Anda di halaman 1dari 132

Policy

Paper

POKOK-POKOK PIKIRAN
UNTUK RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG
DESA ADAT
Penulis:
Noer Fauzi Rachman, PhD
Yesua YDK Pellokila, SH. MH
Ir. Nani Saptariani, MA

Editor:
Yando Zakaria
Policy
Paper

POKOK-POKOK PIKIRAN
UNTUK RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG
DESA ADAT
Penulis:
Noer Fauzi Rachman, PhD
Yesua YDK Pellokila, SH. MH
Ir. Nani Saptariani, MA

Editor:
Yando Zakaria

Forum Pengembangan Pembaharuan Desa


Policy Paper
PENGATURAN PENETAPAN, PEMBENTUKAN DAN
PENATAAN DESA ADAT

Penulis : Noer Fauzi Rachman, PhD


Yesua YDK Pellokia, SH, MH
Ir. Nani Saptariani, MA
Reviwer dan Editor : Drs. Yando Zakaria
Penata Letak : Candra Coret
Desain Cover : Candra & Erni

Copyleft@Diperkenankan untuk melakukan modifikasi, penggandaan mau-


pun penyebarluasan buku ini untuk kepentingan pendidikan dan bukan untuk
kepentingan komersial dengan tetap mencantumkan atribut penulis dan ke-
terangan dokumen ini secara lengkap.

Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)


Jl. Karangnangka No. 175 Dusun Demangan
Desa Maguwoharjo Kec. Depok Sleman Yogyakarta
Telp./fax: 0274 4333665, mbl: 0811 250 3790
Email: fppd@indosat.net.id
Website: http//www. forumdesa.org

Cetakan Pertama : Februari 2014

15,5 x 230 cm, vi + 124 Hal


KATA PENGANTAR
Forum Pengembangan Pembaharuan Desa

Policy paper ini merupakan sumbangan FPPD untuk me-


nyelaraskan, menyebarluaskan, dan melakukan tinjauan ulang
terhadap berbagai kebijakan terkait dengan Desa Adat seperti
yang tercantum dalam UU No. 6/2014 tentang Desa. Tidak mu-
dah memang ketika UU Desa ingin diturunkan dalam bentuk
yang lebih operasional mengingat kondisi desa-desa adat nusan-
tara dan juga pembacaan masyarakat di berbagai tingkatan ter-
nyata telah melekat sedemikian rupa akibat sistem pengaturan
serta tata kelola masyarakat desa selama ini. Kenyataan itu jelas
mempersulit bangun perspektif yang ditawarkan pada Bab XIII
tentang Desa Adat, yang mestinya menjadi ruang transformasi
baru bagi pengakuan masyarakat adat.
Sejumlah rekomendasi yang disampaikan dalam tulisan ini
dihasilkan melalui telaah secara mendalam yang melibatkan ber-
bagai pihak yang kompeten dan berkaitan langsung dengan isu
Desa Adat. Focus group discussion (FGD) yang telah dilakukan
di Bogor mengangkat data otentik dalam rangka pemutakhiran
informasi desa adat kekinian dengan realitas masyarakat adat di
sejumlah wilayah Indonesia. Pembahasan terkait desa adat ditin-

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS iii


daklanjuti dengan lokakarya di Jakarta untuk mendapat masukan
dalam penyempurnaan policy paper yang disusun Tim FPPD.
Peserta mewakili seluruh wilayah Indonesia yang memiliki tradisi
adat istiadat dalam mengatur kehidupan masyarakatnya, antara
lain dari; Aceh, Sumatera Barat, Kabupaten Bandung, Suraba-
ya, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat,
Lombok Utara, Maluku, serta instansi Kementerian Lingkungan
Hidup dan Direktorat Pemberdayaan Adat dan Sosial Budaya
Ditjen PMD Kemendagri.
Harapan FPPD, policy brief ini selanjutnya dapat membe-
rikan sumbangan positif khususnya berkenaan dengan upaya
bagaimana penataan, penetapan, susunan asli, kewenangan,
ulayat, kelembagaan dan substansi lain yang berkait dengan
Desa Adat.
Tim FPPD menyampaikan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah terlibat dalam serangkaian kegiatan diskusi dan
penulisan policy paper sebagai salah satu program Mendorong
Realisasi Visi dan Misi Undang-undang tentang Desa melalui
Advokasi Rancangan Peraturan Pemerintah yang didukung oleh
ACCESS Tahap II.

Sutoro Eko Yunanto


Ketua Steering Committee

iv Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR FPPD ....................................................... iii

DAFTAR ISI ..............................................................................v

BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1

BAB 2 PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35


TAHUN 2012 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PENGATURAN LEBIH LANJUT TENTANG HAK-HAK
MASYARAKAT HUKUM ADAT .................................... 15

BAB 3 PENGATURAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM


BEBERAPA UNDANG-UNDANG ................................ 33

BAB 4 BEBERAPA PERATURAN DAERAH TERKAIT


MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA ........... 47

BAB 5 POKOK-POKOK PENGATURAN DESA ADAT


DALAM UU NO. 6/2014 TENTANG DESA ................. 71

BAB 6 REKOMENDASI ......................................................... 85

DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 117

PROFILE PENULIS .............................................................. 123

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS v


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
“…kalau desa kita memang mulai bergerak maju atas ke-
kuatannya sendiri, barulah seluruh masyarakat kita akan pula
naik tingkatan serta kemajuannya di dalam segala lapangan, …”
kata Sutan Sjahrir, salah seorang pendiri Republik ini pada suatu
ketika. Pernyataan ini secara langsung menunjukkan bahwa be-
tapa desa merupakan entitas sosial yang memiliki tempat pen-
ting bagi kemajuan suatu bangsa dan Negara, dalam hal ini ada-
lah Indonesia.
Dalam sejarah kita bisa mencatat bahwa atau disebut de-
ngan nama lain, untuk selanjutnya disebut desa, demikian pula
dengan adat, menjadi topik pembicaraan penting ketika para
pendiri Negara-bangsa ini menyusun dasar-dasar dan bentuk
Negara sepanjang sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan sidang-sidang
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang meng-
gantikan, sebagaimana yang kemudian tertuangkan ke dalam

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 1


Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, selan-
jutnya disebut UUD 1945.1
Setidaknya ada 3 simpul pemikiran yang dapat ditarik dalam
perdebatan yang hangat itu. Pertama, jelaslah bahwa, Indonesia
yang hendak didirikan itu tidaklah berpijak pada pengetahuan
tentang Jawa saja, melainkan meliputi wilayah yang saat ini di-
sebut Nusantara. Dalam salah satu sesi sidang Mr. M. Yamin me-
ngatakan “… Negara Indonesia tak dapatlah didudukkan di atas
hasil penyelidikan bahan-bahan yang didapat di Pulau Jawa saja,
karena keadaan itu boleh jadi menyesatkan pemandangan dan
sedikit-dikit mungkin melanggar pendirian kita. Sejak dari seka-
rang hendaklah meliputi seluruh keadaan-keadaan di segala pu-
lau Indonesia dengan pikiran yang sudah meminum air persatu-
an Indonesia. Kita mendirikan Negara Indonesia atas keinsafan
akan pengetahuan yang luas dan lebar tentang seluruh Indone-
sia.” Kedua, pada masa-masa awal berdirinya Indonesia itu, ada
kesepahaman yang amat kuat tentang yang kehendak bahwa
negara baru yang ingin dibangun itu adalah sebuah Negara-
bangsa Indonesia yang baru sama sekali. Dipahami pula bahwa
Negara-bangsa Indonesia yang baru itu tidak bisa dilandaskan
pada kebesaran-kebesaran Kerajaan Nusantara yang pernah
ada, karena menurut Mr. M. Yamin, kesemuanya masih bersi-
fat etats patrimonies (Negara berdasarkan keturunan) atau-
pun etats puissances (Negara atas dasar kekuasaan semata).
Sebagai alternatifnya, yang menjadi topik penting yang ketiga,
adalah soal dipilihnya desa – dan adat --sebagai pondasi pendiri-
an Negara bangsa Indonesia itu. “… Kita tidak mabuk dengan
hiburan menyembah kerajaan-kerajaan seribu satu malam atau

1 Selanjutnya lihat Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995.

2 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


bertanam pohon beringin di atas awan, melainkan melihat kepa-
da peradaban yang memberi tenaga yang nyata dan kekuatan
yang maha dahsyat untuk menyusun negara bagian bawah. Dari
peradaban rakyat zaman sekarang, dan dari susunan Negara
Hukum Adat bagian bawahan, dari sanalah kita mengumpulkan
dan mengumpulkan sari-sari tata negara yang sebetul-betulnya
dapat menjadi dasar Negara,” ujar Mr. M. Yamin.
Perbincangan dalam sidang-sidang dimaksud kemudian
bermuara pada Pasal 18 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,
dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan
hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat isti-
mewa.” Pada Bagian Penjelasan, khususnya angka Romawi II,
dikatakan bahwa: “Dalam teritori Negara Indonesia terdapat
lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksge-
meenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Mi-
nangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karena-
nya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-
daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang
mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-
usul daerah tersebut.”
Hingga era reformasi bergulir ada 7 (tujuh) perangkat per-
aturan perundang-undangan yang mengatur penerapan amanat
Pasal 18 UUD 1945 itu. Alih-alih memenuhi amanat, sebagaima-
na yang dapat dilihat dalam norma-norma pengaturan pada

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 3


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan
Desa yang menjadi undang-undang terakhir sebelum era refor-
masi, yang terjadi justru sebaliknya dan telah berdampak buruk
pada desa sebagai tatanan sosial-budaya, tatanan sosial-politik,
dan tatanan sosial-ekonomi itu.2
Bagi banyak masyarakat adat, kecuali untuk beberapa kasus
kecil saja, pemberlakuan kebijakan yang menempatkan desa
sekedar unit administratif pemerintahan itu telah mengaburkan
eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat sebagai subyek hu-
kum atas sumber-sumber agraria dan sumberdaya alam pada
umumnya. Kebijakan yang demikian itu seolah ingin memuluskan
jalan kebijakan sektoral pasca Orde Baru yang memang meng-
ingkari pengakuan atas hak-hak masyarakat adat. Meski Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria ter-
dapat pasal 5 yang berbunyi “Hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indone-
sia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini dan dengan peraturan-perundangan lainnya,
segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersan-
dar pada hukum agama”; dan pada pasal 3 sebelumnya telah
pula dinyatakan bahwa “… pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepan-
jang menurut kenyataannya masih adat, harus sedemikian ru-
pa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh ber-
tentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain

2 Sekedar menyebut satu sumber, lihat R. Yando Zakaria.Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah
Rezim Orde Baru.Jakarta: ELSAM, 2000.

4 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


yang lebih tinggi”,3 pengakuan-pengakuan itu diatur lebih lanjut
agar dapat dilaksanakan di tingkat lapangan. Terkait dengan ke-
melut politik dan krisis ekonomi pada tahun-tahun pada paruh
pertama decade 1960-an, pengakuan atas hak-hak masyarakat
adat ini justru dikudeta (baca: dibatalkan) melalui pemberlakuan
beberapa undang-undang sektoral. Misalnya seperti yang dila-
kukan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Pokok-pokok Kehutanan, Undang-undang No. 11 Tahun 1967
tentang Pertambangan, dan juga Undang-undang Nomor 5 Ta-
hun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pengingkaran itu telah
menghancurkan kehidupan banyak kelompok masyarakat adat
di negeri ini.4
Pada ranah kehutanan, berdasarkan Undang-Undang No. 5
Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, diterbitkan pula
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pe-
nguasaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Dalam per-
aturan pemerintah ini, atas nama pembangunan sektor kehutan-
an, tegas-tegas dinyatakan bahwa hak-hak adat yang ada di
dalam sebuah konsesi pengusahaan hutan dibekukan. Demikian
pula dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 251/
Kpts-11/1993 tentang Ketentuan Pemungutan Hasil Hutan oleh

3
ini masih diwarnai sejumlah bias. Antara lain masih terkandungnya ‘bias adat Melayu’, ‘bias per
adaban modern’, dan ‘bias agraris’. Tentang hal ini lihat R. Yando Zakaria & Djaka Soehendera

7 September 1994.
4 Zakaria (2000)., loc.cit -
(dalam proses penerbitan).
eds., 1997.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 5


Masyarakat Hukum Adat atau Anggotanya di dalam Areal Hak
Pengusahaan Hutan, yang mengatur, antara lain, masyarakat
adat diizinkan memungut hasil hutan pada masyarakat adat
‘yang masih ada’ berdasarkan keputusan dari Bupati dan juga
harus ada izin dari pejabat kehutanan yang berwenang.5 Pasca
reformasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Ke-
hutanan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, yang disebut-sebut se-
bagai hasil amanat reformasi, meski menyatakan keberadaan
hutan adat, namun hutan adat itu termasuk ke dalam apa yang
disebut sebagai ‘kawasan hutan negara’ (Pasal 1 ayat 6), karena-
nya pengaturannya berada dalam kewenangan Pemerintah cq.
Kementerian Kehutanan (pasal 4 ayat 2).
Tidak heran jika saat ini salah satu bentuk konflik agraria
(atau sengketa agraria) yang marak di seantero negeri ada-
lah konflik antara masyarakat adat dengan pihak-pihak lain –
utamanya Pemerintah maupun swasta – yang memiliki hak atas
tanah berdasarkan atas hak yang bersumber pada hukum Na-
sional tertentu. Sebagaimana yang terjadi di Mesuji – Lampung
dan Sumatera Selatan, masyarakat lokal di Bima-NTB, petani
kemenyan di Sumut, masyarakat suku Sakai di Bengkalis Riau,
masyarakat kampung Tangun di Rokan Hulu Riau, dan lain seba-
gainya.6

yang lalu.

6 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


Maka, kita pun tahu bahwa Undang-undang Nomor 5 Ta-
hun 1979 tentang Pemerintahan Desa termasuk ke dalam paket
undang-undang yang dicabut pada masa-masa awal reformasi.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah pun diberlakukan. Menarik untuk merenungkan kembali
apa yang dikatakan kebijakan baru ini tentang kebijakan tentang
desa di masa lalu. Pada Bagian Menimbang butir e. dinyatakan
bahwa: “...bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 ten-
tang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan nama, ben-
tuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa, tidak sesuai
dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 dan perlunya meng-
akui serta menghormati hak asal usul Daerah yang bersifat
istimewa sehingga perlu diganti”.
Dinamika kebijakan yang demikian itu kemudian dikonsep-
sikan sebagai akibat dari ketidakjelasan amanat Pasal 18 UUD
1945 itu sendiri. Pada tahun 2000, melalui proses amandemen
UUD 1945 ketidak-jelasan itu diluruskan dengan memilah Pasal
18 lama menjadi 3 (tiga) pasal baru yang mengandung sejumah
ayat baru pula. Masing-masing adalah Pasal 18 (baru), Pasal
18A, dan Pasal 18b. Melalui pemilihan ini salah satunya pelurus-
an yang tegas adalah adanya perbedaan antara “desa” dan “dae-
rah” yang lebih besar (supradesa) dalam bingkai penyelenggara-
an hubungan sistem pemerintahan secara Nasional. Secara
khusus Pasal 18B ayat (2) dinyatakan pula bahwa: “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prin-
sip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.” Amandemen Pasal 18 pada dasarnya mem-
perkuat konteks pengakuan (rekognisi) keberadaan desa, yang

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 7


pada dasarnya memang berbeda dengan—serta bukan merupa-
kan bagian dari sub-sistem—daerah yang lebih besar. Otonomi
desa, jika dapat dikatakan begitu, tidak lagi merupakan bagian
dari otonomi daerah.7
Meski pun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah disahkan setelah amandemen Pasal 18
(lama) itu, nyatanya status dan kedudukan sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 18B ayat (2) itu dinilai berbagai pihak be-
lumlah sebagaimana mestinya. Upaya-upaya untuk merevisi Un-
dang-Undang No. 32 Tahun 2004 ini pun terus bergulir.8
Pada tahun 2007, seiring dengan perubahan-perubahan ke-
bijakan pada aspek pemerintahan dan ketatanegaraan yang lain,
ada kesepakatan Nasional tentang pemilahan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 ini ke dalam 3 (tiga) undang-undang,
yakni Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Undang-
Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah, dan Undang-Un-
dang tentang Desa. Melalui proses yang cukup panjang, pada
hari Rabu tanggal 18 Desember 2013 yang lalu, Rancangan
Undang-Undang Desa disahkan DPR sebagai Undang-Undang.
Betapapun, pengesahan undang-undang yang kemudian dica-
tat sebagai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
ini merupakan tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia. Sebab,
sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, baru kali

8
Desa

8 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


inilah ada undang-undang yang secara khusus mengatur ten-
tang “desa” dan “desa adat”, sebagai jalan untuk mengimple-
mentasikan amanat Pasal 18 (lama) jo Pasal 18B ayat (2) pasca
amandemen. Termasuk amanat pengakuan dan penghormatan
atas desa atau disebut dengan nama lain yang memang sangat
beragam itu.

Tujuan
Sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang dimaksud,
pengaturan lebih lanjut tentang Desa Adat itu akan diatur dalam
berbagai aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan
Daerah Provinsi, dan bahkan Peraturan Daerah. Secara normatif
tugas dasar peraturan pelaksana atau regulasi adalah menjalan-
kan atau melaksanakan perintah peraturan perundang-undang-
an yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, peraturan pelaksana
merupakan bagian dari implementasi hukum. Secara koseptual,
implementasi hukum berfungsi untuk membuat undang-un-
dang berdampak pada masyarakat, utamanya kelompok yang
diatur. Peraturan pelaksana merupakan jembatan yang menghu-
bungkan peraturan perundangan yang lebih tinggi dengan ma-
syarakat. Sebagai peraturan pelaksana, peraturan pemerintah
(PP) untuk UU No. 6/2014 (selanjutnya UU Desa) juga diharap-
kan membuat UU Desa bisa berjalan atau berdampak pada
masyarakat desa. Salah satu cara awal untuk membuat PP untuk
UU Desa memiliki kemampuan demikian adalah dengan menge-
nali kerakteristik UU tersebut. Karakteristik tersebut bukan hanya
menyangkut kedudukan UU Desa dalam sistem legislasi nasional

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 9


(normatif) tetapi juga menyangkut kedudukannya sebagai instru-
men untuk mendorong perubahan sosial di tingkat desa.9
Agar berbagai perangkat peraturan perundangan-undang-
an itu dapat tersusun sebagai mestinya, sehingga tidak berten-
tangan dengan semangat awal penyusunan undang-undang di-
maksud, maka dirasa perlu untuk menyusunan suatu Naskah
Kebijakan yang berkaitan dengan Pengaturan tentang Penataan
Desa Adat tersebut. Hal ini menjadi terasa penting mengingat
adanya perkembangan baru tentang pengakuan dan penghor-
matan atas hak-hak tradisonal kesatuan masyarakat hukum adat,
sebagaimana yang dituangkan ke dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012.
Sebagaimana diketahui, salah satu alasan mengapa amanat
Pasal 18 (lama) dan juga Pasal 18B ayat (2) pasca amandemen
tidak kunjung terealisasikan sebagaimana mestinya adalah kare-
na belum adanya kesepakatan para pihak tentang siapa yang di-
maksud dengan ‘kesatuan masyarakat hukum adat’ dan makna
dua kondisionalitas yang menyertai pengakuan dan penghorma-
tan hak-hak tradisional dari kesatuan masyarakat hukum adat
itu sendiri.10

10

10 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


Dalam proses legislasi yang melahirkan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, persoalan ini juga menge-
muka. Beberapa pasal yang ditujukan untuk mewujudkan peng-
akuan dan penghormatan atas hak asal-usul yang melekat pada
kesatuan masyarakat hukum adat yang telah dikonsepsikan se-
bagai “desa adat’ dalam undang-undang baru tentang desa ini
sempat ditunda pembahasannya karena perlu rapat konsultasi
antar kementerian dan lembaga terkait, seperti Badan Pertanah-
an Nasional dan Kementerian Kehutanan, misalnya. Syukurlah,
di tengah situasi yang demikian itu, Mahkamah Konstitusi telah
mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun
2012 yang merupakan jawaban atas beberapa gugatan Alinasi
Masyarakat Adat Nusantara, Kenegerian Kuntu, dan Kasepuhan
Cisitu, atas beberapa pasal yang dianggap merugikan hak-hak
masyarakat adat yang ada pada Undang-Undang Nomor 41 Ta-
hun 1999 tentang Kehutanan.
Fakta hukum yang demikian tentunya secara langsung
mempengaruhi konsepsi-konsepsi hukum yang berkaitan de-
ngan pengakuan dan penghormatan atas hak-hak asal-usul (se-
belum amandemen) atau hak-hak tradisional (pasca amande-
men) dari kesatuan masyarakat itu. Pada satu sisi, berbagai
putusan yang ada dalam Putusan MK No. 35/2012 itu, bersama
dengan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi lain terkait de-
ngan pengakuan keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat
secara langsung diadopsi sebagai norma-norma hukum yang
mengatur keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat cq.
desa adat. Pada sisi lain, kehadiran makna baru atas amanat
pengakuan dan penghormatan atas hak-hak masyarakat hukum
adat itu seharusnya juga dapat mengubah tafsir atas beberapa
norma pengaturan yang ada pada sejumlah undang-undang

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 11


yang berkaitan dengan pengakuan dan penghormatan atas hak-
hak masyarakat hukum adat yang telah ada sebelum ini.
Dengan demikian, Naskah Kebijakan ini dimaksud untuk,
pertama, membangun pemahaman baru tentang makna peng-
akuan dan penghormatan atas hak-hak kesatuan masyarakat
hukum adat; dan kedua, berdasarkan tafsir baru ini mengusul-
kan pokok-pokok pengaturan lebih lanjut yang dianggap perlu
dilakukan, lengkap dengan rekomendasi-rekomendasi yang se-
cara langsung terkait dengan pasal-pasal pengaturan penataan
desa adat yang telah dan dalam Undang-Undang Nomor 6 Ta-
hun 2014 tentang Desa.

