Anda di halaman 1dari 25

Telaah Ilmiah

KELAINAN PADA UMBILIKUS

Oleh
Nia Githa Sarry, S.Ked
Rovania Yantinez Quardetta, S.Ked

Pembimbing
dr. Sindu Saksono, Sp.B, Sp.BA

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


Kelainan pada Umbilikus

Oleh:
Nia Githa Sarry, S.Ked
Rovania Yantinez Quardetta, S.Ked

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Bedah RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 7 Oktober – 16
Desember 2019

Palembang, Oktober 2019

dr. Sindu Saksono, Sp.B, Sp.BA

ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat
dan berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Kelainan pada Umbilikus” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Bedah RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Sindu Saksono,
Sp.B, Sp.BA atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan telaah Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 2
1. Fisiologi Tulang ........................................................................................... 2
1.1.Penimbunan dan Absorpsi Tulang – Remodeling Tulang ..................... 2
1.1.1. Penimbunan tulang oleh osteoblas ....................................... 2
1.1.2. Absorpsi tulang—fungsi osteoklas ...................................... 2
1.1.3. histologi, absorpsi tulang terjadi bersebelahan dengan
osteoklas ............................................................................... 2
1.1.4. Penimbunan dan absorpsi tulang normalnya berada dalam
keseimbangan ....................................................................... 3
2. Definisi ......................................................................................................... 3
3. Etiologi ......................................................................................................... 3
4. Faktor Resiko ............................................................................................... 3
5. Patogenesis ................................................................................................... 4
6. Patofisiologi ................................................................................................. 5
7. Histopatologi ................................................................................................ 7
8. Diagnosis ...................................................................................................... 8
9. Penatalaksanaan ......................................................................................... 12
10. Komplikasi ................................................................................................. 15
11. Prognosis .................................................................................................... 16

BAB III KESIMPULAN....................................................................................... 18


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 19

iv
v
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Paget adalah suatu penyakit yang ditandai oleh peningkatan bone
turn over dan pembesaran serta penebalan tulang, namun memiliki arsitektur
tulang yang abnormal dan tulang menjadi sangat rapuh. Keadaan ini dicurigai
berhubungan dengan etnis dan distribusi geografis. Merupakan suatu penyakit
yang cukup umum di daerah Amerika Utara, Inggris, Eropa Barat dan Australia
(prevalensinya lebih dr 3% pada orang berusia diatas 40 tahun). Namun jarang
didapati pada penduduk Asia, Afrika dan Timur Tengah. Ada kecenderungan
untuk agregasi familial. Sebabnya tidak diketahui, walaupun penemuan adanya
badan inklusi pada osteoklas menunjukkan kemungkinan adanya infeksi virus
(Solomon et al, 2010).
Prevalensi penyakit paget lebih besar pada laki – laki dan meningkat seiring
bertambahnya usia. Prevalensi radiografi tulang positif pada pasien diatas 55
tahun adalah 2,5% untuk laki – laki dan 1,6% untuk perempuan. Peningkatan
alkalin fosfatase (ALP) pada pasien asimtomatik memiliki kejadian yang
disesuaikan menurut umur sebesar 12,7 dan 7 per 100.000 orang per tahun
masing– masing pada laki – laki dan perempuan (Fauci et al, 2008).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh United States Department of
Health, Education and Welfare in the United States dari tahun 1971 hingga 1975.
Tiga puluh satu radiografi menunjukkan Paget’s disease pada tulang. Paget’s
disease pada coxae hadir dalam 27 (sekitar 87%) radiograf. Dari mereka tanpa
keterlibatan coxae, satu menderita Paget’s disease pada vertebra lumbalis
keempat dan femur proksimal sinistra, satu memiliki keterlibatan femoralis
proksimal sinistra, satu orang vertebra lumbalis kelima yang terlibat, dan satu
memiliki vertebra lumbalis kedua yang terlibat. Radiografi, keterlibatan coxae
sebelah hadir di 12 dari 27 (sekitar 44%) dari mereka yang terkena Paget’s
disease pada coxae itu (Attman et al, 2000).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Fisiologi Tulang
1.1. Penimbunan dan Absorpsi Tulang – Remodeling Tulang
1.1.1. Penimbunan tulang oleh osteoblas.
Tulang secara kontinu dibentuk oleh osteoblas, dan secara kontinu
diabsorbsi ketika osteoklas menjadi aktif. Osteoblas dijumpai di permukaan luar
tulang dan rongga-rongga tulang. Sejumlah kecil aktivitas osteoblastik terjadi
secara kontinu di semua jaringan tulang yang hidup (sekitar 4 persen dari semua
permukaan tulang pada orang dewasa di berbagai waktu), sehingga sedikitnya
sejumlah tulang baru dibentuk secara konstan.

