Anda di halaman 1dari 18

BAB I

LATAR BELAKANG

Demam tifoid, oleh orang awam sering kali disebut tipus, merupakan
penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem retikuloendotelial, kelenjar
limfe saluran cerna, usus, dan kandung empedu. Disebabkan terutama oleh
Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) dan menular melalui jalur fekal-oral.1
Demam tifoid memiliki gambaran demam yang berlangsung lama, adanya
bakteremia disertai inflamasi yang dapat merusak usus dan organ-organ hati.2-5
Demam tifoid merupakan penyekit menular yang tersebar di seluruh dunia, dan
sampai sekarang masih menjadi masalah kesehatan terbesar dinegara berkembang
dan negara dengan iklim tropis.5-8
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) memperkirakan angka
insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta jiwa per tahun, dengan angka kematian
akibat demam tifoid mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia. Menurut
WHO, angka penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000.9
Insiden demam tifoid pada anak, tertinggi ditemukan pada kelompok usia 5-15
tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan insiden demam tifoid, pada
kelompok usia 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per 100,000 penduduk.10,11 Hal ini
berhubungan dengan tingkat higienitas individu, sanitasi lingkungan dan
penyebaran kuman dari karier atau penderita tifoid. Pada daerah endemis yang
sanitasi dan kesehatannya terpelihara baik, demam tifoid muncul sebagai kasus
sporadik.5,12,13
Penyebab yang sering terjadi yaitu faktor kebersihan. Seperti halnya ketika
makan di luar apalagi di tempat-tempat umum biasanya terdapat lalat yang
beterbangan dimana-mana bahkan hinggap di makanan. Lalat-lalat tersebut dapat
menularkan S.thyphi dari lalat yang sebelumnya hinggap di feses atau muntah
penderita demam tifoid, kemudian hinggap di makanan yang akan dikonsumsi.14
Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di kawasan Asia
Tenggara dengan konsekuensi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang
cepat, menimbulkan dampak terjadinya urbanisasi dan migrasi pekerja antar negara

1
yang berdekatan seperti Malaysia, Thailand dan Filipina. Mobilisasi antar pekerja
ini memungkinkan terjadinya perpindahan atau penyebaran penyakit antar negara
endemis.15

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella
enterica serovar typhi (S. typhi), biasanya mengenai saluran pencernaan dengan
gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dengan atau
tanpa mengakibatkan gangguan kesadaran. Dalam masyarakat, penyakit ini dikenal
dengan nama tipus, tetapi dalam dunia kedokteran disebut Typhoid fever atau
Thypus abdominalis karena berhubungan dengan organ-organ di dalam perut.16

II.2 Epidemiologi
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) memperkirakan angka
insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta jiwa per tahun, dengan angka kematian
akibat demam tifoid mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia. Menurut
WHO, angka penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000.9
Insiden demam tifoid pada anak, tertinggi ditemukan pada kelompok usia 5-15
tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan insiden demam tifoid, pada
kelompok usia 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per 100,000 penduduk.10,11 Hal ini
berhubungan dengan tingkat higienitas individu, sanitasi lingkungan dan
penyebaran kuman dari karier atau penderita tifoid. Pada daerah endemis yang
sanitasi dan kesehatannya terpelihara baik, demam tifoid muncul sebagai kasus
sporadik.5,12,13
Pada usia bayi dan anak dibawah 5 tahun, demam tifoid relatif jarang.
Walaupun gejala sepsis dapat terjadi, gejala penyakit biasanya ringan, sehingga
menyulitkan untuk diagnosis. Diare lebih sering terjadi dan didiagnosis sebagai
gastroenteritis.17

II.3 Etiologi
Salmonella typhi merupakan kuman batang Gram negatif, yang tidak
memiliki spora, bergerak dengan flagel peritrik, bersifat intraseluler fakultatif dan

3
aerob fakultatif.18 Ukurannya berkisar antara 0,7-1,5 x 2-5 µm, memiliki 3 macam
antigen:
a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
b. Antigen H (Antigen flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
c. Antigen kapsul (Vi), y. Merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang
melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi berhubungan dengan daya
invasif bakteri dan efektivitas vaksin. S. typhi menghasilkan endotoksin yang
merupakan bagian terluar dari dinidng sel, terdiri dari antigen O yang sudah
dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A.

