Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang

memiliki potensi untuk mengembangkan buah-buahan tropis, tanaman

holtikultural, sayur-sayuran dan tanaman pangan. Banyak sekali tanaman

di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan secara

komersil, salah satunya digunakan sebagai bahan obat (Rukmana, 1997;

Agromedia, 2008).

Tanaman berkhasiat obat adalah salah satu diantara obat tradisional

yang paling banyak digunakan secara empiric oleh masyarakat dalam

rangka menanggulangi masalah-masalah kesehatan yang dihadapi baik

dengan maksud pemulihan maupun pengobatan kesehatan. Pengobatan

dan pendayagunaan obat tradisional tersebut merupakan salah satu

komponen program pelayanan kesehatan dasar, serta merupakan salah satu

alternative untuk memenuhi kebutuhan dasar di bidang kesehatan

(wijayakusuma; dalimarta,1995).

Pemanfaatan tanaman berkhasiat obat tersebut semakin meningkat.

Hal ini dikarenakan tanaman obat lebih mudah untuk didapat,ekonomis

dan mempunyai efek samping yang kecil dibandingkan dengan obat kimia.

Tubuh manusia relative lebih mudah menerima obat dari bahan tanaman

dibandingkan dengan obat kimia (Muhlisah,2002).

Salah satu jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional

adalah ubi jalar (Ipomoea batatas L) dari famili Convolvulaceae. Secara


tradisional daun ubi jalar digunakan untuk mengobati luka bakar, yaitu

dengan cara digiling halus dan dibubuhkan pada kulit yang sakit. Bagian

tumbuhan ubi jalar yang digunakan adalah daun yang mengandung

beberapa senyawa seperti flavonoid, saponin, polifenol dan umbinya

mengandung beberapa senyawa seperti protein, lemak, karbohidrat,

kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin C

(Rukmana,1997).

Daun ubi jalar yang digunakan mengandung senyawa alkaloid,

flavonoid, saponin dan antosianidin (Pamungkas,2012). Flavonoid dan

saponin dapat digunakan untuk mempercepat penyembuhan luka bakar.

Flavonoid yang terkandung di dalam daun ubi jalar dapat digunakan

sebagai pencegahan terhadap infeksi luka karena mempunyai daya

antiseptic. Saponin merupakan salah satu senyawa yang memacu

pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses

penyembuhan luka. Saponin juga mempunyai kemampuan sebagai

pembersih sehingga dapat membantu mempercepat penyembuhan luka

terbuka (Harbone,1987).

Daun ubi jalar merupakan bagian dari tanaman ubi jalar (Ipomoea

batatas L.) yang memiliki berbagai khasiat, diantaranya sebagai obat luka

bakar. Sediaan krim ekstrak etanol daun ubi jalar dengan dosis 0,078

mg/mL terbukti dapat menyembuhkan luka bakar selama 7 hari pada

mencit putih (Rahim dkk., 2011). Kemampuan penetrasi zat aktif sediaan

gel lebih baik dibandingkan salep dan krim (Anggraeni, 2008).


Berdasarkan penelitian tersebut, untuk mengoptimalkan khasiat dengan

cara memperbaiki penetrasi zat aktif saat digunakan sebagai obat luka

bakar maka dibuat dalam sediaan gel serta kemampuan menyembuhkan

luka bakar pada kelinci.

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan

jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air

panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar dapat dialami oleh

siapa saja dan dapat terjadi dimana saja baik di rumah, tempat kerja

bahkan di jalan atau tempat-tempat lain. Beratnya luka bakar dipengaruhi

oleh cara dan lamanya kontak dengan sumber panas, serta kondisi saat

terjadi kebakaran (Moenadjat, 2003).

Menurut data World Health Organization (WHO) (2014)

memperkirakan terdapat 265.000 kematian yang terjadi setiap tahunnya

diseluruh dunia akibat luka bakar, pada tahun 2013 prevalensi luka bakar

diindonesia telh mengalami penurunan sebesar 1,5%.

Gel memiliki beberapa keuntungan dibanding sediaan topikal lain

yakni kemampuan penyebarannya cukup baik pada kulit, tidak ada

penghambatan fungsi rambut secara fisiologis, memberikan sensasi dingin,

mudah dicuci dengan air, dan pelepasan obatnya yang baik (Voigt, 1984).

HPMC merupakan gelling agent golongan polimer semi sintetik dan

secara luas digunakan sebagai eksipien dalam formulasi sediaan topikal.

Apabila dibandingkan dengan gelling agent lain, HPMC menghasilkan

cairan yang lebih jernih, netral, tidak berwarna, tidak berasa,


menghasilkan gel dengan viskositas yang baik dalam penyimpanan jangka

lama, tidak beracun, dan tidak mengiritasi kulit (Rowe dkk., 2009).

Formulasi gel ekstrak etanol daun ubi jalar dengan variasi kadar HPMC

sebagai gelling agent tersebut diharapkan memiliki kualitas sifat fisik dan

stabilitas yang baik serta kemampuan menyembuhkan luka bakar pada

kelinci.

1.2 Rumusan Masalah

a) Bagaimana stabilitas fisik sediaan gel yang mengandung ekstrak

etanol daun ubi jalar (Ipomoea batatas L) ?

b) Bagaimana pengaruh pemberian gel ekstrak etanol daun ubi jalar

(Ipomoea batatas L) dengan konsentrasi 5%, 10%, 15% terhadap

pengurangan diameter luka bakar pada punggung kelinci ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tinjauan Umum

a) Untuk mengetahui stabilitas fisik ekstrak etanol daun ubi

jalar (Ipomoea batatas L).

b) Untuk mengetahui pengaruh pemberian gel ekstrak etanol

daun ubi jalar (Ipomoea batatas L) dengan konsentrasi 5%,

10%, 15% terhadap pengurangan diameter luka bakar pada

punggung kelinci.
1.3.2 Tujuan Khusus

a) Untuk mengukur diameter luka bakar sesudah pemberian

gel ekstrak etanol daun ubi jalar (Ipomoea batatas L)

dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%.

b) Untuk mengetahui konsentrasi ekstrak biji ekstrak etanol

daun ubi jalar (Ipomoea batatas L) yang efektif dalam

sediaan gel terhadap penguranga diameter luka bakar.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Masyarakat

Mengetahui manfaat dan potensi sediaan gel dari ekstrak

ekstrak etanol daun ubi jalar (Ipomoea batatas L) untuk mengobati

luka bakar.

1.4.2 Bagi Penulis

a) Memberikan informasi kepada penulis tentang formulasi

yang baik tentang sediaan gel ekstrak etanol daun ubi jalar

(Ipomoea batatas L) untuk menyembuhkan luka bakar.

b) Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang

efektifitas sediaan gel ekstrak etanol daun ubi jalar

(Ipomoea batatas L) untuk menyembuhkan luka bakar.


1.4.3 Bagi Instusi

a) Memperkaya ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan

tentang formulasi dan uji efektifitas gel ekstrak etanol daun

ubi jalar (Ipomoea batatas L) .

b) Sebagai informasi dan bahan pertimbangan untuk penelitian

lebih lanjut tentng gel ekstrak etanol daun ubi jalar

(Ipomoea batatas L) untuk menyembuhkan luka.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lamk.)

