Bab I Cover
Bab I Cover
HUBUNGAN HIPOTERMI DENGAN WAKTU PULIH SADAR
PASCA GENERAL ANESTESI DI RUANG PEMULIHAN
RSUD DR. HI. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG
TAHUN 2018
PROPOSAL
OLEH :
ARDIA RAHMANANDA
NIM : 14202003
POLTEKKES TANJUNGKARANG
JURUSAN KEPERAWATAN TANJUNGKARANG
PRODI DIPLOMA IV KEPERAWATAN
BANDAR LAMPUNG
1
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
menghilangkan nyeri baik dengan sadar (spinal anestesi) atau tanpa sadar
pembedahan (Sabiston, 2011).
General anestesi merupakan teknik yang banyak dilakukan pada berbagai
macam prosedur pembedahan (Islami, 2012). Hasil penelitian Harahap (2014) di
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, lebih dari 80% operasi dilakukan dengan
Anestesi memiliki 3 fase, yaitu pre anestesi, intra anestesi dan pasca anestesi
(Mangku & Senapathi, 2010). Periode pemulihan pasca anestesi dikenal sebagai
waktu dengan risiko tinggi untuk terjadinya komplikasi. Ditemukan 2,5% pasien
mengalami komplikasi setelah menjalani anestesi (Mahalia, 2012).
General anestesi sebagai tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral
menyebabkan mati rasa, karena obat masuk ke jaringan otak yang dapat
menghentikan impuls syaraf dengan tekanan setempat yang tinggi. Komplikasi
yang bisa muncul pasca tindakan anestesi salah satunya adalah hipotermi.
Hipotermi suatu keadaan suhu tubuh dibawah 360C (Latief, 2007).
pertama setelah tindakan operasi yaitu 1030%, hal ini dipengaruhi akibat dari
2
dingin, luka terbuka pada tubuh, aktivitas otot yang menurun, usia lanjut atau
obatobatan yang digunakan pada general anestesi (Latief, 2007).
Menurut Press (2013), menjelaskan hampir semua jenis obatobat anestesi
durasi tindakan anestesi inhalasi ratarata diatas 1 jam mengakibatkan semakin
1
lama terpapar oleh suhu ruangan yang dingin. Selain itu penjelasan Harahap
(2014), bahwa hipotermi menjadi salah satu penyebab keterlambatan waktu pulih
sadar. Suhu hipotermi ratarata waktu pulih sadarnya sekitar 35 menit 44 detik.
(Dinata, 2015). Hipotermi perioperatif akan memengaruhi metabolisme berbagai
obatobatan anestesi yang disebabkan enzimenzim yang mengatur fungsi organ
dan juga durasi obat yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu, hipotermi juga
akan memengaruhi farmakodinamik obat anestesi inhalasi.
Setiyanti (2016), menjelaskan bahwa salah satu komplikasi yang muncul
setelah tindakan anestesi adalah hipotermi. Hipotermi terjadi karena agen dari
panas tubuh, sehingga mengganggu regulasi panas tubuh (Hujjatulislam, 2015).
proses adaptasi serta mengganggu mekanisme fisiologi pada fungsi termoregulasi.
Hipotermi dapat diartikan suhu tubuh kurang dari 360C (Tamsuri, 2007).
hipotermi (Setiyanti, 2016). Pada penelitian yang dilakukan oleh Harahap (2014)
terhadap pasien, antara lain risiko perdarahan meningkat, iskemia miokardium,
3
meningkatnya risiko infeksi.
angka kejadian hipotermi saat pasien berada di Instalasi Bedah Sentral sebanyak
bahwa kondisi hipotermi bila suhu kurang dari 360C dipakai sebagai patokan,
maka insidensi hipotermi dari seluruh pasien yang menjalani operasi adalah
sebesar 5070%.
Jumlah pasien yang menjalani operasi dalam 6 bulan terakhir yaitu Juli –
Desember 2017, di RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung sebanyak
745 tindakan, dan yang mendapatkan general anestesi sebanyak 679 (91.1%).
Sekitar 90% pasien akan kembali sadar penuh dalam waktu 15 menit dan tidak
rentan merespon stimulus dalam waktu 30 hingga 45 menit setelah anestesi.