Gambar 1. Struktur bakteri Salmonella typhi

Ketiga antigen di atas, di dalam tubuh akan membentuk antibodi aglutinin.


Antigen ke empat adalah Outer Membrane Protein (OMP). Antigen OMP
merupakan bagian dari dinding sel terluar yang terletak di luar membrane
sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan
sekitarnya. S. typhi hanya dapat hidup pada tubuh manusia. Sumber penularan
berasal dari tinja dan urine karier, dari penderita pada fase akut dan penderita dalam
fase penyembuhan. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama
15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.6-7,19

4
II.4 Patogenesis
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui
beberapa tahapan. Setelah kuman S. typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan
terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum
terminalis. Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, melalui barier usus
mengadakan internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian, S. typhi menyebar
ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem
limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini, biasanya tidak didapatkan gejala
dan kultur darah masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi
selama 7-14 hari.20-22
Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan
berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan
sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah
periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah
dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode
inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit
kepala, dan nyeri abdomen.22
Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati
dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum
tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi
pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses ini, yang mengakibatkan nekrosis
dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul
ulserasi.20,22
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ
sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali.
Menetapnya S. typhi dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman
atau carrier.22 Penularan penyakit terutama oleh konsumsi organisme, melalui
makanan atau minuman. Rute oral faeco atau konsumsi makanan atau minuman
yang terkontaminasi S. typhi dari kotoran manusia, bertanggung jawab untuk
masuknya organisme ke dalam tubuh manusia.23

5
II.5 Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid rata-rata 7-14 hari. Gejala klinis
demam tifoid bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan
perawatan khusus sampai berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini
disebabkan oleh faktor galur S.typhi, status nutrisi dan imunologik host serta
lama sakit dirumahnya.20
Setelah masa inkubasi tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau
gejala yang bervariasi mulai dari demam sore hari, biasanya memburuk
selama 48 hingga 72 jam, dengan serangkaian keluhan klinis, seperti batuk
kering sampai dengan gejala yang berat, dengan demam yang berangsur
makin tinggi setiap harinya, serta beraneka ragam keluhan lainnya yaitu nafsu
makan menurun, mialgia, rasa tidak nyaman di perut, nyeri perut, dan
obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut dan
pembengkakan (pada stadium lebih lanjut) dari hati atau limpa atau kedua-
duanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru,
kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Walaupun tidak selalu konsisten,
bradikardi relatif saat demam tinggi dapat dijadikan indikator demam tifoid.22
Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulopapular (rose spots)
mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, serta
terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15, serta
menetap selama 2-3 hari.22 Rose spot, suatu ruam makulopapular yang
berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm, seringkali dijumpai pada daerah
abdomen, toraks, ektremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak
pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia.20
b. Pemeriksaan fisik
Febris (suhu >37,5oC), kesadaran berkabut, bradikardia relative (peningkatan
suhu 1°C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang
berselaput atau coated tongue (lidah kotor ditengah, tepi dan ujung merah,
serta tremor), dapat atau tanpa disertai dengan hepatomegali, splenomegali,
nyeri tekan abdomen dan roseolae.

