Anda di halaman 1dari 56

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu dari pembuatan penelitian ini adalah

sebagai berikut.

a. Penelitian oleh Rahmin (2019) dengan judul “Pengaruh Steam Curing

Pada Beton Mutu Tinggi Yang Mengandung Fly Ash Sebagai Pengganti

Semen”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Steam

Curing dengan suhu uap terhadap kuat tekan beton dan mortar mutu

tinggi serta untuk mengetahui pengaruh penambahan fly ash sebagai

pengganti semen pada campuran beton dan mortar mutu tinggi. Hasil

dari penelitian ini diperoleh bahwa nilai kuat tekan beton umur 3 hari, 7

hari, 28 hari, dan 56 hari dengan menggunakan perawatan suhu uap 90


0
C selama 24 jam relatif menurun, dan kuat tekan tertinggi terjadi pada

umur 56 hari, pada variasi 20% sebesar 51,39 MPa dibandingkan

dengan umur 3 hari, 7 hari, dan 28 hari. Sedangkan Nilai kuat tekan

beton rata-rata pada umur 3, 7, 28 dan 56 hari tanpa menggunakan

perawatan suhu uap 90 0C selama 24 jam relatif meningkat, kuat tekan

beton paling tertinggi terjadi pada umur 56 hari, pada variasi 20%

sebesar 55,44 MPa dibandingkan dengan umur 3, 7, dan 28 hari. Nilai

kuat tekan mortar umur 3 hari, 7 hari dan 28 hari dengan menggunakan

perawatan suhu konstan uap 75 0C selama 12 jam relatif meningkat dan

kuat tekan tertinggi terjadi pada umur 28 hari dengan subtitusi limbah

10
fly ash 0% Sebesar 64,51 MPa dibandingkan dengan umur 3 hari, dan 7

hari. Sedangkan nilai kuat tekan mortar umur 3 hari, 7 hari dan 28 hari

tanpa menggunakan perawatan suhu konstan uap 75 0C selama 12 jam

relatif menurun dan kuat tekan tertinggi terjadi pada umur 28 hari

dengan subtitusi limbah fly ash 0% Sebesar 61,71 MPa dibandingkan

dengan umur 3 hari, dan 7 hari.

b. Penelitian oleh Mira Setiawati (2018) dengan judul “Fly Ash Sebagai

Bahan Pengganti Semen Pada Beton”. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh penggunaan fly ash sebagai bahan pengganti

semen terhadap kuat tekan beton. Persentase fly ash yang digunakan

bervariasi, mulai dari 5% sampai 12,5% dengan interval penggunaan

Fly ash sebesar 2,5%. Beton akan diuji pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari

setelah terlebih dahulu dilakukan curing. Hasil dari penelitian ini

diperoleh bahwa nilai kuat tekan tertinggi pada penggunaan 12,5% fly

ash, yaitu 404,03 Kg/cm2 pada umur 28 hari dengan persentase

peningkatan 27,95%. Pada awal umur beton nilai kuat tertinggi pada

penggunaan fly ash 12,5%, sebesar 231,04 Kg/cm2 dengan persentase

peningkatan sebesar 60% terhadap beton normal. Dapat disimpulkan

bahwa pada awal umur beton, penggunaan fly ash mempengaruhi

kekuatan beton. Persentase penggunaan fly ash 12,5% pada beton akan

menghasilkan beton dengan kuat tekan maksimum.

c. Penelitian oleh Sindy Natalia Polii dkk (2018) dengan judul “Pengaruh

Penambahan Abu Batu Bara Terhadap Kuat Geser Tanah Lempung”.

11
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan abu

batu bara terhadap kuat geser tanah lempung dengan variasi campuran

0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%. Hasil dari penelitian ini diperoleh

bahwa pada pengujian pemadatan terjadi peningkatan γdmax menjadi

1,265 gr/cm3 pada campuran 25% abu batu bara. Untuk nilai kohesi

terbesar yaitu 6,3526 t/m2 pada campuran 20% abu batu bara.

Sedangkan untuk nilai sudut geser dalam (Ø) = 17° pada campuran 15%

dan 25% abu batu bara dan tegangan geser terbesar pada campuran 25%

dengan nilai t = 12,4899 kN/m2. Semakin besar jumlah abu batu bara

yang digunakan semakan besar pula tegangan geser yang diberikan.

Kemudian faktor keamanan dari 1,414 pada campuran 0% menjadi

2,194 pada campuran 20% abu batu bara..

d. Penelitian oleh A Luher Ola dkk (2018) dengan judul “Komposit Bata

Beton Ringan Dari Fly Ash & Bottom Ash Limbah Batu Bara Pabrik

Minyak Nabati”. Penelitian ini bertujuan membuat serta menguji

kharakteristik mekanik komposit bata beton ringan yang memanfaatkan

fly ash dan bottom ash sebagai pengganti agregat pasir, dengan perekat

semen Portland. Hasil dari penelitian ini diperoleh bahwa komposit

yang terbaik adalah dengan kode sampel A-5 (5 L fly ash tanpa bottom

ash) dan kode sampel A-7 (2,5 L fly ash dan 2,5 L bottom ash) dengan

nilai kuat tekan rata-rata (19,06 dan 19,15 kg/cm²) dan bobot isi

(1160,19 kg/m³ dan 1242,65 kg/m³) serta penyerapan air (21,96 % dan

12
14,96 %). Nilai kuat tekan dan penyerapan air memenuhi persyaratan

bata ringan untuk untuk konstruksi pasangan dinding bangunan rumah.

e. Research by Rosyid Kholilur Rohman et al. (2018) with title “Effect of

Fly Ash on Compressive Strength of Concrete Containing Recycled

Coarse Aggregate”. The purpose of this research is to know the effect

of the using percentage of recycling coarse aggregate, the percentage

of fly ash and water-cement ratio to the compressive strength of

concrete. The result of this research is shows the using of recycled

coarse aggregate for replacing of natural coarse aggregate will cause

reduction of the compressive strength. From this research can be

concluded that replacing the natural coarse aggregate by recycled

coarse aggregate can be done. The maximum of the replacing natural

coarse aggregate is 30%, and the percentage of fly ash addition is 10

%. The using of recycled aggregate and fly ash must be limited to get

maximum compressive strength.

2.2 Fly Ash (Abu Terbang)

Saat ini penggunaan batu bara di kalangan industri semakin meningkat

volumenya, karena harga yang relatif murah dibandingkan harga bahan bakar

minyak untuk industri. Penggunaan batu bara sebagai sumber energi

pengganti BBM, di satu sisi sangat menguntungkan, namun di sisi lain dapat

menimbulkan masalah. Masalah utama dari penggunaan batu bara adalah abu

batu bara yang merupakan hasil sampingan pembakaran batu bara. Sejumlah

penggunaan batu bara akan menghasilkan abu batu bara sekitar 2-10 %. Pada

13
saat ini, pengelolaan limbah abu batu bara (fly ash dan bottom ash) hanya

terbatas pada penimbunan di areal pabrik (ash disposal).

Fly ash merupakan limbah padat yang dihasilkan dari pembakaran batu

bara pada pembangkit tenaga listrik. Ada tiga tipe pembakaran batu bara pada

industri listrik yaitu dry bottom boilers, wet-bottom boilers dan cyclon

furnace. Apabila batu bara dibakar dengan tipe dry bottom boiler, maka

kurang lebih 80% dari abu meninggalkan pembakaran sebagai fly ash dan

masuk dalam corong gas. Apabila batu bara dibakar dengan wet-bottom boiler

sebanyak 50% dari abu tertinggal di pembakaran dan 50% lainnya masuk

dalam corong gas. Pada cyclon furnace, di mana potongan batu bara

digunakan sebagai bahan bakar, 70-80 % dari abu tertahan sebagai boiler slag

dan hanya 20-30% meninggalkan pembakaran sebagai dry ash pada corong

gas. Tipe yang paling umum untuk pembakaran batu bara adalah pembakaran

dry bottom seperti dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Wardani, 2008).

Gambar 2.1 Tipe pembakaran dry bottom boiler dengan


electrostatic precipitator
(Sumber : Wardani, 2008)

14
Dahulu fly ash diperoleh dari produksi pembakaran batu bara secara

sederhana, dengan corong gas dan menyebar ke atmosfer. Hal ini yang

menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan, karena fly ash hasil dari

tempat pembakaran batu bara dibuang sebagai timbunan. Fly ash dan bottom

ash ini terdapat dalam jumlah yang cukup besar, sehingga memerlukan

pengelolaan agar tidak menimbulkan masalah lingkungan, seperti pencemaran

udara, atau perairan, dan penurunan kualitas ekosistem (Wardani, 2008).

Salah satu penanganan lingkungan yang dapat diterapkan adalah

memanfaatkan limbah fly ash untuk keperluan bahan bangunan teknik sipil,

namun hasil pemanfaatan tersebut belum dapat dimasyarakatkan secara

optimal, karena berdasarkan PP. No.85 tahun 1999 tentang pengelolaan

limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), fly ash dan bottom ash

dikategorikan sebagai limbah B3 karena terdapat kandungan oksida logam

berat yang akan mengalami pelindihan secara alami dan mencemari

lingkungan. Yang dimaksud dengan bahan berbahaya dan beracun (B3)

adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya

beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik

secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau

merusakkan lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan

hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 18 tahun 1999

tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun menyebutkan

bahwa pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi

15
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh

limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang dapat

tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali (Wardani, 2008).

