Anda di halaman 1dari 26

0

HUBUNGAN HIPOTERMI DENGAN WAKTU PULIH SADAR
PASCA GENERAL ANESTESI DI RUANG PEMULIHAN 
RSUD DR. HI. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG 
TAHUN 2018

PROPOSAL

OLEH :
ARDIA RAHMANANDA
NIM : 14202003

POLTEKKES TANJUNGKARANG
JURUSAN KEPERAWATAN TANJUNGKARANG
PRODI DIPLOMA IV KEPERAWATAN
BANDAR LAMPUNG
1

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 

Kemajuan   teknologi   membuat   pelayanan   kesehatan   menjadi   semakin

berkembang,  salah satunya  dalam hal anestesi. Pemberian anestesi adalah upaya

menghilangkan   nyeri  baik  dengan   sadar   (spinal   anestesi)   atau   tanpa   sadar

(general  anestesi)   guna   menciptakan   kondisi   optimal   bagi   pelaksanaan

pembedahan (Sabiston, 2011). 

General  anestesi merupakan teknik yang banyak dilakukan pada berbagai

macam prosedur pembedahan (Islami, 2012). Hasil penelitian Harahap (2014) di

Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, lebih dari 80% operasi dilakukan  dengan

mempergunakan   teknik  general  anestesi   dibandingkan   dengan   spinal   anestesi.

Anestesi   memiliki   3   fase,   yaitu   pre   anestesi,   intra   anestesi   dan   pasca   anestesi

(Mangku & Senapathi, 2010). Periode pemulihan pasca anestesi dikenal sebagai

waktu dengan risiko tinggi untuk terjadinya komplikasi. Ditemukan 2,5% pasien

mengalami komplikasi setelah menjalani anestesi (Mahalia, 2012).  

General anestesi sebagai tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral

pada   pembedahan   juga   menimbilkan  hilangnya   kesadaran   (reversible)  dan

menyebabkan   mati   rasa,  karena   obat   masuk   ke   jaringan   otak  yang   dapat

menghentikan impuls syaraf  dengan tekanan setempat yang tinggi. Komplikasi

yang   bisa   muncul   pasca   tindakan   anestesi   salah   satunya   adalah   hipotermi.

Hipotermi suatu keadaan suhu tubuh dibawah 360C (Latief, 2007). 

Hipotermi   sebagai   komplikasi   pasca   anestesi   tercepat   selama   24   jam

pertama setelah tindakan operasi yaitu 10­30%, hal ini dipengaruhi akibat dari
2

tindakan  intraoperative  yaitu   pemberian   cairan   yang   dingin,   inhalasi   gas­gas

dingin, luka terbuka pada tubuh, aktivitas otot   yang menurun, usia lanjut atau

obat­obatan yang digunakan pada general anestesi (Latief, 2007).

Menurut Press (2013), menjelaskan hampir semua jenis obat­obat anestesi

dapat  mengganggu   respon   termoregulasi   terutama   penggunaan   obat   anestesi

inhalasi   yang   akan   menurunkan   ambang   vasokonstriksi   dan   menggigil,   serta

durasi tindakan anestesi inhalasi rata­rata diatas 1 jam mengakibatkan semakin
1
lama   terpapar   oleh   suhu   ruangan   yang   dingin.  Selain   itu   penjelasan  Harahap

(2014), bahwa hipotermi menjadi salah satu penyebab keterlambatan waktu pulih

sadar. Suhu hipotermi rata­rata waktu pulih sadarnya sekitar 35 menit 44 detik.

Hal ini disebabkan oleh metabolisme  agen anestesi melambat  akibat hipotermi

(Dinata, 2015). Hipotermi perioperatif akan memengaruhi metabolisme berbagai

obat­obatan anestesi yang disebabkan enzim­enzim yang mengatur fungsi organ

dan juga durasi obat yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu, hipotermi juga

akan memengaruhi farmakodinamik obat anestesi inhalasi.

Setiyanti  (2016), menjelaskan bahwa salah satu komplikasi yang muncul

setelah   tindakan   anestesi   adalah   hipotermi.   Hipotermi   terjadi   karena   agen   dari

obat  general  anestesi   menekan   laju   metabolisme   oksidatif   yang   menghasilkan

panas tubuh, sehingga mengganggu regulasi panas tubuh (Hujjatulislam, 2015).

Selanjutnya  Harahap (2014), menyatakan  general  anestesi dapat menghilangkan

proses adaptasi serta mengganggu mekanisme fisiologi pada fungsi termoregulasi.

Hipotermi dapat diartikan suhu tubuh kurang dari 360C (Tamsuri, 2007).

Setiap  pasien yang menjalani  operasi berada dalam  risiko mengalami  kejadian

hipotermi (Setiyanti, 2016). Pada penelitian yang dilakukan oleh Harahap (2014)

di   RS   Hasan   Sadikin   Bandung,   telah   membuktikan   dampak   negatif   hipotermi

terhadap pasien, antara lain risiko perdarahan meningkat, iskemia miokardium,
3

pemulihan  pasca anestesi yang lebih  lama,  gangguan penyembuhan luka, serta

meningkatnya risiko infeksi. 

