Anda di halaman 1dari 26

USUL PENULISAN SKRIPSI

KEDUDUKAN HUKUM DOKUMEN DIGITAL SEBAGAI


INDIRECT EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN KARTEL
OLEH KPPU
(STUDI PUTUSAN MA PERKARA NOMOR 217 K/Pdt.Sus-
KPPU/2019 DAN NOMOR 444K/Pdt.Sus-KPPU/2018)

Disusun Guna Memenuhi Syarat Melanjutkan Penulisan Hukum


Dosen Pembimbing: Dr. Danang Wahyu., S.H., M.Hum

Disusun Oleh:
Nama : Muhammad Farzil Haq Hi Ali
NIM : 20160610207
Konsentrasi : Hukum Perdata Bisnis

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PERSETUJUAN

KEDUDUKAN HUKUM DOKUMEN DIGITAL SEBAGAI


INDIRECT EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN KARTEL
OLEH KPPU (STUDI PUTUSAN MA PERKARA NOMOR 217
K/Pdt.Sus-KPPU/2019 DAN NOMOR 444K/Pdt.Sus-KPPU/2018)

Disusun Oleh :

Nama : Muhammad Farzil Haq Hi Ali

NIM : 20160610207

Proposal penelitian hukum ini telah disetujui oleh Dosen Pembimbing

Pada Tanggal

28 November 2019

Dosen Pembimbing

Dr. Danang Wahyu Muhammad, SH., M.Hum


NIK. 19690528199409 153 022
HALAMAN PENGESAHAN

KEDUDUKAN HUKUM DOKUMEN DIGITAL SEBAGAI


INDIRECT EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN KARTEL
OLEH KPPU (STUDI PUTUSAN MA PERKARA NOMOR 217
K/Pdt.Sus-KPPU/2019 DAN NOMOR 444K/Pdt.Sus-KPPU/2018)

Telah diseminarkan dihadapan Tim Penelaah pada tanggal 20 Desember


2019
Yang terdiri dari:

Ketua

Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum


NIK. 19680929199407 153 019

Penelaah 1 Penelaah 2

Reni Budi Setianingrum SH., M.Kn Dr. Danang Wahyu Muhammad, SH., M.Hum
NIK. 19820215201604 153 065 NIK. 19690528199409 153 022

Mengesahkan,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. Trisno Raharjo, S.H.,M.Hum


NIK.19710409199702 153 028
A. Latar belakang

Adanya suatu persaingan usaha merupakan ekspresi kebebasan yang

dimiliki setiap individu dalam rangka bertindak untuk melakukan transaksi

perdagangan pasar. Persaingan usaha diyakini sebagai mekanisme dalam

mewujudkan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat. Bila persaingan

dipelihara secara konstisten, akan tercipta suatu kemanfaatan bagi masyarakat

konsumen, yaitu berupa pilihan produk yang bervariatif dengan harga pasar

serta dengan kualitas tinggi. Sebaliknya, bila persaingan dibelenggu oleh

peraturan-peraturan atau dihambat oleh perilaku-perilaku usaha tidak sehat

dari perilaku pasar, maka akan muncul dampak kerugian pada konsumen.1

Secara umum, dapat dilihat bahwa pelaku usaha dalam menjalankan suatu

kegiatan usaha tidak lain adalah untuk mendapatkan laba atau keuntungan

ekonomis. Kegiatan usaha yang dilakukan pun dalam bentuk dan jenis yang

beraneka ragam tergantung minat dan kemampuan pelaku usaha tersebut

dalam mengelola usahanya. Orang-orang yang memilih menjadi pelaku usaha

itu jumlahnya tidak sedikit sehingga secara otomatis menimbulkan kompetisi

atau persaingan antara para pelaku usaha tersebut.

