Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuli mendadak atau sudden deafness atau sudden sensorineural hearing loss

(SSNHL) merupakan suatu kondisi hilangnya pendengaran sensori neural yang

lebih dari 30 dB pada tiga frekuensi berturut-turut dalam onset tiga hari, sering

unilateral dan bersifat idiopatik.1

Penyebab umum tuli mendadak sulit untuk diketahui secara pasti,

kemungkinan dapat disebabkan oleh iskemia koklea, infeksi virus, trauma kepala,

trauma bising yang keras, perubahan tekanan atmosfir, autoimun, obat ototoksik,

penyakit meniere dan neuroma akustik.1,2 Kerusakan pada tuli mendadak terutama

terjadi pada koklea dan biasanya bersifat permanen, kelainan ini termasuk dalam

keadaan darurat neurotologi.2

Pendekatan pada pasien dengan tuli mendadak harus diusahakan untuk

menyingkap penyebab ketulian mendadak dan menentukan keparahannya.

Penyebab kardiovaskuler, diabetik atau sebab iskemik lainnya harus disingkirkan.

Pemeriksaan otology dan audiologi serta CT-Scan perlu dilakukan untuk

membantu menentukan penyebab dan mengetahui keparahannya.3

Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak. Keadaan ini dapat

disebabkan oleh karena spasme, trombosis atau perdarahan arteri auditiva interna.

Pembuluh darah ini merupakan arteri ujung atau end artery, sehingga bila terjadi

1
gangguan pada pembuluh darah tersebut koklea akan sangat mudah mengalami

kerusakan. Iskemia dapat menyebabkan degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria

vaskularis dan ligamen spiralis. Kemudian diikuti dengan pembentukan jaringan

ikat dan penulangan. Beberapa jenis virus, seperti virus parotis, campak, influensa

B dan mononukleosis dapat menyebabkan kerusakan pada organ corti, membran

tektoria dan selubung myelin saraf akustik. Ketulian yang terjadi biasanya berat,

pada frekuensi sedang dan tinggi.2,3

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga

Telinga merupakan organ untuk pendengaran dan keseimbangan. Telinga

menerima dan mentransmisikan gelombang bunyi me otak dimana bunyi tersebut

akan dianalisa dan diinterpretasikan. Telinga dibagi dalam tiga bagian, yakni

telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.4

Gambar 2.1. Anatomi telinga5

3
1. Telinga luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga (auricula) dan liang atau

saluran telinga (meatus akustikus eksternus). Telinga luar berperan dalam

menangkap bunyi dari luar.

Daun telinga terdiri atas tulang rawan elastin dan kulit. Bagian-

bagian daun telinga adalah lobulus, heliks, anti heliks, tragus dan anti

tragus. Sedangkan liang atau saluran telinga luar merupakan saluran yang

berbentuk seperti huruf S. Pada 1/3 proksimal memiliki kerangka tulang

rawan yang disebut pars kartilagines dan 2/3 distal memiliki kerangka

tulang sejati atau pars osseus. Saluran telinga atau meatus akustikus

eksternus mengandung rambut-rambut halus dan kelenjar sebasea serta

kelenjar serumenalis.4

Gambar 2.2. Anatomi daun telinga6

4
2. Telinga tengah

Telinga tengah merupakan rang berisi udara di dalam par petrosa

ossis temporalis yang dilapisi oleh membran mukosa. Telinga tengah atau

cavm timpani terdiri atas membran timpani, tulang-tulang pendengaran

dan tuba eustachius yang menghubungkan telinga tengah dengan

nasofaring. Membran timpani memiliki pars flaksida dan pars tensa.

Membran timpani merupakan membrana fibrosa tipis yang berwarna

kelabu mutiara. Membrana ini terletak miring, menghadap ke bawah,

depan dan lateral. Permukaan membran timpani konkaf ke lateral. Pada

dasar cekungannya terdapat lekukan kecil yang disebut umbo, yang

terbentuk oleh ujung manubrium mallei. Bila membran timpani terkena

cahaya otoskop, bagian cekung ini menghasilkan “kerucut cahaya”, yang

memancarkan ke anterior dan inferior dari umbo. Membran timpani

berbentuk bulat dengn diameter kurang lebih 1cm. Pinggirnya tebal dan

melekat di dalam alur pada tulang.

