Anda di halaman 1dari 48

Seorang Penderita HIV/AIDS dengan Melena dan Febris berkepanjangan

yang disebabkan oleh CAP (Community Acquired Peumonia), Toxoplasmosis


dan diduga MAC (Mycobacterium Avium Complex)

Diane Meylan Kondoy, S.Ked


Pembimbing:
dr. Sofia Elisjabet Rumbino, Sp.PD, FINASIM

PENDAHULUAN
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan
gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus
tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia, dengan akibat
turunnya/hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.
AIDS pertama ali diketahui di Amerika Serikat pada musim semi 1981, ketika U.S
Center for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan pneumonia
pneumocystis carnii pada lima orang homoseksual yang sebelumnya sehat di Los
Angeles. Dalam beberapa bulan kemudain penyakit ini menjangkit perempuan dan
laki-laki pengguma suntikam intravena dan transfuse darah serta pasien hemophilia.
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen
Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Dan kini,
kasus HIV/AIDS ini kini semakin meluas dan menyerang berbagai lapisan dan
strata sosial. Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada cairan
sperma, cairan vagina dan darah. Penularan terutama terjadi melalui hubungan
seksual yang tidak aman, transfusi darah, penggunaan jarum suntik yang tidak
steril, transplantasi organ/jaringan dan penularan dari ibu hamil ke janin yang
dikandungnya (KPA 2007).
KASUS
Seorang laki-laki, Tn. G. S, umur 23 tahun, asal suku Jayapura, pendidikan
SMA, tinggal di Argapura Jayapura, datang ke IGD RSUD Jayapura dengan
membawa rujukan dari puskesmas Hamadi dan selanjutnya dirawat inap di Ruang

1
Penyakit Dalam Pria pada tanggal 06 juli 2019 dengan keluhan utama pusing dan
lemas sejak ± 4 hari.

Anamnesis
Pasien merupakan pasien rujukan dari puskesmas hamadi dengan keluhan
pusing berkunang-kunang serta gelap saat berdiri dan badan terasa lemas disertai
batuk berdahak berwarna putih sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
mengeluhkan adanya demam naik/turun sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien juga mengeluhkan bahwa merasakan mual dan muntah setelah makan sejak
± 3 hari, muntah berisi makanan. Pasien mengaku mengalami BAB cair sebanyak
4x dan terdapat gumpalan hitam sejak ± 5 hari sebelum masuk rumah sakit, akan
tetapi sebelum dibawa ke rumah sakit pasien sempat BAB dan berwarna kuning.
Pasien juga mengeluhkan adanya penurunan nafsu makan dan hanya sedikit minum
sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien memiliki riwayat merokok sejak
usia ± 15 tahun, dalam sehari pasien dapat merokoknya sebanyak 3-4 batang rokok.
Pasien memiliki riwayat menghisap ganja sejak tahun 2013, dalam sehari pasien
dapat menghabiskan 2 linting ganja dan dalam seminggu bisa 3-4 hari pasien
menghisap ganja tetapi pasien tidak pernah menggunakan NAPZA suntik. Pasien
memiliki riwayat mengonsumsi alkohol sejak tahun 2013, dalam sebulan pasien
sering mengonsumsi alkohol 1-2 botol. Pasien memiliki riwayat hubungan seks
bebas tanpa menggunakan pengaman (kondom) dan suka berganti-ganti pasangan
sejak tahun 2013. Pasien tidak memiliki tattoo pada tubuhnya dan tidak memiliki
riwayat alergi pada obat-obatan dan makanan.

Pemeriksaan Fisik
Penderita tampak lemah, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/60
mmHg, nadi 95 x/menit teratur, pengisian cukup, pernafasan 18 x/menit, temperatur
aksila 38,5 C°, SpO2: 94% spontan. Pada pemeriksaan kepala dan leher didapatkan
kepala normocephal, wajah pasien tampak simetris, terdapat sikatrik pada pelipis
kanan, pada mata adanya konjungtiva anemis, THT dalam batas normal. Pada
pemeriksaaan dada tidak didapatkan kelainan, pada auskultasi didapatkan suara
jantung S1 dan S2 tunggal, murmur tidak ada, gallop tidak ada. Pada pemeriksaan

2
paru didapatkan suara nafas vesikuler, tidak didapatkan ronki, whezzing dan suara
tambahan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus normal, tidak
tampak adanya kolateral, tidak didapatkan nyeri tekan epigastrium, hati dan limpa
tidak ada pembesaran, dan tidak didapatkan asites. Ekstremitas didapatkan akral
hangat, tidak didapatkan udem fraktur maupun ulkus pada kedua kaki.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada saat di IGD RSUD Jayapura (Tanggal : 06 Juli 2019) :
Hemoglobin 6,5 g/dL, Hematokrit 20,9%, Leukosit 2,91 x 103/uL,
Trombosit 150 x 103/uL, Eritrosit 2,82 x 106/uL. Sel Basofil 0,0%, Sel Eosinofil
0,0%, Sel Neutrofil 77,0%, Sel Limfosit 9,3%, Sel Monosit 13,7%, Malaria (-).
Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan glukosa darah sewaktu 120 mg/dL, BUN
8,4 mg/dL, Creatinin 0,82 mg/dL, Na+ darah 126,60 mEq/L, K+ darah 2,97 mEq/L,
CL darah 99,70 mEq/L, Ca2+ ion 1,04 mEq/L.
Hari kedua perawatan di RSUD Jayapura (Tanggal : 08 Juli 2019) :
Pada pemeriksaan Hematologi rutin di dapatkan kadar Hemoglobin 8,4
g/dL, Hematokrit 25,8 %, Leukosit 6,39 x 103/uL, Trombosit 158 x 103/uL, Eritrosit
3,35 x 106/uL. Pada hitung jenis Leukosit di dapatkan Sel basofil 0,2%, Eosinofil
0,0%, Neutrofil 89,9%, Limfosit 6,1 %, Monosit 3,8%. Pada pemeriksaan kimia
darah didapatkan BUN 8,3 mg/dL, Creatinin 0,84 mg/dL, Na+ darah 130,30 mEq/L,
K+ darah 3,09 mEq/L, CL darah 105,90 mEq/L, Ca2+ ion 1,08 mEq/L.
Hari ketiga perawatan di RSUD Jayapura (Tanggal : 09 Juli 2019) :
Pada pemeriksaan Hematologi rutin di dapatkan Malaria (-).
Hari keempat perawatan di RSUD Jayapura (Tanggal : 10 Juli 2019) :
Pada pemeriksaan Urin Lengkap di dapatkan hasil warna: kuning muda,
kejernihan: jernih, pH 6,5, Berat jenis 1000, Protein (-), Glukosa (-), Bilirubin (-),
Nitrit (-), Keton (-), Leukosit Esterase (-), Blood (-), Eritrosit 0,2/uL, Leukosit 3/uL,
Sel Epitel 1,8/uL, Silinder 0,00/uL, Bakteri 10,4/uL, Kristal 0,0/uL, Jamur 0/uL,
AMORF 0,0/uL, Silinder path 0,00/uL, Mucus Urin 0,0/uL. Pada pemeriksaan
Hematologi rutin didapatkan hasil malaria (-)
Hari kelima perawatan di RSUD Jayapura (Tanggal : 11 Juli 2019) :

