Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

“GANGGUAN ANXIETAS FOBIK”

Penguji :
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ

Oleh :
Lailatul Masruroh G4A018011

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2020
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
STASE ILMU KEDOKTERAN JIWA

“GANGGUAN ANXIETAS FOBIK”

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Oleh :
Lailatul Masruroh G4A018011

Disetujui
Pada tanggal, Februari 2020

Penguji,

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ


NIP. 19570919 198312 2 001
1. PENDAHULUAN

Gangguan anxietas fobik merupakan ketakutan yang menetap, hebat dan


irasional terhadap suatu objek, aktivitas atau situasi spesifik yang menimbulkan
suatu keinginan mendesak untuk menghindari objek, aktivitas atau situasi yang
ditakuti. Gangguan anxietas fobik ditandai dengan adanya anxietas yang
dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (dari luar individu itu sendiri)
yang sebenarnya pada saat kejadian ini tidak membahayakan. Sebagai akibatnya,
objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan perasaan terancam yang
termasuk ke dalam anxietas fobik adalah agorafobia, fobia sosial, dan fobia khas
(terisolasi) (Saddock, 2007).
Gangguan anxietas fobik menyerang 2% dari populasi di Indonesia dengan
rasio perempuan dibandingkan laki-laki 2:1. Fobia didefinisikan sebagai
ketakutan irasional yang menghasilkan penghindaran sadar, aktivitas situasi
subjek ditakuti. Orang yang terkena biasanya mengakui bahwa reaksi yang
berlebihan. Menurut Manual American Psychiatric Association Diagnostik dan
Statistik Gangguan Mental, Edisi Kelima (DSM-V), gangguan fobia dapat dibagi
menjadi 3 jenis: fobia sosial, fobia khas, dan agorafobia. Fobia sosial adalah rasa
takut, kuat bertahan dari situasi interpersonal yang malu dapat terjadi. Fobia khas
adalah suatu ketakutan, luar biasa bertahan dari suatu obyek atau situasi.
Agorafobia didefinisikan sebagai takut sendirian di tempat umum khususnya
tempat dimana jalan keluar yang cepat akan sulit dilalui dalam serangan panik
(Kay, 2006).
Secara umum, gangguan fobia adalah bentuk paling umum dari penyakit
jiwa, melebihi tingkat gangguan mood dan penyalahgunaan zat. Keparahan dapat
berkisar dari ringan sampai parah dan tidak mengganggu dan dapat
mengakibatkan ketidakmampuan untuk bekerja, bepergian, atau berinteraksi
dengan orang lain (Pridmore, 2008).
Dalam referat ini, akan dibahas lebih mendetail mengenai gangguan
anxietas fobik, yakni mencakup definisi, epidemiologi, etiologi, gambaran
klinis, diagnosis, penatalaksanaan, serta prognosis.
TINJAUAN PUSTAKA

