Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

CIDERA KEPALA SEDANG (CKS)

Disusun Oleh:
RIZQI YULIANTIKA HIDAYATI
P1337420217035
3A

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMEMTERIAN KESEHATAN SEMARANG

JURUSAN KEPERAWATAN

PRODI D III KEPERAWATAN PURWOKERTO

2019
A. KONSEP DASAR TEORI
1. Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008).
Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala sedang ( CKS ) adalah trauma kepala yang diikuti
oleh kehilangan kesadaran atau kehilangan fungsi neorologis seperti
misalnya daya ingat atau penglihatan dengan sekor GCS 9 -13, yang di
buktikan dengan pemeriksaan penunjang CT Scan kepala.
Cidera kepala sedang adalah cidera yang disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik diikuti kehilangan kesadaran atau kehilangan fungsi
neurologis dengan sekor GCS 9-13.
2. Klasifikasi Cedera Kepala
Menurut Mansjoer (2000) cedera kepala dibagi 3 yaitu :
a. Mekanisme berdasarkan adanya penetrasi durameter.
1) Trauma tumpul
- Kecepatan tinggi : tabrakan mobil
- Kecepatan rendah : terjatuh, dipukul.
2) Trauma tembus, seperti luka tembus peluru
b. Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, dapat diklasifikasikan
penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi :
1) Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15.
- Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
- Tidak ada kehilangan kesadaran
- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
- Tidak adanya criteria cedera kepala sedang-berat
2) Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13.
Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan.
- Amnesia paska trauma
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
- Kejang
3) Cedera kepala berat dengan nilai GCS 3-8.
- Penurunan kesadaran sacara progresif
- Tanda neorologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
(Mansjoer, 2000)
- Morfologi
c. Fraktur tengkorak
1) Kranium : linier : depresi atua non depresi, terbuka atau tertutup.
2) Basis : dengan atau tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan atau
tanpa kelumpuhan nervus VII (facialis)
d. Lesi intrakranial
1) Fokal : epidural, subdural, intra serebral
2) Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus
3. Etiologi
Cidera kepala paling sering akibat dari trauma. Mekanisme
terjadinya cidera kepala berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi
beberapa menurut Nurarif dan Kusuma (2013) yaitu sebagai berikut:
a. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang
yang diam kemudian dipukul atau dilempari batu.
b. Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala
yang terbentur benda padat.
c. Akselerasi-deselerasi
Terjadi pada kcelakaan bermotor dengan kekerasan fisik antara tubuh dan
kendaraan yang berjalan
d. Coup-counter coup
Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam ruang
intracranial dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan dengan
yang terbentur dan area yang pertama terbentur
e. Rotasional
Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak,
yang mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan
neuron yang memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak
4. Tanda dan gejala
Menurut Mansjoer (2008) tanda dan gejala dan beratnya cidera kepala
dapat diklasifikasikan berdasarkan skor GCS yang dikelompokkan menjadi
tiga yaitu :
a. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS = 14-15
Klien sadar, menuruti perintah tetapi disorientasi, tidak kehilangan
kesadaran, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat
mengeluh nyeri kepala dan pusing, klien dapat menderita laserasi, dan
hematoma kulit kepala.
b. Cidera kepala sedang dengan nilai GCS = 9-13
Klien dapat atau bisa juga tidak dapat menuruti perintah, namun tidak
memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang diberikan, amnesia
pasca trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle,
mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal),
dan kejang.
c. Cidera kepala berat dengan nilai GCS ≤ 8.
Penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologis fokal,
cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium, kehilangan
kesadaran lebih dari 24 jam, disertai kontusio cerebral, laserasi,
hematoma intrakrania dan edema serebral. Perdarahan intrakranial dapat
terjadi karena adanya pecahnya pembuluh darah pada jaringan otak.
Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya
(countrecoup)
5. Pathofisiologi
Menurut Tarwoto (2007 ) adanya cedera kepala dapat mengakibatkan
kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada paremkim otak, kerusakan
pembuluh darah,perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti
penurunan adenosis tripospat,perubahan permeabilitas faskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera
kepala primer dan cedera kepala sekunder.
Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat
terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera
jaringan otak. Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada
masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini
dapat bersifat ( fokal ) local, maupun difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan
jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan
bagian relative tidak terganggu. Kerusakan difus yaitu kerusakan yang
sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat
makroskopis.
Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya
akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral
menimbulkan hematoma, misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah
di ruang Epidural diantara periosteum tengkorak dengan durameter,subdural
hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan
sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah
didalam jaringan cerebral.
6. Pathway