3
Pada pemeriksaan Hematologi rutin di dapatkan kadar Hemoglobin 8 ,0
g/dL, Hematokrit 24,7 %, Leukosit 6,12 x 103/uL, Trombosit 189 x 103/uL, Eritrosit
3,19 x 106/uL. Pada hitung jenis Leukosit di dapatkan Sel basofil 0,2%, Eosinofil
0,0%, Neutrofil 82,8%, Limfosit 3,6 %, Monosit 3,4%, Malaria (-). Pada
pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 348,8 U/L, SGPT 65,0 U/L, Protein
Total 4,8 g/dL, Albumin 2,1 g/dL, Globulin 2,7 g/dL, Rasio Alb/Glob 0,8. Pada
pemeriksaan Serologi didapatkan HBsAg non reaktif, S.thypi O (-), S.Parathypi AO
(-), S.parathypi BO (-), S.parathypi CO (-), S.thypi H (-), S.parathypi AH R/TAP,
S.parathypi BH (-), S.parathypi CH R/TAP.
Hari keenam perawatan di RSUD Jayapura (Tanggal : 12 Juli 2019) :
Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan Na+ darah 129,70 mEq/L, K+
darah 2,81 mEq/L, CL darah 100,00 mEq/L, Ca2+ ion 1,11 mEq/L. pada
pemeriksaan serologi didapatkan ASTO (-), factor rematoid (-), test antibody HIV
reaktif.
Hari ketujuh perawatan di RSUD Jayapura (Tanggal : 13 Juli 2019) :
Pada pemeriksaan Hematologi rutin di dapatkan kadar Hemoglobin 9,3
g/dL, Hematokrit 28,1 %, Leukosit 4,59 x 103/uL, Trombosit 221 x 103/uL, Eritrosit
3,77 x 106/uL. Pada hitung jenis Leukosit didapatkan Sel basofil 0,0%, Eosinofil
0,0%, Neutrofil 74,0%, Limfosit 13,1 %, Monosit 12,9%. Malaria (-). Pada
pemeriksaan kimia darah didapatkan Na+ darah 131,30 mEq/L, K+ darah 3,64
mEq/L, CL darah 102,30 mEq/L, Ca2+ ion 1,08 mEq/L.
Hari kesembilan perawatan di RSUD Jayapura (Tanggal : 15 Juli 2019) :
Pada pemeriksaan Hematologi rutin di dapatkan kadar Hemoglobin 7,7
g/dL, Hematokrit 22,9 %, Leukosit 5,17 x 103/uL, Trombosit 210 x 103/uL, Eritrosit
3,08 x 106/uL. Pada hitung jenis Leukosit di dapatkan Sel basofil 0,4%, Eosinofil
0,0%, Neutrofil 75,8%, Limfosit 11,4 %, Monosit 12,4%. Pada pemeriksaan kimia
darah didapatkan Albumin 3,1 g/dL. Pada pemeriksaan Urin Lengkap di dapatkan
hasil warna: kuning muda, kejernihan: jernih, pH 8,0, Berat jenis 1015, Protein (-),
Glukosa (-), Bilirubin (-), Nitrit (-), Keton (-), Leukosit Esterase (-), Blood (-),
Eritrosit 0,6/uL, Leukosit 4/uL, Sel Epitel 5,1/uL, Silinder 0,00/uL, Bakteri
18,1/uL, Kristal 0,2/uL, Jamur 0/uL, AMORF 5,0/uL, Silinder path 0,00/uL, Mucus
Urin 0,0/uL.

4
Hari kesepuluh perawatan di RSUD Jayapura (Tanggal : 16 Juli 2019) :
Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 33.0 U/L, SGPT 39,1 U/L,
BUN 4,2 mg/dL, Creatinin 0,48 mg/dL, Na+ darah 136,50 mEq/L, K+ darah 3,17
mEq/L, CL darah 109,80 mEq/L, Ca2+ ion 1,15 mEq/L. Pada pemeriksaan Serologi
didapatkan Toxoplasma IgG 298,00 IU/mL, Toxoplasma IgM (-).
Hari kedua belas perawatan di RSUD Jayapura (Tanggal : 18 Juli 2019) :
Pada pemeriksaan Hematologi rutin di dapatkan kadar Hemoglobin 7,0
g/dL, Hematokrit 22,4 %, Leukosit 5,00 x 103/uL, Trombosit 206 x 103/uL, Eritrosit
2,82 x 106/uL. Pada hitung jenis Leukosit di dapatkan Sel basofil 0,2%, Eosinofil
0,2%, Neutrofil 88,6%, Limfosit 5,4 %, Monosit 5,6%. Malaria (-).
Hari keempat belas perawatan di RSUD Jayapura (Tanggal : 20 Juli 2019) :
Pada pemeriksaan Hematologi rutin di dapatkan kadar Hemoglobin 5,9
g/dL, Hematokrit 17,0 %, Leukosit 5,50 x 103/uL, Trombosit 188 x 103/uL, Eritrosit
2,30 x 106/uL. Pada hitung jenis Leukosit di dapatkan Sel basofil 0,0%, Eosinofil
0,0%, Neutrofil 86,7%, Limfosit 4,2 %, Monosit 9,1%. Malaria (-).
Hari ketujuh belas perawatan di RSUD Jayapura (Tanggal : 23 Juli 2019) :
Pada pemeriksaan Hematologi rutin di dapatkan kadar Hemoglobin 9,2
g/dL, Hematokrit 27,2 %, Leukosit 3,49 x 103/uL, Trombosit 263 x 103/uL, Eritrosit
3,55 x 106/uL, Laju Endap Darah 75 mm/jam. Pada hitung jenis Leukosit di
dapatkan Sel basofil 0,3%, Eosinofil 0,0%, Neutrofil 80,5%, Limfosit 11,5 %,
Monosit 7,7%. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 21,0 U/L, SGPT
25,0 U/L, BUN 4,9 mg/dL, Creatinin 0,66 mg/dL.
Hari kedelapan belas perawatan di RSUD Jayapura (Tanggal : 24 Juli 2019) :
Pada pemeriksaan Koagulasi didapatkan PT 10,5 detik, INR 0,93.
Pada Tanggal 24 Juli 2019 (Hasil Kultur Darah dan Urin) :
Pada pemeriksaan kultur darah tidak didapatkan adanya pertumbuhan
kuman/steril. Pada pemeriksaan kultur urin ddapatkan hasil sensitive terhadap obat
Ertapenem, Meropenem, Amikacin dan Tigecycline.