Pasal 3 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan

atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3, dilarang membuang limbah B3

yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan hidup,

tanpa pengolahan terlebih dahulu

Sedangkan Pasal 7 Ayat 2 menyebutkan bahwa daftar limbah dengan

kode limbah D220, D221, D222 dan D223 dapat dinyatakan sebagai limbah

B3 setelah dilakukan uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP)

dan atau uji karakteristik. Di mana dalam daftar limbah B3 dari sumber yang

spesifik fly ash dengan kode limbah D223 adalah sebagai berikut dalam Tabel

2.1.

Tabel 2.1 Daftar Limbah B3 dengan Kode Limbah D223

(Sumber : Wardani, 2008)

16
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, penelitian toxisitas abu batu bara

dilaksanakan secara menyeluruh dengan tujuan melihat lebih jauh pengaruh

pemanfaatan abu batu bara tersebut untuk kehidupan mahluk hidup dengan

pendekatan secara biologi. Contoh abu limbah yang digunakan dalam

penelitian ini berasal dari PLTU yang berada di Sumatera dan Kalimantan.

Setelah melalui tahapan-tahapan dalam penelitian tersebut didapat kesimpulan

bahwa keseluruhan uji hayati contoh abu batu bara tersebut terhadap kutu air,

ikan mas dan mencit memberikan hasil bahwa bahan-bahan uji tersebut relatif

tidak berbahaya bagi mahluk hidup (Wardani, 2008).

2.2.1 Sifat Fisik dan Kimiawi Fly Ash

Menurut ACI Committee 226, dijelaskan bahwa abu terbang (fly

ash) mempunyai butiran yang halus, yaitu lolos ayakan No. 325 (45

milmicron) 5-27 %. Fly Ash umumnya berbentuk bola padat atau

berongga. Abu terbang memilikdensitas 2,23 gr/cm3, dengan kadar air

sekitar 4%. Fly ash memiliki specific gravity antara 2,15-2,6 dan

berwarna abu abu kehitaman. Ukuran partikel abu terbang hasil

pembakaran batu bara bituminous lebih kecil dari 0,075 mm. Fly ash

memiliki luas area spesificnya 1701000 m2/kg. Ukuran partikel rata-

rata abu terbang batu bara jenis sub-bituminous 0,01 mm– 0,015 mm,

luas permukaannya 1-2 m2/g bentuk partikel mostly spherical, yaitu

sebagian besar berbentuk bola, sehingga menghasilkan kelecakan yang

lebih baik (Nugroho dan Antoni, 2007).

17
Fly ash merupakan material yang memiliki ukuran butiran yang

halus, berwarna keabu-abuan dan diperoleh dari hasil pembakaran batu

bara (lihat Gambar 2.2). Pada intinya fly ash mengandung unsur kimia

antara lain silika (SiO2), alumina (Al2O3), fero oksida (Fe2O3) dan

kalsium oksida (CaO), juga mengandung unsur tambahan lain yaitu

magnesium oksida (MgO), titanium oksida (TiO2), alkalin (Na2O dan

K2O), sulfur trioksida (SO3), pospor oksida (P2O5) dan karbon

(Wardani, 2008).

Gambar 2.2 Fly Ash Powder


(Sumber : Wardani, 2008)

Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat fisik, kimia dan teknis

dari fly ash adalah tipe batu bara, kemurnian batu bara, tingkat

penghancuran, tipe pemanasan dan operasi, metoda penyimpanan dan

penimbunan. Adapun komposisi kimia dan klasifikasinya seperti dapat

dilihat pada Tabel 2.2 (Wardani, 2008).

18
Menurut ASTM C618 (dalam Wardani, 2008) fly ash dibagi

menjadi dua kelas yaitu fly ash kelas F dan kelas C, Tapi berdasarkan

SNI 2460:2014 dan ACI Manual of concrete Practice 1993 Part I

226.3R-3 bahwa fly ash dibedakan menjadi 3 kelas/tipe yaitu kelas F,

kelas C, dan kelas N. Perbedaan utama dari fly ash kelas F dan C adalah

banyaknya calsium, silika, aluminium dan kadar besi di ash tersebut.

Walaupun kelas F dan kelas C sangat ketat ditandai untuk digunakan fly

ash yang memenuhi spesifikasi ASTM C618, namun istilah ini lebih

umum digunakan berdasarkan asal produksi batu bara atau kadar CaO.

Yang penting diketahui, bahwa tidak semua fly ash dapat memenuhi

persyaratan ASTM C618, kecuali pada aplikasi untuk beton,

persyaratan tersebut harus dipenuhi.

Tabel 2.2 Komposisi & Klasifikasi Fly Ash

(Sumber : Wardani, 2008)

a. Fly ash kelas F: merupakan fly ash yang d iproduksi dari

pembakaran batu bara anthracite atau bituminous, mempunyai

sifat pozzolanic dan untuk mendapatkan sifat cementitious harus

19
diberi penambahan quick lime, hydrated lime, atau semen. Fly ash

kelas F ini kadar kapurnya rendah (CaO < 10%).

b. Fly ash kelas C: diproduksi dari pembakaran batu bara lignite

atau sub-bituminous selain mempunyai sifat pozzolanic juga

mempunyai sifat self-cementing (kemampuan untuk mengeras dan

menambah strength apabila bereaksi dengan air dan udara) dan

sifat ini timbul tanpa penambahan kapur. Biasanya mengandung

kapur (CaO) > 20%.

c. Fly ash kelas N : Pozolan alam mentah atau telah dikalsinasi

memenuhi persyaratan yang berlaku untuk kelas N, misalnya

beberapa tanah daitomae (hasil lapukan); batu rijang opalan dan

serpih; tufa dan abu vulkanik atau batu apung, dikalsinasi atau

tidak, dan berbagai bahan yang memerlukan kaslinasi untuk

menghasilkan sifat – sifat yang diinginkan, misalnya lempung dan

serpih (SNI 2460:2014).

Abu terbang tidak memiliki kemampuan mengikat seperti halnya

semen, namun dengan kehadiran air dan ukurannya yang halus, oksida

silika yang dikandung di dalam fly ash akan bereaksi secara kimia

dengan kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses hidrasi semen

dan menghasilkan zat yang memiliki kemampuan yang mengikat

(Djiwantoro, 2001).

Menurut the U.S. Environmental Protection Agency (EPA) – fly

ash diklasifikasikan sebagai limbah “non-hazardous” dan fly ash tidak

20
menyebabkan pencemaran pada air. Fly ash telah banyak digunakan di

banyak Negara dan tidak menyebabkan problem kesehatan pada

masyarakat (Wardani, 2008).

2.2.2 Pemanfaatan Fly Ash

Walaupun fly ash dapat digunakan dalam bentuk kering atau

basah, fly ash biasanya di simpan dalam kondisi kering. Kira-kira 15

sampai 30 % air dapat ditambahkan pada fly ash. Berikut dibahas

kontribusi fly ash pada pemakaian portland cement, batu bata, beton

ringan, material konstruksi jalan, material pekerjaan tanah, campuran

grouting, stabilisasi tanah untuk konstruksi jalan maupun stabilisasi

tanah untuk tanah-tanah yang bermasalah di Indonesia (Wardani, 2008).

A. Portland Cement

Fly ash digunakan untuk pengganti portland cement pada

beton karena mempunyai sifat pozzolanic. Sebagai pozzoland

sangat besar meningkatkan strength, durabilitas dari beton.

Penggunaan fly ash dapat dikatakan sebagai faktor kunci pada

pemeliharaan beton tersebut. Penggunaan fly ash sebagai

pengganti sebagian berat semen pada umumnya terbatas pada fly

ash kelas F. Fly ash tersebut dapat menggantikan semen sampai

30% berat semen yang dipergunakan dan dapat menambah daya

tahan dan ketahanan terhadap bahan kimia (Wardani, 2008).

Baru-baru ini telah dikembangkan penggunaan penggantian

portland cement dengan prosentase volume fly ash yang tinggi

21
(50%) pada perencanaan campuran beton, bahkan untuk ”Roller

Compacted Concrete Dam” penggantian tersebut mencapai 70 %

telah dicapai dengan Pozzocrete (fly ash yang diproses) pada ”The

Ghatghar Dam Project” di Maharashtra India. Fly ash juga dapat

meningkatkan workability dari semen dengan berkurangnya

pemakaian air. Produksi semen dunia pada tahun 2010

diperkirakan mencapai 2 milyard ton, di mana penggantian

dengan fly ash dapat mengurangi emisi gas carbon secara

dramatis (Wardani, 2008).

B. Batu Bata

Batu bata dari ash telah digunakan untuk konstruksi rumah

di Windhoek, Nambia sejak tahun 1970, akan tetapi batu bata

tersebut akan cenderung untuk gagal atau menghasilkan bentuk

yang tidak teratur. Hal ini terjadi ketika batu bata tersebut kontak

dengan air dan reaksi kimia yang terjadi menyebabkan batu bata

tersebut memuai. Pada Mei 2007, Henry Liu pensiunan Insinyur

Sipil dari Amerika (dalam Wardani, 2008) mengumumkan bahwa

dia menemukan sesuatu yang baru terdiri dari fly ash dan air.

