Anda di halaman 1dari 14

Recovery Energy

Sebelum didistribusikan, air murni hasil RO perlu di treatment dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas air agar setidaknya memenuhi kriteria air minum. Pada proses post-
treatment air murni akan diatur nilai pH agar pada rentang 6,8 – 8,1 (netral). Selanjutnya,
dilakukan remineralisasi agar air mengandung mineral-mineral yang dibutuhkan oleh tubuh,
dan disinfeksi untuk memastikan tidak ada lagi bakteri yang hidup setelah proses RO. Setelah
melewati proses post-treatment, air disimpan dalam water storage dan selanjutnya akan di
distribusikan untuk memenuhi kebutuhan warga dan industri. Proses Energy Recovery
Penggunaan energy recovery system akan menurunkan penggunaan energi yang diperlukan
untuk melakukan proses desalinasi. Pada akhirnya akan menurunkan biaya instalasi sistem
SWRO. Air konsentrat umpan yang menuju sistem RO dengan tekanan yang tinggi memiliki
energi potensial yang dapat ditransfer dari waste pressure ke aliran umpan. Dengan
menggunakan teknologi ini, maka akan dapat menghemat biaya kebutuhan energi sampai
dengan 40%. Secara umum terdapat 3 tipe energy recovery system:
 Proses recovery energy dari brine dengan menggunakan sistem hydraulic turbocharger
(HTC). Sistem HTC menggunakan energi yang dimiliki oleh brine yang dimanfaatkan
menggunakan turbin yang terhubung langsung dengan impeler pompa umpan.
 Proses recovery energy dengan menggunakan sistem pelton wheel turbine (PWT).
Prinsip dari sistem ini dengan mentransfer aliran brine dari satu modul ke modul
selanjutnya ketika membran berotasi.
 Proses recovery energy dari brine dengan menggunakan sistem pressure exchanger
(PX). PX mentransfer energi dari aliran brine bertekanan tinggi ke aliran masuk dengan
meggunakan prinsip pe-mindahan positif. Dari beberapa sitem energy recovery yang
ada, sistem pressure exchanger (PX) lebih banyak diminati karena memiliki efisiensi
yang lebih tinggi dalam melakukan recovery energy
SWRO desalination plant akan menghasilkan produk samping berupa brine. Aliran
brine merupakan aliran terejeksi dari umpan yang memiliki kandungan total dissolved solid
(TDS) sangan tinggi mencapai 70.000 mg/L. Selain itu, aliran brine juga membawa beberapa
kandungan kimia yang diberikan pada proses pre-treatment. Brine memiliki nilai TDS tinggi,
sehingga densitas brine jauh lebih besar dari densitas air laut pada normalnya. Sehingga, ketika
brine dibuang ke laut akan dapat memengaruhi kondisi kesetimbangan Lingkungan. Beberapa
metode dapat diterapkan untuk mengurangi dampak lingkungan dari pembuangan brine seperti
: menghubungkan ke pengolahan air limbah, menggunakan kolam penguapan untuk
menghasilkan zero liquid discharge, dan pembuangan pada lokasi yang dalam.
Pada sistem desalinasi berbasis SWRO, dihasilkan sejumlah brine yang harus diproses
terlebih dahulu sebelum dibuang untuk menghindari adanya dampak lingkungan. Ada beberapa
metode yang digunakan untuk mengelola brine yaitu: mengonversi brine menjadi zat kimia
yang bermanfaat, diffuse discharge, deactivation, immobilisation, dan direct discharge.
Pengelolaan brine dengan metode tersebut telah banyak digunakan dalam plan SWRO yang
ada saat ini. Pengelolaan brine menjadi keharusan dalam sistem desalinasi. Sehingga, banyak
study yang mempelajari dan mengembangkan teknologi pengelolaan brine saat ini.
SWRO desalination plant akan menghasilkan produk samping berupa brine. Aliran
brine merupakan aliran terejeksi dari umpan yang memiliki kandungan total dissolved solid
(TDS) sangan tinggi mencapai 70.000 mg/L [53]. Selain itu, aliran brine juga membawa
beberapa kandungan kimia yang diberikan pada proses pre-treatment. Brine memiliki nilai
TDS tinggi, sehingga densitas brine jauh lebih besar dari densitas air laut pada normalnya.
Sehingga, ketika brine dibuang ke laut dapat memengaruhi kondisi kesetimbangan lingkungan
[17]. Beberapa metode dapat diterapkan untuk mengurangi dampak lingkungan dari
pembuangan brine seperti [59,60] menghubungkan ke pengolahan air limbah, menggunakan
kolam penguapan untuk menghasilkan zero liquid discharge, dan pembuangan pada lokasi
yang dalam.