Rancangan Isi
Kertas kebijakan ini terdiri dari 6 bab, sebagai berikut :
UÊ BAB 1. Pendahuluan, yang berisi latar belakang penje-
lasan kerangka dasar otonomi desa seperti yang tertuang
dalam Pasal 18B ayat (2) UU Dasar 1945 dan tujuan dari
penulisan Kertas Kebijakan ini.
UÊ BAB 2. Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 dan Implikas-
inya Terhadap Pengaturan Lebih Lanjut tentang Hak-Hak
Masyarakat Hukum Adat, memaparkan dengan terbitnya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 ten-
tang Pengujian UU No. 41/1999 tentang Kehutanan terha-
dap Konstitusi, yang telah menegaskan bahwa masyarakat
hukum adat adalah Penyandang Hak, Subjek Hukum, dan
Pemilik Wilayah Adatnya. Dalam bab ini juga dijelaskan
betapa beragamnya karakteristik wilayah adat di seantero

12 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


kepulauan Indonesia. Mulai dari yang menempati wilayah
perdesaan, pedalaman, hingga pesisir; baik di dataran ren-
dah maupun dataran tinggi; dalam lanskap hutan belantara
hingga padang rumput savana. Keragaman wilayah itu juga
mempengaruhi cara hidup mereka berproduksi memenuhi
kebutuhan fisik, mulai dari berburu dan mengambil hasil
hutan, bertani-berladang, hingga bertani menetap dengan
mengerjakan sawah. Selain masyarakat hukum adat hidup di
lanskap alam yang berbeda-beda, masyarakat hukum adat
juga mempunyai perbedaan status di dalamnya yang berda-
sarkan pada pembagian kelas, kekuasaan, ras, keturunan,
dan jenis kelamin. Perbedaan karakteristik ekologis, sosial,
dan geografis itu membentuk perbedaan cara memenuhi
kebutuhan hidup melalui tata produksi-konsumsinya, yang
juga terkait secara langsung maupun tidak dengan sistem
pengaturan kepenguasaan atas tanah. Masyarakat hukum
adat memiliki karakteristik khusus sebagai pemilik tanah-wi-
layah adat. Yang kemudian pada rejim orde baru, keragam-
an ini mengalami kehancuran melalui proses penyeragaman
konsep pengelolaan wilayah masyarakat hukum adat terse-
but menjadi desa pemerintah, juga penyerobotan menjadi
wilayah-wilayah yang diklaim oleh Negara.
UÊ BAB 3. Pengaturan Masyarakat Hukum Adat Dalam
Beberapa Undang-Undang, memaparkan bagaimana
pengaturan terkait keberadaan masyarakat hukum adat da-
lam beberapa undang-undang yang ada di Indonesia memi-
liki dua karakter, yakni: Pertama, norma undang-undang
yang sejalan atau selaras dengan norma konstitusi dalam
posisinya sebagai suatu pengaturan lanjutan terhadap nor-
ma konsitusi, dalam hal ini norma pengakuan Negara terha-

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 13


dap masyarakat hukum adat yang diletakan dalam Pasal 18
B Ayat (2) UUD 1945. Kedua, pengaturan yang tidak selaras
dengan norma Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945.
UÊ BAB 4. Beberapa Peraturan Daerah Terkait Masyarakat
Hukum Adat di Indonesia, memaparkan beberapa Peratur-
an Daerah (Perda) – terkait pada pengaturan tentang Desa
Adat dalam UU 6/2014 tentang Desa - di beberapa dae-
rah secara umum yang merupakan turunan langsung dari
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2005. Dimana
Perda-Perda tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut tentang
perlindungan terhadap masyarakat hukum adat sebagai pe-
nyandang hak, subyek hukum, dan pemilik wilayah adat.
UÊ BAB 5. Pokok-Pokok Pengaturan Desa Adat Dalam UU
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, memaparkan analisis
kritis atas pasal-pasal dalam Bab XII Undang-Undang No-
mor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang terbagi kedalam 4
kategori pengaturan, yakni 1) pengaturan tentang Penataan
Desa Adat; 2) pengaturan tentang wewenang Desa Adat;
3) pengaturan tentang Pemerintahan dan Peraturan Desa
Adat; 4) pengaturan tentang hubungan antara pengaturan
di Bab XIII Pasal 96 – 111 dengan Pasal-Pasal lain dalam
Undang-Undang Desa, dan
UÊ BAB 6. Rekomendasi, memaparkan hal-hal yang menjadi
perhatian untuk diatur lebih lanjut dalam Rancangan Per-
aturan Pemerintah (RPP) tentang Desa Adat.

14 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


BAB 2
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 35 TAHUN 2012 DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PENGATURAN
LEBIH LANJUT TENTANG HAK-HAK
MASYARAKAT HUKUM ADAT

Sejak 16 Mei 2013, hutan adat bukan lagi bagian dari hutan
negara yang berada di bawah penguasaan Kementerian Kehu-
tanan, tapi “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat”. Mahkamah Konstitusi memutuskan
demikian dalam perkara nomor 35/PUU-X/201211, berkenaan
dengan gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
bersama dua anggotanya, yakni kesatuan masyarakat hukum
adat Kenegerian Kuntu, dan kesatuan masyarakat hukum adat
Kasepuhan Cisitu. Mereka memohon Mahkamah Konstitusi Re-
publik Indonesia (selanjutnya disebut MK) menguji konstitusio-
nalitas Pasal 1 Angka 6, dan beberapa pasal lainnya, dalam UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

11

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 15


Putusan MK itu meralat kekeliruan praktek kelembagaan
Kementerian Kehutanan dengan menegaskan norma konstitu-
si yang memberikan pengakuan terhadap status masyarakat
hukum adat sebagai penyandang hak dan subyek hukum atas
tanah-wilayah adatnya. Sebagai penjaga norma konstitusi (cons-
titutional guardian) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,
MK telah menegaskan bahwa selama ini UU No. 41/1999 ten-
tang Kehutanan telah menyalahi konstitusi dengan memasuk-
kan hutan adat ke dalam kategori hutan negara. Kategorisasi
itu – yang telah diimplementasikan sedemikian rupa lamanya
oleh praktek-praktek kelembagaan pemerintah – adalah berten-
tangan dengan Pasal 18B Ayat (2) yang berbunyi bahwa “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prin-
sip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”.
Menurut MK,

“Dalam ketentuan konstitusional tersebut, terdapat satu hal


penting dan fundamental dalam lalu-lintas hubungan hukum.
Hal penting dan fundamental tersebut adalah masyarakat hu-
kum adat secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai
“penyandang hak” yang dengan demikian tentunya dapat pula
dibebani kewajiban. Dengan demikian masyarakat hukum adat
adalah subyek hukum. Sebagai subyek hukum di dalam suatu
masyarakat yang telah menegara maka masyarakat hukum adat
haruslah mendapat perhatian sebagaimana subyek hukum yang
lain ketika hukum hendak mengatur, terutama mengatur dalam
rangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan” (Mahkamah
Konstitusi 2012:168).

16 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


Putusan MK itu menantang mekanisme negara-isasi wilayah
adat, yang memasukkan wilayah adat dalam kategori “tanah ne-
gara”, “hutan negara” dan sejenisnya. Kemudian atas dasar ke-
wenangan legalnya, pejabat publik mengeluarkan lisensi konsesi
kehutanan untuk perusahaan-perusahaan, atau badan peme-
rintah, yang memasukan tanah/wilayah kepunyaan rakyat itu
kedalam konsesi-konsesi perusahaan-perusahaan atau instansi
pemerintah untuk usaha-usaha ekstraksi sumber daya alam dan
produksi komoditas global, maupun konservasi sumber daya
alam. Inilah mekanisme dasar dari apa yang dirasakan dan atau
diekspresikan mereka sebagai perampasan tanah, perampokan
sumber daya alam, penggusuran tempat tinggal, maupun pe-
nyempitan ruang kelola. Ketika suatu kelompok rakyat, dan para
pembelanya, menentang legitimasi dari proses ini melalui tin-
dakan langsung dan terus-menerus, terbentuklah kasus konflik
agraria. Konflik agraria yang bersifat struktural ini menjadi kronis
dan meluas karena penanganannya sama sekali tidak kuat (Ra-
chman 2013b).
Beberapa istilah kunci dalam kalimat di atas itu perlu penje-
lasan, yang berkenaan mengenai status masyarakat hukum
adat. Pertama, status masyarakat hukum adat sebagai suatu
subyek hukum (legal personality) tersendiri. Sebagaimana dite-
rangkan oleh Wignyosoebroto (2012). Istilah masyarakat hu-
kum adat sebaiknya dipahami dalam padanan bahasa Belanda
rechtsgemeenschap, dan dasar pembentukan katanya, yakni
“masyarakat hukum” dan “adat”, dan bukan “masyarakat” dan
“hukum adat”. Masyarakat hukum ini dipadankan pula dengan
istilah persekutuan hukum (seperti yang dipakai oleh Muhamad
Yamin). Istilah ini juga diberi kata “kesatuan” didepannya, hingga
menjadi kesatuan masyarakat hukum (seperti pada penjelasan

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 17


umum angka 9 UU No. 22/1999). Masyarakat hukum adalah
suatu subyek hukum tersendiri, yang dibedakan dengan subyek
hukum lainnya, seperti individu, atau badan hukum (perusahaan
terbatas, koperasi, yayasan, perkumpulan, dan lain sebagainya).
Kedua, status masyarakat hukum adat sebagai penyan-
dang hak. Istilah “penyandang hak” yang ditambahkan pada
masyarakat hukum itu, dipakai oleh Putusan MK itu dengan
maksud bahwa masyarakat adat itu memiliki posisi yang sudah
ada dalam dirinya sendiri sebagai pihak yang berhak (entitled),
dan hak itu bukanlah sesuatu yang diterimanya sebagai pem-
berian. Kata penyandang digunakan dalam bahasa Indonesia
dalam istilah “penyandang hak”, “penyandang gelar”, atau pe-
nyandang dana – yang kesemuanya menunjukkan bahwa subyek
itu telah layak untuk mendapatkannya baik karena karakteristik
tubuhnya (dalam kasus kata “penyandang cacat”), atau karena
proses yang telah dilaluinya (dalam kasus kata “penyandang ge-
lar”), atau karena perbuatan yang dilakukannya “dalam kasus
kata “penyandang dana”). Istilah “penyandang hak” adalah se-
maksud dengan istilah “pemangku hak”, “pemilik hak”, atau
“penampuk hak”, walau tentu saja perlu diperhatikan perbedaan
arti konotatif dari istilah masing-masing. Istilah serupa dalam ba-
hasa Inggris adalah right bearer, right bearing subject atau right
holder.
Ketiga, status masyarakat adat sebagai pemilik wilayah
adatnya. Undang-undang Dasar Republik Indonesia mengakui
hak ini bagian dari “hak asal-usul”. Dalam konteks politik agra-
ria kehutanan, status masyarakat adat sebagai pemilik wilayah
adatnya ini penting untuk dibedakan dengan ijin pemanfaatan
atas suatu bidang hutan Negara yang merupakan pemberian

18 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


dari pemerintah (dalam hal ini adalah Menteri Kehutanan) kepa-
da suatu perusahaan tertentu. Apa yang dimaksud oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 adalah pengaku-
an negara atas status masyarakat hukum adat sebagai pemilik
wilayah adatnya, termasuk hutan adat di dalamnya.
Putusan MK atas permohononan judicial review itu adalah
untuk mengubah sejumlah pasal dalam UU No. 41/1999 ten-
tang Kehutanan.12 Pertama, untuk pasal 1 angka 6 yang berbu-
nyi “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wila-
yah masyarakat hukum adat”, MK memutuskan menghapus
kata “negara” dalam kalimat itu, sehingga rumusannya menjadi
“Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masya-
rakat hukum adat.” Kedua, untuk pasal 4 ayat (3) yang berbu-
nyi “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan ke-
pentingan nasional”, MK menghilangkan kalimat bersyarat itu
“sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya,
serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional” dan
mengubahnya menjadi “sepanjang masih hidup dan sesuai de-
ngan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.” Ketiga,
untuk pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2), yang berbunyi “Hu-
tan berdasarkan statusnya terdiri dari (a) hutan negara, dan (b)
hutan hak”, dan “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 huruf a, dapat berupa hutan adat”, MK menghilangkan
Pasal 5 ayat (2) itu. Hutan adat dimasukkan ke dalam kategori
hutan hak. Sehingga rumusannya menjadi “Hutan berdasarkan

12

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 19


statusnya terdiri dari (a) hutan negara, dan (b) hutan hak”, dan
“Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a,
tidak termasuk hutan adat”. Keempat, untuk pasal 5 ayat (3)
“Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang
menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersang-
kutan masih ada dan diakui keberadaannya”, dihilangkan kata-
kata “ayat (2)”. Sehingga menjadi “Pemerintah menetapkan sta-
tus hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat
ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum
adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.
Dan terakhir, Kelima, MK menghapus seluruh penjelasan Pasal
5 ayat (1), yang berbunyi

“Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang
diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (re-
chtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hu-
tan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya.
Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam
pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak mengu-
asai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada
tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian
hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya,
untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Hutan negara yang
dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa
disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya
ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kema-
syarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak
milik lazim disebut hutan rakyat.”

20 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


Makna Putusan MK No. 35/2012
Putusan MK ini meralat Negara-isasi Wilayah Adat, yakni
bahwa wilayah adat (yang didalamnya terdapat permukiman,
tanah pertanian/perladangan, tanah bera, padang pengembala-
an, wilayah perburuan, hutan yang berisikan tanam tumbuh dan
binatang-binatang, pesisir dan pantai, serta kekayaan alam di
dalam bumi), dikategorikan oleh pemerintah sebagai “tanah ne-
gara” dan “hutan negara”, lalu atas dasar kewenangan berda-
sarkan peraturan perundang-undangan, pejabat publik mema-
sukan sebagian atau seluruh wilayah adat itu menjadi bagian
dari lisensi-lisensi yang diberikan badan-badan pemerintah pu-
sat dan daerah ke perusahaan-perusahaan yang melakukan eks-
traksi sumber daya alam, dan produksi perkebunan/kehutanan/
pertambangan untuk menghasilkan komoditas global, atau juga
badan pemerintah dalam mengelola kawasan koservasi (Taman
Nasional, Taman Hutan Raya, dll.).13 Negara-isasi ini adalah
sumber penyangkalan eksistensi masyarakat hukum adat beser-
ta hak-haknya, dan kriminalisasi rakyat.
Para pelajar sejarah agraria dan kehutanan Indonesia meng-
etahui bahwa penyangkalan dan kriminalisasi ini merupakan
praktik kelembagaan dari pemerintah kolonial (dan juga kemu-
dian dilanjutkan oleh pemerintah pasca kolonial) yang menggu-
nakan kewenangan-kewenangan legal pemerintah pusat yang
diatur oleh undang-undang untuk menguasai sumber daya hu-
tan.14 Putusan MK in merupakan koreksi terharap hal tersebut,

13
14

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 21


dan memulihkan status dari masyarakat hukum adat. Apa yang
dilakukan MK merupakan perwujudan pesan Mr. Muhammad
Yamin untuk menjaga “... kesanggupan dan kecakapan bang-
sa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah
sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu, dapat diperhatikan
pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau
Jawa, 700 Nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan
di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di
Minahasa, dan lain sebagainya.” Pandangan Muhammad Yamin
inilah yang ikut menginspirasikan rumusan pasal 18 B Ayat (2)
UUD 1945 (Hedar Laujeng 2012, Zakaria 2012).
Wilayah adat itu beragam karakteristiknya di seantero kepu-
lauan Indonesia: Mulai dari yang menempati wilayah perdesaan,
pedalaman, hingga pesisir; baik di dataran rendah maupun
dataran tinggi; dalam lanskap hutan belantara hingga padang
rumput savana. Keragaman wilayah itu juga mempengaruhi cara
hidup mereka berproduksi memenuhi kebutuhan fisik, mulai dari
berburu dan mengambil hasil hutan, bertani-berladang, hingga
bertani menetap dengan mengerjakan sawah. Selain masyarakat
hukum adat hidup di lanskap alam yang berbeda-beda, dan
masyarakat hukum adat juga mempunyai perbedaan status di
dalamnya yang berdasarkan pada pembagian kelas, kekuasaan,
ras, keturunan, dan jenis kelamin.15 Perbedaan karakteristik eko-
logis, sosial, dan geografis itu membentuk perbedaan cara me-
menuhi kebutuhan hidup melalui tata produksi-konsumsinya,
yang juga terkait secara langsung maupun tidak dengan sistem
pengaturan kepenguasaan atas tanah. Masyarakat hukum adat

15
Lihat Sangaji (2012)

22 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


memiliki karakteristik khusus sebagai pemilik tanah-wilayah
adat.16
Kenyataan pahit banyak dialami oleh kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat Indonesia, termasuk ketika mereka ber-
ada di bawah rezim Orde Baru (1966-1998) hingga masa refor-
masi (1998-sekarang). Sumber utama penderitaan masyarakat
adat adalah karena dimasukkannya seluruh atau sebagian dari
wilayah adat ke kawasan hutan negara. Dengan mengeluarkan
berbagai lisensi konsesi untuk ekstraksi dan produksi kayu hing-
ga konservasi sumber daya alam dan restorasi ekosistem, Men-
teri Kehutanan memberi legalitas melalui ijin-ijin (lisensi) untuk
berbagai bentuk konsesi kehutanan yang menguasai luasan ta-
nah dan mengusahakan pembalakan kayu, dan penamaman po-
hon untuk kebutuhan industri bubur kertas dalam skala raksasa.
Perampasan tanah terjadi ketika perusahaan-perusahaan raksa-
sa pemegang konsesi-konsesi atau instansi pemerintah itu me-
ngusir rakyat dari tanah dan wilayah hidupnya, baik dengan atau
tanpa program pemukiman kembali (resettlement).
Ketika kelompok-kelompok masyarakat adat itu secara spo-
radik memprotes keabsahan dari lisensi-lisensi itu, dan menen-
tang pemegang lisensi-lisensi yang mengambil alih penguasa-
an mereka itu, mulailah terbentuk konflik agraria. Dalam hal
ini, konflik agraria dimengerti sebagai pertentangan klaim yang
terbuka mengenai siapa yang berhak atas satu bidang tanah/
wilayah, antara kelompok rakyat dengan badan-badan penguasa
tanah luas, termasuk perusahaan-perusahaan yang menguasai

idilic dalam suatu gambaran yang indah dan harmonis dengan alam

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 23


konsesi-konsesi kehutanan, dan lainnya; Pihak-pihak yang ber-
tentangan tersebut kemudian berupaya dan bertindak, secara
langsung maupun tidak, menghilangkan klaim pihak lain (Rach-
man 2013b).
Situasi demikian lah yang pada gilirannya menjadi sumber
dari gerakan sosial yang terkoordinasi secara nasional. Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), adalah salah satu dari orga-
nisasi gerakan sosial yang terkemuka dan mengartikulasikan se-
cara jelas tuntutannya dalam moto: “kalau Negara tidak meng-
akui kami, kami pun tidak mengakui Negara”. Penulis mengamati
perjalanan AMAN semenjak pendiriannya setahun setelah tum-
bangnya rejim otoritarian di bawah kepemimpinan Jenderal Su-
harto di tahun 1999, dan memahami bahwa perjuangan yang
diusung AMAN adalah perjuangan tanah-air masyarakat adat
yang digerakkan utamanya oleh perlawanan atas perampasan
wilayah adat (Rachman 2012b, 2013a).
Status masyarakat hukum adat sudah demikian lama tidak
diakui sebagai penyandang hak, subyek hukum tersendiri, dan
pemilik tanah-wilayah adatnya. Putusan MK menyebutkan bah-
wa dibandingkan dengan dua subyek hukum lainnya, yakni pe-
merintah dan perusahaan pemegang hak atas tanah, masya-
rakat hukum adat diperlakukan berbeda dan tidak secara jelas
diatur oleh UU No. 41/1999 tentang Kehutanan tentang haknya
atas tanah maupun hutan.