1.1.2. Absorpsi tulang—fungsi osteoklas.


Tulang juga diabsorpsi secara kontinu dengan adanya osteoklas, yang
merupakan sel fagositik besar berinti banyak (sebnayak 50 inti), dan suatu turunan
monosit atau sel mirip monosit yang dibentuk di sumsum tulang. Osteoklas pada
keadaan normal bekerja secara aktif didaerah permukaan tulang seluas kurang dari
1 persen seluruh luas permukaan tulang orang dewasa.

1.1.3. Secara histologi, absorpsi tulang terjadi bersebelahan dengan


osteoklas.
Mekanisme absorpsi ini diyakini terjadi sebagai berikut: osteoklas
mengeluarkan tonjolannya yang menyerupai vili ke arah tulang, yang membentuk
suatu permukaan bergelombang yang berdekatan dengan tulang. Vili tersebut
mengeluarkan 2 macam zat: (1) enzim proteolitik, yang dilepaskan dari lisosom
osteoklas dan (2) beberapa asam, yang meliputi asam laktat dan asam sitrat, yang
dilepaskan dari mitokondriadan vesikel sekretoris. Enzim tersebut akan mencerna
atau melarutkan matriks organik tulang, dan asam menimbulkan terlarutnya garam
tulang. Sel osteoklas juga mengimbibisi tulang dengan memfagositosis partikel
kecil dari matriks dan kristal tulang, dan pada akhirnya juga akan melarutkan zat-
zat ini dan melepaskan produknya ke dalam darah.

2
1.1.4. Penimbunan dan absorpsi tulang normalnya berada dalam
keseimbangan.
Pada keadaan normal, kecuali di jaringan tulang yang sedang tumbuh,
kecepatan pembentukan dan absorpsi tulang sama satu dengan yang lain, sehingga
total massa tulang dipertahankan konstan. Osteoklas biasanya terdapat dalam
jumlah kecil namun terkonsentrasi, dan begitu sebuah massa osteoklas mulai
terbentuk, osteoklas biasanya akan memakan tulang selama kira-kira 3 minggu,
yang akan menciptakan terowongan dengan kisaran diameter 0,2 sampai 1
milimeter dan panjang beberapa milimeter. Pada akhir tahap ini, osteoklas
menghilang dan terowongan akan ditempati osteoblas; kemudian tulang yang baru
mulai terbentuk. Pembentukan tulang kemudian berlanjut selama beberapa bulan.
Tulang yang baru berada dalam lingkaran konsentris yang berlapis (lamela) pada
permukaan dalam rongga sampai terowongan dipenuhi. Pembentukan tulang
berhenti apabila tulang mulai mencapai pembuluh darah yang memasok daerah
tersebut. Kanal tempat berjalannya pembuluh-pembuluh darah ini, yang disebut
kanal havers adalah semua sisa peninggalan rongga tulang yang asli. Setiap
daerah baru dari tulang yang dibentuk dengan cara demikian disebut osteon.

2. Definisi
Paget’s disease (osteitis deformans) adalah suatu gangguan pada tulang
yang ditandai dengan aktivitas osteoklastik lokal yang tinggi dan resorpsi
tulang, diikuti oleh pembentukan tulang yang berlebihan dengan hasil akhir
deformitas tulang akibat penimbunan tulang abnormal tak stabil yang
berlebihan (Kumar, 2007).
3. Etiologi
Penyebab dari Paget’s disease tidak diketahui secara pasti, akan tetapi
bukti penelitian mendukung penyebabnya adalah dari faktor genetik dan
virus. Riwayat keluarga positif ditemukan pada 15 – 25% pasien dan ada
yang prevalensinya meningkat 7 – 10 kali lipat pada kalangan kerabat tingkat
pertama (Fauci et al, 2008).
4. Faktor Resiko
Faktor resiko Paget’s disease yaitu (Fauci et al, 2008) :

3
a. Genetik
Orang dengan anggota keluarga yang masih satu garis keturunan
memiliki resiko terkena Paget’s disease 0.8 kali lipat dibandingkan
dengan orang yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan Paget’s
disease.
b. Usia
Seseorang yang berusia > 40 tahun akan lebih mudah terkena Paget’s
disease.
c. Ras
Ras Kaukasoid (bangsa Eropa) lebih mudah terkena Paget’s disease
dibandingkan bangsa lain seperti Mongolian, Negro, Indian, dan Arab.
d. Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki lebih sering terkena Paget’s disease
dibandingkan perempuan.