6
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah tepi
Pemeriksaan hematologi pada demam tifoid tidak spesifik. Dapat
ditemukan adanya anemia normokromik normositer dalam beberapa
minggu setelah sakit. Anemia dapat terjadi antara lain karena pengaruh
berbagai sitokin dan mediator sehingga terjadi depresi sumsum tulang,
penghentian tahap pematangan eritrosit maupun kerusakan langsung pada
eritrosit. Disamping itu anemia bisa disebabkan perdarahan usus.
Hitung leukosit umumnya rendah, berhubungan dengan demam dan
toksisitas penyakit, namun jarang dibawah 2500/ mm3, umumnya terjadi
dalam waktu 1 hingga 2 minggu setelah sakit. Leukositosis dapat
mencapai 20.000-25.000/mm3, yang menandakan adanya suatu abses
pyogenik.
Trombositopenia dapat merupakan suatu tanda penyakit yang berat, serta
terjadinya suatu gangguan koagulasi intravaskuler.24-26
2. Pemeriksaan serologis Widal
Pemeriksaan widal adalah pemeriksaan antibodi terhadap antigen O dan H
S.Typhi, yang sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan widal
memiliki sensitivitas dan spesifitas rendah, dan penggunaannya sebagai
pemeriksaan tunggal di daerah endemik akan mengakibatkan
overdiagnosis.24-25
Antibodi O meningkat pada hari 6-8, dan antibodi H pada hari 10-12
setelah onset. Kelemahan pemeriksaan widal lainnya, dapat juga terjadi
reaksi silang dengan enterobakter lain, atau sebaliknya penderita demam
tifoid tidak menunjukkan peningkatan titer antibodi.26,27 Di Indonesia,
pengambilan angka titer O aglutinin e” 1/40 dengan memakai uji widal
slide aglutination, menunjukkan nilai positif 96%. Artinya, apabila hasil
tes positif, 96% kasus benar menderita demam tifoid, tetapi apabila
negatif, tidak menyingkirkan diagnosis demam tifoid. Banyak ahli yang
berpendapat, bahwa apabila titer O aglutinin sekali periksa e” 1/200, atau
pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali, maka diagnosis demam tifoid
dapat ditegakkan.28 Di Indonesia, karena merupakan negara dengan iklim

7
tropis dan penyebarannya yang sporadic, umumnya menggunakan angka
diagnosis titer 1/320.
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang cepat dan lebih akurat dalam
mendiagnosis demam tifoid, dikembangkan pemeriksaan alternatif dari
widal seperti IDL Tubex ®, Typhidot ®, Typhidot-M ®, dipstik test.27,29
3. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), menggunakan primer
H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dan
merupakan pemeriksaan yang cepat dan menjanjikan. Pemeriksaan PCR
memiliki sensitivitas untuk mendeteksi satu bakteri dalam beberapa jam.26-
31
Penelitian PCR dari darah maupun dari urine, memiliki sensitivitas 82%,
spesifitas 100%.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila
prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam
spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin
dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen
feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk
melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan, sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam
laboratorium penelitian.
4. Pemeriksaan biakan darah
Diagnosis utama demam tifoid adalah isolasi kuman S.typhi. Isolasi kuman
penyebab demam tifoid dapat dilakukan dengan mengambil biakan dari
berbagai tempat dalam tubuh. Biakan darah memberi hasil positif pada 40-
60% kasus. Sensitivitas biakan darah yang paling baik adalah selama
minggu pertama sakit, dapat positif sampai minggu kedua dan setelah itu
kadang saja ditemukan positif.24 Pemeriksaan biakan feses dan urine
positif pada akhir minggu pertama tetapi memiliki sensitivitas yang lebih
rendah. Dibeberapa negara, rendahnya sensitivitas biakan darah
dipengaruhi oleh penggunaan anatibiotik. Pemeriksaan biakan darah

8
kurang sensitif dibandingkan dengan biakan sumsum tulang oleh karena
jumlah kuman yang lebih sedikit.24,26,27
Pemeriksaan biakan darah memerlukan sampel sebanyak 10-15 ml pada
anak sekolah dan dewasa, 2-4 ml pada bayi dan anak prasekolah. Media
pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu
(gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh
pada media tersebut.29 Perbedaan jenis media yang digunakan,
memberikan karakteristik yang berbeda serta selektifitas yang berbeda
pula.27 Pada media blood agar, S.Typhi dan S. Paratyphi terbentuk non
hemolitik koloni, berwarna putih halus, pada media Mac Conkey terbentuk
koloni halus yang memproduksi laktose tidak terfermentasi, pada media
SS agar, terbentuk koloni yang memproduksi laktosa tidak terfermentasi
dengan warna hitam di bagian tengah, pada media Xyloselysine-
desoxycholate (XLD) agar, koloni berwarna merah transparan dengan
bagian tengah berwarna hitam.27
Kegagalan isolasi mikroorganisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain terbatasnya media laboratorium, penggunaan antibiotika,
jumlah volume darah yang digunakan, waktu pengambilan sampel.29