A. GANGGUAN ANXIETAS FOBIK


Anxietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (diluar
individu itu sendiri), yang sebenarnya pada kejadian ini tidak membahayakan.
Kondisi lain (dari individu itu sendiri) seperti perasaan takut akan adanya
penyakit (nosofobia) dan ketakutan akan perubahan bentuk badan
(dismorfofobia) yang tak realistik dimasukkan dalam klasifikasi gangguan
hipokondrik. Sebagai akibatnya, objek atau situasi tersebut dihindari atau
dihadapi dengan rasa terancam. Secara subjektif, fisiologik dan tampilan
perilaku, anxietas fobik tidak berbeda dengan anxietas yang lain dan dapat
dalam bentuk yang ringan sampai yang berat (serangan panik).
Anxietas fobik seringkali berbarengan dengan depresi. Suatu episode
depresif seringkali memperburuk keadaan anxietas fobik yang sudah ada
sebelumnya. Beberapa episode depresif dapat disertai anxietas fobik yang
temporer, sebaliknya afek depresi seringkali menyertai berbagai fobia,
khususnya agorafobia. Pembuatan diagnosis tergantung darimana yang jelas-
jelas timbul terlebih dahulu dan mana yang lebih dominan pada saat
pemeriksaan. Pedoman diagnostik Anxietas Fobik (F40,-) menurut PPDGJ
III.
1. Agorafobia
Agorafobia adalah ketakutan terhadap ruang terbuka, orang banyak
serta adanya kesulitan untuk segera menyingkir ke tempat aman. Menurut
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM V), agoraFobia
berhubungan erat dengan gangguan panic, namun International
Classification of Diseases (ICD) tidak mengkaitkan gangguan panik
dengan agorafobia dan kasus-kasus agorafobia didapati dengan atau tanpa
serangan panik. Diperkirakan prevalensi agorafobia adalah 2-6%,
walaupun agorafobia sering dijumpai namun sebagian besar pasien tidak
mencari bantuan untuk mengatasinya atau tidak terdiagnosis secara medis
(APA, 2013).
Agorafobia dapat timbul pada penderita yang tidak mengalami
serangan panik, akan tetapi sebagian besar penderita yang datang untuk
pengobatan mempunyai riwayat serangan panik ataupun gangguan fobia
sosial yang sangat berat yang menimbulkan simptom yang mirip dengan
serangan panik. Penderita agorafobia pada umumnya menghindari tempat
ramai karena takut terjadi serangan panik dan merasa malu jika ada orang
yang melihat usahanya untuk melarikan diri dari situasi tersebut.
Akibatnya, orang yang menderita agoraphobia dapat mengalami masalah
kehidupan yang sangat berat karena tidak mampu pergi dari rumah (tempat
yang dirasanya aman) baik untuk bekerja, membeli kebutuhan hariannya
maupun untuk bersosialisasi (APA, 2013).
a. Definisi
Agorafobia didefinisikan sebagai ketakutan berada sendirian di
tempat-tempat publik (sebagai contoh, supermarket). Keselamatan
biasanya didefinisikan saat di rumah dan dengan demikian banyak
agorafobia menjadi tawanan di dalam rumah mereka masing-masing,
hanya dapat ditinggalkan jika ditemani oleh pendamping yang
terpercaya (APA, 2013).
b. Epidemiologi
Agorafobia maupun gangguan panik dapat berkembang pada
setiap usia dengan usia rata-rata timbulnya adalah kira-kira 17 tahun.
Setiap tahun kira-kira 1.7% orang dewasa dan anak-anak didiagnosis
sebagai agorafobia. Perempuan dua kali lebih banyak menderita
agorafobia daripada laki-laki. Agorafobia mungkin muncul pada anak-
anak namun puncaknya pada remaja dan dewasa muda. Pada penelitian
yang dilakukan di lingkungan psikiatrik dilaporkan sebanyak 75%
pasien yang terkena agorafobia juga menderita gangguan panik. Hasil
yang berbeda ditemukan pada lingkungan masyarakat yaitu 50%
dari pasien yang menderita agorafobia tidak menderita gangguan panik.
Perbedaan hasil penelitian dan rentang prevalensi yang lebar
diperkirakan karena kriteria diagnostik yang bervariasi dan metode
penilaian yang berbeda (APA, 2013).
c. Etiologi
Etiologi untuk agorafobia belum diketahui secara pasti, tapi
patogenesisnya berhubungan dengan faktor-faktor biologis, genetik dan
psikososial. Keberhasilan farmakoterapi dalam mengobati agorafobia
dan penelitian lain yang menunjukkan adanya disfungsi dopaminergik
pada fobia sosial mendukung adanya faktor biologis. Agorafobia
diperkirakan dipicu oleh gangguan panik. Data penelitian
menyimpulkan bahwa gangguan panik memiliki komponen genetik
yang jelas, juga menyatakan bahwa gangguan panik dengan agorafobia
adalah bentuk parah dari gangguan panik, dan lebih mungkin
diturunkan (APA, 2013).
Dari faktor psikososial, penelitian menyimpulkan bahwa anak-
anak tertentu yang ada predisposisi konstitusional terhadap fobia,
memiliki temperamen inhibisi perilaku terhadap yang tidak dikenal
dengan stres lingkungan yang kronis akan mencetuskan timbulnya
fobia. Misalnya perpisahan dengan orang tua, kekerasan dalam rumah
tangga dapat mengaktifkan diatesis laten pada anak-anak yang
kemudian akan menjadi gejala yang nyata. Objek fobik merupakan
simbolisasi dari sesuatu yang berhubungan dengan konflik (APA,
2013).
d. Diagnosis
Kriteria diagnosis DSM-V untuk agorafobia adalah sebagai berikut
(APA, 2013):
1) Ketakutan atau kecemasan yang ditandai oleh dua (atau lebih) dari
lima situasi berikut:
a) Menggunakan transportasi umum (mis. Mobil, bus, kereta api,
kapal, pesawat terbang).
b) Berada di ruang terbuka (mis., Tempat parkir, pasar, jembatan).
c) Berada di tempat tertutup (mis., Toko, teater, bioskop).
d) Berdiri dalam barisan atau berada di tengah orang banyak.
e) Berada di luar rumah sendirian.
2) Individu takut atau menghindari situasi ini karena pikiran-pikiran
dimana kemungkinan sulit meloloskan diri (atau merasa malu) atau
di mana mungkin tidak terdapat pertolongan jika mendapatkan
serangan panik atau gejala mirip panik yang tidak diharapkan atau
disebabkan oleh situasi (misalnya, takut jatuh pada orang tua; takut
inkontinensia).
3) Situasi agorafobia hampir selalu memicu rasa takut atau kecemasan.
4) Situasi agorafobia secara aktif dihindari, membutuhkan kehadiran
pendamping, atau mengalami rasa takut atau kecemasan yang intens.
5) Ketakutan atau kecemasan tidak sebanding dengan bahaya
sebenarnya yang ditimbulkan oleh situasi tersebut.
6) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran bersifat persisten,
biasanya berlangsung selama 6 bulan atau lebih.
7) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan tekanan
atau gangguan signifikan secara klinis pada sosial, pekerjaan, atau
bidang fungsi penting lainnya.
8) Jika terdapat kondisi medis lain (mis., Penyakit radang usus,
penyakit Parkinson), ketakutan, kecemasan, atau penghindaran jelas
berlebihan.
9) Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan oleh gejala dari
gangguan mental lainnya, seperti ketakutan, kecemasan, dan
penghindaran terhadap situasi seperti fobia spesifik; objek atau
situasi yang berkaitan dengan obsesi (seperti pada gangguan obsesif-
kompulsif); ingatan atas suatu trauma (seperti pada gangguan stres
pasca trauma); pemisahan dari rumah atau kasih sayang seseorang
(seperti pada gangguan kecemasan pemisahan); atau pada situasi
sosial (seperti pada gangguan kecemasan sosial).
Diagnosis agorafobia berdasarkan gejala ansietas dan fobia yang
tampak jelas. Menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan
Jiwa Edisi keIII (PPDGJ-III), diagnosis pasti agorafobia harus
memenuhi semua kriteria dengan adanya gejala ansietas yang terbatas
pada kondisi yang spesifik yang harus dihindari oleh penderita.
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti :
1) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif;
2) Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam
hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut: banyak
orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah, dan
bepergian sendiri; dan
3) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang
menonjol (penderita menjadi “house-bound”).