5. Patogenesis
Penyebab Paget’s disease tidak diketahui. Namun, kecenderungan
genetik untuk Paget’s disease telah banyak dijelaskan dalam penelitian.
Sekitar 40% dari pasien dengan Paget’s disease memiliki keluarga satu garis
keturunan (contohnya: anak) yang terkena dampak, dan sejumlah besar
keluarga dengan transmisi vertikal dari Paget’s disease dan pola dominan
autosomal dari warisan telah dijelaskan. Setidaknya enam lokus genetik telah
dikaitkan dengan Paget’s disease, diantaranya pada kromosom 18q, 23q, 24q.
Faktor genetik memainkan peran penting dalam mutasi atau polimorfisme
terkait empat gen yang menyebabkan Paget’s disease, yaitu TNFRSF11A
mengkode RANK, TNFRSF11B mengkode osteoprotegerin, VCP mengkode
p97, dan SQSTM mengkode p62. Semua gen tersebut berperan dalam jalur
RANK-NF kappa B sinyal dan memungkinkan terjadinya aktivitas osteoklas
meningkat. Kelainan genetik yang paling sering adalah mutasi pada gen
sequestosome-1 (SQSTM1) atau dikenal sebagai p62. SQSTM1 mutasi telah
terdeteksi pada 30% pasien dengan Paget’s disease familial dan pada 10%
pasien dengan Paget’s disease sporadis. Meskipun penetrasi untuk Paget’s

4
disease tinggi, hal ini dapat bervariasi dalam keluarga dengan kecenderungan
genetik. Bisa saja pasien tua dengan SQSTM1 mutasi tidak memiliki bukti
Paget’s disease, meskipun homozigot mereka telah mengalami mutasi.
Jaringan selular utama kelainan pada Paget’s disease berada di osteoklas.
Sel-sel ini mengandung inklusi nukleus yang menyerupai nucleocapsid
paramyxoviral. Kedua virus campak dan protein virus syncytial pernapasan
nukleokapsid dan transkrip telah dideteksi dalam osteoklas dari pasien
dengan Paget’s disease, tetapi beberapa penelitian tidak dapat membuktikan
hubungan deteksi transkrip paramyxoviral atau protein dalam osteoklas
pagetik. Namun demikian, dalam studi in vitro dimana prekursor osteoklas
normal transfected dengan transkrip virus campak atau terinfeksi virus
campak telah menunjukkan bahwa prekursor osteoklas mengandung virus
campak gen nukleokapsid dapat membentuk pagetik seperti osteoklas (Lyles,
2001; Pathol, 2006; Fauci et al, 2008).

6. Patofisiologi
Inti dari keabnormalan pada Paget’s disease ini adalah peningkatan
jumlah dan aktivitas dari osteoklas. Osteoklas pada Paget’s disease sangat
besar, meningkat antara 10 hingga 100 kali dari osteoklas normal. Selain itu
pada Paget’s disease, jumlah osteoklasnya juga meningkat drastis, biasanya
ditemukan 100 nukleus, bila pada osteoklas normal hanya ditemukan 3 – 5
buah nucleus (Fauci et al, 2008).
Karena jumlah dan ukurannya yang melebihi normal, menyebabkan
osteoklas overaktif, padahal kita ketahui fungsi dari osteoklas sendiri adalah
resorpsi mineral tulang. Sehingga pada Paget’s disease terjadi peningkatan
resorpsi/absorbs hingga 9 g per hari (normalnya 1 g per hari). (Fauci et al,
2008).
Selain kelainan terjadi pada osteoklas, pada Paget’s disease juga terjadi
keabnormalan secara fisiologi pada prekusor. Penelitian telah menemukan
beberapa perbedaan antara pasien Paget’s disease dan orang sehat. Fenotip
dari Paget’s disease diketahui dari hipersensitivitas dari prekusor osteoklas
terhadap beberapa osteoclastogenic factor termasuk 1,25-(OH)2D3 (49, 50)

5
and RANKL (50, 51). Berdasar penelitian dari lesi pengidap Paget’s disease
terjadi peningkatan TAFII-17 yang dicurigai bertanggung jawab atas
hipersensitivitas dari prekusor osteoklas terhadap 1,25-(OH)2D3. TAFII – 17
sendiri adalah komponen dari faktor transkripsi TAFIID complex yang
berikatan dengan reseptor vitamin D. (Roodman, 2005).
Untuk mengimbangi peningkatan osteoklas tubuh memproduksi
osteoblas dengan jumlah yang besar pula. Sehingga terbentuk matrix tulang
baru dalam jumlah besar. Pada akhirnya masa tulang justru bertambah dan
bukan berkurang sehingga menimbulkan deformitas (Fauci et al, 2008).
Karakteristik dari Paget’s disease sendiri adalah peningkatan resorpsi
tulang diikuti formasi tulang baru. Biasanya dibagi dalam 3 fase, fase pertama
atau fase inisial melibatkan prominen resorpsi tulang dan hipervaskularisasi.
Jika dilihat secara radiografi hal ini menunjukan irisan/potongan lisis atau lesi
blade of grass. Fase kedua periode adalah fase dimana resorpsi dan formasi
penggantian matrix normal tulang yang sangat aktif dan mengganti menjadi
tulang haphazard (woven), hal ini menyebabkan lebih mudah untuk fraktur.
Fase final sclerosis, resorpsi tulang berkurang drastis dan menimbulkan
tulang yang keras, padat, tetapi sedikit vaskularisasi (Fauci et al, 2008).
Bagan pathogenesis dan patofisiologis Paget’s disease :