Terdapat tiga tulang pendengaran (ossicula auditus) yakni maleus,

inkus dan stapes. Maleus merupakan tulang pendengaran terbesar yang

terdiri atas caput, collum, prosssus longum atau manubrium Prosessus

longus tulang maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat

pada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap

oval yang berhubungan dengan koklea.4

5
Gambar2.3. Membran timpani dan ossikula auditus7

3. Telinga dalam

Telinga bagian dalam atau labirintus terdiri dari labirin vestibular

dan koklea. Labirin vestibular tersusun atas utrikulus, sakulus dan kanalis

semisirkularis. Kanalis semisirkularis sendiri terbagi atas tiga, yaitu

kanalis semisirkularis lateral, posterior dan superior. Utrikulus dan

sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel rambut. Sel rambut ini

ditutupi oleh lapisan gelatinosa yang ditembus oleh silia. Pada lapisan ini

juga terdapat otolit yang mengandung kalsium dan memiliki berat jenis

lebih besar daripada endolimfe. Sedangkan koklea, yang berbentuk seperti

rumah siput, dan bermuara ke dalam bagian anterior vestibulum.

Umumnya terdiri atas satu pilar sentral, modiolus cochleae, dan modiolus

ini dikelilingi tabung tulang yang sempit sebanyak dua setengah putaran.

Setiap putaran berikutnya mempunyai radius yang lebih kecil sehingga

6
bangunan keseluruhannya berbentuk kerucut. Koklea memiliki 3 skala

yaitu, skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala vestibuli berisi

perilimfe dan dipisahkan dengan duktus koklearis (skala media) oleh

membrana reissner. Pada skala media atau duktus koklearis terdapatstria

vaskularis yang menghasilkan endolimfe. Pada skala media terdapat

organ corti yang terletak diatas membran basilar. Organ corti

mengandung organel penting untuk mekanisme pendengaran yaitu, sel

rambut luar dan sel rambut dalam. Sel rambut luar dan sel rambut dalam

memegang peranan penting pada perubahan energi mekanik menjadi

energi listrik. Skala timpani berisi perilimfe dan dipisahkan dengan

duktus koklearis oleh membran basilaris.4

2.2. Fisiologi Pendengaran

Proses pendengaran dimulai dengan getaran suara yang ditangkap oleh daun

telinga, getaran suara dialirkan ke liang telinga atau meatus akustikus eksternus

dan mengenai membran timpani, sehingga membran timpani bergetar. Getaran

diteruskan ke tulang-tuang pendengaran yakni maleus, inkus dan stapes yang

berhubungan satu sama lain. Stapes menggerakan foramen ovale yang jug

menggerakan perilimfe di dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan oleh