Penilaian untuk waktu pulih sadar setiap saat dan dicatat setiap 5 menit sampai
tercapai nilai total Score Aldrete 8. Cara mengetahui tingkat pulih sadar seseorang
penilaian kesadaran, tekanan darah, warna kulit, respirasi dan aktivitas motoric
(Larson, 2009). Berdasarkan catatan Rekam Medis pada tahun 2017 hampir
sebesar 76% pasien operasi dari 745 pasien operasi mengalami kejadian hipotermi
(suhu kurang dari 360C) dan 67% waktu pulih sadar diatas 15 menit.
general anestesi belum dapat diketahui. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
dapat melakukan penelitian dengan judul hubungan hipotermi dengan waktu pulih
4
sadar pasca general anestesi di Ruang Pemulihan RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek
Provinsi Lampung Tahun 2018.
anestesi di Ruang Pemulihan RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung
Tahun 2018.
Lampung Tahun 2018.
anestesi di Ruang Pemulihan RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung Tahun 2018
di Ruang Pemulihan RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung
Tahun 2018
general anestesi di Ruang Pemulihan RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek
Provinsi Lampung Tahun 2018
5
hipotermi dengan waktu pulih sadar pasca general anestesi. Subjek penelitian
adalah pasien post operasi dengan general anestesi di ruang pulih sadar RSUD
DR. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Penelitian ini akan dilaksanakan pada
Mei tahun 2018. Metode penelitian yang akan digunakan adalah survey analitik
dengan pendekatan cross sectional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi
2.1.1 Pengertian anestesi
Defenisi Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa”
dan aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Wikipedia, 2008).
Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada
tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,
karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2011).
2.1.2 Klasifikasi
6
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja.
Namun, secara umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan
menjadi dua golongan yaitu anestesi yang menghambat sensasi di seluruh tubuh
(anasthesi umum) dan yang menghambat sensasi di sebagian tubuh (local,
regional) (Smeltzer & Bare, 2012).
2.1.2.1 Anestesi sebagian tubuh, dibagi dalam 2 bagian yaitu:
1) Anestesi lokal
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu
menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada
bagian tubuh dengan hilangnya rasa nyeri penderita. Pada anestesi
lokal (sering juga diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran
penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat setempat
(lokal) (Bachsinar, 2012).
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak
hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial
5
seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, dapat merawat
luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008).
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk
tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa
yang didapat hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar
30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan diperlukan
injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla,
2008).
Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls
saraf. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Di samping itu,
anestesi lokal menggangu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi
dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang
penting terhadap susunan saraf pusat, ganglia otonom, cabang–cabang
neuromuskular dan semua jaringan otot (Siahaan, 2000).
2) Anestesi Regional
7
Anastesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri secara sentral yang
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali. Komponen anestesi umum
idealnya terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Trias anestesi ini dapat
dicapai dengan menggunakan obat yang berbeda secara terpisah. Teknik ini sesuai
untuk pembedahan abdomen yang luas, intraperitonium, toraks, intrakranial,
pembedahan yang berlangsung lama, operasi dengan posisi tertentu yang
memerlukan pengendalian pernafasan (Latif, 2006).
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan
kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama
penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk
meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi
dilakukan (Grace & Borley, 2012).
Menurut Syamsuhidayat & Jong, (2012) American Society of
Anesthesiologists (ASA) membuat klasifikasi pasien berdasarkan status fisik
pasien pra anestesi kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut:
1. ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi.
2. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter
dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan
lekositosis dan febris.
3. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi
dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium.
4. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehiduannya.
5. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi
atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok
hemoragik karena ruptura hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.
9
operasi kecil (misalnya menjahit luka atau manipulasi fraktur lengan), jika
lambung penuh, maka pilihan yang terbaik adalah anestesi regional. Untuk operasi
besar gawat darurat, anestesi regional atau umum sangat kecil perbedaannya
dalam hal keamanannya.
2.1.5 Dampak (Efek Samping)
Dampak (Efek Samping) tehnik anestesi general: Obstruksi jalan nafas,
aspirasi cairan lambung ke dalam paru, alergi atau hipersensitivitas, hipotensi
(termasuk hipotensi dalam keadaan terlentang pada kehamilan), gangguan irama
jantung, trauma pada mulut, faring, laring dan gigi, depresi pernafasan,
peningkatan tekanan intracranial, hipoksia pasca bedah, cedera toksik pada hepar
dan ginjal (Manjoer, 2012).