Faktor predisposisi (genetik dan virus)

↑ jumlah dan ukuran osteoklas

Osteoklas overaktif

↑ resorpsi tulang

Terbentuk osteoblas

↑ terbentuknya matriks tulang baru

↑ massa tulang

Fraktur Deformit
as
MenekanradikssarafNYERI
Bagan 1. Patogenesis dan Patofisiologi Paget’s disease

6
7. Histopatologi
Paget’s disease bisa muncul sebagai lesi soliter (monostotik) atau terjadi
pada berbagai tempat di tulang (poliostotik) seperti di tulang aksial termasuk
vertebrae, cranium, dan pelvis. Femur dan tibia bagian proksimal juga
termasuk bentuk poliostotik. Gambaran histologi yang khas yaitu adanya pola
mozaik pada lamella tulang (seperti puzzle) karena susunan lamella yang
tidak teratur dan disebabkan karena tulang baru dan tulang lama saling
melekat secara tidak teratur (Kumar, 2007).
Paget’s disease merupakan contoh penyakit yang disebabkan karena
gangguan proses remodeling tulang. Penyakit ini terdiri dari tiga fase (Rubin
et al, 2009; Kumar, 2007) :
a. Fase lisis awal
Pada fase ini terjadi penyebaran luas osteolisis dengan fibrosis sumsum
tulang dan dilatasi sinusoid pada sumsum tulang. Osteoklas dan lakuna-
lakuna howship yang berhubungan jumlahnya sangat banyak dan
mengalami pembesaran abnormal.
b. Fase campuran aktivitas osteoblas dan osteoklas
Pada fase ini terdapat aktivitas osteoblas dan osteoklas yang irregular.
Osteoklas tetap ada di fase campuran, tetapi permukaan tulang menjadi
dilapisi oleh tonjolan osteoblas. Sumsum tulang digantikan oleh jaringan
ikat longgar yang mengandung sel osteoprogenitor sama
c. Fase burnt-out
Fase ini ditandai dengan aktivitas seluler yang menurun.
Paget’s disease disebabkan oleh gangguan dari percepatan remodeling.
Gambaran histologisnya yaitu adanya osteitis fibrosa, osteoklas yang
jumlahnya meningkat, osteoblas aktif dalam jumlah besar, dan ditemukan
fibrosis sumsum tulang peritrabekular. Remodelling yang cepat menyebabkan
gangguan pada bangunan trabekula. Osteoklas adalah sel yang bersifat
patologis pada Paget’s disease, dan kemunculannya menjadi karakteristik
dari penyakit ini. Osteoklas normal jumlah nukleusnya hanya lusinan, tetapi
pada Paget’s disease jumlahnya mencapai lebih dari 100. Nukleus dapat
mengandung partikel seperti virus. Tanda khas untuk penegakan diagnosis

7
Paget’s disease yaitu adanya susunan lamella tulang yang abnormal sehingga
pembentukan tulang ireguler, mirip seperti puzzle yang dipisahkan oleh
tonjolan cement line (Rubin et al, 2009).

Gambar 1. Pola mozaik lamella tulang (Praktikum Patologi Anatomi, 2011)


Keterangan gambar 1 (Praktikum Patologi Anatomi, 2011):
a. Panah biru tipis : trabekula terlihat melebar, disertai garis-garis endapan
yang tidak teratur atau dikenal dengan istilah ”Mosaic pattern”. Struktur
ini terjadi akibat adanya resorpsi dan pembentukan tulang yang berulang-
ulang.
b. Panah biru tebal : di antara trabekula tulang, tampak jaringan ikat
miksomatosa dengan pembuluh darahnya yang melebar dengan lapisan
osteoblas pada permukaan trabekula yang membentuk tulang baru.
c. Panah biru dobel : tampak pula resorpsi tulang secara aktif oleh
osteoklas.
8. Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada Paget’s Disease yang hasilnya nyeri
kepala disebabkan oleh pembentukan tulang baru yang tidak sempurna,
menebal di dalam ruang cranium sehingga menghasilkan munculnya
cotton-wool. Nyeri punggung ditemukan dan mungkin berkaitan dengan
fraktur vertebra dan penekanan radiks saraf. . Pasien yang mengalami
penyakit ini sebagian mengalami lesi tulang hipervaskular awal
menyebabkan kulit dan jaringan subkutis di atasnya hangat. Hasil yang
didapatkan pada anamnesis sebagai berikut (Kumar, 2006):
1) Nyeri tulang, terutama pada vertebrae atau pelvis

8
2) Nyeri sendi saat tulang yang terkena Paget’s disease berada di dekat
sendi, sehingga menyebabkan kerusakan kartilago dan osteoarthritis.
b. pemeriksaan fisik
Paget’s disease pada tulang biasanya asimtomatik. Episode berulang
penguraian tulang yang cepat diikuti oleh periode pembentukan tulang
yang singkat. Tulang baru menjadi tebal dan kasar, dan proses ini
menyebabkan deformitas struktural dan kelemahanPeningkatan curah
jantung menjadi hipervaskularitas, pada penyakit yang luas. Fase
proliferasi, umumnya pasien mengalami nyeri kepala, pembesaran kepala,
gangguan penglihatan, dan ketulian yang semuanya disebabkan oleh
deformitas tulang tengkorak dan penekanan saraf kranialis. Deformitas,
yang ditunjukkan dari tibia yang membungkuk dan perubahan pada
cranium (Kumar, 2006; Kumar, 2007).