5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Foto Rontgen Thorax Posisi PA

8 Juli 2019 26 Juli 2019

6
- Tak tampak area hyperdens perdarahan frontal kanan, tampak hypodens-
mixdens bersama fragmen tulang-impresi fraktur os frontal kanan
- Sulci dan gyri cocticalis, fissure Sylvii bilateral dan fissure interhemisfer
normal
- Bentuk dan posisi ventrikel lateralis kanan terdorong karena mass effect
- Tak ampak deviasi midline struktur
- Fraktur pada os frontal kanan
Kesan: Tak tampak perdarahan intra cerebral, edema di area frontal kanan
ataukan encephalomalacia post trauma disertai impresi fraktur os frontal
kanan.

7
- Tak tampak area hyperdens perdarahan frontal kanan, tampak hypodens-
mixdens bersama fragmen tulang kalsifikasi
- Sulci dan gyri corticalis, fissure Sylvii bilateral dan fissure interhemisfer
normal
- Bentuk dan posisi ventrikel lateralis kanan terdorong karena mass effect
- Tak tampak deviasi midline struktur
- Fraktur pada os frontal kanan
Kesan: Meningoencephalitis, sangat mungkin suatu neurotoxoplasmosis
bersama fraktur of frontal dan edema cerebrii

Perjalanan Penyakit
Pada hari pertama perawatan (07-7-2019), nyeri ulu hati ± 1 minggu, BAB
warna hitam ± 1 minggu, ada mual dan muntah ± 2 hari durasi 2-3 x/hari, tidak
terdapat darah pada muntah, ada demam naik/turun selama 5 hari, ada batuk
berdahak warna putih selama 4 hari, ada pusing berkunang-kunang sejak ± 3 hari.
Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, TD 110/60 mmHg,
nadi 95 x/menit teratur, pernafasan 18 x/menit, temperatur aksila 38,5°C, SpO2:
99%. Kepala / Leher: Candidiasis oral (+). Hasil laboratorium: Hemoglobin: 6,5
g/dL, Hematokrit: 20,9%, Leukosit: 2.910/uL, Trombosit: 150.000/uL, Eritrosit:
2,82 x10^6/uL. Sel Basofil: 0,0%, Sel Eosinofil: 0,0%, Sel Neutrofil: 77,0%, Sel
Limfosit: 9,3%, Sel Monosit: 13,7%, Malaria (-). Glukosa Darah Sewaktu 120

8
mg/dL, BUN 8,4 mg/dL, Creatinin 0,82 mg/dL, Na+ darah 126,60 mEq/L, K+ darah
2,97 mEq/L, CL darah 99,70 mEq/L, Ca2+ ion 1,04 mEq/L.
Diagnosa: Melena et causa Susp gastritis Erosiva, Obs. Febris 5 hari et causa
Bronkitis Akut dd CAP, Nausea Vomitting, Anemia dan Hipokalemia
Pasien direncanakan pemeriksaan Darah lengkap, Kimia darah dan elektrolit, foto
rotgen Thorax.
Terapi: Terapi: IVFD RL 500 cc + KCL 25 mEq/8 jam (target 50 mEq), IVFD NaCl
0,9% 500 cc/8 jam (21 tpm), Ceftriaxone 1x2 gr iv, Ranitidin 2x1 ampul iv,
Omeprazole 2x1 vial, Ondancentron 3x1 ampul iv, Antrain 4x1 ampul iv, Vitamin
K 4x1 gr iv, Asam Traneksamat 4x500 mg, Sukralfat 4xIIC, Ambroxol 3x1 tab,
transfusi PRC 1 Kolf/hari sampai Hb ≥ 8 mg/dL, Premed Furosemid 1 ampul jika
Tekanan Darah ≥ 100, habis dalam 4 jam.
Pada hari kedua perawatan (8-7-2019), nyeri ulu hati berkurang, masih ada
batuk berdahak berwarna putih, masih ada pusing berkunang. BAB tadi malam
lembek dan berwarna kuning bercampur bercak cokelat kehitaman, masih ada
lemas, semalam ada demam, BAK baik. Makan dan minum baik. Keadaan umum
tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, TD 100/60 mmHg, nadi 73 x/menit
teratur, pernafasan 23 x/menit, temperatur aksila 36,2°C, SpO2: 98%. Kepala /
Leher: Konjungtiva anemis (+/+), Candidiasis oral (+). Hasil rontgen thorax
didapatkan infiltrat pada lapang paru dextra.
Pasien direncanakan pemeriksaan DL, KL, Elektrolit, observasi vital sign/6 jam.
Diagnosa : Melena et causa Susp gastritis Erosiva, Obs. Febris 5 hari et causa
Bronkitis Akut dd CAP, Nausea Vomitting, Anemia dan Hipokalemia
Terapi: IVFD RL : NaCl 09% = 3 : 3 / 8 jam (21 tpm), Ceftriaxone 1x2 gr iv,
Ranitidin 2x1 ampul iv, Omeprazole 2x1 vial, Vitamin K 4x1 gr iv, Asam
Traneksamat 4x500 mg, Sukralfat 4xIIC, Ambroxol 3x1 tab. Observasi Vital sign/6
jam.
Pada hari ketiga perawatan (9-7-2019), nyeri ulu hati berkurang, masih ada
batuk berdahak berwarna putih, masih ada pusing berkunang. BAB kemarin sore
berwarna kuning tidak ada bercak cokelat kehitaman, semalam ada demam, BAK
baik. Makan dan minum baik. Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
composmentis, TD 110/70 mmHg, nadi 95 x/menit teratur, pernafasan 24 x/menit,

