PANCASILA
Disusun Oleh:
Nama : FAJRI AMELI PUTRA
NIM : B2A019032
UNIVERSITAS BENGKULU
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul
“Perspektif Negara Hukum Indonesia Berdasarkan Pancasila” dapat diselesaikan. Atas
bimbingan, motivasi, dukungan, dan doa yang telah diberikan, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya
makalah bisa terselesaikan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran maupun kritik yang membangun untuk penyempurnaan isi dan penyajian
dimasa yang akan datang. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan kontribusi yang berarti,
baik informasi maupun wawasan kepada semua pembaca. Akhirnya hanya kepada Allah Yang
Maha Kuasa penulis memohon semoga semua keikhlasan yang telah diberikan akan dibalas-Nya.
Amin.
Penulis.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
pembeda dengan ideologi negara lain, dan sekaligus sebagai dasar dan pedoman negara dalam
melaksanakan sistem pemerintahan Indonesia. Berdasarakan uraian diatas akan dibahas Perspektif
Negara Hukum Indonesia Berdasarkan Pancasila.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
pada Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 mengalami perubahan pada rumusan sila pertama
Pancasila yaitu dengan mencoret bagian kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”. 6 Dengan demikian, sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagaimana dalam rumusan kelima menurut pidato Soekarno. Di dalam perkembangannya,
bangsa Indonesia menyadari begitu maha pentingnya Pancasila, oleh sebab itu kedudukan
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sebagai dasar negara, sebagai falsafah
bangsa dan negara Indonesia, sebagai ideologi negara dan sebagai rechtsidee atau cita hukum
dalam keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum (Fais, 2018).
4
segala sumber hukum. Hal demikian, telah dikukuhkan oleh memorandum DPR-GR yang
kemudian diberi landasan yuridis melalui Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 jo Ketetapan MPR
No. V/MPR/1973 jo Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978. Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum dimaksudkan sebagai sumber dari tertib hukum negara Indonesia.
Menurut Roeslan Saleh, fungsi Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum mangandung
arti bahwa Pancasila berkedudukan sebagai:
a. Ideologi hukum Indonesia
b. Kumpulan nilai-nilai yang harus berada di belakang keseluruhan hukum Indonesia
c. Asas-asas yang harus diikuti sebagai petunjuk dalam mengadakan pilihan hukum di Indonesia,
d. Sebagai suatu pernyataan dari nilai kejiwaan dan keinginan bangsa Indonesia, juga dalam
hukumnya.
Keberadaan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum kemudian kembali
dipertegas dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 1 TAP MPR itu memuat tiga ayat:
a. Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-
undangan
b. Sumber hukum terdiri dari sumber hukum tertulis dan hukum tidak tertulis
c. Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana tertulis dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Pengaturan TAP MPR di atas lebih memperjelas maksud dari istilah sumber hukum dalam
sistem hukum di Indonesia bahwa yang menjadi sumber hukum (tempat untuk menemukan dan
menggali hukum) adalah sumber yang tertulis dan tidak tertulis. Selain itu, menjadikan Pancasila
sebagai rujukan utama dari pembuatan segala macam peraturan perundang-undangan. Supremasi
Pancasila dalam sistem hukum kembali ditemukan dalam UU No 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Pada Pasal 2 UU ini disebutkan “Pancasila
merupakan sumber segala sumber hukum negara”. UU tersebut kemudian diganti dengan UU No.
12 Tahun 2011 yang mengatur tentang hal yang serupa. Pada Pasal 2 UU ini tetap menegaskan hal
yang sama sebagaimana dalam UU NO. 10 Tahun 2004 bahwa Pancasila merupakan sumber
5
segala sumber hukum negara. Dengan demikian, keberadaan Pancasila kembali menjadi supreme
norm dalam sistem hukum negara Indonesia sehingga Pancasila sebagai suatu pandangan hidup,
kesadaran dan cita-cita hukum maupun cita-cita moral bangsa terlegitimasi secara yuridis (Indah,
2017).
Dengan uraian penjelasan ini, maka tidak dapat diragukan lagi bahwa fungsi Pancasila harus
dijadikan dasar dan haluan dalam menyusun segala kebijkan di Indonesia, baik dalam bidang
ekonomi, politik, dan pembangunan sumber daya manusia. Serta tentu juga Pancasila harus
difungsikan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Artinya dalam pembentukan segala aturan
hukum yang kelak akan diberlakukan sebagai hukum positif, harus mencerminkan nilai-nilai atau
kelima sila yang terkandung dalam Pancasila yang secara subtantif ada dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 (Fadli, 2017).
6
dalam UUD 1945 agar tidak menyimpang dari nilai-nilai yang menjadi dasar falsafah dan cita
negara. Pemegang kekuasaan negara dalam menjalankan kekuasaannya tentu harus berpedoman
pada nilai-nilai yang menjadi dasar falsafah dan cita negara Indonesia, yang sekaligus merupakan
moral ketatanegaraan.