Trauma kepala

Terputusnya kontinuitas Kerusakan sel


Risiko jaringan tulang, jaringan kulit, otak
infeksi otot, dan laserasi pembuluh Gangguan
suplai darah
darah
Meningkatkan
Perubahan sirkulasi cairan serebrospinal rangsangan
Iskemia
Nyeri simpatis
Cairan serebrospinal di lapisan akut
subdural Hipoksia
Meningkatkan
Subdural hygroma tahanan vaskuler
Risiko sistemik dan
ketidakefektifan tekanan darah
Edema serebri
perfusi jaringan
Mual
otak
muntah Menurunkan
Peningkatan TIK
tekanan pembuluh
Risiko kekurangan darah pulmonal
Mesensefalon volume cairan
tertekan

Peningkatan
Pandangan kabur tekanan
Gangguan
kesadaran Penurunan fungsi hidrostatik
pendengaran
Kebocoran cairan
Imobilisasi Nyeri kepala kapiler
Risiko cidera

Penumpukan Oedem paru


sekret Risiko gangguan Defisit
integritas kulit perawatan diri
Difusi O2
terhambat

Ketidakfektifan
bersihan jalan Ketidakefektifan
nafas pola nafas
7. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala antara lain :
a. Cedera Otak Sekunder akibat hipoksia dan hipotensi.
Hipoksia dapat terjadi akibat adanya trauma di daerah dada yang
terjadinya bersamaan dengan cedera kepala. Adanya obstruksi saluran
nafas, atelektasis, aspirasi, pneumotoraks, atau gangguan gerak
pernafasan dapat berdampak pasien mengalami kesulitan bernafas dan
pada akhirnya mengalami hipoksia.
b. Edema Serebral.
Edema adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan di dalam jaringan.
Edema serebral akan menyebabkan bertambah besarnya massa jaringan
otak di dalam rongga tulang tengkorak yang merupakan ruang tertutup.
Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial yang selanjutnya juga berakibat penurunan perfusi jaringan
otak.
c. Peningkatan Tekanan Intra Kranial.
Tekanan intrakranial dapat meningkat karena beberapa sebab, yaitu pada
perdarahan selaput otak (misalnya hematoma epidural dan subdural).
Pada perdarahan dalam jaringan otak (misalnya laserasi dan hematoma
serebri), dan dapat pula akibat terjadinya kelainan parenkim otak yaitu
berupa edema serebri.
d. Herniasi Jaringan Otak.
Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya karena
adanya hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya tekanan
intrakranial. Sampai batas tertentu kenaikan ini akan dapat ditoleransi.
Namun bila tekanan semakin tinggi akhirnya tidak dapat diltoleransi lagi
dan terjadilah komplikasi berupa pergeseran dari struktur otak tertentu
kearah celah-celah yang ada.
e. Infeksi.
Cedera kepala yang disertai dengan robeknya lapisan kulit akan memiliki
resiko terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan di daerah tubuh lainnya.
Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya Meningitis,
Ensefalitis, Empyema subdural, Osteomilietis tulang tengkorak, bahkan
abses otak.
f. Hidrosefalus.
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi cedera kepala yang cukup
sering terjadi, khususnya bila cedera kepala cukup berat.
g. Dekubitus.
Keterbatasan gerak atau tirah baring pada pasien akan menyebabkan
klien tidak dapat bergerak. Kondisi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan kulit akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada
kulit yang menutupi tulang yang menonjol akibat penekanan yang lama.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan
: Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 -
72 jam setelah injuri
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
c. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
d. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
e. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang
f. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
g. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
i. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
9. Penatalaksanaan
a. Menilai jalan nafas
Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan; lepaskan gigi
palsu,pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dengan memasang
collar cervikal,pasang guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jika cedera
orofasial mengganggu jalan nafas,maka pasien harus diintubasi.
b. Menilai pernafasan
Tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jika tidak beri O2
melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera
dada berat spt pneumotoraks tensif,hemopneumotoraks. Pasang
oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2minimum 95%. Jika jalan nafas
pasien tidak terlindung bahkan terancan/memperoleh O2 yg adekuat ( Pa
O2 >95% dan Pa CO2<40% mmHg serta saturasi O2 >95%) atau muntah
maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi
c. Menilai sirkulasi
Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan
dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intra
abdomen/dada.Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan
darah pasang EKG. Pasang jalur intravena yg besar. Berikan larutan
koloid sedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.
d. Obati kejang
Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati
mula-mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahan-lahan dan dpt
diulangi 2x jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan fenitoin
15mg/kgBB
e. Menilai tingkat keparahan
Apakah klien mengalami CKR,CKS, atau CKB.
f. Pada semua pasien dengan cedera kepala leher, lakukan foto tulang
belakang servikal ( proyeksi A-P,lateral dan odontoid ), kolar servikal
baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh keservikal C1-C7 normal.
g. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat :
1) Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL cairan
isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan
hipotonis dan larutan ini tdk menambah edema cerebri
2) Lakukan pemeriksaan ; Ht,periksa darah perifer lengkap,trombosit,
kimia darah
3) Lakukan CT scan
4) Pasien dgn CKR, CKS, CKB harusn dievaluasi adanya :
- Hematoma epidural
- Darah dalam subarahchnoid dan intraventrikel
- Kontusio dan perdarahan jaringan otak
- Edema cerebri
- Pergeseran garis tengah
- Fraktur kranium
h. Pada pasien yg koma ( skor GCS <8) atau pasien dgn tanda-tanda
herniasi lakukan :
1) Elevasi kepala 30
2) Hiperventilasi
3) Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dlm 20-30 menit.Dosis
ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis
semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam I
4) Pasang kateter foley
5) Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi opoerasi (hematom epidural
besar,hematom sub dural,cedera kepala terbuka,fraktur impresi >1
diplo)
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian.
a. Identitas Klien: nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat,
pekerjaan, status perkawinan.
b. Riwayat kesehatan: diagnosa medis, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah
dialami, alergi, imunisasi, kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang
digunakan, riwayat penyakit keluarga.
c. Pengkajian Keperawatan
Penggunaan pengkajian Gordon, yang meliputi 11 aspek yaitu, persepsi
kesehatan & pemeliharaan kesehatan, pola nutrisi/metabolik, pola
eliminasi, pola aktivitas & latihan, pola tidur & istirahat, pola kognitif &
perceptual, pola persepsi diri, pola seksualitas & reproduksi, pola peran
& hubungan, pola manajemen & koping stress, sistem nilai dan
keyakinan
d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum, tanda vital
2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata,
telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas,
kulit dan kuku, dan keadaan lokal.
Menurut Muttaqin (2008), data pengkajian yang dapat ditemukan pada klien
yang mengalami cidera otak adalah sebagai berikut:
a. Breathing
Jika terjadi kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan
irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinan
karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas yang dapat menyebabkansuara nahfas ronkhi pada klien.
b. Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia, disritmia).
c. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan
mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka
dapat terjadi :
1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori)
2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia
3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagusmenyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
7) Pemeriksaan GCS
8) Pemriksaan saraf kranial
d. Bladder
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia
urin, dan ketidakmampuan menahan miksi.
e. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan, bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera.
Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi.
f. Bone
Klien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat
pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis
yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di
otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan
tonus otot.
g. Terapi, pemeriksaan penunjang & laboratorium

