Anda di halaman 1dari 13

Infeksi yang disebabkan Schistosoma dan Pencegahannya

Adelia Yuantika
102013330
adeliayuantika@gmail.com
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510. Telp : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731

Abstrak
Schistomiasis merupakan suatu penyakit parasitik pada manusia dan vertebra yang
disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma. Schistosoma
haematobium dapat mengakibatkan fibrosis, struktur dan kalsifikasi traktus urinarius.
Schistosoma mansoni dan Schistosoma haematobium telah menimbulkan kematian sebanyak
280.000 orang per tahun di Afrika. Penyakit Schistomiasis dapat melemahkan dan menimbulkan
kelesuan yang menyeluruh pada penderita. Kelainan yang ditimbulkan oleh infeksi schistosoma
ini sangat berhubungan dengan respon imun hospes terhadapt antigen dari cacing dan telurnya.
Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut Schistosomiasis.

Kata Kunci : S.japonicum, S.mansoni, S.haematobium, Morfologi dan Daur hidup, Pencegahan
Schistosomiasis

Abstract

Schistomiasis is a parasitic disease in humans and vertebrae caused by worm infections


belonging to the genus Schistosoma. Schistosoma haematobium may result in fibrosis, structure
and calcification of the urinary tract. Schistosoma mansoni and Schistosoma haematobium have
caused deaths of 280,000 people per year in Africa. Schistomiasis disease can weaken and cause
a complete lethargy in patients. The abnormality caused by this schistosoma infection is closely
related to the host's immune response to antigen from the worms and its eggs. The name of the
disease caused by this worm is called Schistosomiasis.

Keywords: S. japonicum, S.mansoni, S.haematobium, Morphology and life cycle, and Prevention
of Schistosomiasis disease
Pendahuluan

Schistomiasis merupakan suatu penyakit parasitik pada manusia dan vertebra yang
disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma. Schistosoma
merupakan kelas trematoda yang sering menimbulkan penyakit infeksi kronik pada lebih 200
juta orang di negara berkembang. Penyakit Schistomiasis umumnya terjadi di wilayah tropis
yang disebabkan cacing pipih darah (Blood flukes) genus Schistosoma. Terdapat lima spesies
yang dapat menginfeki manusia yaitu, Schistosoma mansoni, Schistosoma japonicum,
Schistosoma mekongi, Schistosoma haematobium, dan Schistosoma intercalatum.

Schistosoma mansoni, Schistosoma japonicum, Schistosoma mekongi dan Schistosoma


intecalatum menimbulkan penyakit hepar kronik dan fibrosis intestinal. Schistosoma
haematobium dapat mengakibatkan fibrosis, struktur dan kalsifikasi traktus urinarius.
Schistosoma mansoni dan Schistosoma haematobium telah menimbulkan kematian sebanyak
280.000 orang per tahun di Afrika. Penyakit Schistomiasis dapat melemahkan dan menimbulkan
kelesuan yang menyeluruh pada penderita.

Kelainan yang ditimbulkan oleh infeksi schistosoma ini sangat berhubungan dengan
respon imun hospes terhadapt antigen dari cacing dan telurnya. Respon imun hospes ini sendiri
dipengaruhi oleh faktor genetic, derajat infeksi, status co-infeksi dan status sensitisasi in utero
terhadapt antigen schistosoma. Respon imun penderita Schistomiasis mempengaruhi perjalanan
penyakit, antara lain menimbulkan perubahan patologi berupa pembentukan granuloma dan
gangguan organ, mempunyai proteksi terhadap kejadian infeksi berat atau bahkan cacing
Schistosoma dapat bertahan selama bertahun-tahun meskipun hospes mempunyai respon imun
yang kuat.1-4