Susunan Pancasila adalah hirarkis dan mempunyai bentuk piramidal, dan kalau dilihat dari
inti isinya, maka urutan-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam dan luas
isinya. Setiap sila yang di belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila yang di
depannya, dan jika urutan masing-masing sila dianggap mempunyai maksud demikian, maka di
antara lima sila ada hubungan yang mengikat satu kepada yang lain, sehingga Pancasila merupakan
satu kesatuan yang bulat. Dalam susunan hirarkis dan piramidal ini, maka Ketuhanan Yang Maha
Esa menjadi basis dari kemanusiaan (perikemanusian), persatuan Indonesia (kebangsaan),
kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah yang berkemanusiaan, berpersatuan (berkebangsaan), berkerakyatan dan
berkeadilan sosial, demikian seterusnya.
Yudi Latif mengemukakan bahwa sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-
kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat.
Setiap sila memiliki justifikasi historisitas, rasionalitas, dan aktualitasnya, yang jika dipahami,
dihayati, dipercayai dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian-pencapaian
agung peradaban bangsa. Pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, Pancasila
dapat dilukiskan sebagai berikut:
a. Nilai-nilai ketuhanan (religiositas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat
vertikal-transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara.
Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang memisahkan “agama” dan “negara”
dan berpretensi untuk menyudutkan peran agama ke ruang privat/komunitas. Negara menurut
alam Pancasila diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama,
sementara agama diharapkan dapat memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan
etika sosial, tetapi saat sama, Indonesia juga bukan “negara agama”, yang hanya
merepesentasikan salah satu (unsur) agama dan memungkinkan agama untuk mendikte negara.
b. Nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-
sifat sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika-politik
kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas yang mengarah
7
pada persaudaraan dunia itu dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi.
Keluar, bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya untuk
secara bebas-aktif “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Ke dalam, bangsa Indonesia dan memuliakan hak-hak
dasar warga dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan universal ini
adalah “adil” dan “beradab”.
c. Aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam
lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang
lebih jauh. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan ini, Indonesia adalah
negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan
dari kebhinekaan masyarakat Indonesia dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang
mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan, yang dalam
slogan negara dinyatakan dengan ungkapan “bhineka tunggal ika”.
d. Nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam
aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi
memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik
berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam
kerangka “musyawarah-mufakat”. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak
didikte oleh golongan mayoritas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elite politik dan
pengusaha (minorokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan
daya-daya nasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu.
e. Nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi
permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan
sosial.
Didasarkan pada asas bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara,
maka setiap aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia, haruslah mencerminkan nilai-nilai
luhur dan murni yang terkandung dalam masing-masing Sila Pancasila dan tentunya dituntun oleh
Sila Ketuhanan. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum identik dengan pokok-pokok
pikiran di Pembukaan UUD 1945.
8
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pancasila sebagai norma dasar berada pada puncak piramida norma, Pancasila menjadi
sumber tertib hukum atau yang lebih dikenal sebagai sumber dari segala sumber hukum. Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum dimaksudkan sebagai sumber dari tertib hukum negara
Indonesia. Pancasila harus dijadikan dasar dan haluan dalam menyusun segala kebijkan di
Indonesia, baik dalam bidang ekonomi, politik, dan pembangunan sumber daya manusia. Unsur-
unsur negara hukum Indonesia merupakan nilai yang dipetik dari seluruh proses lahirnya negara
Indonesia, dasar falsafah serta cita hukum negara Indonesia. Oleh sebab itu, kedudukan
Pembukaan UUD 1945 yang juga memuat rumusan Pancasila, menjadi sumber hukum tertinggi
bagi negara hukum Indonesia. Pembukaan UUD 1945 merupakan nilai abstraksi tertinggi dan nilai
yang terkandung dalam pembukaan merupakan kaedah penuntun penyusunan pasal-pasal dalam
UUD 1945 agar tidak menyimpang dari nilai-nilai yang menjadi dasar falsafah dan cita negara.
Pemegang kekuasaan negara dalam menjalankan kekuasaannya tentu harus berpedoman pada
nilai-nilai yang menjadi dasar falsafah dan cita negara Indonesia, yang sekaligus merupakan moral
ketatanegaraan.
9
DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, Disampaikan dalam Forum Dialog
Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Rl pada tanggal 22-24
Nopember 2011 di Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi Revisi, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2010,
h.107
Fadli Andi Natsif. 2017. Pancasila Dalam Perspektif Hukum Konstitusi Indonesia. Universitas
Islam Negeri (UIN) Makassar. Jurisprudentie | Volume 4 Nomor 2 Desember 2017.
Fais Yonas Bo’a. 2018. Pancasila sebagai Sumber Hukum dalam Sistem Hukum Nasional.
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Indah Yuni K. 2017. Pancasila Sebagai Dasar Negara, Kronologi Pancasila, Pengesahan Pancasila
Dan Perkembangan Pancasila. Universitas Negeri Semarang.
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2011.
10