Adelia Yuantika
102013330
adeliayuantika@gmail.com
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510. Telp : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731
Abstrak
Schistomiasis merupakan suatu penyakit parasitik pada manusia dan vertebra yang
disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma. Schistosoma
haematobium dapat mengakibatkan fibrosis, struktur dan kalsifikasi traktus urinarius.
Schistosoma mansoni dan Schistosoma haematobium telah menimbulkan kematian sebanyak
280.000 orang per tahun di Afrika. Penyakit Schistomiasis dapat melemahkan dan menimbulkan
kelesuan yang menyeluruh pada penderita. Kelainan yang ditimbulkan oleh infeksi schistosoma
ini sangat berhubungan dengan respon imun hospes terhadapt antigen dari cacing dan telurnya.
Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut Schistosomiasis.
Kata Kunci : S.japonicum, S.mansoni, S.haematobium, Morfologi dan Daur hidup, Pencegahan
Schistosomiasis
Abstract
Keywords: S. japonicum, S.mansoni, S.haematobium, Morphology and life cycle, and Prevention
of Schistosomiasis disease
Pendahuluan
Schistomiasis merupakan suatu penyakit parasitik pada manusia dan vertebra yang
disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma. Schistosoma
merupakan kelas trematoda yang sering menimbulkan penyakit infeksi kronik pada lebih 200
juta orang di negara berkembang. Penyakit Schistomiasis umumnya terjadi di wilayah tropis
yang disebabkan cacing pipih darah (Blood flukes) genus Schistosoma. Terdapat lima spesies
yang dapat menginfeki manusia yaitu, Schistosoma mansoni, Schistosoma japonicum,
Schistosoma mekongi, Schistosoma haematobium, dan Schistosoma intercalatum.
Kelainan yang ditimbulkan oleh infeksi schistosoma ini sangat berhubungan dengan
respon imun hospes terhadapt antigen dari cacing dan telurnya. Respon imun hospes ini sendiri
dipengaruhi oleh faktor genetic, derajat infeksi, status co-infeksi dan status sensitisasi in utero
terhadapt antigen schistosoma. Respon imun penderita Schistomiasis mempengaruhi perjalanan
penyakit, antara lain menimbulkan perubahan patologi berupa pembentukan granuloma dan
gangguan organ, mempunyai proteksi terhadap kejadian infeksi berat atau bahkan cacing
Schistosoma dapat bertahan selama bertahun-tahun meskipun hospes mempunyai respon imun
yang kuat.1-4
2. Uji Serologis
Tes-tes imunodiagnosis dapat digunakan bila hasil pemeriksaan urin atau tinja negatif atau
diperkirakan adanya infeksi ektopik. Hasil yang akurat diperoleh setelah terpajang 6-8 minggu
dengan air yang tercemar dengan serkaria. Hasil tes tidak ada korelasi dengan beratnya infeksi.
Tes antigen dari darah dan urine sensitif dapat membedakan infeksi baru atau lama. Hilangnya
antigen yang beredar 5-10 hari pasca terapi menandakan kesembuhan.6
Diagnosis yang diambil adalah Schistosomiasis yang disebabkan oleh parasit spesies
Schistosoma japonicum. Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing,
kucing, rusa, tikus sawah, sapi, babi, rusa dan lain-lain. Parasit ini pada manusia menyebabkan
oriental schistosomasis, skistosomiasis japonika, penyakit Katayama atau penyakit demam
keong. Cacing ini ditemuka di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam,Malaysia,
dan Indonesia. Di Indonesia hanya di temuka di Sulawesi Tengah yaitu daerah danau Lindu dan
lebah Napu.7
Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur didalam tinja atau dalam jaringan biopsi
seperti biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis.
Reaksi serologi yang biasa dipakai adalah Circuoval precipitin test, indirect haemagghlutination
test, Complementfixation test, Fluorescent antibody test dan Enzym linked immuno sorbent
assay.7
Diagnosis Banding
Etiologi
Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit schistosoma, yaitu sejenis
parasit berbentuk cacing yang menghuni pembuluh darah usus atau kandung empedu orang yang
dijangkiti. Schistosomiasis diperoleh dari berenang, menyeberangi, atau mandi di air bersih yang
terkontaminasi dengan parasit yang bebas berenang. Schistosoma berkembang biak di dalam
keong jenis khusus yang menetap di air, dimana mereka dilepaskan untuk berenang bebas di
dalam air. Jika mereka mengenai kulit seseorang, mereka masuk ke dalam dan bergerak melalui
aliran darah menuju paru-paru, dimana mereka menjadi dewasa menjadi cacing pita dewasa.