Karekteristik Brine Water


Bleninger dkk (2009) mencoba menghitung pembuangan (discharge) dari pabrik
desalinasi dan menjelaskan bahwa karakteristik brine yang dibuang dapat dipahami dengan
memperhatikan komponen brine, yaitu:
1. Struktur bangunan pembuangan, terdiri dari tipe struktur, lokasi, dimensi dan orientasi
pembuangan.
2. Efluen, terdiri dari tipe pembuangan, sifat fisika, fluks, sifat kimia/biologi, dan laju alir.
Menurut M.Frappart (2008) yang dijelaskan pada Gambar 7, kosentrat garam akan larut
ke air laut secara cepat jika kedalaman semakin besar. Ditinjau dari jenis air yang menerima
buangan brine,perlu diperhatikan dua hal, yaitu:

1. Kondisi lokal di sekitar lokasi pembuangan, seperti tipe tampungan air, topografi,
kedalaman, sifat fisika, kondisi hidrologi dan sifat kimia/biologi.
2. Kondisi regional untuk seluruh system perairan, terkait dengan pengaruh tekanan lain,
pengaruh perubahan ekosistem air dan karakteristik pembilasan (flushing).

Gambar 7. Karakteristik pencampuran dan distribusi zat untuk konfigurasi pembuangan melalui
saluran atau bendungan di RO Plant
Secara umum, perhitungan densitas brine dan air penerima dipengaruhi oleh fluks
buoyancy. Untuk mengetahui factor penentu pilihan sistem yang digunakan dalam mengatur
efluen brine adalah dengan memahami karakteristik efluen tersebut. Karakteristik brine RO
menurut Jirka (2008) disajikan pada Tabel 5. Jirka menjelaskan karakteristik keluaran brine
dari SWRO, yaitu :
1. Salinitas meningkat, tidak ada perbedaan temperatur sehingga brine kental
(dense).
2. Densitas arus memiliki stabilitas tinggi dan turun sepanjang dasar laut.
3. Efek densitas sangat mempengaruhi karakteristik pengenceran.

Tabel 5. Karakteristik brine


Parameter Unit Nilai
Ph - 6,75±0,6
Konduktifitas µS/cm 1574±49
TDS mg/L 1046 ± 28
TOC mg/L 24,3±3,4
PO43- mg/L 8,7 ±4,0
SiO2 mg/L 38,9±1,4
Al3+ mg/L 0,08±0,03
Fe3+ mg/L 0,20±0,02
Turbiditas NTU 0,28±0,01
UV254 cm-1 0,52±0,05
SUVA 1/mg.m 2,01±0,003

Berdasarkan G. Oron (2007), konsentrasi beberapa unsur kimia pada brine water dari
produk teknologi osmosis terbalik tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Konsentrasi garam pada konsentrat Sistem RO dengan Perolehan 45% produk pada tekanan
operasi 900 psi
Air Laut Konsentrat Produk RO
(ppm) (ppm) (ppm)
Sodium (Na) 10,967 19,888 64
Potasium (K) 406 736 3
Magnesium 1306 2372 2
(Mg)
Kalsium (Ca) 419 761 0,5
Bikarbonat 109 194 0,9
(HCO3)
Korida (Cl) 19,862 35,771 10,5
Sulfat (SO4) 2759 5014 1,5
TDS 35,666 64,771 176

Dampak Sosial dan Lingkungan Brine Water


Pembuangan brine water dengan konsentrasi garam yang tinggi (sekitar 70,000 ppm)
kembali ke laut lepas akan membahayakan ekosistem laut. Brine water yang dihasilkan
umumnya memiliki suhu yang lebih tinggi daripada suhu normal badan perairan. Komponen
terlarut dari brine water selama proses pre-treatment dan post-treatment desalinasi juga akan
menyebabkan eutrofikasi,variasi nilai pH, akumulasi mineral dan logam berat, dan kerusakan
biota bentik [52]. Menurut M. Benjamin (2009), dampak pembuangan langsung brine water
terhadap lingkungan tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh brine water terhadap komponen di lingkungan


