Karbon Monoksida
Karbon Monoksida
Nama
Karbon monoksida
Sistematis
Identifikasi
Sifat
Rumus molekul CO
Titik leleh
-205 °C (68 K)
Titik didih
-192 °C (81 K)
0,112 D (3,74×10−31
Momen dipol
C·m)
Bahaya
Sangat mudah
terbakar (F+)
Klasifikasi EU
Repr. Cat. 1
Toxic (T)
NFPA 704
2
4
2
Templat:R12, R23,
Templat:R33,
Frasa-R
Templat:R48,
Templat:R61
Senyawa terkait
karbon dioksida
karbon suboksida
oksida terkait
dikarbon monoksida
karbon trioksida
Kecuali dinyatakan sebaliknya, data di atas
berlaku
pada temperatur dan tekanan standar (25 °C,
100 kPa)
Karbon monoksida, rumus kimia CO, adalah gas yang tak berwarna, tak berbau, dan tak
berasa. Ia terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen berikatan dengan satu atom
oksigen. Dalam ikatan ini, terdapat dua ikatan kovalen dan satu ikatan kovalen koordinasi
antara atom karbon dan oksigen.
Karbon monoksida dihasilkan dari pembakaran tak sempurna dari senyawa karbon,
sering terjadi pada mesin pembakaran dalam. Karbon monoksida terbentuk apabila
terdapat kekurangan oksigen dalam proses pembakaran. Karbon dioksida mudah terbakar
dan menghasilkan lidah api berwarna biru, menghasilkan karbon dioksida. Walaupun ia
bersifat racun, CO memainkan peran yang penting dalam teknologi modern, yakni
merupakan prekursor banyak senyawa karbon.
Produksi
Karbon monoksida merupakan senyawa yang sangat penting, sehingga banyak metode
yang telah dikembangkan untuk produksinya.[1]
Gas produser dibentuk dari pembakaran karbon di oksigen pada temperatur tinggi ketika
terdapat karbon yang berlebih. Dalam sebuah oven, udara dialirkan melalui kokas. CO2
yang pertama kali dihasilkan akan mengalami kesetimbangan dengan karbon panas,
menghasilkan CO. Reaksi O2 dengan karbon membentuk CO disebut sebagai
kesetimbangan Boudouard. Di atas 800°C, CO adalah produk yang predominan:
O2 + 2 C → 2 CO
ΔH = -221 kJ/mol
Kerugian dari metode ini adalah apabila dilakukan dengan udara, ia akan menyisakan
campuran yang terdiri dari nitrogen.
Gas sintetik atau gas air diproduksi via reaksi endotermik uap air dan karbon:
H2O + C → H2 + CO
ΔH = 131 kJ/mol
CO juga merupakan hasil sampingan dari reduksi bijih logam oksida dengan karbon:
MO + C → M + CO
ΔH = 131 kJ/mol
Oleh karena CO adalah gas, proses reduksi dapat dipercepat dengan memanaskannya.
Diagram Ellingham menunjukkan bahwa pembentukan CO lebih difavoritkan daripada
CO2 pada temperatur tinggi.
CO adalah anhidrida dari asam format. Oleh karena itu, adalah praktis untuk
menghasilkan CO dari dehidrasi asam format. Produksi CO dalam skala laboratorium
lainnya adalah dengan pemanasan campuran bubuk seng dan kalsium karbonat.
Panjang ikatan molekul karbon monoksida sesuai dengan ikatan rangkap tiga parsialnya.
Molekul ini memiliki momen dipol ikatan yang kecil dan dapat diwakili dengan tiga
struktur resonansi:
Resonans paling kiri adalah bentuk yang paling penting.[2] Hal ini diilustrasikan dengan
reaktivitas karbon monoksida yang bereaksi dengan karbokation.
Dinitrogen bersifat isoelektronik terhadap karbon monoksida. Hal ini berarti bahwa
molekul-molekul ini memiliki jumlah elektron dan ikatan yang mirip satu sama lainnya.
Sifat-sifat fisika antara N2 dan CO sangat mirip, walaupun CO lebih reaktif.
Karbon monoksida adalah gas industri utama yang memiliki banyak kegunaan dalam
produksi bahan kimia pukal (bulk chemical).[4]
Sejumlah aldehida dengan hasil volume yang tinggi dapat diproduksi dengan reaksi
hidroformilasi dari alkena, CO, dan H2.
