Penguji :
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ
Oleh :
Lailatul Masruroh G4A018011
2020
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
STASE ILMU KEDOKTERAN JIWA
Oleh :
Lailatul Masruroh G4A018011
Disetujui
Pada tanggal, Februari 2020
Penguji,
e. Gambaran Klinis
Pasien dengan agorafobia menghindari situasi di saat sulit
mendapat bantuan. Lebih suka ditemani kawan atau anggota keluarga di
tempat tertentu, seperti jalan yang ramai, toko yang padat, ruang
tertutup (seperti terowongan, jembatan, lift), kendaraan tertutup (seperti
kereta bawah tanah, bus, dan pesawat terbang). Mereka menghendaki
ditemani setiap kali harus keluar rumah. Perilaku tersebut sering
menyebabkan konflik perkawinan dan keliru didiagnosis sebagai
masalah primer. Pada keadaan parah mereka menolak keluar rumah.
Gejala depresif sering kali ditemukan pada serangan panik dan
agorafobia, dan pada beberapa pasien suatu gangguan depresif
ditemukan bersama-sama dengan gangguan panik. Penelitian telah
menemukan bahwa risiko bunuh diri selama hidup pada orang dengan
gangguan panik adalah lebih tinggi dibandingkan pada orang tanpa
gangguan mental. Klinisi harus menyadari risiko bunuh diri ini (APA,
2013).
f. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Pada 60% dari seluruh kasus agorafobia, inisial onsetnya yaitu
usia 17 tahun. Onset pada masa anak-anak jarang. Agorafobia biasanya
persisten dan kronik. Remisi lengkap sangat jarang (10%), meskipun
agorafobia telah mendapatkan terapi. Dengan agorafobia yang lebih
berat, tingkat remisi juga semakin berkurang, dan tingkat kekambuhan
dan kronik semakin meningkat. Gangguan lain seperti gangguan cemas
lainnya, gangguan depresi, gangguan kepribadian dapat membuat
menjadi penyulit dari agorafobia. Agorafobia jangka panjang
berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan depresi mayor
sekunder, gangguan depresi persisten (distimia). Sebagian besar kasus
agorafobia diperkirakan disebabkan oleh gangguan panik. Jika
gangguan panik diobati, agorafobia sering kali membaik
dengan berjalannya waktu. Untuk mendapatkan reduksi agorafobia
yang cepat dan lengkap, terapi perilaku kadang-kadang diperlukan.
Agorafobia tanpa riwayat gangguan panik sering kali menyebabkan
ketidakberdayaan dan kronis. Gangguan depresif dan ketergantungan
alkohol sering kali mengkomplikasi perjalanan agorafobia (APA,
2013).
Agorafobia berhubungan dengan gangguan dan disabilitas pada
fungsi peran, produktivitas kerja dan keseharian. Keparahan agorafobia
berkaitan dengan derajat disabilitas, kemunculan gangguan panik,
serangan panik, dan komorbid lain. Lebih dari sepertiga individu
dengan agorafobia secara penuh terikat dengan rumah dan tidak dapat
bekerja (APA, 2013).
g. Faktor Risiko dan Prognostik
Temperamental
Penghambatan perilaku dan disposisi neurotik (seperti afektivitas
negativ/neurotism dan sesnitivitas kecemasan) dekat hubungannya
dengan agorafobia namun relevan dengan sebagian besar gangguan
cemas (gangguan fobik, gangguan panik, gangguan cemas
menyeluruh). Sensitivitas kecemasan (disposisi untuk mempecayai
gejala kecemasan adalah berbahaya) juga merupakan karakteristik
individu dengan agorafobia (APA, 2013).
Lingkungan.
Pengalaman negativ pada saat anak-anak (perpisahan, kematian
orangtua) dan pengalaman stres lainnya, seperti diserang atau diculik,
berhubungan dengan onset agorafobia. Oleh karena itu, individu dengan
agorafobia mendeskripsikan keluarganya dan perilaku anak-anaknya
dikarakteristikan dengan kehangatan yang berkurang dan peningkatan
overprotektif (APA, 2013).