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis adalah bagian terpenting dalam praktek dokter sehari-hari,terutama anamnesis


keluhan utama. Dari anamnesis kita bisa mendapatkan suatu informasi untuk mencapai suatu
diagnosis banding.5 Pada skenario diceritakan bahwa pasien seorang perempuan berusia 25 tahun
datang dengan keluhan demam sejak 1 bulan yang lalu. Dari anamnesis didapatkan keluhan
utama demam sejak 1 bulan yang lalu. Diketahui pasien seorang relawan, pasien berpergian ke
Palu untuk membantu korban gempa disana. Riwayat penyakit sekarang, keluhan disertai diare,
Buang air besar berdarah, malaise. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien mengalami
hepatomegali. Pemeriksaan fisik lainnya normal. Pemeriksaan penunjang, ada pemeriksaan
eosinofilia dan permeriksaan tinja ditemukan telur berbentuk bulat warna kuning dengan
tonjolan di bagian lateral kutub. Diagnosis yang diambil adalah Schistosomiasis yang disebabkan
oleh parasit spesies Schistosoma japonicum. Untuk differential diagnosis adalah Schistosomiasis
yang disebabkan oleh parasit spesies Schistosoma mansoni dan Schistosoma haematobium.
Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Tinja dan Urine


Ditemukannya telur-telur dalam ekskreta (tinja dan urine) atau biopsi mukosa merupakan suatu
diagnosis pasti. Pada pemerikasaan lab ada eosinophilia. Pada S. Hematobium lebih sering
ditemukan dalam sedimen urine, kurang dalam tinja. Urine dikumpulkan 24 jam atau antara
09.00 pagi hingga jam 14.00 siang. Telur-telur dapat juga ditemukan dengan biopsi mukosa buli-
buli dan hati. Pada infeksi S. Mansonil dan S. Japonicum telur-telur dapat ditemukan dengan
pemeriksaan tinja secara langsung atau dengan cara konstentrasi atau kuantitatif Kato-Katz.
Dikatakan infeksi berat bila ditemukan telur lebih 400 butir dalam 1 gram tinja.

2. Uji Serologis
Tes-tes imunodiagnosis dapat digunakan bila hasil pemeriksaan urin atau tinja negatif atau
diperkirakan adanya infeksi ektopik. Hasil yang akurat diperoleh setelah terpajang 6-8 minggu
dengan air yang tercemar dengan serkaria. Hasil tes tidak ada korelasi dengan beratnya infeksi.
Tes antigen dari darah dan urine sensitif dapat membedakan infeksi baru atau lama. Hilangnya
antigen yang beredar 5-10 hari pasca terapi menandakan kesembuhan.6

Diagnosis Kerja (Working Diagnosis)

Diagnosis yang diambil adalah Schistosomiasis yang disebabkan oleh parasit spesies
Schistosoma japonicum. Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing,
kucing, rusa, tikus sawah, sapi, babi, rusa dan lain-lain. Parasit ini pada manusia menyebabkan
oriental schistosomasis, skistosomiasis japonika, penyakit Katayama atau penyakit demam
keong. Cacing ini ditemuka di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam,Malaysia,
dan Indonesia. Di Indonesia hanya di temuka di Sulawesi Tengah yaitu daerah danau Lindu dan
lebah Napu.7
Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur didalam tinja atau dalam jaringan biopsi
seperti biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis.
Reaksi serologi yang biasa dipakai adalah Circuoval precipitin test, indirect haemagghlutination
test, Complementfixation test, Fluorescent antibody test dan Enzym linked immuno sorbent
assay.7

Diagnosis Banding

Schistosomiasis yang disebabkan oleh parasit spesies Schistosoma mansoni dan


Schistosoma haematobium. Schistosoma Mansoni : Hospes definitif adalah manusia dan kera
baboon di Afrika sebagai hospes reservoar. Pada manusia cacing ini menyebabkan
skistosomiasis usus. Cacing ini ditemukan di Afrika, berbagai negara Arab (Mesir), Amerika
Selatan dan Tengah.7 Kelainan dan gejala yang ditimbulkannya sama seperti pada S. japonicum,
akan tetapi lebih ringan. Pada penyakit ini splenomegali dapat menjadi berat sekali.7