II.6 Penatalaksanaan
A. Medikamentosa
a. Kloramfenikol (50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis per oral atau
intravena) selama 10-14 hari.32
Kloramfenikol merupakan jenis antibiotika yang digunakan dalam
pengobatan demam tifoid (53,55%) dan merupakan antibiotika pilihan utama
yang diberikan untuk demam tifoid, karena efektif, murah, mudah didapat,
dan dapat diberikan secara oral. Kloramfenikol mempunyai mekanisme
menghambat sintesis protein sel mikroba.
Efek samping yang sangat berat, yaitu anemia aplastik atau biasa dikenal
dengan depresi sumsum tulang dan jika diberikan pada bayi < 2 minggu
dengan gangguan hepar dan ginjal, kloramfenikol akan terakumulasi dengan

9
darah pada bayi khususnya pada pemberian dosis tinggi, akan menyebabkan
gray baby sindrom, serta dapat menghambat pembentukan sel-sel darah
(eritrosit,trombosit dan granulosit) yang timbul dalam waktu 5 hari sesudah
dimulainya terapi, dari efek samping yang timbul sehingga kloramfenikol
memiliki persentase nomor dua dibandingkan penggunaan golongan
sefalosporin.21
Walaupun penggunaan kloramfenikol memerlukan kehati-hatian, namun
penggunaannya masih lebih baik pada demam tifoid dibandingkan antibiotika
lain yang dilaporkan sudah resistensi, seperti ampisilin, amoksisilin,
kotrimoksasol, dan siprofloksasin.33
Berdasarkan efektivitasnya terhadap S. typhi, pada penelitian yang lain
menunjukkan bahwa angka relaps pada pengobatan demam tifoid dengan
menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila dibandingkan dengan
penggunaan kotrimoksazol. Namun pada 5 tahun terakhir, para klinisi di
beberapa negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat
bahkan fatal yang disebabkan oleh strain S.typhi yang resisten terhadap
kloramfenikol. Angka kematian di Indonesia mencapai 12% akibat strain
S.typhi ini.31,34-36
b. Jika tidak dapat diberikan kloramfenikol, dapat diganti dengan amoksisilin
75-100 mg/kgBB/ hari peroral atau ampisilin intravena selama 10 hari, atau
kotrimoksazol 48 mg/kgBB/hari (dibagi 2 dosis) peroral selama 10 hari.32
Amoksisilin mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel
mikroba. Pada percobaan kombinasi Kloramfenikol dan Amoksisilin
mempunyai efek anti bakteri lebih lemah dibandingkan dengan bentuk
tunggal Kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. typhi.35,37
c. Bila klinis tidak ada perbaikan, dapat menggunakan generasi ketiga
sefalosporin, seperti seftriakson (80 mg/kg IM atau IV, sekali sehari, selama
5-7 hari) atau sefiksim oral (20 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari).
Seftriakson merupakan antibiotik beta-lactamase dengan spektrum luas,
memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat diberikan 1-2 kali sehari.
Efek samping yang mungkin ditemukan adalah reaksi alergi, peningkatan
fungsi hati, trombositosis, dan leukopenia.

10
Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan
demam tifoid yang resisten dengan penggunaan kloramfenikol. Sifat yang
menguntungkan dari obat ini adalah secara selektif dapat merusak struktur
kuman dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba dan tidak
mengganggu sel tubuh manusia, mempunyai spektrum luas, penetrasi
jaringan cukup baik, dan resistensi kuman masih terbatas. Sementara
pengobatan dengan golongan sefalosporin khususnya seftriakson hanya
membutuhkan 10 hari rawat inap di rumah sakit dibandingkan dengan
kloramfenikol selama 21 hari, sehingga obat antibiotik sefalosporin ini lebih
banyak digunakan.32,33-36
Ketika mengkonsumsi antibiotik direkomendasikan bersamaan dengan air
putih. Apabila dikonsumsi bersamaan dengan jus buah, alkohol maupun produk
susu seperti halnya mentega, yogurt, dan keju dapat mengganggu proses absorpsi
tubuh terhadap antibiotik. Rentang waktu selama 3 jam setelah mengkonsumsi
antibiotik barulah diperbolehkan mengkonsumsi makanan dan minuman tersebut.
Jus anggur serta suplemen diet yang mengandung mineral seperti halnya kalsium
juga dapat mengurangi efek kerja antibiotik.40

