MAKALAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Jepang, yang diampu
oleh Ibu Rostina, M.Si
Disusun oleh :
Waskita Aisiyah
KHG.C.17055
S1 Keperawatan (3-B)
I
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Bahasa Jepang
dengan judul “Kebudayaan Jepang”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Budaya adalah sesuatu yang sangat menarik jika dicermati lebih dekat yang
setiap belahan dunia memiliki ragam budaya yang menarik dan bernilai tinggi. Budaya
juga merupakan slahsatu hal yang dapat dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Oleh karenanya, kami menyusun makalah ini dengan dasar ingin mengenal lebih dalam
kebudayaan Negara lain. Seperti hanya kebudayaan Negara Jepang yang menjadi topic
makalah kami. Sebetulnya, banyak manfaat yang dapat diambil dari mempelajari
adanya budaya. Diantaranya kita dapat menerapkan bagaimana masyarakat jepang
mempertahankan dan melestarikan kebudyaannya.
1.3. Tujuan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan kebudayaan Jepang Ikebana
2. Mengetahui yang dimaksud dengan kebudayaan Jepang Samurai
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Ikebana
Pada umumnya, bunga yang dirangkai dengan teknik merangkai dari Barat (flower
arrangement) terlihat sama indahnya dari berbagai sudut pandang secara tiga dimensi
dan tidak perlu harus dilihat dari bagian depan.
Berbeda dengan seni merangkai bunga dari Barat yang bersifat dekoratif, Ikebana
berusaha menciptakan harmoni dalam bentuk linier, ritme dan warna. Ikebana tidak
mementingkan keindahan bunga tapi pada aspek pengaturannya menurut garis linier.
Bentuk-bentuk dalam Ikebana didasarkan tiga titik yang mewakili langit, bumi, dan
manusia.
2.2. Samurai
Istilah samurai ( 侍), pada awalnya mengacu kepada “seseorang yang mengabdi kepada
2
bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784), istilah ini diucapkan saburau dan
kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah lain yang mengacu kepada
samurai yakni bushi. Istilah bushi ( 武士) yang berarti “orang yang dipersenjatai/kaum
militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi ( 続日本紀), pada bagian
catatan itu tertulis “secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”.
Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi menjadi sinonim pada akhir abad ke-
12 (zaman Kamakura).
Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah
saburai berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi “orang
yang mengabdi”.Namun selain itu dalam sejarah militer Jepang, terdapat kelompok
samurai yang tidak terikat/mengabdi kepada seorang pemimpin/atasan yang dikenal
dengan rōnin (浪人). Rōnin ini sudah ada sejak zaman Muromachi (1392). istilah rōnin
digunakan bagi samurai tak bertuan pada zaman Edo (1603 – 1867). Dikarenakan
adanya pertempuran yang berkepanjangan sehingga banyak samurai yang kehilangan
tuannya. kehidupan seorang rōnin bagaikan ombak dilaut tanpa arah tujuan yang jelas.
Ada beberapa alasan seorang samurai menjadi rōnin. Seorang samurai dapat
mengundurkan diri dari tugasnya untuk menjalani hidup sebagai rōnin. Adapula rōnin
yang berasal dari garis keturunan, anak seorang rōnin secara otomatis akan menjadi
rōnin. Eksistensi rōnin makin bertambah jumlahnya diawali berakhirnya perang
Sekigahara (1600), yang mengakibatkan jatuhnya kaum samurai/daimyo yang
mengakibatkan para samurai kehilangan majikannya. Dalam catatan sejarah militer di
Jepang, terdapat data-data yang menjelaskan bahwa pada zaman Nara (710 – 784),
pasukan militer Jepang mengikuti model yang ada di Cina dengan memberlakukan
wajib militer dan dibawah komando langsung Kaisar. Dalam peraturan yang
diberlakukan tersebut setiap laki-laki dewasa baik dari kalangan petani maupun
bangsawan, kecuali budak, diwajibkan untuk mengikuti dinas militer. Secara materi
peraturan ini amat berat, karena para wakil tersebut atau kaum milter harus membekali
diri secara materi sehingga banyak yang menyerah dan tidak mematuhi peraturan
3
tersebut. Selain itu pula pada waktu itu kaum petani juga dibebani wajib pajak yang
cukup berat sehingga mereka melarikan diri dari kewajiban ini.