Dampak
Saluran pembuangan limbah Peningkatan tekanan yang
dibutuhkan dalam proses
pengolahan limbah
Air tanah Kontaminasi garam pada
molekul air
Tanah Akumulasi sodium akan
membentuk kerak dipermukaan
tanah. Perubahan komposisi
tanah menyebabkan penurunan
yield tanaman.
Laut Temperatur yang tinggi
menyebabkan migrasi ikan laut.
Konsentrasigaram yang tinggi
mematikan biota laut (populasi
bentik menurun)

Pentingnya induksi atau pengenalan adanya “air baru” dari teknologi desalinasi air laut
maupun pengolahan brine water ke masyarakat akan meningkatkan kesadaran akan
keterbatasan air dan peningkatan efektifitas penggunaan air. Adapun tiga prinsip keberhasilan
dan keberlanjutan sebuah teknologi, yaitu perolehan kembali biaya operasi dan investasi
(economy-full cost recovery), peran dan partisipasi masyarakat (social-proactive public
participation), dan status ekologi yang baik (environment). Hal ini akan membangun
keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan akan air produk desalinasi sehingga dapat
memenuhi aktivitas masyarakat secara optimal dengan penggunaan air yang minimal.
SWRO dengan laju konversi 40%-50% membutuhkan air lebih sedikit disbanding
proses termal/distilasi (laju konversi 10%- 20%), sehingga memiliki dampak lingkungan yang
lebih kecil. Konsumsi energi tinggi namun dibanding proses termal lebih kecil. Sampah efluen
tidak mengandung bahan kimia atau polusi termal, tapi memiliki konsentrasi garam yang tinggi
sehingga dampak pada ekosistem laut lebih tinggi. SWRO tidak melibatkan proses pembakaran
sehingga tidak menimbulkan polusi udara. Dampak visual tidak ada karena pabrik dibangun
secara kompak, namun pabrik SWRO menimbulkan limbah padat akibat proses penggantian
membran RO secara periodik.
Pembuangan limbah SWRO dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1. Kontak langsung dengan air laut melalui konfigurasi sistem pembuangan.
2. Kombinasi dengan efluen lain, seperti air pendingin sistem pembangkit listrik.
3. Dikeringkan.
Ditinjau dari implementasi proyek Ditinjau dari implementasi proyek desalinasi air laut,
beberapa dampak yang ditimbulkan akibat infrastruktur SWRO adalah:
1. Menurunkan kualitas air karena pemasangan unit-unit proses dan pembangunan
infrastruktur sipilnya.
2. Dampak pada sistem navigasi dan perikanan.
3. Dampak terhadap dinamika pesisir pantai.
Pemasangan pipa bawah laut yang berhubungan dengan sumber air dan pipa
pembuangan juga menimbulkan dampak pada beberapa hal, yaitu:
1. Kerusakan ekosistem di sekitar penggalian.
2. Efek pada turbiditas air karena peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi.
3. Pengurangan cahaya matahari yang masuk ke dasar laut, mengganggu biota laut di
dalamnya.
4. Pembentukan sedimentasi karena kematian organisme di dalam laut.

Ditinjau dari sisi instalasi pengambilan air laut, dampak yang ditimbulkan adalah:
1. Resiko intrusi air laut ke dalam air tanah di sekitar penanaman pipa, khususnya pipa di
bawah permukaan.
2. Jika dipasang dipermukaan, membutuhkan bahan kimia lebih banyak dalam proses
preparasi, dampak negatif pada habitat permukaan air laut dan resiko tabrakan
organisme karena besarnya laju alir air di permukaan.

Brine water yang dibuang ke laut akan menimbulkan dampak sebagai berikut:
1. Berpengaruh pada kualitas air karena potensi bahan kimia berbahaya, meningkatkan
kekeruhan karena keberadaan brine.
2. Berpengaruh pada plankton karena penurunan tekanan osmosis.
3. Dampak pada ikan karena kecepatan jet discharge. Untuk meminimalisir permasalahan
ini maka kecepatan jet discharge tidak melebihi 3-3,5 m/s.
4. Dampak pada batu karang yang sensitif terhadap perubahan lingkungan.
5. Dampak pada rumput laut dan alga karena penurunan kualitas cahaya matahari yang
masuk ke ekosistem laut.
6. Dampak pada rumput laut karena tingginya konsentrasi garam dalam brine.