9
temperatur aksila 36,7, SpO2: 98%. Kepala / Leher: Konjungtiva anemis (+/+),
Candidiasis oral (+). Hasil pemeriksaan laboratorium: Hemoglobin 8,4 g/dL,
Hematokrit 25,8 %, Leukosit 6,39 x 103/uL, Trombosit 158 x 103/uL, Eritrosit 3,35
x 106/uL. Pada hitung jenis Leukosit di dapatkan Sel basofil 0,2%, Eosinofil 0,0%,
Neutrofil 89,9%, Limfosit 6,1 %, Monosit 3,8%. Pada pemeriksaan kimia darah
didapatkan BUN 8,3 mg/dL, Creatinin 0,84 mg/dL, Na+ darah 130,30 mEq/L, K+
darah 3,09 mEq/L, CL darah 105,90 mEq/L, Ca2+ ion 1,08 mEq/L.
Diagnosa : Melena et causa Susp gastritis Erosiva, Obs. Febris 5 hari et causa
Bronkitis Akut dd CAP, Nausea Vomitting, Anemia dan Hipokalemia
Terapi: IVFD RL : NaCl 09% = 2 : 2 / 6 jam, tambahkan KCL 15 mEq dalam
RL/NaCl 500 cc/ 6 jam target 30 mEq, Ceftriaxone 1x2 gr iv, Ranitidin 2x1 ampul
iv, Omeprazole 2x1 vial, Vitamin K 3x1 gr iv, Asam Traneksamat 3x500 mg,
Antrain 3x1 ampul iv (bila panas ≥ 37,8°C), Sukralfat 4xIIC, Ambroxol 3x1 tab,
Levofloxacin 1x500 mg (po) H1.
Pada hari keempat perawatan (10-7-2019), nyeri ulu hati berkurang, ada
demam semalam dan pagi ini. BAB kemarin sore berwarna kuning tidak ada bercak
cokelat kehitaman, BAK baik. Makan dan minum baik. Keadaan umum tampak
sakit sedang, kesadaran composmentis, TD 120/70 mmHg, nadi 110 x/menit
teratur, pernafasan 24 x/menit, temperatur aksila 38,9°C, SpO2: 94%. Kepala /
Leher: Konjungtiva anemis (+/+), Candidiasis oral (+).
Diagnosa : Melena et causa Susp gastritis Erosiva, Obs. Febris 5 hari et causa
Bronkitis Akut dd CAP, Nausea Vomitting, Anemia dan Hipokalemia
Pasien direncanakan pemeriksaan UL dan DDR bila hasil (-), periksa widal,
observasi vital sign/4 jam
Terapi : IVFD RL : NaCl : KaEnMg3 (2 : 1 : 2), Ceftriaxone 1x2 gr iv, Ranitidin
2x1 ampul iv, Omeprazole 2x1 vial, Vitamin K 3x1 gr iv, Asam Traneksamat 3x500
mg iv, Antrain 3x1 ampul iv (bila panas ≥ 37,8°C), Sukralfat 4xIIC, Ambroxol 3x1
tab, Levofloxacin 1x500 mg (po) H2.
Pada hari kelima perawatan (11-7-2019), tadi malam gelisah, demam tidak
ada. BAB berwarna kuning tidak ada bercak cokelat kehitaman, BAK baik. Makan
dan minum baik. Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis,
TD 100/60 mmHg, nadi 98 x/menit teratur, pernafasan 22 x/menit, temperatur

10
aksila 35,3°C, SpO2: 98 Konjungtiva anemis (+/+), Candidiasis oral (+). Hasil
laboratorium pemeriksaan urine: warna: kuning muda, kejernihan: jernih, pH 6,5,
Berat jenis 1000, Protein (-), Glukosa (-), Bilirubin (-), Nitrit (-), Keton (-), Leukosit
Esterase (-), Blood (-), Eritrosit 0,2/uL, Leukosit 3/uL, Sel Epitel 1,8/uL, Silinder
0,00/uL, Bakteri 10,4/uL, Kristal 0,0/uL. Pada pemeriksaan Hematologi urin:
Malaria (-).
Diagnosa Melena et causa Susp gastritis Erosiva, Obs. Febris 5 hari et causa
Bronkitis Akut dd CAP, Nausea Vomitting, Anemia dan Hipokalemia
Pasien direncanakan pemeriksaan SGOT, SGPT, Albumin, Globulin dan HBsAg
Terapi : IVFD RL : NaCl (2 : 1), Ceftriaxone 1x2 gr iv, Ranitidin 2x1 ampul iv,
Omeprazole 2x1 vial, Sukralfat 4xIIC, Levofloxacin 1x500 mg (po) H3.
Pada hari keenam perawatan (12-9-2018), demam tadi malm dan tadi subuh,
tidur gelisah. BAB berwarna kuning, BAK baik. Makan dan minum baik. Keadaan
umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, TD 100/60 mmHg, nadi 121
x/menit teratur, pernafasan 24 x/menit, temperatur aksila 37,1°C, SpO2: 99%.
Kepala/Leher: Candidiasis oral (+). Hasil laboratorium Hemoglobin 8 ,0 g/dL,
Hematokrit 24,7 %, Leukosit 6,12 x 103/uL, Trombosit 189 x 103/uL, Eritrosit 3,19
x 106/uL. Pada hitung jenis Leukosit di dapatkan Sel basofil 0,2%, Eosinofil 0,0%,
Neutrofil 82,8%, Limfosit 3,6 %, Monosit 3,4%, Malaria (-). Pada pemeriksaan
kimia darah didapatkan SGOT 348,8 U/L, SGPT 65,0 U/L, Protein Total 4,8 g/dL,
Albumin 2,1 g/dL, Globulin 2,7 g/dL, Rasio Alb/Glob 0,8. Pada pemeriksaan
Serologi didapatkan HBsAg non reaktif, S.thypi O (-), S.Parathypi AO (-),
S.parathypi BO (-), S.parathypi CO (-), S.thypi H (-), S.parathypi AH R/TAP,
S.parathypi BH (-), S.parathypi CH R/TAP.
Diagnosa: Obs. Febris, Suspect B20 dan Hipokalemia
Pasien direncanakan pemeriksaan SGOT, SGPT, Albumin, Globulin dan HBsAg,
pemeriksaan EKG dan transfuri Albumin 20% 100cc habis dalam 4 jam, premed
furosemide bila TD ≥ 100 P1H1.
Terapi : IVFD NaCl : KaEnMg3 (2 : 2), Ceftriaxone 1x2 gr iv, Antrain 3x1 ampul
(kp) iv, Ranitidin 2x1 ampul iv, Omeprazole 2x1 tab, Sukralfat 4xIIC, Levofloxacin
1x500 mg (po) H4, Nystatin drop 4xIIC.