Terdapat banyak permasalahan persaingan usaha yang mewarnai dunia

bisnis dan perdagangan Indonesia selama berlakunya Undang-undang Nomor

5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

1
Irna Nurhayati, “Kajian Hukum Persaingan Usaha : Kartel Antara Teori dan Praktik”, Jurnal
Hukum Bisnis Vol.30-No.II-(Tahun 2011), Hlm.6
Tidak Sehat (selanjutnya disebut UULPM).2 Salah satu bentuk pelanggaran

UULPM dan persaingan usaha tidak sehat yang sangat berbahaya dikalangan

dunia usaha adalah kartel yang merupakan suatu perjanjian antara pelaku

usaha tentang penetapan kesepakatan harga, mengalokasikan pasar atau

tender.3 Secara yuridis terdapat larangan mengenai kesepakatan harga antara

pelaku usaha pesaingnya yang diatur dalam Pasal 11 UULPM yaitu “Pelaku

usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang

bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau

pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

Proses pembuktian adanya dugaan praktik perjanjian kartel diantara para

pelaku usaha juga menjadi suatu masalah bagi Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (selanjutnya disebut sebagai KPPU) karena pembuktiannya yang tidak

mudah sehingga banyak otoritas persaingan usaha di berbagai negara sangat

hati-hati dalam pembuktian kartel. Pembuktian dalam persaingan usaha tidak

sehat berdasarkan Pasal 42 UULPM terdiri atas 5 alat bukti yaitu: keterangan

saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk, keterangan pelaku

usaha. Terkhusus mengenai pembuktian kartel diatur lebih lanjut dalam

Pedoman Pasal 11 Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel

dimana dalam pembuktiannya dapat melalui 2 jenis alat bukti yaitu bukti

langsung (direct evidence) dan bukti tidak langsung (indirect evidence).

2
Ningrum Natasya Sirait, 2003, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan ,Pustaka
Press, hlm.16.
3
Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement, 19 November 2019,
http://www.oecd.org/competition/cartels/38704302.pdf,, (18:55)
Pembuktian kartel yang sering digunakan dalam melakukan pembuktian

kartel adalah indirect evidence, dimana penggunaan bukti tersebut sangat

membantu KPPU dalam mengungkap kasus kartel yang terjadi. dalam

penggunaan bukti tidak langsung terdapat dua jenis pembuktian yang terdiri

dari bukti ekonomi dan bukti komunikasi.

Namun terdapat beberapa permasalahan yang timbul dari penggunaan

pembuktian tidak langsung (Indirect evidence) yaitu legitimasi kartel masih

dipertanyakan karena dalam praktiknya terjadi inkonsistensi hakim dalam

memutus perkara kartel menggunaan indirect evidence yang diajukan oleh

KPPU. Dasar pertimbangan hukum dan analisis tentang indirect evidence

dalam penelitian ini adalah Putusan Mahkamah Agung perkara Nomor 217

K/Pdt.Sus-KPPU/2019 dan Nomor 444K/Pdt.Sus-KPPU/2018 .

Putusan MA Nomor 217 K/Pdt.Sus-KPPU/2019 menguatkan putusan

KPPU atas kartel yang dilakukan oleh PT. Yamaha dan PT. Honda. Hakim

MA berpendapat bahwa indirect evidence dapat menjadi warna baru dalam

pembuktian kasus persaingan usaha, sedangkan dalam putusan MA Nomor

444K/Pdt.Sus-KPPU/2018 menolak kasasi yang diajukan oleh KPPU karena

Hakim MA berpendapat bahwa alat bukti tidak langsung yang digunakan oleh

KPPU dalam membuktikan kasus kartel ayam potong diangap tidak

mempunyai kekuatan hukum karena bukti tidak langsung tidak diatur dalam

sistem hukum indonesia.

KPPU sampai saat ini masih berusaha untuk mencari pengakuan dengan

bukti tidak langsung (indirect evidence). Adanya upaya yang dilakukan untuk
menempatkan indirect evidence sebagai ‘bukti tersendiri’ sedang ditempuh

melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berdasar latar belakang di atas

penulis tertarik meneliti permasalahan ini dalam suatu penelitian dengan judul

“KEDUDUKAN HUKUM DOKUMEN DIGITAL SEBAGAI INDIRECT

EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN KARTEL OLEH KPPU (STUDI

PUTUSAN MA PERKARA NOMOR 217 K/Pdt.Sus-KPPU/2019 DAN

NOMOR 444K/Pdt.Sus-KPPU/2018)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat ditarik rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan hukum dokumen digital sebagai alat bukti tidak

langsung (indirect evidence) dalam pembuktian kartel oleh KPPU?