Ubi jalar atau “sweet potato” diduga berasal dari benua

Amerika. Diperkirakan pada abad ke-16, ubi jalar menyebar ke

seluruh dunia terutama negara-negara beriklim tropis. Orang-orang

spanyol dianggap berjasa menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia

terutama Filipina, jepang dan Indonesia.

2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan ( Gembong: 1994 )

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Anak kelas : Asteridae

Bangsa : Convolvulales

Suku : Convolvulaceae

Marga : Ipomoea

Jenis : Ipomoea batatas L.

2.1.2 Nama Daerah

Ubi jalar merupakan tanaman yang mempunyai banyak

nama yang berbeda-beda sesuai dengan daerah tanaman tersebut

dihasilkan. D iantaranya yaitu Sumatera (Eba), Melayu (ubi jalar),


Makassar ( lame kamumu, lame kadsora ), Bugis ( lame kandora )

( Gembong: 1994 ).

a) Morfologi Tanaman

Jenis ubi jalar adalah tanaman yang bercabang. Batang

gundul atau berambut, kadang-kadang membelit, bergetah, sering

keunguan, panjang sampai 5 m. Tangkai daun 4 -20 cm, helaian

daun lebar. Bentuk telur sampai membulat dengan pangkal yang

berbentuk jantung atau terpancung, rata sampai berlekuk, kadang-

kadang berbagi menjari 3-5. Karangan bunga diketiak, bentuk

payung berbunga banyak. Daun kelopak memanjang bulat telur,

runcing, panjang lekukan 1 cm, yang terluar paling kecil. Mahkota

bentuk lonceng sampai bentuk terompet, ungu muda, panjang 3-4,5

cm. Benang sari tertanam dan tidak sama panjangnya ( Sukarsono,

2008 ). Tanaman ubi jalar dapat dipanen bila ubi-ubinya sudah tua

(matang fisiologis). Ciri fisik ubi jalar matang, antara lain: bila

kandungan tepungnya sudah maksimum, ditandai dengan kadar

serat yang rendah dan bila direbus (dikukus) rasanya enak serta

tidak berair. Penentuan waktu panen ubi jalar didasarkan atas umur

tanaman, yaitu 3-4 bulan. Memanen ubi jalar jangan sampai terlalu

muda atau terlalu tua, apabila terlalu tua, umbi akan pecah kulitnya

(Siswadi,2006 ).
Gambar 2.1 Bagian tanaman ubi jalar: daun ubi jalar (A),

umbi ubi jalar (B), bunga ubi jalar (C).

b) Kandungan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.), Cultivar Umbi

Putih

Bagian tumbuhan ubi jalar adalah daun yang mengandung

beberapa senyawa seperti flavonoid, saponin, polifenol dan

umbinya mengandung beberapa senyawa seperti protein,

lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A,

vitamin B1, vitamin B2, vitamin C (Rukmana,1997).

Flavonoid dan saponin dapat digunakan untuk

mempercepat penyembuhan luka bakar. Flavonoid yang

terkandung di dalam daun ubi jalar dapat digunakan sebagai

pencegahan terhadap infeksi luka karena mempunyai daya

antiseptic. Saponin merupakan salah satu senyawa yang

memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang

berperan dalam proses penyembuhan luka. Saponin juga

mempunyai kemampuan sebagai pembersih sehingga dapat

membantu mempercepat penyembuhan luka terbuka

(Harbone,1987).
Pada umbi dewasa, selain pati ubi jalar kaya akan

karbohidrat kompleks, serat makanan, β-karoten, vitamin C,

dan vitamin B6 (Harris 2011). Jenis karbohidrat utama yang

terdapat dalam umbi jalar adalah sukrosa, glukosa, dan fruktosa

(Mcharo & La Bonte 2007). Menurut FAO tahun 1990, tunas

dan umbi jalar merupakan sumber utama vitamin A, C, B2 dan

lutein. Ubi jalar dengan daging jingga gelap memiliki lebih

banyak β-karoten dari pada yang berwarna terang (Meludu,

2010).

(a) (b) (c)

Gambar 2.2 (a) Ubi jalar ungu (b)ubi jalar putih (c) ubi

jalar orange

c) Kegunaan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.), Cultivar Umbi

Putih

Bagian yang bisa dimanfaatkan adalah umbi dan daun. Daun

Ubi jalar digunakan sebagai obat bisul, penurunan panas, diare dan

obat luka bakar. Umbinya digunakan sebagai sumber kalori juga

dimanfaat kan untuk memperbaiki tulang yang keropos (Mursito,

2009 ).
2.2 Ekstrak dan Metode Ekstraksi

2.2.1 Definisi ekstrak

Menurut Farmakope Indonesia edisi V ekstrak adalah

sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstrak zat aktif dari

simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua pelarut diuapkan dan masa yang tersisa

diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan. Sedangkan dalam farmakope Herbal Indonesia

disebutkan bahwa ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair

dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewanui menurut cara

yang cocok, diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstraksi

adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut sehingga

terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.

Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat

larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat,

protein, dan lain-lain (Anonim,2000).

2.2.2 Metode Ekstraksi

Menurut Depkes RI (2000), metode ekstraksi yang sering

digunakan pada berbagai penenlitian antara lain :

a. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasi berasal dari bahasa latin macerare yang

artinya merendam (Ansel,1985). Maserasi adalah proses


pengekstrasi simplisia dengan menggunakan pelarut

dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur

ruangan (Anonim, 2000).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah metode ekstraksi dengan pelarut yang

selalu baru sampai sempurna yang dilakukan pada

temperatur kamar (ruangan). Tahap dalam proses

perkolasi yaitu pnetesan terus menerus sampai

memperoleh ekstrak 1-5 kali bahan awal (Anonim,

2000).

b. Cara Panas

1. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan

menggunakan alat pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang

relatif konstan dengan adanya pendinginan balik.

2. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan

kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperature

ruangan, yaitu 40-50˚C.

3. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan

pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan

menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi


kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanaya

pendingin balik.

4. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan

menggunakan pelrut air pada temperature 90˚C selama

15 menit.

5. Dekoktasi

Dekoktasi adalah prose penyarian dengan menggunakan

pelarut air pada temperature 90˚C selamat 30 menit

(Anonim,2000).

2.3 Sediaan Gel

2.3.1 Definisi Gel

Gel merupakan sediaan semipadat digunakan pada kulit,

umumnya sediaan tersebut berfungsi sebagai pembawa pada

obat-obat topikal, sebagai pelunak kulit, atau sebagai pembalut

pelindung atau pembalut penyumbat (oklusif) (Lachman dkk,

1994).

Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat

yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel

anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dan saling

diresapi cairan (Ansel, 1989).

Gel secara umum digunakan pada berbagai produk obat-

obatan, kosmetik dan makanan, juga pada beberapa proses


industri. Dalam bidang pengobatan, gel dapat digunakan sebagai

bahan dasar (pembawa) dalam pembuatan sediaan topikal.

Keuntungan dari gel dibandingkan dengan bentuk sediaan topikal

lainnya yaitu memungkinkan pemakaian yang merata dan

melekat dengan baik, mudah digunakan, mudah meresap, dan

mudah dibersihkan oleh air. Penyimpanan gel harus dalam wadah

tertutup baik terlindung dari cahaya dan di tempat sejuk. Gel

dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara topikal atau

dimasukkan ke dalam lubang tubuh (Depkes RI, 1995).