membran reissner yang mendorong endolimfe dan membran basilaris ke arah

bawah. Perilimfe dan skala timpani akan bergerak sehingga tingkap bundar akan

terdorong ke arah luar. Skala media yang menjadi cembung mendesak endolimfe

7
dan mendorong membran basilaris, sehingga menjadi cembung ke bawah dan

menggerakan perilimfe pada skala timpani. Pada waktu istirahat, ujung sel rambut

berkelok-kelok dan dengan berubahnya membran basilaris, ujung sel rambut itu

menjadi lurus. Rangsangan fisik tersebut diubah oleh adanya perbedaan ion

kalium dan ion natrium menjadi aliran listrik yang diteruskan ke cabang-cabang

nervus vestibulokoklearis (N.VIII), yang kemudian meneruskan rangsangan itu ke

pusat sensorik pendengaran di otak (area 39-40) melalui saraf pusat yang ada di

lobus temporalis.8

2.3. Tuli Mendadak

Defenisi

Tuli mendadak atau sudden deafness atau sudden sensorineural hearing loss

(SSNHL) didefenisikan sebagai entuk sensasi subjektif kehilangan pendengaran

sensorineural pada satu atau kedua telinga yang berlangsung secara cepat dalam

periode 72 jam, dengan kriteria audiometri berupa penurunan pendengaran ≥ 3 dB

sekurang-kurangnya pada tiga frekuensi berturut-turut, yang menunjukkan adanya

abnormalitas pada koklea, saraf auditorik, atau pusat persepsi dan pengolahan

impuls pada korteks auditorik di otak.1-3

8
Tabel 2.1. Derajat penurunan pendengaran menurut klasifikasi WHO 3

Derajat penurunan Ambang pendengaran Temuan kliinis


pendengaran pada audiometri nada
murni
0 = tidak ada penurunan 25 dB atau kurang Tidak ditemukan masalah
pendengaran pendengaran.
Mampu mendengar suara bisikan.
1 = penurunan pendengaran 26 – 40 dB Mampu mendengar dan mengulangi
ringan kata-kata pada suara percakapan biasa
dalam jarak satu meter.
2 = penurunan pendengaran 41 – 60 dB Mampu mendengar dan mengulangi
sedang kata-kata pada suara yang lebih keras
dari percakapan biasa dalam jarak satu
meter.
3 = penurunan pendengaran berat 61 – 80 dB Hanya mampu mendengar beberapa
kata pada suara teriakan di telinga yang
lebih baik (sehat).
4 = penurunan pendengaran 81 dB atau lebih Tidak mampu mendengar dan mengerti
sangat berat termasuk ketulian kata-kata pada suara teriakan keras.

Epidemiologi

Epidemiologi tuli mendadak berdasarkan jenis kelamin memiliki distribusi

perempuan dan laki-laki yang sama. Data gabungan dari beberapa penelitian

menunjukkan sedikit kecenderungan pria, yaitu 53%. Namun, satu penelitian

besar terhadap 1220 pasien menunjukkan jenis kelamin perempuan yang lebih

sedikit. Jenis kelamin sepertinya tidak menjadi suatu faktor risiko kejadian tuli

mendadak.9,10

Distribusi dari semua kelompok usia memiliki hubungan dengan gangguan

pendengaran mendadak, namun lebih sedikit kasus dilaporkan pada anak-anak dan

orang tua. Kejadian puncak tampaknya terjadi pada dekade keenam kehidupan.

Orang dewasa muda memiliki tingkat kejadian yang sama dengan orang dewasa

setengah baya atau lansia. Usia rata-rata pada presentasi berkisar antara 40-54

tahun.9,10

9
Etiologi dan Patogenesis

Etiologi tuli mendadak masih belum diketahui secara jelas. Suatu data

penelitian memperkirakan 1% kasus tuli mendadak disebabkan oleh kelainan

retrokoklea yang berhubungan dengan vestibular schwannoma, penyakit

demielinisasi, atau stroke, 10-15% kasus lainnya disebabkan oleh penyakit

meniere, trauma, penyakit autoimun, sifilis, penyakit lyme, atau fistula perilimfe.

Sekitar 85-90% kasus tuli mendadak bersifat idiopatik yang etiopatogenesisnya

tidak diketahui pasti. Terdapat empat teori utama yang mungkin dapat

menjelaskan penyebab tuli mendadak yaitu, infeksi virus, kelainan vaskular,

kerusakan membran intrakoklea dan kelainan imunologi.

1. Infeksi virus

Sebuah studi oleh Wilson (1986) menunjukkan adanya hubungan

antara infeksi virus dengan kejadian tuli mendadak. Dalam studi ini,

ditemukan tingkat serokonversi untuk virus herpes secara signifikan lebih

tinggi pada populasi pasien tuli mendadak. Pada studi lain, dilakukan

pemeriksaan histopatologi tulang temporal dan ditemukan kerusakan pada

koklea yang konsisten dengan infeksi virus. Terdapat pula temuan lain,

seperti hilangnya sel rambut dan sel penyokong, atrofi membran tektoria,

atrofi stria vaskularis, dan hilangnya sel neuron, yang berhubungan

dengan mumps virus, maternal rubella, dan virus campak.3,11

Virus mampu mencapai telinga dalam adalah dengan melalui aliran

darah (viremia). Pada fase awal virus akan dideposit ke dalam membran

koklea. Selain itu virus dapat masuk ke telinga dalam dari ruang

10
subaraknoidea melalui duktus koklearis masuk ke ruang perilimfe. Virus

akan memperbanyak diri dan melekat pada pembuluh darah. Hal ini

menyebabkan terjadinya pembengkakan dan proliferasi endotel sehingga

mengakibatkan penyempitan lumen pembuluh darah dan berkurangnya

aliran darah. Jika partikel virus terus menempel dalam pembuluh darah

maka akan terjadi hiperkoagulasi dan menyumbat pembuluh darah

kapiler. Jika hal ini terjadi pada arteri yang memperdarahi koklea maka

akan timbul keluhan tinitus dan ketulian. Bila sumbatan lebih proksimal,

maka akan terjadi gangguan pada fungsi vestibuler berupa vertigo.11

2. Kelainan vaskuler

Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak. Koklea

memperoleh asupan darah dari arteri labirintin atau arteri auditiva interna.