B. Non-Medikamentosa
a. Tirah baring
Dilakukan sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih sampai 14
hari. Tirah baring (bed rest) direkomendasikan bagi pasien demam tifoid
untuk mencegah komplikasi perforasi usus atau perdarahan usus. Mobilisasi
harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.41
b. Diet lunak rendah serat
Jenis makanan yang harus dijaga adalah diet lunak rendah serat karena pada
demam tifoid terjadi gangguan pada sistem pencernaan. Makanan haruslah
cukup cairan, kalori, protein, dan vitamin. Memberikan makanan rendah serat
direkomendasikan, karena makanan rendah serat akan memungkinkan
meninggalkan sisa dan dapat membatasi volume feses agar tidak merangsang
saluran cerna. Demi menghindari terjadinya komplikasi pedarahan saluran
cerna atau perforasi usus direkomendasikan dengan pemberian bubur saring.

11
Asupan serat maksimal 8 gram/hari, menghindari susu, daging berserat kasar,
lemak, terlalu manis, asam, berbumbu tajam serta diberikan dalam porsi
kecil.41
c. Menjaga kebersihan
Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan cukup berpengaruh pada kejadian
demam tifoid, untuk itu diperlukan kesadaran diri untuk meningkatkan
praktik cuci tangan sebelum makan untuk mencegah penularan bakteri S.
typhi ke dalam makanan yang tersentuh tangan yang kotor dan mencuci
tangan setelah buang air besar agar kotoran atau feses yang mengandung
mikroorganisme patogen tidak ditularkan melalui tangan ke makanan.42
Tangan harus dicuci dengan sabun setidaknya selama 15 detik dibilas dan
dikeringkan dengan baik. Banyaknya tempat-tempat penjualan makanan yang
belum memenuhi syarat kesehatan di Indonesia, seperti tingkat kebersihan
yang buruk, berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus demam
tifoid.43,44

II.7 Komplikasi
Komplikasi utama gastroenteritis akibat typhoid adalah dehidrasi, ketidak-
seimbangan elektrolit, ketidak-stabilan pembuluh darah dan syok hipovolemik.
Kejang dapat terjadi dengan demam tinggi. Abses usus dapat terbentuk dengan
infeksi Shigella dan Salmonella, yang menyebabkan perforasi usus, komplikasi
yang mengancam jiwa. Muntah parah yang berhubungan dengan gastroenteritis
dapat menyebabkan robekan esofagus atau pneumonia aspirasi.43
Kematian akibat diare mencerminkan masalah utama gangguan
homeostasis cairan dan elektrolit, yang menyebabkan dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, ketidakstabilan pembuluh darah, dan syok. Di
Amerika Serikat, sekitar 75 hingga 150 kematian terjadi setiap tahun akibat
penyakit diare, terutama pada anak di bawah 1 tahun. 43

II.8 Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.Typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang

12
dikonsumsi. S.typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 570C untuk
beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.43
Untuk makanan, pemanasaan sampai suhu 570C beberapa menit dan secara
merata juga dapat mematikan kuman S.Typhi. Penurunan endemisitas suatu negara
atau derah tergantung dari pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan
pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi.
Imunitas aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan
makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama
menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya
air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan
munculnya kasus resistensi.
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para
pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin
yang sudah ada yaitu:
a. Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan
dinjeksikan secara subkutan atau intramuskuler. Vaksin ini efektif selama 3
tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini
memberikan perlindungan sebesar 70-80%.
b. Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan
pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing
diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi.
Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan e kasi perlindungan 67-
82%.
c. Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan e
kasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin
ini menetap selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%.20-22