Penelitian  Harahap (2014) di RS  Hasan Sadikin Bandung, menyebutkan

angka kejadian hipotermi saat pasien berada di Instalasi  Bedah Sentral sebanyak

87,6%,   sedangkan   pada   penelitian   Setiyanti   (2016)   di   RSUD   Kota   Salatiga,

menyebutkan   jumlah   pasien   pasca   anestesi   hampir   80%   mengalami   kejadian

hipotermi.   Tamsuri   (2007),  pada   pasien   yang   menjalani   operasi   menyatakan

bahwa  kondisi   hipotermi  bila  suhu  kurang  dari   360C  dipakai  sebagai  patokan,

maka   insidensi   hipotermi   dari   seluruh   pasien   yang   menjalani   operasi  adalah

sebesar 50­70%. 

Jumlah pasien yang menjalani operasi dalam 6 bulan terakhir  yaitu Juli –

Desember 2017,  di RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung sebanyak

745   tindakan,   dan   yang   mendapatkan   general   anestesi   sebanyak   679   (91.1%).

Sekitar 90% pasien akan kembali sadar penuh dalam waktu 15 menit dan tidak

sadar yang berlangsung diatas 15 menit dianggap  prolonged,  dan  pasien sangat

rentan   merespon   stimulus   dalam  waktu  30   hingga   45   menit   setelah   anestesi.

Penilaian untuk waktu pulih sadar setiap saat dan dicatat setiap 5 menit sampai

tercapai nilai total Score Aldrete 8. Cara mengetahui tingkat pulih sadar seseorang

pasca   anestesi   dilakukan   perhitungan   menggunakan  Score   Aldrete  meliputi

penilaian kesadaran, tekanan darah, warna kulit, respirasi dan aktivitas motoric

(Larson,   2009).   Berdasarkan   catatan   Rekam  Medis   pada   tahun   2017  hampir

sebesar 76% pasien operasi dari 745 pasien operasi mengalami kejadian hipotermi

(suhu kurang dari 360C) dan 67% waktu pulih sadar diatas 15 menit.

Berdasarkan   uraian   tersebut,   adakah   pengaruh   hipotermi   oleh   tindakan

general  anestesi  belum  dapat  diketahui.  Oleh  karena itu  peneliti  tertarik  untuk

dapat melakukan penelitian dengan judul hubungan hipotermi dengan waktu pulih
4

sadar pasca general anestesi di Ruang Pemulihan RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung Tahun 2018.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut: Apakah ada hubungan hipotermi dengan waktu pulih sadar pasca general

anestesi di Ruang Pemulihan RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

Tahun 2018. 

1.3 Tujuan Peneletian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan hipotermi dengan waktu pulih sadar pasca

general  anestesi   di Ruang  Pemulihan   RSUD  Dr.  Hi. Abdul  Moeloek   Provinsi

Lampung Tahun 2018.

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi waktu pulih sadar pasca general

anestesi di Ruang Pemulihan RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi

Lampung Tahun 2018

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi hipotermi pasca general anestesi

di Ruang Pemulihan RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

Tahun 2018

c. Untuk mengetahui hubungan hipotermi dengan waktu pulih sadar pasca

general  anestesi di Ruang Pemulihan RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung Tahun 2018
5

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya upaya keperawatan

dalam menangani hipotermi dan waktu pulih sadar pasca general anestesi.


1.4.2 Manfaat Aplikatif
Memberikan masukan khususnya dibidang pelayanan keperawatan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dan bermutu serta
dapat mengurangi timbulnya hipotermi.

1.5 Ruang Lingkup


Adapun yang menjadi ruang lingkup penelitian ini adalah hubungan

hipotermi   dengan   waktu   pulih   sadar pasca  general  anestesi. Subjek penelitian
adalah pasien post operasi dengan general anestesi di ruang pulih sadar RSUD
DR. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Penelitian ini akan dilaksanakan pada
Mei tahun 2018. Metode penelitian yang akan digunakan adalah survey analitik
dengan pendekatan cross sectional.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi
2.1.1 Pengertian anestesi
Defenisi Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa”
dan aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Wikipedia, 2008).
Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada
tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,
karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2011).

2.1.2 Klasifikasi
6

Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja.
Namun, secara umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan
menjadi dua golongan yaitu anestesi yang menghambat sensasi di seluruh tubuh
(anasthesi umum) dan yang menghambat sensasi di sebagian tubuh (local,
regional) (Smeltzer & Bare, 2012).
2.1.2.1 Anestesi sebagian tubuh, dibagi dalam 2 bagian yaitu:
1) Anestesi lokal
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu
menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada
bagian tubuh dengan hilangnya rasa nyeri penderita. Pada anestesi
lokal (sering juga diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran
penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat setempat
(lokal) (Bachsinar, 2012).
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak
hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial
5
seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, dapat merawat
luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008).
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk
tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa
yang didapat hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar
30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan diperlukan
injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla,
2008).
Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls
saraf. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Di samping itu,
anestesi lokal menggangu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi
dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang
penting terhadap susunan saraf pusat, ganglia otonom, cabang–cabang
neuromuskular dan semua jaringan otot (Siahaan, 2000).
2) Anestesi Regional
7