11
Pada hari ketujuh perawatan (13-7-2019), demam tadi pagi, BAB berwarna
kuning, BAK baik. Makan dan minum baik. Keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran composmentis, TD 120/80 mmHg, nadi 111 x/menit teratur, pernafasan
23 x/menit, temperatur aksila 38,5°C, SpO2: 99%. Kepala/Leher: Candidiasis oral
(+). Hasil laboratorium didapatkan hasil Na+ darah 129,70 mEq/L, K+ darah 2,81
mEq/L, CL darah 100,00 mEq/L, Ca2+ ion 1,11 mEq/L. pada pemeriksaan serologi
didapatkan ASTO (-), factor rematoid (-), test antibody HIV reaktif.
Diagnosa: Obs. Febris, B20 dan Hipokalemia
Pasien direncanakan pemeriksaan DL, diff count dan albumin
Terapi : IVFD NaCl : KaEnMg3 (2 : 2), Ceftriaxone 1x2 gr iv, Antrain 3x1 ampul
(kp) iv, Ranitidin 2x1 ampul iv, Omeprazole 2x1 tab, Sukralfat 4xIIC, Levofloxacin
1x500 mg (po) H5, Kotrimoksazole 1x2 tab (po), Nystatin drop 4xIIC
Pada hari kesembilan perawatan (15-7-2019), demam tadi malam. BAB
baik, BAK baik. Makan dan minum baik. Keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran composmentis, TD 110/70 mmHg, nadi 109 x/menit teratur, pernafasan
20 x/menit, temperatur aksila 36,7°C, SpO2: 99%. Kepala/Leher: Candidiasis oral
(+). Hasil laboratorium (13-07-2019) di dapatkan kadar Hemoglobin 9,3 g/dL,
Hematokrit 28,1 %, Leukosit 4,59 x 103/uL, Trombosit 221 x 103/uL, Eritrosit 3,77
x 106/uL. Pada hitung jenis Leukosit didapatkan Sel basofil 0,0%, Eosinofil 0,0%,
Neutrofil 74,0%, Limfosit 13,1 %, Monosit 12,9%. Malaria (-). Pada pemeriksaan
kimia darah didapatkan Na+ darah 131,30 mEq/L, K+ darah 3,64 mEq/L, CL darah
102,30 mEq/L, Ca2+ ion 1,08 mEq/L. Hasil laboratorium tanggal 15-07-2019
didapatkan hasil Hemoglobin 7,7 g/dL, Hematokrit 22,9 %, Leukosit 5,17 x 103/uL,
Trombosit 210 x 103/uL, Eritrosit 3,08 x 106/uL. Pada hitung jenis Leukosit di
dapatkan Sel basofil 0,4%, Eosinofil 0,0%, Neutrofil 75,8%, Limfosit 11,4 %,
Monosit 12,4%. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan Albumin 3,1 g/dL. Pada
pemeriksaan Urin Lengkap di dapatkan hasil warna: kuning muda, kejernihan:
jernih, pH 8,0, Berat jenis 1015, Protein (-), Glukosa (-), Bilirubin (-), Nitrit (-),
Keton (-), Leukosit Esterase (-), Blood (-), Eritrosit 0,6/uL, Leukosit 4/uL, Sel
Epitel 5,1/uL, Silinder 0,00/uL, Bakteri 18,1/uL, Kristal 0,2/uL, Jamur 0/uL,
AMORF 5,0/uL, Silinder path 0,00/uL, Mucus Urin 0,0/uL.
Diagnosa: Obs. Febris, B20 dan Hipokalemia

12
Pasien direncanakan pemeriksaan IgG dan IgM toxoplasmosis, Konsul ke bagian
Saraf
Jawaban konsul kesan Encephalopathy susp CNS opportunity infection ec B20 dd
electrolyte imbalance dd metabolic dd post trauma disorder. Saran CT scan kepala
dengan kontras, cek elektrolit ulang, SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin.
Terapi : IVFD RL 500cc + KCL 25 mEq / 8 jam, target hingga 50 mEq kemudian
dilanjutkan dengan IVFD RL 500 cc / 8 jam, Ceftriaxone 1x2 gr iv, Antrain 3x1
ampul (kp) iv, Ranitidin 2x1 ampul iv, Omeprazole 2x1 tab, Sukralfat 4xIIC,
Levofloxacin 1x500 mg (po) H6, Kotrimoksazole 1x2 tab (po), Nystatin drop
4xIIC
Pada hari kesepuluh perawatan (16-7-2019), demam tadi malam, BAB baik,
BAK baik. Makan dan minum baik. Keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran composmentis, TD 110/70 mmHg, nadi 92 x/menit teratur, pernafasan
20 x/menit, temperatur aksila 36,7°C, SpO2: 99%. Kepala/Leher: Candidiasis oral
(+). Diagnosa: Obs. Febris, B20 dan Hipokalemia
Pasien direncanakan CT scan kepala dengan kontras
Terapi : IVFD RL 500 cc/8 jam, Ceftriaxone 1x2 gr iv, Antrain 3x1 ampul (kp) iv,
Ranitidin 2x1 ampul iv, Omeprazole 2x1 tab, Sukralfat 4xIIC, Levofloxacin 1x500
mg (po) H7, Kotrimoksazole 1x2 tab (po), Tablet Tambah Darah 3x1 tab (po),
Nystatin drop 4xIIC
Pada hari kesebelas perawatan (17-7-2019), demam naik turun sejak
kemarin malam, susah tidur. BAB baik, BAK baik. Makan dan minum baik.
Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, TD 120/80 mmHg,
nadi 94 x/menit teratur, pernafasan 20 x/menit, temperatur aksila 37,6°C, SpO2:
99%. Kepala/Leher: Candidiasis oral (+). Hasil laboratorium SGOT 33.0 U/L,
SGPT 39,1 U/L, BUN 4,2 mg/dL, Creatinin 0,48 mg/dL, Na+ darah 136,50 mEq/L,
K+ darah 3,17 mEq/L, CL darah 109,80 mEq/L, Ca2+ ion 1,15 mEq/L. Pada
pemeriksaan Serologi didapatkan Toxoplasma IgG 298,00 IU/mL, Toxoplasma
IgM (-). Hasil CT scan kepala tanpa kontras kesan tak tapak perdarahan intra
cerebral, edema di area frontal kanan ataukan encephalmalacia post trauma disertai
impresi fraktur os frontal kanan.
Diagnosa: Obs. Febri, B20 dan Hipokalemia