Roberts dkk (2010) menyimpulkan dari hasil penelitian di laboratorium dan observasi
di lapangan bahwa penyebab utama terjadinya dampak negatif sistem ekologi adalah metode
pembuangan dan pemilihan lokasi pembuangan. Dampak terbesar adalah dari pabrik desalinasi
air laut dengan sistem multi-stage flash (MSF) [54].

Pengelolaan dan pengolahan brine water


Terdapat beberapa pertimbangan dalam proses pembuangan atau pengolahan brine
water hasil desalinasi, antara lain volume atau kuantitas konsentrat, lokasi geografis titik
pembuangan, persepsi publik, perizinan dan persetujuan publik, kemungkinan korosi pada pipa
saluran, ketersediaan energi, kondisi tanah, teknologi yang diterapkan, karakteristik konsentrat
yang dihasilkan, biaya operasi, dan ketersediaan fasilitas.
Salah satu negara yang menggunakan teknologi desalinasi air laut atau air payau adalah
Australia. Menurut H. Yang (2008), terdapat beberapa pengolahan dan pemanfaatan brine
water yang telah diterapkan di Australia yang disajikan pada Gambar 8.

9% Freshwater Discharge

18% Sewer Disposal


49%
Ocean Disposal
12%
Deep Well Injection
12% Land Application

Gambar 8. Manajemen Brine water di Australia

Tantangan dalam produksi air bersih adalah dihasilkan brine sebagai produk samping.
Jika tidak ditangani dengan baik, brine akan menginduksi kerusakan ekosistem laut jika tidak
ditangani dengan baik, terutama untuk area laut tertutup [56]. Penanganan brine dilakukan
dengan pendekatan teknologi desalinasi yang tepat untuk meminimalisasi terbentuknya brine
selama proses penyediaan air bersih. Upaya lain adalah dengan melakukan treatment brine
yang terbentuk dalam proses desalinasi air laut.
Morillo (2014) telah membandingkan beberapa teknologi untuk menurunkan dan
menghilangkan brine.
a. Evaporasi konvensional
Cara paling konvensional adalah dengan memanaskan brine dibawah sinar matahari.
Garam akan mengkristal karena air akan menguap akibat pemanasan matahari. Teknologi ini
sangat membutuhkan ketersediaan lahan yang luas. Pengembangan teknologi ini adalah dengan
mengintegrasikan kecepatan angin dan cahaya matahari untuk mempercepat penguapan.

b. Fitodesalinasi
Penggunaan brine untuk produksi tanaman masih rendah karena rendahnya toleransi
garam pada sebagian besar tanaman. Namun, ada spesies angiospermae yang toleran terhadap
kadar garam air laut, disebut dengan halophytes. Metode ini masih dalam tahap penelitian dan
pengembangan. Tantangan pengembangan metode ini adalah ketika tanah yang dialiri brine
akan mengandung kalium berlebih dan menghambat infiltrasi air, drainase dan evaporasi,
menyulitkan tanaman menyerap unsur hara dari tanah.

c. Sistem Evaporasi dan Kristalisasi


Teknologi ZLD berdasarkan prinsip evaporasi dan kristalisasi. [59] Energi yang
dibutuhkan sangat tinggi (0.095 Euro/kg brine yang dievaporasi. Mickley dkk dalam Moriello
dkk (2014) juga melakukan recovery dan teknologi ZLD. Beberapa alternatif diusulkan dengan
mengkombinasikan RO, pelunak soda, TBC, kristalisasi termal, spray dryer, kolam evaporasi
dan landfill untuk mengambil kembali brine dari air payau sebesar 96%.