“Dengan perlakuan berbeda tersebut masyarakat hukum adat se-


cara potensial, atau bahkan dalam kasus-kasus tertentu secara
faktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam
untuk kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya, sehingga ma-
syarakat hukum adat mengalami kesulitan dalam memenuhi ke-

24 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


butuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan acap-
kali hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan
cara sewenang-wenang, sehingga tidak jarang menyebabkan ter-
jadinya konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak”
(Mahkamah Konstitusi 2013:169).

Seperti telah disebutkan dimuka, dipandang dari perspektif


sejarah, hal ini pun berlangsung semenjak masa kolonial Hindia
Belanda. Kriminalisasi terhadap akses rakyat secara adat atas
tanah dan sumber daya hutan bukan hanya merupakan konse-
kuensi dari pembentukan kawasan hutan negara, melainkan
penguasaan negara atas kawasan hutan Negara juga dibentuk
melalui kriminalisasi demikian itu. Dengan kata lain, secara aktu-
al terdapat hubungan yang saling membentuk antara penguasa-
an klaim kawasan hutan negara dengan kriminalisasi atas akses
rakyat terhadap tanah dan hutan yang berada di kawasan hutan
negara itu. Konsep penguasaan negara yang demikian ini pada
mulanya adalah prinsip dalam politik agraria kolonial kemudi-
an dinasionalisasikan sedemikian rupa sehingga dimuat dalam
peraturan perundang-undangan Repubik Indonesia. UU No.
5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan dan turunannya adalah
peraturan perundang-undangan yang meneruskan kontrol dan
kriminalisasi terhadap akses masyarakat hukum adat tanah dan
hutan itu. Hal ini kemudian diteruskan oleh UU No. 41/1999 ten-
tang Kehutanan.17
Pasal 5 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan memasukkan
hutan adat dalam kategori hutan Negara. Penjelasan pasal 5 itu
menyebutkan

17
sistemnya.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 25


“Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang
diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (re-
chtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut
hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lain-
nya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di
dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak
menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia (garis bawah, tambahan penulis)”.

Pendapat Mahkamah Konstitusi mengenai rumusan Penje-


lasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan itu adalah sebagai berikut:

“Dalam penilaian hukum terhadap Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan,


Mahkamah berpendapat bahwa hutan hak harus dimaknai bahwa
hutan hak terdiri dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan
hukum. Dengan demikian, hutan adat termasuk dalam kategori
hutan hak, bukan hutan negara; Berdasarkan pertimbangan hu-
kum di atas, menurut Mahkamah, Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU
Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945” (Mahkamah Konsti-
tusi 2012:168).

Sesungguhnya perbuatan memasukkan tanah-wilayah adat


ke dalam kategori hutan Negara itu – apa yang diistilahkan oleh
Noer Fauzi Rachman sebagai negara-isasi tanah-wilayah kepu-
nyaan rakyat dan yang disampaikan dalam keterangan ahli di
dalam sidang Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 35/
PUU-X/2012, (Mahkamah Konstitusi 2013:66-68) – adalah sua-
tu bentuk khusus dari penyangkalan status masyarakat hukum
adat sebagai penyandang hak dan pemilik tanah-wilayah adat-
nya. Mekanisme lanjut dari penyangkalan itu adalah pengguna-
an kewenangan pemerintah pusat, yakni Menteri Kehutanan,

26 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), atau pejabat peme-
rintah daerah (Bupati dan Gubernur) memberi ijin/hak/lisensi
pemanfaatan sumber daya alam untuk instansi pemerintah atau
perusahaan-perusahaan raksasa untuk usaha kehutanan/perke-
bunan/ pertambangan.
Mahkamah Konstitusi tidak membenarkan penyangkalan itu
dan penggunaan alasan “sebagai konsekuensi adanya hak me-
nguasai oleh Negara” untuk perbuatan menyangkal itu.18 Berke-
naan dengan penyangkalan itu, Mahkamah Konstitusi berpen-
dapat bahwa

“Berlakunya norma yang tidak menjamin kepastian hukum dan


menimbulkan ketidak-adilan terhadap masyarakat hukum adat
dalam kaitannya dengan hutan sebagai sumber-sumber kehidup-
an mereka, karena subyek hukum yang lain dalam Undang-Un-
dang a quo memperoleh kejelasan mengenai hak-haknya atas
hutan. Masyarakat hukum adat berada dalam posisi yang lemah
karena tidak diakuinya hak-hak mereka secara jelas dan tegas
ketika berhadapan dengan negara dengan hak menguasai yang
sangat kuat. Seharusnya penguasaan negara atas hutan dipergu-
nakan untuk mengalokasikan sumber daya alam secara adil demi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Mahkamah Konstitusi
2013:170).

MK mengkritik penggunaan dan penyalahgunaan konsep


“Hak Menguasai Negara” yang sangat kuat itu.19 MK menetap-
kan tidak boleh terjadi lagi penggunaan dan penyalahgunaan

18
19

(2002).

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 27


alasan HMN yang sangat kuat itu yang berakibat penyangkalan
status masyarakat hukum adat sebagai penyandang hak (rights
bearer/rights holder), dan sekaligus penyangkalan masyarakat
adat sebagai subyek hukum pemilik atas tanah-wilayah adatnya.
Sejak mula, MK telah menetapkan definisi apa yang dimak-
sud dengan “konsep menguasai” sebagaimana dimaksudkan
oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Dalam putusannya atas perkara
nomor 001-021-022/PUU-I/2003 mengenai judicial review atas
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenaga-lis-
trikan, MK menjelaskan lima bentuk tindakan penguasaan nega-
ra, yaitu pembuatan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (be-
heersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) (Mah-
kamah Konstitusi 2004:332-337). Adapun tolok-ukur pencapai-
an tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dirumuskan
menjadi empat yakni (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi
rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi
rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat
sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat
secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam
(lihat table 2).20
Tantangan terbesar saat ini adalah menemukan cara yang
manjur untuk mengoreksi kebijakan-kebijakan dan praktek ke-
lembagaan pemerintah yang menyangkal status masyarakat
hukum adat sebagai penyandang hak dan subyek hukum atas
wilayah adatnya. Mahkamah Konstitusi telah memulai menegas-
kan norma konstitusi untuk ralat itu. Mahkamah Konstitusi tel-

20 2008, 2011, 2012), yang mengembangkan anali

berkait sumberdaya alam.

28 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


ah “memukul gong” dan membuat “pengumuman deklaratif”
meralat penyangkalan itu. Agenda berikutnya yang menarik un-
tuk disaksikan tentunya adalah bagaimana badan-badan peme-
rintah menindak-lanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi itu. Putus-
an Mahkamah Konstitusi atas Perkara nomor 35/PUU-X/2012 ini
meralat politik hukum agraria kolonial (yang terus dilanjutkan
oleh pemerintah paska kolonial) bahwa masyarakat hukum adat
adalah penyandang hak, subyek hukum tersendiri, dan pemi-
lik wilayah adatnya. Soetandyo Wignyosoebroto (1998) dalam
suatu kesempatan menyatakan bahwa

“Pengakuan oleh negara atas hak-hak atas tanah masyarakat adat


padahakekatnya adalah suatu refleksi kesediaan para pengemban
kekuasaannegara untuk mengakui eksistensi masyarakat adat
yang otonom, dan kemudian dari pada itu juga untuk mengakui
hak-hak masyarakat adat itu atas tanah dan segenap sumber
daya alam yang ada di atas dan/atau di dalamnya – yang bernilai
vital untuk menjamin kelestarian fisik dan non fisik masyarakat
tersebut.”

Hal ini benar adanya. MK adalah bagian dari pengemban


kekuasaan Negara, yang dengan sepenuhnya menyadari posisi-
nya sebagai penentu norma konstitusional tertinggi. Putusan MK
35 yang menetapkan perubahan status hutan adat dari kategori
hutan negara ke hutan adat adalah putusan yang istimewa karena
bagian dari perjuangan hak kewarganegaraan dari satu golong-
an penduduk dalam Republik Indonesia, yang mengidentifikasi
dirinya sebagai masyarakat adat. Ini adalah suatu perjuangan
tanah-air, perjuangan dari suatu golongan masyarakat dalam
Republik Indonesia yang hak kewarganegaraannya belum terpe-
nuhi.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 29


Kedudukan Pengaturan mengenai Desa Adat
Pengaturan tentang Desa Adat dalam UU No. 6/2014 ten-
tang Desa perlu ditempatkan sebagai babak baru dari perjalan-
an mengkoreksi kekeliruan fatal dari UU No. 5/1979 tentang
Pemerintahan Desa. Kekeliruan fatal itu dirumuskan oleh Bagian
Menimbang butir e. UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Da-
erah, bahwa “Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pe-
merintahan Desa yang menyeragamkan nama, bentuk, susun-
an, dan kedudukan pemerintahan desa, tidak sesuai dengan jiwa
Undang-undang Dasar 1945”.
Upaya koreksi atas penyeragaman nama, bentuk, susunan,
dan kedudukan pemerintahan desa itu dan menyesuaikan kem-
bali dengan jiwa konstitusi Undang-undang Dasar 1945, dan
norma-norma dasar yang termuat didalamnya, menurut R. Yan-
do Zakaria (2012), perlu berpatokan pada (1) pengakuan atas
hak asal-usul, (2) yang bersifat istimewa di hadapan (hak-hak)
Negara, di dalam situasi (3) keberagaman sosial dan budaya
masing-masing susunan asli (baca desa atau disebut nama lain-
nya) yang ada.
Pengaturan mengenai Desa Adat dalam UU No. 6/2014
tentang Desa pada dasarnya memberi kesempatan hidup lebih
leluasa untuk “Desa Adat” (atau yang diberi nama lain) sebagai
“organisasi kepemerintahan masyarakat hukum adat yang dipeli-
hara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan
oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar dapat berfungsi
mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lo-
kal”; Pengertian Desa Adat sebagaimana dimaksud adalah “se-
buah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis
mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk

30 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul” (Ba-
gian Penjelasan Umum UU No. 6/2014 tentang Desa). Jika suatu
kesatuan masyarakat hukum adat memilih mengubah statusnya
menjadi Desa Adat, maka dengan sendirinya masyarakat hukum
adat tersebut menunjukan dirinya sebagai subyek hukum, pemi-
lik wilayah adatnya. Sebagai subyek hukum, masyarakat hukum
adat tersebut memiliki hak dan kewajiban hukum atas semua
harta benda yang telah diperoleh secara turun temurun sesuai
asal-usul kesatuannya – yang lalu ditransformasikan menjadi
harta benda dan aset desa adat saat masyarakat hukum adat
bersangkutan memilih menjadi Desa Adat. Hak dan kewajiban
tersebut mengakibatkan kesatuan masyarakat hukum adat
tersebut dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum, oleh
karena hak dan kewajiban tersebut memberikan wewenang dan
tanggungjawab terhadap masyarakat hukum adat.
Dalam hal penyebutan masyarakat hukum adat dan ma-
syarakat adat, peraturan perundang-undangan Negara Republik
Indonesia umumnya menggunakan sebutan masyarakat hukum
adat, sebagaimana yang ditulis dalam Pasal 18 B Ayat (2) UUD
1945, UU HAM, UU Agraria, UU Kehutanan, UU Sumber Daya
Air, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU
Desa. Sebutan masyarakat hukum adat tersebut mengacu pada
sebutan literatur-literatur hukum adat sejak zaman Hindia Be-
landa yang antara lain ditulis oleh Cornelis van Vollenhoven dan
B. Terhaar, yakni rechgemenschaapen, yakni suatu masyarakat
hukum yang menggunakan adat sebagai aturan-aturan hukum-
nya. Pada sisi lain, ada juga kelompok yang dipelopori oleh
AMAN – yang menggunakan sebutan masyarakat adat saja.
Oleh karena adanya argumentasi bahwa sebutan masyarakat

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 31


hukum adat memberikan pembatasan terhadap keberadaan
masyarakat adat pada aspek hukum adatnya saja. Padahal pada
keberadaan masyarakat adat melekat pula aspek sosial, budaya,
ekologi, agama, pemerintahan dan lain-lainnya. Secara yuridis
sebutan masyarakat adat juga telah digunakan oleh peraturan
perundang-undangan, yakni UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil. Dalam Putusan MK 35/2012, sebutan masyarakat
hukum adat dan masyarakat adat digunakan secara bersama-
sama dalam dokumen gugatan yang kemudian diputus oleh
Mahkamah Konstitusi.
Selain istilah masyarakat hukum adat dan masyarakat adat,
dikenal juga istilah lembaga adat. Konsepsi dan pengertian lem-
baga adat dalam berbagai literatur sosio-legal maupun peratur-
an perundang-undangan RI hanyalah mencakup urusan adat is-
tiadat dan budaya dari suatu kelompok masyarakat yang berada
dalam suatu wilayah administrasi pemerintahan tertentu. Salah
satu contohnya adalah pengaturan dalam UU Desa. Pasal 95
UU Desa mengatur bahwa “(1) Pemerintah Desa dan masyarakat
Desa dapat membentuk lembaga adat Desa; (2) Lembaga adat
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga
yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian
dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas pra-
karsa masyarakat Desa; (3) Lembaga adat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa
dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan
mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terha-
dap adat istiadat masyarakat desa”. Dari pengaturan tersebut
dapat ditafsirkan bahwa kewenangan lembaga adat hanyalah
mengurus adat istiadat semata.

32 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


BAB 3
PENGATURAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
DALAM BEBERAPA UNDANG-UNDANG

Pada UU No. 6/2014, pengaturan terhadap kesatuan-kesa-


tuan masyarakat hukum adat dipisah dari pengaturan terhadap
kesatuan hukum masyarakat lain. Pengaturan itu ditempatkan
dalam Bab XIII, Pasal 96 sampai dengan 111 sebagai Desa
Adat. Oleh karena pengaturan tentang Desa Adat pada Bab ter-
sebut masih bersifat umum, maka diperlukan suatu peraturan
pelaksanaan melalui Peraturan Pemerintah agar supaya UU ter-
sebut dapat dilaksanakan, baik oleh lembaga-lembaga Peme-
rintah terkait maupun oleh Pemerintah Daerah. Terkait dengan
itu, policy paper bagian ini melakukan peninjuan terhadap 1)
hubungan antara UU Desa dengan sejumlah UU yang telah ada
sebelumnya terkait pada pengaturan tentang kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat; 2) pengaturan beberapa daerah terha-
dap keberadaan masyarakat hukum adat melalui peraturan dae-
rah (Perda) antara lain seperti Negeri di Provinsi Maluku, Desa
Pakraman di Provinsi Bali dan Nagari di Provinsi Sumatera Barat.
Pasal 1 UU No. 6/2014 tentang Desa menyatakan “Desa
adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 33


yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/
atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Wewenang
mengurus dan mengatur dalam pasal tersebut bersumber pada
adanya suatu hak menurut ilmu hukum. Hak itu dipegang atau
dimiliki oleh suatu subyek hukum yang disebut pemegang atau
penyandang hak. Suatu subyek hukum selalu memiliki suatu
hubungan hukum dengan suatu obyek hukum. Namun hubung-
an hukum tersebut tunduk pada pengaturan-pengaturan yang
dilakukan oleh peraturan perundang-undangan dalam hukum
Negara atau oleh aturan-aturan adat dalam hukum adat. Jika hu-
kum (baik Negara mapun Adat) memberikan hak dan kewajiban
atau wewenang dan tanggungjawab terhadap suatu subyek hu-
kum, maka hak dan kewajiban tersebut akan melekat sampai
dengan hak dan kewajiban itu tidak diberikan dan/atau dicabut
oleh hukum dan/atau karena syarat-syarat yang ditentukan oleh
hukum telah dipenuhi atau terpenuhi.
Hubungan hukum antara subyek hukum dan obyek hukum
tersebut melahirkan hak yang lalu melahirkan kewenangan dan
kewajiban yang melahirkan tanggungjawab. Dengan adanya
hak dan kewajiban atau wewenang dan tanggungjawab terse-
but, maka suatu subyek hukum dapat melakukan perbuatan-
perbuatan hukum yang diberikan oleh suatu peraturan perun-
dang-undangan. Dalam Pasal 1 UU Desa, perbuatan-perbuatan
hukum yang diberikan adalah mengatur dan mengurus. Pada
konstruksi hukum seperti itulah, analisis hubungan antara UU
Desa, terutama pengaturan tentang Desa Adat pada Bab XIII
akan digunakan untuk melihat, membedah dan mendiagnosis

34 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


peraturan perundang-undangan terkait yang juga mengatur ten-
tang kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu baik seba-
gai suatu subyek hukum ataupun bukan - yang berimplikasi hu-
kum terhadap kewenangan-kewenangannya atas obyek-obyek
hukumnya, antara lain sumber-sumber agraria dan alam dalam
peraturan perundang-undangan terkait, yakni UU No. 5/1960
tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), UU No. 41/1999 tentang
Kehutanan, UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU
No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 27/2007 tentang
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU. No. 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

- UU No. 5/1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA)


Pengaturan masyarakat hukum adat sebagai suatu subyek
hukum yang memiliki hubungan hukum dengan sumber-
sumber agraria sebagai obyek hukumnya dapat ditafsirkan
dari pengaturan pada 5 pasal dalam UUPA, yakni Pasal 2
Ayat (4) tentang kemungkinan pemberian kuasa HMN ke-
pada persekutuan masyarakat hukum adat, Pasal 3 tentang
hak ulayat yang merupakan hak masyarakat adat atas suatu
wilayah adat, Pasal 5 tentang hukum adat, yakni hukum
yang digunakan oleh masyarakat hukum adat dalam meng-
atur dan mengurus berbagai aspek kehidupannya, Pasal 22
tentang terjadinya hak milik menurut hukum adat, dan Pasal
II Ketentuan-ketentuan Konversi mengatur konversi sejum-
lah hak agraria yang diperoleh melalui hukum adat akan
diatur melalui Peraturan Menteri Agraria.
Konversi tidak secara tersurat mengatur keberadaan masya-
rakat hukum adat sebagai suatu subyek hukum yang memi-

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 35


liki hubungan hukum dengan sumber-sumber agraria seba-
gai obyek hukumnya. “Selain mengakui Hak Ulayat agar
dapat memasukannya kedalam kategori Hak Negara, pem-
buat Undang-undang Pokok Agraria mengakui juga ada-
nya suatu “Hak Milik Adat” sebagai hak-hak perdata biasa
yang dapat dipunyai oleh masyarakat adat setempat. Istilah
“Hak Milik Adat” digunakan untuk menyebut bermacam-
macam hak milik atas tanah baik yang timbul dari tindakan
membuka hutan primer yang diakui dan dijamin dalam hu-
kum-hukum adat setempat, yang diberikan oleh penguasa-
penguasa pribumi setempat maupun yang diciptakan oleh
penguasa Hindia Belanda bagi masyarakat adat dan orang-
orang Timur Asing (Ruwiastuti, 2000)21. Lebih lanjut dinya-
takan“ Hak Milik Adat secara tersurat tidak digunakan dalam
teks undang-undang itu, tapi secara tak langsung rumusan
Pasal II Ketentuan-ketentuan Konversi undang-undang itu
mengisyaratkan adanya pengakuan tersebut: Hak milik yang
dimaksud oleh undang-undang ini, seperti: hak agrarisch
eigendom, Milik, Yasan, Andarbeni, Druwe, Druwe Desa, Pe-
sisi dan lain-lain hak…”22.
Selain hak-hak yang disebutkan dalam ketentuan-ketentuan
konversi tersebut, hak-hak agraria suatu masyarakat hukum
adat telah dicabut dan/atau dibekukan sebagaimana ditulis
dalam Penjelasan UUPA angka (3) alinea 3 dan 4 yang me-
nyatakan:

“Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasar-


kan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-

21
22 Ibid

36 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pem-
berian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk
kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat
dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan
hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hu-
tan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan
proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan ren-
cana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan
penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pemba-
ngunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat ka-
rena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang
merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari
pasal 3 tersebut diatas. Kepentingan suatu masyarakat hu-
kum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara
yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus
sesuai dengan kepentingan yang lebih luas. Tidaklah dapat
dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu
masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelak-
sanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas
dari pada hubungannya dengan masyarakat hukum dan
daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai
kesatuan. Sikap yang demikian terang bertentangan dengan
asas pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam prak-
teknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usa-
ha besar untuk mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya”.

- UU No. 41/1999 Tentang Kehutanan.