13
Terapi: IVFD RL 500 cc/8 jam, Ceftriaxone 1x2 gr iv, Antrain 3x1 ampul (kp) iv,
Ranitidin 2x1 ampul iv, Omeprazole 2x1 tab, Sukralfat 4xIIC, Levofloxacin 1x500
mg (po) H8, Kotrimoksazole 1x2 tab (po), Tablet Tambah Darah 3x1 tab (po),
Asam Folat 1x1 tab (po), Clindamisin 4x300 mg tab (po), Pyrimethamine loading
dose 100 mg tablet (po) dilanjutkan 1x25 mg tab (po) H1, Nystatin drop 4xIIC
Pada hari kedua belas perawatan (18-7-2019), pasien mengaku tidak ada
keluhan, BAB baik, BAK baik. Makan dan minum baik. Keadaan umum tampak
sakit sedang, kesadaran composmentis, TD 110/70 mmHg, nadi 82 x/menit teratur,
pernafasan 20 x/menit, temperatur aksila 36,4°C, SpO2: 99%. Kepala/Leher:
Candidiasis oral (+).
Pasien direncanakan pemeriksaan DL, diff count dan DDR
Diagnosa: Obs. Febris + B20+ Hipokalemia + Toxoplasmosis
Terapi : IVFD RL 500 cc/8 jam, Ceftriaxone 1x2 gr iv, Antrain 3x1 ampul (kp) iv,
Ranitidin 2x1 ampul iv, Omeprazole 2x1 tab, Sukralfat 4xIIC, Levofloxacin 1x500
mg (po) H9, Kotrimoksazole 1x2 tab (po), Tablet Tambah Darah 3x1 tab (po),
Asam Folat 1x1 tab (po), Clindamisin 4x300 mg tab (po), Pyrimethamine 1x25 mg
tab (po) H2, Nystatin drop 4xIIC
Pada hari ketiga belas perawatan (19-7-2019), demam naik turun sejak
kemarin sore. BAB baik, BAK baik. Makan dan minum baik. Keadaan umum
tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, TD 100/60 mmHg, nadi 104
x/menit teratur, pernafasan 20 x/menit, temperatur aksila 37,6°C, SpO2: 99%.
Kepala/Leher: Candidiasis oral (+). Hasil laboratorium Hemoglobin 7,0 g/dL,
Hematokrit 22,4 %, Leukosit 5,00 x 103/uL, Trombosit 206 x 103/uL, Eritrosit 2,82
x 106/uL. Pada hitung jenis Leukosit di dapatkan Sel basofil 0,2%, Eosinofil 0,2%,
Neutrofil 88,6%, Limfosit 5,4 %, Monosit 5,6%. Malaria (-).
Diagnosa: Obs. Febris, B20, Hipokalemia dan Toxoplasmosis
Pasien direncanakan pemeriksaan CT scan kepala dengan kontras oleh dr.Sp.S
Terapi : IVFD RL 500 cc/8 jam, Ceftriaxone 2x2 gr iv, Antrain 3x1 ampul iv,
Ranitidin 2x1 ampul iv, omeprazole 2x1 tab, Sukralfat 4xIIC, Levofloxacin 1x500
mg (po) H10, Kotrimoksazole 1x2 tab (po), Tablet Tambah Darah 3x1 tab (po),
Asam Folat 1x1 tab (po), Clindamisin 4x300 mg tab (po), Pyrimethamine 1x25 mg
tab (po) H3, Piracetam 2x2400 mg tab (po), Nystatin drop 4xIIC

14
Pada hari keempat belas perawatan (20-7-2019), Pasien mengaku sudah
tidak ada keluhan. BAB baik, BAK baik. Makan dan minum baik. Keadaan umum
tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, TD 120/70 mmHg, nadi 93 x/menit
teratur, pernafasan 20 x/menit, temperatur aksila 36,4°C, SpO2: 99%. Kepala/Leher:
Candidiasis oral (+). Hasil CT scan kepala dengan kontras kesan
meningoencephalitis, sangat mungkin suatu neurotoxoplasmosis bersama fraktur os
frontal dan edema cerebri
Diagnosa: Obs. Febris, B20, Hipokalemia dan Toxoplasmosis
Pasien direncanakan pemeriksaan DL, diffcount dan DDR.
Terapi : IVFD RL 500 cc/8 jam, Ceftriaxone 2x2 gr iv, Antrain 3x1 ampul iv,
Ranitidin 2x1 ampul iv, Omeprazole 2x1 tab, Sukralfat 4xIIC, Levofloxacin 1x500
mg (po) H11, Kotrimoksazole 1x2 tab (po), Tablet Tambah Darah 3x1 tab (po),
Asam Folat 1x1 tab (po), Clindamisin 4x300 mg tab (po), Pyrimethamine 1x25 mg
tab (po) H4, Piracetam 2x2400 mg tab (po) H2, Nystatin drop 4xIIC
Pada hari kelima belas perawatan (21-7-2019), demam 1x saat kemarin sore,
BAB baik, BAK baik. Makan dan minum baik. Keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran composmentis, TD 110/70 mmHg, nadi 89 x/menit teratur,
pernafasan 19 x/menit, temperatur aksila 37,1°C, SpO2: 99%. Kepala/Leher:
Candidiasis oral (+). Hasil laboratorium Hemoglobin 5,9 g/dL, Hematokrit 17,0 %,
Leukosit 5,50 x 103/uL, Trombosit 188 x 103/uL, Eritrosit 2,30 x 106/uL. Pada
hitung jenis Leukosit di dapatkan Sel basofil 0,0%, Eosinofil 0,0%, Neutrofil
86,7%, Limfosit 4,2 %, Monosit 9,1%. Malaria (-).
Diagnosa: Obs. Febris, B20, Hipokalemia dan Toxoplasmosis
Pasien direncanakan pemeriksaan albumin dan transfuse PRC 1 kolf/hari sampai
dengan Hb ≥ 10 g/dL, premed furosemide 1 ampul jika TD ≥ 100
Terapi : IVFD RL 500 cc/8 jam, Ceftriaxone 2x2 gr iv, Antrain 4x1 ampul iv,
Ranitidin 2x1 ampul iv, omeprazole 2x1 tab, Sukralfat 4xIIC, Levofloxacin 1x500
mg (po) H12, Kotrimoksazole 1x2 tab (po), Tablet Tambah Darah 3x1 tab (po),
Asam Folat 1x1 tab (po), Clindamisin 4x300 mg tab (po), Pyrimethamine 1x25 mg
tab (po) H5, Piracetam 2x2400 mg tab (po) H3, Nystatin drop 4xIIC
Pada hari keenam belas perawatan (22-7-2019), pasien mengaku sudah
tidak ada keluhan sejak kemarin. BAB baik, BAK baik. Makan dan minum baik.