Pengkajian sekunder

a. Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan
membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital
b. Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
c. Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
d. Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung,
pemantauan EKG
e. Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul
abdomen
f. Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan
cedera yang lain
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan terlambatnya difusi
oksigen (00032)
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (00132)
c. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya luka, imunitas tubuh
menurun, prosedur invasive (00004)
3. Intervensi
No Dx Tujuan Intervensi Rasional
1. Ketida NOC : status pernapasan ( NIC : manajemen jalan 1. Membuka
kefekti 0415) napas (3140) jalan napas
fan Halaman : 556 1. Posisikan pasien 2. Mengurangi
pola Indikator Skala untuk sesak napas
napas Awa Tujuan mengoptimalkan pasien
berhub l ventilasi 3. Mengatur
ungan Frekuensi 2. Lakukan fisioterapi pola napas
denga pernapasa dada pasien
n n 3. Motivasi pasien untuk 4. Untuk
terlam Irama bernapaspelan, dalam memaksimal
batnya pernapasa berputar dan batuk kan jalan
difusi n 4. Kelola pemberian napas
oksige Kepatenan bronkodilator 5. Posisi semi
n jalan 5. Posisikan untuk fowler dapat
napas meringankan sesak mengurangi
Gangguan napas sesak napas
kesadaran 6. Monitor status 6. Mengetahui