e. Gambaran Klinis
Pasien dengan agorafobia menghindari situasi di saat sulit
mendapat bantuan. Lebih suka ditemani kawan atau anggota keluarga di
tempat tertentu, seperti jalan yang ramai, toko yang padat, ruang
tertutup (seperti terowongan, jembatan, lift), kendaraan tertutup (seperti
kereta bawah tanah, bus, dan pesawat terbang). Mereka menghendaki
ditemani setiap kali harus keluar rumah. Perilaku tersebut sering
menyebabkan konflik perkawinan dan keliru didiagnosis sebagai
masalah primer. Pada keadaan parah mereka menolak keluar rumah.
Gejala depresif sering kali ditemukan pada serangan panik dan
agorafobia, dan pada beberapa pasien suatu gangguan depresif
ditemukan bersama-sama dengan gangguan panik. Penelitian telah
menemukan bahwa risiko bunuh diri selama hidup pada orang dengan
gangguan panik adalah lebih tinggi dibandingkan pada orang tanpa
gangguan mental. Klinisi harus menyadari risiko bunuh diri ini (APA,
2013).
f. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Pada 60% dari seluruh kasus agorafobia, inisial onsetnya yaitu
usia 17 tahun. Onset pada masa anak-anak jarang. Agorafobia biasanya
persisten dan kronik. Remisi lengkap sangat jarang (10%), meskipun
agorafobia telah mendapatkan terapi. Dengan agorafobia yang lebih
berat, tingkat remisi juga semakin berkurang, dan tingkat kekambuhan
dan kronik semakin meningkat. Gangguan lain seperti gangguan cemas
lainnya, gangguan depresi, gangguan kepribadian dapat membuat
menjadi penyulit dari agorafobia. Agorafobia jangka panjang
berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan depresi mayor
sekunder, gangguan depresi persisten (distimia). Sebagian besar kasus
agorafobia diperkirakan disebabkan oleh gangguan panik. Jika
gangguan panik diobati, agorafobia sering kali membaik
dengan berjalannya waktu. Untuk mendapatkan reduksi agorafobia
yang cepat dan lengkap, terapi perilaku kadang-kadang diperlukan.
Agorafobia tanpa riwayat gangguan panik sering kali menyebabkan
ketidakberdayaan dan kronis. Gangguan depresif dan ketergantungan
alkohol sering kali mengkomplikasi perjalanan agorafobia (APA,
2013).
Agorafobia berhubungan dengan gangguan dan disabilitas pada
fungsi peran, produktivitas kerja dan keseharian. Keparahan agorafobia
berkaitan dengan derajat disabilitas, kemunculan gangguan panik,
serangan panik, dan komorbid lain. Lebih dari sepertiga individu
dengan agorafobia secara penuh terikat dengan rumah dan tidak dapat
bekerja (APA, 2013).
g. Faktor Risiko dan Prognostik
 Temperamental
Penghambatan perilaku dan disposisi neurotik (seperti afektivitas
negativ/neurotism dan sesnitivitas kecemasan) dekat hubungannya
dengan agorafobia namun relevan dengan sebagian besar gangguan
cemas (gangguan fobik, gangguan panik, gangguan cemas
menyeluruh). Sensitivitas kecemasan (disposisi untuk mempecayai
gejala kecemasan adalah berbahaya) juga merupakan karakteristik
individu dengan agorafobia (APA, 2013).
 Lingkungan.
Pengalaman negativ pada saat anak-anak (perpisahan, kematian
orangtua) dan pengalaman stres lainnya, seperti diserang atau diculik,
berhubungan dengan onset agorafobia. Oleh karena itu, individu dengan
agorafobia mendeskripsikan keluarganya dan perilaku anak-anaknya
dikarakteristikan dengan kehangatan yang berkurang dan peningkatan
overprotektif (APA, 2013).
 Genetik dan fisiologis
Faktor keturunan untuk agorafobia yaitu 61%. Dari bermacam-macam
fobia, agorafobia merupakan yang paling kuat dan memiliki hubungan
yang spesifik dengan faktor genetik yang dapat terpapar agorafobia
(APA, 2013).
h. Diagnosa Banding
Diagnosis banding untuk agorafobia tanpa suatu riwayat
gangguan panik adalah semua gangguan medis yang dapat
menyebabkan kecemasan atau depresi. Diagnosis banding psikiatrik
adalah gangguan depresif berat, skizofrenia, gangguan kepribadian
paranoid, gangguan kepribadian menghindar, di mana pasien tidak
ingin keluar rumah dan gangguan kepribadian dependan karena pasien
harus selalu ditemani setiap keluar rumah (APA, 2013).
i. Pengobatan
Dengan terapi, sebagian besar pasien mengalami perbaikan
dramatik pada gejala gangguan panik dan agorafobia. Dua terapi yang
paling efektif adalah farmakoterapi dan terapi kognitif–perilaku. Terapi
keluarga dan kelompok mungkin membantu pasien yang menderita dan
keluarganya untuk menyesuaikan dengan kenyataan bahwa pasien
menderita gangguan dan dengan kesulitan psikososial yang telah
dicetuskan oleh gangguan.
j. Farmakoterapi
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mengobati gangguan
panik karena agorafobia pada umumnya disebabkan oleh gangguan
panik. Diharapkan dengan perbaikan gangguan panik maka agorafobia
juga akan semakin membaik. Semua obat golongan Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRI) efektif untuk gangguan panik. Paroksetin
memiliki efek sedatif dan cenderung membuat pasien tenang sehingga
menimbulkan kepatuhan yang lebih besar serta putus minum obat yang
lebih sedikit. Jika efek sedasi paroksetin tidak dapat ditoleransi, maka
dapat diganti dengan fluoxetin. Obat lain yang biasa digunakan adalah
dari golongan Benzodiazepin karena memiliki awitan kerja untuk panik
yang paling cepat, sering dalam minggu pertama, dan dapat digunakan
untuk periode waktu yanglama tanpa timbul toleransi terhadap
antipanik.
k. Terapi Perilaku dan Kognitif
Terapi lain yang dilakukan selain farmakoterapi adalah terapi
perilaku dan kognitif. Fokus dari terapi kognitif adalah instruksi
mengenai keyakinan salah pasien dan informasi mengenai serangan
panik.
1) Aplikasi Relaksasi.
Tujuan aplikasi relaksasi (contohnya pelatihan relaksasi
Herbert Benson) adalah memberikan pasien rasa kendali mengenai
tingkat ansietas dan relaksasi.
2) Terapi Keluarga.
Keluarga pasien dengan gangguan panik dan
agorafobia juga mungkin telah dipengaruhi oleh gangguan anggota
keluarga. Terapi keluarga yang ditujukan pada edukasi dan
dukungan sering bermanfaat.
3) Psikoterapi Berorientasi Tilikan.
Psikoterapi berorientasi tilikan dapat memberi keuntungan
di dalam terapi gangguan panik dan agorafobia. Terapi berfokus
membantu pasien mengerti ansietas yang tidak disadari yang telah
dihipotesiskan, simbolisme situasi yang dihindari, kebutuhan untuk
menekan impuls, dan keuntungan sekunder gejala tersebut. Suatu
resolusi konflik pada masa bayi dini dan oedipus dihipotesiskan
berhubungan dengan resolusi stres saat ini.
4) Psikoterapi Kombinasi dan Farmakoterapi.
Bahkan ketika farmakoterapi efektif menghilangkan gejala
primer gangguan panik dan agorafobia, psikoterapi dapat
dibutuhkan untuk menterapi gejala sekunder. Intervensi
psikoterapeutik membantu pasien menghadapi rasa takut keluar
rumah. Di samping itu, beberapa pasien akan menolak obat karena
mereka yakin bahwa obat akan menstigmatisasi mereka sebagai
orang sakit jiwa sehingga intervensi terapeutik dibutuhkan
untuk membantu mereka mengerti dan menghilangkan resistensi
mereka terhadap farmakoterapi.