Cacing pita dewasa tersebut masuk melalui aliran darah menuju tempat terakhir di dalam
pembuluh darah kecil di kandung kemih atau usus, dimana mereka tinggal untuk beberapa tahun.
Cacing pita dewasa tersebut meletakkan telur-telur dalam jumlah besar pada dinding
kandung kemih atau usus. Telur-telur tersebut menyebabkan jaringan setempat rusak dan
meradang, yang menyebabkan borok, pendarahan, dan pembentukan jaringan luka parut.
Beberapa telur masuk ke dalam kotoran(tinja)atau kemih. Jika kemih atau kotoran pada orang
yang terinfeksi memasuki air bersih, telur-telur tersebut menetas, dan parasit memasuki keong
untuk mulai siklusnya kembali. Schistosoma mansoni dan schistosoma japonicum biasanya
menetap di dalam pembuluh darah kecil pada usus. Beberapa telur mengalir dari sana melalui
aliran darah menuju ke hati. Akibatnya peradangan hati bisa menyebabkan luka parut dan
meningkatkan tekanan di dalam pembuluh darah yang membawa darah antara saluran usus dan
hati (pembuluh darah portal). Tekanan darah tinggi di dalam pembuluh darah portal (hipertensi
portal) bisa menyebabkan pembesaran pada limpa dan pendarahaan dari pembuluh darah di
dalam kerongkongan.
Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5-19,5
mm x 0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat tonjolan
halus sampai kasar, tergantung spesiesnya. Di bagian ventral badan terdapat canalis
gynaecophorus, tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada di dalam
pelukan cacing jantan. Cacing betina badannya lebih halus dan panjang, berukuran 16,0 – 26,0
mm x 0,3 mm. Pada umunya uterus 50 – 300 butir telur. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh
darah terutama dala kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan selaput lendir usus atau
kandung kemih.7
Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunyai operkulum.
Telur cacing Schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi duri tergantung pada spesiesnya. Telur
berukuran 95 – 135 x 50 – 60 mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah,
bermigrasi ke jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk kemudian
ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas di dalam air, larva yang keluar disebut
mirasidium.7
Schistosoma japonicum cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5cm dan betina kira-
kira 1,9 cm, hidupnya di vena mesenterica superior. Telurnya ditemukan di dinding usus halus
dan juga di alat-alat dalam seperti hati,paru dan otak. Schistosoma mansoni cacing dewasa jantan
berukuran kira-kira 1 cm dan betina kira-kira 1,4 cm. Pada badan cacing jantan S.mansoni
terdapat tonjolan yang lebih kasar bila di bandingkan dengan S.japonicum dan S.haematobium.
badan S.japonicum mempunyai tonjolan yang lebih halus. Tepat hidupnya di vena, kolon dan
rectum. Telur juga tersebar di alat-alat lain seperti hati,otak dan paru. Schhistosoma
haematobium cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,3 cm dan betina kira-kira 2,0 cm.
Hidupnya di vena panggul kecil terutama di vena kandung kemih. Telur ditemukan di urin dan
alat-alat dalam lainnya, juga di alat kelamin dan rectum.7
Cacing ini hanya mempunyai satu hospes perantara yaitu keong air, tidak dapat hospes
perantara kedua. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong air dan berkembang menjadi
sporokista I dan sporokista II kemudian menghasilkan serkaria yang banyak. Serkaria adalah
bentuk infektif cacing schistosoma. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit
pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan
untuk infeksi adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menebus kulit, kemudian masuk ke dalam
kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan,lalu paru dan kembali ke
jantung kiri kemudian masuk ke sistem peredaran darah besar, ke cabang-cabang vena portae dan
vena usus atau vena kadung kemih kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi.7
Gambar 1. Daur hidup skistosoma.
Epidemiologi
Kelompok umur yang terkena pada umumnya adalah antara 5-50 tahun, dapat pula
ditemukan infeksi pada umur lebih muda. Penanggulangan penyakit ini sampai sekarang
terutama ditekankan pada pengobatan masal yang diberikan 6 bulan sekali. Bila prevalensi sudah
turun di bawah 5%, dapat diberikan pengobatan selektif. Walaupun demikian pemberantasan
hospes perantara, baik kesehatan lingkungan dan penerangan kesehatan sedapat mungkin harus
diterapkan.Schistosoma mansonia: Distribusi ditemukan di Afrika, Arab, Mesir, Amerika Selatan
dan Tengah.Schistosoma hematobium: Ditemukan di Afrika, Spanyol, Arab.8,9
Patofisiologis
Serkaria
Penetrasi serkaria pada kulit menyebabkan dermatitis alergika di tempat masuknya. Pada
stadium ini kelainan kulit berupa eritema dan papula dengan rasa gatal dan panas 2-3 hari pasca-
infeksi dan disebut “swinner’s itch”, paling sering disebabkan oleh S. mansoni dan S. japonicum.