Schistosoma haematobium: Hospes definitif adalah manusia. Cacing ini menyebabkan


skistosomiasis kandung kemih. Baboon dan kera lain dilaporkan sebagai hospes reservoar.
Cacing ini ditemukan di Afrika, Spanyol dan di berbagai negara Arab (Timur Tengah, Lembah
Nil), tidak ditemukan di Indonesia.7 Kelainan terutama ditemukan di dinding kandung kemih.
Gejala yang ditemukan adalah hematuria dan disuria bila terjadi sistitis. Sindrom disentri
ditemukan bila terjadi kelainan di rektum.7

Etiologi

Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit schistosoma, yaitu sejenis
parasit berbentuk cacing yang menghuni pembuluh darah usus atau kandung empedu orang yang
dijangkiti. Schistosomiasis diperoleh dari berenang, menyeberangi, atau mandi di air bersih yang
terkontaminasi dengan parasit yang bebas berenang. Schistosoma berkembang biak di dalam
keong jenis khusus yang menetap di air, dimana mereka dilepaskan untuk berenang bebas di
dalam air. Jika mereka mengenai kulit seseorang, mereka masuk ke dalam dan bergerak melalui
aliran darah menuju paru-paru, dimana mereka menjadi dewasa menjadi cacing pita dewasa.
Cacing pita dewasa tersebut masuk melalui aliran darah menuju tempat terakhir di dalam
pembuluh darah kecil di kandung kemih atau usus, dimana mereka tinggal untuk beberapa tahun.
Cacing pita dewasa tersebut meletakkan telur-telur dalam jumlah besar pada dinding
kandung kemih atau usus. Telur-telur tersebut menyebabkan jaringan setempat rusak dan
meradang, yang menyebabkan borok, pendarahan, dan pembentukan jaringan luka parut.
Beberapa telur masuk ke dalam kotoran(tinja)atau kemih. Jika kemih atau kotoran pada orang
yang terinfeksi memasuki air bersih, telur-telur tersebut menetas, dan parasit memasuki keong
untuk mulai siklusnya kembali. Schistosoma mansoni dan schistosoma japonicum biasanya
menetap di dalam pembuluh darah kecil pada usus. Beberapa telur mengalir dari sana melalui
aliran darah menuju ke hati. Akibatnya peradangan hati bisa menyebabkan luka parut dan
meningkatkan tekanan di dalam pembuluh darah yang membawa darah antara saluran usus dan
hati (pembuluh darah portal). Tekanan darah tinggi di dalam pembuluh darah portal (hipertensi
portal) bisa menyebabkan pembesaran pada limpa dan pendarahaan dari pembuluh darah di
dalam kerongkongan.

Telur-telur pada schistosoma hematobium biasanya menetap di dalam kantung kemih,


kadang kala menyebabkan borok, ada darah dalam urin, dan luka parut. Infeksi schistosoma
hematobium kronis meningkatkan resiko kanker kantung kemih. Semua jenis schistosomiasis
bisa mempengaruhi organ-organ lain (seperti paru-paru, tulang belakang, dan otak). Telur-telur
yang mencapai paru-paru bisa mengakibatkan peradangan dan peningkatan tekanan darah di
dalam arteri pada paru-paru (hipertensi pulmonari).8-11

Morfologi dan Daur Hidup Cacing Schistosoma

Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5-19,5
mm x 0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat tonjolan
halus sampai kasar, tergantung spesiesnya. Di bagian ventral badan terdapat canalis
gynaecophorus, tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada di dalam
pelukan cacing jantan. Cacing betina badannya lebih halus dan panjang, berukuran 16,0 – 26,0
mm x 0,3 mm. Pada umunya uterus 50 – 300 butir telur. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh
darah terutama dala kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan selaput lendir usus atau
kandung kemih.7
Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunyai operkulum.
Telur cacing Schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi duri tergantung pada spesiesnya. Telur
berukuran 95 – 135 x 50 – 60 mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah,
bermigrasi ke jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk kemudian
ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas di dalam air, larva yang keluar disebut
mirasidium.7