Anestesi umum atau lokal akan menyebabkan vasodilatasi kulit, sehingga
meningkatkan pengeluaran panas tubuh. walaupun perabaan kulit hangat, tetapi
temperatur dapat turun dengan cepat. Hipotermi selama anestesi dapat
menimbulkan 2 efek: peningkatan dan perpanjangan efek obat tertentu (misalnya
relaksan otot) dan karena pasien menggigil selama saat pemulihan, kebutuhan
oksigen akan meningkat dan dapat menyebabkan hipoksia (Dobson, 1994).
2.2 Hipotermia
2.2.1 Pengertian Hipotermi
Hipotermia adalah gangguan medis yang terjadi di dalam tubuh, sehingga
mengakibatkan penurunan suhu karena tubuh tidak mampu memproduksi panas
untuk menggantikan panas tubuh yang hilang dengan cepat. Kehilangan panas
karena pengaruh dari luar seperti air, angin, dan pengaruh dari dalam seperti
kondisi fisik (Lestari, 2010, p.2).
Hipotermia adalah kondisi di mana tubuh kita mengalami penurunanan
suhu inti (suhu organ dalam). Hipotermia bisa menyebabkan terjadinya
pembengkakan di seluruh tubuh (Edema Generalisata), menghilangnya reflex
tubuh (areflexia), koma, hingga menghilangnya reaksi pupil mata. Disebut
hipotermia berat bila suhu tubuh < 320C. Untuk mengukur suhu tubuh pada
hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading termometer)
sampai 250C. Di samping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal
penyakit yang berakhir dengan kematian.
13
c. Berat = <30°C
Pasien rentan mengalami fibrilasi ventrikular, dan penurunan kontraksi
miokardium, pasien juga rentan untuk menjadi koma, pulse sulit ditemukan,
tidak ada reflex, apnea, dan oligouria (Kliegman, 2007).
tersebut diperkenalkan pada tahun 1923 sebagai lokasi pilihan untuk pemulihan
segera pasien paska operasi (Aldrete dan Kroulik, 1970).
Pada masa transisi, kesadaran pasien masih belum sempurna sehingga
sumbatan jalan napas yang lebih besar ditambah lagi dengan reflek batuk, muntah,
dan menelan juga belum kembali normal (Bruno B dan Bernard D, 2005).
General Anestesi
Faktor-faktor yang mempercepat induksi juga mempercepat pemulihan
(cepat bangun/sadar) antara lain eliminasi dari rebreathing, aliran udara bebas
15
yang tinggi, volume sirkuit anestesi yang rendah, rendahnya absorbsi sirkuit
anestesi, rendahnya kelarutan, aliran darah serebral yang tinggi dan peningkatan
ventilasi. Penyembuhan (recovery) anestesi juga tergantung pada penurunan
konsentrasi anestesi pada jaringan otak, dimana obat-obat anestesi dapat
dieliminasi dengan biotransformasi, kehilangan melalui transcutaneus, dan
ekspirasi.
Menurut Hanifah (2007), faktor yang mengakibatkan waktu pulih sadar
lambat adalah jenis pembedahan, IMT dan hipotermi. Jenis pembedahan yang
dialami responden, seperti jenis pembedahan THT, bedah abdomen dan bedah
mulut membutuhkan obat tambahan untuk membuat otot rileks. Jenis pembedahan
abdomen juga membutuhkan durasi operasi lama, maka semakin lama juga
anestesi yang dilakukan dan obat yang ekskresikan lebih lambat, akhirnya dapat
menyebabkan pulih sadar berlangsung lama. IMT responden juga mempengaruhi
pulih sadar karena dosis yang diberikan sesuai dengan berat badan, semakin
banyak dosis yang diberikan ekskresi anestesi juga akan lama. Responden
hipotermi dapat mengganggu penurunan metabolisme obat, sehingga obat anestesi
dalam tubuh lama di ekskresikan dan waktu pulih sadarnya lama.