13
BAB III
KESIMPULAN

Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang bersifat akut, disebabkan


Salmonella typhi, mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang bervariasi dari
ringan berupa demam, lemas, sampai dengan gejala berat seperti gangguan
gastrointestinal sampai dengan menimbulkan berbagai komplikasi. Pemeriksaan
penunjang yang sering dikerjakan untuk mendiagnosis demam tifoid terdiri dari
pemeriksaan darah tepi, identifikasi kuman melalui isolasi atau biakan, identifikasi
kuman melalui uji serologis serta identifikasi kuman secara molekuler. Antibiotik
empiris yang tepat sangat bermakna menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Kloramfenikol dan seftriakson terbukti dapat dijadikan sebagai antibiotik pilihan
utama pada kasus demam tifoid.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Stephens I, Levine MM, 2002, Management of typhoid fever in children,


Pediatr Infect Dis.
2. Girgis NI, Butler T, Frenk R, 1999, Azithromycin versus Ciprofloxacin for
treatment of uncomplicated typhoid fever in a randomized trial in Egypt that
included patients with multidrug resistance, Journal of Applied Bacteriology.
3. Buku kuliah ilmu penyakit dalam, Demam Tifoid, BP FKUI, Jakarta.
4. Johnson AG, 1993, Microbiology and Immunology 2ndedition. Harvard
Publishing Company, Malvern, Pennsylvania.
5. TriAtmodjo, Pdan Triningsih, 1998, Besarnya kasus demam tifoid di
Indonesia dan pola resisten Salmonella typhi terhadap antibiotika, Majalah
Kesehatan Masyarakat Indonesia, Jakarta.
6. Zhu Q, Lim CK, Chan YN, 1996, Detection of Salmonella typhi by
Polymerase Chain Reaction, Journal of Applied Bacteriology.
7. Hermans PW, Saha SK, Leeuwen V, 1995, Moleculer typing of Salmonella
typhi strains from Dhaka (Bangladesh) and development of DNA probes
identifyng plasmid-encoded multidrug-resistant isolates, Journal of Clinical
Microbiology.
8. Thong KL, Cheong YM, Puthucheary S, 2000, Epidemiology analysis of
sporadic Salmonella.
9. Depkes RI, 2013, Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit Demam
Tifoid, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan,
Jakarta.
10. Ochiai RL, Camilo J, Acosta CJ, et.al, 2008, Study of typhoid fever in five
Asian countries: disease burden and implications for controls, Bull World
Health Organ.
11. Retnosari S, Tumbelaka AR, Akib AP, Hadinegoro SRS, 2001, Clinical and
laboratory features of typhoid fever in childhood, Paediatr Indonesia, Jakarta.

15
12. Rao RS, Amarnath SK, Sujatha S, 1992, An outbreaks oftyphoid due to
multidrugresistant Salmonella typhi in Pondicherry. Transaction of the royal
society of Tropical Medicine and Hygiene.
13. Sakaguchi S, Sakaguchi T and Arai T, 1995, Genetic similarity of R plasmids
from Salmonella strains in various countries. The Southest Asian Journal of
Tropical Medicine Public Health.
14. Padila, 2013, Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam, Yogyakarta: Nuha
Medika.
15. Punjabi NH, 1996, Interaksi pejamu dengan Salmonella typhi, Medika XII,
Jakarta.
16. Nursalam, 2005, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Salemba Medika,
Jakarta.
17. Thomas GC, 2003, Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17, WB Saunders,
Philadelphia.
18. Iswari R, Asmono N, Santoso US, Lina S, 1998, Pola kepekaan kuman
Salmonella terhadap obat kloramfenikol, ampisilin dan kotrimoksazol,
Majalah Kedokteran Indonesia, Jakarta.
19. Shulman TS, Phair JP, dan Sommers HM, 2005, Dasar biologis dan klinis
penyakit infeksi, Edisi ke-4 (terjemahan), Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
20. Soedarmo S, Garna H, Hadinegoro S, Satari H, 2008, Demam tifoid. Dalam
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, IDAI, Jakarta.
21. Rampengan NH, 2013, Antibiotik terapi demam tifoid tanpa komplikasi pada
anak, Sari pediatrik, BP FKUI, Jakarta.
22. Nelwan R, 2012, Tatalaksana terkini demam tifoid.
23. Davaranadagi R, Srinivasa S, 2017, A study on clinical profile of typhoid fever
in children, Int J Contemp Pediatr.
24. Soegijanto S, 2002, Demam Tifoid. Dalam: Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa &
Penatalaksanaan. Edisi ke-1, Salemba Medika, Jakarta.