Dalam kaitannya dengan pengaturan terhadap hutan adat
dan masyarakat hukum adat, UU ini telah diuji terhadap
konstitusi. Pengujian tersebut diajukan oleh AMAN, kesatu-
an masyarakat adat Cisitu dan kesatuan masyarakat hukum
adat Kuntu ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2012 mela-

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 37


lui Perkara Nomor 35/PUU-X/2012 – yang telah diputuskan
pada tanggal 16 Mei 2013. Dalam UU No. 41/1999 tersebut
terdapat 4 pasal pengaturan terkait keberadaan masyarakat
hukum adat – yang semuanya diuji ke Mahkamah Konsti-
tusi, yakni Pasal 1 Angka 6, Pasal 4 Ayat (3), Pasal 5 Ayat (1),
(2), (3) dan (4) dan Pasal 67 Ayat (1), (2) dan (3). Mahkamah
Konstitusi melalui putusannya telah mengabulkan sebagian
tuntutan terhadap pasal-pasal terkait sehingga rumusan-
nya mengalami perubahan, terutama Pasal 1 Angka (6)
dan Pasal 5 Ayat (1) dan 2. Putusan Mahkamah Konstitusi
mengubah rumusan Pasal 6 Angka (1) menjadi “Hutan adat
adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hu-
kum adat”. Rumusan Pasal 5 Ayat (1) masih tetap, namun
dalam hutan hak terdapat hutan adat. Sedangkan Pasal 5
Ayat (2) berubah menjadi “Hutan Negara sebagaimana di-
maksud pada Ayat (1) huruf a tidak termasuk hutan adat.
Pasal 5 Ayat (3)”. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan
pembatalan terhadap rumusan penjelasan Pasal 5 Ayat (1)
alinea 1 sampai dengan 4 terkait dengan perubahan status
hutan adat pada Pasal 1 Angka (6).
Walau Mahkamah Konstitusi telah memutuskan hutan adat
adalah hutan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat
(1) UU Kehutanan, namun Putusan tersebut tidak dapat ber-
laku secara otomatis, karena dua hal, yakni 1) hutan hak
dalam Pasal 5 Ayat (1) tersebut harus berada pada tanah
hak milik sebagaimana diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 20
UUPA. Oleh karena UUPA dan UU Kehutanan menganut
asas hukum horizontal yang memisahkan hak-hak atas ta-
nah dengan hak-hak atas sumber-sumber agraria lainnya,
maka kepemilikan masyarakat adat atas hutan adat tidak

38 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


secara otomatis menyatakan hak milik masyarakat adat
atas tanah dimana hutan adat tersebut bertumbuh, hidup
dan berkembang. Efektivitas Putusan Mahkamah Konsitusi
atas hutan adat tergantung pada perubahan pengaturan
hak atas tanah dalam UUPA yang memberikan hak kepada
masyarakat hukum adat sebagai salah satu subyek hukum;
2) pelaksanaan suatu Putusan Mahkamah Konstitusi – se-
bagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2) adalah
melalui suatu undang-undang yang dilakukan oleh Presi-
den atau DPR. Dengan kata lain diperlukan revisi UU Ke-
hutanan dan UUPA agar adanya keselarasan penempatan
masyarakat hukum adat sebagai suatu subyek hukum yang
memiliki hak-hak agraria.

- UU No. 39/1999 Tentang Hak-Hak Azasi Manusia.


Walau hanya 1 pasal dalam UU HAM yang terkait pada ke-
beradaan masyarakat hukum adat, yakni Pasal 6 Ayat (1) dan
(2), namun pengaturannya lebih maju serta sesuai dengan
konstitusi oleh karena undang-undang ini menggunakan
terminologi penghormatan dan perlindungan bukan termi-
nologi sepanjang diakui berdasarkan aturan perundang-un-
dangan sebagaimana yang digunakan oleh UUPA dan UU
Kehutanan. Pasal 6 menyatakan (1) dalam rangka penegak-
an hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi
oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah; (2) identitas bu-
daya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ula-
yat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Lebih
lanjut, penjelasan Pasal 6 Ayat (1) menyatakan “hak adat
yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di da-

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 39


lam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati
dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan
hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan
dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-
undangan; (2) dalam rangka penegakan hak asasi manu-
sia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat yang
masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum
adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang
tidak bertentangan dengan asas-asas Negara hukum yang
berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

- UU No. 24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi


Pasal 51 huruf b undang-undang ini memberikan tempat
kepada masyarakat hukum adat sebagai salah satu subyek
hukum yang dapat mengajukan permohonan pengujian
undang-undang terhadap konstitusi. Pasal 51 menyatakan
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu: a… b. kesatuan masyarakat hukum
adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkem-
bangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang- undang.

- UU No. 31/2004 jo UU No. 45/2009 Tentang Perikanan


UU ini hanya memiliki 1 pasal terkait keberadaan masyarakat
hukum adat yakni Pasal 6 Ayat (2) tentang keberadaan hu-
kum adat yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan
perikanan dan pembudidayaan ikan. Walau demikian, da-
lam penjelasan terhadap ayat tersebut, undang-undang ini

40 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


mencantumkan syarat bahwa hukum adat yang dipertim-
bangkan tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum
nasional. Dengan demikian, maka jika pengaturan hukum
adat bertentangan dengan hukum nasional maka hukum
adat tersebut dapat dikesampingkan. Misalnya jika pengatur-
an hukum adat tentang zona larangan penangkapan ikan
bertentangan dengan pengaturan nasional tentang hal yang
sama, maka hukum adat tersebut tidak dapat digunakan.

- UU No. 7/2004 Tentang Sumber Daya Air


Hanya ada 1 pasal dalam undang-undang ini terkait keber-
adaan masyarakat hukum adat, yakni Pasal 6 yang juga
memberikan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat
hukum adat dengan syarat tertentu sebagaimana yang dia-
tur dalam UUPA, yakni 1) tidak bertentangan dengan ke-
pentingan nasional; 2) tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan; 3) keberadaan masyarakat hukum
adat telah dikukuhkan dengan suatu peraturan daerah. De-
ngan pengaturan seperti itu, substansi norma hukum pasal
tersebut melanggar Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 yang telah
memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat
sebagai warga Negara yang memiliki hak-hak konsitusional
dan hak-hak hukum seperti warga Negara dan subyek hu-
kum lainnya dalam Negara Republik Indonesia.

- UU No. 27/2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-


Pulau Kecil
UU ini menggunakan istilah masyarakat adat – bukan ma-
syarakat hukum adat – serta memiliki 4 pasal terkait pada

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 41


keberadaan masyarakat (hukum) adat, yakni Pasal 1 Ang-
ka 33 tentang defenisi masyarakat adat, Pasal 17 Ayat (2)
bahwa hak pengusahaan perairan pesisir harus memperha-
tikan kepentingan masyarakat adat, Pasal 18 tentang masya-
rakat adat merupakan salah satu subyek hukum yang dapat
memperoleh hak pengusahaan perairan pesisir, dan Pasal
61 tentang pengakuan, penghormatan dan perlindungan
terhadap hak-hak masyarakat adat, sebagaimana tertulis
pada Ayat (1) “Pemerintah mengakui, menghormati, dan
melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisio-
nal, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun; Ayat
(2) Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradi-
sional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan”.

- UU No. 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup
UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup me-
miliki 2 pasal terkait pada keberadaan masyarakat hukum
adat, yakni Pasal 1 Angka 32 dan Pasal 63. Pasal 1 Angka
(32) mengatur tentang defenisi masyarakat hukum adat, se-
dangkan Pasal 63 mengatur tentang wewenang Pemerin-
tah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
mengatur lebih lanjut terhadap pengakuan keberadaan ma-
syarakat hukum adat yang tertulis dalam Pasal 18B Ayat (2)
UUD 1945. Pasal 1 Angka (32) menyatakan “Masyarakat
hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara tu-
run temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena

42 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang
kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai
yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hu-
kum”. Sedangkan Pasal 63 Ayat (1) menyatakan “ dalam per-
lindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah
bertugas dan berwenang: a…, b…, t. menetapkan kebijak-
an mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum
adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup; Ayat (2) “dalam perlindungan dan penge-
lolaan lingkungan hidup, Pemerintah Provinsi bertugas dan
berwenang: a..., b…, n. menetapkan kebijakan mengenai
tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang ter-
kait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hi-
dup pada tingkat provinsi; Ayat (3) dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Kabupaten/
Kota bertugas dan berwenang: a…, b…, k. melaksanakan
kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan ma-
syarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat
hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelo-
laan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
Rumusan pengaturan tentang masyarakat hukum adat
dalam UU ini lebih maju dibandingkan dengan UUPA dan
UU Kehutanan. Rumusan Pasal 63 sejalan dengan norma
hukum tertinggi yang telah memberikan pengakuan terha-
dap masyarakat hukum adat dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD
1945. Oleh karena pengakuan terhadap masyarakat hu-
kum adat telah dilakukan oleh konstitusi, maka pengaturan
lanjutan terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 43


hiduplah yang diatur dalam undang-undang ini. Tidak ada
norma hukum lain yang bertentangan dengan konstitusi
yang diatur dalam undang-undang ini.

Hubungan Pengaturan Dalam UU Di Atas Dengan


Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 35/PUU-X/2012
Pengaturan terkait keberadaan masyarakat hukum adat
dalam beberapa undang-undang tersebut diatas memiliki dua
karakter, yakni: Pertama, norma undang-undang tersebut sejalan
atau selaras dengan norma konstitusi dalam posisinya sebagai
suatu pengaturan lanjutan terhadap norma konsitusi, dalam hal
ini norma pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat
yang diletakkan dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945. Karakter
ini ditemukan dalam UU No. 39/1999 tentang Hak-Hak Asasi
Manusia dan UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan
UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ling-
kungan Hidup. Kedua, pengaturan yang kurang selaras dengan
norma Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945. Ketidakselarasan tersebut
mengambil dua bentuk, yakni: 1) menempatkan pengakuan ter-
hadap masyarakat hukum adat pada level undang-undang se-
bagaimana diatur dalam UU No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 31/2004
jo UU No. 45/2009 tentang Perikanan, UU No. 7/2004 tentang
Sumber Daya Air, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil – dalam kalimat-kalimat undang-undang
antara lain seperti “diakui sepanjang tidak bertentangan dengan
…”. Padahal pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hu-
kum adat sebagai suatu entitas penyandang hak, subyek hu-

44 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


kum dan pemilik wilayah adatnya itu telah dilakukan oleh UUD
1945, yakni Pasal 18B Ayat (2); 2) pengaturan yang membatasi
sejumlah hak masyarakat hukum adat sekaligus dan membatasi
pelaksanaan sejumlah kewenangan masyarakat hukum adat se-
bagaimana diatur dalam kelompok undang-undang yang me-
nempatkan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat pada
level undang-undang, bukan pada level konstitusi sebagaimana
telah ditempatkan dalam Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945.
Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara
nomor 35/PUU-X/2012 – yang menegaskan keberadaan masya-
rakat hukum adat sebagai penyandang hak, subyek hukum dan
pengatur serta pengurus atas wilayah adatnya, maka peraturan
perundang-undangan terkait keberadaan masyarakat hukum
adat yang karakter pengaturannya belum selaras dengan norma
konstitusi harus dikoreksi, diralat dan direvisi melalui suatu peru-
bahan undang-undang sebagai tindaklanjut terhadap Putusan
tersebut. Perubahan pada level undang-undang dengan sendiri-
nya secara mutatis mutandis diikuti dengan perubahan sejum-
lah pengaturan terkait di level lebih rendah seperti antara lain
peraturan pemerintah, keputusan presiden, instruksi presiden,
peraturan menteri, keputusan menteri, surat edaran sampai de-
ngan peraturan-peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Jika pokok-pokok pengaturan terkait keberadaan masyarakat
hukum adat pada level undang-undang telah direvisi untuk dise-
laraskan dengan norma konstitusi, maka dengan sendirinya se-
mua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
harus menyesuaikan pengaturannya, jika tidak maka secara oto-
matis peraturan-peraturan tersebut batal demi hukum oleh kare-
na adanya asas hukum peraturan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 45


Perubahan peraturan perundang-undangan, terutama level
undang-undang untuk diselaraskan dengan norma konstitusi
dengan sendirinya berimplikasi positif terhadap pelaksanaan
Pasal 103 UU No. 16/2014 tentang Desa, terutama kewenangan
mengatur dan mengurus wilayah adatnya. Jika tidak, maka ke-
wenangan tersebut akan bertabrakan dengan kewenangan Ne-
gara melalui Hak Menguasai Negara dalam UUPA, UU Kehutan-
an dan UU lainnya. Jika kedua kewenangan yang sama, yakni
kewenangan pengaturan dan pengurusan sumberdaya alam
yang dimiliki Negara melalui HMN bertemu dengan kewenangan
desa adat mengatur dan mengurus wilayah adatnya sebagaima-
na diatur dalam Pasal 103 UU No. 16/2014, maka kewenangan
desa adat atas obyek hukum yang sama dapat dikalahkan oleh
kewenangan Negara. Kondisi ini disebabkan oleh dua hal, yakni
1) syarat yang diatur dalam UU No. 16/2014 bahwa pelaksanaan
kewenangan desa adat melalui peraturan desa adat tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya;
dan 2) ruang lingkup undang-undang bersifat umum tidak da-
pat meniadakan ruang lingkup pengaturan dari undang-undang
bersifat khusus oleh karena adanya asas hukum lex specialis
derogate legi generaly. Karena itu, Putusan Mahkamah Kon-
stitusi No. 35/2012 seharusnya menjadi rujukan bagi lembaga-
lembaga pemerintah guna melakukan revisi terhadap berbagai
undang-undang terkait pengaturan masyarakat hukum adat
sebagai pemilik wilayah adatnya. Dengan demikian, penegasan
Mahkamah Konstitusi terhadap keberadaan masyarakat hukum
adat sebagai penyandang hak, subyek hukum dan pemilik wi-
layah adatnya dapat bermakna secara nyata, terutama dalam
hal pengaturan dan pengurusan sumber-sumber alam di dalam
wilayah adatnya itu.

46 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


BAB 4
BEBERAPA PERATURAN DAERAH TERKAIT
MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA

Seiring dengan perubahan rezim politik dari otoriter ke


demokratis pada tahun 1997, sejumlah peraturan perundang-
undangan baru diberlakukan, termasuk penghapusan UU No.
5/1979 tentang Desa. Pengaturan tentang desa kemudian disa-
tukan kedalam undang-undang pemerintahan daerah yang di-
atur melalui UU No. 22/1999 kemudian diganti dengan UU No.
32/2004. Lebih lanjut, pengaturan lebih jauh tentang desa ditu-
runkan dalam bentuk PP No. 72/2005. Dalam konteks perubah-
an sosial, politik dan hukum terkait keberadaan desa seperti itu,
beberapa daerah memberlakukan peraturan-peraturan daerah
yang mengatur tentang masyarakat hukum adat di desa dalam
konteks lokal dan pemahaman pemerintah daerah setempat,
dimana peraturan-peraturan daerah tersebut telah digunakan
sebagai basis rujukan dalam membentuk dan menata desa di
wilayah kabupaten/kota bersangkutan. Dalam kaitannya dengan
penulisan policy paper ini, maka para penulis mengambil be-
berapa peraturan daerah yang berasal dan mewakili wilayah In-
donesia Timur, Indonesia Tengah dan Indonesia Barat sebagai
bahan kajian yang hasilnya dapat digunakan memperkaya tu-
lisan ini dengan berbagai praktek dan pengalaman empirik be-

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 47


berapa daerah dalam pengaturan tentang masyarakat hukum
adat. Peraturan-peraturan daerah yang dikaji terdiri dari:

- Perda Kabupaten Lebak No. 13/1990 tentang Pembinaan


dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy Di
Kabupaten Dati II Lebak & Perda Kabupaten Lebak No.
32/2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat
Baduy
Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat ting-
gal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Daerah Tingkat II Lebak yang mempunyai ciri kebudayaan
dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum
(Pasal 1c Perda Kab. Lebak 13/1990). Pasal 1e menyatakan
bahwa Lembaga Adat Baduy adalah Lembaga Adat yang
telah ada dan hidup serta berkembang pada masyarakat
Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar Kabu-
paten Daerah Tingkat II Lebak. Lebih lanjut, Pasal 1f Perda
tersebut menyatakan bahwa Pembinaan dan Pengembang-
an adalah semua kegiatan dalam rangka menjaga dan me-
lindungi Masyarakat Baduy agar mereka mempunyai ke-
sempatan untuk memelihara kelangsungan Lembaga Adat
Baduy sehingga tetap menunjang kelangsungan pemba-
ngunan dan menciptakan Ketahanan Nasional dan tidak
bertentangan dengan kepentingan umum serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 2 menyatakan
tujuan pembinaan dan pengembangan Lembaga Adat Istia-
dat Masyarakat Baduy adalah agar adat istiadat masyarakat
Baduy dapat dilestarikan sehingga mampu menunjang pe-
ngembangan kebudayaan nasional Indonesia. Lebih lanjut,
Penjelasan bagian 4 Perda tersebut menyatakan adat istiadat

48 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


yang perlu dibina dan dikembangkan, karena mempunyai
nilai positif dan bermanfaat dalam rangka menunjang pe-
laksanaan pembangunan, pemerintahan dan kemasyara-
katan, yaitu antara lain : a. Upacara Seba (Persembahan
Hasil Bumi). Upacara ini berupa persembahan hasil bumi
dari masyarakat Baduy kepada Pemerintah/Bupati Kepala
Daerah Tingkat II Lebak satu tahun sekali. Upacara Seba
ini juga merupakan forum komunikasi formal antara ma-
syarakat Baduy dengan Pemerintah Daerah. Dalam Upacara
Seba, masyarakat Baduy menyampaikan masalah-masalah
yang pemecahannya memerlukan campur tangan Pemerin-
tah. Sebaliknya, Pemerintah pada saat tersebut dapat me-
nyampaikan program-program Pemerintah agar diketahui
oleh masyarakat Baduy; b. Sistem perkawinan, Sistem
perkawinan pada masyarakat Baduy adalah sistem perka-
winan Monogami. Seorang laki-laki Baduy tidak boleh beris-
tri lebih dari satu orang. Poligami merupakan suatu hal yang
“buyut” (tabu). Sistem perkawinan Monogami itu sejalan
dengan asas perkawinan yang diatur dalam UU No. 1/1974
tentang Perkawinan. Karena itu, adat istiadat perkawinan
masyarakat Baduy yang bersifat monogami perlu dibina
dan dilestarikan; dan c. Sistem Pengendalian diri dan
lingkungan, dimana masyarakat Baduy mempunyai adat
istiadat yang menjadi pegangan hidup bagi masyarakat
Baduy dan “tabu” (pantang) untuk dilanggar. Larangan atau
pantangan ini merupakan sistem pengandalian diri dan ling-
kungan, agar masyarakat Baduy dapat hidup dengan har-
monis, baik dalam pergaulannya dengan masyarakat Baduy
itu sendiri, dengan masyarakat luar Baduy atau dengan ling-
kungan alam dimana mereka bertempat tinggal.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 49


Perda ini tidak secara tegas mengatur perlindungan terha-
dap agama atau kepercayaan masyarakat Baduy. Penjela-
san dalam Perda tersebut menyatakan bahwa agama Orang
Baduy adalah Agama Sunda Wiwitan (Agama Sunda Perta-
ma) atau Agama Islam Sunda atau disebut juga Agama
Nabi Adam. Dengan agamanya itu, orang Baduy mengakui
akan adanya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut “Batara
Tunggal”, mengakui akan Nabi Adam, Nabi Muhammad
dan Syahadat Agama Islam.
Terkait dengan pemerintahan, Penjelasan bagian 2 Perda
No.13/1990 Kab. Lebak mengatur bahwa setiap Kampung
yang ada di Baduy Dalam (Cikeusik, Cikartawana dan Ci-
beo) dipimpin oleh seorang “Puun” yang oleh masyarakat
Baduy selain dianggap sebagai pemimpin masyarakat juga
dianggap sebagai ketua yang dipilih berdasarkan keturun-
an dari segi kekerabatannya Puun (Ketua Adat) Cibeo. Hu-
bungan antara orang Baduy Dalam dengan orang Baduy
Luar selain diikat oleh hubungan adat, juga hubungan yang
bersifat formal. Orang Baduy Luar merupakan penghubung
masyarakat Baduy dengan masyarakat luar. Dengan demiki-
an, daerah Baduy luar merupakan daerah penyaring berba-
gai pengaruh dari luar sebelum masuk ke Baduy Dalam.
Salah satu contohnya adalah semua orang asing tidak boleh
masuk ke wilayah Baduy Dalam, mereka hanya diperbo-
lehkan sampai di wilayah Baduy Luar. Untuk kepentingan
hubungan dengan luar, termasuk hubungan dengan urusan
pemerintahan formal, maka orang Baduy Luar yangditunjuk
menjadi Kepala Desa.