Metanol diproduksi dari hidrogenasi CO. Pada reaksi yang berkaitan, hidrogenasi CO
diikuti dengan pembentukan ikatan C-C, seperti yang terjadi pada proses Fischer-
Tropsch, CO dihirogenasi menjadi bahan bakar hidrokarbon cair. Teknologi ini
mengijinkan batu bara dikonversikan menjadi bensin.
Pada proses Monsanto, karbon monoksida bereaksi dengan metanol dengan keberadaan
katalis rodium homogen dan HI, menghasilkan asam asetat. Proses ini digunakan secara
meluas dalam produski asam asetat berskala industri.
Karbon monoksida merupakan komponen dasar dari syngas yang sering digunakan untuk
tenaga industri. Karbon monoksida juga digunakan pada proses pemurnian nikel.
Kebanyakan logam akan membentuk kompleks koordinasi yang bersifat kovalen dengan
karbon monoksida. Hanya logam yang mempunyai keadaan oksidasi yang lebih rendah
yang membentuk kompleks dengan ligan karbon monoksida. Hal ini dikarenakan oleh
perlunya rapatan elektron yang cukup untuk memfasilitasi donasi balik dari orbital dxz
logam ke orbital molekul π* CO. Pasangan elektron menyendiri dari atom karbon CO
juga menyumbangkan rapatan elektron ke dx²−y² logam membentuk ikatan sigma. Pada
nikel karbonil, Ni(CO)4 terbentuk dari kombinasi langsung karbon monoksida dan logam
nikel pada temperatur ruangan. Nikel karbonil dapat mengurai kembali menjadi Ni dan
CO seketika bersentuhan dengan permukaan yang panas. Proses ini juga pernah
digunakan dalam proses pemurnian nikel pada proses Mond.[5]
Pada nikel karbonil dan karbonil-karbonil lainnya, pasangan elektron pada karbon
berinteraksi dengan logam; karbon monoksida menyumbangkan pasangan elektronnya
kepada logam. Dalam situasi ini, karbon monoksida disebut sebagai ligan karbonil.
Salah satu logam karbonil yang paling penting adalah besi pentakarbonil, Fe(CO)5:
Banyak kompleks logam-CO dihasilkan dari dekarbonilasi larutan organik dan bukannya
dari CO. Sebagai contoh, iridium(III) klorida dan trifenilfosfina bereaksi di metoksietanol
mendidih atau dimetilformamida untuk menghasilkan IrCl(CO)(PPh3)2.
Dengan keberadaan asam kuat dan air, karbon monoksida bereaksi dengan olefin
membentuk asam karboksilat, proses ini dikenal sebagai reaksi Koch-Haaf.[6] Pada reaksi
Gattermann-Koch, arena diubah menjadi turunan benzaldehida dengan keberadaan AlCl3
dan HCl.[7] Senyawa organologam seperti butil litium dapat bereaksi dengan CO, namun
reaksi ini jarang digunakan.
Karbon monoksida, walaupun dianggap sebagai polutan, telah lama ada di atmosfer
sebagai hasil produk dari aktivitas gunung berapi. Ia larut dalam lahar gunung berapi
pada tekanan yang tinggi di dalam mantel bumi. Kandungan karbon monoksida dalam
gas gunung berapi bervariasi dari kurang dari 0,01% sampai sebanyak 2% bergantung
pada gunung berapi tersebut. Oleh karena sumber alami karbon monoksida bervariasi dari
tahun ke tahun, sangatlah sulit untuk secara akurat menghitung emisi alami gas tersebut.
Karbon monoksida memiliki efek radiative forcing secara tidak langsung dengan
menaikkan konsentrasi metana dan ozon troposfer melalui reaksi kimia dengan
konstituen atmosfer lainnya (misalnya radikal hidroksil OH-) yang sebenarnya akan
melenyapkan metana dan ozon. Dengan proses alami di atmosfer, karbon monoksida
pada akhirnya akan teroksidasi menjadi karbon dioksida. Konsentrasi karbon monoksida
memiliki jangka waktu pendek di atmosfer.