Pembuluh darah ini merupakan end artery yang tidak memiliki

vaskularisasi kolateral, sehingga jika terganggu dapat mengakibatkan

kerusakan koklea. Kelainan yang menyebabkan iskemia koklea atau oklusi

pembuluh darah seperti trombosis atau embolus, vasospasme atau

berkurangnya aliran darah dapat mengakibatkan degenerasi luas sel

ganglion stria vaskularis dan ligamen spiralis yang diikuti pembentukan

jaringan ikat dan penulangan.11

3. Kerusakan membran intrakoklea

Terdapat membran tipis yang memisahkan telinga dalam dari

telinga tengah dan ada membran halus yang memisahkan ruang perilimfe

dengan endolimfe dalam koklea. Robekan salah satu atau kedua membran

11
tersebut secara teoretis dapat menyebabkan tuli sensorineural. Kebocoran

cairan perilimfe ke dalam telinga tengah melalui tingkap bundar dan

tingkap lonjong diperkirakan menjadi salah satu penyebab ketulian

dengan membentuk hidrops endolimfe relatif atau menyebabkan robeknya

membran intrakoklea. Robekan membran intrakoklea memungkinkan

terjadinya percampuran perilimfe dan endolimfe sehingga mengubah

potensial endokoklea.

4. Kelainan imunologi

Tuli sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun

menunjukan adanya kehilangan pendengaran yang progresif. Gangguan

pendengaran pada sindrom Cogan, SLE, dan kelainan reumatik autoimun

lainnya telah lama diketahui. Sebagai pendukung lain teori ini, terdapat

sebuah studi prospektif pada 51 pasien tuli mendadak dan ditemukan

beberapa kelainan yang berkaitan dengan sistem imun (multiple immune-

mediated disorders).11,12

Gejala Klinis

Timbulnya tuli pada iskemia koklea dapat bersifat mendadak atau menahun.

Kadang bersifat sementara atau berulang dalam serangan, tetapi biasanya

menetap. Tuli dapat unilateral atau bilateral namun sebagian besar kasus bersifat

unilateral, hanya 1-2% kasus bilateral.2,3

12
Keluhan pasien pada umumnya berupa hilangnya pendengaran pada satu sisi

telinga saat bangun tidur. Kejadian hilangnya pendengaran dapat bersifat tiba-tiba,

berangsur-angsur hilang secara stabil atau terjadi secara cepat dan progresif.

Kehilangan pendengaran bisa bersifat fluktuatif, tetapi sebagian besar bersifat

stabil. Tuli mendadak ini sering disertai dengan keluhan sensasi penuh pada

telinga dengan atau tanpa tinitus, terkadang didahului oleh timbulnya tinitus.

Selain itu, pada 28-57% pasien dapat ditemukan gangguan vestibular, seperti

vertigo atau disequilibrium.2,3,13

Diagnosis

Tuli konduktif terjadi akibat impaksi serumen sehingga dapat ditangani

dengan evakuasi serumen, lain halnya dengan penanganan pada tuli sensorineural

yang lebih kompleks karena penyebabnya sering tidak diketahui. Menurut AAO-

HNS (American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery) guideline,

langkah pertama diagnosis tuli mendadak adalah membedakan tuli sensorineural

dan tuli konduktif melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, tes penala, pemeriksaan

audiometri, dan pemeriksaan penunjang lainnya.2,14

Ketulian atau hearing loss diklasifikasikan menjadi tuli konduktif, tuli

sensorineural, atau campuran. Tuli konduktif disebabkan oleh abnormalitas

telinga luar, membran timpani, rongga udara telinga tengah, atau tulang

pendengaran, struktur yang menghantarkan gelombang suara ke koklea.

13
Sementara itu, tuli sensorineural disebabkan oleh adanya abnormalitas koklea,

saraf auditorik, dan struktur lain yang mengolah impuls neural ke korteks

auditorik di otak.2,14

Pada anamnesis ditanyakan onset dan proses terjadinya ketulian (berlangsung

tiba-tiba, progresif cepat atau lambat, fluktuatif, atau stabil), persepsi subjektif

pasien mengenai derajat ketulian, serta sifat ketulian (unilateral atau bilateral).

