zalecha

Martapura pada tanggal18 oktober sampai dengan 10 November 2019.Peneliti

akan memaparkan hasilpenelitianberdasarkandari hasil lembarobservasi, pada

perlakuanpemberian metodepursed lip breathing dan buteyko breathing pada

posisi fowlerdenganmengamatinilaisaturasioksigen (SpO2).

Respondenpenelitianiniberjumlah10 orang yang terdiridari 2 kelompok,

yaitu5 orang untukkelompokpasienasmabronkhialdenganpemberianmetodepursed

lip breathing dan 5 orang

untukkelompokpasienasmabronkhialdenganpemberianmetodebuteyko breathing.

A. Karakteristik Responden Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian pada tanggal 18 oktober sampai dengan

10 November 2019 dengan 10 responden didapatkan karakteristik responden

yaitu disajikan pada tabel berikut:

Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin disajikan pada

tabel 5.1 berikut:

Tabel 5.1Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis


Kelamin Pasien Asma Bronkial di Ruang paru RSUD Ratu
Zalecha

55
No. Jenis Kelamin Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Laki-laki 3 30

2. Perempuan 7 70

Jumlah 10 100

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian

Berdasarkan tabel 5.1 dari 10 responden yang diteliti menunjukkan

bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 7

orang (70 %).

1. Karakteristik Saturasi Responden Berdasarkan Teknik Pernapasan

a. Karakteristik saturasi responden sebelum dilakukan metode pursed lip

breathing dan buteykobreathing dalam posisi fowler disajikan pada

tabel 5.2 berikut:

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Saturasi Responden sebelum dilakukan


metode pursed lip breathing dan buteykobreathing dalam
posisi fowler pada Pasien Asma Bronkial di Ruang paru
RSUD Ratu Zalecha

Teknik
No Saturasi (%) Frekuensi (f) Persentase (%)
Pernapasan

1 Pursed Lip 91 1 20
Breathing
93 1 20

94 3 60

2 Buteyko 90 1 60

56
Breathing 92 3 20

94 1 20

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian

Berdasarkan tabel 5.2 dari 10 responden yang diteliti

menunjukkan bahwa sebagian besar saturasi responden sebelum

dilakukan pemberian metode pursed lip breathing dan buteyko

breathing dalam posisi fowler yaitu sebanyak 3 responden (60%)

memiliki saturasi 94% pada metode pursed lip breathing dan sebanyak

3 responden (60%) memiliki saturasi 92% pada metode buteyko

breathing.

b. Karakteristiksaturasi responden sesudah dilakukan metode pursed lip

breathing dan buteykobreathingdalamposisifowler disajikan pada tabel

5.3 berikut:

Tabel 5.3Distribusi Frekuensi Saturasi Responden sesudah dilakukan


metode pursed lip breathing dan buteykobreathing dalam
posisi fowler pada Pasien Asma Bronkial di Ruang paru
RSUD Ratu Zalecha

No Jenis Teknik Saturasi Frekuensi Persentase


Pernapasan (%) (f) (%)

1 Pursed Lip Breathing 95 1 20

96 2 40

98 2 40

2 Buteyko Breathing 94 3 60

57
95 1 20

96 1 20

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian

Berdasarkan tabel 5.3 dari 10 responden yang diteliti

menunjukkan bahwa sebagian besar saturasi responden sesudah

dilakukan metode pursed lip breathing dan buteykobreathing dalam

posisi fowler yaitu sebanyak 2 responden (40%) memiliki saturasi 96%

dan 2 responden (40%) memiliki saturasi dan 98 % pada metode pursed

lip breathing dan sebanyak 3 responden (60%) memiliki saturasi 94 %

pada metode buteyko breathing.

B. Hasil Penelitian Efektivitas Penggunaan Metode Pursed Lip Breathing

dan Buteyko Breathing dalam posisi Fowler terhadap Saturasi Oksigen

pada Pasien Asma Bronkial di Ruang paru RSUD Ratu Zalecha

1. Analisis Univariat

a. Saturasi responden sebelum dan sesudah penggunaan metode pursed lip

breathing

Karakteristik saturasi responden sebelum dan sesudah

penggunaan metode pursed lip breathingdisajikan pada tabel 5.4

berikut:

58
Tabel 5.4 Distribusi Saturasi Responden Sebelum dan Sesudah
Penggunaan Metode Pursed Lip Breathing Pasien Asma
Bronkial di Ruang paru RSUD Ratu Zalecha

Nilai Saturasi

Posisi Sesudah menggunakan pursed lip


Nomor Sebelum
No. yang breathing
Responden menggunakan
diberikan pursed lip
5 10 15
breathing Rata-rata
menit menit menit