d. DM
DM merupakan proses pemisahan secara non-isotermal dengan menggunakan
membran. Pada proses ini, dua fluida encer dengan temperature berbeda dipisahkan dengan
membrane hidrofobik mikropori. Temperatur operasi lebih rendah dari temperature kedua
fluida tersebut [60]. Salah satu varian DM adalah vakum distilasi membran, dimana tekanan
vakum digunakan untuk mengatur beda tekanan diantara dua sisi membran. Menurut
A.JMorton (1997), varian tersebut digambarkan pada Gambar 9. DM sudah komersial dan
menghasilkan kualitas sangat baik dengan menolak garam 99-100%. Umpan tidak memerlukan
proses pre-treatment sehingga mengurangi kebutuhan material, namun DM mudah mengalami
penyumbatan.
Unit RO

Air Laut

Produk Air

Larutan Brine

Permeasi

Vakum DM

Konsentrat Brine
berikutnya

Gambar 9. Skema proses desalinas air laut dengan RO dan Vakum RO


e. RO Dua-Tahap
Pengolahan air laut dengan RO dua tahap adalah alternatif teknologi untuk
mendapatkan air bersih dalam jumlah banyak dan menurunkan brine. Pada tahap pertama, RO
bekerja dengan tekanan tinggi sedangkan pada tahap kedua memiliki tekanan rendah. Industri
Toray (Jepang) telah menerapkan sistem ini dan mampu mendapatkan 60 % air dibanding
proses satu-tahap yang hanya 40 %. Menurut A.J Morton (1997), sistem tersebut digambarkan
pada Gambar 10. Faktor penting dalam penerapan teknologi RO adalah pencegahan terjadinya
penyumbatan dan terbentuknya pengotor (fouling).
Dalam penanganan brine, diperlukan proses backwash untuk meregenerasi membrane
agar stabilitas sistem penyaringan tetap terjaga. Brine ditambahkan zat antiscalant, antifouling
dan proses koagulasi untuk mencegah gangguan perpipaan selama proses penanganan brine
berlangsung. Metode untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh brine, yaitu dengan
melakukan beberapa upaya sebagai berikut:
1. Limbah brine dibuang di daerah yang tidak dilindungi
2. Limbah brine dibuang di laut dengan turbulensi arus tinggi.
3. Konfigurasi limbah brine diatur melalui pengenceran agar tidak mengganggu ekosistem
sekitar pembuangan.
4. Jika ada ekosistem yang dilindungi disekitar pembuangan brine, sebaiknya tidak
menggunakan pembuangan langsung.
5. Maksimalkan pengenceran dengan menggunakan multi jet diffuse.
Gambar 10. Skema proses pilot plant desalinasi air laut oleh Toray-Jepang

Pembuangan brine ke laut dapat dilakukan dekat atau jauh dari lokasi pabrik desalinasi
Pembuangan dekat dengan lokasi pabrik, ditandai dengan adanya pengenceran awal. Tingkat
pengenceran lebih tinggi dicapai di lapangan dekat lokasi, karena efek turbulensi lapisan jet
dan air. Pembuangan jauh dengan lokasi pabrik dengan memanfaatkan aliran gravitasi
pembuangan brine dari atas ke dasar laut. Pengadukan bergantung pada kondisi atmosferik dan
perbedaan densitas brine dengan air penerima. Rasio pengenceran sangat kecil dan cendrung
konstan.
Metode lain yang digunakan adalah CDI. Metode ini mampu menghilangkan 90%
garam terlarut dalam brine namun elektrodanya mudah menangkap senyawa organik penyebab
fouling dan scaling. Teknologi terbaru dalam meminimalisasi brine adalah dengan menerapkan
konsep ZLD, yaitu pengolahan air laut dengan mengambil seluruh air dan garam yang
diperoleh berbentuk padatan siap dijual. Konsep ZLD melalui tiga langkah utama, yaitu:
screening, evaporasi dan kristalisasi. Selain target utama proses ZLD adalah mengambil 100%
air, garam padatan yang siap dijual juga menjadi perhatian, sehingga konsep ZLD juga dikenal
dengan konsep ZDD. Perbedaan ZDD dengan ZLD lainnya adalah melalui pemanfaatan
kelebihan energi dari RO dalam proses elektrodialisis. Konsep ZD sederhana menurut Roberts
dkk (2010) disajikan pada Gambar 11.
Mekorot Water Company telah memproduksi garam dengan memanfaatkan brine dari
pabrik SWRO di Eliat (Israel) dengan kapasitas produksi 10.000 m3/hari. Produksi garam
dengan memanfaatkan brine dari SWRO plant mengurangi biaya produksi garam dan biaya
produksi pabrik SWRO. Hal tersebut diakibatkan oleh tidak dibutuhkannya jalur pembuangan
brine dan mengurangi dampak lingkungan terhadap air laut.
Melian-Mertel dkk (2011) menjelaskan bahwa upaya untuk meminimalisasi dampak
pembuangan brine adalah dengan memanfaatkan brine sebagai bahan baku industri berbasis
senyawa klorida-alkali seperti industry klorin, hidrogen dan soda kaustik.