Schistosoma japonicum cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5cm dan betina kira-
kira 1,9 cm, hidupnya di vena mesenterica superior. Telurnya ditemukan di dinding usus halus
dan juga di alat-alat dalam seperti hati,paru dan otak. Schistosoma mansoni cacing dewasa jantan
berukuran kira-kira 1 cm dan betina kira-kira 1,4 cm. Pada badan cacing jantan S.mansoni
terdapat tonjolan yang lebih kasar bila di bandingkan dengan S.japonicum dan S.haematobium.
badan S.japonicum mempunyai tonjolan yang lebih halus. Tepat hidupnya di vena, kolon dan
rectum. Telur juga tersebar di alat-alat lain seperti hati,otak dan paru. Schhistosoma
haematobium cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,3 cm dan betina kira-kira 2,0 cm.
Hidupnya di vena panggul kecil terutama di vena kandung kemih. Telur ditemukan di urin dan
alat-alat dalam lainnya, juga di alat kelamin dan rectum.7

Cacing ini hanya mempunyai satu hospes perantara yaitu keong air, tidak dapat hospes
perantara kedua. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong air dan berkembang menjadi
sporokista I dan sporokista II kemudian menghasilkan serkaria yang banyak. Serkaria adalah
bentuk infektif cacing schistosoma. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit
pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan
untuk infeksi adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menebus kulit, kemudian masuk ke dalam
kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan,lalu paru dan kembali ke
jantung kiri kemudian masuk ke sistem peredaran darah besar, ke cabang-cabang vena portae dan
vena usus atau vena kadung kemih kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi.7
Gambar 1. Daur hidup skistosoma.

Epidemiologi

Schistotsoma japonicum: Distribusinya ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan,


Muangthai, Vietnam, Malaysia dan Indonesia. Skistosomiasis atau bilharziasis merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di berbagai negara. Di Indonesia hanya Schistosoma
japonicum yang ditemukan endemik di daerah Sulawesi Tengah. Penyakit ini berhubungan erat
dengan pertanian yang mendapatkan air dari irigasi. Fokus keong air Oncomelania hupensis
lindoensis sebagai hospes perantara dan hospes reservoir spesies tikus sawah (Rattus) yang
biasanya ditemukan di daerah pertanian tersebut. Dengan meluasnya daerah pertanian dan irigasi
maka dapat terjadi penyebaran hospes perantara dan penyakitnya. Infeksi biasanya berlangsung
pada waktu orang tersebut bekerja di sawah.

Kelompok umur yang terkena pada umumnya adalah antara 5-50 tahun, dapat pula
ditemukan infeksi pada umur lebih muda. Penanggulangan penyakit ini sampai sekarang
terutama ditekankan pada pengobatan masal yang diberikan 6 bulan sekali. Bila prevalensi sudah
turun di bawah 5%, dapat diberikan pengobatan selektif. Walaupun demikian pemberantasan
hospes perantara, baik kesehatan lingkungan dan penerangan kesehatan sedapat mungkin harus
diterapkan.Schistosoma mansonia: Distribusi ditemukan di Afrika, Arab, Mesir, Amerika Selatan
dan Tengah.Schistosoma hematobium: Ditemukan di Afrika, Spanyol, Arab.8,9
Patofisiologis