16
25. Thomas GC, 2003, Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17, WB Saunders,
Philadelphia.
26. Bhutta ZA, 2006, Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid
fever, BMJ.
27. World Health Organization, 2003, Diagnosis of typhoid fever. Dalam :
Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid
fever, WHO.
28. Sumarmo S, Garna H, Hadinegoro SR, Hindra IS, 2008, Demam Tifoid.
Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Trofis. Edisi ke 2, IDAI, Jakarta.
29. Prasetyo RV, Ismoedijanto, 2012, Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada
Anak. Divisi trofik dan Penyakit Infeksi, FK UNAIR, Surabaya.
31. Karyanti MR, 2012, Pemeriksaan Diagnosis Terkini untuk Demam Tifoid.
Dalam : Update management of infectious disease and gastrointestinal
disorder, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXIII, BP FKUI, Jakarta.
32. Prakash P, Mishra P, Singh AK, Gulati AK, Nath G, 2005, Evaluation of
Nested PCR in Diagnosis of Typhoid Fever. Jurnal of clinical microbiology.
32. World Health Organization, 2009, Pedoman pelayanan kesehatan anak di
rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten, Adaptasi Indonesia,
WHO, Jakarta.
33. Tandi J, 2017, Kajian Kerasionalan Penggunaan Obat pada Kasus Demam
Tifoid di Instalasi Rawat Inap Anutapura Palu, Jurnal Ilmiah Pharmacon,
Palu.
34. Hadinegoro SR, 2001, Strategi pengobatan demam tifoid pada anak. Dalam:
Akib AAP, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Bagian Ilmu Kesehatan Anak XLIV,
BP FKUI, Jakarta.
35. Sandika J & Suwandi FJ, 2017, Sensitivitas Salmonella typhi Penyebab
Demam Tifoid terhadap Beberapa Antibiotik, Majority Jurnal Kedokteran.
36. Friambodo B, Purnomo Y & Dewi RA, 2017, Efek Kombinasi Amoksisilin
dan Kloramfenikol terhadap Pertumbuhan Bakteri Salmonella typhi, Journal
of Islamic Medicine, Malang.

17
37. Institute for Quality and Efficiency in Health Care, 2017, Using medication :
Using antibiotics correctly and avoiding resistance, Available online at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme dhealth/PMH0087079/ [Accessed on
February 1 2020]
38. Hadisaputro S, 1990, Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh Terhadap
Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi Usus Pada demam tifoid,
Direktorat Pembinaan Penelitian pada Masyarakat, Jakarta.
39. Sakinah & Indria A, 2016, Tata Laksana Demam Tifoid Tanpa Komplikasi
pada Anak dan Wanita Hamil Trimester Pertama: Peran Intervensi Dokter
Keluarga, Jurnal Medula Unila, Lampung.
40. Andayani & Fibriana, 2018, Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja
Puskesmas Karangmalang di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmalang.
Higeia Journal of Public Health Research and Development, Sragen.
41. Upadhyay R, Nadkar, Milind Y, et al, 2015, API Recommendations for the
Management of Typhoid Fever, Journal of The Association of Physicians of
India.
42. Purba IE, Wandra T, Nugrahini N, et al, 2016, Program Pengendalian
Demam Tifoid di Indonesia: Tantangan dan Peluang, Media Litbangkes,
Jakarta.
43. Marcdante K, Kliegman R, 2015, Acute gastroenteritis; typhoid fever. In
Nelson Essential of Pediatrics. 7th ed, Elsevier, United States of America.

18

Anda mungkin juga menyukai