2. Bagaimana pandangan Hakim terhadap bukti tidak langsung (indirect

evidence) dalam pembuktian kasus kartel?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum dokumen

digital sebagai bukti tidak langsung dalam pembuktian pelanggarn

kartel oleh KPPU.


b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan

Hakim terhadap pembuktian tidak langsung (indirect evidence) dalam

pembuktian kasus kartel.

2. Tujuan Subyektif

Tujuan subyektif penulis dalam penelitian ini guna memenuhi syarat

memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat baik dari

segi teoritis maupun segi praktis sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis : Manfaat penelitian ini sebagai upaya pengembangan

ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu hukum khususnya terhadap sistem

pembuktian tidak langsung (Indirect evidence) dalam pelanggaran

dibidang persaingan usaha yang tidak sehat dan juga dapat dijadikan

sebagai bahan pertimbangan para pembentuk undang - undang dalam

usaha memperbaiki atau merevisi Undang - Undang Nomor 5 Tahun

1999 agar dapat sesuai dengan perkembangan zaman.

2. Manfaat praktis : Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan

suatu gambaran mengenai hal yang menjadi pertimbangan bagi aparat

penegak hukum dalam mengadili perkara perdata khusus atas dugaan

pelanggaran UU Antimonopoli agar dapat mewujudkan harapan semua

pihak baik pelaku usaha maupun konsumen.


E. Tinjauan Pustaka

1. Persaingan Usaha

Pengertian Hukum Persaingan Usaha Hukum persaingan usaha

berisi ketentuan-ketentuan substansial tentang tindakan-tindakan yang

dilarang (beserta konsekuensi hukum yang bisa timbul) dan ketentuan-

ketentuan prosedural mengenai penegakan hukum persaingan usaha.

Pada hakikatnya hukum persaingan usaha dimaksudkan untuk

mengatur persaingan dan monopoli demi tujuan yang menguntungkan.

Apabila hukum persaingan usaha diberi arti luas, bukan hanya meliputi

pengaturan persaingan, melainkan juga soal boleh tidaknya monopoli

digunakan sebagai saran kebijakan publik untuk mengatur daya mana

yang boleh dikelolah oleh swasta.4

Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang

interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah

laku perusahaan ketika berinteraksi dilandasi atas motif-motif

ekonomi.5

Pengertian persaingan usaha secara yuridis selalu dikaitkan dengan

Pada dasarnya tujuan yang hendak dicapai dengan dibuatnya

undangundang mengenai larangan praktik monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat sebagaimana dilakukan oleh negara-negara maju

yang telah sangat berkembang masyarakat korporasinya seperti

Amerika Serikat dan Jepang sebagaimana telah dikemukakan diatas

4
Arie Siswanto,2002, Hukum Persaingan usaha, Jakata, Ghalia Indonesia, hal 23
5
Andi Fahmi Lubis, Dkk, 2009, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks, Jakarta,
Creative Media, hal 21
adalah untuk menjaga kelangsungan persaingan (competition). Dari

uraian diatas menunjukkan bahwa persaingan usaha itu perlu dijaga

eksistensinya demi terciptanya efesiensi, baik bagi masyarakat

konsumen maupun bagi setiap perusahaan. Persaingan akan

mendorong setiap perusahaan untuk melakukan kegiatan usahanya

seefesien mungkin agar dapat menjual barang atau jasanya dengan

harga rendah.6

Hukum persaingan usaha mempunyai dua pendekatan yaitu

pendekatan per se illegal dan rule of reason.

1. Pendekatan Per Se Illegal

Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian

atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih

lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan

usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal

biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk

tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali.