Keterangan pernapasan dan perubahan

1 = sangat berat 2 = berat oksigen sebagaimana kondisi

3 = cukup 4 = ringan mestinya pasien

5 = tidak ada
2 Nyeri NOC :Kontrol nyeri (1605) NIC : Manajemen nyeri 1. Untuk
akut Halaman 247 (1400) mengetahui
berhub Indikator Skala 1. Lakukan pengkajian tingkat nyeri
ungan Aw Tu nyeri komprehensif pasien
denga al jua yang meliputi lokasi, 2. Untuk
n agen n karakteristik, mengurangi
cidera Mengenali 2. Gunakan strategi faktor yang
kapan nyeri komunikasi terapeutik dapat
terjadi untuk mengetahui memperburu
Menggambark pengalaman nyeri k nyeri yang
an faktor 3. Gali bersama pasien dirasakan
penyebab faktor-faktor yang klien
nyeri menurunkan atau 3. Untuk
Menggunakan memperberat nyeri mengetahui
tindakan 4. Dorong pasien perubahan
pengurangan memonitor nyeri dan nyeri dan
nyeri tanpa menangani nyerinya penanganan
analgesik dengan tepat nyeri
Melaporkan 5. Ajarkan penggunaan 4. Agar klien
nyeri yang teknik mampu
terkontrol nonfarmakologi menggunaka

Ketarangan : 6. Berikan individu n teknik non-

1 = Sangat terganggu penurunan nyeri yang farmakologi

2 = Banyak terganggu optimal dengan resep dalam

3 = Cukup terganggu analgesik menejemen

4 = Sedikit terganggu nyeri yang

5 = Tidak terganggu dirasakan.


5. Mengajarkan
teknik
relaksasi
napas dalam
6. Pemberian
analgetik
dapat
mengurangi
rasa nyeri
pasien
3. Risiko NOC: kontrol resiko proses NIC : Perlindungan 1. Mengetaui
infeksi infeksi (1924) infeksi (6550) kerentanan
berhub Halaman 267 1. Monitor kerentanan tubuh
ungan Indikator Skala terhadap infeksi 2. Meminimalk
denga Awal Tujan 2. Batasi jumlah an resiko
n Mengidentif pengunjung penularan
adanya ikasi faktor 3. Pertahankan teknik- penyakit
luka, resiko teknik isolasi yang 3. Untuk
imunit infeksi sesuai mencegah
as Mengidentif 4. Berikan perawatan penularan
tubuh ikasi tanda kulit yang tepat unuk penyakit
menur dan gejala area edema 4. Mempercepa
un, infeksi 5. Anjurkan istirahat t
prosed Monitor 6. Anjurkan peningkatan penyembuha
ur faktor di mobilitas dan latihan n
invasi lingkungan dengan tepat 5. Istirahat
ve yang 7. Ajarkan pasien dan dapat
berhubunga anggota keluarga mempercepat
n dengan bagaimana cara penyembuha
resiko menghindari infeksi. n
infeksi 6. Menghindari
badan kaku
dan odem
7. Mencegah
penularan
Memonitor infeksi
perubahan
status
kesehatan
Keterangan :
1 = tidak pernah menunjukan
2 = jarang menunjukkan
3 = kadang-kadang
menunjukkan
4 = sering menunjukkan
5 = secara konsisten
menunjukkan
4. EVALUASI
a. S (Subjective) : adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari
klien setelah tindakan diberikan. Diharapkan ketidakefektifan pola
napas, nyeri dan resiko infeksi pada pasien dapat berkurang dengan
kriteria hasil sesuai yang telah di tetapkan
b. O (Objective) : adalah informasi yang didapat berupa hasil
pengamatan, penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat
setelah tindakan dilakukan. Diharapkan pola napas nrmal, nyeri
berkurang dan resiko infeksi teratasi
c. A (Analisis) adalah membandingkan antara informasi subjective
dan objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil
kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi sebahagian, atau tidak
teratasi. Diharapkan semua masalah keperawatan teratasi dengan
kriteria hasil yang sudah di rencanakan ketidakefektifan pola napas,
nyeri teratasi.
d. P (Planning) : adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan
dilakukan berdasarkan hasil analisa. Perencanaan terhadap apa yang
akan dilakukan selanjutnya untuk dapat memberikan kondisi yang lebih
baik dari sebelumnya merencanakan progres pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Brain Injury Association of Michigan, 2005. Traumatic Brain Injury Provider

Training Manual. Michigan Department Of Community Health.

Mansjoer, A ., (2000)., Kapita Selekta Kedokteran jilid I. Jakarta: Media

Aesculapius.

Mccloskey, Joanne et all. (2008).Nursing Intervention Classification (NIC). USA:

Mosby

Moorhead, Sue. (2008). Nursing Outcome Classification (NOC).USA.Mosby

Muttaqin,Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika

Nurarif H. Amin & Kusuma Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan

BerdasarkanDiagnosa Medis & NANDA (North American Nursing

Diagnosis Association) NIC-NOC. Mediaction Publishing.

Tarwoto, Wartonah, Suryati, 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan

Sistem Persyarafan. Jakarta: Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai