ANALISIS LAJU DEFORESTASI DI PULAU KALIMANTAN TAHUN
2000-2017
Wida Dial Husna
Wiwid0801@gmail.com
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Geografi Universitas Lambung Mangkurat
ABSTRAK
Hutan merupakan ekosistem kompleks yang mempunyai pengaruh terhadap hampir
setiap spesies yang ada di bumi. Hilangnya tutupan hutan akan menyebabkan bencana skala lokal maupun dunia. Hilangnya tutupan hutan sering disebut dengan istilah deforestasi. Pengertian deforestasi masih menjadi perbincangan karena hal ini akan dijadikan sebagai perhitungan dalam mencatat data luasan hutan. Deforestasi terjadi ketika areal hutan ditebang habis dan diganti dengan bentuk penggunaan lahan lainnya. Istilah lain deforestasi adalah penggundulan hutan yang biasanya dilakukan untuk mengubah fungsi lahan menjadi fungsi lain, seperti pertanian, peternakan, atau permukiman. Deforestasi sendiri akan mengurangi tutupan tajuk hingga batas ambang minimum yaitu 10% dalam waktu jangka panjang atau pendek. Dalam analisis ini bertujuan untuk mempelajari dan memahami tentang laju deforestasi hutan di pulau Kalimantan di tahun 2000-2017. Kata kunci : Hutan,deforestasi,kalimantan. A. LATAR BELAKANG Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan dampak ekologi yang sangat besar bagi Indonesia dan dunia. Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawati rkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72%. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar- besaran. Dewasa ini Indonesia adalah produsen utama kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, pulp dan kertas, disamping beberapa hasil perkebunan misalnya kelapa sawit, karet dan coklat. Kerusakan hutan di Indonesia masih tetap relative tinggi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan sektor kehutanan yang sangat pesan dan menggerakan ekspor bagi prekonomian telah mengorbankan hutan karena kegiatan eksploitasi yang tidak terkendali dan dilakukan secara massif tanpa memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan. Tekanan dari Hak Penguasa Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) terhadap eksploitasi hutan alam sudah mulai berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Buruknya kinerja HPH dan HTI ini tidak luput dari lemahnya kinerja pengurusan hutan dalam hal pengawasan dan supervise oleh pemerintah. Di Indonesia, terdapat peraturan yang mengatur tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan. Berdasarkan Peraturan Pemerintahan Pasal 74 UU Perseroan Terbatas No. 40/2007 menyatakan bahwa: 1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksuda pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. B. PEMBAHASAN
Peta lahan terbaru di pulau Kalimantan memberi informasi hilangnya
hutan setiap tahunnya mulai dari tahun 2000 hingga 2017 karena ekspansi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp (ditandai warna hitam pada peta) dan hilangnya hutan (perubahan warna hijau ke warna lain di peta). Hijau ke Putih = hilangnya lahan hutan, Hijau ke Hitam = penebangan hutan dan dikonversi menjadi perkebunan di tahun yang sama, Hijau menjadi Biru = hutan secara permanen bibuat menjadi bendungan PLTA.