CO antropogenik dari emisi automobil dan industri memberikan kontribusi pada efek
rumah kaca dan pemanasan global. Di daerah perkotaan, karbon monoksida, bersama
dengan aldehida, bereaksi secara fotokimia, meghasilkan radikal peroksi. Radikal peroksi
bereaksi dengan nitrogen oksida dan meningkatkan rasio NO2 terhadap NO, sehingga
mengurangi jumlah NO yang tersedia untuk bereaksi dengan ozon. Karbon monoksida
juga merupakan konstituen dari asap rokok.
Teknologi ini pertama kali diberikan status "Generally recognized as safe" (secara umum
dikenal aman) oleh FDA pada tahun 2002 untuk penggunaan sistem kemasan sekunder.
Pada tahun 2004, FDA mengijinkan penggunaan CO sebagai metode kemasan primer,
menyatakan bahwa CO tidak menutupi bau busuk.[10] Walaupun begitu, teknologi ini
masih kontroversial di Amerika Serikat oleh karena kekhawatiran CO akan menutupi bau
busuk makanan.[11]
Karbon monoksida diproduksi secara alami sebagai pemecahan dari heme, sebuah
substrat untuk enzim heme oksigenase. Reaksi enzimatis ini memecahkan heme menjadi
CO, biliverdin, dan Fe3+. CO yang diproduksi secara edogen kemungkinan memiliki
peran fisiologis yang penting dalam tubuh (misalnya sebagai neurotransmiter atau
pelemas pembuluh darah). Selain itu, CO meregulasi reaksi peradangan yang dapat
mencegah berkembangnya beberapa penyakit seperti aterosklerosis atau malaria berat.
Dikenal juga sebuah protein sensor-CO yang berdasarkan heme, CooA.[14] Cakupan
peranan biologis zat ini masih tidak jelas, namun tampaknya ia merupakan bagian dari
lintasan signal pada bakteri dan arkea.
CO juga baru-baru ini dikaji di beberapa laboratorium riset di seluruh dunia atas sifatnya
yang anti-peradangan dan sitoprotektif yang dapat digunakan untuk terapi pencegahan
kondisi patologis seperti cedera reperfusi iskemia, penolakan trasplan, aterosklerosis,
spesi, malaria berat, atau autoimunitas. Sampai sekarang ini tidak ada aplikasi medis CO
kepada manusia.
[sunting] Sejarah
Karbon monoksida pertama kali dihasilkan oleh kimiawan Perancis de Lassone pada
tahun 1776 dengan memanaskan seng oksida dengan kokas. Dia menyimpulkan bahwa
gas yang dihasilkan adalah hidrogen karena ketika dibakar ia menghasilkan lidah api
berwarna biru. Gas ini kemudian diidentifikasi sebagai senyawa yang mengandung
karbon dan oksigen oleh kimiawan Inggris William Cumberland Cruikshank pada tahun
1800.
Sifat-sifat CO yang beracun pertama kali diinvestigasi secara seksama oleh fisiolog
Perancis Claude Bernard sekitar tahun 1846. Dia meracuni beberapa anjing dengan gas
tersebut, dan mendapatkan bahwa darah anjing-anjing tersebut berwarna lebih merah di
seluruh pembuluh darah.
Selama Perang Dunia II, karbon monoksida digunakan untuk menjaga kendaraan
bermotor tetap berjalan di daerah-daerah yang kekurangan bensin. Pembakar batu-bara
atau kayu dipasangkan, dan karbon monoksida yang diproduksi dengan gasifikasi
dialirkan ke karburetor. CO dalam kasus ini dikenal sebagai "gas kayu". Karbon
monoksida juga dilaporkan digunakan dalam skala kecil selama Holocaust di beberapa
kamp eksterminasi Nazi dan di program "eutanasia" Aksi T4.
[sunting] Tosisitas
Artikel utama untuk bagian ini adalah: keracunan karbon monoksida
Karbon monoksida sangatlaah beracun dan tidak berbau maupun berwarna. Ia merupakan
sebab utama keracunan yang paling umum terjadi di beberapa negara.[18] Paparan dengan
karbon monoksida dapat mengakibatkan keracunan sistem saraf pusat dan jantung.
