Anda di halaman 1dari 34

UU No.

38 2014 tentang keperawatan menjelaskan pendidikan profesional di

Indonesia terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan klinik/profesi Ners.

Pendidikan keperawatan di Indonesia terdiri dua tahap

yang terintegrasi dan tidak terpisahkan yakni pendidikan akademik dan

profesi (Nursalam &Efendy, 2008; AIPNI,2015). Program perawat profesional (Ners)

diselesaikan dalam II (dua) semester selama setahun yang terdiri dari 13 mata kuliah

(Keperawatan Dasar, Keperawatan Medikal Bedah I, Keperawatan Medikal Bedah II,

Keperawatan Medikal Bedah III, Keperawatan Anak, Keperawatan Maternitas,

Keperawatan Jiwa, Manajemen Keperawatan, Keperawatan Gawat Darurat, Keperawatan

Gerontik, Keperawatan Komunitas, Keperawatan Keluarga, Praktek Belajar Lapangan

Komprehensif) dengan 36 SKS.

Profil kesehatan Indonesia Desember tahun 2016 mencatat jumlah keseluruhan

total perawat 296.876 orang, dan perawat Ners merupakan perawat lulusan S1

keperawatan dengan 1 tahun pendidikan profesi keperawatan sebanyak 10,84% (32.189)

(Kemenkes, 2017).

Adapun pendidikan profesi di lahan praktik rumah sakit bertujuan untuk

mengaplikasikan dan menerapkan konsep teori sehingga mahasiswa dituntut lebih aktif

dalam tindakan agar terampil dan mampu berpikir kritis dalam pengambilan keputusan

klinis (Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia, 2015). Sehingga dibutuhkan

berbagai macam metode pembelajaran yang interaktif dan inspiratif untuk memotivasi

peserta didik untuk aktif, kreatif, mandiri sesuai bakat dan minat (Wicaksono, 2014;

AIPNI 2015). Profesi keperawatan di Indonesia mengalami perkembangan yang

demikian pesat. Perkembangan ini memberi dampak berupa perubahan sifat pelayanan
keperawatan dari pelayanan vokasional menjadi profesional yang berpijak pada

penguasaan iptek keperawatan termasuk dalam pelayanan keperawatan.

Fathurrahman, (2015) menjelaskan terdapat berbagai macam metode

pembelajaran yang inovatif bisa dikembangkan oleh institusi pendidikan termasuk

pembelajaran experiential yang terdapat pada model student centered oriented.

Pembelajaran experiential tidak hanya memberikan konsep pengetahuan saja namun

membangun ketrampilan melalui penugasan nyata, selain itu dapat meningkatkan

ketrampilan pikiran merespek (respectful mind) mahasiswa untuk menghargai dan

menerima orang lain sebesar 13,81%, empati sebesar 16,73% dan kemampuan

bekerjasama 19,69%. Pembelajaran experiential dapat meningkatkan nilai rata-rata hasil

belajar siswa dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor; dan juga peningkatan

aktivitas siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan modul praktik. Sehingga dapat

dipastikan bahwa memang mahasiswa keperawatan sering mengalami kecemasan selama

menempuh pendidikan keperawatan termasuk saat praktik klinik

World Health Organization (WHO 2016), mengatakan kecemasan merupakan

salah satu gangguan mental dan lebih dari 260 juta orang hidup dengan gangguan

kecemasan di dunia. Prevalensi gangguan mental sering mulai terjadi pada usia muda dari

pada populasi usia lain (WHO, 2016). Dalam penelitian (Seidi, 2017) di Universitas

Garmian Iraq menunjukkan bahwa prevalensi gangguan kecemasan pada mahasiswa

lebih dari 80%.

Pelaksanaan pembelajaran klinik saat ini masih banyak dijumpai hambatan untuk

mencapai tujuan pembelajaran, seperti kecemasan dengan lingkungan belajar klinik. Hal

ini disebabkan karena mahasiswa merasa adanya beban secara fisik dan psikis sehingga
mahasiswa mengalami kegagalan mengaplikasikan proses keperawatan dalam

memecahkan masalah klien yang mempengaruhi capaian pembelajaran klinik.

(Hardisman, 2009; Nelwati, 2012; Atti, 2015). Selain memiliki hambatan, (Khoiriyati,

2016) juga memberi pendapat bahwa mahasiswa juga akan memperoleh pengetahuan,

ketrampilan dan karakteristik sikap profesi serta belajar berespon kepada lingkungan

sesuai yang diharapkan dan sesuai tuntutan akhlak.

Ada permasalahan yang ditemukan pada 10 orang mahasiswa program (A dan B)

Ners PSIK UNAND pada siklus ke VIII yaitu KGD dan KMB lingkungan klinik di

rumah sakit (RSUP. Dr. M. Djamil & RS. Siti Rahmah) yang sedang melaksanakan

pembelajaran praktik klinik keperawatan pada tanggal 2 Agustus 2011 yaitu mahasiswa

merasa lebih tegang dalam belajar praktik dibandingkan dengan belajar teori dan pernah

gagal lebih dari 2 kali dalam melakukan tindakan klinis (memasang infus) yaitu sebanyak

81%. Mahasiswa khawatir jika akan masuk ke lahan praktik dengan lingkungan yang

baru yaitu sebanyak 63%. Mahasiswa tidak konsentrasi ketika melakukan tindakan

perawatan tanpa didampingi pembimbing klinik dan panik ketika melakukan pengkajian

keperawatan langsung kepada pasien yaitu sebanyak 36% (Jurnal Keperawatan Nelwati,

dkk 2012). Mahasiswa keperawatan merupakan seorang calon perawat yang turut serta

dalam pemberian asuhan keperawatan, sehingga perlu dibekali kemampuan perawatan

pasien sedini mungkin untuk mencegah kesalahan yang dapat menyebabkan insiden

keselamatan pasien.