Ketika publik berbicara tentang deforestasi di Indonesia dan
Malaysia, kelapa sawit sering menjadi kambing hitam. Tingkat permintaan minyak nabati serbaguna cukup tinggi diseluruh dunia yaitu menghasilkan produksi 87% dari pasokan global. Perkebunan kelapa sawit skala industri telah berkembang di Indonesia dan Malaysia dalam beberapa decade terakhir, seperti halnya perkebunan kayu pulp, terutama spesies akasia yang tumbuh cepat. Timbul pertanyaan, apakah hutan-hutan tua benar-benar diratakan untuk membuka jalan bagi perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp, atau apakah hutan tanaman dibudidayakan di lahan yang ditebangi di masa laut untuk keperluan lain-lain? Untuk menjawab pertanyaan itu, para ilmuwan di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menggunakan serangkai gambar satelit untuk memetakan perluasan perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp. Sebuah koleksi yang terbentang selama dua decade, gambar tersebut memperlihatkan hilangnya hutan tua Kalimantan/Borneo, pulau hampir setengah dari perkebunan kelapa sawit skala industry dunia berada. Setiap dari tahun 2000 hingga 2017, kami mengukur total kehilang an hutan, berapa banyak area perkebunan yang ditambahkan, dan berapa banyak hutan yang ditebangi dan dikonversi menjadi perkebunan di tahun yang sama, kata David Gaveau, peneliti dan penulis utama. “ini memungkinkan kami untuk menentukan jumlah hutan yang dibuka oleh perusahaan perkebunan.” Hasilnya adalah gambaran terperinci tentang ekspansi perkebunan dan hubungan antara ekspansi perkebunan dan hilangnya hutan. Timelapse deforestasi Kalimantan 2000-2017. Hijau menjadi putih = hilangnya hutan., hijau menjadi hitam = hutan ditebang dan dikonversi menjadi perkebunan pada tahun yang sama, hijau menjadi biru = hutan dirubah permanen menjadi bendungan PLTA. Menurut riset, antara tahun 2000 dan 2017 ditemukan 6,04 juta hektar hutan tua telah hilang di Kalimantan, turun 14%. Sekitar setengah dari daerah itu akhirnya dikonversi menjadi perkebunan industry, dan 92% dari hutan yang dikonversi diganti dengan perkebunan dalam jangka waktu satu tahun setelah ditebangi. Di periode yang sama, perkebunan industry meningkat secara keseluruhan sebesar 170%, atau 6,20 juta hektar, dimana 88% untuk kelapa sawit dan 12% untuk kayu pulp. Indonesia memiliki 73% dari luas wilayah pulau Kalimantan dan 3,74 hektar lahan hutannya telah hilang. Indonesia juga memiliki perkebunan terbanyak dengan total 4,35 juga hektar. Wilayah pulau Kalimantan milik Malaysia jumlah hutan hilangnya lebih kecil yaitu sebesar 2,29 juta hektar hutan dan 1,85 juta hektar digunakan untuk perkebunan. Namun, tidak semua pengembangan perkebunan mengakibatkan deforestasi. “Banyak pengembangan perkebunan, terutama di Indonesia telah terjadi di daerah yang dibuka sebelum tahun 2000, jauh sebelum perkebunan beroprasi,” kata Douglas Sheil, salah satu peneliti dari Universitas Ilmu Pengetahuan Norwegia. Jadi jelas, tidak semua perkembangan perkebunan menyebabkan konversi hutan menjadi perkebunan. Indonesia dan Malaysia telah menetapkan standar keberlanjut an dalam beberapa tahun terakhir- Standar Indonesia untuk Minyak Sawit Berkelanjutan (ISPO) dan Standar Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia ( MSPO) serta telah menerbitkan Kebijakan-kebijakan untuk menekankan laju konversi hutan menjadi perkebunan. Di tahun 2011 Indonesia meluncurkan moratorium nasional bagi perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp baru di hutan primer, yang telah diperpanjang beberapa kali sejak itu. Dan pada tahun 2016 Indonesia menerapkan moratorium emitter karbon terbesar yaitu lahan gambut. Penguatan kebijakan hokum bagi legalitas lahan masyarakat di Indonesia juga dapat mempersulit perusahaan mendapatkan lahan untuk perkebunan, penulis studi menyarankan. Penyebaran perkebunan menunjukkan dua puncak, satu di tahun 2009 dan satu lagi ditahun 2012. Para peneliti menemukan bahwa sejak 2012, terjadi penurunan terus-menerus dalam ekspansi perkebunan ke hutan tua. Studi ini mengungkapkan beberapa detail yang bisa menjelaskan dinamika di balik naik turunnya tingkat ekspansi. Setiap puncak ekspansi mengikuti satu tahun dimana