Anestesi regional dikenal dengan anestesi spinal adalah tindakan


penyuntikan obat anestik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal disebut juga sebagai analgesi/ blok spinal intradural atau blok
intratekal (Latief, 2006).
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang
pasiennya perlu kondisi sadar dan meminimalisasi efek samping
operasi dari yang lebih besar. Pada pasien tak sadar, misalnya pada
persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan
tungkai. Anestesi regional dilakukan dengan cara menginjeksikan
obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke
otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Obat
anestesi regional mampu menghentikan impuls saraf area tulang
belakang. Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem
saraf dapat terhambat dan tidak dapat diregister sebagai sensasi nyeri
di otak. Sifat anestesi regional atau efek mati rasa dari anestesi
regional yang ditimbulkan akan lebih luas dan lama dibanding anestesi
lokal.
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah.
Namun, tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak,
sehingga pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan
mampu berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah
yang sedang dioperasi (Joomla, 2008).
2.1.2.2 Anestesi Umum
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama
narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja, 2009). Anestesi
umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan
ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, seperti pada kasus bedah
jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain
(Joomla, 2008).
8

Anastesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri secara sentral yang
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali. Komponen anestesi umum
idealnya terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Trias anestesi ini dapat
dicapai dengan menggunakan obat yang berbeda secara terpisah. Teknik ini sesuai
untuk pembedahan abdomen yang luas, intraperitonium, toraks, intrakranial,
pembedahan yang berlangsung lama, operasi dengan posisi tertentu yang
memerlukan pengendalian pernafasan (Latif, 2006).
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan
kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama
penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk
meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi
dilakukan (Grace & Borley, 2012).
Menurut Syamsuhidayat & Jong, (2012) American Society of
Anesthesiologists (ASA) membuat klasifikasi pasien berdasarkan status fisik
pasien pra anestesi kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut:
1. ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.
2. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter
dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan
lekositosis dan febris.
3. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi
dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium.
4. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehiduannya.
5. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi
atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok
hemoragik karena ruptura hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.
9

Sedangkan menurut Smeltzer & Bare (2012) membagi stadium anestesi


dalam 4 stadium yaitu:
1. Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian
agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat
meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi
dan defekasi.
2. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran
sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan
gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia
urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia.
3. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang
ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe
pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-
gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan
respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot
mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi
regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi.
4. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis), ditandai dengan
paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan
gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal.

2.1.3 Obat-obat Anestesi dan Metode Pemberiannya


Menurut Smeltzer & Bare (2012) mengelompokkan/membagi obat-obat
anestesi dan metode pemberiannya sebagai berikut:
2.1.3.1 Obat-obat Anestesi Lokal
Anestetika lokal atau zat-zat penghalang rasa setempat adalah obat yang
pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls-impuls
saraf ke SSP. Luasnya daerah anestesi tergantung tempat pemberian larutan
anestesi, volume yang diberikan, kadar zat dan daya tembusnya (Smeltzer & Bare
2012).
Menurut Grace & Borley (2012), menjelaskan bahwa ada beberapa kriteria
yang harus dipenuhi untuk suatu tehnik obat yang digunakan sebagai anestetika
10

lokal, antara lain: tidak merangsang jaringan, tidak mengakibatkan kerusakan


permanen terhadap susunan saraf, toksisitas sistemik yang rendah, efektif dengan
jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lendir, awal kerjanya
sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang cukup lama, dapat larut
dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil. Selain itu juga Grace & Borley
(2012) menyatakan bahwa anestetika lokal yang ideal adalah anestetika yang
memiliki sifat antara lain tidak iritatif merusak jaringan secara permanen, onset
cepat, durasi cukup lama, larut dalam air, stabil dalam larutan, dan dapat
disterilkan tanpa mengalami perubahan.
Sedangkan berdasarkan struktur dasar anestetika lokal pada umumnya
terdiri dari suatu gugus-amino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan
oleh suatu ikatan ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus aromatis lipofil.
Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada
degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena
itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme
dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin, Benzokain, Kokain, dan
Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain, Lidokain, Mepivakain dan
Prilokain. Senyawa lainnya contohnya fenol, Benzilalkohol, Etilalkohol,
Etilklorida, dan Cryofluoran (Siahaan, 2000).
Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obat-obatan
anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-obatan
yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area
sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak (Grace & Borley,
2012).
2.1.3.2 Obat-obat Anestesi Regional
Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara blok
sentral dan blok perifer (Smeltzer & Bare, 2012). Obat – obatan yang di gunakan
adalah obat dari golongan aster dan amida yaitu antara lain lignokain, bupivakain,
ropivakain, prilokain ( Grace & Borley, 2012 )
2.1.3.3 Obat-obat Anestesi Umum
Pemberian anestesi umum, agar anestesi umum dapat berjalan dengan
sebaik mungkin, maka perlu pertimbangan dalam memilih anestetika yang ideal.
11

Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita,


sifat anestetika, tehnik operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang
tersedia (Syamsuhidayat & Jong, 2012). Sifat anestetika yang ideal antara lain
mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital
seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat
dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat
kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan (Syamsuhidayat & Jong, 2012).
Obat anestesi umum yang ideal menurut Norsworhy (2003) mempunyai
sifat-sifat antara lain: pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi
otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula kerja obat yang cepat dan tidak
mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak
toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas, tidak
dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi pasien. Sedangkan menurut Kumala
(2008) bahwa jenis obat-obatan anestesi yang umum digunakan pada pembiusan
total adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat
anestesi umum yang ideal haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut
dalam lemak, larut dalam darah, tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal),
efek samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi
pasien.