2. Pendekatan Rule of Reason

Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang

digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat

evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu,

6
Sukarmi, “Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha”, Jurnal Persaingan Usaha,
Edisi 6, KPPU, (2011), hal.143
guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut

bersifat menghambat atau mendukung persaingan.7

2. Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence)

Bukti langsung (direct evidence) biasanya dilakukan dengan bukti

yang dapat diamati secara nyata dan keberadaannya dapat

mengindikasikan adanya suatu praktik monopoli atau persaingan usaha

tidak sehat oleh pelaku usaha yang saling bersaing. Di dalam bukti

langsung tersebut diharuskan menunjukkan adanya kesepakatan para

pelaku usaha yang mengarah kepada kerjasama dengan substansi yang

disepakati bersama oleh para pelaku usaha. Bukti tidak langsung dapat

berupa bentuk perjanjian tertulis, bukti berupa fax, bukti rekaman

percakapan telepon, pesan singkat melalui perangkat lunak telepon

genggam, email, komunikasi video, dan bukti nyata lainnya.8

Bukti tidak langsung atau circumstantial evidence juga dikenal

dengan sebutan indirect evidence, namun dalam penggunaanya oleh

khalayak umum, circumstantial evidence lebih sering digunakan. Lain

halnya dengan bukti langsung, bukti tidak langsung (circumstantial

evidence) atau yang juga dikenal dengan istilah indirect evidence, adalah

suatu bentuk bukti yang keberadaannya secara tidak langsung menyatakan

adanya kesepakatan antara pelaku usaha untuk melakukan kontrol atas

7
Hanif Nur Widhiyant, “PENDEKATAN PER SE ILLEGAL DAN RULE OF REASON
DALAM HUKUM PERSAINGAN” , ARENA HUKUM, Vol 8, No 3, (Desember 2015), Hlm 300-
463
8
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori dan Praktek
dan Penerapan Hukumnya, Jakarta, Kencana, hlm. 141.
pasar dan/atau melakukan persaingan usaha yang tidak sehat. Bukti tidak

langsung merupakan golongan dari bukti petunjuk yang diatur dalam Pasal

42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Bukti tidak langsung biasa dijadikan bukti atas dugaan perjanjian

yang tidak tertulis antara pelaku usaha untuk melakukan kerjasama di

dalam pasar secara tidak sehat. Bukti tidak langsung tidak dapat berdiri

sendiri tanpa adanya bukti langsung yang menyertainya. 9 Keberadaan

bukti tidak langsung sangat diperlukan dalam proses pembuktian

khususnya pembuktian dalam kasus kartel. Kesulitan otoritas persaingan

membongkar keterkaitan antar pelaku usaha dalam sindikat kartel

memaksa investigator mencari bukti alternatif yang setidaknya

menyatakan adanya kesepakatan antara pelaku yang terlibat. keberadaan

bukti tidak langsung digunakan sebagai pembuktian terhadap kondisi yang

dapat dijadikan dugaan atas pemberlakuan perjanjian lisan.10 Pembuktian

secara tidak langsung yang dilakukan oleh Komisi Persaingan Usaha

(KPPU) dapat dijadikan sebagai bukti awal untuk mengungkap kasus

persaingan usaha, terutama pada jenis pelanggaran berbentuk perjanjian

yang dilarang berupa kartel dan penetapan harga. Bukti tidak langsung

dibagi menjadi 2, yaitu dapat berupa:11

1. Bukti ekonomi; dan

9
Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hlm 141
10
Hukum Online, Berjuang Mencari Legitimasi Indirect Evidence, 24 November 2019, https:
//www.ucnews.id/ news/ Berjuang -Mencari -Legitimasi -Indirect-Evidence/
2099612943090568.html,, (22:34)
11
Sutrisno Iwanto, 24 November 2019, http:// www.kppu.go.id /id /blog /2010/ 07/ sulitnya-
membuktikan -praktik- kartel/,, ( 22:45)
2. Bukti komunikasi

Bukti komunikasi dapat dilakukan dengan membuktikan adanya

komunikasi dan pertemuan antar pelaku kartel, namun tidak

menjelaskan mengenai substansi yang dibicarakan, contohnya adalah

rekaman komunikasi antar pesaing dan bukti perjalanan menuju suatu

tempat yang sama antar pesaing. Selain itu, notulen rapat yang

menunjukkan pembicaraan mengenai harga, permintaan atau kapasitas

terpasang. Untuk bukti ekonomi, contohnya antara lain perilaku pelaku

usaha didalam pasar atau industri secara keseluruhan, dan bukti

perilaku yang memfasilitasi kartel seperti pertukaran informasi dan

adanya signal harga.