Gambar 2. Deformitas tibia (Kumar & Clark, 2006).


c. Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologis
Diagnosis Paget’s disease terutama adalah secara radiologis. Foto
polos berharga dalam mendiagnosis komplikasi penyakit sekunder

9
Paget’s disease sperti artitis atau fraktur.Ada beberapa hal yang
direkomendasikan mengenai foto polos (Kertia, 2006) :
1) Diagnosis Paget’s disease dapat ditegakan dengan foto polos dari
minimal satu area tulang pada semua pasien dalam kondisi ini.
2) Survei tulang menyeluruh tidak tepat untuk menegakan luasnya
keterlibatan skeletal.
3) Area yang nyeri pada Paget’s disease harus diperiksa dengan foto
polos untuk menentukan apakah ada penyebab yang
mendasarinya.
Pada pemeriksaan X-Ray ditemukan penebalan trabekula dan
hilangnya jarak antara korteks dan trabekula (de-diferensiasi) (Kumar,
2006).
Pemeriksaan radiologis foto polos tulang tengkorak terdapat
gambaran osteoporosis sirkumpskripta terutama pada bagian frontal
dan oksipital (pada fase osteolitik). Pada tulang panjang, terdapat
gambaran flame shaped atau blade of grass disertai penebalan korteks
dan trabekula yang kasar (Vellenga, 2004).

Gambar 3. Cotton-wool pada cranium (Goldman, 2007).

10
Gambar 4. Deformitas tibia dengan penebalan korteks (Whyte, 2006)
b) Biokimiawi
Evaluasi biokimiawi berguna pada penegakan diagnosis dan
manajemen Paget’s disease. Peningkatan marker turnover dapat
dimonitor menggunakan marker biokimiawi formasi dan resorpsi
tulang. Peningkatan serum Alkaline Phosphatase (ALP) dan kadar
hidroksiprolin pada urin merupakan marker dari formasi dan resorpsi,
tulang. Paget’s disease pada pasien dengan peningkatan ALP yang
tinggi (10x lebih tinggi dari kadar normal) sudah mencapai cranium
dan setidaknya satu tempat skeletal yang lain. Jika terjadi penurunan
ALP, maka kemungkinan penyakit tersebut berada pada fase istirahat
(laten). Pada pasien dengan gejala yang sudah tampak dan
progresivitas perkembangan penyakit yang sudah sampai ke tulang
yang lain menunjukkan kadar ALP total normal, tetapi terjadi
peningkatan kadar ALP spesifik. Marker osteokalsin untuk formasi
tulang tidak selalu menunjukkan peningkatan pada pasien Paget’s
disease, sehingga tidak direkomendasikan dilakukan pemeriksaan
osteokalsin. Kadar serum kalsium dan fosfat pada penderita masih
dalam batas normal (Fauci et al, 2008).
Beberapa pedoman yang dapat digunakan dalam pemeriksaan
biokimiawi adalah (Kertin, 2006) :
1. Pada pasien dengan Paget’s disease, namun tanpa peningktan
aktivitas alkaline fosfotase total dalam plasma, maka
direkomendasikan penggunaan alkaline fosfotase spesifik tulang
sebagai marker dari turnover tulang.
2. Pada pasien dengan penyakit hepar, direkomendasikan
pengguanaan alkali fosfatase spesifik tulang untuk memonitor
aktivitas Paget’s disease.

11
Nilai normal Alkali Fosfotase (ALP), ada berbagai kriteria yaitu
(Goodner, 1994):
Dewasa : 4-12 unit / 100 ml (King-Amstrong)
1,5-4,5 U/ 100 ml (Bodansky)
0,8-2,3 U / 100 ml (Bessy Lowry)
25-92 U / L pada 30 0C (Unit SI)
c) Histologis
Biopsi tulang jarang dibutuhkan untuk menegakan diagnosis
Paget’s disease. Kadang, pemeriksaan ini bermanfaat dalam
membedakan metastase osteoblastik atau osteosarkoma (Kertin,
2006).