Dipadatkan pada 4000 psi dan diperam 24 jam pada temperatur

668°C steam bath, kemudian dikeraskan dengan bahan air

entrainment, batu bata berakhir untuk lebih dari 100 freeze-thaw

cycle (Wardani, 2008).

22
Metode pembuatan batu bata ini dapat dikatakan

menghemat energi, mengurangi polusi mercuri dan biayanya 20%

lebih hemat dari pembuatan batu bata tradisional dari lempung.

Batu bata dari fly ash kelas C dan di press dengan mesin Baldwin

Hydraulic dapat dilihat pada Gambar 2.3, sedangkan Gambar 2.4

menunjukkan bermacam bentuk dan warna batu bata dari fly ash

(Wardani, 2008).

Gambar 2.3 Batu bata dari fly ash kelas C


(Sumber : Wardani, 2008)

Gambar 2.4 Variasi Bentuk dan Warna Batu Bata dari Fly Ash
(Sumber : Wardani, 2008)

23
C. Beton Ringan

Abu batu bara dapat digunakan pada beton sebagai material

terpisah atau sebagai bahan dalam campuran semen dengan tujuan

untuk memperbaiki sifat-sifat beton. Fungsi abu batu bara sebagai

bahan aditif dalam beton bisa sebagai pengisi (filler) yang akan

menambah internal kohesi dan mengurangi porositas daerah

transisi yang merupakan daerah terkecil dalam beton, sehingga

beton menjadi lebih kuat. Pada umur sampai dengan 7 hari,

perubahan fisik abu batu bara akan memberikan konstribusi

terhadap perubahan kekuatan yang terjadi pada beton, sedangkan

pada umur 7 sampai dengan 28 hari, penambahan kekuatan beton

merupakan akibat dari kombinasi antara hidrasi semen dan reaksi

pozzolan (Setiawati, 2018).

Beton ringan dapat diproduksi langsung di tempat proyek,

menggunakan peralatan dan mould seperti beton konvensional.

Density yang direkomendasikan 1.000 kg /m³ (kering oven)

Tipikal campuran untuk menghasilkan 1 m3 dengan density

1.000 kg/m³ (produksinya bisa dilihat pada Gambar 2.5) adalah

sebagai berikut (Wardani, 2008):

1. Cement (Portland): 190 kg = 61 liters

2. Sand (0 - 2 mm or finer): 430 kg = 164 liters

3. Fly-Ash: 309 kg = 100 liters (approx)

4. Air: 250 kg = 250 liters

24
5. Foam (neopor-600): 423 liters

6. Wet density = 1.179 kg/m3

Gambar 2.5 Produksi beton ringan di lapangan, dengan special


desain moulds untuk density 1.000 kg/m3 di India
(Sumber : Wardani, 2008)

Penggunaan fly ash dalam campuran beton memiliki

berbagai keuntungan, yaitu (Lincolen, 2017) :

1. Meningkatkan workability adukan beton

2. Mengurangi panas hidrasi

3. Mengurangi biaya pekerjaan beton

4. Mempertinggi daya tahan terhadap serangan sulfat

5. Mempertinggi daya tahan terhadap serangan reaksi alkali-

silika

6. Mempertinggi usia beton

7. Mempertinggi kekuatan tekan beton

8. Mempertinggi keawetan beton

9. Mengurangi penyusutan

25
10. Mengurangi porositas dan daya serap air dalam beton.

Kelemahan penggunaan fly ash pada campuran beton yaitu

(Lincolen, 2017) :

1. Proses pengerasan dan penambahan kekuatan beton agak

lambat akibat reaksi pozzolan dari fly ash

2. Pengendalian mutu harus lebih sering dilakukan, karena

mutu fly ash sangat tergantung pada proses pembakarannya

(suhu) dan jenis batu baranya.

D. Material Konstruksi Jalan

Fly ash kelas F dan kelas C keduanya dapat digunakan

sebagai mineral filler untuk pengisi void dan memberikan kontak

point antara partikel agregat yang lebih besar pada campuran

aspalt concrete. Aplikasi ini digunakan sebagai pengganti

Portland cement atau hydrated lime. Untuk penggunaan

perkerasan aspal, fly ash harus memenuhi spesifikasi filler

mineral yang ada di ASTM. Sifat hydrophobic dari fly ash

memberikan daya tahan yang lebih baik untuk perkerasan dan

tahan terhadap stripping (Wardani, 2008).

Fly ash juga dapat meningkatkan stiffness dari matrix aspalt,

meningkatkan daya tahan terhadap rutting dan meningkatkan

durability campuran (Wardani, 2008).

E. Material Pekerjaan Tanah

26
Fly ash dapat efektif digunakan untuk bahan timbunan

(embankment) atau bahan perkuatan. Fly ash mempunyai

koefisien keseragaman yang besar, terdiri dari partikel ukuran

lanau. Sifat-sifat teknik yang akan mempengaruhi penggunaan fly

ash pada embankment adalah termasuk distribusi butiran,

karakteristik pemadatan, shear strength, compressibility dan

permeability. Hampir semua Fly ash yang digunakan untuk

embankment adalah fly ash kelas F. Gambar 2.6 adalah Approach

embankment pada soft soil (Wardani, 2008).

Gambar 2.6 Approach embankment pada soft soil


(Sumber : Wardani, 2008)

F. Grouting

Fly ash ditambahkan pada grouting dengan semen untuk

meningkatkan kemudahan pencampuran, mengurangi biaya, dan

meningkatkan daya tahan terhadap sulfat (Wardani, 2008).

G. Stabilisasi Tanah

Hasil penelitian dengan simulasi rainfall run-off yang

dilakukan oleh Paul Bloom dan Hero Gollany (dalam Wardani,

27
2008) yang bertujuan untuk mengevaluasi potensi pelepasan

bahan inorganik termasuk mercury dan arsenic di lingkungan

daerah stabilisasi tanah dengan fly ash, menunjukkan bahwa

runoff untuk stabilisasi tanah dengan fly ash memberikan jumlah

endapan yang paling sedikit dibandingkan dengan stabilisasi

tanah dengan kapur dan tanah tanpa distabilisasi (Gambar 2.7).

Gambar 2.7 Hasil simulasi rainfall run-off untuk tanah (parent


soil), stabilisasi tanah dengan fly ash dan stabilisasi
tanah dengan kapur.
(Sumber : Wardani, 2008)

Stabilisasi tanah dengan penambahan fly ash biasanya

digunakan untuk tanah lunak, sub-grade tanah kelempungan di

bawah jalan yang mengalami beban pengulangan (repeated

loading). Perbaikan tanah ini bisa menggunakan fly ash kelas C

maupun kelas F. Jika menggunakan fly ash kelas F diperlukan

bahan tambahan kapur atau semen, sedangkan jika menggunakan

fly ash kelas C tidak diperlukan bahan tambahan semen atau

28
kapur karena fly ash kelas C mempunyai sifat self cementing

(Wardani, 2008).

Kebutuhan batu bara untuk listrik pada tahun 2010 sebesar

47,7 juta ton dan untuk kebutuhan energi campur sebesar 58,5 juta

ton, sehingga akan dihasilkan fly ash dan bottom ash sebesar 5% x

58,5 juta ton per tahun, tidak termasuk fly ash dan bottom ash

hasil dari PLTU baru seperti di Rembang, Cilacap dll, serta dari

industri yang baru. Berarti penghasilan fly ash sekitar 15.000 ton

per hari (Wardani, 2008).

Pemanfaatan limbah batu bara (fly ash) akan sangat

membantu program pemerintah dalam mengatasi pencemaran

lingkungan sekaligus sebagai bahan stabilisasi tanah untuk

konstruksi jalan, pada tanah-tanah yang secara teknis bermasalah

maupun keperluan lain dibidang teknik sipil. Gambar 2.8

menunjukkan saat pelaksanaan stabilisasi tanah dengan fly ash

untuk jalan (Wardani, 2008).

Gambar 2.8 Pelaksanaan stabilisasi tanah dengan fly ash


untuk jalan.
(Sumber : Wardani, 2008)

29
2.2.3 Perbandingan Fly Ash & Semen Portland

Perbandingan fly ash dengan semen Portland dapat ditinjau dari

tiga kemiripan sifat ke dua material tersebut, yaitu sifat fisik, sifat

kimia, dan sifat pozzolan (Setiawati, 2018).

A. Perbandingan Fisik

Fly ash dan semen mempunyai kemiripan jika ditinjau dari

sifat fisik. Kemiripan sifat fisik keduanya dapat ditinjau dari

beberapa variabel. Perbandingan sifat fisik fly ash dan semen

Portland dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.3 Perbandingan Sifat Fisik Fly Ash dan Semen Portland

(Sumber : Setiawati, 2018)

B. Perbandingan Kimia

Tabel 2.4 Perbandingan Sifat Kimia Fly Ash dan Semen Portland

(Sumber : Setiawati, 2018)

Fly ash dan semen Portland mengandung kapur, silika,

alumina, dan oksida besi. Keempat unsur ini merupakan unsur-

30
unsur pokok dari kedua material ini, karena unsur-unsur tersebut

mempengaruhi fungsi dari material. Perbandingan sifat kimia

antara fly ash dan semen Portland dapat dilihat pada tabel di atas.