2. Fobia Sosial
a. Definisi
Fobia sosial merupakan salah satu di antara jenis gangguan
cemas (neurosis-cemas) dengan gelaja utama perasaan takut yang
disertai keinginan untuk menghindar. Fobia sosial sebagai penyakit
dikenal sejak tahun 1960, dan sebelumnya diagnosis fobia sosial
jarang dibuat.
b. Epidemiologi
Prevalensi fobia sosial pada kelompok eksekutif di Indonesia
besarnya antara 9,6 -16%, yang timbul sejak usia muda dan terus
berlangsung sampai pada usia dewasa. Di negara maju prevalensi
fobia sosial besarnya 2-13%, dan secara bermakna mengganggu
pekerjaan, status akademik dan hubungan seseorang.
Penelitian epidemiologi yang telah dilakukan di berbagai
negara-negara dengan ruang lingkup kehidupan yang beragam dan
berdasarkan kriteria diagnostik, instrumen penelitian dan lingkup
budaya yang berbeda menunjukkan prevalensi yang bervariasi antara
0,5% sampai 22,6%. Ada kecendrungan kenaikan angka prevalensi
fobia sosial, seiring dengan perubahan perilaku (gaya hidup)
masyarakat. Fobia sosial timbul sejak masa kecil, 40% di antaranya di
bawah 10 tahun. Sisanya di bawah usia 20-tahun. Penggunaan alkohol
berkorelasi dengan fobia sosial, mereka yang menggunakan alkohol
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita fobia sosial
dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakan alkohol. Dan
kelompok dengan ketergantungan alkohol mempunyai risiko sembilan
kali lebih besar untuk mengalami fobia sosial. Fobia sosial merupakan
gangguan kejiwaan nomor tiga, setelah gangguan penyalahgunaan zat
(substance abuse) dan gangguan depresi berat. Perhatian terhadap
fobia sosial masih kurang, dan sering dinyatakan sebagai “gangguan
cemas yang terabaikan”. Kurangnya perhatian terhadap fobia sosial
disebabkan oleh sedikitnya penderita yang mencari pengobatan untuk
gangguan fobia yang dideritanya. Penderita berobat bukan untuk fobia
sosial tetapi untuk keluhan lain.
c. Etiologi
Gangguan ini bukan disebabkan oleh gangguan organik.
Belum banyak diketahui tentang penyebab fobia sosial, tetapi
sejumlah penelitian menunjukkan banyak komponen kompleks yang
terlibat. Karakteristik temperamen seseorang seperti rasa malu,
behavioral inhibition, selfconsciousness, embarrassment dan
keturunan (heredity) merupakan faktor predisposisi terjadinya fobia
sosial.
d. Diagnosis
Kriteria diagnostik fobia sosial menurut DSM V (300.23) (F40.1)
1) Menandai ketakutan atau kecemasan terhadap satu atau lebih
situasi sosial dimana individu terlihat oleh pengamatan yang
mungkin dilakukan oleh orang lain. Contohnya termasuk interaksi
sosial (melakukan percakapan, bertemu orang asing), merasa
diamati (makan dan minum), dan tampil di depan orang lain
(memberi pidato).
2) Individu merasa takut melakukan sesuatu jika menunjukkan
gejala kecemasan akan ditanggapi negatif (akan dipermalukan,
menuju pada penolakan atau penyerangan orang lain).
3) Situasi sosial hampir selalu memancing ketakutan atau
kecemasan.
4) Situasi sosial dihindari atau diatasi dengan ketakutan atau
kecemasan yang tinggi.
5) Ketakutan atau kecemasan itu tidak sesuai dengan ancaman
sebenarnya yang ditimbulkan situasi sosial dan pada konteks
kultur sosial.
6) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut berlanjut,
biasanya berlangsung selama 6 bulan atau lebih.
7) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan
gangguan-gangguan klinis yang signifikan pada kehidupan sosial,
pekerjaan, atau bidang penting lainnya.
8) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut tidak termasuk
kedalam efek psikologis secara subtansi (penyalahgunaan obat-
obatan, pengobatan) atau kondisi medis lainnya.
9) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tidak lebih baik
dijelaskan oleh gejala dari gangguan mental lainnya, atau
gangguan spektrum autisme.
10) Jika kondisi medis lainnya (penyakit parkinson, obesitas, cacat
dari luka bakar atau cidera) ada, maka ketakutan, kecemasan, atau
penghindaran jelas tidak terkait atau berlebihan.