15
Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, TD 120/80 mmHg,
nadi 75 x/menit teratur, pernafasan 20 x/menit, temperatur aksila 36,3°C, SpO2:
99%. Kepala/Leher: Conjungtiva anemis (+) Candidiasis oral (+).
Diagnosa: Obs. Febris, B20, Hipokalemia dan Toxoplasmosis
Pasien direncanakan pemeriksaan albumin, INR, PT, APTT, Ureum, Creatinin,
SGT, SGPT, Trombosit dan transfusi PRC sesuai protab
Terapi : IVFD RL 500 cc/8 jam, Ceftriaxone 2x2 gr iv, Antrain 4x1 ampul iv,
Ranitidin 2x1 ampul iv, Omeprazole 2x1 tab, Sukralfat 4xIIC, Kotrimoksazole 1x2
tab (po), Tablet Tambah Darah 3x1 tab (po), Asam Folat 1x1 tab (po), Clindamisin
4x300 mg tab (po), Pyrimethamine 1x25 mg tab (po) H6, Piracetam 2x2400 mg
tab (po) H4, Clopidogrel 1x75 mg tab malam (po), Simvastatin 1x20 mg tab sore
(po), Nystatin drop 4xIIC
Pada hari ketujuh belas perawatan (23-7-2019), pasien mengaku sudah tidak
ada keluhan. BAB baik, BAK baik. Makan dan minum baik. Keadaan umum
tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, TD 110/70 mmHg, nadi 93 x/menit
teratur, pernafasan 20 x/menit, temperatur aksila 36,4°C, SpO2: 99%. Kepala/Leher:
Conjungtiva anemis (+), Candidiasis oral (+).
Diagnosa: Obs. Febris, B20, Hipokalemia dan Toxoplasmosis
Pasien direncanakan pemeriksaan albumin, INR, PT, APTT, Ureum, Creatinin,
SGT, SGPT, Trombosit
Terapi : IVFD RL 500 cc/8 jam, Ceftriaxone 2x2 gr iv, Omeprazole 1x1 tab (0-1-
0), Sukralfat 4xIIC, Kotrimoksazole 1x2 tab (po), Tablet Tambah Darah 3x1 tab
(po), Asam Folat 1x1 tab (po), Clindamisin 4x300 mg tab (po), Pyrimethamine
1x25 mg tab (po) H7, Piracetam 2x2400 mg tab (po) H5, Clopidogrel 1x75 mg tab
malam (po), Simvastatin 1x20 mg tab sore (po), Paracetamol 3x500 mg tab (po),
Ranitidin 2x75 mg tab (po), Nystatin drop 4xIIC
Pada hari kedelapan belas perawatan (24-7-2019), demam kemarin sore dan
tadi subuh, BAB baik, BAK baik. Makan dan minum baik, obat kadang tidak
diminum. Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, TD
120/80 mmHg, nadi 103 x/menit teratur, pernafasan 19 x/menit, temperatur aksila
37,8°C, SpO2: 99%. Kepala/Leher: Candidiasis oral (+). Hasil laboratorium
Hemoglobin 9,2 g/dL, Hematokrit 27,2 %, Leukosit 3,49 x 103/uL, Trombosit 263

16
x 103/uL, Eritrosit 3,55 x 106/uL, Laju Endap Darah 75 mm/jam. Pada hitung jenis
Leukosit di dapatkan Sel basofil 0,3%, Eosinofil 0,0%, Neutrofil 80,5%, Limfosit
11,5 %, Monosit 7,7%. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 21,0 U/L,
SGPT 25,0 U/L, BUN 4,9 mg/dL, Creatinin 0,66 mg/dL.
Diagnosa: Obs. Febris, B20, Hipokalemia, Toxoplasmosis dan Suspect MAC
Pasien direncanakan pemeriksaan kultur darah dan kultur urin serta pemeriksaan
ulang INR
Terapi : IVFD RL 500 cc/8 jam, Ceftriaxone 2x2 gr iv, Ranitidin 2x50 mg iv,
Sukralfat 4xIIC, Kotrimoksazole 1x2 tab (po), Tablet Tambah Darah 3x1 tab (po),
Asam Folat 1x1 tab (po), Clindamisin 4x300 mg tab (po), Pyrimethamine 1x25 mg
tab (po) H7, Piracetam 2x2400 mg tab (po) H6, Clopidogrel 1x75 mg tab malam
(po), Simvastatin 1x20 mg tab sore (po), Paracetamol 4x500 mg tab (po),
Azythromycin 1x500 mg tab, Nystatin drop 4xIIC
Pada hari kesembilan belas perawatan (25-7-2019), pasien mengaku sudah
tidak ada keluhan dan sudah minum obat dengan baik, BAB baik, BAK baik. Makan
dan minum baik. Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis,
TD 110/70 mmHg, nadi 91 x/menit teratur, pernafasan 20 x/menit, temperatur
aksila 36,6°C, SpO2: 99%. Kepala/Leher: Candidiasis oral (+). Hasil laboratorium
PT 10,5 detik, INR 0,93.
Diagnosa: B20, Melena et causa Gastritis Erosiva, Nausea Vomitting, Anemia,
Hipokalemia, Hipoalbumin, CAP, Toxoplasmosis dan Obs. Febris Suspect MAC
Terapi : IVFD RL 500 cc/8 jam, Ceftriaxone 2x2 gr iv, Ranitidin 2x50 mg iv,
Sukralfat 4xIIC, Kotrimoksazole 1x2 tab (po), Tablet Tambah Darah 3x1 tab (po),
Asam folat 1x1 tab (po), Clindamisin 4x300 mg tab (po), Pyrimethamine 1x25 mg
tab (po) H8, Piracetam 2x2400 mg tab (po) H7, Clopidogrel 1x75 mg tab malam
(po), Simvastatin 1x20 mg tab sore (po), Azythromycin 1x500 mg tab, Nystatin
drop 4xIIC
Pada hari kedua puluh perawatan (26-7-2019), pasien mengaku sudah tidak ada
keluhan dan sudah minum obat dengan baik, BAB baik, BAK baik. Makan dan
minum baik. Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, TD
110/70 mmHg, nadi 102 x/menit teratur, pernafasan 20 x/menit, temperatur aksila
37,0°C, SpO2: 99%. Kepala/Leher: Candidiasis oral (+).