 Serkaria
Penetrasi serkaria pada kulit menyebabkan dermatitis alergika di tempat masuknya. Pada
stadium ini kelainan kulit berupa eritema dan papula dengan rasa gatal dan panas 2-3 hari pasca-
infeksi dan disebut “swinner’s itch”, paling sering disebabkan oleh S. mansoni dan S. japonicum.
Bila jumlah serkaria yang menembus kulit cukup banyak, maka dapat terjadi dermatitis (cercarial
dermatitis) yang akan sembuh sendiri dalam lima hari. Gambaran klinis toksemia berat disertai
demam tinggi dapat terjadi, terutama infeksi yang berulang.
Keluhan berupa lemah, malaise, anoreksi, mual dan muntah, sefalgia, mialgia dan
artralgia. Diare akibat adanya keadaan hipersensitif terhadap cacing, serta sakit perut dan
tenesmus kadang-kadang ditemukan. Gejala toksemia dapat berlangsung sampai tiga bulan.
Hepatosplenomegali disertai nyeri tekan dapat pula ditemukan.12
 Sistosomula
Sistosomula merupakan serkaria tidak berekor yang diangkut melalui darah atau limfatik
ke paru-paru dan jantung. Infeksi berat dapat menyebabkan gejala seperti demam dan batuk.
Eosinofilia bisa juga ditemukan.12
 Cacing dewasa
Sistosoma dewasa tidak memperbanyak diri dalam tubuh manusia. Di dalam darah vena,
cacing jantan dan betina kawin, kemudian betina bertelur 4-6 minggu setelah penetrasi serkaria.
Cacing dewasa jarang bersifat patogen. Cacing betina dewasa dapat hidup sekitar 3-8 tahun
bahkan lebih dari 30 tahun dan bertelur sepanjang hidupnya, namun tidak merusak karena hanya
telur-telurnya saja yang dapat merusak organ.12

Gambar 2. Cacing dewasa S. japonicum.


 Telur
Telur-telur inilah yang menyebabkan sistosomiasis dan demam Katayama. Hingga saat
ini demam Katayama patofisiologi tepatnya belum diketahui. Demam Katayama dilaporkan
paling sering pada S. japonicum tetapi juga telah dilaporkan terjadi pada S. mansoni, jarang
dirasakan pada sistosomiasis hematobium.12
Terkumpulnya telur dalam hati dapat mengakibatkan fibrosis periportal dan selanjutnya
hipertensi portal, namun fungsi hati tetap normal bahkan sampai tahap lanjut dari penyakit.

Kolateralisasi sistem portal karena hipertensi portal dapat mengakibatkan embolisasi


telur-telur ke dalam paru, selanjutnya dapat terjadi hipertensi pulmonal dan korpulmonal. Karena
sistosoma japonicum lebiha banyak mengeluarkan telur, sehingga sering dianggap menimbulkan
penyakit yang lebih berat. Cacing dewasa S. haematobium matang dalam pleksus venosa buli-
buli, ureter, rektum, prostat, dan usus. Adanya jaringan granulomatosa dan fibrosis pada dinding
buli-buli memudahkan terjadinya ulkus dan polip, dan sisa-sisa telur dapat mengalami
kalsifikasi. Striktur orificium uretralis atau ureter terminalis dapat mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis dan infeksi asenden saluran kemih. Lesi organ-organ lain dalam pelvis jarang
mengakibatkan fibrosis berat dan infeksi. Telur-telur diangkut ke hati atau paru, tetapi perubahan
patologis jarang terjadi pada S. mansoni dan S. japonicum.12