9. Penatalaksanaan
a. Terapi Lama
Terapi spesifik untuk Paget’s disease bertujuan untuk menurunkan
turn over abnormal tulang dengan menggunakan obat jenis Bisfosfonat
dan kalsitonin.
1) Bisfosfonat
Bekerja dengan dua mekanisme dasar utama yang berbeda, yaitu
bifosfonat yang mengandung nitrogen seperti Alendronat,
Risedronat dan Pamidronat yang dapat menghambat enzim dari jalur
melanovat. Inhibisi jalur ini menghambat resorptif dan memicu
apoptosis. Bifosfonat tidak mengandung nitrogen seperti etidronat,
Tiludronat dan klodronat yang dapat mengga nggu jalur metabolic
seluler dan juga memicu kematian sel dengan apoptosis. Semua
bifosfonat hanya sedikit di absorbs di traktus gastrointestinal, yang
akan berkombinasi dengan kalsium yang ada dalam lambung
sehingga absorbsinya terhambat. Jika bifosfonat diberikan melalui
per oral, maka perlu diperhatikan agar tidak tidak diberikan
bersamaan dengan makanan atau minuman yang mengandung
kalsium. Nama dagang dari obat bifosfonat bermacam, yaitu (Kertin,
2006):

12
a) Etidronat
Etidronat adalah bisfosfonat pertama yang digunakan dalam
Paget’s disease. Ketika diberikan per oral dalam dosis antara 5
dan 20 mg/kg per hari, untuk menghindari defek mineralisasi,
kini dapat diberikan dalam dosis 400 mg/hari selama tidak lebih
dari 6 bulan. Dibawah ini obat – obat yang termasuk jenis
etidronat (Kertin, 2006):
i. Pamidronat
Secara original dapat diberikan secar per oral. Namun
tingginya insidensi efek samping saluran cerna
mengakibatkan penggunaannya lebih banyak sebagai infuse
intravena. Diberikan tiga infuse 60 mg dengan interval 2
minggu atau infuse dari 30 mg dengaan interval waktu yang
sama. Meskipun Pemidronat secara umum dapat ditoleransi
dengan baik, obat ini berhubungan dengan kejadian reaksi
febris setelah terapi intravena, dan paling sering terjadi
setelah infuse pertama.
ii. Tiludronat
Merupakan bifosfonat yang mengandung sulfur, secara
normal agen ini diberikan selama 3 bulan 400 mg sebagai
dosis oral tunggal per hari. Tiludrronat biasanya dapat
ditoleransi dengan baik, namun kadang menyebabkan diare.
iii. Risedronat
Adalah bifosfonat yang mengandung nitrogen, dan
diberikan sebagai dosis tunggal 30 mg per hari selama 2
bulan.
iv. Klidronat
Klidronat adalah generasi pertama yang diijinkan di
UK untuk penggunaan hiperkalsemia maligna. Dalam
Paget’s disease,jika diberikan secara per oral atau
intravena, mampu menurunkan turnover tulang dan
memperbaiki symptom pagetik.
v. Alendronat

13
Merupakan generasi ketiga dari bifosfonat. Dosis biasa
adalah 40 mg/hari selama 6 bulan, jika diberikan dengan
infus atau per oral maka berkaitan dengan
penurunanturnover tulang secara bermakna, yang diikuti
deengan perbaikan nyeri tulang.
vi. Ibandronat
Adalah bifosfonat baru yang poten. Dengan car injeksi
tunggal 2 mg, dan mampu meensupresi aktivita Paget’s
disease.
Berikut adalah tabel daftar bifosfonat beserta dosis dan cara
pemakaian :

Tabel 1. Daftar bifosfonat (Goldman, 2006).


2) Kalsitonin
Kalsitonin adalah peptide 32-asam amino yang disekresikan
oleh sel C tiroid. Kalsitonin dapat menghambat resorpsi tulang
dengan aksi langsung terhadap osteoklas, yang dimediasi oleh
reseptorreseptor yang ditemukan dalam sel-sel tersebut. Sebelum
adanya bifosfonat, kalsitonin adalah terapi pilihan untuk managemen
Paget’s disease. Sebagai polipeptida, kalsitonin cepat dirusak dalam
saluran gastrointestinal dan perlu diberikan secara parenteral.
Awalnya ini dilakukan dengan menggunakan injeksi subkutan dan
intramuscular, namun karena memberikan efek samping berupa
flushing, nausea dan vomitus. Aktivitasnya lebih lemah, durasi aksi
yang lebih pendek dan efek samping yang lebih banyak dari pada
bifosfonat. Salah satu obat kalsitonin adalah plikamisin (dulunya