Idealnya pemilihan gelling agent dalarn sediaan farmasi

dan kosmetik harus inert, aman dan tidak bereaksi dengan

komponen lain. Penambahan gelling agent dalam formula perlu

dipertimbangkan yaitu tahan selama penyimpanan dalam tube

selama pemakaian topikal. Beberapa gel, terutama polisakarida

alami peka terhadap penurunan derajat mikrobial. Penambahan

bahan pengawet perlu untuk mencegah kontaminasi dan

hilangnya karakter gel dalam kaitannya dengan mikrobial

(Lieberman dkk, 1996).

2.3.2 Basis Gel

Berdasarkan komposisinya, dasar gel dapat dibedakan

menjadi dasar gel hidrofobik dan dasar gel hidrofilik (Ansel,

1989). Dasar gel hidrofobik antara lain petrolatum, plastibase,


alumunium stearat, carbowax sedangkan dasar gel hidrofilik

antara lain bentonit, veegum, silika, pektin, tragakan, metil

selulosa, karbomer (Allen, 2002).

1. Basis Gel Hidrofobik

Basis gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-

partikel anorganik. Apabila ditambahkan ke dalam fase

pendispersi, bilamana ada, hanya sedikit sekali interaksi

antara kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan

hidrofobik tidak secara spontan menyebar, tetapi harus

dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel, 1989).

2. Basis Gel Hidrofilik

Basis gel hidrofilik umumnya adalah molekul-molekul

organik yang besar dan dapat dilarutkan atau disatukan

dengan molekul dari fase pendispersi. Istilah hidrofilik berarti

suka pada pelarut. Pada umumnya karena daya tarik menarik

pada pelarut dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak

adanya daya tarik menarik dari bahan hidrofobik, sistem

koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan

memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 1989).

Gel hidrofilik umumnya mengandung komponen

bahan pembengkak, air, penahan lembab dan bahan pengawet

(Voigt, 1995). Gel dapat membengkak, absorbsi cairan dalam

suatu peningkatan dalam volume. Ini dapat dilihat sebagai

tahap awal dissolusi. Solvent berpenetrasi ke dalam matrik gel


dengan demikian interaksi gel digantikan oleh bahan pelarut

(Lieberman dkk, 1996).

Keuntungan gel hidrofilik antara lain: daya sebarnya

pada kulit baik, efek dingin yang ditimbulkan akibat

lambatnya penguapan air pada kulit, tidak menghambat fungsi

fisiologis kulit khususnya respiratio sensibilis oleh karena

tidak melapisi permukaan kulit secara kedap dan tidak

menyumbat pori-pori kulit, mudah dicuci dengan air dan

memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut

dan pelepasan obatnya baik (Voigt, 1995).

2.3.3 Penggolongan Gel

Adapun penggolongan sgel berdasarkan fase terdispersi

menurut (Depkes RI, 1995) dibagi menjadi beberapa fasa yaitu:

1) Gel fase tunggal

Terdiri dari makromolekul organik yang tersebar

serba sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak

terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang

terdispersi dalam cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari

makro molekul sintetik (misalnya Carbomer) atau dari gom

alam (misalnya Tragakan).

2) Berdasarkan sistem dua fase

Dalam sistem ini, jika ukuran partikel dari fase

terdispersi relative besar, massa gel kadang-kadang


dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma Bentonite).

Baik gel maupun magma dapat berupa tiksotropik,

membentuk semi padat jika dibiarkan dan menjadi cair pada

pengocokan.

2.3.4 Ketidakstabilan Gel

Ketidakstabilan dalam sediaan gel dapat dibagi menjadi 2

bagian yaitu (Martin,1993):

1) Pengerutan (Syneresis)

Suatu proses yang terjadi akibat adanya konstraksi

didalam masa gel. Cairan yang terjerat akan keluar dan

berada diatas permukaan gel. Pada waktu pembentukan gel

terjadi tekanan elastis, sehingga terbentuk massa gel yang

tegar.

Mekanisme terjadinya konstraksi berhubungan

dengan fase relaksasi akibat adanya tekanan elastis pada saat

terbukanya gel. Adanya perubahan pada ketegaran gel akan

mengakibatkan jarak antara matriks berubah, sehingga

memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan.

Sineresis dapat terjadi pada hydro gel maupun organogel.

2) Penggembungan (Swelling)

Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk

gel dapat mengabsopsi larutan sehingga terjadi pertambahan

volume. Pelarut akan berpenetrasi diantara matriks gel dan


terjadi ikatan silang antara polimer didalam matriks gel yang

dapat menyebabkan kelarutan komponen gel berkurang.

2.3.5 Kelebihan Sediaan Gel

Berdasarkan Ansel, 1989, Sediaan gel mempunyai

kelebihan-kelebihan sebagai berikut:

1. Mempunyai aliran tiksotropik dan pseudoplastik, yaitu gel

berbentuk padat apabila disimpan dan akan segera mencair

bila segera di kocok (Ansel, 1989

2. Konsentrasi pembentuk gel yang dibutuhkan untuk

membentuk masa gel hanya sedikit.

2.3.6 Evaluasi Sediaan Gel

1. Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk melihat tampilan fisik

sediaan dengan cara melakukan pegamatan terhadap bentuk,

warna dan bau sediaan yang telah dibuat (Anief, 1997).

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas adalah pengujian yang dilakukan untuk

mengamati campuran bahan0bahan tersebut tercampur rata atau

tidak (Aponno,et al.,2014).

3. Uji pH
Uji pH dilakukan untuk melihat tingkat keasaman sediaan gel

untuk menjamin sediaan gel tidak menyebabkan iritasi pada

kulit (tranggono dan Latifa,2007).

4. Uji Daya Sebar

Uji Daya Sebar dilakukan untuk menjamin pemerataan gel saat

diaplikasikan pada kulit yang dilakukan segera setelah gel

dibuat (Garget, et al.,2002).

5. Uji Daya Lekat

Uji daya lekat dilakukan untuk mengetahui perlekatan gel

dipermukaan kulit. Uji daya lekat gel dievaluasi dengan

melihat waktu melekat gel dengan alat daya lekat

(Miranti,2009).

6. Uji Daya Proteksi

Uji daya proteksi dilakukan untuk mengetahui bahwa sediaan

dapat memberikan proteksi yang baik terhadap kulit

(Anonim,2000).

2.4 Absorpsi Obat pada Kulit

Prinsip absorpsi obat atau zat melalui kulit adlah difusi

yaitu proses dimana suatu substansi bergerak dari daerah suatu

system ke daerah lain dan terjadi penurunan kadar gradient diikuti

bergeraknya molekul (Anief,1997). Jumlah obat yang berpindah

melalui lapisan kulit tergantung pada karakteristik obat

kelarutannya dalam air dan koefisien partisi minyak atau airnya,


minyak dan ai merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui

stratum corneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan kulit

(Ansel,1989). Absorpsi perkutan adalah absorpsi bahan dari luar

kulit masuk kedalam kulit dan aliran darah (Ansel,1985). Prinsip

absorpsi obat melalui kulit adalah difusi pasif. Difusi pasif adalah

proses dimana substansi dari daerah suatu system (konsentrasi

tinggi) ke daerah lain (konsentrasi rendah) dan terjadi penurunan

kadar gradient diikuti bergeraknya molekul (Anief,1997).