Penelitian (Sukesih, dkk 2015) menyebutkan bahwa patient safety atau

keselamatan pasien menjadi spirit dalam pelayanan rumah sakit diseluruh dunia, tidak

hanya rumah sakit di negara maju yang menerapkan keselamatan pasien untuk menjamin
mutu pelayanan yang baik, tetapi juga rumah sakit di negara berkembang seperti

Indonesia.

Join Commision International (2015) dan WHO juga telah mengeluarkan “Nine

Life-Saving Patient Safety Solutions”. Dengan diterbitkannya Nine Life Saving Patient

Safety oleh WHO, maka Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) mendorong

rumah sakit di Indonesia untuk menerapkan Sembilan Solusi “Life-Saving” Keselamatan

Pasien Rumah Sakit, langsung atau bertahap sesuai dengan kemampuan dan kondisi RS

masing-masing.

Sembilan Solusi Keselamatan Pasien, isinya sama dengan yang telah disepakati

oleh WHO, diantaranya: Pertama; Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip

(Look-Alike, Sound-Alike Medication Names). Kedua; Pastikan Identifikasi Pasien.

Ketiga; Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima/Pengoperan Pasien. Keempat;

Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar. Kelima; Kendalikan Cairan

Elektrolit Pekat (Concentrated). Keenam; Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada

Pengalihan Pelayanan. Ketujuh; Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).

Kedelapan; Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai. Kesembilan; Tingkatkan Kebersihan

Tangan (Hand Hygiene) untuk Pencegahan Infeksi Nosokomial.

Menurut Safety Attitudes Questionnaire (SAQ) (2016) ada 6 domain yang di nilai

yaitu; Team work climate, kepuasan kerja, persepsi manajemen, budaya keselamatan,

lingkungan kerja dan stress recognition. WHO (2017) mengungkapkan berbagai faktor

mempengaruhi pelaksaan keselamatan pasien meliputi; faktor eksternal rumah sakit,

faktor organisasi dan manajemen, lingkungan kerja, kerjasama tim, petugas, beban kerja,

pasien dan komunikasi.


UU RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit ayat 1 yang mengisyaratkan

bahwa: “Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberi pelayanan kesehatan yang

aman, bermutu, antidiskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien

sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.” Berdasarkan UU

No.1691/MENKES/PER/ VIII/2011 tentang patient safety pihak rumah sakit diharuskan

melakukan kegiatan pelayanan dengan lebih mengutamakan patient safety. Namun,

kenyataannya permasalahan patient safety meskipun telah terakreditasi masih banyak

masalah keselamatan pasien terjadi diseluruh negara didunia

Berdasarkan beberapa penelitian dalam pengukuran terhadap pelaporan Patient

Safety pada beberapa rumah sakit didunia yang telah terakreditasi JCI. Penelitian

Pham.JC et al (2016) dilakukan di 11 rumah sakit dari 5 negara terdapat 52 insiden

patient safety yaitu Hongkong 31%, Australia 25%, India 23%, Amerika 12% dan

Kanada 10%. Sementara di Brazil kejadian adverse event di rumah sakit diperkirakan

7,6% (Duarte, Euzébia, & Santos, 2017).

Jumlah seluruh mahasiswa program profesi Ners yang sebanyak 44 orang yang

sedang menjalani dinas di Rumah Sakit Pusat Haji Adam Malik, masing-masing

diantaranya memiliki bentuk kecemasan dan persepsi tentang lingkungan belajar linik

dalam implementasi patient safety.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan pada tanggal 28 November 2019,

dari 44 orang mahasiswa profesi Ners, 15 diantaranya memberikan persepsi terhadap

lingkungan belajar klinik, dimana tidak semua tempat praktek klinik mampu memberikan

lingkungan pembelajaran yang positif bagi mahasiswa. Ini dikarenakan oleh berbagai
faktor yang terdiri dari, persepsi suasana ruang perawatan, gaya kepemimpinan kepala

ruangan/CI, nilai-nilai pembelajaran diruangan dan hubungan supervisi.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan pada tanggal 28 November 2019,

dari 44 orang mahasiswa profesi Ners, 15 orang diantaranya mengalami kecemasan saat

sedang menjalani praktek belajar lingkungan klinik. Kecemasan dalam hal ini berbentuk,

kecemasan akan pembuatan laporan yang harus dibuat setiap seminggu sekali, tidak

adanya cuti/hari libur, waktu, tenaga, mental dan fisik yang semakin berat. Sebagian juga

mengatakan tidak hanya mengalami kecemasan melainkan juga mengalami stress.

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan pada mahasiswa profesi Ners,

mengenai persepsi dalam implementasi Patient Safety, beberapa tindakan Patient Safety

yang telah diterapkan diantaranya five moment, benar cara pemberian obat, dan tindakan

yang benar pada sisi tubuh yang benar serta indentifikasi pasien. Dalam penerapan

patient safety, tentunya juga masing-masing mahasiswa memiliki persepsi yang berbeda-

beda. Sehingga, tidak mudah untuk mengimplemtasikan patient safety.

Berdasarkan fenomena/masalah diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian, apakah ada hubungan tentang “Hubungan Lingkungan Belajar Klinik dengan

Kecemasan dan Persepsi dalam Implementasi Patient Safety pada Mahasiswa Program

Profesi Ners”.

2.1. Kecemasan

2.1.1. Defenisi Kecemasan

Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan

perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik

(Stuart, 2015). Kecemasan adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh
situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki

firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam

tersebut terjadi. Ansietas merupakan alat peringatan internal yang memberikan tanda bahaya

kepada individu (Videbeck, 2008).

Kecemasan pada mahasiswa seringkali di hubungkan pada situasi ujian, dimana ujian

merupaka sala satu cara mengevaluasi mahasiswa terhadap suatu materi belajar dan juga menjadi

sumber kecemasan bagi mahasiswa (Basuki, 2014).

2.1.2. Klasifikasi Tingkat Kecemasan

Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Menurut Peplau

(1952) dalam Suliswati (2014) ada empat tingkatan yaitu:

1. Kecemasan Ringan

Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. Individu masih waspada serta

lapang persepsinya meluas, menajamkan indera. Dapat memotivasi individu untuk belajar

dan mampu memecahkan masalah serta efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan

kreatifitas.