Selain itu, ditanyakan juga gejala yang menyertai seperti sensasi penuh pada

telinga, tinitus, vertigo, disequilibrium, otalgia, otorea, nyeri kepala, keluhan

neurologis, dan keluhan sistemik lainnya. Riwayat trauma, konsumsi obat-obat

ototoksik, operasi dan penyakit sebelumnya, pekerjaan dan pajanan terhadap

kebisingan, serta faktor predisposisi lain yang penting juga perlu ditanyakan.2,14

Pada pemeriksaan fisik, dilakukan inspeksi saluran telinga dan membran

timpani untuk membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural. Penyebab tuli

konduktif berupa impaksi serumen, otitis media, benda asing, perforasi membran

timpani, otitis eksterna yang menyebabkan edema saluran telinga, otosklerosis,

trauma, dan kolesteatoma. Sebagian besar kondisi ini dapat didiagnosis dengan

pemeriksaan otoskopi. Di lain pihak, pemeriksaan otoskopi pada pasien tuli

sensorineural hampir selalu mendapatkan hasil normal. Pemeriksaan fisik umum

dan pemeriksaan neurologis juga dilakukan, terutama pada pasien dengan tuli

mendadak bilateral, tuli mendadak dengan episode rekuren, dan tuli mendadak

dengan defisit neurologis fokal, untuk mencari kelainan serta penyakit penyerta

lainnya. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan hum test dan tes penala untuk

membantu klinisi membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural sebelum

14
dilakukan pemeriksaan audiometri. Pada hum test, pasien diminta bersenandung

dan kemudian memberitahu apakah suara didengar lebih keras di satu telinga atau

sama di keduanya. Pada tuli konduktif, suara akan terdengar lebih keras pada

telinga yang sakit, sebaliknya pada tuli sensorineural suara akan terdengar lebih

keras pada telinga yang sehat. Menurut AAO-HNS guideline, tes penala dapat

digunakan untuk konfirmasi temuan audiometri. Tes penala berupa tes Weber dan

tes Rinne dilakukan dengan alat bantu garpu tala 256 Hz atau 512 Hz.

Pemeriksaan audiometri lengkap, termasuk audiometri nada murni, audiometri

tutur (speech audiometry) dan audiometri impedans (timpanometri dan

pemeriksaan refleks akustik), merupakan pemeriksaan yang wajib dilakukan

dalam mendiagnosis tuli mendadak. Hal ini sesuai dengan salah satu kriteria

definisi tuli mendadak menurut NIDCD 2003, yakni terdapat penurunan

pendengaran ≥30 dB sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi berturut-turut pada

pemeriksaan audiometri.14,15

Pemeriksaan audiometri diperlukan untuk membuktikan ketulian dan

menentukan derajat penurunan pendengaran. Hantaran tulang dan hantaran udara

dalam audiometri nada murni membantu menentukan jenis ketulian, baik tuli

konduktif, tuli sensorineural, maupun tuli campuran. Audiometri tutur dapat

digunakan untuk memverifi kasi hasil audiometri nada murni. Timpanometri dan

pemeriksaan refleks akustik juga dapat membedakan tuli konduktif dan tuli

sensorineural serta memberikan petunjuk tambahan untuk etiologi. Timpanometri

dapat membantu dalam mengeksklusi kemungkinan adanya komponen konduktif

pada pasien dengan penurunan pendengaran sangat berat.14,16

15
Pemeriksaan laboratorium dilakukan berdasarkan keluhan dan riwayat pasien

serta kemungkinan etiologi. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak spesifik dan

tidak direkomendasikan sebab jarang terbukti membantu menentukan etiologi tuli

mendadak. Pemeriksaan auditory brainstem response (ABR) dapat memberikan

informasi tambahan mengenai sistem auditorik. Pemeriksaan ABR ini berguna

mengevaluasi kemungkinan etiologi retrokoklea dan dapat digunakan untuk

menetapkan ambang batas pendengaran pada pasien yang sulit diperiksa, seperti

anak-anak dan orang tua. Pemeriksaan ABR memiliki sensitivitas tinggi dalam

mendeteksi lesi retrokoklea, tetapi terbatas hanya untuk mendeteksi vestibular

schwannoma yang berukuran lebih dari 1 cm. Sensitivitas ABR untuk mendeteksi

vestibular schwannoma ukuran kecil sekitar 8-42%. Akurasi ABR saat ini

menurun bila dibandingkan dengan akurasi diagnostik pencitraan resonansi

magnetik (MRI). Pemeriksaan MRI merupakan baku emas diagnosis vestibular

schwannoma. Pemeriksaan MRI dengan Gadolinium dinilai memiliki sensitivitas

tinggi dan digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan abnormalitas

retrokoklea, seperti neoplasma, stroke, atau penyakit demielinisasi. Pada pasien

dengan alat pacu jantung, implan logam, dan klaustrofobia, yang menjadi

kontraindikasi pemeriksaan MRI, dapat dilakukan alternatif lain berupa

pemeriksaan tomografi komputer (CT Scan), pemeriksaan ABR, atau keduanya.