1 PLB1 Fowler 91 94 95 95 95

2 PLB2 Fowler 93 95 96 96 96

3 PLB3 Fowler 94 97 98 98 98

4 PLB4 Fowler 94 98 98 98 98

5 PLB5 Fowler 94 95 96 96 96

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian

Ket = PLB : Pursed Lip Breathing

Tabel 5.5 Analisis Deskriptif Nilai Saturasi Oksigen dengan metode


pursed lip breathing pada posisiFowler pada pasien Asma
Bronkial di Ruang paru RSUD Ratu Zalecha

Komponen Sebelum Menit Menit Menit Rata-

ke-5 ke-10 ke-15 rata

Rata-rata 93.2 95,8 96,6 96,6 96.6

59
Median 94 95 96 96 96

Modus 94 95 96 96 96

Std.
1.303 1.64317 1.34164 1.34164 1.34164
Deviasi

Minimum 91 94 95 95 95

Maksimum 94 98 98 98 98

Tabel 5.5merupakantabelstatistikdeskriptifdarikelompok data

saturasioksigenpada metodepursed lip breathingsaat datang dan

setelahpenggunaanmetodepursed lip breathingpada posisi fowler.

Berdasarkantabeltersebutdapatdiketahuibahwarata-rata

saturasioksigendari5respondensaat datang ke ruang parusekitar 93.2%

dan setelahpemberianmetodepursed lip breathingdalam posisi fowler

sebesar 96.6 %.

b. Saturasi responden sebelum dan sesudah penggunaan metode buteyko

breathing

Karakteristik saturasi responden sebelum dan sesudah

penggunaan metode buteyko breathingdisajikan pada tabel berikut:

Tabel 5.6 Distribusi Saturasi Responden pada penggunaan metode


buteyko breathing pada Pasien Asma Bronkial di Ruang
paru RSUD Ratu Zalecha

60
Nilai Saturasi

Sesudah menggunakan buteyko


Nomor Posisi yang Sebelum
No. breathing
Responden diberikan menggunakan
buteyko 5 10 15
breathing Rata-rata
menit menit menit

1 BB1 Fowler 92 93 94 94 94

2 BB2 Fowler 94 95 96 96 96

3 BB3 Fowler 90 94 93 94 94

4 BB4 Fowler 92 94 94 93 94

5 BB5 Fowler 92 94 94 94 94

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian

Ket = BB : Buteyko Breathing

Tabel 5.7 Analisis Deskriptif Nilai SaturasiPenggunaanMetodeButeyko


Breathingdalamposisifowlerpada pasien Asma Bronkial di
Ruang paru RSUD Ratu Zalecha

Menit ke- Menit ke- Menit ke- Rata-


Komponen Sebelum
5 10 15 rata

Rata-rata 92 94 94.2 94.2 94.4

Median 92 94 94 94 94

Modus 92 94 94 94 94

Std.
1.41421 0.70711 1.09545 1.09545 0.89443
Deviasi

Minimum 90 93.00 93 93 94.00

61
Maksimum 94 95.00 96 96 96.00

Tabel 5.7merupakantabelstatistikdeskriptifdarikelompok data

saturasioksigenpadabuteyko breathingdalam posisi Fowlersaat datang

dan setelahpenggunaanmetodebuteyko breathing.

Berdasarkantabeltersebutdapatdiketahuibahwarata-rata

saturasioksigendari 10 respondensaat datang ke ruang paaru sekitar92

% dan setelahpenggunaanmetodebuteyko breathingdalam posisi

fowlersebesar 94.4%.

2. Analisa Bivariat

Sebelum dilakukan analisis uji Wilcoxon dan Uji Mann Whitney,

dilakukan uji normalitas terlebih dahulu. Berdasarkan hasil uji normalitas

sebelummenggunakan uji Wilcoxonmenggunakan shapiro-

wilk(karenajumlahrespondenkurangdari 50) menunjukkan nilai signifikansi

variabelsebelum PLB 0,021, sesudah PLB, 0,201, sebelum BB 0,325,

setelah BB 0,000, artinya nilai signifikansi variabelsebelum PLB dan

setelah BB lebih kecil dari 0.05, maka dapat disimpulkan adadata

yangtidakberdistribusi normal, sehingga uji yang digunakanadalah uji

Wilcoxon.