3. Kartel

Kartel berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan

harga komoditas tertentu atau organisasi perusahaan besar yang

memproduksi barang yang sejenis.12

Kartel adalah persekongkolan atau persekutuan diantara beberapa

produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi,

harga dan penjualannya serta untuk mendapatkan posisi monopoli.13

Kartel merupakan salah satu yang diterapkan diantara para

pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur

jumlah produksi mereka. praktik kartel lazim terjadi pada pasar dengan

12
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1993), hlm 643
13
Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Indonesia, Jakarta, Kencana, hlm 176
struktur oligopoli dimana hanya terdapat beberapa pelaku usaha

dengan pangsa pasar yang dominan. Keadaan ini menimbulkan

persaingan yang cukup sengit di pasar. Para pelaku usaha saling

berlomba untuk mendapatkan perhatian konsumen dengan berbagai

cara, misalnya memberikan potongan harga, meningkatkan pelayanan

dan mutu barang, promosi besar-besaran dan sebagainya.14

Perjanjian Kartel adalah Pengaturan produksi dan atau

pemasaran suatu barang dan atau jasa untuk mempengaruhi harga.

Pada umumnya terdapat beberapa karakteristik dari kartel. Pertama,

terdapat konspirasi antara pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan

harga. Ketiga, agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula

alokasi konsumen atau produksi atau wilayah. Keempat, adanya

perbedaan kepentingan diantara pelaku usaha, misalnya karena

perbedaan biaya. Oleh karena itu perlu adanya kompromi diantara

anggota kartel misalnya dengan adanya kompensasi dari anggota kartel

yang besar kepada mereka yang lebih kecil.15

Beberapa jenis kartel yang dikenal dalam persaingan usaha

adalah sebagai berikut :16

a) Kartel harga pokok (prijskartel)

Di dalam kartel harga pokok anggota-anggota menciptakan

peraturan diantara mereka untuk perhitungan kalkulasi harga

14
Andi Fahmi Lubis. et al., 2009, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, KPPU,
hlm 107
15
Ibid, hlm.107
16
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm 180-182
pokok dan besarnya laba. Pada kartel ini ditetapkan harga-harga

penjualan bagi para anggota kartel. Benih dari persaingan kerap

kali juga datang dari perhitungan laba yang akan diperoleh suatu

badan usaha. Dengan menyeragamkan laba, maka persaingan

diantara mereka dapat dihindarkan.

b) Kartel harga

Dalam kartel ini ditetapkan harga minimum untuk penjualan

barang-barang yang mereka produksi atau perdagangkan. Setiap

anggota tidak diperkenankan untuk menjual barang – barangnya

dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah

ditetapkan itu. Pada dasarnya anggota – anggota itu dibolehkan

untuk menjual diatas harga yang akan di tetapkan, akan tetapi

tanggung jawab sendiri.

c) Kartel kondisi atau syarat

Di dalam kartel ini terdapat penetapan di dalam syarat penjualan,

misalnya kartel juga menetapkan standar kualitas barang yang

dihasilkan atau dijual, menetapkan syarat – syarat pengiriman

apakah ditetapkan loco gudang, FOB, C&F, CIF, pembungkusnya

dan syarat – syarat pengiriman lainnya. Apa yang dikehendaki

adalah keseragaman diantara para anggota yang tergabung dalam

kartel tersebut. keseragaman tersebut perlu di dalam kebijaksanaan

harga, sehingga tidak akan terjadi persaingan diantara mereka.

d) Kartel rayon
Kartel rayon atau kadang – kadang disebut juga kartel

wilayah/daerah pemasaran berkaitan dengan perjanjian diantara

para anggotanya untuk membagi daerah pemasaran, misalnya atas

dasar wilayah tertentu atau dasar jenis barang. Penetapan wilayah

ini kemudian diikuti oleh penetapan harga untuk masing –masing

daerah. Dalam hal itu kartel rayon pun menentukan pula suatu

aturan bahwa setiap anggota tidak diperkenankan menjual barang –

barangnya di daerah lain. Dengan demikian dapat dicegah

persaingan diantara para anggota, yang mungkin harga barang –

barangnya berlainan

e) Kartel kontigentering

Kartel jenis ini juga disebut sebagai kartel jenis produksi.