50 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


Kepala Desa yang disebut Jaro (Jaro Pamarentah) ditunjuk
dan ditentukan oleh Puun (Ketua Adat). Kepala Desa (Jaro
Pamarentah) bertugas untuk menampung dan menyempai-
kan segala perintah yang diperintahkan pemerintah pusat
sejauh tidak bertentangan dengan adat. Hubungan diantara
sesama masyarakat Baduy itu sendiri berporos pada adat
yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dan dipatuhi
baik oleh masyarakat Baduy Dalam maupun oleh masyara-
kat Baduy Luar.
Disamping kewenangan pemerintahan lembaga adat/”desa
adat”, Kapu’unan juga memiliki kewenangan mengatur ula-
yatnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Perda Kab. Lebak
No. 32/2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat
Baduy. Penjelasan Pasal tersebut menyatakan Hak Ulayat
adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai
oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu
yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk ta-
nah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara ma-
syarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan.
Sedangkan yang dimaksud dengan Tanah Ulayat adalah bi-
dang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu. Pasal 2 mengatur bahwa
Hak Ulayat Masyarakat Baduy dibatasi terhadap tanah-ta-
nah di wilayah Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Ka-
bupaten Lebak yang diukur sesuai dengan peta rekonstruksi
dan dituangkan dalam Berita Acara sebagai landasan pene-
tapan Keputusan Bupati. Dengan demikian, luas wilayah

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 51


hak ulayat masyarakat Baduy sebelum proses pengukuran –
seperti dalam penjelasan (1), Perda Kab. Lebak No. 13/1990
– adalah wilayah Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Ka-
bupaten Daerah Tingkat II Lebak.
Wilayah Kanekes, dijadikan desa definitif dengan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat
tanggal 10 April 1986 Nomor : 140/Kep.526-Pemdes/86.
Luas desa adalah 5.010 Ha, jumlah penduduk 3.954 de-
ngan 1.168 Kepala Keluarga. Masyarakat Baduy terdiri atas
2 (dua) kelompok, yaitu : Masyarakat Baduy Dalam yang
mendiami kampung Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo, dan
Masyarakat Baduy Luar yang mendiami 36 kampung-kam-
pung atau babakan23. Antara masyarakat Baduy Dalam dan
Baduy Luar tidak terdapat perbedaan yang prinsip, dan per-
bedaan hanya tampak antara lain : dari cara berpakaian
: orang Baduy Dalam berpakaian putih-putih dengan ikat
kepala putih sedang orang Baduy Luar berpakaian hitam-
hitam dengan ikat kepala biru, dan keteguhan dalam me-
megang Adat Istiadat.

- Perda No.3 tahun 2008 tentang Negeri di Kota Ambon.


Negeri menurut Pasal 1 (12) adalah Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat yang memiliki batas-batas wilayah, yang ber-

23

52 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


wenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan ma-
syarakat setempat berdasarkan asal usul, adat istiadat dan
hukum adat setempat, diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ciri-
ciri Negeri dalam Pasal 4, selain memiliki ciri-ciri petuanan
dengan batas-batasnya, juga dicirikan antara lain dengan
adanya : a. Nama Teon Negeri, b. Baileo, c. Batu Pamali, d.
Matarumah asal/asli, e. Soa, f. Upacara Adat Negeri, g. Un-
sur adat istiadat yang diakui masyarakat adat setempat yang
selanjutnya diatur oleh Peraturan Negeri. Selanjutnya dalam
Pasal 1 (13) disebutkan yang dimaksud dengan Peraturan
Negeri adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh Saniri Negeri Lengkap bersama Raja. Sedangkan Pe-
tuanan adalah daerah yang meliputi daratan dan lautan,
yang berdasarkan hukum adat Ambon berada di bawah pe-
nguasaan Negeri seperti dipaparkan dalam Pasal 1 (15).
Pasal 5 (1) menjelaskan bahwa untuk meningkatkan penye-
lenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
masyarakat dapat dibentuk kampong di Negeri yang dipim-
pin oleh Kepala Kampong. Pasal 6 (1) untuk meningkatkan
pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejah-
teraan masyarakat, kampong sebagaimana dimaksud pada
Pasal 5 ayat (1) dapat ditingkatkan statusnya menjadi Desa,
atas persetujuan Musyawarah Saniri Negeri Lengkap (Pasal
6 ayat 3), dan kemudian diatur dengan Peraturan Daerah
(Pasal 6 ayat 4). Pasal 8 (2) menyebutkan bahwa berdasar-
kan asal usulnya, Desa sebagaimana yang di maksud pada
ayat (1) terikat dan tunduk pada Negeri asal/induk secara
adat istiadat dan hukum adat. Pasal 1(14) menyebutkan
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 53


batas-batas wilayah yang berada dalam wilayah petuanan
Negeri yang diakui, berwenang untuk mengatur dan me-
ngurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan per-
undang-undangan yang berlaku.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Negeri di-
atur dalam Pasal 9, mencakup : a. kewenangan atas petuan-
an Negeri; b. urusan pemerintahan yang sudah ada berda-
sarkan hak asal usul dan hukum adat Negeri; c. urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang dise-
rahkan pengaturannya kepada Negeri; d. tugas Pembantuan
dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kota;
e. urusan pemerintahan lainnya yang oleh Peraturan Perun-
dang-Undangan diserahkan pengaturannya kepada Negeri.
Selanjutnya kewenangan atas Petuanan Negeri diatur dalam
Pasal 32 sebagai berikut : (1) Wilayah petuanan Negeri meli-
puti wilayah darat dan laut; (2) Hak atas petuanan Negeri se-
bagaimana dimaksud pada ayat (1) dikuasai oleh Negeri; (3)
Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperuntukkan
bagi kepentingan Negeri yang pengaturan pemanfaatan-
nya dilakukan oleh Saniri Negeri Lengkap; (4) Selain hak
menguasai Negeri atas petuanan, Negeri juga mengakui
adanya hak pribadi dan hak Matarumah atas bagian-bagian
tanah dalam petuanan; (5) Penetapan dan penegasan batas
wilayah petuanan Negeri ditetapkan bersama oleh Negeri-
Negeri yang berbatasan dan disahkan oleh Walikota.
Pasal 11ayat (1) mengatur tentang struktur pemerintahan
Negeri yang secara garis besar terbagi menjadi 2 yaitu a.
Saniri Rajapatti dan b. Saniri Negeri Lengkap. Pasal 11 ayat
(2) Saniri Rajapati terdiri atas : a. Raja; b. Para kepada Soa,

54 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


c. Perangkat Negeri. Dan Pasal 11 (3) menjelaskan Saniri
Negeri Lengkap terdiri atas : a. Raja sebagai Ketua; b. Wakil
dari Soa sebagai anggota; c. Kepala Adat sebagai anggota;
d. Tua-tua Negeri sebagai anggota; e. Kepala Tukang seba-
gai anggota; dan f. Kewang sebagai anggota.
Pasal 12 menjelaskan Saniri Rajapati sebagaimana dimak-
sud pada pasal 11 ayat (2) adalah badan yang secara kolektif
melaksanakan pemerintahan Negeri. Sementara itu dalam
Pasal 13 ayat (1) Saniri Negeri Lengkap berkedudukan seba-
gai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Negeri. Dan pasal
1 (22) menjelaskan Saniri Negeri Lengkap adalah Badan leg-
islatif Negeri yang terdiri dari wakil-wakil Soa, Kepala Adat,
Tua-Tua Negeri, Kepala Tukang, Kewang, serta unsur-unsur
lain yang bertugas membantu Kepala Pemerintahan Negeri
membentuk Peraturan Negeri serta melakukan fungsi pe-
ngawasan. Kemudian ayat (4) menyatakan pembentukan
Saniri Negeri Lengkap diatur dengan Peraturan Negeri, dan
berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku serta melindungi hak asal-usul, adat istiadat dan
sosial budaya masyarakat Negeri setempat. Pasal 18 men-
jelaskan bahwa Negeri dikepalai oleh Raja, setara dengan
Kepala desa, yang dipilih dalam musyawarah Soa Parenta
(ketua Marga/fam/kampung) yang diwujudkan dalam man-
dat tertulis yang ditandatangani oleh kepala Soa Parenta.
Pasal 19 ayat (1) menyatakan masa jabatan Raja adalah 6
tahun dan dapat dipilih kembali. Ayat (3) menjelaskan tata
cara pemilihan dan atau pengangkatan, pelantikan dan
pemberhentian Raja diatur dengan Peraturan Daerah.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 55


Keuangan Negeri diatur dalam Bab X, khususnya pasal 36
ayat 1, yang menjelaskan sumber pendapatan Negeri ter-
diri atas : a) pendapatan Asli Negeri, meliputi : hasil Usaha
Negeri , hasil Kekayaan Negeri, hasil Swadaya dan Partisi-
pasi, hasil Gotong Royong, pendapatan asli Negeri yang
sah; b) bantuan dari Pemerintah Kota, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah ; c) bagi hasil pajak daerah Kota Ambon; d)
bagian dari dana perimbangan pusat dan daerah yang dite-
rima oleh Kota Ambon; e) sumbangan pihak ketiga; f) pin-
jaman Negeri; dan g) hibah. Negeri juga dapat mendirikan
Badan Usaha Milik Negeri yang diatur dalam pasal 39. Dan
dalam pasal 40 Pemerintah Negeri atas persetujuan Saniri
Negeri Lengkap dapat melakukan kerjasama dengan pihak
ketiga untuk mengelola potensi Negeri. Kerjasama tersebut
meliputi antara lain bidang manajeman, operasional, bantu-
an teknik, patungan pembiayaan dan kerjasama bagi hasil.
Kemudian Negeri juga memiliki kewenangan atas penyele-
saian sengketa seperti yang diatur dalam pasal 48 ayat 1-3
tentang putusan persengketaan. Dimana persengketaan
dibidang hukum adat antar anak Negeri di dalam satu Ne-
geri dapat diputuskan oleh Saniri Negeri Lengkap, perseng-
ketaan antar Negeri dapat diselesaikan oleh Latupati, dan
apabila pihak-pihak yang bersengketa tidak dapat menerima
upaya penyelesaian sengketa, maka dapat diajukan gugatan
ke Pengadilan Negeri. Dalam pasal 1, yang dimaksud de-
ngan Latupati adalah lembaga musyawarah para Raja untuk
membicarakan kepentingan bersama antar Negeri.

56 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


- Perda Kabupaten Agam No. 12/2007 tentang Pemerintah-
an Nagari
Menurut Pasal 1 Perda Kab. Agam No. 12/2007, Nagari
adalah pertamaan masyarakat hukum adat yang memiliki
batas-batas wilayah tertentu berdasarkan filosofi adat Mi-
nangkabau (adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah)
dan atau berdasarkan asal usul dan adat salingka nagari.
Sedangkan Pemerintahan Nagari adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh Pemerintah Nagari dan Badan
Permusyawaratan Nagari dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihor-
mati dalam sistem Pemerintahan Negara Pertamaan Repu-
blik Indonesia. Pemerintah Nagari terdiri dari Walinagari dan
Perangkat Nagari sebagai unsur penyelenggara Pemerintah-
an Nagari. Walinagari adalah Pimpinan Pemerintahan Naga-
ri yang dipilih langsung oleh masyarakat.
Pasal 1 juga menyebutkan bahwa Badan Permusyawaratan
Nagari selanjutnya disebut BAMUS Nagari adalah lembaga
yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyeleng-
garaan pemerintahan Nagari. Termasuk memberikan per-
setujuan atas pembentukan pemerintahan Nagari seperti
yang tertera dalam pasal 3 ayat 2. Pasal 53 mengatur ke-
anggotaan BAMUS Nagari terdiri dari unsur ninik mamak,
alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, dan generasi
muda yang berjumlah ganjil, sedikitnya 5 orang dan paling
banyak 11 orang.
Lembaga kemasyarakatan Nagari adalah lembaga yang di-
bentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan me-
rupakan mitra Pemerintah Nagari dalam memberdayakan

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 57


masyarakat. Kerapatan Adat Nagari yang selanjutnya dising-
kat KAN adalah Lembaga Perwakilan Permusyawaratan dan
Pemufakatan adat tertinggi yang telah ada dan diwarisi se-
cara turun temurun sepanjang adat ditengah-tengah ma-
syarakat Nagari. Mekanisme pembentukan Pemerintahan
Nagari diatur dalam pasal 6 ayat 1 dimana pemerintahan
nagari dapat dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan
memperhatikan asal usul nagari, adat istiadat dan kondisi
sosial budaya masyarakat setempat.
Kewenangan pemerintahan nagari seperti dalam pasal 9
mencakup: a. urusan pemerintahan yang sudah ada berda-
sarkan hak asal usul Nagari; b. urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah yang diserahkan pengaturan-
nya kepada Nagari; c. tugas pembantuan dari Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah; d. urusan
pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-un-
dangan diserahkan kepada Nagari.
Bentuk pemerintahan Nagari diatur dalam Pasal 15, yaitu :
1) Pemerintah Nagari terdiri dari Walinagari dan Perangkat
Nagari.
2) Perangkat Nagari terdiri dari Sekretaris Nagari dan pe-
rangkat nagari lainnya.
3) Perangkat Nagari lainnya sebagaimana dimaksud ayat
(2) terdiri dari :
a. Kepala Urusan Pemerintahan;
b. Kepala Urusan Pembangunan;
c. Kepala Urusan Sosial dan Kemasyarakatan;
d. Kepala Urusan Keuangan dan Aset;

58 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


e. Bendahara; dan
f. Wali Jorong.

4) Uraian tugas perangkat nagari sebagaimana dimaksud


ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Nagari.
5) Bagan Struktur Pemerintah Nagari adalah sebagaima-
na tercantum pada lampiran I Peraturan Daerah ini dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peratur-
an Daerah ini.

Pasal 18 menjelaskan tentang Tugas dan kewenangan Wali


Nagari terdiri dari :
1) Menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangun-
an, dan kemasyarakatan.
2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Wali Nagari mempunyai wewenang:
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan Nagari
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama
BAMUS Nagari dan peraturan perundang-undang-
an yang berlaku;
b. Mengajukan rancangan Peraturan Nagari kepada
BAMUS Nagari;
c. Menetapkan Peraturan Nagari yang telah menda-
pat persetujuan bersama BAMUS Nagari;
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan
Nagari mengenai APB Nagari untuk dibahas dan
ditetapkan bersama BAMUS Nagari;
e. Membina kehidupan masyarakat Nagari;
f. Membina perekonomian Nagari.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 59


g. Mengkoordinasikan pembangunan nagari secara
partisipatif;
h. Mewakili Nagari di dalam dan di luar pengadilan
dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewaki-
linya sesuai dengan peraturan perundang-undang-
an;
i. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan per-
aturan perundang-undangan; dan
j. Mendukung kelangsungan adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah.

Penyelesaian perselisihan atau sengketa antar Nagari yang


diatur dalam pasal 114, 115, 116 difasilitasi dan diselesai-
kan oleh Camat dan Bupati, dengan prinsip musyawarat
mufakat. Tidak secara tegas lembaga adat dapat menjadi
bagian dari penyelesaian perselisihan/sengketa dalam pe-
merinahan nagari, kecuali dalam pasal 118 ayat (1) c, KAN-
Kerapatan Adat Nagari bertugas menyelesaikan perkara-
perkara perdata adat sehubungan dengan sako, pusako,
nda sangsako.
Pasal 89 mengatur tentang sumber pendapatan Nagari, yai-
tu : a) pendapatan asli Nagari, terdiri dari :- hasil usaha Na-
gari;- hasil kekayaan Nagari;- hasil swadaya dan partisipasi;-
hasil gotong royong ; dan- lain-lain pendapatan asli nagari
yang sah, b) bagi hasil penerimaan pajak daerah sebesar
10% (sepuluh per seratus) dan retribusi tertentu di daerah;
c) bagian dari dana perimbangan yang diterima oleh dae-
rah sebesar 10% yang pembagiannya secara proporsional;
d) bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provin-

60 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


si, dan Pemerintah Kabupaten dalam rangka pelaksanaan
urusan pemerintahan; e) hibah dan sumbangan dari pihak
ketiga yang tidak mengikat

- Perda Provinsi Bali No. 3/2001 tentang Desa Pakraman


Desa Pakraman menurut Perda ini adalah kesatuan ma-
syarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu
kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat
umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan
tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah terten-
tu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri. Pasal 1 (5) menjelaskan Banjar Pakra-
man adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian
Desa Pakraman.
Tugas dan kewenangan Desa Pakraman diatur dalam Pasal 5
dan Pasal 6. Tugas Desa Pakraman adalah: a. Membuat awig-
awig; b. Mengatur krama desa; c. Mengatur pengelolaan
harta kekayaan desa; d. Bersama-sama Pemerintah melak-
sanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang
keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan; e. Membina
dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebuda-
yaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah
pada khususnya, berdasarkan “paras-paros, sagilik-sagu-
luk, salunglung-sabayantaka” (musyawarah-mufakat); dan
f. Mengayomi krama desa. Sedangkan kewenangan Desa
Pakraman terdiri dari: a. menyelesaikan sengketa adat dan
agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membi-
na kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 61


awig-awig dan adat kebiasaan setempat; b. turut serta me-
nentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangun-
an yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan
Tri Hita Karana; c. melakukan perbuatan hukum di dalam
dan di luar Desa Pakraman.
Mekanisme pemilihan Kepala Desa Pakraman (Prajuru) di-
atur dalam pasal 7. Prajuru dipilih dan atau ditetapkan oleh
warga Desa Pakraman menurut aturan yang ditetapkan da-
lam awig-awig Desa Pakraman masing-masing. Tugas Pra-
juru yang diatur dalam pasal 8 terdiri dari : a. Melaksanakan
awig-awig Desa Pakraman; b. Mengatur penyelenggaraan
upacara keagamaan di Desa Pakraman, sesuai dengan sas-
tra agama dan tradisi masing-masing; c. Mengusahakan
perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat; d.
Mewakili Desa Pakraman dalam bertindak untuk melakukan
perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar peradilan
atas persetujuan Paruman desa; e. Mengurus dan mengatur
pengelolaan harta kekayaan Desa Pakraman; f. membina
kerukunan umat beragama dalam wilayah Desa Pakraman.
Desa Pakraman memiliki otoritas dalam menyusun peratur-
an adatnya (awig-awig). Seperti dalam pasal 12 ayat 1 me-
nyebutkan awig-awig Desa Pakraman dibuat dan disahkan
oleh krama Desa Pakraman melalui Paruman Desa Pakra-
man. Ayat 2 menegaskan bahwa pihak bupati /walikota ha-
nya berwenang mencatatnya. Pasal 11 ayat 2 disebutkan
awig-awig Desa Pakraman tidak boleh bertentangan de-
ngan agama, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan
hak asasi manusia.

62 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


Pengaturan tentang pendapatan Desa Pakraman, secara te-
gas tidak memasukan anggaran perimbangan daerah/pusat
ke dalam pendapatan desa. Seperti dalam pasal 10 menye-
butkan bahwa pendapatan Desa Pakraman diperoleh dari:
a. urunan krama Desa Pakraman; b. hasil pengelolaan ke-
kayaan Desa Pakraman; c. hasil usaha lembaga perkreditan
desa (LPD); d. bantuan pemerintah dan pemerintah daerah;
e. pendapatan lainnya yang sah; f. sumbangan pihak ketiga
yang tidak mengikat.
Dari review terhadap peraturan-peraturan daerah tersebut
diatas ditemukan adanya beberapa hal yang dapat dijadikan
referensi dalam pembuatan substansi peraturan pemerintah
terkait desa adat, yakni:

1. Defenisi masyarakat hukum adat


Ada dua tipe definisi/penjelasan tentang satuan peme-
rintah terkecil dengan sebutan lokal masing-masing
yang identik dengan pengaturan tentang Desa dalam PP
No. 72/2005. Tipe pertama adalah defenisi yang sama
dengan defenisi desa dalam Pasal 1 PP No. 72/2005
tersebut bahwa “Desa adalah kesatuan masyarakat hu-
kum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwe-
nang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indo-
nesia”. Jenis defenisi ini ada pada Perda Negeri di Am-
bon, Maluku dan Perda Nagari di Agam, Sumatera
Barat. Tipe kedua adalah defenisi yang bersifat spesifik,
menunjukan suatu adat budaya masyarakat termasuk

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 63


hubungannya dengan kepercayaan/agama dan wilayah
adatnya. Tipe defenisi ini ditemukan pada Perda ten-
tang Masyarakat Baduy di Lebak, Jawa Barat dan Desa
Pakraman di Bali.
Pada definisi tipe kedua, hubungan dengan pemerin-
tahan pusat lebih kental pada pengurusan pembinaan
dan pengembangan “adat istiadat”nya termasuk keaga-
maannya dibanding pembinaan dan pengembangan
“kelembagaan” adatnya. Perlu digarisbawahi bahwa ke-
budayaan masyarakat adat tidak terlepas dari hubung-
annya dengan kepercayaan/agama masyarakat adat itu
sendiri. Namun keragaman kepercayaan/agama lokal
yang hidup pada masyarakat adat tidak semuanya di-
akui Negara. Melalui UU No.1/PNPS/1965 jo UU No.
5/1969 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan
atau Penodaan Agama, Negara hanya mengakui enam
agama, yakni Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu,
dan Konghucu. Oleh karena itu, dalam pengaturan ten-
tang agama/kepercayaan Sunda Wiwitan dalam Perda
Kabupaten Lebak cenderung dikelompokan/dikategori-
kan sebagai agama Islam.