Patogenesis dan Gejala Klinis


Penyebab utama patologi dalam Schistosoma adalah telur. Telur menembus pembuluh
darah dan masuk jaringan hospes dengan mengeluarkan enzim proteolitik, melalui lobang
mikroskopis pada dindingnya. Banyak telur yang terjebak dalam jaringan atau dibawa ke
sirkulasi ke organ lain dalam tubuh. Reaksi hospes terhadap telur bervariasi mulai dari
granuloma yang kecil sampai fibrosisi yang hebat. Adanya kerusakan umumnya berhubungan
dengan jumlah terlur yang masuk ke jaringan.8,11
Schistosoma japonicum kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelaianan yang
ditemukan pada stadium I adalah gatal-gatal (urtikaria). Gejala intoksikasi disertai demam,
heatomegali dan eosinofilia tinggi. Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pada
stadium III atau stadium menahun ditemukan sirosis hati dan splenomegali biasanya penderita
menjadi lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru dan lainnya. Pada
Schistosoma mansoni hejala yang ditimbulkan sama seperti S.japonicum akan tetapi lebih
ringan. Pada penyakit ini splenomegali akan menjadi berat sekali. Schistosoma haematobium
gejala terutama ditemukan di dinding kandung kemih. Gejala yang ditimbulkan adalah hematuria
dan disuria bila terjadi sistitis. Sindrom disentri ditemukan bila terjadi kelainan rectum.7

Komplikasi

Komplikasi gastrointestinal termasuk perdarahan gastrointestinal, obstruksi


gastrointestinal, malabsorpsi dan malnutrisi. Lesi cenderung berdarah dan ada kehilangan darah
dan protein, menyebabkan anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia. Lesi ini sebagian besar
dalam usus besar dan rektum. Fibrosis hati terjadi, memproduksi hipertensi portal. Infeksi S.
mansoni selalu menghasilkan fibrosis hati. Hipertensi portal dapat menghasilkan varises
esofagus yang mungkin berdarah, dan ascites. shunting Portocaval predisposisi infestasi paru dan
masalah hipertensi paru. Koinfeksi dengan hepatitis, HIV dan malaria dapat meningkatkan risiko
karsinoma hepatoseluler dan meningkatkan risiko kematian.

Kronis salmonellosis septikemia (demam berkepanjangan dengan pembesaran hati dan


limpa) mungkin terjadi pada individu Schistosoma terinfeksi yang ikut terinfeksi salmonella.
Hipertensi pulmonal,kor pulmonal,neuroschistosomiasis (termasuk peningkatan tekanan
intrakranial, myelopathy dan radiculopathy).13

Penatalaksanaan dan Pengobatan


Pada tahun 1970-an pengobatan sistosomiasis hampir sama hasilnya dengan bahaya obat
itu sendiri. Itulah sebabnya sekarang hanya beberapa obat saja yang dapat diberikan pada
sistosomiasis yaitu:6
 Prazikuantel. Daya sembuh obat ini untuk S.hematobium, S. mansoni dan S. japonica, 63-
85% dan dapat menurunkan telur-telur lebih 90% setelah 6 bulan terapi. Obat ini tidak
sensitive pada sistosoma muda (2-5 minggu). Dosis 2x20 mg/mg/kgBB/hari untuk
S.hematobium dan S.mansoni, dan 3x perhari untuk S.japonicum. Efek samping yang
ditimbulkan adalah malese, sakit kepala, anoreksia, pusing, mual, muntah, urtikaria,
diare, dan lain-lain. Gejala ini mulai dari ringan sampai sedang, berlangsung beberapa
jam sampai satu hari. Menurut WHO obat ini bisa diberikan pada ibu hamil.
 Oxamniquine. Obat ini sangat efektif hanya untuk S.mansoni. dosis seklai 12-
15mg/kg/hari. Ada juga yang memberikan 40-60mg/kg/hari dosis terbagi 2 atau 3 selama
2-3 hari, diberikan bersama makanan. Efek samping yang terjadi dalam beberapa jam
berupa pusing, vertigo, mual, muntah, diare, sakit perut, dan sakit kepala. Walaupun
jarang terjadi dapat terjadi perubahan tingkah laku, halusinasi, kejang-kejang setelah 2
jam obat ditelan. Obat ini mempunyai efek mutagenic dan teratogenik, sehingga tidak
boleh diberikan pada ibu hamil.
 Artemisinin. Obat ini selektif terhadap sistosomula dan mungkin bermanfaat untuk
profilaksis. Pada terapi terhadap S.haematobium, efektifitasnya jauh di bawah
prazikuantel.
 Tindakan Bedah. Pada keadaan tertentu dibutuhkan tindakan bedah mengeluarkan polip
atau sumbatan saluran kemih. Bila perdarahan esofagus, skleroterapi merupakan tindakan
pilihan, walaupun beberapa pasien membaik dengan propanolol. Pada perdarahan
berulang, pembuatan shunting rupanya kurang bermanfaat. Bila terjadi pansitopeni
indikasi untuk splenektomi.6

Pencegahan (Preventif)

 Jangan berenang atau menyebrangi air tawar dinegeri-negeri dimana terjadi sistosomiasis.
 Minum air yang aman. Air dari kanal, danau, sungai langsung tidak diminum.
 Air mandi semestinya dihangatkan dulu selama 5 menit, pada suhu 1500 F
 Menggunakan handuk yang kering
 Infeksi dicegah dengan menggunakan pakaian yang tepat saat bekerja di lapangan dan
menghindari air yang terkontaminasi.
 Program pengendalian dengan membasmi siput, atau pengobatan massal, dapat
mengendalikan penyakit ini jika tersedia sumber daya yang mencukupi, seperti yang telah
di lakukan di Cina dan Jepang.6,13

Prognosis
Dengan terapi pada infeksi dini hasilnya sangat baik. Kelainan patologi dari hepar, ginjal dan
usus membaik dengan pengobatan.
Kesimpulan

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemerikaan penunjang maka wanita
25 tahun tersebut menderita sistosomiasis. Di Indonesia sendiri paling banyak adalah disebabkan
oleh S. Japanicum dan hanya mempunyai satu hospes perantara yaitu keong air. Penularan
penyakit ini melalui penetrasi kulit. Diagnosis penyakit ini adalah dengan melakukan
pemeriksaan tinja dan urin. Prognosisnya baik dengan terapi yang baik dan cepat.

Daftar Pustaka

1. Ross GA, Vickers D, Olds RG, Shah MS, McManus PD. Katayama Syndrome.
Lencet Infect Dis 2007;2018-24
2. Natadisastra D, Kodyat S. Penyakit oleh Trematoda Darah. Parasitologi Kedokteran
Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Cetakan I. Jakarta: Penerbik Buku
Kedokteran EGC;2009:171-87
3. Pearce EJ, MacDonald Sm. The Immunobiology Schistomiasis. Nature Review
Immunology;2002:2:499-511
4. Nurul R,Rau MJ, Anggraini L. Analisis Faktor Risiko Kejadian Schistomiasis di Desa
Puroo. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2016;7(1):1-12
5. Gleadle J. Pengambilan anamnesis. Dalam : At a Glance Anamnesis danPemeriksaan
Fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h.1-17.
6. Sudoyo AW, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing; 2009. h. 2986-92.
7. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi kedokteran.
Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2008.h.61-70.
8. Staf Pengajar Departemen parasitologi FKUI. Buku ajar parasitologi kedokteran.
Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia; 2010. h.61-73.
9. Zaman V. Atlas parasitologi kedokteran. Edisik ke-2. Jakarta: Hipokrates; 1984. h.
148-55.
10. Prianto J, Tjahayu, Darwanto. Atlas parasitologi kedokteran. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama; 2010. h. 64-9.
11. Brooks GF, et al. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, & aldelberg. Edisik ke-
25. Jakarta: EGC; 2012. h. 728-30.
12. Mubin AH. Sistosomiasis (bilharziasis). Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.h. 789-94.
13. Gillespie S, Bamford K. At a glance: mikrobiologi medis dan infeksi. Edisi ke-3.
Jakarta: Penerbit Erlangga; 2016.h.90-1.

Anda mungkin juga menyukai