2.3 Agregat

Agregat adalah butiran mineral alami yang berfungsi sebagai campuran

mortar atau beton. Agregat ini kira-kira menempati sebanyak 70% dari

volume mortar atau beton. Walau hanya bahan pengisi, akan tetapi agregat

sangat berpengaruh terhadap sifat-sifat betonnya, sehingga pemilihan

agregat merupakan suatu bagian penting dalam pembuatan beton

(Tjokrodimuljo, 1996).

Gambar 2.9 Visualisasi Distribusi Gradasi

(Sumber: Nasyiin Faqih, 2008)

31
Agregat juga adalah suatu bahan yang berasal dari butir-butir batu

pecah, kerikil, pasir atau mineral lain, baik yang berasal dari alam maupun

buatan yang berbentuk mineral padat berupa ukuran besar maupun kecil atau

fragmen-fragmen. Dalam praktek batuan umumnya digolongkan menjadi 3

kelompok yaitu:

a. Batu untuk besar butiran lebih dari 40 mm

b. Kerikil untuk butiran antara 5 mm dan 40 mm

c. Pasir untuk butiran antara 0,15 mm dan 5 mm

Butiran yang lebih kecil dari 0,15 mm dan 5 mm dinamakan silt atau

tanah. Gradasi agregat adalah distribusi ukuran kekerasan butiran agregat.

Gradasi diambil dari hasil pengayakan dengan lubang ayakan 38 mm; 25 mm;

19 mm; 12,5 mm; 9,6 mm; 4,75 mm; 2,36 mm; 1,18 mm; 0,6 mm; 0,425 mm;

0,150 mm untuk koral. Untuk pasir lubang ayakan 4,75 mm; 2,36 mm; 1,18

mm; 0,6 mm; 0,425 mm; dan 0.15 mm (Tjokrodimuljo, 1996).

Cara membedakan jenis agregat yang paling banyak dilakukan adalah

dengan berdasarkan pada ukuran butiran-butirannya. Agregat yang

mempunyai butiran-butiran yang besar disebut agregat kasar yang ukurannya

lebih besar dari 4,75 mm. Sedangkan butiran agregat yang kecil disebut

agregat halus yang memiliki ukuran lebih kecil dari 4,75 mm (Mulyono,

2005).

Untuk menyatakan rentang ukuran butiran tanah,pada Sistem Unified

dikenal empat fraksi. Yaitu bongkah, kerikil, pasir dan bahan halus dengan

batas ukuran sebagai berikut (Hardiyatmo, 2002):

32
a. Bongkah (cobbles) : butiran diatas 75 mm (3 inci);

b. Kerikil, butiran yang lolos saringan 75 mm (3 inci) tertahan saringan

4,75 mm (No.4);

c. Kerikil kasar, butiran yang lolos saringan 75 mm (3 inci) tertahan

saringan ¾ inci (19 mm);

d. Kerikil halus, butiran yang lolos saringan ¾ inci tertahan saringan 4,75

mm (No.4);

e. Pasir, butiran yang lolos saringan 4,75 mm (No.4) tertahan saringan

0,075 mm (No.200) ;

f. Pasir kasar, butiran yang lolos saringan 4,75 mm (No.4) tertahan

saringan 20 mm (No.10) ;

g. Pasir medium, butiran yang lolos saringan 2,0 mm (No. 10) tertahan

saringan 0,425 mm (No.40);

h. Pasir halus, butiran yang lolos saringan 0,425 mm (No. 40) tertahan

saringan 0 ,075 mm (No.200);

i. Bahan halus ( fines), butiran yang lolos saringan 0 ,075 mm (No. 200).

Gambar 2.10 Rentang Ukuran Partikel

(Sumber: Craig, 1989)

33
2.3.1 Agregat Halus

Agregat halus adalah istilah yang umum digunakan untuk agregat

yang ukurannya tidak melebihi 0,5 cm, biasanya berbentuk pasir. Pasir

yang berasal dari dasar sungai ataupun letusan gunung berapi biasanya

jauh lebih diminati karena bentuknya yang tajam dan bersudut dapat

memberikan efek interlocking (saling mengunci tiap butiran pasir)

dibandingkan pasir laut yang berbentuk bundar akibat dari proses abrasi

air laut berkelanjutan (Nasyiin Faqih, 2008). Menurut Hanafiah dkk

(2010) agregat halus adalah pasir alam sebagai disintegrasi alami dari

batuan atau pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu dan

mempunyai ukuran terbesar 4.8 mm.

Menurut Bowles (1984) Pasir (sand) adalah partikel batuan yang

berukuran 0,074 mm sampai 5 mm, yang berkisar dari kasar dengan

ukuran 3 mm sampai 5 mm sampai bahan halus yang berukuran < 1

mm. Pasir sebagian besar terdiri dari mineral quartz dan feldspar.

Butiran dari mineral yang lain mungkin juga masih ada pada golongan

ini (Das, 1995).

Menurut Tjokrodimuljo (1996), Pasir terbentuk dari pecahan batu

karena beberapa sebab, pasir dapat diperoleh dari dalam tanah, pada

dasar sungai atau tepi laut. Oleh karena itu pasir dapat digolongkan

menjadi 3 macam:

a. Pasir Galian

34
Pasir golongan ini diperoleh langsung dari permukaan tanah

atau dengan cara menggali terlebih dahulu. Pasir ini biasanya

tajam, bersudut, berpori, dan bebas dari kandungan garam, tetapi

biasanya harus dibersihkan dari kotoran tanah dengan jalan

dicuci.

b. Pasir Sungai

Pasir sungai diperoleh langsung dari dasar sungai, yang

pada umunya berbutir halus, bulat – bulat akibat proses gesekan.

Daya lekat antar butir – butirnya agak kurang karena butir yang

bulat. Karena besar butir – butirnya kecil, maka baik dipakai

untuk memplester tembok. Juga dapat dipakai untuk keperluan

yang lain.

c. Pasir Laut

Pasir laut ialah pasir yang diambil dari pantai. Butit –

butirnya halus dan bulat karena gesekan. Pasir ini merupakan

pasir yang paling jelek karena banyak mengandung garam –

garaman.

Menurut Hanafiah dkk (2010) agregat halus dapat digolongkan

menjadi 5 (lima) yaitu Pasir sungai, Pasir gunung, Pasir laut, Pasir dari

batu pecah, dan Pasir kwarsa. SNI 03-2834-1992 mengklasifikasikan

distribusi ukuran butiran agregat halus menjadi empat daerah atau zone

yaitu : zone I (kasar), zone II (agak kasar), zone III (agak halus) dan

zone IV (halus) sebagaimana ditunjukkan pada tabel 2.5.

35
Tabel 2.5 Batas – Batas Gradasi Agregat Halus

(Sumber : SNI 03-2834, 1992)

2.3.2 Sifat – Sifat Fisik Tanah Pasir

Pasir termasuk dalam jenis tanah berbutir kasar (Coarse Grained).

Istilah pasir, lempung, lanau, atau lumpur digunakan untuk

menggambarkan ukuran partikel pada batas ukuran butiran yang telah

ditentukan. Akan tetapi, istilah yang sama juga digunakan untuk

menggambarkan sifat tanah yang khusus. Sebagai contoh, lempung

adalah jenis tanah yang bersifat kohesif atau plastis, sedang pasir

digambarkan sebagai tanah yang tidak kohesif dan tidak plastis

(Hardiyatmo, 2002).

Tanah merupakan komposisi dari dua atau tiga fase yang berbeda.

Tanah yang benar-benar kering terdiri dari dua fase, yang disebut

partikel padat dan udara pengisi pori (selanjutnya disebut udara pori).

Tanah yang jenuh sempuma (fully saturated) juga terdiri dari dua fase,

yaitu partikel padat dan air pori. Sedangkan tanah yang jenuh sebagian

36
terdiri dari tiga fase yaitu partikel padat, udara pori, dan air pori

(Hardiyatmo, 2002).

Komponen-komponen tanah dapat digambarkan dalam suatu

diagram fase seperti terlihat pada Gambar 2.11a yang menunjukkan

elemen tanah yang mempunyai volume V dan berat total W, sedangkan

gambar 2.11b memperlihatkan hubungan berat dan volumenya

(Hardiyatmo, 2002).

(a) (b)

Gambar 2.11 (a) Elemen Tanah dalam Keadaan Asli; (b) Tiga Fase

Elemen Tanah

(Sumber : Das, 1995)

Dari gambar di atas dapat dibentuk persamaan :

W = Ws + Ww (2.1)

dan

V = Vs + Vw + Va (2.2)

Vv = Vw + Va (2.3)

37
Keterangan :

W = Berat Total (gram)

Ws = Berat Butiran Padat (gram)

Ww = Berat Air (gram)

V = Volume Total (cm3)

Vs = Volume Butiran Padat (cm3)

Vw = Volume Air (cm3)

Va = Volume Udara (cm3)

Vv = Volume Pori (cm3)

Berat udara (Wa) dianggap sama dengan nol. Hubungan –

Hubungan berat dan volume yang digunakan dalam mekanika tanah

adalah (Hardiyatmo, 2002) :

A. Berat Jenis (Gs)

Berat Spesifik atau berat jenis (specific gravity) butir tanah

adalah perbandingan antara berat isi butir tanah dan berat isi air

pada temperatur 4oC (Hardiyatmo, 2002).


𝛾
Gs = 𝛾 𝑠 (2.4)
𝑤

𝑊𝑠
𝐺𝑠 = (2.5)
𝑉𝑠 𝑥 𝛾𝑤

Keterangan :

Gs = Berat Jenis

γs = Berat Isi Butiran Padat (gram/cm3)

γw = Berat Isi Air (gram/cm3)

Ws = Berat Tanah (gram)

38
Vs = Volume Tanah (cm3)

Gs tidak berdimensi. Berat jenis dari berbagai jenis tanah

berkisar antara 2,65 sampai 2,75. Nilai berat jenis Gs = 2,67

biasanya digunakan untuk tanah – tanah tak berkohesi. Sedangkan

untuk tanah kohesif tak organik antara 2,68 – 2,75. Nilai – nilai

berat jenis dari berbagai jenis tanah diberikan dalam tabel 2.6

(Hardiyatmo, 2002). Untuk metode pengujian berat jenis tanah

dapat mengikuti SNI 20-1964-2008.

Tabel 2.6 Batas Jenis Tanah (Specific Gravity)

Macam Tanah Berat Jenis (Gs)


Kerikil 2,65-2,68
Pasir 2,65-2,68
Lanau Anorganik 2,62–2,68
Lempung Organik 2,58-2,65
Lempung Anorganik 2,68-2,75
Humus 1,37
Gambut 1,25-1,80
(Sumber : Hardiyatmo, 2002)

B. Berat Isi (γ)

Menurut Craig (1989) bahwa berat isi adalah perbandingan

antara massa dengan volume. Ada beberapa jenis istilah berat

jenis dalam ilmu mekanika tanah yaitu berat isi butir (γs), berat isi

air (γw) yaitu sebesar 1 gram/cm3, berat isi tanah jenuh air (γsat),

berat isi tanah bawah (γsub), dan berat isi tanah kering (γd)

(Soedarmo & Purnomo, 1993). Rumus umum dalam mencari nilai

berat isi suatu material yaitu:


𝑊
𝛾= 𝑉
(2.6)

39
Keterangan :

γ = Berat Isi (gram/cm3)

W = Berat atau massa (gram)

V = Volume (cm3)

C. Angka Pori (e)

Angka pori (e) atau void ratio didefinisikan sebagai

perbandingan antara volume rongga (Vv) dengan volume butiran

(Vs), biasanya dinyatakan dalam desimal (Hardiyatmo, 2002).


𝑉𝑣
𝑒= (2.7)
𝑉𝑠

Keterangan :

e = Angka Pori

Vv = Volume rongga/pori (cm3)

Vs = Volume butiran (cm3)

Kemungkinan angka pori terbesar atau kondisi terlonggar

dari suatu tanah disebut angka pori maksimum (emaks). Angka pori

maksimum ditentukan dengan cara menuangkan pasir kering

dengan hati – hati dengan tanpa getaran ke dalam cetakan (mould)

yang telah diketahui volumenya. Dari berat pasir di dalam

cetakan, emaks dapat dihitung. Secara sama, angka pori minimum

(emin) adalah kemungkinan kondisi terpadat yang dicapai oleh

tanah. Nilai emin dapat ditentukan dengan menggetarkan pasir

kering yang diketahui beratnya, ke dalam cetakan yang telah

diketahui volumenya, dari sini kemudian dihitung angka pori

40
minimum. Untuk mencari emaks dan emin dapat menggunakan

persamaan berikut (Hardiyatmo, 2002).


𝐺𝑠 𝑥 𝛾𝑤
𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠 = -1 (2.8)
𝛾𝑑(𝑚𝑎𝑘𝑠)

dan
𝐺𝑠 𝑥 𝛾𝑤
𝑒𝑚𝑖𝑛 = -1 (2.9)
𝛾𝑑(𝑚𝑖𝑛)

Serta angka pori pada kondisi tertentu dilapangan:


𝐺𝑠 𝑥 𝛾𝑤
𝑒= -1 (2.10)
𝛾𝑑

Keterangan :

emaks = Angka Pori Maksimum

emin = Angka Pori Minimum

e = Angka Pori

Gs = Berat Jenis

γw = Berat Isi Air (gram/cm3)

γd = Berat Isi Kering (gram/cm3)

γd(maks) = Berat Isi Kering Maksimum (gram/cm3)

γd(min) = Berat Isi Kering Minimum (gram/cm3)

D. Derajat Kejenuhan (Sr) dan Kadar Air (w)

Derajat Kejenuhan atau Saturated Ratio (Sr), adalah

perbandingan volume air (Vw) dengan volume total rongga/pori

tanah (Vv), biasanya dinyatakan dalam persen (Hardiyatmo,

2002).
𝑉𝑤
𝑆𝑟 (%) = x 100 (2.11)
𝑉𝑣

41
Keterangan :

Sr = Derajat Kejenuhan (%)

Vw = Volume Air (cm3)

Vv = Volume Pori (cm3)

Berikut tabel yang menunjukkan keadaan tanah berdasarkan

nilai derajat kejenuhan (Sr) (Hardiyatmo, 2002).

Tabel 2.7 Derajat Kejenuhan dan Kondisi Tanah


Keadaan Tanah Derajat Kejenuhan (Sr)
Tanah Kering 0
Tanah Agak Lembab > 0 – 0,25
Tanah Lembab 0,26 – 0,50
Tanah Sangat Lembab 0,51 – 0,75
Tanah Basah 0,76 – 0,99
Tanah Jenuh Air 1
(Sumber : Hardiyatmo, 2002)

Kadar air (w) adalah perbandingan antara berat air (Ww)

dengan berat butiran padat (Ws) dalam tanah atau material,

dinyatakan dalam persen (Hardiyatmo, 2002).


𝑊𝑤
𝑤 (%) = x 100 (2.12)
𝑊𝑠

Keterangan :

w = Kadar Air (%)

Ww = Berat Air (gram)

Ws = Berat Butiran Padat (gram)

E. Kerapatan Relatif (Dr)

Kerapatan relatif atau Relative Density (Dr) umumnya

dipakai untuk menunjukkan tingkat kerapatan tanah granular

42
(berbutir kasar) di lapangan. Kerapatan relatif dinyatakan dalam

persamaan (Hardiyatmo, 2002):


𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠 − 𝑒
𝐷𝑟 = x 100 (2.13)
𝑒𝑚𝑎𝑘𝑠− 𝑒𝑚𝑖𝑛

Keterangan :

Dr = Kerapatan relatif (%)

emaks = Angka Pori Maksimum

e = Angka Pori

emin = Angka Pori Minimum

Tabel 2.8 Tingkat Kerapatan Relatif Tanah (Dr) & Keterangannya


Kerapatan Relatif (Dr) Keterangan
0 - 15 Sangat Lepas
15 - 50 Lepas
50 -70 Menengah
70 - 85 Padat
85 - 100 Sangat Padat
(Sumber : Das, 1995)

Nilai berat isi total (berat isi butir + berat isi air) dapat dicari

menggunakan nilai berat jenis, angka pori, dan derajat kejenuhan

ditunjukkan dalam persamaan berikut (Craig, 1989):


𝐺𝑠 + 𝑒 𝑥 𝑆𝑟
𝛾= x γw (2.14)
1+𝑒

Keterangan :

γ = Berat Isi Total (gram/cm3)

Gs = Berat Jenis

e = Angka Pori

Sr = Derajat Kejenuhan (%)

γw = Berat Isi Air (gram/cm3)

43
Nilai berat isi tanah kering sempurna atau kondisi tanah saat Sr

(Saturated Ratio) = 0 dapat dicari menggunakan nilai berat jenis dan

angka pori ditunjukkan dalam persamaan berikut (Craig, 1989):


𝐺𝑠
𝛾𝑑 = 𝑥 𝛾𝑤 (2.15)
1+𝑒

Keterangan :

γd = Berat Isi Kering (gram/cm3)

Gs = Berat Jenis

e = Angka Pori

γw = Berat Isi Air (gram/cm3)

Hubungan antara derajat kejenuhan dan kadar air dinyatakan

dalam persamaan berikut (Craig, 1989):


𝑒 𝑥 𝑆𝑟
𝑤 (%) = x 100 (2.16)
𝐺𝑠

Keterangan :

w = Kadar Air (%)

e = Angka Pori

Sr = Derajat Kejenuhan (%)

Gs = Berat Jenis

Berat air dalam tanah dapat dicari dengan menggunakan nilai

kadar air tanah dengan nilai berat butir atau padat serta nilai berat total

ditunjukkan dalam persamaan berikut (Craig, 1989):

Ww = Ws x w (2.17)

Atau,
𝑤
𝑊𝑤 = xW (2.18)
1+𝑤

44
Keterangan :

Ww = Berat Air (gram)

Ws = Berat butir/padat (gram)

w = Kadar Air (%)

W = Berat tanah total (gram)

2.3.3 Analisa Gradasi Agregat

Analisis gradasi agregat adalah penentuan presentase berat butiran

pada satu unit saringan, dengan ukuran diameter lubang tertentu.