2. Ulayat / Wilayah Adat


Masyarakat hukum adat sangat dekat dengan ulayat
termasuk hak-hak penguasaan dan pengelolaannya,
seperti yang dijelaskan dalam bagian penjelasan UU
No. 6/2014 yaitu “pada dasarnya kesatuan masyarakat
hukum adat terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar,
yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan genea-

64 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


logis dengan teritorial”. Dalam Perda-Perda di atas, ula-
yat atau sering disebut juga wilayah adat tidak secara
jelas diatur dimana, berapa luasnya dan bagaimana
ulayat diurus, dimiliki, dikelola dan digunakan. Hanya,
masyarakat adat Baduy yang sudah menetapkan luas-
an dan lokasi ulayatnya. Demikian juga dengan Negari
di Ambon yang telah diatur dalam Pasal 32 Perda No.
3/2008 tentang Negeri.

3. Pemerintahan Desa Adat


Perda-Perda tersebut mengatur adanya beberapa lem-
baga dalam Pemerintahan Desa dengan nama lokal
masing-masing, yakni Kepala Desa (dengan sebutan
lokal masing-masing), Lembaga Adat, dan Lembaga
Musyawarah Adat serta juga lembaga ekonomi. Ma-
sing-masing lembaga memiliki kewenangan, tugas dan
tanggungjawab tersendiri yang berbeda satu sama lain.
Pada prinsipnya pengaturan pemerintahan desa yang
demikian sejalan dengan substansi aturan pemerintah-
an desa dalam PP No. 72/2005 dengan beberapa pe-
nyesuaian sesuai konteks lokal. Pada Perda Lebak ter-
dapat lembaga pemerintah desa yang disebut Jaro
Pamarentah yang mengurus pemerintahan, serta Jaro
Adat yang mengurus urusan adat dan budaya. Nagari
di Sumatera Barat memiliki Wali Nagari, BAMUS serta
KAN. Desa Pakraman di Bali memiliki Prajuru yang me-
ngurus pemerintahan dan Paruman yang mengurus
awig-awig.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 65


4. Masa Jabatan Kepala Desa Adat
Mekanisme penentuan kepala desa dan masa jabatan-
nya diatur sesuai konteks lokal dan/atau juga meru-
juk pada PP No. 72/2005 tersebut. Pengaturan Perda
yang identik dengan pengaturan dalam Pasal 52 PP
No. 72/2005 adalah pada Perda Kota Ambon tentang
Negeri dan Perda Kabupaten Agam tentang Nageri. Se-
dangkan pengaturan pada Perda Lebak mengikuti hu-
kum adat setempat, yakni masa jabatan Jaro Adat di
Masyarakat Baduy adalah sepanjang hidup. Jaro Pama-
rentah dipilih oleh Pu’un. Pada Desa Pakraman di Bali,
Prajuru dipilih dan ditetapkan oleh warga desa menurut
aturan yang ditetapkan dalam awig-awig Desa Pakra-
man masing-masing.

5. Kewenangan Desa Adat


Selain kewenangan penyelenggaraan pemerintahan
dan mengelola kekayaan adat - Negeri, Nagari dan Desa
Pakraman juga memiliki kewenangan penyelesaian
sengketa. Pengaturan penyelesaian sengketa di Negeri
dan Nagari hampir sama dengan substansi pengaturan
dalam Pasal 86 dan 87 PP No. 72/2005. Pada Desa Pa-
kraman, penyelesaian sengketa adalah sengketa-seng-
keta terkait pelaksanaan budaya dan adat istiadat. Mi-
salnya, penyelesaian sengketa ritual adat pembakaran
jenazah di Bali. Semua Perda tidak mengatur tentang
mekanisme complain atau banding terhadap suatu pu-
tusan penyelesaian sengketa – jika ada pihak yang tidak
puas terhadap keputusan tersebut. Perda-Perda terse-

66 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


but juga tidak mengatur tentang sengketa atas tanah /
ulayat/sumber-sumber agraria lainnya.

6. Keuangan Desa Adat


Perda tentang Negeri, Nagari, dan Desa Pakraman me-
ngatur adanya bantuan pemerintah sebagai salah satu
sumber pedapatan/penerimaan.
Selain itu, secara umum komponen pengaturan dalam ber-
bagai peraturan daerah tersebut di atas tidak menunjukan ka-
rakter yang berbeda dari substansi pengaturan dalam PP No.
72/2005, walaupun PP tersebut memberikan peluang pengatur-
an yang lebih otonom terhadap desa sesuai susunan asli dan
berbagai peraturan daerah tersebut. Secara umum, pengaturan
dalam peraturan-peraturan daerah tersebut hanya mengatur
aspek-aspek tertentu dari keberadaan masyarakat hukum adat,
misalnya Perda Kabupaten Lebak, satu mengatur tentang aspek
sosial budaya masyarakat adat Baduy, satu lagi mengatur tentang
hak atas tanah ulayat. Pengaturan seperti itu harus dipahami dan
diterima sebagai konsekuensi yuridis dari ketidakjelasan status
masyarakat hukum adat sebagai penyandang hak, subyek hu-
kum dan pemilik wilayah adatnya. Peraturan-peraturan daerah
tersebut merujuk ke PP No. 72/2005 yang merupakan turunan
dari UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selaras de-
ngan pokok pengaturan dalam PP No. 72/2005 yang menempat-
kan masyarakat hukum adat sebagai salah satu stakeholder dari
mayarakat desa, maka peraturan-peraturan daerah tersebut ti-
dak menyediakan peluang dan pilihan hukum untuk menempat-
kan masyarakat hukum adat sebagai suatu subyek hukum yang
memiliki hak dan kewajiban, wewenang dan tanggungjawab ter-
sendiri.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 67


Meskipun Perda Negeri di Ambon dan Nagari di Sumatera
Barat mencoba membuat pengaturan lebih komprehensif, na-
mun peraturan-peraturan tersebut akhirnya terperangkap juga
dalam kerangka hukum yang dibuat dalam PP No. 72/2005. Aki-
batnya, substansi peraturan-peraturan daerah tersebut hanyalah
merupakan pengaturan lebih lanjut dari PP No. 72/2005 de-
ngan sistematik dan karakter yang sama – hanya berbeda dalam
penggunaan istilah, yakni peraturan-peraturan daerah tersebut
menggunakan istilah lokal daerah masing-masing. Contohnya,
pada desa biasa, kelembagaannya utama terdiri atas Kepala
Desa dan perangkatnya serta Badan Perwakilan Desa (BPD).
Pada Perda Nagari, istilah kepala desa berubah menjadi Wali Na-
gari, sedangkan BPD berubah menjadi Badan Musyawarah Desa
(BAMUS). Penelusuran lebih jauh terhadap istilah Wali Nagari di
Sumatera Barat – melalui percakapan dengan Mora Dingin yang
adalah Direktur Qbar dari Sumatera Barat – ternyata istilah / se-
butan Wali Nagari sebenarnya berasal dari sebutan lokal bagi
pemungut pajak zaman Belanda yang disebut Wali Basurek. Pe-
mungut pajak ini ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda mela-
lui suatu Surat Keputusan (SK). Wali Basurek berperan meng-
hubungkan kepentingan pemerintahan kolonial Belanda dengan
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dalam pemungutan
pajak. Dengan kata lain, pemungut pajak ini berperan sebagai
penghubung antara masyarakat hukum adat dengan pemerintah
Hindia Belanda. Peran dasar sebagai penghubung inilah yang di-
tranformasikan ke Wali Nagari melalui Perda Nagari. Karena pe-
ran, fungsi, tugas dan tanggungjawab sebagai Wali Nagari, maka
Wali Nagari dengan sendirinya berperan sebagai penghubung
antara masyarakat Nagari dengan lembaga-lembaga pemerin-
tah di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi dan pemerintahan

68 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


pusat. Peran dan fungsi yang kurang lebih sama dengan peran
dan fungsi pemungut pajak zaman Hindia Belanda.
Dengan berlakunya UU No. 6/2014, maka pengaturan da-
lam berbagai peraturan daerah terkait keberadaan masyarakat
hukum adat harus disesuaikan dengan substansi aturan dalam
Bab XIII, Pasal 96 – 111 Undang-undang tersebut yang meletak-
kan masyarakat hukum adat sebagai penyandang hak dan sub-
yek hukum. Sebagai penyandang hak, masyarakat hukum adat
mendapatkan kejelasan status kewarganegaraannya sebagai
warga Negara Republik Indonesia. Sebagai subyek hukum, ma-
syarakat hukum adat mendapatkan hak dan kewajiban dalam
perbuatan-perbuatan hukum di dalam wilayah Republik Indone-
sia. Jika kemudian, suatu masyarakat hukum adat memilih me-
ngubah status keberadaanya di suatu wilayah adat tertentu men-
jadi desa adat, maka dengan sendirinya semua ketentuan Pasal
96 – 111 UU Desa harus digunakan dalam hubungan hukum
antara desa adat tersebut dengan berbagai pihak terkait. Dalam
konteks tersebut, semua peraturan daerah yang telah ada harus
direvisi sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Ketentuan Peralihan
UU No. 6/2014 bahwa “penyelenggaraan pemerintahan desa
yang sudah ada wajib menyesuaikannya dengan ketentuan da-
lam undang-undang ini” dan juga Pasal 119 Ketentuan Penutup
bahwa “semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan langsung dengan Desa wajib mendasarkan dan me-
nyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan Undang-Undang
ini”.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 69


BAB 5
POKOK-POKOK PENGATURAN DESA ADAT
DALAM UU NO. 6/2014 TENTANG DESA

Sebagai tindaklanjut terhadap norma Pasal 18B Ayat (2)


UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012,
maka Undang-Undang No. 6/2014 tentang Desa membuat sua-
tu aturan khusus tentang desa adat yang dimuat dalam Bab XIII,
Pasal 96 – 111. Selain merujuk pada aspek filosofis (Pasal 18 B
Ayat 2) dan aspek yuridis (Putusan MK No. 35/2012), ketentuan
khusus tentang desa adat dalam undang-undang ini juga secara
sosiologis merupakan salah satu hasil dari gerakan perjuangan
masyarakat hukum adat dan para eksponen pendukungnya. Pa-
sal 18 B Ayat (2) UUD 1945 telah mengakui kewarganegaraan
masyarakat hukum adat sebagai penyandang hak, subyek hu-
kum dan pemilik wilayah adatnya. Pengakuan itu ditegaskan oleh
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan terhadap perkara nomor
35/PUU-X/2012. Akan tetapi, pengakuan konstitusional UUD
1945 dan penegasan Mahkamah Konstitusi tidak akan imple-
mentatif jika tidak ada pengaturan lebih lanjut di tingkat undang-
undang – sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2) UU
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
– yang selanjutnya dapat diturunkan ke pengaturan-pengaturan
lebih teknis, sampai ke tingkat daerah dalam bentuk peraturan

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 71


daerah provinsi dan kabupaten/kota maupun peraturan guber-
nur dan bupati/walikota. Dalam kaitannya dengan konteks terse-
but, maka UU Desa merupakan undang-undang pertama yang
telah menindaklanjuti norma Pasal 18 B Ayat (2) dan Putusan
MK 35/2012 melalui Ketentuan Khusus Bab XIII tersebut.
Sebagaimana disebutkan beberapa kali dalam uraian di
atas, norma Pasal 18 B Ayat (2) pada pokoknya memberikan
pengakuan kepada masyarakat hukum adat dalam 3 aspek yang
terkait satu sama lain secara utuh, yakni penyandang hak, su-
byek hukum dan pemilik wilayah adatnya. Pokok-pokok peng-
aturan dalam Bab XIII – yang terdiri atas 4 kelompok pengaturan,
yakni : 1) pengaturan tentang Penataan Desa Adat yang terdiri
atas penetapan, pembentukan (termasuk didalamnya pengga-
bungan dan penghapusan), dan penataan; 2) Wewenang Desa
Adat; 3) Pemerintahan dan Peraturan Desa Adat; 4) Hubungan
antara pengaturan di Bab XIII Pasal 96 – 111 dengan Pasal-Pasal
lain dalam Undang-Undang Desa – merupakan pengaturan lan-
jutan terhadap pengakuan konstitusional terhadap masyarakat
hukum adat sebagai subyek hukum dan penyadang hak. Se-
dangkan pengaturan terkait pada pengakuan konstitusi kepada
masyarakat hukum adat sebagai pemilik wilayah adatnya di-
batasi oleh UU Desa, karena adanya syarat “harus sesuai de-
ngan peraturan perundang-undangan lainnya” – sebagaimana
dianalisis dan dijelaskan dalam sub bagian terkait wewenang
masyarakat hukum adat. Dengan kata lain, UU No. 6/2014 telah
memberikan tempat kepada 2 komponen pengakuan konstitusi
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, yakni sebagai pe-
nyandang hak dan subyek hukum. Sedangkan sebagai pemilik
wilayah adat, UU No. 6/2014 ini memiliki keterbatasan terkait
pada pengaturan yang telah ada dalam sejumlah undang-un-

72 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


dang sektoral terkait. Keterbatasan ini secara yuridis tidak da-
pat dijembatani melalui pengaturan pada peraturan pemerintah
atau peraturan lain di bawah undang-undang, oleh karena pera-
turan pemerintah dan peraturan lain di bawahnya tidak dapat
membuat norma baru yang belum ada di level undang-undang.
Pembuatan norma baru untuk mengakomodir pengakuan kon-
stitusi terhadap kesatuan masyarakat hukum adat sebagai pe-
milik wilayahnya hanya dapat dilakukan melalui 2 cara, yakni 1)
revisi undang-undang terkait – dalam hal ini UUPA, UU Kehutan-
an, UU Minerba dan undang-undang terkait lainnya; 2) membuat
undang-undang baru, antara lain melalui RUU Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPMHA).

- Penetapan, Pembentukan dan Penataan Desa Adat.


Penetapan, pembentukan dan penataan desa adat merupa-
kan suatu rangkaian proses berkesinambungan jika men-
cermati logika susunan pasal-pasal pengaturan dalam UU
Desa. Pasal 96 mengatur tentang penetapan desa adat
melalui suatu peraturan daerah yang diikuti oleh Pasal 97
mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu ke-
satuan masyarakat hukum adat untuk menjadi desa adat
ataupun suatu desa atau kelurahan yang telah ada sebe-
lum berlakunya UU No. 6/2014. Pembentukan desa adat di-
atur dalam Pasal 98–101, kemudian penataan diatur dalam
Pasal 101–102.
Syarat penetapan desa adat dalam Pasal 97 mempunyai 2
sifat, yakni sifat imperatif atau keharusan, yakni memiliki
wilayah adat sebagaimana diatur dalam Pasal 97 Ayat (2),
dan sifat alternatif sebagaimana diatur atur dalam Pasal 97

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 73


Ayat (2) a, b, c dan d. Syarat-syarat tersebut memerlukan
pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah sehing-
ga tidak menimbulkan multi tafsir. Misalnya syarat perasaan
bersama dalam Pasal 97 Ayat 2a, dan seterusnya.
Dari aspek prosedur atau tatacara, pasal-pasal tentang pe-
netapan dan pembentukan dan penataan desa adat, UU
Desa tidak mengatur hal tersebut. Pasal 98 dan 101 Ayat (2)
hanya mengatur bahwa penetapan dan penataan desa adat
dilakukan melalui suatu peraturan daerah. Walau pasal-pasal
tentang pembentukan desa adat sebagaimana diatur dalam
Pasal 98 Ayat (2) – 100 tidak mengatur tentang pemben-
tukan desa adat melalui peraturan daerah, namun dengan
merujuk ke pengaturan tentang penetapan dan penataan,
maka dapat disimpulkan bahwa pembentukan desa adat
juga seharusnya dilakukan melalui suatu peraturan daerah.
Dengan pengaturan bahwa penetapan, pembentukan dan
penataan desa adat dilakukan melalui peraturan daerah,
maka prosedur atau tatacara yang digunakan dalam pem-
buatan peraturan daerah tentang penetapan, pembentukan
dan penataaan desa adat tersebut tunduk pada tatacara
yang diatur dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Tahapan dan tatacara
pembuatan peraturan daerah yang diatur dalam UU No.
12/2011 terdiri dari 1) pembuatan Program Legislasi Dae-
rah/Prolegda (Pasal 33-41); (2) Penyusunan (Pasal 56-63);
3) Pembahasan dan Penetapan (Pasal 75-80); 4) Pengun-
dangan (Pasal 86-87); dan (5) Penyebarluasan (Pasal 92-95).
Pertanyaan terkait pada proses formal penetapan, pemben-
tukan dan penataan desa adat adalah bagaimana desa-desa

74 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


adat dalam suatu wilayah kabupaten/kota dapat ditetapkan,
dibentuk dan ditata. Jawabannya formalnya adalah melalui
kajian akademik yang akan menghasilkan naskah akademis
yang akan menjadi basis rancangan suatu peraturan daerah
kabupaten/kota yang dimulai dengan proses penyusunan
sebagaimana diatur dalam Pasal 56 – 63 UU No. 12/2011.
Akan tetap proses formal seperti itu tidak dapat serta merta
diterapkan dalam penetapan, pembentukan dan penataan
desa adat oleh karena adanya karakter spesifik dari kesatu-
an-kesatuan masyarakat hukum adat di suatu wilayah admi-
nistratif kabupaten/kota. Untuk itu diperlukan sejumlah
upaya pendahuluan – sebelum dilakukannya proses formal
mengikuti pengaturan UU No. 12/2011 tersebut di atas –
sebagai berikut:
a) Identifikasi masyarakat hukum adat yang akan ditetap-
kan, dibentuk dan ditata sebagai desa adat. Identifikasi
tersebut menggunakan kriteria/syarat yang telah diatur
dalam Pasal 97 Ayat (2) sebagai rujukan. Identifikasi
tersebut dapat dilakukan oleh 3 pihak berbeda, yakni
1) suatu masyarakat hukum adat itu sendiri; 2) suatu
kesatuan masyarakat hukum adat bersama-sama de-
ngan lembaga-lembaga masyarakat sipil; 3) pemerin-
tah daerah kabupaten/kota setempat; Identifikasi oleh
masyarakat hukum adat disebut sebagai identifikasi
sendiri (self identification) yang diajukan ke lembaga
pemerintah terkait di tingkat kabupaten/kota yang ber-
tanggungjawab mengurusi desa. Identifikasi oleh pe-
merintah daerah setempat dapat berbentuk deklara-
si keberadaan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 75


adat dalam suatu wilayah administrasi pemerintahan
kabupaten/kota.
b) Verifikasi. Verifikasi dilakukan oleh suatu tim yang ang-
gotanya terdiri dari wakil masyarakat hukum adat se-
tempat, wakil lembaga-lembaga masyarakat sipil dan
wakil pemerintah. Verifikasi ini dilakukan terhadap keti-
ga jenis identifikasi pada huruf a.
c) Sosialisasi. Sosialisasi ini dilakukan oleh tim verifikasi
yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/
Kota setempat, termasuk dalam urusan pembiayaan.
Sosialisasi dilakukan melalui pertemuan-pertemuan
langsung dengan masyarakat desa-desa tetangga serta
juga melalui media massa setempat, antara lain radio
dan koran lokal;
d) Musyawarah adat. Musyawarah ini dilakukan oleh kesa-
tuan masyarakat hukum adat yang mengusulkan peru-
bahan statusnya menjadi suatu desa adat. Musyawarah
ini difasilitasi pembiayaannya oleh pemerintah daerah
kabupan/kota setempat. Jika hasil musyawarah menye-
pakati perubahan status menjadi desa adat, maka pe-
merintah daerah setempat menindaklanjuti hasil mu-
syawarah tersebut melalui penetapan, pembentukan
dan penataan desa adat.

- Wewenang Desa Adat.


Pasal 103-105 mengatur sejumlah kewenangan desa adat
dalam 3 kategori berbeda, yakni kewenangan berdasarkan
hak asal-usul (Pasal 103), kewenangan berskala lokal (Pasal
104) dan kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah pu-

76 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


sat, provinsi dan kabupaten/kota. Selaras dengan penjelasan
Pasal 19a UU Desa, maka wewenang asal-usul merupakan
wewenang warisan turun termurun yang masih hidup yang
antara lain terkait dengan sistem organisasi masyarakat
adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas
desa serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat desa
(Focus Group Discussion tanggal 13 Februari 2014 di Bo-
gor). Kewenangan berdasarkan hak asal usul terdiri atas 1)
pengaturan dan pengurusan pemerintahan berdasarkan
susunan asli; 2) pengaturan dan pengurusan wilayah adat;
3) pelestarian nilai sosial budaya; 4) penyelesaian sengketa
adat; 5) pelaksanaan sidang perdamaian peradilan desa
adat; 6) pemeliharaan keamanan dan ketertiban; dan 7)
pengembangan kehidupan hukum adat.
Dalam penjelasan Pasal 103 huruf a dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan susunan asli adalah “sistem organisasi
kehidupan Desa Adat yang dikenal di wilayah masing-ma-
sing”. Oleh karena desa adat yang dimaksud mengacu ke-
pada keberadaan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat yang menjadi penyandang hak dan subyek hukum
dari suatu desa adat, maka susunan asli tersebut adalah
susunan organisasi kehidupan suatu kesatuan masyarakat
hukum adat. Penjelasan Pasal 103 huruf b menyatakan
“Yang dimaksud dengan “ulayat atau wilayah adat” ada-
lah wilayah kehidupan suatu kesatuan masyarakat hukum
adat”. Melengkapi penjelasan resmi UU Desa terhadap
berbagai kewenangan tersebut, Focus Group Discussion
(FGD) Desa Adat yang diadakan pada tanggal 13 Februari
2014 merumuskan beberapa penjelasan tambahan terha-
dap kewenangan-kewenangan tertentu yang diatur dalam

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 77


Pasal 103 tersebut, yakni 1) Pemerintahan berdasarkan su-
sunan asli adalah: sistem organisasi kehidupan desa adat
yang dikenal atau yang disepakati oleh masyarakat adat di
wilayah masing-masing; 2) Pengaturan & Pengurusan Ula-
yat dan Wilayah Adat diselaraskan dengan Putusan MK
No. 35/2012, pengakuan hak pengaturan dan pengurusan
ulayat dan wilayah adat oleh sistem pemerintahan adat; 3)
Sengketa adat adalah sengketa atas hal-hal yang berkaitan
dengan adat termasuk dan tidak terbatas pada: norma taf-
sir, penerapan, pelenggaran dan sanksi adat baik oleh indi-
vidu atau kelompok dalam masyarakat adat. Dimana sanksi
yang diberikan tidak bertentangan peraturan perundangan
dan HAM. Tata cara penyelesaian sengketa adat terdiri dari:
a) Berdasarkan ketentuan adat yang berlaku baik secara
tertulis dan tidak tertulis; b) secara musyawarah; c) Proses
dan keputusan sengketa adat didorong bersifat tertulis; 4)
Sidang perdamaian peradilan adat dilakukan oleh Peradilan
Adat yang adalah a) Lembaga Peradilan yang dibentuk dan
merupakan bagian sistem adat; b) Lembaga peradilan na-
sional yang diselenggarakan oleh hakim dan berdasarkan
hukum adat. Lembaga peradilan adat tersebut dibentuk
dalam rangka penyelesaian sengketa adat menurut keten-
tuan adat setempat yang mengutamakan musyawarah dan
mufakat. Agar penyelesaian sengketa, Hukum dan Peradilan
Adat sesuai prinsip HAM dan Demokrasi, maka perlu kaji
ulang hukum dan sistem peradilan adat.
Oleh karena sebelum berlakunya UU Desa, Negara telah
mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan
terkait masyarakat hukum adat, maka pelaksanaan wewe-
nang yang bersumber pada hak asal usul sebagaimana di-

78 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


atur dalam Pasal 103 UU No. 6/2014 harus memperhatikan
juga perundang-undangan terkait tersebut. Dalam hal terse-
but terdapat 3 kewenangan yang bersangkut paut dengan
aturan perundang-undangan lain yang telah ada dan masih
berlaku, yakni 1) kewenangan pengaturan dan pengurusan
wilayah adat – terkait pada sejumlah peraturan perundang-
undangan tentang agraria, sumber daya alam dan tata ru-
ang.; 2) kewenangan penyelesaian sengketa adat; dan 3)
kewenangan melakukan sidang perdamaian peradilan desa
adat – terkait pada peraturan perundang-undangan kekua-
saan kehakiman. Implementasi ketiga kewenangan tersebut
oleh desa adat tidak boleh bertentangan atau harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan terkait yang telah
ada dan masih berlaku. Kewenangan desa adat mengatur
dan mengurus sumber-sumber agaria dan alam dalam wi-
layah adatnya dibatasi oleh Hak Menguasai Negara (HMN)
dalam UUPA, UU Kehutanan dan sejumlah undang-undang
lain terkait obyek hukum tersebut. Kewenangan penyelesai-
an sengketa adat juga harus tunduk pada aturan penyele-
saian sengketa dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Demi-
kian juga dengan kewenangan penyelenggaraan sidang
perdamaian peradilan desa adat – harus tunduk pada UU
Kekuasaaan Kehakiman dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), kecuali untuk kasus-kasus tertentu
yang dilimpahkan oleh lembaga hukum tertentu, antara lain
seperti Kepolisian dalam hal tindak pidana ringan (TIPIR-
ING).
Jika dikaitkan dengan pengaturan dalam UUPA, UU Kehu-
tanan dan sejumlah peraturan perundang-undangan lain
terkait pengaturan atas bumi, air dan kekayaaan alam yang

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 79


terkandung didalamnya, maka pelaksanaan wewenang desa
adat dalam pengaturan dan pengurusan sumber-sumber
agraria dan alam dalam suatu wilayah desa adat dibatasi
oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Pengaturan
dan pengurusan desa adat atas tanah dan hutan harus tun-
duk pada pengaturan di UUPA dan UU Kehutanan. Dalam
pengaturan dan pengurusan hutan adat, desa adat harus
tunduk pada wewenang Pemerintah yang diatur dalam Pasal
4 Ayat 2 UU Kehutanan. Walau Putusan Mahkamah Kon-
stitusi Nomor 35/2012 telah mengubah status hutan adat
menjadi hutan hak masyarakat hukum adat, namun Putus-
an tersebut tidak serta merta membatalkan Hak Menguasai
Negara atas hutan yang diatur dalam Pasal 4 Ayat 1 dan 2
UU Kehutanan yang memberikan kewenangan kepada Ne-
gara melalui Kementerian Kehutanan untuk 1) mengatur
dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hu-
tan; 2) menetapkan status wilayah tertentu sebagai suatu
kawasan hutan atau bukan; 3) mengatur dan menetapkan
hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan.
Aturan yang sama berlaku atas tanah sebagaimana diatur
dalam UUPA dan atas air sebagaimana diatur dalam UU
Sumber Daya Air.
Penyelesaian sengketa adat tidak memiliki hubungan jelas
dengan peraturan perundang-undangan yang masih berla-
ku, terutama UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakim-
an. Hubungan ini hanya dapat ditafsir melalui pengaturan
dalam Pasal 58 dan 60 UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 58
menyatakan bahwa “Upaya penyelesaian sengketa perdata
dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase
atau alternatif penyelesaian sengketa”. Pasal 60 menyata-

80 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


kan “ (1) Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lem-
baga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, media-
si, konsiliasi, atau penilaian ahli. (2) Penyelesaian sengketa
melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana di-
maksud pada ayat (1) hasilnya dituangkan dalam kesepa-
katan tertulis. Kesepakatan secara tertulis sebagaimana di-
maksud pada ayat (2) bersifat final dan mengikat para pihak
untuk dilaksanakan dengan itikad baik.
Wewenang mengadakan sidang perdamaian peradilan adat
yang diatur dalam UU Desa merupakan bagian dari kewe-
nangan kekuasaan kehakiman dalam konstruksi hukum Ne-
gara. Kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 Ayat 2 UUD
1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Kon-
stitusi dan badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah
Agung dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan per-
adilan agama, lingkungan peradilan militer dan peradilan ta-
ta usaha Negara. Ayat 3 mengatur bahwa kekuasaan keha-
kiman itu dapat dijalankan oleh badan-badan lain melalui
pengaturannya dalam undang-undang. Oleh karena UU
No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak meng-
atur tentang peradilan adat, maka undang-undang tersebut
tidak dapat dijadikan rujukan pelaksanaan kewenangan si-
dang perdamaian peradilan adat sebagaimana diatur dalam
Pasal 103 UU No. 6/2014. Namun dikarenakan pelaksanaan
kewenangan peradilan desa yang diatur dalam Pasal 103
UU No. 6/2014 terkait dengan aturan materil dan formil per-
adilan, maka pengejawantahannya harus dilakukan melalui
suatu peraturan pemerintah tersendiri tentang peradilan

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 81


desa adat. Dalam peraturan pemerintah dapat dirumuskan
yurisdiksi dan tata cara pelaksanaan peradilan desa adat.
FGD Desa Adat pada tanggal 13 Februari 2014 juga mem-
berikan catatan khusus bahwa putusan peradilan adat tidak
secara otomatis menghilangkan tuntutan pidana terha-
dap kasus-kasus tertentu, misalnya kasus perkosaan. Da-
lam kaitannya dengan hal-hal seperti itu, maka diperlukan
adanya pengaturan yang jelas terhadap yurisdiksi peradil-
an adat sehingga tidak bertabrakan dengan peraturan per-
undang-undangan lainnya. Dari rumusan Pasal 103 UU
Desa tentang kewenangan mengadakan sidang perdamai-
an peradilan adat, maka dapat ditafsirkan bahwa putusan
peradilan desa adat hanyalah bersifat mendamaikan yang
tentunya sesuai dengan hukum adat dan aturan perundang-
undangan lainnya.

- Pemerintahan dan Peraturan Desa Adat


Pemerintahan Desa Adat diatur dalam Pasal 107–109 UU
No. 6/2014. Sedangkan Peraturan Desa Adat diatur dalam
Pasal 110. FGD Desa Adat pada tanggal 13 Februari 2014
merekomendasikan sejumlah hal terkait untuk memperje-
las dan mempertegas pengaturan lebih lanjut dari Pasal
108, 109 dan 110 kedalam peraturan pemerintah sebagai
berikut: 1) Musyawarah desa adat mencakup musyawarah-
musyawarah yang telah dilakukan sesuai adat masing-ma-
sing dan musyawarah perencanaan pembangunan desa
adat (terkait dengan pengaturan tentang musyawarah dalam
Pasal 108); 2) untuk pembuatan peraturan daerah yang
diatur dalam Pasal 109, maka pemerintah daerah provinsi

82 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


harus melakukan: a) kajian sosio-historis yang memper-
hatikan: i) proses pencalonan dan pemilihan kepala desa
adat; ii) masa jabatan kepala desa adat); iii) kedudukan dan
hubungan antar jenis kelamin, antar golongan, antar suku,
antar agama; iv) model-model kelembagaan adat; v) pem-
bagian wewenang, termasuk pengawasan antar lembaga
adat; b) Mengadakan penjaringan aspirasi publik; c) pem-
buatan naskah akademik peraturan daerah yang selanjutnya
mengikut prosedur perencanaan dan pembuatan peraturan
daerah yang diatur dalam UU No. 12/2011 tentang Pem-
bentukan Peraturan Perundang-undangan. Penegasan lain
terkait pengaturan dalam Pasal 109 adalah tentang susun-
an kelembagaan pemerintahan desa adat yang terdiri dari
kepala desa adat dan badan musyawarah desa adat. Badan
musyawarah desa adat terdiri dari perwakilan seluruh unsur
masyarakat yang ada di desa adat, termasuk minimal 30%
perwakilan perempuan, serta kelompok masyarakat lainnya;
3) untuk peraturan desa adat, peserta FGD mengusulkan
adanya pembatasan konstitusional terhadap syarat tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, se-
hingga dalam peraturan pemerintah yang mengatur lebih
lanjut terhadap pelaksanaan peraturan desa adat yang di-
atur dalam Pasal 110 UU No. 6/2014 dijelaskan bahwa: a)
yang dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan per-
undang-undangan adalah peraturan perundang-undangan
yang tidak bertentangan dengan konstitusi; b) Peraturan
desa adat adalah peraturan dalam bentuk tertulis dan tidak
tertulis.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 83


BAB 6
REKOMENDASI

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian pemba-


hasan tentang Pokok-Pokok Pengaturan Desa Adat dalam Bab
XIII, Pasal 96–111 yang menemukan adanya sejumlah norma
hukum yang perlu diperjelas melalui pengaturan lanjutan ter-
hadap UU No. 6/2014 tersebut kedalam peraturan pemerintah,
maka policy paper ini merekomendasikan sejumlah rumusan
pengaturan ke dalam peraturan pemerintah. Rekomendasi ini
bersifat teknis terkait pasal-pasal tertentu yang telah direview
dan dianalisis oleh Dr. Rikardo Simarmata (Fakultas Hukum Uni-
versitas Gajah Mada) sebagai salah satu narasumber ahli yang
diminta melalukan review dan analisis tersebut.24
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, hasil review dan anali-
sis Dr. Simarmata yang dituangkan dalam satu kertas kerja ber-
judul “analisis terhadap UU No 6/2014 dan usulan-usulan materi
pengaturan rancangan PP” itu telah didiskusikan dalam suatu
lokakarya yang diadakan pada tanggal 7-8 Maret 2014. Peserta

24 Lihat Simarmata, 2004. op.cit.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 85


lokakarya mendiskusikan dan merumuskan sejumlah rumusan
pengaturan lanjutan yang diusulkan untuk dituangkan kedalam
rancangan Peraturan Pemerintah sebagai suatu pengaturan lan-
jutan terhadap UU No. 6/2014 – yang mana didalamnya ter-
masuk pengaturan tentang Desa Adat. Untuk memudahkan
penggunaannya, maka rumusan-rumusan yang dihasilkan dari
lokakarya tersebut ditulis kedalam tabel di bawah ini:

86 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Ketentuan di luar Bab XIII yang memerlukan elaborasi
Pasal 8 Ayat (7)
Desa persiapan sebagaimana dimaksud pada atau dipenuhi selama masa tahapan sebagai berikut :
persiapan sehingga lolos dalam 1.
Desa dalam jangka waktu 1 (satu) sampai 3 evaluasi 2.
Desa Induk, luas wilayah,
sumberdaya manusia dan alam,
pembiayaan, Lembaga Adat dan
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

3.

4. Musyawarah seluruh warga Desa


5.
bentukan desa baru

7.
87
88
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

8.

Pasal 113 sampai dengan 115


Pasal 113 1. Juklak dan juknis perlu disiapkan
perlu diarahkan menuju sistem
pengawasan dan pembinaan
isinya disesuaikan dengan loka
a. Memberikan pedoman dan standar pelak litas daerah yang proses pem

masyarakat
b. Memberikan pedoman tentang dukungan demikian, besar kemungkinan

akukan monitoring dan evalu


tersebut akan menjadi ham asi yang hasilnya sebagaimana
Memberikan penghargaan, pembimb diatur oleh peraturan perundang
ingan, dan pembinaan kepada lembaga
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
d. Memberikan pedoman penyusunan peren

e. Memberikan pedoman standar jabatan

Memberikan bimbingan, supervisi, dan

g. Memberikan penghargaan atas prestasi


Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

yang dilaksanakan dalam penyeleng

h. Menetapkan bantuan keuangan langsung

i.

j.
89
90
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

k.

l.

m.

sama Desa.
Pasal 114

a.

b.
dalam rangka pemberian alokasi dana

Melakukan pembinaan peningkatan kapasi


Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
d.

e.

keuangan, bantuan pendampingan, dan

Melakukan bimbingan teknis bidang ter


Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

g. Melakukan inventarisasi kewenangan

h. Melakukan pembinaan dan pengawasan

i.

j.
nentuan kesatuan masyarakat hukum adat
91
92
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

k. Membina dan mengawasi penetapan peng

Pasal 115

a. Memberikan pedoman pelaksanaan

b.

Memberikan pedoman penyusunan peren

d.

e.

Menetapkan pembiayaan alokasi dana


Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
g.

h. Melakukan pembinaan dan pengawasan

i.

waratan Desa, lembaga kemasyarakatan,

j. Memberikan penghargaan atas prestasi


Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan

tan Desa, lembaga kemasyarakatan, dan

k.

l.
nan Desa melalui bantuan keuangan, ban

m.

dan
93
94
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

n. Memberikan sanksi atas penyimpangan

undangan.
Ketentuan Bab XIII yang perlu dileborasi
Pasal 97 Ayat (2) huruf a Yang dimaksud dengan perasaan
bentuk perasan bersama bersama adalah:
hak tradisionalnya yang masih hidup seba

memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi ada


salah satu atau gabungan unsur adanya: mengakomodir perbedaan
a. Masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok etnis dalam satu
bersama dalam kelompok wilayah
Pasal 97 Ayat (4) huruf b
atau norma hukum adat
(4) Suatu kesatuan masyarakat hukum adat be
serta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud
diperlukan ketentuan yang
mengatur mengenai proses musyawarah masyarakat adat
atau mekanisme untuk me
nentukan apakah sesuai atau
Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan
bertentangan
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
b. substansi norma hukum adatnya sesuai Sekaligus perlu ditentu
kan lebih lanjut mengenai mereduksi kemenangan lembaga
adat, karena kekuatan kelemba
turan adat yang dimaksud. gaan desa adat adalah hukum
Apakah menunjuk pada
baik aturan tertulis maupun itu pernyataan yang dimaksud

yang tertulis. Bila termasuk turan perundangan yang berlaku


adalah peraturan perundangan
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

saat membuat keputusan


mengenai bertentangan

Pasal 103
rasi sebisa mungkin supaya
menjamin kebebasan hukum pemerintah
desa untuk melakukan perbua
tan (dilaksanakan oleh pemer nyelesaian kasus
a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan
intahan desa) sesuai dengan pidana ringan) ke Desa adat untuk
kewenangannya diselesaikan melalui musyawarah
b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau
yang ada
95
96
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan


hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam
wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi
manusia dengan mengutamakan penyelesa
SDA berdasarkan hukum adat
e. penyelenggaraan sidang perdamaian per dan dilaksanakan oleh Desa Adat
adilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan

masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum

Pasal 103 huruf d&e Ditentukan lebih lanjut kapan


d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan penyelesaian sengketa adat kan sesuai dengan hukum adat
hukum adat yang berlaku di Desa Adat dilakukan dan kapan sidang per yang berlaku di desa adat tersebut.
dalam wilayah yang selaras dengan prinsip damaian peradilan (pembagian
hak asasi manusia dengan mengutamakan sebagaimana tersebut di atas
merupakan mekanisme penyele
e. penyelenggaraan sidang perdamaian per saian sengketa baik kasus perdata
adilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan
pertama.
Jika dapat diselesaikan di desa adat
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Pasal 106

belum diatur dalam hukum adat yang


menganulir pengakuan atas su berlaku di Desa adat tersebut.
Adat, pembinaan kemasyarakatan Desa
Adat, dan pemberdayaan masyarakat Desa kewenangan desa adat.
Adat.
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

ayat (1) disertai dengan biaya


Pasal 100 Saat terjadi perubahan status desa
(1) Status Desa dapat diubah menjadi Desa adat menjadi keluruhan maka aset
Adat, kelurahan dapat diubah menjadi Desa kekayaan akan merupakan desa adat yang dialihkan menjadi
Adat, Desa Adat dapat diubah menjadi pertemuan sistem hukum yang aset kabupaten adalah aset yang
Desa, dan Desa Adat dapat diubah menjadi bersumber dari Negara bukan berasal
kelurahan berdasarkan prakarsa masyarakat jauh sejauhmana ketentuan dari hak asal usul
yang bersangkutan melalui Musyawarah

gan hukum negara mengenai


97

kekayaan desa
98
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

(2) Dalam hal Desa diubah menjadi Desa Adat,


kekayaan Desa beralih status menjadi
kekayaan Desa Adat, dalam hal kelurahan
berubah menjadi Desa Adat, kekayaan kelu
rahan beralih status menjadi kekayaan Desa
Adat, dalam hal Desa Adat berubah menjadi
Desa, kekayaan Desa Adat beralih status
menjadi kekayaan Desa, dan dalam hal Desa
Adat berubah menjadi kelurahan, kekayaan
Desa Adat beralih status menjadi kekayaan

Pasal 109
Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan gan pasal ini maka desa adat hanya untuk mengesahkan aturan
hukum adat tentang susunan kelem
hukum adat ditetapkan dalam peraturan dae pemerintahan desa seba bagaan, pengisian jabatan, dan masa
jabatan kepala Desa Adat
perlu dielaborasi ketentuan
mengenai susunan asli di
mana bahan dasarnya sudah
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP

susunan kelembagaan,
pengisian dan masa jabatan
kepala adat yang akan diatur

dihindari mengatur detail

gi pelaksanaan susunan asli


Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

Pasal 110
Menegaskan komentar dan

lebih lanjut bahwa peratu


dangan ran desa adat yang dimak

peraturan desa sebagaimana


99
100
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

Ketentuan-ketentuan yang perlu dibuat lebih jelas dan terang


Pasal 18
tradisional, tetapi keduanya saling

kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan


usul juga dalam beberapa
masyarakat Desa berdasarkan prakarsa

Desa

memproyeksikan dimensi
waktu sehingga disebut seba laskan bahwa warisan budaya adalah
gai warisan
yang melampaui 50 tahun.
Yang dimaksud dengan warisan yang

asaan yang masih hidup dan diprak


Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Pasal 19

a.
b.

d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh


Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS
101
102
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

(1) Desa berhak:


a. desa dengan kewenangan desa berhak mendapatkan pengakuan
masyarakat berdasarkan hak asal usul, dan perlindungan dari pemerin

b. menetapkan dan mengelola kelemba menerima bagian keuntungan


yang didapat dari pengelolaan
mendapatkan sumber pendapatan.
(2) Desa berkewajiban:
berbagai hal yang berkaitan den
a. melindungi dan menjaga persatuan,
gan masyarakat dan wilayah desa
kesatuan, serta kerukunan masyarakat
Desa dalam rangka kerukunan nasional
urus dan mengatur masyarakat,
menata ruang dan wilayahnya
b. meningkatkan kualitas kehidupan
potensi kekayaan sumberdaya
d. mengembangkan pemberdayaan
gan dengan pihak luar berkaitan
dengan pengelolaan sumberdaya
e. memberikan dan meningkatkan pelay
alam di wilayahnya
anan kepada masyarakat Desa
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Pasal 68
(1) Masyarakat Desa berhak:
a.

pembinaan kemasyarakatan Desa, dan

b. memperoleh pelayanan yang sama dan


Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

menyampaikan aspirasi, saran, dan

bertanggung jawab tentang kegiatan

pembinaan kemasyarakatan Desa, dan

d.
menjadi:
103
104
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

4. anggota lembaga kemasyarakatan


Desa.
e. mendapatkan pengayoman dan perlind
ungan dari gangguan ketenteraman dan

(2) Masyarakat Desa berkewajiban:


a. membangun diri dan memelihara ling

b.

binaan kemasyarakatan Desa, dan pem

d. memelihara dan mengembangkan

kekeluargaan, dan kegotongroyongan di

e.
di Desa.
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Pasal 97 Ayat (1) huruf a) Apakah berdasarkan ikatan
genealogis, teritorial atau ketunggalan desa adat adalah ikatan
berdasarkan genealogis, teritorial
a. kesatuan masyarakat hukum adat atau berdasarkan teritorial, ge

dan tradisinya
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

Pasal,97 Ayat (2) huruf d;


ligus penjelasan perbedaan yang berlaku di wilayah adat itu.
hak tradisionalnya yang masih hidup seba Siapa yang melanggar peraturan itu
akan dituntut dalam peradilan adat
harus memiliki wilayah dan paling kurang dan akan mendapat denda adat.
memenuhi salah satu atau gabungan unsur
adanya hukum adat, norma adat dan

peraturan adat. adat.