2.1.4 Menentukan Teknik Anestesi pada Pasien


Pemilihan teknik anestesi merupakan suatu hal yang kompleks,
memerlukan kesepakatan dan pengetahuan antara pasien dan faktor–faktor
pembedahan. Dalam beberapa kelompok populasi pasien, pembiusan regional
ternyata lebih baik daripada pembiusan total. Blokade neuraksial bisa mengurangi
resiko trombosis vena, emboli paru, transfusi, pneumonia, tekanan pernapasan,
infark miokardial, dan gagal ginjal (Admin, 2007).
Menurut Pramono (2017) beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
pemilihan anestesi antara lain: keterampilan dan pengalaman ahli anestesi dan ahli
bedah, tersedianya obat dan peralatan, kondisi klinis pasien, waktu yang tersedia,
tindakan gawat darurat atau efektif, keadaan lambung, dan pilihan pasien. Untuk
12

operasi kecil (misalnya menjahit luka atau manipulasi fraktur lengan), jika
lambung penuh, maka pilihan yang terbaik adalah anestesi regional. Untuk operasi
besar gawat darurat, anestesi regional atau umum sangat kecil perbedaannya
dalam hal keamanannya.
2.1.5 Dampak (Efek Samping)
Dampak (Efek Samping) tehnik anestesi general: Obstruksi jalan nafas,
aspirasi cairan lambung ke dalam paru, alergi atau hipersensitivitas, hipotensi
(termasuk hipotensi dalam keadaan terlentang pada kehamilan), gangguan irama
jantung, trauma pada mulut, faring, laring dan gigi, depresi pernafasan,
peningkatan tekanan intracranial, hipoksia pasca bedah, cedera toksik pada hepar
dan ginjal (Manjoer, 2012).
Anestesi umum atau lokal akan menyebabkan vasodilatasi kulit, sehingga
meningkatkan pengeluaran panas tubuh. walaupun perabaan kulit hangat, tetapi
temperatur dapat turun dengan cepat. Hipotermi selama anestesi dapat
menimbulkan 2 efek: peningkatan dan perpanjangan efek obat tertentu (misalnya
relaksan otot) dan karena pasien menggigil selama saat pemulihan, kebutuhan
oksigen akan meningkat dan dapat menyebabkan hipoksia (Dobson, 1994).

2.2 Hipotermia
2.2.1 Pengertian Hipotermi
Hipotermia adalah gangguan medis yang terjadi di dalam tubuh, sehingga
mengakibatkan penurunan suhu karena tubuh tidak mampu memproduksi panas
untuk menggantikan panas tubuh yang hilang dengan cepat. Kehilangan panas
karena pengaruh dari luar seperti air, angin, dan pengaruh dari dalam seperti
kondisi fisik (Lestari, 2010, p.2).
Hipotermia adalah kondisi di mana tubuh kita mengalami penurunanan
suhu inti (suhu organ dalam). Hipotermia bisa menyebabkan terjadinya
pembengkakan di seluruh tubuh (Edema Generalisata), menghilangnya reflex
tubuh (areflexia), koma, hingga menghilangnya reaksi pupil mata. Disebut
hipotermia berat bila suhu tubuh < 320C. Untuk mengukur suhu tubuh pada
hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading termometer)
sampai 250C. Di samping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal
penyakit yang berakhir dengan kematian.
13

Hipotermia merupakan salah satu perubahan suhu yang diakibatkan panas


yang hilang saat pajanan lama terhadap lingkungan dingin akan melebihi
kemampuan tubuh untuk menghasilkan panas. Hipotermia yang disengaja dapat
dilihat selama prosedur operasi untuk menurunkan kebutuhan metabolisme.
Hipotermia yang tidak disengaja biasanya terjadi perlahan dan tidak terlihat
selama beberapa jam.
Saat suhu tubuh turun ke 35oC, klien bisa mengalami menggigil,
kehilangan ingatan, depresi dan gangguan akal. Jika suhu tubuh turun di bawah
34,4oC, terjadi penurunan denyut jantung, fekuensi nafas dan tekanan darah, kulit
menjadi sianotik. Jika hipotermia terus berlanjut, klien akan mengalami disritmia
jantung, kehilangan kesadaran dan tidak respon terhadap nyeri. Pada hipotermia
berat seseorang memperlihatkan tanda klinis seperti kematian (Potter dan perry,
2009). Dalam taksonomi NANDA Hipotermia merupakan diagnosis keperawatan
pada domain 11 (keamanan/perlindungan) kelas 6 yaitu termoregulasi (Herdman,
2012).