Difusi obat dipengaruhi oleh beberapa factor :

1. Konsentrasi obat : semakin besar konsentrasi zat aktif, difusi

obat akan semakin baik

2. Koefisien partisi : perbandingan konsentrasi dalam dua fase,

semkain besar koefisien partisi dan semakin cepat difusi obat.

3. Koefisien difusi : semakin luas membran, koefisein difusi

semakin besar, difusi obat akan semakin meningkat.

4. Viskositas : semakin besar visksitas (konsistensi) suatu zat,

koefisien difusi semakin besar, dan difusi semakin lambat.

5. Ketebalan membrane : semakin tebal membran, difusi akan

semakin lambat (Martin,1993).

Dari segi fisiologi factor yang mempengaruhi kecepatan atau

besarnya absopsi perkutan adalah luas daerah permukaan dan

banyaknya pemakaian (Anief,1997).


2.5 Tinjauan Tentang Kulit

2.5.1 Kulit
Kulit adalah lapisan atau jaringan yang menutupi tubuh

dan melindungi tubuh dari bahaya yang akan datang dari luar.

Kulit merupakan bagian tubuh yang perlu mendapat perhatian

khusus untuk memperindah kecantikan, selain itu dapat

membantu menemukan penyakit yang diderita pasien

(Syaifuddin, 2009).

2.5.2 Fungsi Kulit

Kulit mempunyai fungsi yang bermacam-macam untuk

menyesuaikan tubuh dengan lingkungan. Fungsi-fungsi tersebut

adalah sebagai berikut (Syaifuddin, 2009):

1) Fungsi Proteksi

Kulit juga berperan untuk menjaga bagian dalam

tubuh terhadap gangguan fisik misalnya: gesekan,

tarikan, dan gangguan kimiawi yang dapat menimbulkan

iritasi. Gangguan panas misalnya radiasi, sinar ultraviolet,

dan infeksi dari luar.

2) Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh

Kulit berperan mengeluarkan keringat dan

kontraksi otot dengan pembuluh darah kulit. Kulit kaya

akan pembuluh darah sehingga memungkinkan kulit

mendapat nutrisi yang cukup baik.

3) Fungsi Pembentukan Vitamin D


Pembentukan vitamin D berlangsung dengan

mengubah dihidroksil kolesterol dengan pertolongan sinar

matahari, tetapi kebutuhan vitamin D tidak hanya dari

proses tersebut, pemberian vitamin D sistemik masih tetap

diperlukan.

2.5.3 Struktur Kulit

Struktur kulit tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu

lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan hipodermis

(Syaifuddin, 2009):

a. Lapisan epidermis atau kutikel terdiri atas:

1) Stratum korneum (lapisan tanduk); adalah lapisan

kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapis

sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan

protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat

tanduk).

2) Stratum lusidium; terdapat langsung di bawah

lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng

tanpa inti dengan protoplasma yang berubah

menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan

tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan

kaki.

3) Stratum granulosum (lapisan keratohialin);

merupakan 2 atau 3 lapis sel- sel gepeng dengan


sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti

diantaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas

keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai

lapisan ini. Stratum granulosum juga tampak jelas

di telapak tangan dan kaki.

4) Stratum spinosum (stratum malpighi); atau disebut

pila pickle cell layer (lapisan akanta) terdiri atas

beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang

besarnya berbeda-beda karena adanya proses

mitosis.

5) Stratum basal; terdiri atas sel-sel berbentuk kubus

(kolumnar) yang tersusun vertikal pada perbatasan

dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade).

Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang

paling bawah.

b. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin); adalah

lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada

epidermis. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian

yakni (Syaifuddin, 2009) :

1) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke

epidermis, berisi ujung serabut saraf, dan

pembuluh darah.

2) Pars retikulare, yaitu bagian yang bawahnya

menonjol ke arah subkutan, bagian ini terdiri atas


serabut-serabut penunjang misalnya serabut

kolagen, elastin, dan retikulin.

c. Lapisan subkutis (hipodermis) adalah kelanjutan dermis,

terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak

didalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar,

dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang

bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang

dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula yang

fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa,

berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat

ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening

(Syaifuddin, 2009).

Gambar 2.3 : Struktur Kulit (Hilfi.lizia, 2012).


2.6 Luka

Luka yaitu rusaknya kesatuan atau komponen jaringan dimana

secara spesifik terdapat substansi jaringan rusak atau hilang. Luka terjadi
karena terputusnya jaringan-jaringan misalnya kulit, lemak, sel otot dan

lain-lain (Syaifudin, 2009).

2.6.1 Luka Bakar


Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan

jaringan yang disebabkan adanya kontak dengan sumber panas

seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kerusakan

jaringan yang disebabkan api lebih berat dibandingkan air panas.

Ledakan dapat menimbulkan luka bakar dan menyebabkan

kerusakan organ. Bahan kimia terutama asam menyebabkan

kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan sehingga terjadi

diskonfigurasi jaringan yang menyebabkan gangguan proses

penyembuhan. Lama kontak jaringan dengan sumber panas

menentukan luas dan kedalaman kerusakan jaringan. Semakin

lama waktu kontak, semakin luas dan dalam kerusakan jaringan

yang terjadi (Moenadjat, 2003).

Kerusakan yang ditimbulkan karena luka bakar bervariasi,

mulai dari yang ringan yaitu rasa nyeri dan kulit berwarna merah

sampai tubuh korban terbakar hangus. Berdasarkan kelainan yang

bervariasi tersebut, dikenal pembagian luka bakar berdasarkan

berat ringannya kerusakan yaitu: luka bakar derajat pertama,

kedua dan ketiga (Idries, 1997). Kedalaman luka bakar ditentukan

oleh tingginya suhu dan lamanya pejanan tingginya suhu

(Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan antara lain


(Moenadjat, 2003): Luka bakar dibedakan atas beberapa jenis

yaitu:

1) Luka bakar derajat I

Luka bakar derajat I kerusakan terbatas pada bagian

superfisial epidermis, kulit kering, hipermik memberikan

efloresensi berupa eritema, tidak melepuh, nyeri karena ujung

saraf sensorik teriritasi. Luka sembuh dalam waktu 5-10 hari.

Contohnya luka bakar akibat sengatan matahari (Moenadjat,

2003).

Gambar 2.4. Luka Bakar Derajat I (Nucleus Precise, 2011)

2) Luka bakar derajat II

Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa

reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi, melepuh, dasar luka

berwarna merah atau pucat, terletak lebih tinggi di atas permukaan

kulit normal, nyeri karena ujung- ujung saraf teriritasi. Luka bakar

derajat II ada dua, yaitu derajat II dangkal dan derajat II dalam.

Derajat II dangkal (superficial) adalah kerusakan yang mengenai

bagian superficial dari dermis, apendises kulit seperti folikel


rambut, kelenjar keringat. Luka sembuh dalam waktu 10-14 hari.