14
mitramisin) adalah antibiotika sitotoksika yang mampu mengahmbat
aktivitas osteoklas (Kertin, 2006).
3) Pembedahan
Osteotomi (pergantian sendi) digunakan untuk mengobati
fraktur dan memperbaiki deformitas tulang yang bungkuk.
Pembedahan juga mengurangi komplikasi neurologi dari
pertumbuhan berlebihan pada tulang yang terkena Paget’s disease
yang menyebabakan kompresi radiks saraf. Sebelum dilakukan
pembedahan, pasien biasanya diterapi menggunakan bifosfonat
untuk menurunkan vaskularisasi dan aktivitas tulang sehingga
mencegah perdarahan. Injeksi intra artikular lidokain berguna untuk
membedakan apakah kelainan terjadi pada tulang atau sendi. Bedah
saraf diperlukan jika mengenai vertebrae. Jika terjadi osteosarkoma,
harus diamputasi dengan terlebih dahulu dilakukan eksisi luas dan
menyelamatkan ekstremitas di bagian distal (Kumar, 2006;
Goldman, 2007).
b. Terapi Baru
Alendronat dan risedronat merupakan obat antiresorptif yang
berpotensi mengobati Paget’s disease dibandingkan dengan pemberian
pamidronat intravena. Studi kasus di Jepang membuktikan bahwa
pemakaian alendronat dosis rendah, yakni 5 mg/hari selama 6 bulan lebih
efektif dibandingkan dengan pemberian dosis lama yakni 40 mg/hari.
Pada ras kaukasian, pemberian alendronat sebaiknya cukup 10 mg/hari
(Iba et al, 2010).
10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi apabila Paget’s disease tidak ditangani
dengan baik yaitu :
a. Tuli
Kehilangan pendengaran pada satu atau kedua telinga dapat terjadi jika
Paget’s disease mengenai cranium dan tulang di sekeliling telinga dalam
(NIAMS, 2011).
b. Gagal jantung

15
Pada beberapa kasus, ditemukan kerja jantung untuk memompa
meningkat pada tulang yang terkena Paget’s disease. Namun,gagal
jantung hanya terjadi jika penderita juga mengalami pengerasan pada
arteri. Paget’s disease berhubungan dengan peningkatan resorpsi dan
formasi tulang, yang dapat memicu meningkatnya aliran darah di dalam
tulang dan jaringan di sekelilingnya. Hal ini dapat menutup dan
menurunkan tahanan vaskuler perifer sehingga dapat memicu gagal
jantung. (Mehta, 2009; NIAMS, 2011).
c. Hiperkalsemia
Proses remodeling tulang yang berlangsung cepat secara abnormal dapat
meningkatkan kadar kalsium di dalam darah (hiperkalsemia).
Hiperkalsemia hanya terjadi pada pasien Paget’s disease yang bed rest di
tempat tidur setelah operasi atau fraktur. Hiperkalsemia merupakan
komplikasi yang jarang terjadi (Anonym, 2011).
d. Sarkoma
Sarkoma adalah jenis kanker yang diawali dari sel tulang. Komplikasi ini
sangat jarang, hanya 1 dari 1000 penderita dan komplikasi ini biasanya
muncul setelah bertahun-tahun pasien terdiagnosis Paget’s disease
(Anonym, 2011).
e. Arthritis
Arthritis terjadi pada tulang panjang di sekitar kaki yang menjadi
bengkok, tulang menjadi tidak sejajar, dan tekanan di sekitar sendi
menjadi meningkat. Tulang yang terkena Paget’s disease membesar
karena sendi harus menopang beban yang berat. Kalau sudah seperti ini,
nyeri diakibatkan karena kombinasi dari Paget’s disease dan
osteoarthritis (NIAMS, 2011).
11. Prognosis
Prognosis Paget’s disease tergantung dari reaksi penderita terhadap
pengobatan dan komplikasi yang ditimbulkan pada pasien. Prognosis Paget’s
disease yaitu (Goldman, 2007; Eckman, 2009) :
a. Prognosis Baik

16
Prognosis baik jika pasien diberikan pengobatan teratur karena
dengan pengobatan dapat mengontrol penyebaran penyakit dan
menghilangkan gejala seperti nyeri tulang. Sebagian besar nyeri tulang
pada Paget’s disease merupakan hasil dari radang sendi atau nyeri sendi
akibat deformitas tulang. Pengobatan teratur dapat menurunkan
abnormalitas biokimiawi, menjadikan aktivitas alkalin fosfatase
mendekati normal, dan memperbaiki sindrom neurologik yang
berhubungan dengan penyakit ini.
b. Prognosis Buruk
Prognosis buruk jika tidak diobati. Lesi bisa menyebar dan menjadi
lebih besar. Beberapa pasien mungkin juga memerlukan operasi
pergantian sendi jika setelah diberikan analgesik atau terapi lain ternyata
tidak menunjukkan hasil yang maksimal. Selain itu, prognosis buruk
terjadi jika Paget’s disease sudah berkembang menjadi osteosarkoma.

17
BAB III
KESIMPULAN
1. Paget’s disease mempunyai prevalensi yang tinggi pada penduduk Eropa
Barat, selain itu penyakit ini lebih banyak menyerang laki – laki dari pada
perempuan serta kasusnya banyak ditemukan pada orang yang berumur diatas
40 tahun.
2. Paget’s disease merupakan gangguan pada tulang yang ditandai dengan
peningkatan resorpsi tulang sehingga diimbangi dengan pembentukan tulang
baru yang juga berlebihan.
3. Penyebab Paget’s disease belum diketahui secara pasti, tetapi prevalensinya
meningkat pada hubungan kekerabatan yang dekat.
4. Paget’s disease memiliki faktor resiko genetik, ras, usia, dan jenis kelamin.
5. Penyebab Paget’s disease adalah adanya mutasi dari genetik terutama gen
SQSTM1 dan adanya overaktivasi osteoklas yang menyebabkan
bertambahnya produksi osteoblas.
6. Akibat dari peningkatan osteoklas dan osteoblas menimbulkan fraktur dan
deformitas pada tulang yang terkena Paget’s disease dan apabila menekan
radiks saraf dapat menyebabkan nyeri.
7. Paget’s disease memiliki tiga fase yaitu fase lisis awal, fase campuran
osteoblast dan osteoklast, dan fase burnt out serta memiliki gambaran
histopatologi yang khas yaitu adanya pola mozaik.
8. Penegakan diagnosis Paget’s disease didapatkan dari anamnesis yaitu nyeri
pada tulang dan sendi, pada pemeriksaan fisik ditemukan deformitas,
pemeriksaan penunjang dilakukan foto polos tulang dengan adanya trabekula
dan hilangnya jarak antara korteks dan trabekula.
9. Terapi Paget’s disease dapat menggunakan bifosfonat dan kalsitonin yang
bertujuan untuk menurunkan turn over abnormal tulang. Pembedahan
dilakukan untuk mengurangi komplikasi neurologi.
10. Komplikasi yang terjadi apabila Paget’s disease tidak ditangani dengan baik
antara lain tuli, gagal jantung, hiperkalsemia, sarkoma, dan arthritis.
11. Prognosis Paget’s disease baik apabila dilakukan pengobatan teratur, dan
menjadi buruk apabila tidak mendapat terapi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2011. Complications of Paget's disease. Diakses di http://www.nhs.uk/.


Diakses tanggal 30 November 2011.

Attman, R.D., et al. 2000. Prevalence of Pelvic Paget’s Disease of Bone in The
United States. Journal of Bone and Mineral Research.15 : 461 – 465.

Eckman, Ari S. 2009. Paget’s disease of the Bone. Diakses di


http://www.nlm.nih.gov/. Diakses tanggal 30 November 2011.

Fauci, Anthony S., et al. 2008. Harrison's Principles of Internal Medicine


Seventeenth Edition. USA: Mc-Graw Hill.

Goldman L, Ausiello D. 2007.Cecil Textbook of Medicine. 23rd ed. Philadelphia,


Pa: Saunders Elsevier.

Goodner, Brenda, Linda Skidmore. 1994. The nurse’s survival guide : complete
clinical quic reference guide. Jakarta : EGC.

Iba, Kousuke., et al. 2010. Five-year follow-up of Japanese patients with Paget’s
disease of the Bone after Treatment with Low-dose Oral Alendronate : a
case series. Journal of Medical Case Reports. 4 : 1-6.

Kertin, Nyoman.2006. Ilmu Penyakit Dalam : Paget’s disease. Jakarta : Pusat


Penerbitan FKUI

Kumar, Parveen., Michael Clark. 2005. Clinical Medicine 6th ed. USA : Saunders
Ltd.

Kumar, Abbas., Fausto Mithcell. 2007. Robbins Basic Pathology 8th ed.
Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier.

Lyles, Kenneth W. 2001. A clinical Approach to Diagnosis and Management of


Paget’s Disease of bone. Journal of Bone and Mineral Research. 16 : 1379
– 1387.

Mehta, P.A., S.W. Dubrey., 2009. High Output Heart Failure. Q J Med : 235-241.

NIAMS (National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Disease.


2011. Information for Patients About Paget's Disease of Bone. Diakses di
http://www.niams.nih.gov/. Diakses tanggal 30 November 2011.

Pathol, Am J. 2006. p62 Ubiquitin Binding-Associated Domain Mediated the


Receptor Activator of Nuclear Factor-κB Ligand-Induced Osteoclast
Formation. A New Insight into the Pathogenesis of Paget’s Disease of Bone.
169(2): 503–514.

19
Praktikum Patologi Anatomi. 2011. Praktikum Patologi Anatomi Blok DMS.
Purwokerto: FK Unsoed.

Roodman, G David., Jolene J. Windle. 2005. Paget’s Disease of Bone. Journal


of Clinical Investigation. 115(2) : 200 – 208.

Rubin, Emanuel, Howard Reisner. 2009. Essentials of Rubin’s Pathology 5th ed.
USA: Lippincott Williams & Wilkins.

Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and


Fractures 9th Ed. London : Hodder Arnold Inc 2010. p. 143 - 146

Vellenga, J. L R., et al. 2004. Radiological demonstration of healing in Paget’s


disease of bone treated with APD. The British Journal of Radiology. 58: 831
– 837.

Whyte, Michael P. 2006. Paget’s Disease of Bone. The New England Journal of
Medicine. 355: 594.

20

Anda mungkin juga menyukai