Genetik dan fisiologis
Faktor keturunan untuk agorafobia yaitu 61%. Dari bermacam-macam
fobia, agorafobia merupakan yang paling kuat dan memiliki hubungan
yang spesifik dengan faktor genetik yang dapat terpapar agorafobia
(APA, 2013).
h. Diagnosa Banding
Diagnosis banding untuk agorafobia tanpa suatu riwayat
gangguan panik adalah semua gangguan medis yang dapat
menyebabkan kecemasan atau depresi. Diagnosis banding psikiatrik
adalah gangguan depresif berat, skizofrenia, gangguan kepribadian
paranoid, gangguan kepribadian menghindar, di mana pasien tidak
ingin keluar rumah dan gangguan kepribadian dependan karena pasien
harus selalu ditemani setiap keluar rumah (APA, 2013).
i. Pengobatan
Dengan terapi, sebagian besar pasien mengalami perbaikan
dramatik pada gejala gangguan panik dan agorafobia. Dua terapi yang
paling efektif adalah farmakoterapi dan terapi kognitif–perilaku. Terapi
keluarga dan kelompok mungkin membantu pasien yang menderita dan
keluarganya untuk menyesuaikan dengan kenyataan bahwa pasien
menderita gangguan dan dengan kesulitan psikososial yang telah
dicetuskan oleh gangguan.
j. Farmakoterapi
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mengobati gangguan
panik karena agorafobia pada umumnya disebabkan oleh gangguan
panik. Diharapkan dengan perbaikan gangguan panik maka agorafobia
juga akan semakin membaik. Semua obat golongan Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRI) efektif untuk gangguan panik. Paroksetin
memiliki efek sedatif dan cenderung membuat pasien tenang sehingga
menimbulkan kepatuhan yang lebih besar serta putus minum obat yang
lebih sedikit. Jika efek sedasi paroksetin tidak dapat ditoleransi, maka
dapat diganti dengan fluoxetin. Obat lain yang biasa digunakan adalah
dari golongan Benzodiazepin karena memiliki awitan kerja untuk panik
yang paling cepat, sering dalam minggu pertama, dan dapat digunakan
untuk periode waktu yanglama tanpa timbul toleransi terhadap
antipanik.
k. Terapi Perilaku dan Kognitif
Terapi lain yang dilakukan selain farmakoterapi adalah terapi
perilaku dan kognitif. Fokus dari terapi kognitif adalah instruksi
mengenai keyakinan salah pasien dan informasi mengenai serangan
panik.
1) Aplikasi Relaksasi.
Tujuan aplikasi relaksasi (contohnya pelatihan relaksasi
Herbert Benson) adalah memberikan pasien rasa kendali mengenai
tingkat ansietas dan relaksasi.
2) Terapi Keluarga.
Keluarga pasien dengan gangguan panik dan
agorafobia juga mungkin telah dipengaruhi oleh gangguan anggota
keluarga. Terapi keluarga yang ditujukan pada edukasi dan
dukungan sering bermanfaat.
3) Psikoterapi Berorientasi Tilikan.
Psikoterapi berorientasi tilikan dapat memberi keuntungan
di dalam terapi gangguan panik dan agorafobia. Terapi berfokus
membantu pasien mengerti ansietas yang tidak disadari yang telah
dihipotesiskan, simbolisme situasi yang dihindari, kebutuhan untuk
menekan impuls, dan keuntungan sekunder gejala tersebut. Suatu
resolusi konflik pada masa bayi dini dan oedipus dihipotesiskan
berhubungan dengan resolusi stres saat ini.
4) Psikoterapi Kombinasi dan Farmakoterapi.
Bahkan ketika farmakoterapi efektif menghilangkan gejala
primer gangguan panik dan agorafobia, psikoterapi dapat
dibutuhkan untuk menterapi gejala sekunder. Intervensi
psikoterapeutik membantu pasien menghadapi rasa takut keluar
rumah. Di samping itu, beberapa pasien akan menolak obat karena
mereka yakin bahwa obat akan menstigmatisasi mereka sebagai
orang sakit jiwa sehingga intervensi terapeutik dibutuhkan
untuk membantu mereka mengerti dan menghilangkan resistensi
mereka terhadap farmakoterapi.
2. Fobia Sosial
a. Definisi
Fobia sosial merupakan salah satu di antara jenis gangguan
cemas (neurosis-cemas) dengan gelaja utama perasaan takut yang
disertai keinginan untuk menghindar. Fobia sosial sebagai penyakit
dikenal sejak tahun 1960, dan sebelumnya diagnosis fobia sosial
jarang dibuat.
b. Epidemiologi
Prevalensi fobia sosial pada kelompok eksekutif di Indonesia
besarnya antara 9,6 -16%, yang timbul sejak usia muda dan terus
berlangsung sampai pada usia dewasa. Di negara maju prevalensi
fobia sosial besarnya 2-13%, dan secara bermakna mengganggu
pekerjaan, status akademik dan hubungan seseorang.