Perjanjian pada kartel jenis ini menekankan pada pembatasan

produksi masing – masing anggotanya biasanya didasarkan atas

jumlah atau persentase tertentu dari total produksi. Tujuannya

untuk mengatur jumlah produksi yang beredar, sehingga harga bisa

dipertahankan pada tingkat tertentu. Biasanya perusahaan yang

memproduksi lebih sedikit dari pada jatah yang sisanya menurut

ketentuan, akan diberi premi hadiah. Akan tetapi, bila melakukan

hal yang sebaliknya maka akan didenda. Maksud dari peraturan ini

untuk mengadakan restriksi yang kental pada banyak persediaan,

sehingga harga jual barang – barang yang mereka jual dapat

dinaikkan. Ambisi kartel kontigentering biasanya untuk


mempermainkan jumlah persediaan barang dan dengan cara itu

harus berada dalam kekuasaannya.

f) Sindikat penjualan atau kantor penjualan

Di dalam kartel penjualan ditentukan bahwa penjualan hasil

produksi dari anggota harus melewati sebuah badan tunggal, yaitu

kantor penjualan pusat. Persaingan diantara mereka akan dapat

dihindarkan karenanya.

g) Kartel laba atau pool laba

Di dalam kartel laba, anggota kartel menentukan peraturan yang

berhubungan dengan laba yang mereka peroleh. Laba yang

diperoleh anggota kartel terlebih dahulu disetorkan ke kas pusat

(sistem pool) kemudian dibagikan kepada anggotanya berdasarkan

formula yang ditetapkan bersama. Misalnya bahwa laba kotor

harus disentralisasikan pada suatu kas umum kartel, kemudian laba

bersih kartel dibagi – bagikan dengan anggota kartel dengan

perbandingan yang tertentu pula.

4. KPPU

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli

dan Persaingan Tidak Sehat telah memberikan kewenangan kepada

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk melakukan penegakan

hukum persaingan usaha. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

dibentuk dengan tujuan untuk mencegah dan menindaklanjuti adanya


praktek monopoli dan untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang

sehat kepada para pelaku usaha di Indonesia. Disebutkan pada pasal 30

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat bahwa KPPU adalah suatu lembaga

independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta

pihak lain dan bertanggung jawab kepada Presiden.17

Atas dasar tugas dan wewenangnya, KPPU diberikan keleluasaan

dalam mengadili perkara persaingan usaha yang menjadikannya sebagai

lembaga negara independen serupa dengan lembaga peradilan yang sah

secara konstitusional di Indonesia atau dengan kata lain KPPU adalah

lembaga independen semu negara (quasi). Dengan adanya kewenangan

yang diberikan negara kepada KPPU untuk melakukan tindakan

penyidikan, penyelidikan, penuntutan, serta mengadili suatu perkara dalam

konteks persaingan usaha maka KPPU secara harfiah bersifat mandiri

dalam setiap kegiatannya yang terlepas dari pengaruh campur tangan

pihak lain bahkan kekuasaan Pemerintah. Meskipun KPPU mempunyai

fungsi penegakan atas Hukum Persaingan Usaha, namun KPPU bukanlah

lembaga peradilan khusus persaingan usaha. Dengan demikian KPPU

tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata, namun

hanya berbentuk administrasi.18

Kedudukan KPPU merupakan lembaga administratif karena

kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif,

17
Suyud Margono, “Hukum Anti Monopoli”, Jurnal Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) Sebagai Lembaga Pengawas Persaingan Usaha yang Independen, hal. 2.
18
Ibid, hlm 3
sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif. KPPU

diberi status sebagai pengawas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat. Status hukumnya adalah sebagai lembaga yang independen

yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah dan pihak lain

seperti yang disebutkan pada pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat.19

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini ialah

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian

hukum yang meletakkan hukum sebagai suatu bangungan pada sistem

norma dimana penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan sebuah

argumentasi, teori atau sebuah konsep terbaru sebagai bentuk analisis

deskriptif dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi.20

Penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan undang-

undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).