Kedua pemeriksaan ini memiliki sensitivitas lebih rendah dibandingkan MRI

dalam mendeteksi kelainan retrokoklea.16,17

16
Gambar 2.4. Tes rinne dan weber18

Penatalaksanaan

1. Kortikosteroid sistemik

Berbagai penelitian penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli

mendadak telah dipublikasikan. Terdapat bukti laboratorium yang

menunjukkan adanya cascade inflamasi kematian sel pada pasien tuli

mendadak, yang dimodifikasi oleh terapi steroid. Kortikosteroid yang

diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena, dan/atau

17
intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason.

Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek antiinflamasi dan kemampuan

dalam meningkatkan aliran darah koklea Untuk hasil pengobatan yang

maksimal, dosis terapi prednison oral yang direkomendasikan adalah 1

mg/kg/hari dosis tunggal dengan dosis maksimum 60 mg/hari selama 10

sampai dengan 14 hari. Dosis ekuivalen prednison 60 mg setara dengan

metilprednisolon 48 mg dan deksametason 10 mg. Sebuah data yang

representatif menggunakan regimen pengobatan dengan dosis maksimum

selama 4 hari diikuti tapering off 10 mg setiap dua hari. Efek samping

prednison meliputi insomnia, dizziness, kenaikan berat badan, berkeringat,

gastritis, perubahan mood, fotosensitif, dan hiperglikemia. Efek samping

lain yang cukup berat, tetapi jarang ditemukan, yakni pankreatitis,

perdarahan, hipertensi, katarak, miopati, infeksi oportunistik, osteoporosis,

dan osteonekrosis. Oleh sebab itu, untuk meminimalkan risiko, pasien

dengan kondisi medis sistemik, seperti insulin-dependent diabetes mellitus

(IDDM), diabetes tidak terkontrol, hipertensi labil, tuberkulosis, dan ulkus

peptikum tidak disarankan diberi terapi kortikosteroid sistemik.14

2. Kortikosteroid intratimpani

Terapi kortikosteroid intratimpani dapat menjadi alternatif untuk

pasien diabetes yang tidak bisa mengonsumsi kortikosteroid sistemik.

Steroid diberikan dengan sebuah jarum melalui membran timpani atau

ditempatkan di telinga tengah melalui tabung timpanostomi atau

18
miringotomi yang kemudian diserap dan menyebar melalui membran

tingkap bundar ke telinga dalam.13,14

Keuntungan terapi kortikosteroid intratimpani adalah memberikan

steroid konsentrasi tinggi langsung pada jaringan target (perilimfe) dengan

efek samping sistemik minimal. Sebuah studi mengenai terapi kombinasi

kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan kortikosteroid intratimpani

menunjukkan hasil perbaikan fungsi pendengaran secara signifikan.

Namun, studi lainnya tidak menghasilkan perbedaan pemulihan

pendengaran antara terapi kombinasi kortikosteroid oral dan intratimpani

dengan terapi kortikosteroid oral saja. Steroid intratimpani yang biasa

diberikan adalah deksametason atau metilprednisolon. Konsentrasi

kortikosteroid yang digunakan bervariasi, sebagian besar studi

menganjurkan deksametason 10-24 mg/mL dan metilprednisolon 30

mg/mL atau lebih. Efek samping terapi intratimpani yang harus

diantisipasi adalah efek lokal, seperti otalgia, dizziness, vertigo, perforasi

membran timpani, atau infeksi (otitis media).13,14,19,20

3. Terapi oksigen hiperbarik

Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1

ATA (atmosphere absolute). Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan

oksigenasi koklea dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat

menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang lebih tinggi ke

jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan iskemik.

Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek yang kompleks pada

19
imunitas tubuh, transpor oksigen dan hemodinamik, peningkatkan respons

normal pejamu terhadap infeksi dan iskemia, serta mengurangi hipoksia

dan edema. Menurut guideline AAO-HNS, terapi oksigen hiperbarik

sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu hingga 3 bulan dari saat diagnosis

tuli mendadak. Pasien usia muda memberikan respons lebih baik

dibandingkan pasien yang lebih tua (usia bervariasi antara 50-60 tahun).

Hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam terapi oksigen hiperbarik

ini adalah manfaat dan risiko efek samping. Terapi ini memiliki efek

samping berupa kerusakan pada telinga, sinus, dan paru akibat perubahan

tekanan, miopia yang memburuk sementara, klaustrofobia, dan keracunan

oksigen. Dalam sebuah studi terhadap 80 pasien yang menjalani terapi

oksigen hiperbarik, 5 pasien (6,25%) mengalami barotrauma pada telinga

atau sinus.14

4. Terapi farmakologi lainnya

Guideline AAO-HNS tidak merekomendasikan penggunaan

sejumlah obat, seperti antivirus, trombolitik, vasodilator, substansi

vasoaktif, atau antioksidan, secara rutin pada pasien tuli mendadak untuk

menghindari pengobatan yang tidak perlu, efek samping pengobatan, dan

alasan biaya. Selain itu, belum ada bukti keberhasilan terapi dengan obat-

obat tersebut. Salah satu penyebab tuli mendadak adalah inflamasi oleh

infeksi virus. Mekanisme inflamasi berupa invasi virus secara langsung

pada koklea atau saraf koklea, reaktivasi virus laten dalam ganglion

spirale, dan infeksi yang dimediasi imun. Secara teoretis, inisiasi

20
pemberian antivirus disinyalir dapat membantu pemulihan fungsi

pendengaran. Beberapa percobaan yang telah dilakukan masih belum

mengungkap adanya manfaat penambahan terapi antivirus. Penggunaan

antivirus memiliki efek samping berupa mual, muntah, fotosensitif, serta

(jarang) perubahan status mental, dizziness, dan kejang.14

Selain infeksi virus, penyebab tuli mendadak lainnya adalah

iskemia koklea akibat kelainan vaskular, seperti perdarahan, emboli, dan

vasospasme. Agen vasoaktif, trombolitik, vasodilator, atau antioksidan

telah dicoba untuk meningkatkan aliran darah koklea, tetapi belum ada

bukti keberhasilan terapi. Prostaglandin E1 telah menunjukkan manfaat

sebagai vasodilator dan penghambat agregasi trombosit. Naftidrofuril juga

dapat menjadi vasodilator dengan efek antagonis terhadap serotonin dan

tromboksan A2. Ekstrak Ginkgo biloba yang mengandung flavones dan

terpenes dapat mencegah perkembangan radikal bebas dan berperan

sebagai vasodilator. Pentoksifilin menghambat agregasi trombosit dan

meningkatkan fleksibilitas eritrosit dan leukosit sehingga memperbaiki

viskositas darah, terutama pembuluh kapiler. Dekstran dapat memperbaiki

mikrosirkulasi karena memiliki efek antitrombotik. HES (hydroxyethyl

starch) mengurangi hematokrit dan agregasi platelet. Klinisi harus

waspada akan risiko efek samping berupa reaksi alergi, perdarahan,

hipotensi, aritmia, kejang, dan interaksi obat.13,14

21
Gambar 2.5. Pedoman umum terapi kortikosteroid untuk tuli mendadak14

Prognosis

Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor, yaitu usia, derajat

gangguan pendengaran, metode pengobatan yang digunakan, saat memulai

pengobatan. Usia lanjut, gangguan pendengaran sangat berat, dan adanya gejala

vestibular subjektif dikaitkan dengan rendahnya tingkat kesembuhan. Usia lanjut,

hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemia berkaitan dengan disfungsi mikrovaskuler

di koklea, yang merupakan faktor prognosis buruk. Saat mulai pengobatan lebih

22
dini (dalam 7 hari pertama) berhubungan dengan prognosis baik bagi pemulihan

fungsi pendengaran. Derajat gangguan pendengaran awal memengaruhi potensi

pemulihan pendengaran. Vertigo dapat digunakan sebagai indikator tingkat

keparahan lesi dan berkaitan dengan prognosis yang buruk. Namun, 28-65%

pasien tuli mendadak yang tidak diobati dapat mengalami pemulihan spontan.