105
106
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

Apakah peraturan desa adat Norma adat adalah : tradisi dan


merupakan hukum adat kebiasaan yang berlaku di wilayah itu

bagaimana mekanisme pem


buatannya dan siapa yang melanggarnya, pelanggar hanya akan
mendapatkan sangsi sosial & moral

pada aturan adat & tradisinya.


Norma adat sama dengan norma

Yang membuat peraturan desa adat


adalah kesatuan masyarakat hukum
adat melalui musyawarah adat dan
pranata adat.

lebih pada administrasi pengaturan


desa adat dan wilayahnya. Tetapi
sumber peraturan desa adat itu men

hukum adat.
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Yang membuat peraturan desa adat
adalah kesatuan masyarakat hukum
adat melalui musyawarah adat dan
pranata adat
Pasal 110
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

dangan.
Pasal 104 Apakah pasal ini menghendaki
perlunya dibuat peraturan desa mengatur pemerintahan dan pem
usul dan kewenangan berskala lokal Desa Adat adat mengenai kewenangan bangunan desa adat

keberagaman
107
108
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

Pasal105
‘diatur’, apakah pelaksanaan
dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari
dalam peraturan pemerintah sudah
semakin jelas.

Penjelasan Pasal 7 huruf e Jika pembentukan desa adat


Yang dimaksud dengan “penetapan Desa Adat”
adalah penetapan kesatuan masyarakat hukum tapan, dan penataan desa adat, yaitu
adat dan Desa Adat yang telah ada untuk yang melalui tahapan :
a) pembentukan desa adat yang bisa
menentukan syarat beserta un dilakukan oleh masyarakat adat
sur apakah masyarakat tertentu itu sendiri, oleh pemerintah, dan
masih hidup. Dengan kata lain,
bila yang diberlakukan adalah
syarat sebagaimana dimaksud b) oleh pemerintah
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP

Rekomendasi Pengaturan di dalam


Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
penataan desa adat, oleh
masyarakat adat dengan bantuan
LSM dan akademisi, dan atas

rintah
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

Dalam tahapan pembentukan dan


penetapan desa adat, harus ada

terdiri dari masyarakat hukum adat,


pemerintah, akademisi, dan LSM
Penjelasan Pasal 96

dan Desa Adat yang sudah ada saat ini menjadi


Desa Adat hanya dilakukan untuk 1 (satu) kali
109
110
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

Pasal 25 s/d Pasal 64 Tidak relevan


tersebut dapat menghambat

tur mengenai sistem organisasi


kehidupan desa (susunan asli).

dilaksanakan sesuai dengan


hak asal usul dan hukum adat
yang berlaku di Desa Adat yang
masih hidup serta sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan

Desa Adat dalam prinsip Negara


Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP

musyawaratan dan Musyawarah


Desa Adat sesuai dengan susu
nan asli Desa Adat atau diben
tuk baru sesuai dengan prakarsa
masyarakat Desa Adat
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

Susunan kelembagaan, pengi


sian jabatan, dan masa jabatan

hukum adat ditetapkan dalam

Pasal 69 in line with Pasal 110


111
112
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

Ada “kesepakatan” tentang luasan,


110 yang melarang peraturan penataan dan pengelolaan wilayah
desa atau peraturan desa adat hukum adat antara masyarakat hu
bertentangan dengan peraturan kum adat dengan pemerintah, yang
berdasarkan pemenuhan amanat

Desa harus mendapatkan evaluasi dari Bu

bat desa dan desa adat berkem an tersebut harus dilakukan melalui
bang berdasarkan susunan asli pendekatan budaya

paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhi

berikan hasil evaluasi sebagaimana di

memperbaikinya.
(7)

luasi untuk melakukan koreksi.


Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP

rikan hasil evaluasi dalam batas waktu


sebagaimana dimaksud pada ayat (5),

sendirinya.

tasikan kepada masyarakat Desa.


(10) Masyarakat Desa berhak memberikan
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

Desa.

diundangkan dalam Lembaran Desa dan


Berita Desa oleh sekretaris Desa.

sebagai aturan pelaksanaannya.


Pasal 110
113

dangan
114
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

Pasal 95
adalah pilihan, bisa membuat lem
dapat membentuk lembaga adat Desa. juga bagi desa adat. Susunan
(2) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud asli, yaitu sistem organisasi kondisi masyarakatnya dan hasil
pada ayat (1) merupakan lembaga yang kehidupan desa, mengandaikan kesepakatan pemerintah desa.
susunan organisasi tersebut
Desa dapat buat lembaga adat dalam
menjadi bagian dari susunan asli Desa yang adalah organisasi adat. Akan
rangka pemberdayaan, melestarikan,
tumbuh dan berkembang atas prakarsa terlihat janggal bila dalam or
masyarakat Desa. ganisasi adat terdapat lembaga
desa itu
Elaborasi pokok-pokok pikiran
Rekomendasi Pengaturan di dalam
Pasal-Pasal yang harus diatur lebih lanjut
PP
dalam PP
(3) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud Pasal 107

tah Desa dan sebagai mitra dalam member


dayakan, melestarikan, dan mengembang dilaksanakan sesuai dengan
hak asal usul dan hukum adat
yang berlaku di Desa Adat yang
masih hidup serta sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan
Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS

Desa Adat dalam prinsip Negara

Pasal 109
Susunan kelembagaan, pengi
sian jabatan, dan masa jabatan

hukum adat ditetapkan dalam


115
DAFTAR PUSTAKA

Arizona, Yance. 2011. “Perkembangan Konstitusionalitas Penguasaan


Negara atas Sumber Daya Alam dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi”. Jurnal Konstitusi 8(3):1-43.
Arizona, Yance, Siti Rakhma Mary Herwati dan Grahat Nagara. 2012.
“Anotasi Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 mengenai Penguji-
an Konstitusionalitas Kawasan Hutan dalam Pasal 1 angka 3
UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan”, Jakarta: Perkum-
pulan HuMa.
Arizona, Yance, Siti Rakhma Mary Herwati dan Erasmus Cahyadi.
2013. Kembalikan Hutan Adat kepada Masyarakat Hukum
Adat. Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.
35/PUU-X/2012 mengenai Pengujian Undang-Undang Ke-
hutanan. Jakarta: Epistema Institute, Perkumpulan HuMa,
dan AMAN.
Fauzi, Noer dan Dianto Bachriadi. 1998. “Hak Menguasai dari Negara:
Persoalan Sejarah yang Harus Diselesaikan,” dalam Usulan
Revisi Undang-undang Pokok Agraria; Menuju Penegakan
Hak-hak Rakyat Atas Sumber-sumber Agraria. Jakarta:
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Konsorsium
Pembaharuan Agraria.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik
Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press bekerjasama de-
ngan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 117


Gellert, Paul K. 2010. “Extractive Regimes: Toward a Better Under-
standing of Indonesian Development.” Rural Sociology 75.
(1): 28-57.
Hall, Stuart. 2007. “Epilogue: through the Prism of an Intellectual
Life”. in Culture, Politics, Race, and Diaspora: The Thought
of Stuart Hall, ed. Brian Meeks. Kingston, Jamaica: Randle.
Pp. 269-291.
Hunt, Alan. 1990. “Rights and Social Movements: Counter-hegemonic
Strategies”. Journal of Law and Society 17(3):309-328.
Laujeng, Hedar. 2010. “Hukum Kolonial di Negara Merdeka”. Naskah
belum diterbitkan.
Mahkamah Konstitusi. 2013. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/pu-
tusan/putusan_sidang_35%20PUU%202012-Kehutanan-te-
lah%20ucap%2016%20Mei%202013.pdf (Unduh terakhir 22
Oktober 2013)
Mahkamah Konstitusi. 2012. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
45/PUU-IX/2011 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/pu-
tusan/putusan_sidang_45%20PUU%202011-TELAH%20
BACA.pdf (Unduh terakhir 22 Oktober 2013)
Mahkamah Konstitusi. 2004. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
001-021-022/PUU-I/2003 http://www.mahkamahkonstitusi.
go.id/putusan/Putusan022PUUI2003.pdf (Unduh terakhir 22
Oktober 2013)
Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forests, Poor People: Resource Control
and Resistance in Java. Berkeley, CA: University of California
Press.
Peluso, Nancy Lee, and Peter Vandergeest. 2001. “Genealogies of the
Political Forest and Customary Rights in Indonesia, Malaysia,
and Thailand”. Journal of Asian Studies, 60, (2001) 761–
812.

118 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat, Badan Pertanahan Nasion-
al, Republik Indonesia, 2013. “Penyusunan Strategi Percepa-
tan Pengakuan Hutan Adat Pasca Putusan MK No. 35/PUU-
X/2012”, bahan sajian pada acara Lokakarya “Penyusunan
Strategi Percepatan Pengakuan Hutan Adat Pasca Putusan
MK No 35/PUU-X/2012”, Kemitraan, Partnership for Gover-
nance Reform in Indonesia”, Bogor, 20 Oktober 2013
Rachman, Noer Fauzi. 2012a. Land Reform dari Masa ke Masa. Yog-
yakarta: Penerbit Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan
Agraria.
Robison, Richard. 1986. Indonesia: The Rise of Capital. Sydney: Allen
& Unwin.
Ruwiastuti, Rita Maria. 2000. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria. Insist
Press.
Sangaji, Arianto. 2012. “Masyarakat Adat, Kelas dan Kuasa Eksklusi”
Kompas Kamis, 21 Juni 2012.
Sodiki, Ahmad. 2012. “Konstitusionalitas Masyarakat Adat dalam Kon-
stitusi”. Makalah pada “Simposium Masyarakat Adat: Mem-
persoalkan Keberadaan Masyarakat Adat sebagai Subjek
Hukum”. HuMa, Perkumpulan Pembaruan Hukum berbasis
Masyarakat dan Ekologis. Jakarta, 27-28 Juni 2012.
Tilly, Charles. 1998. Durable Inequality. Berkeley: University of Cali-
fornia Press.
Somers, Margaret R. 2008. Genealogies of Citizenship: Markets,
Statelessness, and the Right to have Rights. New York: Cam-
bridge University Press.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 1998. “Kebijakan Negara untuk Meng-
akui dan Tak Mengakui Eksistensi Masyarakat Adat Berikut
Hak atas Tanahnya”, dalam Jurnal Masyarakat Adat, No. 01
Tahun 1998, Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 119


Zakaria, R. Yando. 2000. Abieh Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah
Rejim Orde baru. Jakarta. Lembaga Studi dan Advokasi
masyarakat (ELSAM).
Zakaria, R.Yando. 2004. Merebut Negara : Beberapa Catatan Reflektif
Tentang Upaya-Upaya Pengakukan, Pengembalian, dan Pe-
mulihan Otonomi Desa. Yogyakarta. LAPERA Pustaka Utama.
______, 2000. Reformasi Tata Pemerintahan Desa Menuju Demokrasi.
Tim Editor : Anger Jati Wijaya, dkk. Yogyakarta. Pustaka Pela-
jar, YAPIKA dan FORUM LSM DIY.
_____. 2000. “Mensiasati Budaya Menyangkal : Konsep dan Prak-
tek Politik Hukum yang Menyangkal kenyataan Hak-hak
Masyarakat Adat Atas Tanah,” dalam Masyarakat Adat Dalam
Mengelola Sumber Daya Alam, Kumpulan Tulisan dan Dis-
kusi tentang Hak-hak Masyarakat Adat Indonesia. Diskusi di-
selenggarakan bersama oleh ICRAF dan JAPHAMA, Cisarua,
27-28 Mei 2000. Halaman 44-53. Tersedia di http://www.
worldagroforestry.org/sea/Publications/files/book/BK0025-
04.PDF (last accessed on Aug 15, 2013)
_____. 2002. “Konflik Tenurial: Yang Diciptakan Tapi Tak Hendak Di-
selesaikan”. Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif
Kampus dan Kampung. Anu Lounela dan R. Yando Zakaria
(Eds). Yogyakarta: Insist Press, Jurnal Antropologi, dan KAR-
SA. Halaman 337-390.
_____. 2012b. “Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah Airnya”. Pidato
pada acara Pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara
Ke-4, 19 April 2012, Tobelo, Halmahera Utara. http://www.
kongres4.aman.or.id/2012/05/masyarakat-adat-dan-per-
juangan-tanah-airnya.asp (last accessed on May 27, 2013)
_____. 2012c. “Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah Airnya”. Kom-
pas, 11 Juni, 2012.
_____. 2012. “Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”. Makalah pada
“Simposium Masyarakat Adat: Mempersoalkan Keberadaan

120 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


Masyarakat Adat sebagai Subjek Hukum”. HuMa, Perkumpul-
an Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis. Ja-
karta, 27-28 Juni 2012.
_____. 2012. “Konsepsi Konstitusional Penguasaan Negara atas Agra-
ria dan Pelaksanaannya”. Tesis untuk memperoleh gelar Ma-
gister Hukum. Program Magister Hukum Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Jakarta.
_____. 2013a. ”Perjuangan Masyarakat Adat”. Kompas, 29 Mei, 2013.
_____. 2013b. “Mengapa Konflik-Konflik Agraria Terus-Menerus Me-
letus Di Sana Sini?” Sajogyo Institute‘s Working Paper No.
1/2013. Bogor: Sajogyo Institute. http://www.sajogyo-insti-
tute.or.id/article/mengapa-konflik-konflik-agraria-terus-me-
nerus-meletus-di-sana-sini (last accessed 29 Juni 2013).

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
(UUPA)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Ma-
nusia.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konsti-
tusi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo UU Nomor 45 Tahun 2009
Tentang Perikanan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 121


Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 13 Tahun 1990 tentang
Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat
Baduy Di Kabupaten Dati II Lebak.
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa
Pakraman.
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang
Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 12 tahun 2007 tentang
Pemerintahan Nagari.
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Negeri di Kota Am-
bon.

122 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


PROFILE PENULIS

Noer Fauzi Rachman, memperoleh PhD dalam bidang Environ-


mental Science, Policy and Management dari University of California
Berkeley (UC Berkeley) pada tahun 2011. Saat ini mengajar Politik dan
Gerakan Agraria di Departeman Ilmu Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB. Selain di-
dampuk menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Sajogyo Institute sejak
2011, ia juga aktif sebagai guru dan peneliti utama. Buku utamanya
telah menjadi bahan rujukan bagi banyak kalangan di dunia akade-
mik, adalah Petani dan Penguasa; Dinamika Perjalanan Politik Agra-
ria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist
Press dan KPA, 1999). Buku terakhirnya adalah Memahami Gerakan-
Gerakan Rakyat Dunia Ketiga (Yogyakarta : Insist Press 2005)

Yesua Y.D.K. Pellokila, biasa dipanggil Yones, menamatkan gelar


masternya pada bidang Hukum dan Tata Pemerintahan Negara, khu-
susnya di bidang Desentralisasi dan Pelayanan Publik di Universitas
Jayabaya-Jakarta pada tahun 2010. Saat ini Yones bekerja di Yayasan
Sajogyo Institute sebagai Manager Operasional dan Pengembangan
Lembaga. Disamping itu ia juga aktif menjadi konsultan, dan mem-
fasilitatis pelatihan-pelatihan terkait hukum dan kebijakan serta penge-
lolaan manajemen program. Sebelum bergabung di Sajogyo Institute,
memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun dalam melakukan studi ke-

Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS 123


bijakan dan advokasi isu-isu keadilan dalam pengelolaan sumberdaya
alam.

Nani Saptariani, menamatkan gelar master pada bidang Komunikasi


Lingkungan di University of Texas at El Paso pada tahun 2010. Saat ini
disamping aktif menjadi salah satu Fellow di Yayasan Sayogjo Institute
ia juga aktif menjadi konsultan di bidang Gender dan Sumberdaya
Alam, Social dan Governance, serta Strategi Komunikasi Lingkungan
khususnya pada perubahan perilaku masyarakat di sekitar hutan. Nani
juga kerap memberikan pelatihan-pelatihan, menulis beberapa artikel
dan buku tentang gender dan pengelolaan sumberdaya alam.

R. Yando Zakaria, lahir di Padang, 26 Januari 1960. Tahun 1988 me-


nyelesaikan pendidikan sarjana pada Jurusan Antropologi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Jakarta. Memiliki per-
hatian yang khusus pada masalah-masalah kemiskinan, kelembagaan
lokal, pengelolaan sumberdaya alam dan agraria berbasis masyarakat,
dan hak-hak masyarakat adat. Dalam beberapa tahun terkahir menjadi
Dosen Tamu di Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, assosiate re-
search di Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta
dan beberapa jaringan organisasi masyarakat sipil lainnya. Hampir
sepanjang tahun 2013 lalu menjadi Tenaga Ahli Panitia Khusus Ran-
cangan Undang-Undang Desa, Dewan Perwakilan Rakyat Republik In-
donesia.

124 Policy Paper Desa Adat, FPPD - ACCESS


Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)
merupakan arena untuk menyemai gagasan dan mendorong
gerakan pembaharuan desa. FPPD sebagai forum terbuka, me-
rupakan arena bagi proses pembelajaran dan pertukaran penge-
tahuan, pengalaman multipihak, yang memungkinkan penyebar-
luasan gagasan pembaharuan desa, konsolidasi gerakan dan
jaringan, serta kelahiran kebijakan yang responsif terhadap desa.

Visi
Menjadi arena belajar pengembangan pembaharuan desa yang
terpercaya untuk mewujudkan masyarakat desa yang otonom
dan demokratis

Misi
Meningkatkan keterpaduan gerak antar pihak untuk pembaharu-
an desa

Nilai-nilai Dasar
Menghormati keputusan bersama
Solidaritas
Tanggung-gugat
Menghargai perbedaan

Strategi
Konsolidasi gerakan pembaharuan desa

Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)


Jl. Karangnangka No. 175 Dusun Demangan
Desa Maguwoharjo Kec. Depok Sleman Yogyakarta
Telp./fax: 0274 4333665, mbl: 0811 250 3790
Email: fppd@indosat.net.id
Website: http//www. forumdesa.org

Anda mungkin juga menyukai