Pendekatan perundang-undangan bertujuan untuk menelaah semua

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum yang

19
Rachmadi Usman, 2013, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika,
hlm 35.
20
Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, 2015, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hal. 33
akan diteliti. Sedangkan pendekatan kasus dalam penelitian hukum

normatif bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum

yang dilakukan dalam praktik hukum.21

2. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari

studi pustaka, seperti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tersier. Adapun bahan hukum tersebut, dijelaskan sebagai

berikut:22

1. Bahan Hukum Primer merupakan bahan pustaka yang berisikan

mengenai peraturan perundang-undangan, antara lain:

a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

c. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun

2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara praktik Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

2. Bahan Hukum Sekunder merupakan bahan yang terkait dengan

penelitian ini sebagai penunjang bahan hukum primer yang dapat

membantu dalam proses analisis penelitian, antara lain:

a. Buku-buku ilmiah;

b. Jurnal-jurnal ilmiah;

c. Makalah-makalah ilmiah;

21
Ibid, hlm 185-191
22
Ibid. Hal 42-43
d. Hasil penelitian ilmiah;

e. Pendapat para ahli;

f. Situs internet resmi yaitu www.kppu.go.id

3. Bahan Hukum Tersier merupakan bahan hukum tambahan yang

digunakan untuk mencari makna dan arti dalam penelitian, antara

lain:

a. Kamus Besar Bahasa Indonesia;

b. Kamus Hukum Indonesia.

3. Narasumber

Guna menunjang penelitian ini diperlukan wawancara kepada

narasumber untuk mendapatkan pandangan berdasarkan kompetensi

yang dimilikinya atas obyek penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam teknik pengumpulan data

penelitian hukum normatif ialah dengan cara studi pustaka terhadap

bahan-bahan hukum yang telah terkumpul sebelumnya, baik bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier.23

1. Wawancara dengan ahli hukum persaingan usaha dan Hakim

2. Studi kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip, dan

literatur-literatur yang didapatkan melalui jurnal, buku, serta

internet.

5. Teknik Pengolahan Data

23
Ibid. Hal. 160
Setelah semua bahan-bahan hukum telah terkumpul, kemudian

dilakukan teknik pengolahan data agar penelitian dapat tersusun secara

sistematis.24 Teknik yang digunakan ialah dengan cara identifikasi,

analisis, klarifikasi, dan interprestasi terhadap bahan-bahan hukum

tersebut, sehingga dapat menjadi sebuah karya penelitian yang dapat

dipertanggungjawabkan.

6. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam tahap ini bersifat deskriptif.

Sifat analisis deskriptif ialah penelitian yang dilakukan oleh penulis

dengan cara identifikasi, analisis, klarifikasi, dan interprestasi terhadap

bahan-bahan hukum yang ada, bertujuan untuk memberikan sebuah

gambaran atau pemaparan terhadap suatu subjek atau objek penelitian

yang dilakukan.25

24
Ibid. Hal. 180
25
Ibid. Hal. 183
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999, Anti Monopoli, Jakarta, Grafindo

Persada

Andi Fahmi Lubis, Dkk, 2009, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan

Konteks, Jakarta, Creative Media

Arie Siswanto, 2002, Hukum Persaingan usaha, Jakata, Ghalia Indonesia

Budi Kagramanto, 2010, Mengenal Hukum Persaingan Usaha, Sidoarjo, Laras

Eddy O. S, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta, Erlangga

Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, 2015, Dualisme Penelitian Hukum

Normatif & Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Ningrum Natasya Sirait, 2003, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat,

Medan, Pustaka Press

Rachmadi Usman, 2013, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta,

Sinar Grafika

Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha Indonesia, Jakarta,

Kencana

Jurnal

Fatria Hikmatiar Al Qindy, “KAJIAN HUKUM TERHADAP KASUS KARTEL

MINYAK GORENG DI INDONESIA (Studi Putusan KPPU Nomor


24/KPPU-1/2009)”, Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Vol I, No 1