Kriteria diagnosis fobia sosial menurut PPDGJ-III sebagai berikut1


Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
1) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif;
2) Anxietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial
tertentu (outside family circle); dan
3) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala
yang menonjol
Bila terlalu sulit membedakan antara fobia sosial dengan agorafobia,
hendaknya diutamakan diagnosis agorafobia (F40.0).
e. Gambaran Klinis
International Classification of Disease (ICD) 10 dan
Diagnostic and Statistical Manual Mental Disorders (DSM) V serta
Pedoman penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III
memberi batasan (definisi) fobia sosial berdasarkan gejala-gejala yang
ditimbulkan, meliputi perasaan takut sehubungan dengan prediksi
(ramalan) akan timbulnya rasa malu sebagai reaksi pada saat
menghadapi objek, aktivitas atau situasi tertentu, misalnya:
 Menggunakan telepon umum, atau menelpon seseorang yang
belum dikenal dengan baik.
 Makan atau minum di tempat umum, atau bila buang air kecil
pada fasilitas umum.
 Tampil dan berbicara di depan umum.
 Menghadiri pesta dan tempat ramai.
 Menulis atau mengerjakan sesuatu dan pada saat yang bersamaan
diawasi oleh orang lain.
 Berhadapan muka dengan orang yang asing dan tak dikenal
sebelumnya.
 Bila memasuki ruangan, di dalam ruangan tersebut telah banyak
orangnya.
 Bila harus mengemukakan ketidaksetujuannya.
Kondisi tersebut akan menimbulkan rasa takut sehingga dalam
kehidupan nyata, individu tersebut lebih baik menghindar. Prediksi
akan timbulnya rasa malu, akan menimbulkan rasa takut, yang disertai
dengan perasaan ingin menghindar, wajah menjadi merah dan panas,
debaran jantung yang bertambah cepat, disertai dengan gejala
kesemutan, keringat dingin, rasa tak enak di dalam perut, otot di
daerah pundak yang terasa tegang dan kerongkongan menjadi kering.
Fobia sosial yang timbul pada usia dini, menimbulkan gangguan yang
serius dalam perkembangan psikologis, pendidikan, pekerjaan,
kemampuan membina relasi, atau pencapaian tujuan hidup. Dalam
pada itu penderita fobia sosial sering menderita gangguan psikiatri
lainya seperti depresi, gangguan makan atau gangguan
penyalahgunaan zat.
Dalam beberapa dekade terakhir ini, fobia sosial mulai
mendapat perhatian dan telah memiliki klasifikasi diagnostik
berdasarkan perkembangan konsep-konsep nosologi, etiologi, dan
pengobatan. Dengan kemajuan di bidang kriteria diagnostik dan
instrumen wawancara, maka pada saat ini fobia sosial sering
ditemukan. Fobia sosial ditemukan pada semua budaya misalnya
dalam budaya Jepang, fobia sosial disebut dengan Shinka Shitsu.
f. Penatalaksanaan
Dalam hal penatalaksanaan kasus-kasus fobia sosial ada 5 hal
yang perlu dijelaskan kepada pasien, yaitu :
 Fobia sosial merupakan kondisi medik yang sudah banyak diteliti
dan memberikan respons baik dengan terapi yang sesuai
 Fobia sosial merupakan gangguan anxietas. Obat secara langsung
dapat mengurangi anxietas.
 Adanya perasaan akan ditolak atau dikritik dapat dimodifikasi
dengan farmakoterapi.
 Jelaskan bahwa terapi obat tidak menimbulkan ketergantungan.
 Harus dijelaskan bahwa fobia sosial merupakan kondisi kronik,
sehingga dibutuhkan pengobatan jangka lama.