Sedangkan derajat II dalam (deep) adalah kerusakan yang

mengenai hampir seluruh bagian dermis, apendises kulit, kelenjar

keringat, kelenjar sebasea. Luka sembuh >1 bulan (Moenadjat,

2003).

Gambar 2.5. Luka Bakar II (Nucleus Precise, 2011).

3) Luka bakar derajat III

Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan

yang lebih dalam, apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar

keringat, kelenjar sebasea rusak, tidak ada pelepuhan, kulit

berwarna abu-abu atau coklat, kering, letaknya lebih rendah

dibandingkan kulit sekitar karena koagulasi protein pada lapisan

epidermis dan dermis tidak menimbulkan nyeri. Penyembuhan luka

karena tidak ada proses epitelisasi spontan

(Moenadjat,2003).
Gambar 2.6 Luka Bakar Derajat III (Nucleus Precise, 2011).

2.6.2 Luas Area Luka Bakar

Aturan Sembilan merupakan suatu cara perhitungan yang

cepat mengenai luasnya daerah luka bakar. Tubuh dibagi menjadi

daerah-daerah seluas 9% permukaan tubuh (Dunphy dan Bostfort.,

1993). Pada orang dewasa digunakan “rumus 9” yaitu luas kepala

dan leher, dada, punggung, perut, pinggang dan pantat, ekstemitas

atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan

kaki kanan,serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9% sisanya

1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu untuk menaksir

luasnya permukaan tubuh yang terbakar (Syamsuhidayat dan

jong,1997).

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relative

permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relative

permukaan kaki lebih keci. Karena perbandingan luas permukaan

bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi dan

10-15-20 untuk anak. Untuk anak, kepala dan leher 15% badan

depan dan belakang masing-msing 20%, ekstremitas atas kanan

dan kiri masing-masing 10%,ekstremitas bawah kanan dan kiri


masing-masing 15% (Syamsuhidayat dan jong,1997).

2.6.3 Klasifikasi Luka Bakar

Keparahan cedera luka bakar dari American Burn Association

(1984) diklasifikasikan berdasarkan Luas Permukaan Tubuh Total

(LPTT).

1. Cedera luka bakar minor

a. Luka bakar dengan LPTT <15% pada orang dewasa

usia <40 tahun.

b. Luka bakar dengan LPTT <10% pada orang dewasa

usia <10 tahun.

c. Luka bakar dengan LPTT <10% pada anak-anak

usia <10 tahun.

2. Cedera luka bakar sedang

a. Luka bakar dengan LPTT 15% -25% pada orang

dewasa usia < 40 tahun.

b. Luka bakar denganLPTT 10% - 20% pada orang

dewasa usia > 40 tahun.

c. Luka bakar dengan LPTT 10% - 20% pada anak-

anak usia < 10 tahun.

3. Cedera luka bakar mayor

a. Luka bakar dengan LPTT 25% pada orang dewasa

dengan usia < 40 tahun.


b. Luka bakar dengan LPTT 20% pada orang dewasa

dengan usia > 40 tahun.

c. Luka bakar dengan LPTT 20% pada anak-anak

dengan usia < 10 tahun (Effendi,1999).

2.6.4 Patofisiologi

Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari

sumber panas ke tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahkan

melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik. Luka bakar

dikategorikan sebagai luka bakar termal, radiasi atau luka bakar

kimiawi (Effendi, 1999).

Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan

kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpejan suhu tinggi rusak dan

permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada didalamnya ikut rusak

sehingga dapat terjadi anemia (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

Luka bakar mengakibatkan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah sehingga air, natrium, klorida dan protein tubuh

akan keluar dari dalam sel dan menyebabkan terjadinya edema

yang dapat berlanjut pada keadaan hipofalaemi dan

hemokonsentrasi (Effendi, 1999).

2.6.5 Penyembuhan Luka Bakar

Penanganan luka merupakan hal yang sangat penting dalam

menangani pasien luka bakar baik untuk mencegah infeksi mauoun


menghindari terjadinya sindrom kompertemen karena adanya luka

bakar Cirumferenial (Effendi,1999).

Luka bakar derajat I dan II yang menyisakan elemen epitel

berupa kelenjar sebasea, kelenjar keringat, atau pangkal rambut,

dapat diharapkan sembuh sendri, asal dijaga supaya elemen epitel

tersebut tiak hancur atau rusak karena infeksi. Oleh kaena itu

diperlukan pencegahan infeksi. Pada luka lebih dalam perlu

diusahakan secepat mungkin membuang jaringan kulit yang mati

dan memberi obat topikal yang daya tembusnya tinggi sampai

mencapai dasar jaringan mati. Perawatan setampat dapat dilakukan

secara terbuka atau tertutup. Perawatan terbuka agar menjadi

dingin dan kering sehingga kuman sulit berkembang. Perawatan

tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang dimaksudkan

untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi, tetapi ditutup

sedemikian rupa sehinggga luka masih cukup longgar untuk

berlangsungnya penguapan (Syamsuhidayat dan Jong,1997).

Proses penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam 3 fase:

1) Fase inflamasi

Fase ini berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari

kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan

menyebabkan pendarahan dan tubuh akan menghentikannya

dengan vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang

terputus dan reaksi hemostatis (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).


Peradangan dimulai dengan rupturnya sel mast yang merupakan

kantong yang berisi banyak granula dan terdapat di jaringan ikat

longgar yang mengelilingi pembuluh darah. Degranulasi sel mast

terjadi karena adanya cedera jaringan, pejanan toksin, dan

pengangkutan antigen antibodi sehingga sel mast pecah

(Elizabeth, 2000).

Karakteristik lokal peradangan yaitu: rubor (kemerahan

yang menyertai peradangan, terjadi akibat peningkatan aliran

darah ke daerah yang meradang), kalor (panas yang menyertai

peradangan yang timbul akibat peningkatan aliran darah), tumor

(pembengkakan daerah yang meradang, terjadi akibat

peningkatan permeabilitas kapiler sehingga protein-protein

plasma masuk ke ruang interstisium), dolor (nyeri peradangan

akibat peregangan saraf karena pembengkakan dan rangsangan

ujung-ujung saraf oleh mediator-mediator peradangan). Tujuan

respon peradangan adalah untuk membawa sel-sel darah putih

dan trombosit dengan tujuan membatasi kerusakan dan

mempercepat penyembuhan (Elizabeth, 2000).

1) Fase proliferasi

Fase proliferasi disebut fase fibroplasia karena yang

terjadi proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung sampai

minggu ketiga. Pada fase proliferasi luka dipenuhi sel radang,

fibroplasia dan kolagen, membentuk jaringan berwarna

kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut


granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari

dasar dan mengisi permukaan luka, tempatnya diisi sel baru dari

proses mitosis, proses migrasi terjadi ke arah yang lebih rendah

atau datar. Proses fibroplasia akan berhenti dan mulailah proses

pematangan (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

2) Fase penyudahan

Fase penyudahan disebut fase maturasi. Pada fase ini

terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali

jaringan yang berlebih, pengerutan karena gaya gravitasi dan

berakhir dengan adanya jaringan yang baru terbentuk. Fase ini

berakhir bila semua tanda radang sudah hilang. Selama proses ini

dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan mudah digerakkan

dari dasar. Pada akhir fase, adanya luka kulit mampu menahan

regangan 80% dari kulit normal. Fase ini berlangsung 3-6 bulan

(Syamsuhidayat dan Jong, 1997).