2. Kecemasan Sedang

Kecemasan sedang memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan

mengesampingkan yang lain. Kecemasan ini mempersempit lapangan persepsi individu

dengan demikian individu tidak mengalami perhatian yang selektif namun dapat berfokus

pada lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.

3. Kecemasan Berat
Kecemasan berat sangat mempengaruhi lapang persepsi individu. Individu cenderung

berfokus pada suatu yang rinci dan spesifik serta tidak berfikir pada hal lain. Semua

perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memrlukan banyak

arahan untuk berfokus pada area lain.

4. Tingkat Panik

Ketakutan yang berhubungan dengan terperangah, takut, dan teror. Hal yang rinci

terhadap proporsinya karena mengalami hilang kendali, individu yang mengalami panic

tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan.

2.1.3. Tanda Dan Gejala Kecemasan

Gejala-gejala psikologis adanya kecemasan bila ditinjau dari beberapa aspek antar lain

pikiran, dimana keadaan pikiran yang tidak menentu, seperti khawatir, sukar konsentrasi, pikiran

kosong, memandang diri sebagai sangat sensitif, dan merasa tidak berdaya. Reaksi biologis yang

tidak dapat dikendalikan, seperti berkeringat, gemetar, pusing, jantung berdebar-debar, mual, dan

mulut kering. Perilaku gelisah keadaan diri yang tidak terkendali seperti gugup, kewaspadaan

diri yang berlebihan, serta sangat sensitif.

Menurut Hawari (2011) seorang akan mengalami gangguan cemas manakala seseorang tidak

mampu mengatasi stressor psikososial yang dihadapinya. Secara klinis selain gejala cemas yang

biasa, disertai dengan kecemasan yang menyeluruh dan menetap (paling sedikit berlangsung

selama 1 bulan) dengan 2 kategori gejala sebagai berikut :

a. Rasa khawatir berlebihan tentang hal-hal yang akan datang (apprehensive expectasion)

adalah cemas, khawatir, takut, berfikir ulang (rumination), membayangkan akan

datangnya kemalangan pada dirinya maupun orang lain.


b. Kewaspadaan berlebihan yaitu mengamati lingkungan secara berlebihan sehingga

mengakibatkan perhatian mudah teralih, sukar konsentrasi, sukar tidur, mudah

tersinggung dan tidak sabar.

2.1.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Yang et al (2014), menyatakan bahwa kecemasan yang dialami mahasiswa disebabkan

oleh beberapa faktor yaitu sikap pengawas ujian, suasana ujian, keterampilan mahasiswa, ujian

itu sendiri dan perasaan intern yang dialami oleh mahasiswa itu sendiri (tidak yakin lulus).

Menurut Stuart (2013), faktor yang mempengaruhi kecemasan dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Faktor predisposisi yang menyangkut tentang teori kecemasan

a. Teori psikoanalitik

Teori psikoanalitik menjelaskan tentang konflik emosional yang terjadi antar dua

elemen kepribadian diantaranya Id dan Ego. Id mempunyai dorongan naluri dan

impuls primitive seseorang, sedangkan Ego mencerminkan hati nurani seseorang dan

dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Fungsi kecemasan dalam Ego

adalah mengingatkan ego bahwa adanya bahaya yang akan datang (Stuart, 2013).

Menurut Yang et al (2014), penyebab kecemasan dalam ujian skill lab yaitu

mahasiswa tidak yakin akan standar kelulusan dan mahasiswa khawatir tentang

efektivitas dalam ujian skill lab.

b. Teori interpersonal

Stuart (2013) menyatakan, kecemasan merupakan perwujudan penolakan dari

individu yang menimbulkan perasaan takut. Kecemasan juga berhubungan dengan

perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan


kecemasan. Individu dengan harga diri yang rendah akan mudah mengalami

kecemasan.

Menurut Yang et al (2014), penyebab kecemasan dalam ujian skill lab

berdasarkan teori interpersonal yaitu mahasiswa khawatir tentang perilaku dosen

yang mengawasi saat ujian skill lab dan mahasiswa juga khawatir akan adanya

ketidakcukupan sumber untuk menghadapi ujian skill lab.

c. Teori perilaku

Pada teori ini, kecemasan timbul karena adanya stimulus lingkungan spesifik,

pola berpikir yang salah, atau tidak produktif dapat menyebabkan perilaku

maladaptif. Menurut Stuart (2013), penilaian yang berlebihan terhadap adanya bahaya

dalam situasi tertentu dan menilai rendah kemampuan dirinya untuk mengatasi

ancaman merupakan penyebab kecemasan pada seseorang.

d. Teori biologis

Teori biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus yang dapat

meningkatkan neuroregulator inhibisi (GABA) yang berperan penting dalam

mekanisme biologis yang berkaitan dengan kecemasan. Gangguan fisik dan

penurunan kemampuan individu untuk mengatasi stressor merupakan penyerta dari

kecemasan.

2. Faktor presipitasi

a. Faktor eksternal

1. Ancaman integritas fisik

Meliputi ketidakmampuan fisiologis terhadap kebutuhan dasar sehari-hari yang bisa

disebabkan karena sakit, trauma fisik, kecelakaan.


2. Ancaman sistem diri

Diantaranya ancaman terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan, dan perubahan status

dan peran, tekanan kelompok, sosial budaya.

b. Faktor internal

1. Usia

Gangguan kecemasan lebih mudah dialami oleh seseorang yang mempunyai usia lebih

muda dibandingkan individu dengan usia yang lebih tua (Kaplan & Sadock, 2010).

2. Stressor

Kaplan dan Sadock (2010) mendefinikan stressor merupakan tuntutan adaptasi terhadap

individu yang disebabkan oleh perubahan keadaan dalam kehidupan. Sifat stresor dapat

berubah secara tiba-tiba dan dapat mempengaruhi seseorang dalam menghadapi

kecemasan, tergantung mekanisme koping seseorang. Semakin banyak stresor yang

dialami mahasiswa, semakin besar dampaknya bagi fungsi tubuh sehingga jika terjadi

stressor yang kecil dapat mengakibatkan reaksi berlebihan.

