Anda di halaman 1dari 6

Kami berwasiat untuk pribadi kami sendiri dan pada hadirin sekalian.

Marilah kita senantiasa


meningkatkan takwa kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara selalu berusaha
melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Hadirin
hafidhakumullah, Ciri utama yang dimiliki para rasul Allah ada empat, yaitu shiddiq (jujur),
amanah (amanah), tabligh (menyampaikan firman Allah), dan fathanah (cerdas). Tabligh artinya
menyampaikan. Hanya para rasul yang memiliki tugas ini. Sementara para nabi, meski ma’shum
(terbebas dari dosa), ia tak ada kewajiban menyampaikan firman Allah. Artinya, setiap rasul
sudah pasti nabi, sedangkan tak semua nabi adalah rasul. Selain mempunyai tugas
menyampaikan atau tabligh, seorang rasul harus cerdas (fathanah). Sehingga, sepanjang sejarah
rasul tidak ada seorang rasul pun yang sampai kalah saat adu argumen dengan musuh perihal
ajaran dari Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi unsur fathanah ini sangat penting dalam beragama.
Di dalam Al-Qur’an sering kali Allah menanyakan:

َ‫افَ ََل تَ ْع ِقلُ ْون‬

"Apakah kalian ini tidak berakal?

" َ‫" اَفَ ََل تَتَفَك َُّر ْون‬

Apakah kalian ini tidak mikir?"

Kita sebagai umat Islam harus selalu meningkatkan kemampuan-kemampuan dan kecerdasan
kita dengan cara terus belajar, belajar, dan belajar terhadap ilmu-ilmu yang kita butuhkan di
bawah bimbingan guru yang tepat.

Dengan hidup di bawah panduan ilmu dan kesesuaian sikap (amal shalih), Allah akan
mengangkat derajat kita. Allah berfirman:
‫َّللاُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوا َّل ِذينَ أُوت ُوا ا ْل ِع ْل َم د ََرجَات‬
َّ ‫يَ ْرفَ ِع‬

Artinya: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dari kalian dan orang-orang yang
diberikan ilmu banyak derajat” (QS Al-Mujadilah: 11).

Begitulah pentingnya ilmu sebagai penyangga keagamaan seseorang. Untuk mencapai derajat
yang tinggi, beramal shalih saja belum cukup, tapi harus juga mempunyai ilmu yang cukup.
Bagaimana jadinya jika ada orang yang shalatnya kelihatan khusyu’, sambil menangis, tapi
setelah selesai shalat dia bertransaksi riba. Dia makan anjing, memakan swike katak, makan
daging ular, atau hal-hal lain yang diharamkan agama sebab ketidaktahuan mereka?

Dengan demikian, khusyu’ saja tanpa mengetahui mana halal dan mana haram, akan ada banyak
kesalahan yang dilakukan tanpa dia sadari. Contoh yang lain lagi adalah, ada orang ingin
membantu umat Muslim yang lain dengan cara memposisikan diri sebagai amil zakat. Menjadi
relawan amil zakat itu tentu bagus. Tapi ketika ia tidak mempunyai ilmu tentang zakat yang
cukup, zakat bisa saja disalurkan kepada orang-orang yang tidak berhak. Dampak buruknya pun
merembet ke masyarakat. Oleh karena itu, bersemangat saja dalam beragama tidak cukup. Perlu
bekal ilmu untuk mengejawantahkan semangat itu. Semangat beragama itu penting, tapi jangan
sampai semangat agama seseorang melebihi kapasitas keilmuannya. Syekh al-Imam
Burhanuddin melantunkan sebuah syair:

‫ير عا ِل ٌم ُمتهتِ ٌكف‬


ٌ ‫" سادٌ ك ِب‬Sebuah malapetaka jika ada orang alim (cerdikiawan) yang rusak."

ُ‫" وأ ْكب ُر ِم ْنهُ جا ِه ٌل ُمتن ِسك‬Namun lebih kacau lagi jika ada orang bodoh menjalankan ibadah."