Distribusi ukuran butir untuk tanah berbutir kasar (pasir dan kerikil)

dapat ditentukan dengan cara menyaring. Caranya, material benda uji

disaring lewat satu unit saringan standar dimana lubang – lubang

saringan/ayakan tersebut makin mengecil secara berurutan

(Hardiyatmo, 2002). Untuk standar ayakan di Amerika Serikat, nomor

ayakan dan ukuran lubang diberikan dalam tabel 2.8 berikut (Das, 1995)

Tabel 2.9 Ukuran – Ukuran Ayakan Standar di AS

(Sumber : Das, 1995)

45
Dalam SNI 03 – 1968 - 1990 disebutkan bahwa tujuan dari

pengujian ini ialah untuk memperoleh distribusi besaran atau jumlah

presentase butiran baik agregat halus maupun agregat kasar. Distribusi

yang diperoleh dapat ditunjukkan dalam bentuk tabel atau grafik.

Gambar 2.12 Alat Uji Analisis Ayakan

(Sumber : Das, 1995)

Hasil – hasil dari analisis ayakan biasanya dinyatakan dalam

presentase dari berat total yang disusun dalam grafik kumulatif sesuai

ukuran saringannya (Das, 1995). Untuk prosedur serta analisis gradasi

agregat dapat berpedoman pada SNI 03 – 1968 – 1990.

2.3.4 Analisa Kadar Lumpur dalam Agregat

Jumlah bahan dalam agregat yang lolos saringan No.200 (0,075

mm) adalah banyaknya bahan yang lolos saringan No.200 (0,075 mm)

sesudah agregat dicuci sampai air cucian menjadi jernih. Tujuan dari

46
analisa kadar lumpur ini adalah untuk memperoleh presentase jumlah

bahan dalam agregat yang lolos saringan No.200 (0,075 mm), sehingga

berguna bagi perencana dan pelaksana konstruksi suatu bangunan.

Suspensi adalah bahan halus lolos saringan No.200 (0,075 mm) yang

melayang di dalam larutan air pencuci. Biasanya hasil dari analisa kadar

lumpur pada agregat dinyatakan dalam persen (SNI 03-4142, 1996).

(𝑤1 −𝑤2 )
𝑊𝐿 (%) = x 100 (2.19)
𝑤1

Keterangan :

WL = Kadar Lumpur (%)

W1 = Berat Kering Benda Uji Awal/Sebelum Pencucian (gram)

W2 = Berat Kering Benda Uji Setelah Pencucian (gram)

Untuk metode pengujian serta analisis kadar lumpur pada agregat

dapat berpedoman pada SNI 03-4142-1996.

2.4 Material Komposit

Material komposit merupakan material yang terbentuk dari kombinasi

antara dua atau lebih material pembentuknya melalui pencampuran yang tidak

homogen, dimana sifat mekanik dari masing-masing material pembentuknya

berbeda (Sirait, 2010). Menurut Franciska (2008) bahwa komposit adalah

hasil kombinasi makroskopis dari dua atau lebih komponen yang berbeda,

dengan tujuan untuk mendapatkan sifat – sifat fisik dan mekanik tertentu yang

lebih baik dari pada sifat masing – masing komponen penyusunnya.

Menurut Robert M. Jones dalam Mechanics of Composite Material

(1999), bahan komposit berarti dua atau lebih bahan yang berbeda yang

47
digabung atau dicampur serta makroskopis menjadi suatu bahan yang

berguna. Bahan tersebut mempertahankan sifatnya dalam komposit yaitu

saling tidak larut atau menggabungkan sepenuhnya satu sama lain. Biasanya,

komponen dapat dapat diidentifikasi secara fisik dan menunjukkan sebuah

antarmuka antara satu sama lain.

Ada tiga faktor yang menentukan sifat-sifat dari material komposit,

yaitu:

a. Material pembentuk. Sifat-sifat intrinsik material pembentuk memegang

peranan yang sangat penting terhadap pengaruh sifat kompositnya

b. Susunan struktural komponen. Dimana bentuk serta orientasi dan

ukuran tiap -tiap komponen penyusun struktur dan distribusinya

merupakan faktor penting yang memberi kontribusi dalam penampilan

komposit secara keseluruhan.

c. Interaksi antar komponen. Karena komposit merupakan campuran atau

kombinasi komponen-komponen yang berbeda baik dalam hal

bahannya maupun bentuknya, maka sifat kombinasi yang diperoleh

pasti akan berbeda (Sirait, 2010).

Secara umum material komposit tersusun dari dua komponen utama

yaitu matrik (bahan pengikat) dan filler (bahan pengisi). Filler adalah bahan

pengisi yang digunakan dalam pembuatan komposit, biasanya berupa serat

atau serbuk. Gibson (1984) mengatakan bahwa matrik dalam struktur

komposit bisa berasal dari bahan polimer, logam, maupun keramik. Matrik

secara umum berfungsi untuk mengikat serat menjadi satu struktur komposit.

48
Berdasarkan bahan penguat, material komposit dapat diklasifikasikan

menjadi komposit serat, komposit lamina, komposit partikel dan komposit

serpihan.

A. Komposit Serat (Fiber Composite)

Komposit serat merupakan jenis komposit yang menggunakan

serat sebagai penguat. Serat yang digunakan biasanya berupa serat

gelas, serat karbon, serat aramid dan sebagainya. Serat ini bisa disusun

secara acak maupun dengan orientasi tertentu bahkan bisa juga dalam

bentuk yang lebih kompleks seperti anyaman. Bila peningkatan

kekuatan menjadi tujuan utama, komponen penguat harus mempunyai

rasio aspek yang besar, yaitu rasio panjang terhadap diameter harus

tinggi, agar beban ditranfer melewati titik dimana mungkin terjadi

perpatahan (Vlack L. H., 2004).

Tinggi rendahnya kekuatan komposit sangat tergantung dari serat

yang digunakan, karena tegangan yang dikenakan pada komposit

mulanya diterima oleh matrik akan diteruskan kepada serat, sehingga

serat akan menahan beban sampai beban maksimum. Oleh karena itu

serat harus mempunyai tegangan tarik dan modulus elastisitas yang

lebih tinggi daripada matrik penyusun komposit (Vlack L. H., 1985).

Komposit yang diperkuat dengan serat dapat digolongkan menjadi dua

bagian yaitu komposit serat pendek (short fiber composite) dan

komposit serat panjang (long fiber composite).

B. Komposit Laminat (Laminated Composite)

49
Komposit Laminat merupakan jenis komposit yang terdiri dari

dua lapis atau lebih yang digabungkan menjadi satu dan setiap

lapisannya memiliki karakteristik khusus. Komposit laminat ini terdiri

dari empat jenis yaitu komposit serat kontinu, komposit serat anyam,

komposit serat acak dan komposit serat hibrid. Mikrostruktur lamina

dapat dilihat pada Gambar 2.13 berikut ini

Gambar 2.13 Mikrostruktur Lamina

(Sumber : Courtney, 1999)

C. Komposit Partikel (Particulated Composite)

Komposit Partikel merupakan komposit yang menggunakan

partikel atau serbuk sebagai penguatnya dan terdistribusi secara merata

dalam matriks. Komposit yang terdiri dari partikel dan matriks yaitu

butiran (batu, pasir) yang diperkuat semen atau bahan pengikat lain

yang serupa yang kita jumpai sebagai beton, pasta maupun mortar.

Komposit partikel merupakan produk yang dihasilkan dengan

menempatkan partikel-partikel dan sekaligus mengikatnya dengan

suatu matriks bersama-sama dengan satu atau lebih unsur-unsur

perlakuan seperti panas, tekanan, kelembaban, katalisator dan lain- lain.

Komposit partikel ini berbeda dengan jenis serat acak sehingga bersifat

50
isotropis. Kekuatan komposit serat dipengaruhi oleh tegangan koheren

di antara fase partikel dan matriks yang menunjukkan sambungan yang

baik.

D. Komposit Serpihan (Flake Composite)

Komposit serpihan terdiri atas serpihan-serpihan yang saling

menahan dengan mengikat permukaan atau dimasukkan ke dalam

matriks. Pengertian dari serpihan adalah partikel kecil yang telah

ditentukan sebelumnya yang dihasilkan dalam peralatan yang khusus

dengan orientasi serat sejajar permukaannya. Sifat- sifat khusus yang

dapat diperoleh dari serpihan adalah bentuknya besar dan datar

sehingga dapat disusun dengan rapat untuk menghasilkan suatu bahan

penguat yang tinggi untuk luas penampang lintang tertentu. Pada

umumnya serpihan - serpihan saling tumpang tindih pada suatu

komposit sehingga dapat membentuk lintasan fluida ataupun uap yang

dapat mengurangi kerusakan mekanis karena penetrasi atau

perembesan.