3. Lingkungan

Individu yang berada di lingkungan asing lebih mudah mengalami kecemasan dibanding

bila dia berada di lingkungan yang biasa dia tempati (Stuart, 2013).

Dari faktor lingkungan, menurut Yang et al (2014), yang menyebabkan kecemasan dalam

ujian skill lab yaitu mahasiswa khawatir tentang suasana lingkungan selama skill tes

keperawatan.

4. Jenis kelamin

Wanita lebih sering mengalami kecemasan daripada pria. Wanita memiliki tingkat

kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan bahwa wanita lebih
peka dengan emosinya, yang pada akhirnya mempengaruhi perasaan cemasnya (Kaplan

& Sadock, 2010).

5. Pendidikan

Menurut Lallo, et al (2013), faktor pendidikan yang mempengaruhi kelulusan

mahasiswa saat menghadapi ujian OSCE yaitu kemampuan mahasiswa. Kemampuan

tersebut biasanya dikenal dengan Intelligence Quotient (IQ) atau disebut juga tingkat

kepintaran mahasiswa. Hal yang dapat mempengaruhi tingkat kepintaran mahasiswa

adalah persiapan mahasiswa tentang pemahaman materi dan kemampuan skill yang

didapat sebelum menghadapi ujian. Jika persiapan yang dilakukan mahasiswa baik maka

hasil ujian yang akan diperoleh akan baik.

2.1.5. Alat Ukur Kecemasan

Cheung dan Sim (2014) menyatakan bahwa tes kecemasan telah dikonseptualisasikan

dalam berbagai cara sepanjang tahun. Beberapa peneliti merujuk pada gangguan kognitif yang

terlibat dan orang lain untuk reaksi emosional. Ada kesepakatan bahwa kecemasan dapat

diklasifikasikan menjadi dua komponen, keadaan dan ciri kecemasan.

Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) atau lebih di ringkas sebagai Depression

Anxiety Stress Scale 21 (DASS 21) yang dipelopori oleh Lovibond (1995) merupakan alat uji

instrumen yang telah baku dan tidak perlu diuji validitasnya lagi. DASS terdiri dari 42 item

pertanyaan yang menggambarkan tingkat stress dan kecemasan (Lovibond, 1995;2). DASS

adalah seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari

depresi, kecemasan dan stress.


Masing-masing dari tiga skala DASS berisi 14 item, dibagi menjadi sub-skala dari 2-5

item dengan isi yang serupa. Skala depresi menilai dysphoria, putus asa, devaluasi hidup, sikap

meremehkan diri, kurangnya minat/keterlibatan, anhedonia, dan inersia. Skala kecemasan

menilai gairah otonom, efek otot rangka, kecemasan situasional, dan pengalaman subjektif dari

mempengaruhi cemas. Skala stress sensitif terhadap tingkat kronis non-spesifik gairah. Ini

menilai kesulitan santai, gairah saraf dan menjadi mudah marah/gelisah, mudah

tersinggung/over-reaktif dan tidak sabar. Subyek diminta untuk menggunakan 4 poin

keparahan/skala frekuensi.

Skor untuk masing-masing responden selama masing-masing sub skala, kemudian

dievaluasi sesuai dengan keparahan-rating indeks di bawah :

Normal : 0-7

Cemas ringan : 8-9

Cemas sedang : 10-14

Cemas parah : 15-19

Panik : >20

2.2. Lingkungan Belajar Klinik

2.2.1. Defenisi Lingkungan Belajar Klinik


Lingkungan belajar klinik atau tempat praktik adalah suatu institusi di masyarakat

dimana peserta didik berpraktik pada situasi nyata melalui penumbuhan dan pembinaan

keterampilan intelektual, teknikal, dan interpersonal (Nursalam dan Effendi, 2008). Karakteristik

dari pendidikan keperawatan adalah hubungan yang sangat erat antara teori dengan prakik. Hal

ini dapat diartikan bahwa salah satu aspek dalam pendidikan keperawatan, baik teori saja

ataupun praktik saja tidak dapat berdiri dan dipelajari sendiri (Papastavrou et al., 2010).

Pembelajaran klinik atau praktik klinik keperawatan adalah suatu proses transformasi

mahasiswa menjadi seorang perawat professional yang memberi kesempatan kepada mahasiswa

untuk beradaptasi dengan perannya sebagai perawat professional dalam melaksanakan praktik

keperawatan professional disituasi nyata pada pelayanan kesehatan klinik atau komunitas

(Nursalam, dkk 2017). Praktik klinik keperawatan diharapkan bukan hanya sekedar kesemptan

untuk menerap kan teori yang dipelajari dikelas kedalam praktik professional.

Menurut Reily & Obermann (2002) komponen dalam lingkungan belajar klinik adalah

sebagai berikut:

1. Komunikasi dan Feedback

Pengajaran klinis yang efektif mengajukan banyak tuntutan bagi staf pengajar

yaitu tuntutan akan pengetahuan dan keahlian klinis, keterampilan dalam berinteraksi

dengan peserta didik dan yang lainnya didalam lingkungan dan karakteristik personal

yang dapat meningkatkan pembelajaran.

2. Kesempatan Belajar

Lingkungan klinis lebih dari sekedar suatu tempat untuk menerapkan teori-teori

ke dalam praktik. Lingkungan ini menyediakan kesempatan belajar untuk


mengembangkan keterampilan, pemecahan masalah dan pembuat keputusan serta

untuk kolaborasi dengan disiplin ilmu dalam menemukan solusi suatu masalah klinis.

3. Dukungan Belajar

Lingkungan klinis banyak akan pengalaman belajar tetapi lingkungan kurang

mendukung sehingga mematahkan semangat peserta didik untuk mencari pengalaman

dan akibatnya banyak kesempatan untuk maju hilang. Demikian juga, suatu

lingkungan yang memiliki pengalaman terbatas tetapi lingkungannya sangat

mendukung dapat menyediakan kesempatan bagi peserta didik untuk mengkaji

kebutuhan perawatan kesehatan yang baru dan cara untuk memenuhi kebutuhan

tersebut.

4. Suasana Lingkungan Praktek.

Praktek klinis bersifat menekan (stressful) peserta didik. Lingkungan tidak dapat

sepenuhnya dikendalikan, peserta didik dihadapkan pada peristiwa yang tidak

diharapkan. Peserta didik keperawatan mengalami tingkat kecemasan yang tinggi.

2.2.2. Metode Pembelajaran Klinik Keperawatan

Metode pembelajaran klinik merupakan suatu metode untuk mendidik peserta didik di klinik

yang memungkinkan pendidik memilih dan menerapkan cara mendidik yang sesuai dengan

tujuan dan karakteristik individual peserta didik berdasarkan kerangka konsep pembelajaran

(Nursalam dan Efendi 2007). Menurut Widyawati dan Aulawi (2008), dalam menentukan

metode pembelajaran klinik ada beberapa kriteria yang baru diperhatikan yaitu:

a. Kesesuaian tujuan pengalaman belajar klinik dengan metode pengajaran.

b. Kesesuaian peserta didik dengan kemampuan pengalaman dan karakteristik lain.


c. Kesesuaian keterampilan pengajar dan kerangka konsep proses pembelajaran.

d. Ketepatan sumber-sumber yang tersedia dan kendala di lahan praktik.

e. Menyediakan berbagai metode dengan berbagai kompetensi yang akan dicapai.

2.2.3. Keunggulan Lingkungan Belajar Klinik

Belajar dilingkungan klinik memiliki banyak keunggulan. Pembelajaran klinik berfokus

pada masalah nyata dalam konteks praktik professional. Mahasiswa termotivasi oleh

kesesuaian kompetensi yang dilakukan melalui partisipasi arti pembelajaran klinik;

sedangkan pemikiran, tindakan, dan sikap professional di perankan oelh pembimbing klinik

(Clinical Instruction-CI). Lingkungan klinik merupakan wadah bagi mahasiswa untuk belajar

pemeriksaan fisik, argumentasi klinik, pengambilan keputusan, empati, serta profesionalisme

yang di ajarkan dan di pelajari sebgai satu kesatuan. (Penelitian; Dewi Purnama Sari, dkk

2013).

2.2.4. Prinsip Pembelajaran Klinik

Upaya untuk mendapatkan bimbingan dilapangan yang lebih optimal saat di

dalam pelaksanaan bimbingan latihan di lapangan memperhatikannya hal-hal

(Hidayat, 2015):

a. Memberi kesempatan pada peserta didik untuk menerapkan ilmu pengetahuan

dan keterampilan yang telah di pelajari dikelas dari berbagai disiplin ilmu

yang didukung dalam percakapan nyata.


b. Mengembangkan potensi peserta didik untuk mengumpulkan pendidikan atau

keterampilan yang dihargai dalam konteks nyata di tempat pelayanan

kesehatan.

c. Memberi peluang pengalaman belajar bagi peserta didik bekerja dengan tim

kesehatan dan membantu proses penyembuhan pasien.

d. Memberikan pengalaman awal dan memuji peserta didik dunia kerja

professional.

e. Membantu mengatasi masalah yang dialami peserta didik yang ditemukan.

2.2.5. Faktor Pendukung Pembelajaran Klinik.

a. Pembimbing klinik.

Pembimbing klinik/instructur clinic adalah perawat yang terpilih, perawat

yang ahli dalam praktik klinik, mendukung untuk membimbing dan

mengarahkan peserta didik selama proses pembelajaran dilahan praktik sesuai

dengan tujuan pembelajaran yang telah dibuat (Widodo, 2015).

Pembimbing klinik merupakan tenaga perawat yang di tunjuk atau

ditunjuk oleh lembaga yang digunakan sebagai tempat praktik. Membimbing

adalah suatu proses bantuan yang terus menerus dan sistematis dari

pembimbing yang di bombing agar dapat mencapai kemandirian dalam

memahami diri sendiri, menerima diri sendiri, memriksa diri sendiri dan

membuat perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang

optimal dan menyesuaikan diri dengan lingkungan (Asyahadi, 2015).


b. Sasaran bimbingan

Proses bimbingan diharapkan memiliki sasaran yang maksimal dalam

membantu individu (Hidayat, 2016). Sasaran tersebut yaitu:

1. Pengungkapan, pengenalan dan penerimaan diri. Melalui proses

bimbingan diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk meminta

bantuan baik dari segi kemampuan maupun keterbatasan.

2. Pengenalan terhadap lingkungan. Lingkungan dari proses bimbingan

mewakili lingkungan dengan iklim yang kondusif sehingga akan

memudahkan mahasiswa dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan

yang ada membahasnya.

3. Pengambilan keputusan. Proses bimbingan pada intinya membantu

mahasiswa menentukan pilihan dan agar mahasiswa bertanggungjawab

terhadap yang dipilihnya.

4. Pengarahan diri. Individu atau mahasiwa yang di bombing akan berusaha

mengambil keputusan yang ditentukannya, dan diminta mendukung pada

kegiatan yang menguntungkan.

5. Perwujudan diri. Perwujudan diri merupakan kemampuan merealisasikan

diri (mewujudkan diri) yang merupakan tujuan akhir dari upaya

bimbingan, individu mampu mengembangkan kemampuannya sesuai

dengan minat dan bakatnya.

c. Kriteria pemilihan.

