Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965 bukanlah kali pertama bagi PKI.
Sebelumnya, pada tahun 1948 PKI sudah pernah mengadakan pemberontakan di Madiun.
Pemberontakan tersebut dipelopori oleh Amir Syarifuddin dan Muso.

Tujuan
Tujuan dari pemberontakan itu adalah untuk menghancurkan Negara RI dan
menggantinya menjadi negara komunis. Beruntunglah pada saat itu Muso dan Amir
Syarifuddin berhasil ditangkap dan kemudian ditembak mati sehingga pergerakan PKI dapat
dikendalikan. Namun, melalui demokrasi terpimpin kiprah PKI kembali bersinar. Terlebih
lagi dengan adanya ajaran dari presiden Soekarno tentang Nasakom(Nasional, Agama,
Komunis) yang sangat menguntungkan PKI karena menempatkannya sebagai bagian yang
sah dalam konstelasi politik Indonesia. Bahkan, Presiden Soekarno mengangap aliansinya
dengan PKI menguntungkan sehingga PKI ditempatkan pada barisan terdepan
dalamdemokrasi terpimpin.

Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan-
permasalahan sebagai berikut :
Apa pengertian dari Gerakan 30 S PKI ?
Bagaimana Sejarah G 30 S PKI ?
Siapa sajakah tokoh – tokoh Disintegrasi dan Integrasi dari peristiwa G 30 SPKI ?
Apa tujuan dan latar belakang peristiwa G 30 SPKI ?

Page | 1
BAB II
PEMBAHASAN

PENGERTIAN G 30 S PKI
G 30 S PKI adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September sampai 1
Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya
dibunuh dalam suatu usaha kudeta (pengambilan kekuasaan) yang kemudian dituduhkan
kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang
bukan hak mereka. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara polisi dan para pemilik tanah.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak
milik Amerika Serikat.

SEJARAH SINGKAT G 30 S PKI


Peristiwa Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan atau situasi
chaos yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa ini diawali
dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September
1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula
oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun
(Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di
Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat
dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa
PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan
sebagian pelaku Orde Lama).

TOKOH – TOKOH DISINTEGRASI

 D.N. Aidit, ketua PKI (meninggal dibunuh 1965).


 Lettu Doel Arif, tokoh kunci dalam penculikan jenderal-jenderal Angkatan Darat
yang diduga akan membentuk Dewan Jenderal oleh PKI dalam peristiwa Gerakan 30
September 1965 (hilang).
 Lukman Njoto, Menteri Negara pada masa pemerintahan Soekarno dan wakil Ketua
CC PKI yang sangat dekat dengan D.N. Aidit (ditangkap 1966 dan hilang).
 Ibnu Parna, politisi fraksi PKI, pemimpin Partai Acoma, dan aktivis buruh (dibunuh).
 M.H. Lukman, Wakil Ketua CC Partai Komunis Indonesia. (dihukum mati 1965)
 Ir. Sakirman, petinggi Politbiro CC PKI dan kakak kandung dari Siswondo Parman,
salah satu korban yang diculik meninggal dalam peristiwa G30S (hilang).
 Sudisman, anggota Politbiro CC PKI (dihukum mati).
 Syam Kamaruzzaman, tokoh kunci G30S dan orang nomor satu di Politbiro PKI yang
bertugas membina simpatisan PKI dari kalangan TNI dan PNS (dijatuhi hukuman
mati 1968, dieksekusi 1986).

Page | 2
TOKOH – TOKOH INTEGRASI

 Chaerul Saleh, pejuang dan tokoh politik Indonesia yang pernah menjabat sebagai
menteri, wakil perdana menteri, dan ketua MPRS antara tahun 1957 sampai 1966.
Salah satu pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa
Rengasdengklok (meninggal 1967 sebagai tahanan).
 Muhammad Arief, pencipta lagu "Genjer-genjer" (dibunuh).
 Brigjen Soepardjo, Komandan TNI Divisi Kalimantan Barat yang memiliki peran
penting dalam peristiwa Gerakan 30 September (dihukum mati).
 Letkol Untung Syamsuri, Komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang memimpin
Gerakan 30 September pada tahun 1965 (dihukum mati 1969).
 Trubus Soedarsono, pematung dan pelukis naturalis Indonesia (dibunuh).
 Wikana, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, bersama Chaerul Saleh dan
Sukarni termasuk dalam pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa
Rengasdengklok (hilang).

Tawaran bantuan dari Belanda


Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan
untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah
Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan
segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan
bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap,
tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah
cenderung berpihak kepada AS.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai
organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan sosialis.
Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI)
juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang
diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok
diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll.,
melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade,
antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol
Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis
III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan
Kapten Untung Samsuri.
Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali
dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati
kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan
pasukan bergabung dengan Musso, antara lain Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid,
kelompok diskusi Patuk, dll.
Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak
menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak perwira TNI, perwira polisi,
pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.
Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM
Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang
tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi dari
golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang
melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya
sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan
nama jalan utama di Kota Madiun.