2.5 Prinsip Pemadatan Tanah

Sifat lain tanah yang dipengaruhi oleh pelumasan butir-butir tanah oleh

air adalah kepadatan dimana butir-butiran merapat lebih dekat sebagai akibat

keluarnya udara. Hal ini dilakukan dengan menggunakan beban statis atau

dinamis pada tanah dengan jumlah tumbukan yang sesuai standar atau

modifikasi berdasarkan tingkat kepadatan yang diinginkan. Prosedur

pemadatan yang digunakan adalah Uji Proctor Standar. Pemadatan

51
(Compaction) adalah proses naiknya kerapatan tanah dengan memperkecil

jarak antarpartikel sehingga terjadi reduksi volume udara: tidak terjadi

perubahan volume air yang cukup berarti pada tanah ini. Pemadatan bertujuan

untuk mempertinggi kuat geser tanah, mengurangi sifat mudah mampat

(kompresibilitas), mengurangi permeabilitas, mengurangi perubahan volume

sebagai akibat perubahan kadar air. Apabila tanah dipadatkan (dengan

menggunakan daya pemadatan tertentu) pada berbagai kadar air yang makin

meningkat maka, kepadatan tanah akan mencapai nilai maksimum dan

kemudian menurun yang disebut sebagai kondisi tanah jenuh air (SR = 100%)

(Das, 1995).

Tingkat pemadatan tanah diukur dari berat volume kering tanah yang

dipadatkan. Tingkat kepadatan suatu tanah diukur dari nilai berat keringnya

(γ). Berat volume kering tidak berubah oleh adanya kenaikan kadar air.

Dengan demikian, tanah yang telah selesai dipadatkan di lapangan dan

kemudian berubah kadar airnya (misalnya oleh hujan), maka berat volume

kering tetap tidak berubah, sepanjang volume total tanah tetap. Hal ini karena

kepadatan atau berat volume kering dinyatakan oleh γd = Ws/V, bila berat

butiran (W) dan volumetotal (V) tetap maka γ juga tetap (Craig, 1989).

Apabila tanah kering dipadatkan, maka gesekan antara butir akan

menahan pergeseran antara butir-butir tersebut sehingga perubahan volume

tanah menjadi kecil. Apabila pemadatan dilakukan pada tanah yang telah

ditambah air, maka air akan melumasi butir - butir tanah sehingga butir-butir

tersebut akan merapat lebih dekat dan tanah menjadi padat. Untuk usaha

52
pemadatan yang sama, berat volume kering dari tanah akan naik bila kadar air

dalam tanah (pada saat dipadatkan) meningkat. Apabila tanah terus ditambah

air, maka mulai kadar air tertentu, tanah akan menjadi jenuh. Sehingga

pemadatan akan menghasilkan kepadatan yang lebih rendah (Craig, 1989).

Gambar 2.14 Pemadatan Tanah dengan Metode Proctor Standar.

(Sumber : Das, 1995)

Kadar air yang mampu memberikan tingkat kepadatan kering

maksimum disebut sebagai kadar air optimum (wopt). Umumnya, makin tinggi

derajat pemadatan, makin tinggi kekuatan geser dan makin rendah

kompresibiltas tanah. Di laboratorium, Tanah dipadatkan di dalam cetakan

silindris dengan alat tumbuk standar atau modifikasi (Craig, 1989).

2.6 Uji Kuat Tekan Bebas (Unconfined Compression Strength )

Kuat tekan bebas merupakan pengujian yang umum dilaksanakan dan

dipakai dalam proses penyelidikan sifat – sifat stabilisasi tanah. Disamping

53
pelaksananya yang praktis, sampel yang dibutuhkan juga tidak banyak. Dalam

pembuatan benda uji sebagai dasar adalah kepadatan maksimum yang

diperoleh dari percobaan pemadatan. Pengujian kuat tekan bebas termasuk hal

khusus dari pengujian Triaksial Unconsolidated Undrained. Pengujian

Unconfined Compression pada tanah lempung jenuh air, biasanya

menghasilkan harga cu yang sedikit lebih kecil dari harga yang didapat dari

pengujian UU (untuk tes triaksial) tegangan aksial yang diterapkan diatas

benda uji berangsur - angsur ditambah sampai benda uji mengalami

keruntuhan (Hardiyatmo, 2002).

Tabel 2.10 Hubungan Antara Sifat Mekanis Tanah Dengan Kuat

Tekan Bebas

(Sumber : Hardiyatmo, 2002)

Uji kuat tekan bebas ini di lakukan untuk mengetahui unconfined

compression strength (UCS). Dalam percobaan ini sudut internal fliction (Ø =

0) dan lateral support (σ3 = 0), jadi hanya ada beban vertikal ( σ1 = 0) dengan

54
memberikan deformasi. Beban vertikal yang menyebabkan contoh tanah

menjadi retak di bagi dengan satuan luas yang di koreksi (A) disebut

compression strength (qu) (Hardiyatmo, 2002).

Gambar 2.15 Skema Uji Tekan Bebas.

(Sumber : Hardiyatmo, 2002)

Tekanan aksial yang terjadi pada tanah dapat ditulis dalam persamaan

berikut :
𝑃
σ =𝐴 (2.19)

Keterangan:

σ = Tegangan Aksial (kN/m2)

P = Beban Yang Bekerja (kN)

A = Luas Penampang Tanah/Benda Uji (m2)

Pengujian ini hanya cocok untuk jenis tanah lempung jenuh baik dalam

kondisi asli/lapangan (undisturbed sampel) atau kondisi terganggu atau tidak

asli (disturbed sampel), dimana ada pembebanan cepat, air tidak sempat

mengalir keluar dari benda uji. Pada lempung jenuh, tekanan air pori dari

dalam benda uji pada awal pengujian negatif (tegangan kapiler). Tegangan

55
aksial yang diterapkan di atas benda uji berangsur – angsur bertambah sampai

benda uji mengalami keruntuhan. Pada saat keruntuhannya, karena σ3 = 0

maka (Hardiyatmo, 2002):

(2.20)

Keterangan:

σ1 = Tegangan Aksial (kN/m2)

σ3 = Tegangan Geser (kN/m2)

Δσf= Deformasi Tegangan (kN/m2)

qu = Kuat Tekan Bebas (kN/m2)

Secara teoritis, nilai Δσf pada lempung jenuh seharusnya sama seperti

yang diperoleh dari pengujian triaksial unconsolidated-undrained dengan

benda uji yang sama. Sehingga diperoleh (Hardiyatmo, 2002):

(2.21)

Keterangan:

Su = Kuat Geser Undrained dari Tanahnya (kN/m2)

Cu = Kuat Geser Undrained dari Tanahnya (kN/m2)

qu = Kuat Tekan Bebas (kN/m2)

Hasil uji tekan bebas biasanya tidak begitu meyakinkan bila digunakan

untuk menentukan nilai parameter kuat geser tanah tak jenuh (Hardiyatmo,

2002). Dalam percobaan ini dimensi contoh harus memenuhi syarat : 2D = L

= 3D, Dimana D = diameter contoh tanah dan L = tinggi contoh tanah. Sebab

bila L = 2D , Sudut bidang runtuhnya akan mengalami overlap. Dan bila L =

56
3D, berlaku sebagai kolom, akan ada bahaya tekuk. Jadi yang ideal adalah : L

: D = 2 : 1.

Dalam praktek, untuk mengusahakan agar kuat geser undrained yang

diperoleh dari hasil uji tekan bebas mendekati sama dengan hasil uji triaksial

pada kondisi keruntuhan, beberapa hal yang harus dipenuhi, antara lain (Holtz

dan Kovacs, 1981 dalam Hardiyatmo, 2002):

a. Benda uji harus 100% jenuh, kalau tidak, akan terjadi desakan udara di

dalam ruang pori yang menyebabkan angka pori (e) berkurang sehingga

kekuatan benda uji bertambah.

b. Benda uji tidak boleh mengandung retakan atau kerusakan yang lain.

Dengan kata lain benda uji harus utuh dan merupakan lempung

homogen. Dalam praktek, sangat jarang lempung overconsolidated

dalam keadaan utuh, dan bahkan sering terjadi pula lempung normally

consolidated mempunyai retakan-retakan.

c. Tanah harus terdiri dari butiran sangat halus. Tekanan kekang efektif

(effective confining pressure) awal adalah tekanan kapiler residu yang

merupakan fungsi dari tekanan pori residu (-ur). Hal ini berarti bahwa

penentuan kuat geser tanah dari uji tekan bebas hanya cocok untuk

tanah lempung.

d. Proses pengujian harus berlangsung dengan cepat sampai contoh tanah

mencapai keruntuhan. Pengujian ini merupakan uji tegangan total dan

kondisinya harus tanpa drainase selama pengujian berlangsung. Jika

waktu yang dibutuhkan dalam pengujian terlalu lama, penguapan dan

57
pengeringan benda uji akan menambah tegangan kekang dan dapat

menghasilkan kuat geser yang lebih tinggi. Waktu yang cocok biasanya

sekitar 5 sampai 15 menit.

Perlu diperhatikan bahwa kuat tekan bebas adalah nilai ( σ1 – σ3 ) saat

runtuh ( dengan σ3 = 0 ) , sedang kuat geser undrained adalah nilai τf = ½ (

σ1 – σ3 ) saat runtuh. Untuk tahap – tahap atau cara – cara uji kuat tekan bebas

dapat berpedoman pada SNI-3638-2012.