Pengelolaan dan Pengolahan Brine Water

Pada penelitian Ahmed (2001), terdapat beberapa pertimbangan dalam proses


pembuangan atau pengolahan brine water hasil desalinasi, antara lain volume atau kuantitas
konsentrat, lokasi geografis titik pembuangan, persepsi publik, perizinan dan persetujuan
publik, kemungkinan korosi pada pipa saluran, ketersediaan energi, kondisi tanah, teknologi
yang diterapkan, karakteristik konsentrat yang dihasilkan, biaya operasi, dan ketersediaan
fasilitas.

Salah satu negara yang menggunakan teknologi desalinasi air laut atau air payau adalah
Australia.

Gambar 8 menunjukan pengolahan dan pemanfaatan brine water yang telah diterapkan di Australia
Beberapa pilihan pengolahan brine water dari hasil desalinasi dengan metode osmosis
terbalik adalah pemindahan ke kolam evaporasi, pembuangan ke badan perairan (permukaan
maupun laut lepas), pembuangan melalui pipa limbah urban, penginjeksikan ke sumur dalam,
evaporasi/kristalisasi, sumber air irigasi pertanian, dan sumber air untuk kultivasi brine shrimp.

Penggunaan kolam evaporasi untuk pengolahan brine water relatif mudah dikonstruksi
dengan biaya pemeliharaan dan operasi yang rendah. Kolam evaporasi didesain untuk
mengurangi volume efluen dan memperoleh konsentrat efluen. Kolam evaporasi lebih cocok
diaplikasikan di negara dengan cuaca kering dan hangat, laju evaporasi tinggi, dan ketersediaan
lahan dengan biaya rendah, seperti negara- negara di Semenanjung Arab. Pertimbangan desain
kolam evaporasi adalah ukuran kolam, kedalaman, dan luas permukaan. Laju evaporasi
menentukan luas permukaan yang dikalkulasi dengan parameter kapasitas gelombang,
kapasitas penyimpanan konsentrat, dan volume air.

Kini, penerapan prinsip ZLD (Zero Liquid Discharge) semakin berkembang untuk
mengolah brine water yang mengandung logam berat dan komponen toksik atau
mengonversinya menjadi produk padat. Beberapa pilihan pengolahan brine water dari proses
desalinasi untuk mengurangi salinitas antara lain osmosis terbalik dua tahap dengan metode
presipitasi (intermediate chemical demineralization), osmosis terbalik dua tahap dengan
pengolahan biologis, osmosis terbalik dengan softening pre-treatment dan pH tinggi,
nanofiltrasi dua tahap, dan proses SPARRO (Seeded Slurry Precipitation and Recycle Reverse
Osmosis) [15]. Penelitian Minier (2014) menyatakan bahwa distilasi membran dapat
menggunakan low grade waste heat dan membran hidrofobik yang dapat mengolah air garam
berkonsentrasi tinggi lebih efisien dibandingkan proses desalinasi konvensional.

Proses desalinasi osmosis terbalik menyebabkan permasalahan kontaminasi air tanah


dan permukaan dan salinitas tanah. Pengelolaan brine water dibutuhkan untuk mengurangi
risiko lingkungan dan kesehatan. Salah satu solusinya adalah penggunaan kembali brine dalam
irigasi pertanian untuk tumbuhan yang toleran dengan salinitas tinggi, seperti Basilicum.
Epuvalisasi merupakan sistem penggunaan kembali limbah cair biologis berbasis hidroponik
yang dapat menurunkan konsentrasi garam pada brine water, namun juga meningkatkan nilai
ekonomi dan yield Basilicum. Hasil penelitian Qurie dkk. (2013) membuktikan adanya
penurunan konduktivitas elektrik yang signifikan pada brine selama waktu penumbuhan
Basilicum. Teknik epuvalisasi dinilai mudah, fleksibel, dan rendah biaya [16]. Penggunaan
kembali limbah cair untuk agrikultur ini sudah diterapkan di negara kawasan Amerika Selatan,
Asia Selatan, Semenanjung Arab, dan Eropa bagian Selatan.