Pasukan yang kemudian terbentuk dari wajib militer tersebut dikenal dengan sakimori
( 防人) yang secara harfiah berarti “pembela”, namun pasukan ini tidak ada
hubungannya dengan samurai yang ada pada zaman berikutnya.Setelah tahun 794,
ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian (Kyoto), kaum bangsawan menikmati
masa kemakmurannya selama 150 tahun dibawah pemerintahan kaisar. Tetapi,
pemerintahan daerah yang dibentuk oleh pemerintah pusat justru menekan para
penduduk yang mayoritas adalah petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan
pemberontakan di daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung
dengan tuan tanah yang memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih
besar.
Dikarenakan keadaan negara yang tidak aman, penjarahan terhadap tuan tanah pun
terjadi baik di daerah dan di ibu kota yang memaksa para pemilik shoen (tanah milik
pribadi) mempersenjatai keluarga dan para petaninya. Kondisi ini yang kemudian
melahirkan kelas militer yang dikenal dengan samurai.Kelompok toryo (panglima
perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto muncul sebagai pemenang di
Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling memperebutkan kekuasaan.
Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak mampu mengatasi polarisasi
ini, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan. Kaisar Gonjo yang
dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan memusatkan kekuasaan
politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji. Kaisar
Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai markas
politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi
politik.Tentara pengawal o-tera, souhei ( 僧兵) pun ia bentuk, termasuk memberi
sumbangan tanah (shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat
sebagai “negara” di dalam negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti pemerintahan
4
o-tera mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan kelompok Taira dan Minamoto
yang sedang bertikai.Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar
belakang pada kericuhan yang terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara
Fujiwara dan kaisar yang pro maupun kotra terhadap o-tera. Perang antara Minamoto,
yang memihak o-tera melawan Taira, yang memihak istana, muncul dalam dua
pertempuran besar yakni Perang Hogen (1156) dan Perang Heiji (1159). Peperangan
akhirnya dimenangkan oleh Taira yang menandai perubahan besar dalam struktur
kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya, kaum samurai muncul sebagai kekuatan
politik di istana.Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge ( 公家- bangsawan
kerajaan), sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian besar keluarganya
diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan Keangkuhan keluarga Taira
akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi antara keluarga Minamoto (yang
mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar Shirakawa, yang pada
akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan pemerintahan militer pertama
di Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 – 1333).
Ketika Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh
keluarga Hojo yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga
Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan samurai. Para
samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah dan tuntunan hidup mereka.Pada tahun
1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang tidak terbiasa
berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi serangan
bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol yang kedua
(tahun 1281), para samurai mendirikan tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai
pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi taktik serangan malam. Secara
menyeluruh, taktik berperang para samurai tidak mampu memberikan kehancuran yang
berarti bagi tentara Mongol, yang menggunakan taktik pengepungan besar-besaran,
gerak cepat, dan penggunaan senjata baru (dengan menggunakan mesiu). Pada
akhirnya, angin topanlah yang menghancurkan armada Mongol, dan mencegah bangsa
5
Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang menyebut angin ini kamikaze (dewa
angin).Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya
mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari kavaleri busur
panah dalam menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat laun samurai
menggantikan busur-panah dengan “pedang” sebagai senjata utama samurai. Pada awal
abad ke-14, pedang dan tombak menjadi senjata utama di kalangan panglima perang.
Pada zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto
menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan di Nara.
Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara melawan Istana Selatan
(nambokuchō tairitsu).Pertentangan ini memberikan dampak terhadap semakin
kuatnya posisi kaum petani dan tuan tanah daerah (shugo daimyō) dan semakin
lemahnya shogun Ashikaga di pemerintahan pusat. Pada masa ini, Ashikaga tidak dapat
mengontrol para daimyō daerah. Mereka saling memperkuat posisi dan kekuasaannya
di wilayah masing-masing. Setiap Han13 seolah terikat dalam sebuah negara-negara
kecil yang saling mengancam. Kondisi ini melahirkan krisis panjang dalam bentuk
perang antar tuan tanah daerah atau sengoku jidai (1568 – 1600). Tetapi krisis panjang
ini sesungguhnya merupakan penyaringan atau kristalisasi tokoh pemersatu nasional,
yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan tanah daerah, sekaligus menyatukan
Jepang sebagai “negara nasional” di bawah satu pemerintahan pusat yang kuat. Tokoh
tersebut adalah Jenderal Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi.Oda Nobunaga,
seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan seorang ahli strategi militer, mulai
menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara menguasai wilayah Kinai, yaitu Osaka
sebagai pusat perniagaan, Kobe sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara
luar, Nara yang merupakan “lumbung padi”, dan Kyoto yang merupakan pusat
pemerintahan Bakufu Muromachi dan istana kaisar.Strategi terpenting yang
dijalankannya adalah Oda Nobunaga dengan melibatkan agama untuk mencapai
ambisinya. Pedagang portugis yang membawa agama Kristen, diberi keleluasaan untuk
menyebarkan agama itu di seluruh Jepang. Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah
6
agar ia secara leluasa dapat memperoleh senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-
kapal dagang Portugis, sekaligus memonopoli perdagangan dengan pihak asing.
Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), Oda akan dapat
menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan wilayah yang telah
dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh. Oda Nobubunaga
membangun benteng Azuchi Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil
menjatuhkan Bakufu Muromachi. Strategi Oda dengan melindungi agama Kristen
mendatangkan sakit hati bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh
pengikutnya sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang penganut agama Budha yang fanatik,
pada tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Jepang.Toyotomi
Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan Jepang, dan
tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo di
Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun sebelumnya. Terdapat dua
peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi (peraturan kepemilikan
tanah) dan katana garirei (peraturan perlucutan pedang) bagi para petani. Kedua
peraturan ini secara strategis bermaksud “mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan
mengontrol para petani agar tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan
bersenjata. Keberhasilan Toyotomi menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan
masalah tersendiri. Semangat menang perang dengan energi pasukan yang tidak
tersalurkan mendatangkan ancaman internal yang menjurus kepada disintegrasi bagi
keluarga militer yang tidak puas atas kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah
Toyotomi menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk menyerang Korea pada tahun
1592 dan 1597. Sayang serangan ini gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598,
menandakan awal kehancuran bakufu Muromachi.Kecenderungan terdapat perilaku
bawahan terhadap atasan yang dikenal dengan istilah gekokujō ini telah muncul tatkala
Toyotomi menyerang Korea. Ketika itu, Tokugawa Ieyasu mulai memperkuat
posisinya di Jepang bagian timur, khususnya di Edo (Tokyo). Kemelut ini menyulut
perang besar antara kelompok-kelompok daimyo yang memihak Toyotomi melawan
7
daimyo yang memihak Tokugawa di medan perang Sekigahara pada tahun 1600.
Kemenangan berada di pihak Tokugawa di susul dengan didirikannya bakufu Edo pada
tahun 1603.
a. Kematian Samurai
Kematian dianggap sebagai jalan yang mulia bagi seorang samurai daripada
tindakan pahlawan-pahlawan lain. Cara kematian dianggap suatu hal yang
sangat penting bagi seorang samurai. Ajaran yang menerangkan mengenai
“mati yang terbaik” telah ditulis di dalam sebuah buku, Hagakure pada kurun
ke-18. Ditulis lama selepas tentera samurai berangkat ke medan peperangan,
Hagakure - buku tersebut dikatakan telah membawa semangat dan panji
samurai ke arah kemelaratan dan kesesatan. Tidak dapat dinafikan, wujudnya
satu idealisme yang baik di dalam buku tersebut tetapi telah telah
disalahtafsirkan oleh para samurai kerana kekaburan maksud kalimatnya.
Malah, contoh utama yang boleh dipaparkan di sini terletak di Bab Pendahuluan
buku Hagakure itu sendiri: “Jalan Samurai ditemui dalam kematian. Apabila
tiba kepada kematian, yang ada di sini hanya pilihan yang pantas untuk
kematian.”Baris-baris kalimat di atas kemudian menjadi ayat-ayat yang paling
popular dalam kebanyakan buku dan majalah mengenai samurai atau budaya
bela diri masyarakat Jepang. Petikan di bawah merupakan antara isi kandungan
buku Hagakure: “Kita semua mau hidup. Dalam kebanyakan perkara kita
melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita suka. Tetapi sekiranya tidak
mencapai tujuan kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan yang
pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah Jalan Samurai
(Bushido). Jika sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan
malam, seseorang itu akan dapat hidup walaupun jasadnya sudah mati, dia telah
mendapat kebebasan dalam Jalan tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan
dipersalahkan dan dia akan mencapai apa yang dihajatinya.”Buku Hagakure
telah mempengaruhi kehidupan para samurai. Kematian Nobufusa dan Taira
8
Tomomori juga dipengaruhi oleh buku ini. Taira Tomomori boleh dianggap
sebagai Jeneral Taira yang paling agung, telah membunuh diri kerana
nasihatnya telah diabaikan pada saat-saat akhir ketika Perang Gempei. Pada
pengakhiran konfrontasi ketika Perang Gempei, Tomomori telah mendesak
rajanya, Munemori, supaya menyingkirkan seorang jeneral yang diragui
kesetiaannya. Munemori telah menolak usulnya, dan ketika berlangsungnya
Pertempuran Dan no Ura (1185), jeneral tersebut telah mengkhianati
perjuangan Taira. Lantaran kecewa karena nasehat pentingnya diabaikan,
Tomomori membuat keputusan untuk menamatkan riwayatnya sendiri.