Perencanaan pengalaman belajar, klinik penyelesaian keputusan, metode yang

akan digunakan yang dapat disetujui, tujuan pembelajaran. Proses pemilihan


metode harus sesuai dengan tujuan belajar “perilaku masuk” dan karakteristik

peserta didik, kualitas serta keterampilan pengajar, yang berperilaku dengan

rasio peserta didik, pengajar, karakteristik lahan latihan serta keunggulan

metode yang dipilih. Kriteria dan pemilihan metode pengajaran dan pemilihan

klinik harus sesuai dengan (Oermann, 2015):

1. Tujuan pengalaman praktik klinik.

2. Kemampuan, pengalaman, dan karakteristik peserta didik.

3. Kemampuan pembimbing, persetujuan konsep proses pembelajaran.

4. Sumber-sumber dan keterbatasan lahan praktik.

5. Filosofi keperawatan.

6. Kompetensi yang ada.

2.2.6. Alat Ukur Lingkungan Belajar Klinik

Lingkungan pembelajaran klinis, pengawasan dan perawat guru

(CLES+T) skala evaluasi. Skala evaluasi memiliki sejumlah subdimensi :

atmosfer pedadogis dilingkungan; hubungan pengawas; gaya kepemimpinan

manajer lingkungan; tempat perawatan; dan peran guru perawat. Kuesioner

CLES+T (Clinical Learning Environment, Supervision And Nurse Teacher)

dibuat oleh Saarikoski dan Leino-Killi pada tahun 2008 (Saarikoski et al, 2008)

berdasarkan teori mendasar pembelajaran klinik. Instrument ini terdiri dari 35

pernyataan yang terbagi dalam 5 sub dimensi, yaitu : atmosfer pedadogis

dilingkungan (9 pernyataan), hubungan pengawas (8 pernyataan), gaya

kepemimpinan manajer lingkungan (4 pernyataan), tempat perawatan (4


pernyataan), peran guru perawat (9 pernyataan). Kemudian 1 sub dimensi

mengenai kepuasan mahasiswa terhadap penempatan praktek klinik.

2.3. Persepsi

2.3.1. Defenisi Persepsi.

Sebuah proses internal yang dinamakan persepsi, yang bermanfaat sebagai sebuah alat

penyaring (filter) dan sebagai metode untuk mengorganisasi stimuli yang memungkinkan

kita menghadapi lingkungan kita. Proses persepsi tersebut menyediakan mekanisme

melalui seleksi stimuli dan di kelompokkan dalam wujud yang berarti. Akibatnya adalah

bahwa kita lebih dapat memahami gambaran mengenai lingkungan yang diwakili oleh

stimuli tersebut (Winardi, 2016).

Persepsi pada hakikatnya adalah merupakan proses penilaian seseorang terhadap objek

tertentu. Persepsi adalah suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan

menggunakan panca indra (Drever dalam Sasanti, 2015).

2.3.2. Syarat Terjadinya Persepsi

Menurut Sunaryo (2004:98) syarat-syarat terjadinya persepsi adalah sebagai berikut:

a. Adanya objek yang di persepsi.

b. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam

mengadakan persepsi.

c. Adanya alat indera atau reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus.
d. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang kemudian

sebagai alat untuk mengadakan respon.

2.3.3. Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi.

Menurut Miftah Toha (2003:154), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

seseorang adalah sebagai berikut:

a. Faktor internal : perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka, keinginan atau

harapan, perhatian (focus), proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai

dan kebutuhan juga minat, dan motivasi.

b. Faktor eksternal : latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan dan

kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru

dan familiar atau ketidakasing suatu objek.

Menurut Bimo Walgito (2004:70), faktor-faktor yang berperan dalam persepsi dapat

di kemukakan beberapa faktor, yaitu:

a. Objek yang di persepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat

datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri

individu yang bersangkutan yang langsung mengenai saraf penerima yang bekerja

sebagai reseptor.

b. Alat indera, saraf dan susunan saraf.

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus, disamping itu

juga harus ada saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima

reseptor ke pusat susunan saraf, yaitu otak sebagai pusat ke sasaran. Sebagai alat
untuk mengadakan respon diperlukan motoris yang dapat membentuk persepsi

seseorang.

c. Perhatian.

Untuk menyadari atau dalam mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu

merupakan langkah utama yaitu sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan

persepsi. Perhatian merupakan pemutusan atau konsentrasi dari seluruh aktifitas

individu yang ditujukan kepada sesuatu sekumpulan objek.

Faktor-faktor tersebut menjadikan persepsi individu berbeda satu sama lain dan

akan berpengaruh pada individu dalam mempersepsi suatu objek, stimulus, meskipun

objek tersebut benar-benar sama. Persepsi seseorang atau kelompok dapat jauh

berbeda dengan persespi orang atau kelompok lain sekalipun situasinya sama.

Perbedaan persepsi dapat ditelusuri pada adanya perbedaan-perbedaan individu,

perbedaan-perbedaan dalam kepribadian, perbedaan dalam sikap atau perbedaan

dalam motivasi.

2.3.4. Proses Persepsi.

Menurut Miftah Toha (2003:145), proses terbentuknya persepsi didasari pada

beberapa tahapan, yaitu :

a. Stimulus atau rangsangan.

Terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan pada suatu stimulus

atau rangsangan yang hadir pada lingkungan.

b. Registrasi.
Dalam proses registrasi, suatu gejala yang nampak adalah mekanisme fisik

yang berupa penginderaan saraf seseorang berpengaruh melalui alat indera

yang dimilikinya. Seseorang dapat mendengarkan atau melihat informasi yang

terkirim kepadanya, kemudian mendaftar semua informasi yang terkirim

kepadanya tersebut.

c. Interpretasi.

Interpretasi merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang sangat penting

yaitu proses memberikan arti kepada stimulus yang diterimanya. Proses

interpretasi tersebut bergantung pada cara pendalaman, motivasi, dan

kepribadian seseorang.

2.3.5. Alat Ukur Persepsi

Menurut Sugiyono (2010:199), kuesioner merupakan teknik pengumpulan

data dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis

kepada responden untuk menjawabnya. Dalam hal ini kuesioner persepsi

lingkungan pembelajaran klinik (sumber; Sribd, 2016) bersifat kuesioner

tertutup. Kueioner tertutup ini dalam arti yang sudah disediakan jawabannya

sehingga responden tinggal memilih. Dalam pemilihan jawaban, penulis

menggunakan skala sikap, yaitu skala likert. Skala Likert menurut Sugiyono

(2010:134) adalah “Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat

dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial.