Berdasarkan hasil uji normalitas sebelummenggunakan Uji Mann

Whitneymenggunakan shapiro-wilk(karenajumlahrespondenkurangdari 50)

menunjukkan nilai signifikansi variabelVariabelnilaisaturasi 0,035, artinya

nilai signifikansi lebih kecil dari 0.05, maka dapat disimpulkandata

62
tidakberdistribusi normal, sehingga uji yang digunakanadalah

ujimannwhitney.

Hasil analisis menggunakan uji Wilcoxon dan Mann Whitney

disajikan pada tabel 5.9 dan 5.10 berikut:

a. Uji T Wilcoxon

1) Uji Wilocoxonsebelum dan sesudahpenggunaanPursed Lip Breathing

Hasil analisis menggunakan uji Wilcoxon atau uji T paired

sebelum dan sesudah penggunaan Pursed Lip Breathingdisajikan

pada tabel 5.9berikut:

Tabel 5.8 Hasil Analisis Menggunakan Uji Wilcoxon pada sebelum


dan sesudahpenggunaan metode pursed lip breathing
dalam posisi fowlerpada pasien asma bronkialdi Ruang
Paru RSUD Ratu Zalecha

Standar Z
Paired test Mean P Value N
Deviasi
Sebelum
Pursed Lip 93.200 1.30384
Breathing
-2.060 .039 5
Sesudah
Pursed Lip 96.6000 1.34164
Breathing

Berdasarkan tabel 5.9 menggambarkan hasil uji Wilcoxon

(Paired Samples Test) . Nilai P value pada tabel di atas yaitu 0.039.

Dapat disimpulkan jika P value (0.039< 0.05) maka Ho ditolak,

artinyaada perbedaan nilaisaturasioksigen antara sebelum dan

sesudah penggunaan metode pursed lip breathing dalam posisi

63
fowler pada pasien asma bronkialdi Ruang Paru RSUD Ratu

Zalecha.

2) Uji Wilcoxon sebelum dan sesudahpenggunaanButeyko Breathing

Hasil analisis menggunakan uji Wilcoxon atau sebelum dan

sesudah penggunaan Buteyko Breathingdisajikan pada tabel

5.10berikut:

Tabel 5.9 Hasil Analisis Menggunakan Uji Wilcoxon pada sebelum


dan sesudahpenggunaan metode buteyko breathing
dalam posisi fowlerpada pasien asma bronkialdi Ruang
Paru RSUD Ratu Zalecha
Standar Z
Paired test Mean P Value N
Deviasi
Sebelum
Pursed Lip 92.000 1.41421
Breathing
-2.121 .034 5
Sesudah
Pursed Lip 94.4000 0.89443
Breathing

Berdasarkan tabel 5.10 menggambarkan hasil uji Wilcoxon.

Nilai P value pada tabel di atas yaitu 0.034. Dapat disimpulkan jika

P value (0.034< 0.05) maka Ho ditolak, artinyaada perbedaan

nilaisaturasioksigemantara sebelum dan sesudah penggunaan metode

buteyko breathing dalam posisi fowler pada pasien asma bronkialdi

Ruang Paru RSUD Ratu Zalecha.

b. Uji Mann Whitney

Sedangkan hasil analisis menggunakan ujiMann Whitney

disajikan pada tabel 5.11 berikut:

64
Tabel 5.10 Hasil Analisis Menggunakan Uji Mann Whitney pada
penggunaan metode pursed lip breathing dan buteyko
breathing dalam posisi fowlerpada pasien asma bronkialdi
Ruang Paru RSUD Ratu Zalecha

P Mean
Independen T test α Z N
Value Difference
Equal
variances 0.05 0,021 .2000 -2.300 10
Nilai
assumed
Saturasi
Equal
Oksigen
variances not 0.05 0,021 .2000 -.2.300 10
assumed

Berdasarkan tabel 5.11 menggambarkan hasil uji Mann Whitney.

Nilai α0.552. Nilai P value pada tabel di atas yaitu 0.021. Dapat

disimpulkan P value (0.021> 0.05) maka Ho diterima, artinya tidak ada

perbedaan efektivitas penggunaan metode pursed lip breathing dan

buteyko breathing dalam posisi fowler terhadap saturasi oksigen pada

pasien asma bronkialdi Ruang Paru RSUD Ratu Zalecha.

65
DAFTAR PUSTAKA

Bakti, Adhitya Kusuma. 2015. Pengaruh Pursed Lip Breathing Exercise terhadap
Penurunan Tingkat Sesak Napas pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. (diakses dari:
http://eprints.ums.ac.id/40106/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf)

Balitbang Kemenkes RI.2013.Riset Kesehatan Dasar.Jakarta: Badan Penelitian


dan Pengembangan KesehatanDepartemen Kesehatan, Republik Indonesia.

Brunner and Suddarth. 2010. Text Book Of Medical Surgical Nursing 12th Edition.
China: LWW.

Brunner dan Suddarth. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Bull, Eleanor dan David Price. 2007. Simple Guide Asma. Jakarta: Erlangga.

Cardona, V., et al.2011.Allergic diseases in the elderly.Clinical and Translational


Allergy. (Diakses dari : http://www.ncbi.nlm.nih.gov pada 18 Agustus 2019
pukul 17.00 wita)

CDC’s National Asthma Control Program Grantees.2013.Asthma Facts.United


States of America : Department of Health and Human ServicesCenters for
Disease Control and Prevention

Clark, M V.2011.Asthma A Clinical’s Guide.United States of America:Jones &


Barlett Learning.

Custovic, A, et al.2013.EAACI Position statement on Asthma Exacerbations and


Severe Asthma.Allergy. No.68 pp: 1520-1531

Dahlan, S.2011.Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi 5.Jakarta:


Salemba Medika.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma.


Jakarta: Depkes RI. (diakses dari
http://pio.binfar.depkes.go.id/PIOPdf/PC_ASMA.pdf pada 12 Oktober
2019 pukul 22.40 wita)

Doenges, M.E, et al, 2010.Nursing Care Plans Guidelines for Individualizing


Client Care Across the Life Span Eight Edition.Philadelphia: F.A Davis
Company.

Dramawan, Awan. 2015. Latihan Pernapasan Teknik Buteyko terhadap Saturasi


Oksigen pada Pasien Asma. Mataram: Poltekkes Mataram. (diakses dari:

66
http://poltekkes-mataram.ac.id/wp-content/uploads/2017/10/artikel-H-Awan
-Dramawan-4-edit.pdf pada 9 November 2019 pukul 16.40 wita)

Echwan, M M. 2016. Efektivitas Pemberian Oksigen pada Posisi Semi Fowler


dengan Fowler terhadap Perubahan Saturasi pada Pasien Asma Bronkial
Persisten Ringan Di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura. Banjarbaru:
Poltekkes Banjarmasin.

Global Initiative for Asthma.2016.Global Strategy For Asthma Management And


Prevention Updated 2016. (diakses dari: http://www.ginaasthma.org/ pada
hari Jumat, 28 Agustus 2019 pukul 19.09 wita)

Hafiizh, Edwin, dkk. 2013. Pengaruh Pursed Lip Breathing terhadap Penurunan
Respiratory Rate (RR) dan Peningkatan Pulse Oxygen Saturation (SpO2)
pada Penderita PPOK. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
(diakses dari: http://eprints.ums.ac.id/25567/2/4.BAB_1.pdf pada 2
November 2019 21.58 wita)

Hassan, et al. 2012. Effect of Buteyko Breathing Technique on Patients with


Bronchial Asthma. Egyptian Journal of Chest Diseases and Tuberculosis
(diaksesdari:dari:https://www.researchgate.net/publication/257234503_Effe
ct_of_Buteyko_breathing_technique_on_patients_with_bronchial_asthma
pada 9 Oktober 2019 pukul 17.00 wita)

Hidayat, A. Aziz.2008.Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep


dan Proses Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika.

Hidayat, A. A. Alimul. 2017. Metodologi Penelitian Keperawatan dan Kesehatan.


Jakarta: Salemba Medika.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. You Can Control Your


Atshma. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kozier & Erb’s.2016.Fundamentals of Nursing Concepts, Process and Practice


Tenth Edition. United States of America : Julie Levin Alexader

Litzinger, M.H.J, et al.2013.Cardiac Asthma : Not Your Tipical Asthma.Georgia:


Clinical Instructor of Pharmacy Practice School of Pharmacy Philadelphia
College of Osteopathic Medicinediakses dari :
https://www.uspharmacist.com/pada, 10 November 2019 pukul 15.57
WITA

LoBiondo-Wood, G dan Haber, J.2014.Nursing Research Methods and Critical


Appraisal for Evidence-Based Practice Eight edition.China: Elsevier Mosby

Lubis, Ramona D. 2008. Aspergilosis. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan


Kelamin Universitas Sumatera Utara (diakses dari:

67
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3432/1/08E00886.pdf pada
15 Oktober 2019 pukul 16.00 wita)

Mansjoer, Arif dkk.2007.Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid II.Jakarta;Media