3. Fobia Khas (terisolasi)


a. Definisi
Fobia dapat diartikan sebagai penolakan/ penghindaran
berdsarkan ketakutan terhadap benda atau situasi yang dihadapi, yang
sebetulnya tidak berbahaya dan penderita mengakui bahwa ketakutan
itu tidak ada dasarnya (Liftiah,2009). Fobia khas adalah kecemasan
yang secara klinis signifikan, berhubungan dengan pemaparan
terhadap situasi atau objek yang spesifik, seringkali disertai dengan
penghindaran stimuli tersebut.
Fobia khas merupakan fobia yang lebih sering dibandingkan
dengan fobia sosial. Fobia khas adalah ketakutan yang sangat kuat dan
tidak berdasarkan akal terhadap benda atau situasi tertentu. Dalam
fobia khas ada beberapa tipe yaitu tipe binatang, tipe lingkungan alam,
tipe darah, tipe situasional dan tipe lain (Kaplan, dkk, 1997).
b. Epidemiologi
Pada fobia khas prevalensi enam bulan kira-kira 5 sampai 10
per 100 orang dengan rasio wanita berbanding laki-laki adalah kira-
kira 2 berbanding 1 (Kaplan, dkk, 1997). Fobia khas menyerang lebih
dari 1 orang dari 10 orang, kira-kira 12,5% dari populasi sepanjang
hidupnya. Fobia khas mempengaruhi sekitar 6,3 juta orang dewasa
amerika dan dua kali lebih sering terjadi pada wanita (Gersley, 2001).
c. Etiologi
Pada umumnya penyebab fobia tidak diketahui pasti. Berbagai
kemungkinan penyebab fobia juga dikemukakn dalam paradigma
psikoanalisis, behavioral, kognitif dan biologis. Para ahli menduga
fobia berkembang dari pengalaman tidak menyenangkan di masa
kanak-kanak yang berhubungan dengan sesuatu yang menakutkan.
Pengalaman ini lalu tersimpan dalam memori dan ketika ada faktor
pencetusnya ketakutan itu akan muncul kembali. Fobia juga bisa
terjadi karena seseorang mengasosiasikan suatu benda dengan hal lain.
Itulah sebabnya benda-benda kecil yang tidak berbahaya bisa jadi
sumber ketakutan luar biasa bagi seorang penderita fobia.
Penyebab fobia khas Menurut Durand & Barlow (2005), ada
beberapa penyebab munculnya fobia khas yaitu:
1) Traumatic event
Kebanyakan orang yang mengalami fobia khas disebabkan oleh
kejadian trauma. Contohnya jika kita digigit oleh anjing, maka kita
akan menjadi phobia terhadap anjing.
2) Information transmition
Seseorang dapat mengalami fobia khas karena sering mengingat
sesuatu yang berbahaya. Misalnya seorang wanita mengalami fobia
terhadap ular, padahal wanita tersebut belum pernah bertemu
dengan ular. Tetapi, ia sering dibilang atau mendengar bahwa akan
ada ular yang berbahaya di rumput yang tinggi. Hal ini membuat
wanita tersebut menggunakan sepatu boot untuk menghindari
bahaya, walaupun ia berjalan di jalan yang biasa.
3) Sosial dan Kultural
Faktor ini sangat kuat dapat mempengaruhi seseorang mengalami
fobia khas. Dalam masyarakat tidak dapat diterima jika seorang
laki-laki menunjukkan ketakutan dan fobia. Mayoritas fobia khas
terjadi pada perempuan.

d. Diagnosis
Kriteria diagnostik fobia khas menurut DSM V (300.29) (F40.2) :
1) Menandai ketakutan atau kecemasan terhadap suatu objek atau
situasi tertentu (terbang, ketinggian, binatang, jarum suntik, darah).
2) Objek atau situasi fobia hampir selalu memancing ketakutan atau
kecemasan tiba-tiba.
3) Objek atau situasi fobia secara aktif dihindari atau diatasi dengan
ketakutan atau kecemasan yang kuat.
4) Ketakutan atau kecemasan itu tidak sesuai dengan bahaya
sebenarnya yang ditimbulkan oleh objek atau situasi tertentu dan
pada konteks kultur sosial.
5) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut berlanjut,
biasanya berlangsung selama 6 bulan atau lebih.
6) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan gangguan-
gangguan klinis yang signifikan pada kehidupan sosial, pekerjaan,
atau bidang penting lainnya.
7) Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan oleh gejala dari
gangguan mental lainnya, seperti ketakutan, kecemasan, dan
penghindaran terhadap situasi dibantu dengan gejala seperti panik
atau gejala ketidakmampuan lainnya (seperti pada agorafobia);
objek atau situasi yang berkaitan dengan obsesi (seperti pada
gangguan obsesif-kompulsif); ingatan atas suatu trauma (seperti
pada gangguan stres pasca trauma); pemisahan dari rumah atau
kasih sayang seseorang (seperti pada gangguan kecemasan
pemisahan); atau pada situasi sosial (seperti pada gangguan
kecemasan sosial).
Kriteria diagnosis fobia khas (terisolasi) menurut PPDGJ-III adalah:
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
1) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif;
2) Anxietas hanya terbatas pada adanya objek atau situasi fobik
tertentu (highly specific situations); dan
3) Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya
Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak
seperti halnya agorafobia dan fobia sosial.