Seterusnya kita akan bincangkan mengenai Dua Kematian Cara Samurai iaitu
Mati Di Medan Pertempuran dan Seppuku.
b. Cara Kematian
1. Mati di medan pertempuran
9
sampai pada zaman Sue Harukata (kurun ke-16). Kebiasaanya, seseorang
samurai akan membuat puisi kematian ketika menjelang maut.
2. Seppuku
10
Di sebelah kiri, pada jarak kira-kira satu meter dari samurai tersebut, seorang
kaishakunin, atau `kedua’ akan turut berlutut. Kaishakunin atau `Kedua’ adalah
sahabat akrab kepada samurai yang telah meninggal kerana melakukan
seppuku. Karena perbuatan ini dianggap tidak senonoh dan amat memalukan
(tabu), maka hanya orang-orang yang layak dan terpilih (berkesanggupan untuk
melakukan tugas membantu) saja yang akan menjadi kaishakunin.Di depan
samurai (pelaku seppuku) ini akan ada sebilah pisau bersarung yang terletak di
dalam talam. Apabila samurai tersebut merasakan dia telah siap, samurai
tersebut akan menanggalkan kimononya dan membebaskan bagian perutnya.
Kemudian dia akan mengangkat pisau dengan sebelah tangan, manakala
sebelah tangan lagi menanggalkan sarung pisau tersebut dan meletakkannya ke
tepi.Apabila dia telah bersedia, dia akan mengarahkan mata pisau tersebut pada
sebelah kiri perut, dan menggoreskannya ke kanan. Selepas itu, pisau tersebut
akan diputar dalam keadaan masih terbenam di dalam perut dan ditarik ke atas.
Kebanyakan samurai tidak sanggup lagi untuk melakukan tindakan ini, maka
ketika inilah kaishakunin (artinya kedua) akan memenggal kepala samurai
tersebut setelah melihat sejauh mana kesakitan yang terpapar pada
wajahnya.Tindakan yang dilakukan sampai selesai dikenali sebagai jumonji
(crosswise), sayatan bintang, dan seandainya samurai (pelaku seppuku) dapat
melakukannya, maka seppuku yang dilakukannya dianggap amat bernilai dan
disanjung tinggi. Seppuku juga mempunyai nama-nama tertentu, bergantung
kepada fungsi atau sebab melakukannya:
Junshi : Dilakukan sebagai tanda kesetiaan kepada raja, apabila raja tersebut
meninggal. Pada zaman Edo, junshi telah diharamkan karena dianggap sia-sia
dan merugikan karena negara akan banyak kehilangan perwira yang setia.
Semasa kematian Maharaja Meiji pada 1912, Jeneral Nogi Maresue telah
melakukan junshi.
11
Kanshi: Membunuh diri semasa demonstrasi. Tidak begitu popular, melibatkan
seseorang yang melakukan seppuku sebagai tanda peringatan kepada seseorang
raja apabila segala bentuk musyawarah (persuasion) gagal. Hirate Nakatsukasa
Kiyohide (1493-1553) telah melakukan kanshi untuk mengubah prinsip dan
pemikiran Oda Nobunaga.
12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Demikian makalah ini kami sususun, mohon maaf bila banyak kekurangan. Namun ada
beberapa point yang dapat kami simpulkan yang berupa penilaian atau argumentasi
terhadap budaya jepang.
3.2.Saran
Semoga makalah ini dapat memberikan inspirasi bagi kita semua untuk selalau
menjaga dan melestarikan budaya agar dapat menjadi buah tangan bagi cucu kita nanti.
Terimakasih atas semua pihak yang telah mendukung tersusunya makalah ini.
13
DAFTAR PUSTAKA
14