Setelah keracunan, sering terjadi sekuelae yang berkepanjangan. Karbon monoksida juga
memiliki efek-efek buruk bagi bayi dari wanita hamil. Gejala dari keracunan ringan
meliputi sakit kepala dan mual-mual pada konsentrasi kurang dari 100 ppm. Konsentrasi
serendah 667 ppm dapat menyebabkan 50% hemoglobin tubuh berubah menjadi
karboksihemoglobin (HbCO). Karboksihemoglobin cukup stabil, namun perubahan ini
reversibel. Karboksihemoglobin tidaklah efektif dalam menghantarkan oksigen, sehingga
beberapa bagian tubuh tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Sebagai akibatnya,
paparan pada tingkap ini dapat membahayakan jiwa. Di Amerika Serikta, Administrasi
Kesehatan dan Keselamatan Kerja membatasi paparan di tempat kerja sebesar 50 ppm.
[sunting] References
1. ^ Holleman, A. F.; Wiberg, E. "Inorganic Chemistry" Academic Press: San Diego, 200.
ISBN 0-12-352651-5.
2. ^ a b O. R. Gilliam, C. M. Johnson and W. Gordy (1950). "Microwave Spectroscopy in
the Region from Two to Three Millimeters". Physical Review 78 (2): 140.
DOI:10.1103/PhysRev.78.140.
3. ^ W. Kutzelnigg. Einführung in die Theoretische Chemie. Wiley-VCH. ISBN 3-527-
30609-9.
4. ^ Elschenbroich, C.;Salzer, A. ”Organometallics : A Concise Introduction” (2nd Ed)
Wiley-VCH: Weinheim, 2006. ISBN 3-527-28165-7
5. ^ Mond L, Langer K, Quincke F (1890). "Action of carbon monoxide on nickel". Journal
of the Chemical Society 57: 749–753. DOI:10.1039/CT8905700749.
6. ^ Koch, H.; Haaf, W. "1-Adamantanecarboxylic Acid" Organic Syntheses, Collected
Volume 5, p.20 (1973).
7. ^ Coleman, G. H.; Craig, D. "p-Tolualdehyde" Organic Syntheses, Collected Volume 2,
p.583 (1943).
8. ^ Chatani, N.; Murai, S. "Carbon Monoxide" in Encyclopedia of Reagents for Organic
Synthesis (Ed: L. Paquette) 2004, J. Wiley & Sons, New York. DOI:10.1002/047084289
9. ^ Sorheim, S, Nissena, H, Nesbakken, T (1999). "The storage life of beef and pork
packaged in an atmosphere with low carbon monoxide and high carbon dioxide". Journal
of Meat Science 52 (2): 157–64. DOI:10.1016/S0309-1740(98)00163-6.
10. ^ Eilert EJ (2005). "New packaging technologies for the 21st century". Journal of Meat
Science 71 (1): 122–27. DOI:10.1016/j.meatsci.2005.04.003.
11. ^ "Low-Oxygen Packaging with CO: A Study in Food Politics That Warrants Peer
Review". Diakses pada 2007-04-18.
12. ^ R. K. Thauer (1998). "Biochemistry of methanogenesis: a tribute to Marjory
Stephenson. 1998 Marjory Stephenson Prize Lecture" (Free). Microbiology 144 (9):
2377–2406.
13. ^ Jaouen, G., Ed. (2006). Bioorganometallics: Biomolecules, Labeling, Medicine.
Weinheim: Wiley-VCH. ISBN 3-527-30990-X.
14. ^ Roberts, G. P.; Youn, H.; Kerby, R. L. (2004). "CO-Sensing Mechanisms".
Microbiology and Molecular Biology Reviews 68: 453–473.
DOI:10.1128/MMBR.68.3.453-473.2004.
15. ^ a b Basic Information : Carbon Monoxide. Diakses pada 2007-12-01
16. ^ Singer, Siegfried Fred (1975). The Changing Global Environment, pp. 90. ISBN
9789027704023.
17. ^ a b c Gosink, Tom What Do Carbon Monoxide Levels Mean?. (HTML) Alaska Science
Forum. Geophysical Institute, University of Alaska Fairbanks. Diakses pada 2007-12-01
18. ^ Omaye ST. (2002). "Metabolic modulation of carbon monoxide toxicity". Toxicology
180 (2): 139–50. DOI:10.1016/S0300-483X(02)00387-6.
19. ^ Buckley NA, Isbister GK, Stokes B, Juurlink DN. (2005). "Hyperbaric oxygen for
carbon monoxide poisoning : a systematic review and critical analysis of the evidence"
(Abstract). Toxicol Rev 24 (2): 75–92.
[sembunyikan]
l • d • s