Pasien tuli mendadak disarankan melakukan pemeriksaan audiometri ulang dalam

waktu 6 bulan setelah diagnosis, untuk menentukan keberhasilan terapi. Pasien

tuli mendadak yang telah mendapat pengobatan, namun ketulian tetap bersifat

permanen dan menimbulkan kecacatan, membutuhkan rehabilitasi auditorik.14-17

23
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Keluhan tuli mendadak merupakan suatu pengalaman yang menakutkan,

menyebabkan pasien segera mengunjungi dokter. Tuli mendadak adalah salah satu

kegawatdaruratan otologi yang memerlukan penanganan segera agar tidak

menimbulkan ketulian permanen. Tuli mendadak merupakan sensasi subjektif

hilangnya pendengaran yang berlangsung cepat dalam periode 72 jam, umumnya

unilateral dengan kriteria audiometri berupa penurunan pendengaran lebih dari 30

dB minimal pada 3 frekuensi berturut-turut. Sebagian besar kasus penyebabnya

idiopatik. Riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, tes penala, dan pemeriksaan

audiometri sangat diperlukan untuk membantu diagnosis dan menentukan derajat

ketulian. Metode penanganan tuli mendadak bervariasi, namun standar

pengobatan yang umumnya dipakai adalah terapi kortikosteroid, baik oral maupun

intratimpani di samping terapi oksigen hiperbarik dan terapi farmakologis lainnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Eisenman DJ, Arts HA. Effectiveness of treatment for sudden

sensorineural hearing loss. Arch otolaryngology head and neck surgery.

2000. 126: 1161-64

2. Mangunkusumo E, Soetjipto D, Dalam Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: FK UI

3. Novita S, Yuwono N. Diagnosis dan tatalaksana tuli mendadak. 2013

4. Snell,Richard S, . 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran; alih bahasa

Liliana Sugiharto; Ed 6. EGC : Jakarta.

5. Marieb, Elaine N. Human anatomy and physiology, 9th. 2011. Redwood,

Benjamins/Cummins Pub. Co. Inc.

6. F.Paulsen & J.Waschke. 2012. Atlas Anatomi Manusia “Sobotta”, Edisi

23. Jilid 2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

7. Martini, Nath. Anatomy and physiology, 9th. 2012. Upper saddle river,

Prentice Hall.

8. Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC

9. Sara SA, Teh BM, Friedland P. Bilateral sudden sensorineural hearing

loss: review. J Laryngol Otol. 2014 Jan. 128 Suppl 1:S8-15.

10. Chang SL, Hsieh CC, Tseng KS, et al. Hypercholesterolemia is correlated

with an increased risk of idiopathic sudden sensorineural hearing loss: a

historical prospective cohort study. Ear Hear. 2014 Mar-Apr. 35(2):256-

61.

25
11. Arslan N, Oguz H, Demirci M, Safak MA, Islam A, Kaytez SK, et al.

Combined intratympanic and systemic use of steroids for idiopathic

sudden sensorineural hearing loss. Otol Neurotol.

12. Toubi E, Ben-David J, Kessel A, Hallas K, Sabo E, Luntz M. Immune

mediated disorders associated with idiopathic sudden sensorineural

hearing loss. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2004;113(6):445-9.

13. Rauch SD. Clinical practice: Idiopathic sudden sensorineural hearing loss.

N Engl J Med. 2008;359:833-40.

14. Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR,

Barrs DM, et al. Clinical practice guideline sudden hearing loss:

Recommendations of the American Academy of Otolaryngology-Head

and Neck Surgery. Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;146:S1.

15. National Institute of Deafness and Communication Disorders. Sudden

Deafness.2003.

http://www.nidcd.nih.gov/health/hearing/Pages/sudden.aspx.

16. Cummings CW, Flint PW, Harker LA, Haughey BH, Richardson MA,

Robbins KT, et al. Cummings otolaryngology head and neck surgery. 4th

Ed. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005.

17. Rauch SD. Clinical practice: Idiopathic sudden sensorineural hearing loss.

N Engl J Med. 2008;359:833-40.

18. Bull TR. Color atlas of ENT diagnosis. 6th ed. London: Thieme, 2003

26
19. Ahn JH, Yoo MH, Yoon TH, Chung JW. Can Intratympanic

dexamethasone added to systemic steroids improve hearing outcome in

patients with sudden deafness? Laryngoscope. 2008;118(2):279-82.

20. Filipo R, Attanasio G, Russo FY, Viccaro M, Mancini P, Covelli E.

Intratympanic steroid therapy in moderate sudden hearing loss: A

randomized, triple-blind, placebo-controlled trial. Laryngoscope.

2013;123(3):774-8.

27

Anda mungkin juga menyukai