Page | 3
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI saat itu, termasuk Wakil
Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk
menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden
AS yang mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman menyatakan, bahwa apabila ada
satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga
akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena
itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje
Hansje" Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukiman, Menteri
Dalam negeri, Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di
pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran
(pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam
pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan
bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal
pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke
Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar
resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta, sesungguhnya adalah
anggota Central Intelligence Agency – CIA.
Diisukan, bahwa Sumarsoso tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di
Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan
Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan bahwa pada
dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi
pemberontakan PKI. Dia bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari
Pemerintah Pusat.
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui
radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso-Amir Syarifuddin
atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai
Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru terutama di buku-buku
pelajaran sejarah kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI Madiun.

Peristiwa :

Isu Dewan Jenderal


Pada saat-saat genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal, yang mengungkapkan bahwa para petinggi Angkatan Darat tidak puas terhadap
Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili.
Namun secara tak terduga, dalam operasi penangkapan tersebut para jenderal tersebut
terbunuh.

Isu Dokumen Gilchrist


Dokumen Gilchrist diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia, Andrew
Gilchrist. Beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini
oleh beberapa pihak dianggap pemalsuan. Di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB
Rusia, dokumen ini menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan
bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika
Serikat juga dituduh memberi daftar nama anggota PKI kepada tentara untuk
"ditindaklanjuti".

Page | 4
Keterlibatan Soeharto
Menurut isu yang beredar, Soeharto saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (Panglima
Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat) tidak membawahi pasukan.

Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi
Tertinggi)
Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
Brigjen TNI Donald Issac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau,
Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:


Bripka Karel Satsuin Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II
dr.J.Leimena)
Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Letkol Sugiyanto Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal
sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca Kejadian
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI Angkatan Darat, PKI mampu menguasai
dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor
Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan
pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi
anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan
pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel
Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf
Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira
ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal
1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan
Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara
Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau
rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata
dan para korbannya untuk penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI
segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung
"pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.

Penangkapan dan Pembantaian


Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua partai kelas buruh yang diketahui,
ratusan ribu pekerja, dan petani Indonesia dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan
untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan
Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang

Page | 5
yang dibantai tidak diketahui dengan persis (perkiraan yang konservatif menyebutkan
500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang). Namun
diduga setidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti
kudeta itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-
organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI
melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat
sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Pada akhir 1965, antara
500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban
pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya
perlawanan sama sekali.

Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret)


Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto
kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk
mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk
melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali
digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim
Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada
tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI, Nyoto.

Pertemuan Jenewa, Swiss


Menyusul peralihan kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakanlah pertemuan
antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss. Korporasi
multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General
Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American
Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman
Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Kebijakan ekonomi pro liberal
sejak saat itu diterapkan.

Peringatan
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan
30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada
masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga
ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September.
Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila
Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi
di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi
dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk
mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai
pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40
tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia, Depok. Selain civitas academica, Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri
para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko,
dan Putmainah.

Page | 6
Akhir konflik
Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan
Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer
Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi
Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan
Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19
September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah
pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat
menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar,
kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang
datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di
Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos
dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso
tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin
Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol.
Gatot Subroto.

Page | 7
Page | 8
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Peristiwa G 30 S PKI adalah peristiwa berdarah bunuh membunuh yang tidak jelas
kepastiannya, dalam peristiwa ini 6 jendral tewas dan PKI dituduh sebagai pembunuhnya.
Kronologinya akan dibahas pada poin-poin di bawah.
Menurut isu beredar, ada kabar bahwa para jenderal tidak puas dengan pemerintahan
Soekarno, kabar ini disebut Isu Dewan Jenderal, menurut isu beredar, kemudian digerakan
pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan mengadili mereka, namun dalam proses
penangkapan, secara tak terduga mereka terbunuh pada tanggal 30 September 1965.
Menurut isu, setelah ke enam jenderal terbunuh, tersebarlah tuduhan bahwa PKI yang
membunuh para jenderal tersebut. Menurut isu, untuk menyikapi tuduhan atas PKI tersebut,
diberantaslah PKI yang dianggap ingin mengudeta pemerintahan. Banyak anggota-anggota
PKI yang terbunuh, juga banyak orang-orang kita yang terbunuh oleh PKI, semua itu terjadi
pasca terbunuhnya jenderal pada 30 September 1965.
Sampai akhirnya, lima bulan setelah itu, keluarlah Supersemar (Surat Perintah Sebelas
Maret). Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah sebelas
Maret. Semua pihak, terutama Soekarno berharap semoga aksi bunuh membunuh pasca
kejadian 30 September 1965, itu segera selesai.
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan
30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Isu
mengenai peristiwa G 30 S PKI, dari mulai tuduhan-tuduhan kudeta sampai kematian para
jenderal tidak begitu jelas.

Page | 9
DAFTAR PUSTAKA

http://kumpulanmakalah-kedokteran-psikologi.blogspot.com/2013/06/pemberontakan-g-30-s-
pki.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_tokoh_yang_meninggal_dalam_pembersihan_antikomun
is_Indonesia
https://kelasips.co.id/sejarah-g30s-pki/

Page | 10

Anda mungkin juga menyukai