(Agustus 2018)

Hanif Nur Widhiyant, “PENDEKATAN PER SE ILLEGAL DAN RULE OF

REASON DALAM HUKUM PERSAINGAN” , ARENA HUKUM, Vol 8,

No 3, (Desember 2015)

Irna Nurhayati, “Kajian Hukum Persaingan Usaha: Kartel Antara Teori dan

Praktik”, Jurnal Hukum Bisnis Vol.30-No.II, (Tahun 2011)

Muh. Risnain, “EKSISTENSI LEMBAGA QUASI JUDISIAL DALAM SISTEM

KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA : KAJIAN TERHADAP

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA”. Jurnal Hukum dan

Peradilan, Vol 3, No 1 (Maret 2014)

Mutia Anggraini, “Penggunaan Indirect Evidence (Alat Bukti Tidak Langsung)

Oleh KPPU dalam Proses Pembuktian Dugaan Praktik Kartel di Indonesia

(Studi Di Komisi Pengawas Persaingan Usaha)”, Jurnal Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya, Malang, (2013)

Riris Munadiya, “Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) dalam Penangangan

Kasus Persaingan Usaha”, Jurnal Persaingan Usaha Edisi 5, KPPU

(Tahun 2011)

Sarah Fitriyah, “ANALISIS YURIDIS DAN PENGGUNAANINDIRECT

EVIDENCEDALAM KASUS KARTEL SEPEDA MOTOR DI

INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

INDONESIA”, Privat Law VOL 6, NO 1, (2018), Hlm 40


Sukarmi, “Pembuktian Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha”, Jurnal

Persaingan Usaha, Edisi 6, KPPU, (2011)

Sunarti Puspita Sari, “PROSES PEMBUKTIAN KARTEL DALAM HUKUM

PERSAINGAN USAHA DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BUKTI

TIDAK LANGSUNG (INDIRECT EVIDENCE)”, JOM Fakultas Hukum,

Vol IV, No 2, (Oktober 2017), Hlm 2-4

Udin Silalahi & Isabella Cynthia Edgina, ” PEMBUKTIAN PERKARA KARTEL

DI INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN BUKTI TIDAK

LANGSUNG (INDIRECT EVIDENCE) Kajian Putusan KPPU nomor 17

/KPPU-I/2010 dan Nomor 08/KPPU-I/2014 serta Putusan Nomor

294K/PDT.Sus/2012 dan Nomor 221K/Pdt.Sus-KPPU/2016”, Jurnal

Yudisial, Vol. 10 No. 3 (Desember 2017)

Veri Antoni, “PENEGAKAN HUKUM ATAS PERKARA KARTEL DI LUAR

PERSEKONGKOLAN TENDER DI INDONESIA”, Mimbar Hukum. Vol

31, No 1, (Februari 2019),

Disertasi, Tesis, Skripsi

Abdurrahim, 2017, “Penerapan Pasal 11 Undang-Undang Nomer 5. Tahun 1999

tentang Larangan Monopoli Dan Praktik Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pada Dua Putusan KPPU (Studi Kasus Perkara Nomor: 10/Kppu-L/2005

Dan 03/Kppu-I/200)”, (Skripsi yang diterbitkan oleh Universitas Gadjah

Mada)
Peraturan Perundang-undangan

R.I., Kitab Undang-undang Hukum Perdata

R.I., Undang-undang No 5 Tahun 1999 tentang “Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat”

R.I., Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang

“Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat”

Internet

Hukum Online, Berjuang Mencari Legitimasi Indirect Evidence, 24 November

2019, https: //www.ucnews.id/ news/ Berjuang -Mencari -Legitimasi -

Indirect-Evidence/ 2099612943090568.html,, (22:34)

Sutrisno Iwanto, 24 November 2019, http:// www.kppu.go.id /id /blog /2010/ 07/

sulitnya- membuktikan -praktik- kartel/,, (22:45)

OECD, Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement, 19 November

2019, http://www.oecd.org/competition/cartels/38704302.pdf,, (18:56)

Kamus

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai

Pustaka, 1993)

Anda mungkin juga menyukai