e. Penatalaksanaan
1. Terapi rasional emotif tingkah laku
Terapi rasional emotif tingkah laku adalah terapi yang
berusaha menghilangkan cara berfikir klien yang tidak logis dan
irasional, dan menggantinya dengan sesuatu yang logis dan
rasional dengan cara menyerang, menentang, mempertanyakan dan
membahas keyakinan-keyakinan irasional klien. Pikiran dan emosi
merupakan dua hal yang saling bertumpang tindih, dan dalam
prakteknya kedua hal itu saling terkait. Emosi disebabkan dan
dikendalikan oleh pikiran. Baik emosi dan pikiran tersebut
ditunjukkan dengan tingkah laku. Pikiran-pikiran seseorang dapat
menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi
tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata lain,
pikiran mempengaruhi emosi dan sebaliknya emosi mempengaruhi
pikiran. Pikiran seseorang dapat menjadi emosinya, dan emosi
dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi pikiran.
Tujuan utama dari terapi rasional emotif tingkah laku
adalah membantu klien memahami kepercayaan irrasionalnya,
dengan mendebatkannya dan selanjutnya merubahnya dengan
pemikiran yang lebih positif dan rasional. Membantu anak menjadi
evaluator atas dirinya sendiri, sehingga dapat belajar untuk hidup
sehat, mengontrol diri, dan bertanggung jawab atas kehidupannya.
Menurut Edelstein (2010) terapi rasional emotif tingkah laku
membantu seseorang untuk dapat lebih percaya diri dan
mengeliminasi atau menghilangkan masalah pemikiran yang
mengganggu (irasional).
2. Farmakoterapi
Farmakoterapi yang dapat diberikan yaitu obat-obatan golongan
selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), benzodiazepine, B-
blocker.
a) MAOI (monoamine oxidase inhibitors)
Phenelzine merupakan suatu MAOI yang efektif untuk
fobia sosial. Suatu penelitian yang dilakukan untuk melihat
perbandingan efektifitas phenelzine, atenolol dan plasebo pada
penderita fobia sosial menunjukkan bahwa 64 % penderita fobia
sosial mendapatkan perbaikan yang jelas dengan phenelzine,
sedangkan dengan atenolol hanya 30% dan dengan plasebo
23%.(3) Efek samping yang sering terjadi yaitu krisis hipertensi,
insomnia, disfungsi seksual, hipertensi postural, dan penambahan
berat badan. Untuk mengurangi efek samping, maka perlu
dilakukan diet rendah tiramin.
b) RiMA (Reversible monoamine oxidase inhibitors)
RiMA merupakan obat yang efektif untuk mengatasi fobia
sosial. Obat ini bekerja menghambat enzim monoamine oksidase
tipe A secara refersibel. Sekitar 80-90 % penderita yang diobati
dengan RiMA mendapat perbaikan setelah 16 minggu. Terapi
dipertahankan paling sedikit selama 6 bulan dan biasanya
kekambuhan terjadi pada sekitar 50% bila pemberian obat
dihentikan. Untuk mengurangi kekambuhan, pemberian obat
diturunkan secara berangsur - angsur.
c) Beta blocker
Beta bloker dapat menurunkan aktivitas sistem otonom
yang disebabkan oleh kecemasan (takhikardia termor, berkeringat).
Contoh preperat beta blocker, misalnya propanolol atau atenolol.
d) Obat-obat lain
Beberapa obat-obat lain yang juga digunakan untuk
mengatasi fobia sosial yaitu benzodiazepine dan selective serotonin
reuptake inhibotors (SSRIs) seperti fluoxetine, fluvoxamine,
sertraline, dan paroxetine.
e) Psikoterapi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara
terapi kognitif-perilaku dengan farmakoterapi bemanfaat untuk
kelainan ini. Kombinasi farmakoterapi dan tetapi kognitif perilaku
dapat mempercepat efek atau kerja obat, dan efek terapi dapat
bertahan lama walaupun obat telah dihentikan.
II. PENUTUP

Gangguan anxietas fobik merupakan ketakutan yang menetap, hebat dan


irasional terhadap suatu objek, aktivitas atau situasi spesifik yang menimbulkan
suatu keinginan mendesak untuk menghindari objek, aktivitas atau situasi yang
ditakuti. Gangguan anxietas fobik menyerang 2% dari populasi di Indonesia
dengan rasio perempuan dibandingkan laki-laki 2:1. Menurut Manual American
Psychiatric Association Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, Edisi Kelima
(DSM-V), gangguan fobia dapat dibagi menjadi 3 jenis: agorafobia, fobia sosial,
dan fobia khas. Agorafobia didefinisikan sebagai ketakutan berada sendirian di
tempat-tempat publik. Fobia sosial merupakan salah satu di antara jenis gangguan
cemas (neurosis-cemas) dengan gelaja utama perasaan takut yang disertai
keinginan untuk menghindar. Sedangkan fobia khas adalah kecemasan yang
secara klinis signifikan, berhubungan dengan pemaparan terhadap situasi atau
objek yang spesifik, seringkali disertai dengan penghindaran stimuli tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical Manual


of Mental Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC: American Psychiatric
Publishing. Washinton DC.
2. Kay, J.. A. Tasman. 2006. Essential of Psychiatry. England: Wiley.
3. Pridmore S. Psychiatry: Fear and Anxiety. University of Tasmania: 2008.
4. Saddock BJ, Saddock VA. Anxiety disorder. In : Kaplan Saddock’s Synopsis
of Psychiatry : Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Tenth Edition..
New York: Lippincott Williams & Wilkins: 2007; Pg 580-8.
5. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Generalized Anxiety
Disorder in : Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry :
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins: 2007. p. 623-7
5. Shiloh R., R. Stryjer, A. Weizman, D. Nutt. 2006. Atlas of Psychatry
Pharmacotherapy. 2nd ed. Taylor & Francis.

Anda mungkin juga menyukai