Penelitian epidemiologi yang telah dilakukan di berbagai
negara-negara dengan ruang lingkup kehidupan yang beragam dan
berdasarkan kriteria diagnostik, instrumen penelitian dan lingkup
budaya yang berbeda menunjukkan prevalensi yang bervariasi antara
0,5% sampai 22,6%. Ada kecendrungan kenaikan angka prevalensi
fobia sosial, seiring dengan perubahan perilaku (gaya hidup)
masyarakat. Fobia sosial timbul sejak masa kecil, 40% di antaranya di
bawah 10 tahun. Sisanya di bawah usia 20-tahun. Penggunaan alkohol
berkorelasi dengan fobia sosial, mereka yang menggunakan alkohol
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita fobia sosial
dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakan alkohol. Dan
kelompok dengan ketergantungan alkohol mempunyai risiko sembilan
kali lebih besar untuk mengalami fobia sosial. Fobia sosial merupakan
gangguan kejiwaan nomor tiga, setelah gangguan penyalahgunaan zat
(substance abuse) dan gangguan depresi berat. Perhatian terhadap
fobia sosial masih kurang, dan sering dinyatakan sebagai “gangguan
cemas yang terabaikan”. Kurangnya perhatian terhadap fobia sosial
disebabkan oleh sedikitnya penderita yang mencari pengobatan untuk
gangguan fobia yang dideritanya. Penderita berobat bukan untuk fobia
sosial tetapi untuk keluhan lain.
c. Etiologi
Gangguan ini bukan disebabkan oleh gangguan organik.
Belum banyak diketahui tentang penyebab fobia sosial, tetapi
sejumlah penelitian menunjukkan banyak komponen kompleks yang
terlibat. Karakteristik temperamen seseorang seperti rasa malu,
behavioral inhibition, selfconsciousness, embarrassment dan
keturunan (heredity) merupakan faktor predisposisi terjadinya fobia
sosial.
d. Diagnosis
Kriteria diagnostik fobia sosial menurut DSM V (300.23) (F40.1)
1) Menandai ketakutan atau kecemasan terhadap satu atau lebih
situasi sosial dimana individu terlihat oleh pengamatan yang
mungkin dilakukan oleh orang lain. Contohnya termasuk interaksi
sosial (melakukan percakapan, bertemu orang asing), merasa
diamati (makan dan minum), dan tampil di depan orang lain
(memberi pidato).
2) Individu merasa takut melakukan sesuatu jika menunjukkan
gejala kecemasan akan ditanggapi negatif (akan dipermalukan,
menuju pada penolakan atau penyerangan orang lain).
3) Situasi sosial hampir selalu memancing ketakutan atau
kecemasan.
4) Situasi sosial dihindari atau diatasi dengan ketakutan atau
kecemasan yang tinggi.
5) Ketakutan atau kecemasan itu tidak sesuai dengan ancaman
sebenarnya yang ditimbulkan situasi sosial dan pada konteks
kultur sosial.
6) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut berlanjut,
biasanya berlangsung selama 6 bulan atau lebih.
7) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan
gangguan-gangguan klinis yang signifikan pada kehidupan sosial,
pekerjaan, atau bidang penting lainnya.
8) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut tidak termasuk
kedalam efek psikologis secara subtansi (penyalahgunaan obat-
obatan, pengobatan) atau kondisi medis lainnya.
9) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tidak lebih baik
dijelaskan oleh gejala dari gangguan mental lainnya, atau
gangguan spektrum autisme.
10) Jika kondisi medis lainnya (penyakit parkinson, obesitas, cacat
dari luka bakar atau cidera) ada, maka ketakutan, kecemasan, atau
penghindaran jelas tidak terkait atau berlebihan.
d. Diagnosis
Kriteria diagnostik fobia khas menurut DSM V (300.29) (F40.2) :
1) Menandai ketakutan atau kecemasan terhadap suatu objek atau
situasi tertentu (terbang, ketinggian, binatang, jarum suntik, darah).
2) Objek atau situasi fobia hampir selalu memancing ketakutan atau
kecemasan tiba-tiba.
3) Objek atau situasi fobia secara aktif dihindari atau diatasi dengan
ketakutan atau kecemasan yang kuat.
4) Ketakutan atau kecemasan itu tidak sesuai dengan bahaya
sebenarnya yang ditimbulkan oleh objek atau situasi tertentu dan
pada konteks kultur sosial.
5) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut berlanjut,
biasanya berlangsung selama 6 bulan atau lebih.
6) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan gangguan-
gangguan klinis yang signifikan pada kehidupan sosial, pekerjaan,
atau bidang penting lainnya.
7) Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan oleh gejala dari
gangguan mental lainnya, seperti ketakutan, kecemasan, dan
penghindaran terhadap situasi dibantu dengan gejala seperti panik
atau gejala ketidakmampuan lainnya (seperti pada agorafobia);
objek atau situasi yang berkaitan dengan obsesi (seperti pada
gangguan obsesif-kompulsif); ingatan atas suatu trauma (seperti
pada gangguan stres pasca trauma); pemisahan dari rumah atau
kasih sayang seseorang (seperti pada gangguan kecemasan
pemisahan); atau pada situasi sosial (seperti pada gangguan
kecemasan sosial).
Kriteria diagnosis fobia khas (terisolasi) menurut PPDGJ-III adalah:
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
1) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif;
2) Anxietas hanya terbatas pada adanya objek atau situasi fobik
tertentu (highly specific situations); dan
3) Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya
Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak
seperti halnya agorafobia dan fobia sosial.
e. Penatalaksanaan
1. Terapi rasional emotif tingkah laku
Terapi rasional emotif tingkah laku adalah terapi yang
berusaha menghilangkan cara berfikir klien yang tidak logis dan
irasional, dan menggantinya dengan sesuatu yang logis dan
rasional dengan cara menyerang, menentang, mempertanyakan dan
membahas keyakinan-keyakinan irasional klien. Pikiran dan emosi
merupakan dua hal yang saling bertumpang tindih, dan dalam
prakteknya kedua hal itu saling terkait. Emosi disebabkan dan
dikendalikan oleh pikiran. Baik emosi dan pikiran tersebut
ditunjukkan dengan tingkah laku. Pikiran-pikiran seseorang dapat
menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi
tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata lain,
pikiran mempengaruhi emosi dan sebaliknya emosi mempengaruhi
pikiran. Pikiran seseorang dapat menjadi emosinya, dan emosi
dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi pikiran.
Tujuan utama dari terapi rasional emotif tingkah laku
adalah membantu klien memahami kepercayaan irrasionalnya,
dengan mendebatkannya dan selanjutnya merubahnya dengan
pemikiran yang lebih positif dan rasional. Membantu anak menjadi
evaluator atas dirinya sendiri, sehingga dapat belajar untuk hidup
sehat, mengontrol diri, dan bertanggung jawab atas kehidupannya.
Menurut Edelstein (2010) terapi rasional emotif tingkah laku
membantu seseorang untuk dapat lebih percaya diri dan
mengeliminasi atau menghilangkan masalah pemikiran yang
mengganggu (irasional).
2. Farmakoterapi
Farmakoterapi yang dapat diberikan yaitu obat-obatan golongan
selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), benzodiazepine, B-
blocker.
a) MAOI (monoamine oxidase inhibitors)
Phenelzine merupakan suatu MAOI yang efektif untuk
fobia sosial. Suatu penelitian yang dilakukan untuk melihat
perbandingan efektifitas phenelzine, atenolol dan plasebo pada
penderita fobia sosial menunjukkan bahwa 64 % penderita fobia
sosial mendapatkan perbaikan yang jelas dengan phenelzine,
sedangkan dengan atenolol hanya 30% dan dengan plasebo
23%.(3) Efek samping yang sering terjadi yaitu krisis hipertensi,
insomnia, disfungsi seksual, hipertensi postural, dan penambahan
berat badan. Untuk mengurangi efek samping, maka perlu
dilakukan diet rendah tiramin.
b) RiMA (Reversible monoamine oxidase inhibitors)
RiMA merupakan obat yang efektif untuk mengatasi fobia
sosial. Obat ini bekerja menghambat enzim monoamine oksidase
tipe A secara refersibel. Sekitar 80-90 % penderita yang diobati
dengan RiMA mendapat perbaikan setelah 16 minggu. Terapi
dipertahankan paling sedikit selama 6 bulan dan biasanya
kekambuhan terjadi pada sekitar 50% bila pemberian obat
dihentikan. Untuk mengurangi kekambuhan, pemberian obat
diturunkan secara berangsur - angsur.
c) Beta blocker
Beta bloker dapat menurunkan aktivitas sistem otonom
yang disebabkan oleh kecemasan (takhikardia termor, berkeringat).
Contoh preperat beta blocker, misalnya propanolol atau atenolol.
d) Obat-obat lain
Beberapa obat-obat lain yang juga digunakan untuk
mengatasi fobia sosial yaitu benzodiazepine dan selective serotonin
reuptake inhibotors (SSRIs) seperti fluoxetine, fluvoxamine,
sertraline, dan paroxetine.
e) Psikoterapi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara
terapi kognitif-perilaku dengan farmakoterapi bemanfaat untuk
kelainan ini. Kombinasi farmakoterapi dan tetapi kognitif perilaku
dapat mempercepat efek atau kerja obat, dan efek terapi dapat
bertahan lama walaupun obat telah dihentikan.
II. PENUTUP