Penulis menyediakan alternatif pilihan jawaban yang mempunyai gradiasi dari

sangat positif sampai dengan sangat negatif.

2.4. Patient Safety

2.4.1. Pengertian Patient Safety

Hal terpenting dalam pemeberian pelayanan kesehatan adalah keselamatan pasien

(patient safety) itu sendiri. Rumah sakit sebagai institusi pemberi pelayanan

kesehatan harus dapat menjamin pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien

karena keselamatan pasien di sebuah rumah sakit merupakan bagian dari sistem

rumah sakit untuk membuat asuhan pasien lebih aman (Permenkes RI 2011).

2.4.2. Tujuan Keselamatan Pasien

Tujuan keselamatan pasien menurut Permenkes RI (2011) adalah untuk

menciptakan budaya atau iklim keselamatan pasien dirumah sakit, meningkatkan

kepercayaan (akuntabilitas) pasien dan masyarakat terhadap rumah sakit, mengurangi

kejadian yang tidak diharapkan (KTD) dan terwujudnya pelaksanaan program-

program pencegahan sehingga tidak terjadi kembali kejadian yang tidak diharapkan

(KTD).

2.4.3. Standar Keselamatan Pasien

Pentingnya akan keselamtan pasien di rumah sakit, maka dibuatlah

standar keselamtan pasien dirumah sakit. Standar keselamatan pasien di

rumah sakit ini akan menjadi acuan setiap asuhan yang akan diberikan
kepada pasien. Menurut Depkes RI (2011), ada tujuh standar keselamatan

pasien yaitu:

1. Hak pasien

2. Mendidik pasien dan keluarga

3. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan

4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi

dan program peningkatan keselamatan pasien

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamtan

pasien.

2.4.4. Sasaran Keselamatan Pasien (Patient Safety Goals)

Selain dari standar keselamatan, ada lagi yang menjadi poin

penting dalam pelaksanaan keselamatan pasien yaitu sasaran keselamatan

pasien atau patient safety goals. Sasaran keselamatan pasien merupakan

syarat untuk diterapkan disemua rumah sakit yang diakreditasi oleh komisi

akreditasi rumah sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-

Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang

digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI

(KKPRSI), dan Joint Commission International (JCI).

Menurut Joint Commission International (2013) terdapat 6 sasaran

keselamatan pasien yaitu:


1. Identifikasi pasien dengan benar

2. Meningkatkan komunikasi yang efektif

3. Meningkatkan keamanan obat yang perlu diwaspadai

4. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi

5. Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

6. Pengurangan resiko pasien jatuh

2.5. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep-konsep atau

variabel-variabel yang akan diamati atau diukur melalui penelitian yang akan

dilaksanakan.

Adapun kerangka konsep pada penelitian ini adalah :

Variabel Independen Variabel Dependen

Kecemasan dalam implementasi


patient safety
1. Ringan
2. Sedang
Lingkungan belajar klinik 3. Berat
1. Baik 4. Panik
2. Cukup
3. Buruk
Persepsi dalam implementasi
patient safety
1. Internal
2. Eksternal

Skema 2 .1 Kerangka Konsep Penelitian


2.6. Hipotesa

Hipotesa merupakan salah satu jawaban sementara atau masalah pernyataan dari

peneliti (Nursalam, 2015). Hipotesa pada penelitian ini ada Hubungan Lingkungan

Belajar Klinik Dengan Kecemasan Dan Persepsi Dalam Implementasi Patient Safety

Pada Mahasiswa Program Profesi Ners di Institut Kesehatan Sumatera Utara.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan Cross Sectional. Pada

penelitian ini, peneliti mencoba mencari hubungan antar variabel, yaitu untuk mengetahui

“Hubungan Lingkungan Belajar Klinik Dengan Kecemasan Dan Persepsi Dalam Implementasi

Patient Safety Pada Mahasiswa Program Profesi Ners”.

3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian.

3.2.1. Lokasi Penelitian.

Penelitian ini akan dilaksanakan di Institut Kesehatan Sumatera Utara Medan.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada Februari 2020.

3.3. Populasi Dan Sampel.

3.3.1. Populasi

Menurut (Sugiyono, 2017) Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas; obyek

atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah

mahasiswa program profesi Ners Institut Kesehatan Sumatera Utara Medan yang sedang

menjalani dinas di RSUP Haji Adam Malik sebanyak 44 orang.

3.3.2. Sampel

Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi

tersebut (Sugiyono 2015). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total
sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama

dengan populasi. Alasan mengambil total sampling karena jumlah populasi < 100. Jadi, sampel

dalam penelitian ini adalah mahasiswa program profesi Ners Institut Kesehatan Sumatera Utara

Medan yang sedang menjalani dinas di RSUP Haji Adam Malik sebanyak 44 orang.

3.4. Defenisi Operasional

Defenisi operasional penelitian adalah sebagai berikut :

1. Lingkungan belajar klinik adalah tempat/wadah dimana mahasiswa profesi Ners

menerapkan seluruh tindakan keperawatn dirumah sakit.

2. Kecemasan adalah suatu hal yang dirasakan seseorang dimana indidvidu tersebut merasa

takut oleh situasi atau keadaan tertentu.