2.6.6 Gangguan Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari

tubuh sendiri (endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh

(eksogen) (Syamsuhidayat dan Jong, 1997). Penyebab endogen

terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati

dan gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah

akan menghambat penyembuhan luka sebab homeostatis

merupakan titik tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan sistem

imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap

luka, kematian jaringan dan kontaminasi (Syamsuhidayat dan

Jong, 1997).

Penyebab eksogen meliputi penyinaran

sinar ionisasi yang akan mengganggu mitosis dan

merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut. Pemberian

sitostatik, obat penekan imun, setelah transplantasi organ, dan

kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka.

Pengaruh setempat seperti infeksi, hematom, benda asing, serta

jaringan mati seperti sekuester dan nekrosis sangat menghambat

penyembuhan luka (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).

Faktor-faktor yang mempercepat penyembuhan luka

bakar adalah kondisi bersih, sikap mental positif, kesehatan baik,

usia muda, nutrisi baik, dan keseimbangan antara gerak dan

latihan. Faktor-faktor yang menghambat penyembuhan luka

bakar adalah faktor psikologi (takut dan stres), kurang mobilisasi,

nutrisi kurang baik, usia tua dan sirkulasi udara kurang baik

(Effendi, 1999).
2.6.7 Terapi pada Luka Bakar

Pada luka bakar ringan, prinsip penanganan utama adalah

mendinginkan daerah yang terbakar dengan air, mencegah infeksi

dan member kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk berproliferasi

dan menutup permukaan luka. Luka dapat dirawat secara tertutup

atau terbuka. Perawatan local adalah mengoleskan luka dengan

antiseptik dan memberikannya terbuka untuk perawatan terbuka

dan menutupnya dengan pembalut steril untuk perawatan tertutup.

Selanjtnya diberikan pencegahan tetanus berupa ATS (Anti

Tetanic Serum) dan atau toksoid. Analgesik diberikan apabila

penderita kesakitan (Syamsuhidayat dan Jong,1997).

2.7 Tinjauan Umum Bioplacenton

2.7.1 Kandungan Bioplacenton

Bioplacenton mengandung ekstrak plasental 10% dan neomisin

sulfat 0,5%. Ekstrak plasenta berperan dalam mempercepat

regenerasi sel dan penyembuhan luka. Sedangkan neomisin sulfat

bekerja sebagai antibiotic yang mampu membunuh beragam jenis

kuman.

2.7.2 Indikasi Bioplacenton

Membantu mempercepat proses penyembuhan luka bakar (MIMS,

halaman 444).

2.7.3 Efek samping Bioplacenton

Pada penggunaan jangka panjang bisa menyebabkan infeksi

sekunder dan beberapa orang yang peka, kadang menimbulkan

reaksi hipersensitif.
2.8 Tinjauan Umum Kelinci

2.8.1 Klasifkasi Kelinci

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertrbrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Lagomorpha

Famili : Lepordae

Genus : Oryctolagus

Spesies : Oryctolagus cuniculud (Sarwono,2001).

2.8.2 Gambaran Umum Kelinci

Kelinci (Lepus NIgricollis) merupakan sala satu hewan

yang mempunyai potensi sebagai penghasil daging yang baik.

Kelinci banyak digunakan sebagai hewan peliharaan yang

mempunyai bulu-bulu yang lembut serta dapat dijumpai di alam

liar.

Kelinci dikenal sebagai hewan menyusui (mamalia) yang

terkenal dan popular. Kelinci diakui sebagai binatang yang

menarik karena bentuk dan sifatnya yang mampu beradaptasi

dengan baik secara cepat dan mudah dipelihara. Hewan uji kelinci

merupakan jenis kelinci local yang berumur 6-8 bulan dengan

berat 1,5-3 kg, sehat dan tidak ada abnormalitas anatomi yang

tampak. Warna bulu yang dimiliki berwarna putih, hitam, kelabu


coklat kekuningan, dilihat dari jenis bulunya terdiri dari jenis

kelinci berbulu pendek dan panjang (Sarwono,2001).


BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Daun Ubi Jalar

Formulasi Sediaan Gel Evaluasi sediaan :

- Uji Organoleptik
- Uji Homogenitas
- Uji pH
- Uji Daya Sebar
- Uji Konsistensi
- Uji Daya Lekat

Efektivitas Uji Efektivitas

Keterangan :

= Variable yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep


3.2 Definisi Operasional

3.2.1 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah objek yang berbentuk apa saja yang

ditentukan oleh peneliti untuk dicari informasinya dengan tujuan

untuk ditarik suatu kesimpulan. Variabel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah :

a. Variabel Bebas (Independent Variabel)

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi, yang

menyebabkan timbulnya atau berubahnya variabel terikat.

Variabel bebas yang digunakan pada penelitian ini adalah

ekstrak etanol daun ubi jalar.

b. Variabel terikat (Dependent Variabel)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi karena

adanya variabel bebas. Variabel yang digunakan pada

penelitian ini adalah efektivitas sediaan gel.

Tabel 3.2.1 Definisi Operasional Variabel

Variabel
Definisi Hasil Skala
Cara Ukur Alat ukur
Operasional Ukur Ukur
Variabel Variabel
bebas terikat
Sediaan Gel Gel ekstrak Melakukan Gelas Sesuai Rasio
Ekstrak Daun daun ubi jalar evaluasi ukur dengan
Ubi Jalar adalah sediaan gel pH meter lieteratur
sediaan semi
padat yang
diberikan
secara topikal
dengan
konsentrasi
ekstrak 5%
10% dan 15%

Efektivitas Kemampuan Mengukur Penggaris Luas Rasio


sediaan gel sediaan gel diameter (cm) diameter
untuk luka bakar luka bakar
mengurangi (cm)
luas luka
bakar dari
hari pertama
s/d hari ke
tujuh

3.3 Hipotesis

a) Gel ekstrak daun ubi jalar memiliki aktivitas mengurangi

diameter luka bakar pada punggung kelinci.

b) Gel ekstrak daun ubi jalar dengan konsentrasi 5% 10% dan

15% memliki aktivitas smengurangi diameter luka bakar

yang lebih besar dibandingkan ekstrak daun ubi jalar

dengan konsentrasi 5% dan 10%.


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian true eksperimental

dengan rancangan Pre and Post Test Controlled Group Design yaitu jenis

penelitian yang melakukan pengamatan terhadap kelompok kontrol dan

perlakuan sebelum dan sesudah di beri perlakuakn (Notoatmodjo,2012).

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

- Tempat pelaksanaan

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmasi FIK UNW

Mataram

- Waktu pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi merupakan keseluruhan obyek penelitian atau subyek

yang diteliti (Notoatmojo,2005). Populasi dalam penelitian ini

adalah daun ubi jalar (Ipomoea batatas L.).

4.3.2 Sampel

Sampel yaitu obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

popullasi (Notoatmojo,2005). Sampel dalam penelitian ini adalah

daun ubi jalar (Ipomoea batatas L.) yang tumbuh di wilayah


4.4 Jenis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan data primer,

karena diperoleh langsung dari hasil formulasi dan uji efektivitas gel

ekstrak daun ubi jalar (Ipomoea batatas L.) terhadap luka bakar pada

kelinci.