ٌ‫هُما فِتْنةٌ فِي ْالعال ِمين ع ِظيمة‬

"Kedua tragedi di atas merupakan tragedi yang sangat besar di seluruh

َّ ‫ِل َم ْن ِب ِه َما فِي دِينِ ِه يَت َ َم‬


ُ‫سك‬

"Bagi orang yang berpegang teguh kepada agama."


Ma’asyiral hadhirin hafidhakumullah, Ilmu akan membimbing seseorang pada semua gerak dan
diamnya. Setiap aktivitas, pembicaraan, dan sikapnya merupakan cerminan dari dari landasan
ilmu yang dimiliki. Dengan ilmu yang cukup, seseorang tidak akan mudah memvonis salah atau
bahkan memvonis kafir atau sesat kepada orang lain dari mereka yang ahli Lâ ilâha illallâh.
Sebagian ulama salaf mengatakan

ِ ‫علَى النَّا‬
‫س َم‬ ُ ‫ قَ َّل اِ ْنك‬،ُ‫ْن َكث ُ َر ِع ْل ُمه‬
َ ُ‫َاره‬

Artinya: “Barangsiapa yang banyak ilmunya, perasaan tidak cocoknya kepada masyarakat
sedikit.”
Kondisi bermasyarakat tentu sangat beragam. Kemampuan dan kapasitas ilmu mereka tak
merata. Hal ini juga berdampak pada perbedaan mereka dalam menyikapi suatu hal di sekitarnya.
Kendatipun Allah menganugerahkan bekal otak yang sama, nyatanya pemikiran-pemikiran yang
keluar dari masing-masing mereka bisa berbeda-beda. Kita tidak bisa menuntut semua orang
mempunyai perilaku sama dengan kita persis. Kita juga tidak bisa terlalu idealis, berharap semua
umat manusia tidak akan ada yang pernah melakukan kesalahan.
Imam Dzun Nun al-Mishri mengatakan:

ُ ‫َل خيْر فِ ْي صُحْ ب ِة م ْن َل ي ُِحبُّ أ ْن يراك إِ اَل م ْع‬


‫ص ْوما‬

Artinya: “Jangan kamu berteman dengan orang yang maunya hanya memandangmu sebagai
orang terjaga dari dosa.”

Saat kita berteman dengan orang yang selalu mengharapkan kita sebagai orang perfect
(sempurna), kita akan menjadi orang yang mudah ditinggalkan dan disepelekan. Melakukan
kesalahan sedikit saja kita bisa dicela habis-habisan. Di sinilah pentingnya orang memandang
satu masalah dengan keilmuan yang cukup. Bodoh itu berbahaya.

Pada masa khulafaur rasyidin, terdapat orang-orang yang terlalu bersemangat dan khusyu’
beribadah, hafal al-Qur’an namun tidak mempunyai landasan agama cukup. Akhirnya mereka
selalu mengukur kebaikan sesuai dengan persepsi mereka. Kelompok ini memandang, siapa saja
yang tidak sesuai dengan pemahaman agama mereka, berarti mereka sudah berbeda dengan apa
yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Mereka dikena sebagai kaum khawarij.

Kaum khawarij adalah orang yang tidak siap memandang sifat basyariyah (watak kemanusiaan)
yang dimiliki oleh Sayyidina Utsman. Utsman mengangkat pejabat dari kerabatnya sendiri lalu
didemo, dan pada akhirnya mereka membunuh Utsman bin Affan karena dianggap tidak becus
mimpin umat.

Sayyidina Ali juga disalahkan. Walaupun ia menantu Nabi, Ali dianggap tidak bisa memimpin.
Akhirnya dibunuh. Begitu pula Muawiyah juga dianggap salah karena diaggap bukan keturunan
Nabi berani memimpin umat. Amr bin Ash juga disalahkan. Pokoknya semua salah di mata
kaum khawarij.

Yang mempunyai gerakan disalahkan kau khawarij sebab dianggap gerakannya tidak sesuai
Nabi. Orang yang diam juga dianggap salah karena dianggap tidak punya gerakan. Di mata kaum
khawarij, semua menjadi salah.

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Yusair bin Amr yang pernah bertanya kepada
Sahl bin Hunaif:

Anda mungkin juga menyukai