Bila jumlah serkaria yang menembus kulit cukup banyak, maka dapat terjadi dermatitis (cercarial
dermatitis) yang akan sembuh sendiri dalam lima hari. Gambaran klinis toksemia berat disertai
demam tinggi dapat terjadi, terutama infeksi yang berulang.
Keluhan berupa lemah, malaise, anoreksi, mual dan muntah, sefalgia, mialgia dan
artralgia. Diare akibat adanya keadaan hipersensitif terhadap cacing, serta sakit perut dan
tenesmus kadang-kadang ditemukan. Gejala toksemia dapat berlangsung sampai tiga bulan.
Hepatosplenomegali disertai nyeri tekan dapat pula ditemukan.12
Sistosomula
Sistosomula merupakan serkaria tidak berekor yang diangkut melalui darah atau limfatik
ke paru-paru dan jantung. Infeksi berat dapat menyebabkan gejala seperti demam dan batuk.
Eosinofilia bisa juga ditemukan.12
Cacing dewasa
Sistosoma dewasa tidak memperbanyak diri dalam tubuh manusia. Di dalam darah vena,
cacing jantan dan betina kawin, kemudian betina bertelur 4-6 minggu setelah penetrasi serkaria.
Cacing dewasa jarang bersifat patogen. Cacing betina dewasa dapat hidup sekitar 3-8 tahun
bahkan lebih dari 30 tahun dan bertelur sepanjang hidupnya, namun tidak merusak karena hanya
telur-telurnya saja yang dapat merusak organ.12
Komplikasi
Pencegahan (Preventif)
Jangan berenang atau menyebrangi air tawar dinegeri-negeri dimana terjadi sistosomiasis.
Minum air yang aman. Air dari kanal, danau, sungai langsung tidak diminum.
Air mandi semestinya dihangatkan dulu selama 5 menit, pada suhu 1500 F
Menggunakan handuk yang kering
Infeksi dicegah dengan menggunakan pakaian yang tepat saat bekerja di lapangan dan
menghindari air yang terkontaminasi.
Program pengendalian dengan membasmi siput, atau pengobatan massal, dapat
mengendalikan penyakit ini jika tersedia sumber daya yang mencukupi, seperti yang telah
di lakukan di Cina dan Jepang.6,13
Prognosis
Dengan terapi pada infeksi dini hasilnya sangat baik. Kelainan patologi dari hepar, ginjal dan
usus membaik dengan pengobatan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemerikaan penunjang maka wanita
25 tahun tersebut menderita sistosomiasis. Di Indonesia sendiri paling banyak adalah disebabkan
oleh S. Japanicum dan hanya mempunyai satu hospes perantara yaitu keong air. Penularan
penyakit ini melalui penetrasi kulit. Diagnosis penyakit ini adalah dengan melakukan
pemeriksaan tinja dan urin. Prognosisnya baik dengan terapi yang baik dan cepat.
Daftar Pustaka
1. Ross GA, Vickers D, Olds RG, Shah MS, McManus PD. Katayama Syndrome.
Lencet Infect Dis 2007;2018-24
2. Natadisastra D, Kodyat S. Penyakit oleh Trematoda Darah. Parasitologi Kedokteran
Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Cetakan I. Jakarta: Penerbik Buku
Kedokteran EGC;2009:171-87
3. Pearce EJ, MacDonald Sm. The Immunobiology Schistomiasis. Nature Review
Immunology;2002:2:499-511
4. Nurul R,Rau MJ, Anggraini L. Analisis Faktor Risiko Kejadian Schistomiasis di Desa
Puroo. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2016;7(1):1-12
5. Gleadle J. Pengambilan anamnesis. Dalam : At a Glance Anamnesis danPemeriksaan
Fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h.1-17.
6. Sudoyo AW, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing; 2009. h. 2986-92.
7. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran.
Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2008.h.61-70.
8. Staf Pengajar Departemen parasitologi FKUI. Buku ajar parasitologi kedokteran.
Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia; 2010. h.61-73.
9. Zaman V. Atlas parasitologi kedokteran. Edisik ke-2. Jakarta: Hipokrates; 1984. h.
148-55.
10. Prianto J, Tjahayu, Darwanto. Atlas parasitologi kedokteran. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama; 2010. h. 64-9.
11. Brooks GF, et al. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, & aldelberg. Edisik ke-
25. Jakarta: EGC; 2012. h. 728-30.
12. Mubin AH. Sistosomiasis (bilharziasis). Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.h. 789-94.
13. Gillespie S, Bamford K. At a glance: mikrobiologi medis dan infeksi. Edisi ke-3.
Jakarta: Penerbit Erlangga; 2016.h.90-1.