Gambar 2.16 Sketsa Alat Uji Kuat Tekan Bebas.

(Sumber : SNI-3638, 2012)

2.7 Uji Kuat Geser Langsung (Direct Shear Test)

Menurut Bowles (1993) bahwa definisi kuat geser tanah yaitu suatu

beban yang dikerjakan pada suatu masa tanah akan selalu menghasilkan

tegangan dengan intesitas yang berbeda–beda di dalam zona berbentuk bola

lampu di bawah beban tersebut. Kekuatan geser suatu tanah dapat juga

58
didefinsikan sebagai tahanan maksimum dari tanah terhadap tegangan geser

di bawah suatu kondisi yang diberikan (Smith, 1992). Kuat geser tanah

sebagai perlawanan internal tanah terhadap persatuan luas terhadap

keruntuhan atau pengerasan sepanjang bidang geser dalam tanah yang

dimaksud (Das, 1995).

Kekuatan geser tanah (soil shear strength) dapat didefinisikan sebagai

kemampuan maksimum tanah untuk bertahan terhadap usaha perubahan

bentuk pada kondisi tekanan (pressure) dan kelembapan tertentu (Head,

1982). Kekuatan geser dapat diukur di lapangan maupun di laboratorium.

Pengukuran di lapangan antara lain dapat dilakukan menggunakan vane

shear, plate load dan tes penetrasi. Pengukuran di laboratorium meliputi

penggunaan miniatur vane shear, direct shear, triaxial compression dan

unconfined compression test (sallberg, 1965) serta fall-cone soil shear

strength.

Menurut teori Mohr (Mohr, 1910) kondisi keruntuhan suatu bahan

terjadi akibat adanya kombinasi keadaan kritis dari tegangan normal dan

tegangan geser. Hubungan fungsi antara tegangan normal dan tegangan geser

pada bidang runtuhnya, dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

(2.22)

Keterangan :

τ = Tegangan Geser Pada Saat Terjadi Keruntuhan atau Kegagalan (Failure)

(kN/m2)

σ = Tegangan Normal pada Saat Kondisi Tersebut (kN/m2)

59
Coulomb (1776) mendefinisikan ƒ(σ) seperti pada persamaan sebagai berikut

τ = 𝑐 + 𝜎 tan 𝜙 (2.23)

Keterangan :

τ = Kuat Geser Tanah (kN/m2)

c = Kohesi (kN/m2)

σ = Unconfined Compressive Strength atau Kuat Tekan Bebas (kN/m2)

𝜙 = Sudut Geser Dalam Tanah (o)

Garis keruntuhan (failure envelope) menurut Coulomb (1776)

berbentuk garis lengkung seperti pada gambar 3 dimana untuk sebagian besar

masalah–masalah mekanika tanah, garis tersebut cukup didekati dengan

sebuah garis lurus yang menunjukkan hubungan linear antara tegangan

normal dan kekuatan geser (Das,1995). Tanah, seperti halnya bahan padat,

akan runtuh karena tarikan maupun geseran. Tegangan tarik dapat

menyebabkan retakan pada suatu keadaan praktis yang penting. Walaupun

demikian, sebagian besar masalah dalam teknik sipil dikarenakan hanya

memperhatikan tahanan terhadap keruntuhan oleh geseran.

Gambar 2.17 Kriteria Keruntuhan Mohr & Coulomb

(Sumber : Hardiyatmo, 2002)

60
Jika tegangan–tegangan baru mencapai titik P, keruntuhan tanah akibat

geser tidak akan terjadi. Keruntuhan geser akan terjadi jika tegangan –

tegangan mencapai titik Q yang terletak pada garis selubung kegagalan

(failure envelope). Kedudukan tegangan yang ditunjukkan oleh titik R tidak

akan pernah terjadi, karena sebelum tegangan yang terjadi mencapai titik R,

bahan sudah mengalami keruntuhan. Tegangan–tegangan efektif yang terjadi

di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh tekanan air pori (Hardiyatmo, 2002).

Gambar 2.18 Hasil Uji Geser Langsung pada Tanah Pasir

(Sumber : Hardiyatmo, 2002)

Kuat geser tanah pasir dapat ditentukan dari salah satu uji triaksial atau

uji geser langsung. Kelebihan tekanan air pori akibat adanya beban yang

bekerja diatas tanah pasir dalam kondisi jenuh adalah nol. Hal ini disebabkan

tanah pasir mempunyai permeabilitas besar, sehingga pada kenaikan beban,

air pori relatif cepat menghambur keluar tanpa menimbulkan tekanan yang

61
berarti. Jadi, dapat dianggap bahwa kondisi pembebanan pada tanah pasir

akan berupa pembebanan pada kondisi terdrainase (Hardiyatmo, 2002).

Pada pasir padat (Gambar 2.18), butiran berhubungan saling mengunci

satu sama lain dan rapat. Sebelum kegagalan geser terjadi, hubungan yang

saling mengunci ini menambah perlawanan gesek pada bidang geser. Setelah

tegangan puncak tercapai pada nilai ∆L yang rendah, tingkat penguncian antar

butirnya turun dan tegangan geser selanjutnya berkurang. Pengurangan

tingkat penguncian antar butir menghasilkan penambahan volume contoh

benda uji selama geseran berlangsung. Kadang-kadang benda uji menjadi

cukup mengembang sehingga meluap dari tempatnya. Pada kondisi ini

tegangan geser menjadi konstan, yaitu pada nilai tegangan batasya. Derajat

hubungan saling mengunci antar butiran akan sangat besar pada tanah pasir

yang bergradasi baik dengan bentuk butiran yang bersudut. Dalam keadaan

ini pasir mempunyai kuat geser yang tinggi (Hardiyatmo, 2002).

Pada pasir yang tidak padat (lepas), derajat penguncian antar butir kecil,

sehingga kenaikantegangan geser secara berangsur-angsur akan menghasilkan

suatu nilai yang menuju nilai tegangan batas, dengan tidak ada nilai tegangan

geser puncak. Tiap kenaikan tegangan geser, akan diikuti oleh pengurangan

volume benda uji. Pada tegangan vertikal dan tegangan sel yang sama, nilai

tegangan geser batas dan angka pori untuk pasir tidak padat dan pasir padat

mendekati sama. Bendauji tanah pasir dikatakan pada nilai banding pori kritis

jika tercapai keadaan volume beda uji yang tetap tidak berubah pada proses

penggeseran (Hardiyatmo, 2002).

62
Tabel 2.11 Nilai Tipikal Sudur Geser (ϕ) Pada Tanah Pasir

(Sumber : Hardiyatmo, 2002)

Tabel 2.12 Hubungan Kerapatan Relatif (Dr) dan Sudut Geser dalam

Tanah Pasir dari Penyelidikan di Lapangan (Mayerhof,

1956)

(Sumber : Hardiyatmo, 2002)

Pada tanah lempung jenuh air bila mengalami pembebanan akan terjadi

perubahan volume berupa pengurangan atau penambahan. Dalam kondisi

pengujian dengan drainase terbuka, perubahan volume berupa kompresi

ataupun pelonggaran tidak hanya tergantung pada kerapatan dan tegangan

kekang saja, akan tetapi bergantung pula pada sejarah tegangan. Demikian

pula pembebanan tak terdrainase, nilai tekanan air pori sangat tergantung dari

jenis lempung, apakah lempung tersebut normally consolidated ataukah

overconsolidated (Hardiyatmo, 2002).

Kecepatan perubahan volume yang terjadi pada tanah pasir dan

lempung berbeda. Karena kecepatan perubahan volume tanah akan sangat

tergantung dari permeabilitas tanah. Dimana tanah lempung memiliki

permeabilits yang sangat rendah, sedangkan tanah pasir tinggi sehingga


63
kecepatan berkurangnya tekanan air pori akan lebih cepat terjadi pada tanah

pasir. Jadi, untuk tanah pasir, perubahan volume akibat penghamburan

tekanan air pori akan lebih cepat daripada tanah lempung (Hardiyatmo, 2002)

. Gambar 2.20 Skesta Alat Uji Kuat Geser Langsung

Tidak Terkonsolidasi & Tidak Terdrainase

(Sumber : SNI-3420, 2016)

Cara pengujian geser langsung ini terdapat dua cara yaitu, tegangan

geser terkendali (stress controlled) dan regangan terkendali (strain

controlled). Pada pengujian tegangan terkendali, tegangan geser diberikan

dengan menambahkan beban mati secara bertahap dan dengan penambahan

yang sama besarnya setiap kali sampai runtuh. Keruntuhan akan terjadi

sepanjang bidang bagi kotak besi tersebut. Pada uji regangan terkendali, suatu

kecepatan gerak mendatar tertentu dilakukan pada bagian belahan atas dari

pergerakan geser horisontal tersebut dapat diukur dengan bantuan sebuah

arloji ukur horizontal. Untuk pedoman dalam pengujian kuat geser langsung

tanah tidak terkonsolidasi dan tidak terdrainase dapat menggunakan SNI-

3420-2016.

64
65

Anda mungkin juga menyukai