3. Persepsi adalah suatu cara pandang atau penilaian individu terhadap suatu objek/subjek.

3.5. Instrumen Penelitian

Instrument adalah alat ukur yang digunakan untuk pengumpulan data pada

mahasiswa program profesi Ners di Institut Kesehatan Sumatera Utara. Peneliti

menggunakan alat pengumpul data berupa data demografi, kuesioner persepsi, kuesioner

tingkat kecemasan DASS 42 (Depression Anxienty Stress Scales). Kuesioner Lingkungan

Belajar Klinik CLES+T (Clinical Learning Environtment, Supervision And Nurse

Teacher)

3.6. Aspek Pengukuran

3.6.1. Tingkat kecemasan


Aspek pengukuran tingkat kecemasan dengan menggunakan alat ukur metode DASS 42

(Depression Anxienty Stress Scales). Alat ukur ini terdiri dari 14 pernyataan. Dengan interpretasi

penilaian:

Keterangan :

0 : Tidak pernah

1 : Kadang-kadang

2 : Sering

3 : Setiap saat

Indikator Penilaian
Tingkat Skor
Normal 0-7
Ringan 8-9
Sedang 10-14
Parah 15-19
Sangat parah/panik >20

3.6.2. Lingkungan belajar klinik

Aspek pengukuran lingkungan belajar klinik dengan menggunakan alat ukur metode

CLES+T (Clinical Learning Environtment, Supervision And Nurse Teacher). Kuesioner ini

terdiri dari 35 pernyataan. Lingkungan belajar klinik (9 item), gaya kepemimpinan manajer

lingkungan (4 item), keperawatan peduli pada lingkungan (4 item), isi hubungan pengawasan (8

item), dan peran PB (10 item). Untuk setiap pernyataan / item, responden diinstruksikan untuk

memilih opsi yang paling baik menggambarkan pendapat mereka sendiri pada 5 poin. Skala

LIKERT, dengan nilai yang lebih tinggi mewakili kesepakatan yang lebih tinggi tentang

pernyataan.

Dengan interpretasi penilaian untuk setiap pernyataan:

1 : sangat Tidak Setuju 4 : Setuju


2 : Tidak Setuju 5 : Tidak Setuju

3 : Netral

Dengan indikator penilaian :


Tingkat Nilai
Buruk >113
Cukup 72-112
Baik 31-71

3.6.3. Persepsi

Aspek pengukuran persepsi menggunakan kuesioner berisi pertanyaan tertutup, responden

hanya memilih salah satu alternative jawaban yang dianggap sesuai. Kuesioner ini terdiri dari 25

pernyataan, dimana pernyataan positif terdiri atas 20 dan pernyataan negatif terdiri atas 5.

Instrument ini menggunakan 5 poin skala LIKERT

1 : Sangat Tidak Setuju 3 : Netral 5 : Tidak Setuju

2 : Tidak Setuju 4 : Setuju

Dengan indikator penilaian :


Internal : 25-61
Eksternal : 62-100
3.7. Pengolahan dan Teknik analisa data

3.7.1. Pengolahan Data

1. Editing (Penyunting Data)

Memeriksa apakah data yang diisi oleh responden sudah lengkap, agar hasil yang

diperoleh dalam pengumpulan data lengkap.

2. Coding (Kode)

Setelah kuesioner diperiksa dan sudah lengkap, maka selanjutnya dilakukan

pengkodean atau koding atas jawaban dari responden pada lembar kuesioner yang

digunakan untuk memudahkan dalam pengolahan data.


3. Data entry (Memasukkan Data)

Yaitu jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk kode (angka

atau huruf) dimasukkan kedalam program computer.

4. Tabulating (Tabulasi)

Memasukkan jawaban responden pada tabel data berdasarkan kelompok-

kelompok data (Notoadmojo, 2010).

3.7.2. Analisa Data

Setelah semua data terkumpul, maka peneliti melakukan analisa melalui beberapa

tahap yaitu dimulai dari editing untuk memeriksa kelengkapan identitas dan data

responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi, kemudian memberi

kode (coding) untuk memudahkan dalam melakukan tabulasi, selanjutnya

memasukkan (entry) data ke dalam computer dan dilakukan pengolahan.

a. Analisa Univariat

Data analisa dengan menggunakan statistik deskripsi kemudian selanjutnya data

disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan presentase untuk mendeskripsikan

pengetahuan.

Dengan rumus (Sudjana, 2007).

𝐹
𝑃= × 100%
𝑁

Keterangan :

P = Persentase

F = Frekuensi

N = Jumlah total semua responden


b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat merupakan analisa hasil dari variabel-variabel bebas yang

diduga mempunyai hubungan dengan variabel terikat. Analisa yang digunakan

adalah hasil tabulasi silang. Untuk menguji hipotesa dilakukan uji statistic dengan

menggunakan Chi-Square. Pada tingkat kemaknaannya adalah 95% (p≤0,05).

Sehingga dapat diketahui ada tidaknya perbedaan yang bermakna secara statistic,

dengan menggunakan program khusus. Melalui perhitungan Chi-Square

selanjutnya ditarik suatu kesimpulan, bila nilai p lebih kecil dari nilai alpa (0,05)

maka Ho gagal ditolak, yang menunjukkan ada hubungan bermakna antara

variable terikat dengan variable bebas.

3.8. Etika Penelitian

Masalah etika penelitian yang menggunakan subjek manusia menjadi isu sentral

yang berkembang saat ini. Pada ilmu keperawatan, karena hamper 90% subjek yang

digunakan adalah manusia, maka penelitian harus memahami prinsip-prinsip etika

penelitian. Jika hal ini tidak dilaksanakan, maka peneliti akan melanggar hak-hak

otonomi manusia yang menjadi sampel penelitian.

Nursalam (2014) secara umum prinsip etika dalam penelitian pengumpulan data dapat

dibedakan menjadi 3 bagian yaitu:

1. Prinsip bermanfaat

a. Bebas dari penderitaan artinya peneliti dilaksanakan tanpa mengakibatkan

penderitaan pada subjek.

b. Bebas dari eksploitasi artinya subjek penelitian harus dihindarkan dari keadaan

yang tidak menguntungkan.


c. Resiko (benefit ratio) peneliti harus mempertimbangkan resiko yang berakibat

pada subjek.

2. Prinsip menghargai hak manusia (respect human dignity)

a. Hak untuk ikut/ tidak menjadi responden (right to self determination)

b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to full

disclousure)

c. Hak subjek untuk mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan

penelitian (informant consent)

3. Prinsip keadilan

a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment).

b. Hak dijaga kerahasiaanya (right privacy) untuk itu perlu adanya tanpa nama

(anonymity) dan rahasia (confidentiality).

Anda mungkin juga menyukai