2.3.3 Tujuan pemeriksaan waktu pulih sadar
Tujuan dari pemeriksaan waktu pulih sadar adalah untuk memulihkan
kesehatan fisiologi dan psikologi dari pasien, antara lain:
1. Mempertahankan jalan napas.
2. Mempertahankan ventilasi/oksigenasi
3. Mempertahankan sirkulasi darah.
4. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase.
5. Keseimbangan cairan input dan output juga perlu diperhatikan.
6. Mempertahankan kenyamanan dan mencegah risiko luka
(Saphiro, 2007)
University of Pittsburgh Medical Center (UPMC) mengatakan bahwa
kriteria pasien dapat dipulangkan tergantung pada jenis operasi dan prosedurnya,
rawat inap yang sesuai atau kembali ke Unit Bedah Harian. Berikut merupakan
beberapa kondisi yang dapat mendasari keputusan tersebut di atas:
1. Pemulihan dari anestesi:
a. Pada anestesi umum, pasien harus terjaga dan keadaan mentalnya kembali
normal.
b. Pada anestesi spinal, pasien harus mampu merasakan dan menggerakkan
kaki sebagaimana pasien dapat menggerakkan kakinya sebelum operasi.
c. Tandatanda vital harus stabil dan suhu dasar harus normal.
d. Rasa nyeri harus terkontrol.
e. Jika terjadi mual atau muntah, maka pasien butuh untuk tinggal lebih lama
di Recovery Room.
f. Menggigil berlebihan dan hilangnya panas tubuh karena anestesi juga
membutuhkan waktu untuk tinggal lebih lama di Recovery Room.
g. Tergantung pada operasi dan jenis anestesinya, pasien mungkin
waktu tinggal lebih lama di Recovery Room. Jika semua kriteria terpenuhi,
pasien dapat ke Ruang Rawat Inap atau Unit Bedah Harian (UPMC, 2012).
2. Penilaian waktu pulih sadar
Sampai saat ini tidak ada kesepakatan bersama mengenai penilaian yang
kesadaran dan kesiapan pasien setelah anestesi untuk bisa keluar dengan aman
dari Recovery Room (Brunner et al., 2010).
Aldrete score adalah skor pemulihan paska anestesi yang dikembangkan
oleh J. Antonio Aldrete, MD dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1979 dan
kriteria yang menyatakan stabil atau tidaknya pasien setelah anestesi yang
17
diukur meliputi pengukuran kesadaran, aktivitas, respirasi, sirkulasi (tekanan
darah, laju pernafasan), dan warna kulit (Xie et al., 2014). Penggunaannya
(JCAHO), khususnya untuk menilai kemampuan mengevaluasi kondisi pasien
yang telah menjalani anestesi umum (Slee et al.,, 2008).
Skor yang diperoleh dari kriteria Aldrete score ini berkisar 110
sebagaimana Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1. Aldrete Scoring System
KRITERIA RECOVERY SCORE
In 15 30 45 60 Out
Aktifitas Dapat 4 anggota gerak 2 2 2 2 2 2
Bergerak 2 anggota gerak 1 1 1 1 1 1
volunter 0 anggota gerak 0 0 0 0 0 0
atau atas
perintah
Respirasi Mampu bernapas dan batuk 2 2 2 2 2 2
secara
bebas
Dyspnea, nafas dangkal atau 1 1 1 1 1 1
terbatas
Apnea 0 0 0 0 0 0
Sirkulasi Tensi pre- Tensi 20 mmHg 2 2 2 2 2 2
op …. Preop
mmHg Tensi 20 – 50 1 1 1 1 1 1
mmHg dari
preop
Tensi 50 mmHg 0 0 0 0 0 0
preop
Kesadaran Sadar penuh 2 2 2 2 2 2
Bangun waktu dipanggil 1 1 1 1 1 1
Tidak ada respons 0 0 0 0 0 0
Warna Normal 2 2 2 2 2 2
kulit Pucat kelabu 1 1 1 1 1 1
Sianotik 0 0 0 0 0 0
(Wirjoatmodjo, 2000)
Lampung Tahun 2018
Ho: Tidak ada hubungan hipotermi dengan waktu pulih sadar pasca general
Lampung Tahun 2018
19
BAB III
METODE PENELITIAN
waktu pulih sadar pasca general anestesi.