4.5 Besar Sampel

Pada penelitian ini jumlah sampel yang digunakan yaitu 200 gram

serbuk simplisia daun ubi jalar (Ipomoea batatas L.) yang sudah

dikeringkan.

4.6 Penentuan Besar Larutan Penyari

Perbandingan simplisia dengan cairan penyari yaitu :

10 Bagian Simplisia : 75 Bagian Penyari (Voight,1995).

Dengan perhitungan seperti dibawah ini :

200 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑥 75 = 20 𝑥 75 𝑚𝑙 = 1500 𝑚𝑙
10 𝑔𝑟𝑎𝑚

4.7 Alat dan Bahan Penelitian

a) Alat Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian antara lain : Beaker glass,

Gelas ukur, Mortir dan stamper, Penangas air, Timbangan analitik,

Thermometer , Cawan porselen, Batang pengaduk, Pipet tetes , pH

meter, lempeng kaca , Gunting cukur , lempengan besil, Bejana


maserasi, Alumunium foil, sarung tangan, kaca arloji, gunting,

kandang kelinci.

b) Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan antara lain : Daun ubi jalar (Ipomoea

batatas L), etanol 70%, bahan yang bersifat teknis Na-CMC, propilen

glikol, Gliserin, air suling, klorofor, 5 kelinci, Bioplacenton.

4.8 Cara Pembuatan

4.8.1 Penyiapan Alat

a. Alat – alat dan bahan yang akan digunakan dibersihkan terlebih

dahulu seperti untuk kandang kelinci dibersihkan dari debu dan

kotoran lainnya.

b. Untuk alat-alat dari gelas yang akan digunakan dalam proses

ekstraksi dibersihkan dengan mencuci dengan detergen

kemudian dibilas dengan air.

c. Selanjutya dibersihkan secara aseptis menggunakan alcohol

70%.

4.8.2 Pembuatan Ekstrak Etanol 70% Daun Ubi Jalar (Ipomoea

batatas L).

a) Tahap pengambilan dan pengolahan sampel

Daun ubi jalar yang akan digunakan hijau tua, utuh, dan

berumur 14 hari . daun disortasi yang memiliki kualitas baik

kemudian dicuci dengan air mengalir sampai bersih.


b) Tahap pengubahan bentuk/pengecilan ukuran daun ubi jalar

Daun ubi jalar yang sudah dibersihkam dari pengotor

lainnya kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari secara

tidak langsung, yakni dengan ditutupi daengan kain hitam

diatasnya, tujuan dikeringkan untuk mengurangi kadar air yang

ada pada simplisia tersebut.

Daun ubi jalar yang sudah kering tersebut dilakukan

pengubahan bentuk/pengecilan ukuran sampai ukuran yang

paling kecil. Kemudian diayak menggunakan ayakan mesh.

c) Pembuatan ekstrak etanol 70% daun ubi jalar

200 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑥 75 = 20 𝑥 75 𝑚𝑙 = 1500 𝑚𝑙
10 𝑔𝑟𝑎𝑚

Penimbangan dan pembuatan ekstrak ubi jalar dengan

menggunakan cairan penyari etanol 70% . Daun ubi jalar yang

sudah kering dan sudah di lakukan pengubahan bentuk berupa

serbuk halus tersebut kemudian ditimbang sebanyak 200 gram

dengan cairan penyari yang dipakai sebanyak 1500 ml etanol

70%, dan dimasukkan ke dalam bejana maserasi.

Simplisia dibasahi dengan cairan penyari sedikit demi

sedikit sambil diaduk menggunakan batang pengaduk hingga


semua bagian simplisia basah merata. Simplisia yang sudah

terendam dengan cairan penyari didalam bejana maserasi

disimpan selama 7 hari pada suhu kamar dan terlindung dari

cahaya matahari, bejana ditutup dengan menggunakan

alumunium foil.

d) Penguapan ekstrak

Penguapan ekstrak dilakukan dengan menggunakan

evaporator tujuan dilakukannya penguapan untuk

menghilangkan cairan penyari yang digunakan dan

mendapatkan ekstrak kental.

4.9 Formula Sediaan Gel Ekstrak Etanol 70% Daun Ubi Jalar (Ipomoea

batatas L).

Orientasi basis gel dengan variasi persentasi HPMC sebesar 2,5,


2,75, 3, dan 3,5 %. Berdasarkan formula menurut Suardi, dkk (2008)
sebagai berikut :

R/ HPMC 3,5

Propilen glikol 15

Metil paraben 0,18

Air suling ad 100


Pada penelitian ini di buat sediaan gel dengan variasi konsentrasi ekstrak

untuk 14 kali pemakaian selama 7 hari pengamatan.

Formula Kontrol
F1 F2 F3
negatif
Ekstrak (g) - 3 5 7
HPMC (g) 3,50 g 3,50 g 3,50 g 3,50 g
Propilenglikol (g) 15 g 15 g 15 g 15 g
Metil paraben(g) 0,18 g 0,18 g 0,18 g 0,18 g
Air suling (mL) 81,32 g 78,32 g 76,32 g 74,32 g
Total 100 ml 100 ml 100 ml 100 ml
(Suardi, dkk. 2008)

4.9.1 Skema Pembuatan Sediaan Gel

Semua bahan disiapkan

Bahan ditimbang sesuai dengan formula dan


konsentrasi yang telah ditentukan

HPMC ditaburkan diatas air suling panas


kemudian dikembangkan 15 menit

Tambahkan metil paraben yang telah dilarutkan air


suling panas

Tambahkan propilen glikol sedikit demi sedikit


(sambil digerus homogen)

Tambahkan ekstrak daun ubi jalar yang telah


diteteskan etanol 70%

Tambahkan sisa air suling


Gel yang telah terbentuk kemudian dimasukkan
kedalamwadah dan disimpan

4.9.2 Skema Pembuatan Luka Bakar

Hewan uji yang digunakan yaitu kelinci putih jantan


jenis New Zeland dengan berat badan 1,5-3 kg
sebanyak 5 ekor.

Bulu hewan uji yang akan digunakan kemudian


dicukur dibagian punggungnya.

Hewan uji dimasukkan kedalam kandang untuk


dilakukan anastesi inhalasi menggunakan
kloroform untuk mengurangi kesadaran hewan uji

Kemudian ditempelkan lempengan besi dengan


diameter 1,5 cm selama 5 detik yang telah
dipanaskan selama 1 menit, dilakukan sampai
mencapai bagian atas dermis (derajat 2 )

Luka bakar yang telah terbentukkemudian


dioleskan gel ekstrak daun umbi jalar 2 kali sehari
setiap pagi dan sore hari.

Pengukuran diameter luka bakar dilakukan setiap


hari dimulai hari kedua menggunakan penggaris.
4.10 Model Perlakuan Luka Bakar pada Punggung Kelinci

1 2 2 3

3 4 4 5

5 1

Kelinci 1 kelinci 2

3 4 4 5

5 1 1 2

2 3

Kelinci 3 Kelinci 4

5 1

2 3

Kelinci 5

(Istiana, S. 2016).