2.2.2 Klasifikasi Hipotermi


Hipotermi dapat diklasifikasikan berdasarkan sumber paparan yaitu:
a. Hipotermi Primer : terjadi akibat paparan langsung individu yang sehat
terhadap dingin.
b. Hipotermi sekunder : mortalitas banyak terjadi pada fase ini dimana terjadi
kelainan secara sistemik.
Hipotermi juga dapat diklasifikasikan berdasarkan temperature tubuh,
yaitu:
a. Ringan = 34-36°C
Kebanyakan orang bila berada pada suhu ini akan menggigil secara hebat,
terutama di seluruh ekstremitas. Bila suhu tubuh lebih turun lagi, pasien
mungkin akan mengalami amnesia dan disartria. Peningkatan kecepatan nafas
juga mungkin terjadi.
b. Sedang = 30–34°C
Terjadi penurunan konsumsi oksigen oleh sistem saraf secara besar yang
mengakibatkan terjadinya hiporefleks, hipoventilasi, dan penurunan aliran
darah ke ginjal. Bila suhu tubuh semakin menurun, kesadaran pasien bisa
menjadi stupor, tubuh kehilangan kemampuannya untuk menjaga suhu tubuh,
dan adanya resiko timbul aritmia.
14

c. Berat = <30°C
Pasien rentan mengalami fibrilasi ventrikular, dan penurunan kontraksi
miokardium, pasien juga rentan untuk menjadi koma, pulse sulit ditemukan,
tidak ada reflex, apnea, dan oligouria (Kliegman, 2007).

2.2.3 Faktor yang mempengaruhi Hipotermi


1. Umur: bayi baru lahir, orang tua.
2. Paparan dingin di luar ruangan: olahraga, memakai baju tipis.
3. Obat dan intoksikan: etanol, phenothiazin, barbiturate, anestesi, bloker
neuromuscular.
4. Hormon: hipoglikemia, hipotiroidisme, kekurangan adrenalin,
hipopituitarisme.
5. Neurologis: stroke, gangguan hipotalamus, Parkinson, Cedera sumsum tulang
belakang.
6. Multisistem: malnutrisi, sepsis, shock, gangguan hati dan ginjal.
7. Luka bakar dan kelainan kulit eksfoliatif(mengelupas).

2.3 Waktu Pulih Sadar


2.3.1 Pengertian
Pulih   sadar   merupakan   periode   di   mana   pasien   masih   mendapatkan

pengawasan   dari   ahli   anestesi   setelah   pasien   meninggalkan   meja   operasi

(Apriliana,  2013).  Pengawasan   tersebut  ditangani   di  Recovery   Room.  Ruangan

tersebut diperkenalkan pada tahun 1923 sebagai lokasi pilihan  untuk pemulihan

segera pasien paska operasi (Aldrete dan Kroulik, 1970). 
Pada   masa   transisi,   kesadaran   pasien   masih   belum   sempurna  sehingga

cenderung   terjadi   komplikasi   serius   seperti   terjadinya   aspirasi  dikarenakan

sumbatan jalan napas yang lebih besar ditambah lagi dengan reflek batuk, muntah,

dan menelan juga belum kembali normal (Bruno B dan Bernard D, 2005). 

2.3.2 Faktor­faktor   yang   mempengaruhi   waktu   pemulihan   pada   pasien

General Anestesi
Faktor-faktor yang mempercepat induksi juga mempercepat pemulihan
(cepat bangun/sadar) antara lain eliminasi dari rebreathing, aliran udara bebas
15

yang tinggi, volume sirkuit anestesi yang rendah, rendahnya absorbsi sirkuit
anestesi, rendahnya kelarutan, aliran darah serebral yang tinggi dan peningkatan
ventilasi. Penyembuhan (recovery) anestesi juga tergantung pada penurunan
konsentrasi anestesi pada jaringan otak, dimana obat-obat anestesi dapat
dieliminasi dengan biotransformasi, kehilangan melalui transcutaneus, dan
ekspirasi.
Menurut Hanifah (2007), faktor yang mengakibatkan waktu pulih sadar
lambat adalah jenis pembedahan, IMT dan hipotermi. Jenis pembedahan yang
dialami responden, seperti jenis pembedahan THT, bedah abdomen dan bedah
mulut membutuhkan obat tambahan untuk membuat otot rileks. Jenis pembedahan
abdomen juga membutuhkan durasi operasi lama, maka semakin lama juga
anestesi yang dilakukan dan obat yang ekskresikan lebih lambat, akhirnya dapat
menyebabkan pulih sadar berlangsung lama. IMT responden juga mempengaruhi
pulih sadar karena dosis yang diberikan sesuai dengan berat badan, semakin
banyak dosis yang diberikan ekskresi anestesi juga akan lama. Responden
hipotermi dapat mengganggu penurunan metabolisme obat, sehingga obat anestesi
dalam tubuh lama di ekskresikan dan waktu pulih sadarnya lama.

2.3.3 Tujuan pemeriksaan waktu pulih sadar
Tujuan   dari   pemeriksaan   waktu   pulih   sadar   adalah   untuk  memulihkan

kesehatan fisiologi dan psikologi dari pasien, antara lain: 
1. Mempertahankan jalan napas.
2. Mempertahankan ventilasi/oksigenasi
3. Mempertahankan sirkulasi darah.
4. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase.
5. Keseimbangan cairan input dan output juga perlu diperhatikan.
6. Mempertahankan kenyamanan dan mencegah risiko luka
(Saphiro, 2007)
University   of   Pittsburgh   Medical   Center  (UPMC)  mengatakan   bahwa

kriteria pasien dapat dipulangkan tergantung pada jenis operasi dan prosedurnya,

sehingga dapat dinilai apakah pasien dapat keluar dari  Recovery Room  ke ruang


16

rawat inap yang  sesuai atau kembali ke Unit Bedah Harian. Berikut merupakan

beberapa kondisi yang dapat mendasari keputusan tersebut di atas: 