3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi penelitain adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti (Notoatmodjo S, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah semua
19
20
pasien operasi dengan general anestesi di pulih sadar RSUD DR. Hi. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung dengan rata-rata pasien 114 pasien.
3.3.2. Sampel Penelitian
Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi (Notoatmodjo, 2012). Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan
menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:
n = N
1+N(d 2 )
Keterangan:
n : Besar sampel
N : Besar populasi
d : Tingkat penyimpangan yang diinginkan (10%)
n = 114 = 88.7 atau 88 responden
1 + 114 (0.052)
3.3.3. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sampling incidental yang berarti penentuan semple dilakukan berdasarkan
kebetulan. Ialah siapa saja yang secara kebetulan/incidental bertemu dengan
peneliti dapat digunakan sebagai semple (Sugiyono, 2013). Bila dipandang
orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data. Dengan
mengambil semple dengan menggunakan kriteria semple sebagai berikut:
3.3.4. Kriteria Subjek Penelitian
1) Pasien post operasi dengan general anastesi
2) Laki-laki dan wanita;
3) Pasien bersedia menjadi responden.
Definisi
No Variabel Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Data
Operasional
c. Anonim (Anonimity)
Tindakan merahasiakan nama peserta terkait dengan partisipasi mereka dalam
suatu proyek penelitian. Hal ini untuk menjaga kerahasiaan informasi yang
telah diperoleh dari responden.
d. Kejujuran
Jujur dalam pengumpulan bahan pustaka, pengumpulan data,
pelaksanaan metode dan prosedur penelitian, publikasi hasil.Jujur pada
kekurangan atau kegagalan metode yang dilakukan. Jangan mengklaim
pekerjaan yang bukan pekerjaan Anda sebagai pekerjaan Anda
e. Objektivitas
Upaya meminimalkan kesalahan/bias dalam rancangan percobaan, analisis dan
interpretasi data, penilaian ahli/rekan peneliti, keputusan pribadi, pengaruh
pembari dana/sponsor penelitian
f. Integritas
Menepati selalu janji dan perjanjian, melakukan penelitian dengan tulus dan
upayakan menjaga konsistensi pikiran dan perbuatan.
g. Ketelitian
Teliti dan hindari kesalahan karena ketidakpedulian, secara teratur mencatat
pekerjaan dan catat alamat korespondensi responden, jurnal atau agen publikasi
lain.
dan juga mempercepat pada saat entry data. Untuk variabel hipotermi
kode 0 jika hipotermi dan kode 1 jika tidak hipotermi. Dan untuk
variabel waktu pulih sadar kode 0 jika waktu pulih sadar ≥ 15 menit,
dan kode 1 jika waktu pulih sadar < 15 menit.
3. Processing
Pada proses ini peneliti memasukkan data-data hasil dari penelitian
pada program komputerisasi, data-data hasil penelitian yang dibuat
dalam bentuk pengelompokkan data.
4. Cleaning
Peneliti melakukan pengecekan kembali data-data yang sudah dientry
apakah ada kesalahan atau tidak.
F
P x 100%
N
Keterangan:
P : Presentase
∑f : Total responden sesuai kategori
N : Total responden
Hasil dari presentase dan pemberian skor penelitian untuk variabel
diinterprestasikan dengan menggunakan kriteria kualitatif.
25
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.
Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square dengan rumus sebagai
berikut (Hastono, 2007):
( O – E )2
X2 = ∑
E
Keterangan:
X 2 : Chi Square
∑ : Jumlah
O : Frekuensi yang diamati (Observed)
E : Frekuensi yang diharapkan (Expected)
Berdasarkan hasil perhitungan statistik dapat dilihat kemaknaan
hubungan antara 2 variabel dengan menggunakan derajat kepercayaan
95% (α 0,05): Jika p value ≤ 0.05 maka bermakna/signifikan, berarti ada
hubungan yang bermakna antara variabel independen dengan variabel
dependen atau hipotesis (Ha) diterima, dan jika p value > 0.05 maka
tidak bermakna/ signifikan, berarti tidak ada hubungan yang bermakna
antara variable independent dengan variabel dependen, atau hipotesis
(Ha) ditolak.