ada puncak harga minyak sawit mentah. Harga itu telah turun sejak 2011, bertepatan dengan penurunan ekspansi perkebunan. Kehilangan hutan juga mencerminkan factor-faktor selain ekspansi perkebunan, seperti kebakaran hutan dan perluasan pertanian rakyat. Tahun 2017, tren penurunan ekspansi perkebunan, serta pembuka an hutan untuk perkebunan, mencapai tingkat terendah sejak 2003. Harga minyak sawit yang rendah, peningkatan pencegahan kebakaran di Indonesia dan kondisi cuaca yang lebih basah semuanya mungkin berkontribusi pada rendahnya laju deforestasi tahun 2017. “Tanah dan tenaga kerja juga menjadi semakin sulit untuk didapatkan dan dipertahankan di Kalimantan, kata Gaveau. “lebih jauh lagi, perhatian dari organisasi non-pemerintahan dan jurnalis, tekanan dari konsumen dan negara konsumen, dan pergeseran ekspansi ke wilayah lain di dunia, seperti Papua, Afrika dan Amerika Selatan, mungkin semua faktor ini telah menghambat ekspansi perkebunan.” Studi ini menunjukkan bahwa dimungkinkan untuk menggunakan citra satelit untuk menentukan bagaimana perubahan tutupan hutan dan perkebunan berkembang setiap tahun di konsesi tertenru, kata sheil. Data- data tersebut dimasukkan dalam atlas daring, yang akan diterbitkan bulan depan, yang dapat menunjukkan hubungan antara tutupan hutan dan ekspansi konsesi serupa mungkin dengan yang ada di lapangan. “Data ini dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan atas praktik industri mereka,” katanya. “Tentangnya adalah bahwa untuk sebagian kecil dari konsesi, kepemilikan tidak jelas.” Memastikan data akurat tentang batas kepemilikan dan konsesi akan membuat pemantauan menjadi lebih mudah tambahnya. “Perusahaan yang baik,” kata Sheil, “tidak ada ruginya dan pasti ada banyak keuntung an dengan memastikan transparansi.” Secara keseluruhan, kata para penulis, studi ini menunjukkan dasar untuk “optimisme yang berhati-hati” tentang kemajuan dalam memperlambat deforestasi di Kalimantan, tetapi “masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan masa depan hutan di Kalimantan.” C. KESIMPULAN Akibat terjadinya deforestasi di Hutan Kalimantan saat ini, menyebabkan berkurangnya wilayah jelajah bagi masyarakat hokum adat Dayak dalam menjalankan aktifitas perladangannya berpindah atau kearifan lokalnya. Deforestasi tersebut disebabkan oleh buruknya pengelolaan hutan pada era Orde Baru dan Pasca Orde Baru, yang sama- sama mengedepankan eksploitasi pada hutan dan mengakibatkan peminggiran masyarakat hokum adat. Sehingga kearifan lokal tersebut menjadi tidak arif atau bijaksana untuk dilaksanakan pada saat ini, bukan disebabkan oleh kearifan local itu sendiri tetapi pengelolaan hutan yang buruk pada saat Orde Baru dan Pasca Orde Baru , yang juga melahirkan tantangan-tantangan bagi masyarakat hokum adat dalam menjalankan kearifan lokalnya. Hutan yang merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu pengelolaan hutan dilaksanakan dengan dasar akhlak mulia untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat sehingga mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari. Pengelolaan hutan oleh negara berdasarkan perundang-undangan dalam prakteknya menyimpang karena adanya kebutuhan yang berbeda. Meski terdapat beragam pengakuan dan penghormatan terhadap kearifan local dalam perundang-undangan Indonesia saat ini, tetapi apabila pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan masih bersifat eksploitasi, menyebabkan tidak ada ruang untuk masyarakat untuk menjalankan kearifan lokalnya. D. DAFTAR PUSTAKA Ardhana, I. P. G. DAMPAK LAJU DEFORESTASI TERHADAP HILANGNYA KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA. Metamorfosa: Journal of Biological Sciences, 3(2), 120-129.
Assora, B. (2017). Upaya WWF-Indonesia dalam penanggulangan
deforestasi di Pulau Kalimantan melalui kerangka kerja Heart of Borneo Initiative (2007-2013).
Nawira, A. A., & Rumbokob, L. (2008). Sejarah dan kondisi deforestasi
dan degradasi lahan. Rehabilitasi hutan di Indonesia, 13.
Anwar, M., Pawitan, H., Murtilaksono, K., & Jaya, I. N. S. (2011).
Respons Hidrologi Akibat Deforestasi di DAS Barito Hulu, Kalimantan Tengah. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 17(3), 119-126.