1. Pemulihan dari anestesi:
a. Pada anestesi umum, pasien harus terjaga dan keadaan mentalnya kembali

normal.
b. Pada anestesi spinal, pasien harus mampu merasakan dan  menggerakkan

kaki sebagaimana pasien dapat menggerakkan kakinya sebelum operasi. 
c. Tanda­tanda vital harus stabil dan suhu dasar harus normal.
d. Rasa nyeri harus terkontrol.
e. Jika terjadi mual atau muntah, maka pasien butuh untuk tinggal lebih lama

di Recovery Room.
f. Menggigil   berlebihan   dan   hilangnya   panas   tubuh   karena   anestesi  juga

membutuhkan waktu untuk tinggal lebih lama di Recovery Room.
g. Tergantung   pada   operasi   dan   jenis   anestesinya,   pasien   mungkin

membutuhkan   obat   yang   membantu   mengontrol   detak   jantung,  tekanan

darah,   pernapasan,   atau   gangguan   seperti   diabetes,   dan  membutuhkan

waktu tinggal lebih lama di Recovery Room.  Jika semua kriteria terpenuhi,

pasien dapat ke Ruang Rawat Inap atau Unit Bedah Harian (UPMC, 2012).
2. Penilaian waktu pulih sadar
Sampai saat ini tidak ada kesepakatan bersama mengenai penilaian  yang

digunakan   untuk   menilai   kesiapan   pasien   meninggalkan  Recovery   Room

(Truong,   2004).   Umumnya   rumah   sakit   menggunakan   penilaiannya  dengan

sistem   penilaian   Aldrete  Score  dalam   menentukan   kondisi  umum,   tingkat

kesadaran dan kesiapan pasien setelah anestesi untuk bisa keluar dengan aman

dari Recovery Room (Brunner et al., 2010).  
Aldrete  score  adalah skor pemulihan paska anestesi yang  dikembangkan

oleh J. Antonio Aldrete, MD dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1979 dan

diperbaharui  pada tahun 1995 (Slee  et al.,  2008). Aldrete  score  merupakan

kriteria   yang   menyatakan   stabil  atau   tidaknya   pasien   setelah   anestesi   yang
17

diukur meliputi  pengukuran kesadaran, aktivitas, respirasi, sirkulasi (tekanan

darah,  laju   pernafasan),  dan   warna  kulit   (Xie  et  al.,  2014).  Penggunaannya

didukung oleh  Joint Commision on Accredition of Healthcare  Organizations

(JCAHO), khususnya untuk menilai kemampuan mengevaluasi kondisi pasien

yang telah menjalani anestesi umum (Slee et al.,, 2008).
Skor   yang   diperoleh   dari   kriteria   Aldrete  score  ini   berkisar   1­10

sebagaimana Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1. Aldrete Scoring System

KRITERIA RECOVERY SCORE
In 15 30 45 60 Out
Aktifitas Dapat 4 anggota gerak 2 2 2 2 2 2
Bergerak  2 anggota gerak 1 1 1 1 1 1
volunter  0 anggota gerak 0 0 0 0 0 0
atau atas
perintah

Respirasi Mampu bernapas dan batuk  2 2 2 2 2 2
secara
bebas
Dyspnea, nafas dangkal atau 1 1 1 1 1 1
terbatas
Apnea 0 0 0 0 0 0
Sirkulasi Tensi pre- Tensi 20 mmHg 2 2 2 2 2 2
op …. Preop
mmHg Tensi 20 – 50 1 1 1 1 1 1
mmHg dari
preop
Tensi 50 mmHg 0 0 0 0 0 0
preop
Kesadaran Sadar penuh 2 2 2 2 2 2
Bangun waktu dipanggil 1 1 1 1 1 1
Tidak ada respons 0 0 0 0 0 0
Warna Normal 2 2 2 2 2 2
kulit Pucat kelabu 1 1 1 1 1 1
Sianotik 0 0 0 0 0 0
(Wirjoatmodjo, 2000)

2.4 Kerangka Teori


Gambar 2.1
Kerangka Teori
Dampak/Efek general Anestesi:
a. Jenis pembedahan
b. Indeks Massa Tubuh
c. Hipotermi
18

Waktu pulih sadar

Sumber: Hanifah (2017)


2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian yang


dilakukan dan memberi landasan kuat terhadap topik yang dipilih sesuai dengan
identifikasi masalahnya (Hidayat, 2007). Pada penelitian ini hipotermi merupakan
variabel bebas (independent variable), dan waktu pulih sadar merupakan variabel
terikat (dependent variable). Adapun kerangka konsep penelitian ini sebagai
berikut :
Gambar 2.2
Kerangka Konsep

Hipotermi Waktu pulih sadar


2.6 Hipotesis
Hipotesis dalam suatu penelitian merupakan jawaban sementara penelitian,
patokan duga, atau dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam
penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2012).
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ha:   Ada  hubungan   hipotermi   dengan   waktu   pulih   sadar pasca  general

anestesi   di   Ruang   Pemulihan   RSUD   Dr.   Hi.   Abdul   Moeloek   Provinsi

Lampung Tahun 2018
Ho: Tidak ada hubungan hipotermi dengan waktu pulih sadar pasca general

anestesi   di   Ruang   Pemulihan   RSUD   Dr.   Hi.   Abdul   Moeloek   Provinsi

Lampung Tahun 2018
19

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dengan desain penelitian
analisis deskriptif. Peneliti ini untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan dependen variabel.