Keterangan :

1. Kontrol negatif (sediaan gel tanpa ekstra)


2. Kontrol positif (Bioplacenton)
3. Formula 1
4. Formula 2
5. Formula 3
1. Uji sifat Fisik Gel Ekstrak Etanol 70% Daun Ubi Jalar (Ipomoea

batatas L).

a) Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan dengan cara melakukan

pengamatan terhadap bentuk, warna dan bau dari sediaan yang

telah dibuat (Septiani, 2011).

b) Uji Homogenitas

Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan cara

mengoleskan 0,1 g sediaan gel pada lempeng kaca transparan.

Sediaan uji harus menunjukkan susunan yang homogen, apabila

tidak terdapat butiran-butiran kasar di atas gelas objek tersebut

maka gel yang diuji homogen (Voigt, 1984).

c) Pengukuran pH

Pengukuran pH gel dilakukan dengan menggunakan pH-

meter. Pengujian dilakukan dengan cara melarutkan 0,5 g gel

ekstrak etanol daun ubi jalar dalam 50 mL air suling di dalam gelas

beker. Kemudian mencelupkan elektroda dalam gelas beker selama

10 menit dan pH-meter dibiarkan sampai menunjukkan angka yang

konstan.
d) Uji daya sebar

Pengujian daya sebar gel dilakukan dengan menggunakan

lempeng kaca yang berskala. Sebanyak 0,5 g gel yang akan diuji

diletakkan di bagian tengah lempeng tersebut. Kemudian lempeng

uji berskala diletakkan secara simetris dengan penambahan beban

di atasnya sebesar 0 g sampai 150 g selama 1 menit. Diameter

pengukuran dilakukan secara membujur, melintang, dan

menyilang ke kanan dan kiri, lakukan pencatatan diameter gel yang

menyebar (Allen, 1998).

e) Uji konsistensi

Uji konsistensi dilakukan dengan cara sediaan di

sentrigugasi pada kecepatan 3800 rpm selama 1 jam. Perubahan

fisik diamati apakah terjadi pemisahan atau bleeding antara bahan

pembentuk gel dan pembawanya yaitu air dan pengujian dilakukan

pada awal evaluasi (Djajadisastra.2009)

f) Uji daya lekat

Pengujian daya lekat dilakukan dengan cara menimbang

0,25 g gel diratakan pada salah satu gelas objek kemudian ditutup

dengan gelas objek lain sampai kedua plat menyatu. Plat kaca

bagian atas kemudian ditekan dengan beban seberat 1 kg selama 5

menit. Beban diangkat dan diberi beban 80 g dicatat waktu yang

dibutuhkan kedua plat untuk saling lepas (Miranti,2009).


Daftar Pustaka

Anggaraeni, C.A., 2008, Pengaruh Bentuk Sediaan Gel, Krim, dan Salep
terhadap Penetrasi Aminofilin, Skripsi, Fakultas MIPA Universitas
Indonesia, Jakarta.

Anief, M., 1997, Formula Obat Topikal dengan Dasar Penyakit Kulit, 80-83,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Anonim, 2000, Informasi Obat Nasional Indonesia, Direck Jendral


Pengawasan Obat dan Makanan, hal 27, Depkes RI, Indonesia.

Ansel, H.C., 1985, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi,112-155,


diterjemahkan oleh Farida Ibrahim, Edisi Keempat, UI Press,
Jakarta.

Ansel, C.H., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh


Yoshita, Edisi IV, UI Press, Jakarta, 390-397.

Argomedia redaksi, 2008, Buku Pintar Tanaman Obat,Argomedia.Pustaka,


Jakarta.
Aponno, J. V, Yamlean, P.V.Y & Supriati, H.S., 2014. Uji Efektifitas
Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun
Depkes, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.

Effendy, 1999, Perawatan Pasien Luka Bakar, 4-31, Penerbit Buku


Kedokteran EGC Press, Jakarta.

Garg, A., D. Aggarwal, S. Garg, and A. K. Sigla. 2002. Spreading of


Semisolid Formulation : An Update. Pharmaceutical Tecnology.
September: 84-102.

Gembong Tjitrosoepomo, 1994. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta : Gadjah


Mada University Press.

Harbone, J.B., 1987, Metoda Fitokimia Penentuan Cara Modern


Menganalisa Tumbuhan, alih bahasa oleh Kosasih ,Padmawinata,
Terbitan ITB, Bandung.
Istiana, S.2016 . Formulasi Sediaan Gel Basis Na-CMC Ekstrak Etanol Daun
Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata (Lamk.)Pers.)sebagai penyembuh
luka bakar pada kelinci.Skripsi. Surakarta: Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Lachman. L., H.A. Lieberman and J.L Kanig, 1994, Teori dan Praktek
Farmasi Industri II, Ed.3, alih bahasa oleh S.Suyatmi, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.

Martin, Swarbrick J, and Camarata A, 1993, Farmasi Fisik (Dasar-Dasar


Kimia Fisik Dalam Ilmu Farmasetik) II, UI-Press, Jakarta, 1077.

Moenadjat, Yefta. 2003. Luka Bakar : Pengetahuan Klinis Praktis. Jakarta :


EGC

Muhlisah, 2002, Taman Obat Keluarga, Penebar Swadaya; Jakarta.


Mursito, Bambang. Sehat Di usia Lanjut dengan Tradisional . Penebar
swadaya: Jakarta, 2009. Hal 103

Pamungkas, 2012. Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan. Erlangga : Jakarta


Rahim, F., Aria, M., dan Aji, N.P., 2011, Formulasi Krim Ekstrak Etanol
Daun Ubi Jalar (Ipomoeae batatas L.) untuk Pengobatan Luka
Bakar, Scientia Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol. 1, No. 1, 21-
26.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Owen, S.C., 2009, Handbook of


Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition, Pharmaceutical Press,
London, 314-315, 592-594, 441-444.

Rukmana, R., 1997, Ubi Jalar Budi.Daya dan Pasca Panen, Kanisius:
Yogyakarta.

Sarwono, B. 2001. Kelinci Poton dan Hias. Agro Media Pustaka. Jakarta
Siswadi, ir, M.P. Budidaya Tanaman Palawija. PT. Citra Aji Parama:
Yogyakarta ,2006. Hal 41.

Suardi, M., Armenia dan Anita, M. (2008). Formulasi dan uji klinik Gel Anti
Jerawat Benzoil Peroksida-HPMC. Skripsi. Denpasar: Fakultas
Farmasi. Universitas Udayana.

Sukarsono. Tumbuhan Untuk Pengobatan. PT. Grasindo: Jakarta, 2008. Hal


24.

Syaifuddin, (2009). Anatomi Tubuh Manusia, Edisi Kedua. Salemba


Medika:Jakarta.

Syamsuhidayat dan Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, 73-87, EGC Press,
Jakarta.
Tranggonp RI dan Latifah F, 2007, Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan
Kosmetik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: Hal. 11, 90-93,
167.

Wijayakusuma, H., Dalimartha, S., 1995, Ramuan Tradisional Untuk


Pengobatan Darah Tinggi, Penebar Swadaya, Jakarta.
Voigt, R., 1995, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Yogyakarta. Gadjah
Mada University Press.
Voigt, R., 1984, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh
Soendani, N.S., Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 341-
356, 365, 921.

Anda mungkin juga menyukai