Desalinasi air laut semakin kompetitif karena biaya desalinasi yang menurun,
sedangkan harga air permukaan dan air tanah semakin meningkat. Meskipun aplikasi brine
water sebagai sumber air pertanian di Indonesia sangat menjanjikan, terdapat beberapa dampak
negatif yaitu nutrien esensial dari brine water yang tidak diintroduksi ke tanaman pertanian
akan menyebabkan defisiensi nutrisi berupa perlambatan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman pertanian yang tidak sempurna. Komponen kimia tersebut antara lain kalsium,
magnesium, dan sulfat yang telah melewati proses pemisahan pada osmosis terbalik. Namun,
hal ini dapat diatasi dengan proses mineralisasi air desalinasi dan pencampuran air murni
dengan air desalinasi hingga mencapai konsentrasi yang dibutuhkan tanaman pertanian [11].
Menurut penelitian Pereira dkk. (2014) total konsumsi energi osmosis terbalik yang dibutuhkan
untuk menghasilkan air irigasi pertanian adalah 3-7 kWH m-3. Penggunaan brine water untuk
akuakultur, irigasi tumbuhan halophyta, dan kultur alga menjadi tantangan baru karena
meningkatkan nilai komersial dan lingkungan. Brine water dapat dijadikan sumber nitrogen
dan fosfor untuk pertumbuhan mikroalga, seperti Cyanobacteria Spirulina, alga halotoleran
seperti Gracilaria tenuistipitata dan Dunaliella salina yang dapat menghasilkan produk biologis
dari biomassanya (asam lemak dan lipid) [15]. Untuk produk akuakultur, brine water dapat
dijadikan sumber air dalam mengembangbiakan Tilapia, salah satu ikan komoditas akuakultur
yang mengandung protein tinggi, memiliki toleransi tinggi terhadap salinitas, dan dapat tumbuh
dengan cepat.
Pemanfaatan garam dari brine water menggunakan SAL-PROC juga telah diteliti oleh
Ahmed (2003). SAL-PROC merupakan proses terintegrasi untuk ekstraksi elemen terlarut dari
air asin menjadi produk kimia dalam bentuk kristal atau cairan. Proses ini terdiri dari beberapa
tahap evaporasi dan pendinginan tanpa adanya risiko bahan kimia seperti yang tertera pada
Gambar 9. Adapun produk yang dihasilkan teknologi SAL-PROC, antara lain gypsum, sodium
klorida, magnesium hidroksida, kalsium klorida, kalsium karbonat, dan sodium sulfat sebagai
material untuk berbagai industri.

Gambar 9. Proses SAL-PROC dalam Pengolahan Brine Water


Selain itu, komponen garam sulfat yang terkandung dalam brine water seperti barium
sulfat dan kalsium sulfat harus dihilangkan karena akan membentuk kerak dalam membran.
Beberapa metode pemisahan sulfat adalah pengolahan kimiawi dengan presipitasi, pemisahan
dengan nanofiltrasi, adsorpsi, dan pengolahan biologis. Almasri (2015) telah melakukan
penelitian dengan metode alternatif dalam memisahkan sulfat pada brine water, yaitu
penggunaan nanofiltrasi sebelum RO tahap kedua. Brine water yang dialirkan akan diolah dan
dikombinasikan dengan umpan aliran RO tahap kedua seperti yang tertera pada Gambar 10 .
Gambar 10. Skema Osmosis Terbalik Dua Tahap
Adapun teknologi alternatif yang menggabungkan evaporasi dan kristalisasi untuk
menghasilkan residu dalam bentuk padat (garam kalsium sulfat) dari efluen cair. Namun,
konsumsi energi teknik ini sangatlah tinggi karena dihubungkan dengan sistem vapor recovery
dan waste heat panas limbah.

Anda mungkin juga menyukai