3.2. Desain Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu suatu
penelitian yang dilakukan dengan sekali pengamatan pada satu saat tertentu
dimana independen dan variabel dependen diamati pada waktu bersamaan.
Dimana pada penelitian ini dilakukan pengukuran variabel hipotermi sebagai

variabel independen dengan waktu   pulih   sadar sebagai variabel dependen


dikumpulkan datanya dalam waktu yang bersamaan atau satu kali pengambilan
data (Nursalam, 2012).

3.3. Subyek Penelitian


Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan desain rancangan
penelitian dengan metode deskriptif korelasi dengan pendekatan cross
sectional. Metode deskriptof bertujuan untuk menggambarkan suatu keadaan
atau fenomena serta mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan suatu
keadaan (Notoatmodjo, 2010) desain rancangan penelitian ini merupakan
desain deskriptif korelasi dimana peneliti ingin menjelaskan atau

mendeskriptif dua variabel, sehingga adakah hubungan   hipotermi   dengan

waktu pulih sadar pasca general anestesi.
3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi penelitain adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti (Notoatmodjo S, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah semua

19
20

pasien operasi dengan general anestesi di pulih sadar RSUD DR. Hi. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung dengan rata-rata pasien 114 pasien.
3.3.2. Sampel Penelitian
Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi (Notoatmodjo, 2012). Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan
menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:
n = N
1+N(d 2 )
Keterangan:
n : Besar sampel
N : Besar populasi
d : Tingkat penyimpangan yang diinginkan (10%)
n = 114 = 88.7 atau 88 responden
1 + 114 (0.052)
3.3.3. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sampling incidental yang berarti penentuan semple dilakukan berdasarkan
kebetulan. Ialah siapa saja yang secara kebetulan/incidental bertemu dengan
peneliti dapat digunakan sebagai semple (Sugiyono, 2013). Bila dipandang
orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data. Dengan
mengambil semple dengan menggunakan kriteria semple sebagai berikut:
3.3.4. Kriteria Subjek Penelitian
1) Pasien post operasi dengan general anastesi
2) Laki-laki dan wanita;
3) Pasien bersedia menjadi responden.

3.4. Variabel Penelitian


Variabel merupakan karakteristik subjek penelitian yang berubah dari
satu subjek ke subjek lainnya (Hidayat, 2011). Dalam penelitian ini variabel
yang digunakan adalah variabel bebas dan terikat (Notoatmodjo, 2012)
3.4.1 Variabel independent (variabel bebas)
Variabel independent merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan
21

atau timbulnya variabel dependen (Notoatmodjo, 2012). Variabel bebas dalam


penelitan ini adalah hipotermi.
3.4.2 Variabel dependent (variabel terikat)
Variabel dependent merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini tergantung dari variabel bebas
terhadap perubahan (Hidayat, 2011). Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah waktu pulih sadar.

3.5. Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional pada penelitian dapat dilihat pada tabel 3.1.

Definisi
No Variabel Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Data
Operasional

1 Variabel Adalah kondisi Observasi: Lembar 0: Hipotermi, Ordinal


independen dimana suhu tubuh mengukur Observasi bila suhu tubuh <
Hipotermi < 36°C suhu tubuh 36°C
(Kliegman, 2007). menggunakan 1: Tidak
termometer Hipotermi, bila
suhu tubuh ≥
36°C
2 Variabel Kondisi dimana Observasi: Lembar 0: Bila waktu Ordinal
dependen: pasien pasca operasi mengukur Observasi sadar ≥ 15 menit
Waktu pulih mengalami kesadaran 1: Bila waktu
sadar pemulihan pasien sadar < 15 menit
kesadaran penuh
(Wirjoatmojo,
2000)
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel

3.6. Pengumpulan Data


3.6.1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini peneliti harus mendapatkan surat izin dari
politeknik kesehatan negeri Lampung, selanjutnya peneliti datang ke salah satu
rumah sakit daerah lampung untuk meminta persetujuan (inform consent) bahwa
akan melakukan penelitian. Kemudian peneliti akan mebuat kontrak kepada
responden untuk mebuat kesepakatan dan menentukan pertemuan yang
selanjutnya bahwa responden sudah ditetapkan sebagai sample peneliti.
22