Aeculapius

Mansjoer, Arif dan Yohanes W.H. George.2008.Pathophysiology of Critical III


Patients : Focus on Critical Oxygen Delivery.Vol. 40, No. 3 pp: 161 - 170

Melastuti, Erna dan Husna Lailya. 2015. Efektivitas Teknik Pernafasan Buteyko
terhadap Pengontrolan Asma di Balai Kesehatan Paru Masyarakat
Semarang. Semarang: Universitas Islam Sultan Agung Semarang. (diakses
dari: http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/jnm/article/download/466/387
pada 27 Oktober 2019 pukul 17.16 wita)

Morton, P.G, dkk.2012.Keperawatan Kritis Volume 1 Edisi 8.Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC

Mubarak, W.I. dkk.2015.Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar Buku 2.Jakarta:


Salemba Medika

Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Pernafasan.Jakarta: Salemba Medika

Natalia, Dewi dkk. 2010. Efektifitas Latihan Pernapasan Teknik Buteyko Dalam
Peningkatan Saturasi Oksigen Pada Asma Bronkial Di RSUP Banyumas.
(diakses dari: http://digilib.stikesmuhgombong.ac.id/do wnload.php?id=335
pada 10 Oktober 2019 pukul 10.00 wita)

Notoatmodjo, S.2010.Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta: Rineka Cipta.

Nugroho, Taufan dkk. 2015. Teori Asuhan Keperawatan Gawat Darurat.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Nurarif, A.H dan Hardhi Kusuma.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC.
Yogyakarta;MediAction

Nursalam.2017. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan


Praktis.Jakarta: Salemba Medika.

Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia).2010.Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan Asma di Indonesia.Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Potter & Perry.2006.Fundamental keperawatan Vol I.Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.
68
Qorisetyartha, Niko. 2012. Efektivitas Posisi Semi Fowler dengan Pursed Lip
Breathing dan Semi Fowler dengan Diaphragma Breathing terhadap SaO2
Pasien TB Paru di RSP Dr Ariawirawan Salatiga. Telogorejo: Stikes
Telogorejo. (diakses dari:
http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/ilmukeperawatan/article/dow
nload/636/634 pada 5 Oktober 2019 pukul 18.50 wita)

Richards, Ann dan Sharon Edwards. 2013. A Nurse's Survival Guide to The Ward.
United Kingdom: Churcill Livingstone.

Rohman, Dodi. 2015. Efektivitas Latihan Nafas Dalam (Deep Breathing Exercise)
terhadap Peningkatan Arus Puncak Ekspirasi (APE) pada Pasien dengan
Asma di Puskesmas 1 Rakit Kabupaten Banjarnegara. Purwokerto:
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. (diakses dari:
http://repository.ump.ac.id/648/3/bab2_dodirohman_keperawatan.pdf pada
16 Oktober 2019 pukul 12.46 wita)

Smeltzer, Suzanne C et.al.2010.Brunner & Suddart’s Text Book of Medical-


Surgical Nursing Twelfth Edition.Philadalphia: Lippincott Williams &
Wilkins.

Smeltzer, Suzanne C . 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Volume 1. Jakarta: EGC.

Soemantri, Irman.2008.Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan


Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.Jakarta: Selemba Medika

Sucahyono, W.2012.Identifikasi Penempatan Posisi terhadap Saturasi Oksigen


pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis di Ruang Dahlia Rumah Sait
Paru dr. Ario Wirawan Salatiga.Universitas Kristen Satya Wacana: Salatiga

Sugiyono.2012.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.Bandung:


Alfabeta

Sukandar, E.Y, dkk.2013.ISO Farmakoterapi Buku 1.Jakarta: Isfi Penerbitan.

Sutrisna, Marlin, dkk. 2018. Pengaruh Teknik Pernapasan Buteyko Terhadap


ACT (Asthma Control Test). Bandung: Universitas Padjajaran. (diakses dari:
https://journal.ipm2kpe.or.id/index.php/JKS/article/download/22/48pada 17
Oktober 2019 pukul 17.17 wita)

Tarwoto dan Watonah.2010.Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan


Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
Widiyanto, B & Yamin L.S.2014.Terapi Oksigen Terhadap Perubahan Saturasi
Oksigen Melalui Pemeriksaan Oksimetri pada Pasien Infark Miokard Akut
(IMA).Jurnal Keperawatan.PPNI Jawa Tengah. Hal: 138 – 143.

69
Yiannakopolou, Eugenia. 2018. Pneumothoraks, Pneumomediastinum,
Subcutaneous Emphysema: Serious Complications of Atshma. University of
West Attica (diakses dari:
https://www.researchgate.net/publication/330218682_pneumothorax_pneu
momediastinum_subcutaneous_emphysema_serious_complication_of_asth
ma/fulltext/ pada 15 Oktober 2019 pukul 15.50 wita)

70

Anda mungkin juga menyukai