3.6.2. Alat dan Bahan Penelitian


Alat pengumpul data adalah alat-alat yang akan digunakan untuk
mengumpulkan data (Notoatmodjo, 2010). Alat pengumpulan data pada penelitian
berupa lembar observasi.
3.6.3. Teknik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti yaitu
menggunakan tehnik skala penilaian (Rating Scale) yaitu, skala ini berupa daftar
yang berisikan ciri-ciri tingkah laku, yang dicatat secara bertingkat. Rating scale
ini dapat merupakan satu alat pengumpulan data untuk mengelompokkan,
menggolongkan, dan menilai seseorang atau suatu gejala (Notoatmodjo, 2012).
3.6.4. Etika Penelitian
Dalam penelitian ini untuk menjamin responden yang akan menjadi
subyek penelitian tidak ada paksaan dan atas dasar sukarela, maka responden
diminta untuk menandatangani surat persetujuan menjadi responden yang telah
dipersiapkan. Dengan berpedoman dengan prinsip etik penelitian, yaitu:
a. Persetujuan riset (informed concent)
Lembar persetujuan ini diberikan kepada setiap responden yang menjadi
subyek penelitian dengan memberikan penjelasan tentang maksuddan tujan
dari penelitian serta menjelaskan akibat-akibat yang akan terjadi bila bersedia
menjadi subyek penelitian. Apabila responden tidak bersedia maka peneliti
wajib hak-hak responden tersebut.
Peneliti memberikan informed consent kepada pasien atau responden yang
akan menjalani pembedahan elektif. Jika pasien bersedia dan menandatangani
informed consent tersebut peneliti langsung mengobservasi dan mengisinya.
b. Kerahasiaan (Confidentiality)
Tanggung jawab peneliti untuk melindungi semua informasi ataupun data yang
dikumpulkan selama dilakukannya penelitian. Informasi tersebut hanya akan
diketahui oleh peneliti dan pembimbing atas persetujuan responden, dan hanya
kelompok data tertentu saja yang akan disajikan sebagai hasil penelitian.
23

c. Anonim (Anonimity)
Tindakan merahasiakan nama peserta terkait dengan partisipasi mereka dalam
suatu proyek penelitian. Hal ini untuk menjaga kerahasiaan informasi yang
telah diperoleh dari responden.
d. Kejujuran
Jujur dalam pengumpulan bahan pustaka, pengumpulan data,
pelaksanaan metode dan prosedur penelitian, publikasi hasil.Jujur pada
kekurangan atau kegagalan metode yang dilakukan. Jangan mengklaim
pekerjaan yang bukan pekerjaan Anda sebagai pekerjaan Anda
e. Objektivitas
Upaya meminimalkan kesalahan/bias dalam rancangan percobaan, analisis dan
interpretasi data, penilaian ahli/rekan peneliti, keputusan pribadi, pengaruh
pembari dana/sponsor penelitian
f. Integritas
Menepati selalu janji dan perjanjian, melakukan penelitian dengan tulus dan
upayakan menjaga konsistensi pikiran dan perbuatan.
g. Ketelitian
Teliti dan hindari kesalahan karena ketidakpedulian, secara teratur mencatat
pekerjaan dan catat alamat korespondensi responden, jurnal atau agen publikasi
lain.

3.6.5. Pengolahan Data


3.6.5.1 Tahap Pengolahan Data
1. Editing
Kegiatan dengan pengecekan isian formulir atau kuisioner yang telah di
isi oleh responden berkaitan dengan kemungkinan adanya kesalahan
dan melihat kelengkapan, kejelasan dan konsistensi jawaban.
2. Coding
Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka/bilangan, untuk mempermudah pada saat analisi data
24

dan juga mempercepat pada saat entry data. Untuk variabel hipotermi
kode 0 jika hipotermi dan kode 1 jika tidak hipotermi. Dan untuk
variabel waktu pulih sadar kode 0 jika waktu pulih sadar ≥ 15 menit,
dan kode 1 jika waktu pulih sadar < 15 menit.
3. Processing
Pada proses ini peneliti memasukkan data-data hasil dari penelitian
pada program komputerisasi, data-data hasil penelitian yang dibuat
dalam bentuk pengelompokkan data.
4. Cleaning
Peneliti melakukan pengecekan kembali data-data yang sudah dientry
apakah ada kesalahan atau tidak.

3.6.5.2 Analisa Data


Notoatmodjo (2012), analisis data dilakukan untuk menjawab dan
membuktikan diterima atau ditolak hipotesa yang telah ditetapkan. Lazimnya
langkah pertama analisis data adalah melakukan analisis deskriptif atau disebut
juga univariat atau analisis sederhana, kemudian diikuti analisis bivariat analisis
univariat.
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisa secara:
a. Analisa Univariat
Analisa univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dengan
menggunakan rumus presentase (Arikunto, 2012):

 F
P x 100%
N

Keterangan:
P : Presentase
∑f : Total responden sesuai kategori
N : Total responden
Hasil dari presentase dan pemberian skor penelitian untuk variabel
diinterprestasikan dengan menggunakan kriteria kualitatif.
25

b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.
Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square dengan rumus sebagai
berikut (Hastono, 2007):
( O – E )2
X2 = ∑
E

Keterangan:
X 2 : Chi Square
∑ : Jumlah
O : Frekuensi yang diamati (Observed)
E : Frekuensi yang diharapkan (Expected)
Berdasarkan hasil perhitungan statistik dapat dilihat kemaknaan
hubungan antara 2 variabel dengan menggunakan derajat kepercayaan
95% (α 0,05): Jika p value ≤ 0.05 maka bermakna/signifikan, berarti ada
hubungan yang bermakna antara variabel independen dengan variabel
dependen atau hipotesis (Ha) diterima, dan jika p value > 0.05 maka
tidak bermakna/ signifikan, berarti tidak ada hubungan yang bermakna
antara variable independent dengan variabel dependen, atau hipotesis
(Ha) ditolak.

Anda mungkin juga menyukai