17
Diagnosa: B20, Melena et causa Gastritis Erosiva, CAP, Toxoplasmosis dan Obs.
Febris Suspect MAC
Pasien direncanakan foto rontgen thorax, hasilnya terdapat bercak infiltrate pada
lapang paru dextra
Terapi : Ranitidin 2x75 mg tab (po), Sukralfat 4xIIC, Asam folat 1x1 tab (po),
Omeprazole 1x1 tab (0-1-0), Clindamisin 4x300 mg tab (po), Pyrimethamine 1x25
mg tab (po) H9, Piracetam 2x2400 mg tab (po) H8, Simvastatin 1x20 mg tab sore
(po), Simarc 1x2 mg tab (po), Azythromycin 1x500 mg tab, Nystatin drop 4xIIC
Pasien di perbolehkan pulang, evaluasi lanjut di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD
Jayapura dan menunggu hasil kultur darah dan urin.
Pada tanggal 1 Agustus 2019 pasien datang kontrl ke Poliklinik Penyakit
Dalam RSUD Jayapura dengan keluhan pusing kepala naik turun selama 3 hari.
Pada hasil pemeriksaan kultur darah tidak didapatkan adanya pertumbuhan kuman.
Pada hasil pemeriksaan kultur urin didapatkan bahwa pasien hanya sensitif terhadap
obat Ertapenem, Meropenem, Amikacin dan Tigecycline.
Diagnosa: Toxoplasmosis Cerebri, CAP, Post Melena, HIV/AIDS dan Suspect
MAC
Terapi: Azitromicyn 1500 mg, Pyrimethamine 1x25 mg, Clindamisin 4x300 mg,
Asam Folat 1x1 tablet dan Omeprazole 2x1 tablet.

PEMBAHASAN
Melena adalah buang air besar berwarna hitam ter yang berasal dari saluran
cerna bagian atas. Yang dimaksud saluran cerna atas adalah saluran cerna diatas
(proximal) dari ligamentum Treitz, mulai dari jejunum proksimal, duodenum,
gaster dan esophagus. Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) merupakan
keadaan gawat darurat yang sering dijumpai ditiap rumah sakit diseluruh dunia.
Perdarahan dapat terjadi antara lain karena pecahnya varises esophagus, gastritis
erosiva, atau ulkus peptikum. Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat
bermanifestasi sebagai hematemesis dan melena atau keduanya. Pada anamnesa
perlu ditanyakan mengenai kapan terjadinya perdarahan, berapa banyak darah yang
keluar, riwayat perdarahan sebelumnya, riwayat perdarahan dalam keluarga, ada
tidaknya perdarahan dibagian tubuh lainnya, riwayat penggunaan obat-obat

18
NSAIDs dan anti koagulan, riwayat alkohol. Pada pemeriksaan fisik dapat
menunjukkan stigmata perdarahan, seperti stigmata sirosis, anemia, akral dingin.
Pada perdarahan saluran cerna bagian atas akan didapatkan bising usus meningkat
pada auskultasi abdomen. Pada pemeriksaan kimia darah dapat ditemukan rasio
(BUN/Kreatinin) > 35. Adapula dilakukan pemeriksaan endoskoi untuk
menemukan penyebab serta asal perdarahan.
Pada hari pertama perawatan pasien mengeluhkan adanya keluhan buang
air besar berwarna hitam, mual, muntah dan nyeri ulu hati, pada pemeriksaan fisik
didapatkan konjungtiva anemis dan bising usus meningkat. Pasien memiliki
riwayat alkohol dan riwayat gastritis sebelumnya. Sehingga pasien ini didiagnosa
dengan Melena et causa gastritis erosiva. Maka di putuskan untuk di berikan terapi
ranitidine 2x50 mg iv, omeprazole 2x40 mg iv, ondancentron 3x4 mg, vitamin K
4x10 mg iv, asam traneksamat 4x1 gr iv dan sucralfat 4xIIC po.
Tatalaksana yang dapat dilakukan yakni resusitasi berupa pemasangan jalur
intravena dengan cairan fisiologis, bila perlu lakukan transfuse PRC, WB dan FFP.
Tindakan paling sederhana untuk menghentikan perdarahan saluran cerna bagian
atas adalah gastric spooling atau bilas lambung dengan air es melalui NGT. Pada
perdarahan saluran cerna dapat mengganggu hemostasis berupa defisiensi
kompleks protrombin sehingga diberikan vitamin K parenteral dan bila diduga
terdapat fibrinolysis dapat diberikan asam traneksamat parenteral. Produksi asam
lambung yang meningkat karena stress fisik maupun psikis ditekan dengan
pemberian antasida dan antagonis reseptor H2 (ranitidin). Perlu diberikan juga
untung menghambat pompa proton (omeprazole, lansoprazole, pantoprazole).
Pada pasien ini di berikan terapi berupa Ranitidine 2x50 mg iv, Omeprazole
2x40 mg iv, Ondancentron 3x4 mg, Vitamin K 4x10 mg iv, Asam Traneksamat 4x1
gr iv dan Sucralfat 4xIIC po.
Definisi CAP (Community Acquired Pneumonia) menurut Infectious
Diseases Society of America (IDSA) adalah infeksi akut parenkim paru yang
ditandai dengan terdapatnya infiltrat baru pada foto toraks atau ditemukannya
perubahan suara napas dan atau ronkhi basah lokal pada pemeriksaan fisik paru
yang konsisten dengan pneumonia pada pasien yang tidak sedang dirawat di rumah
sakit atau tempat perawatan lain dalam waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala.

19
Definisi yang lebih lengkap diberikan oleh BTS yaitu timbulnya gejala infeksi
saluran napas bawah yaitu: batuk ditambah minimal satu gejala infeksi saluran
napas bawah lain; perubahan hasil pemeriksaan fisik paru; paling kurang satu dari
tanda sistemik (berkeringat,demam, menggigil,dan atau suhu ≥ 380C); respons
setelah pemberian antibiotik.(Muller B et al, 2007)
Beberapa penelitian prospektif yang dilakukan untuk meneliti etiologi CAP
gagal mengidentifikasi kuman penyebab pada 50 persen kasus. Beberapa kuman
penyebab yang paling banyak ditemukan adalah Streptococcus pneumonia yang
menjadi penyebab pada dua per tiga kasus pneumonia. Beberapa kuman penyebab
lain yaitu Haemophilus influenza, Klebsiella pneumonia, staphylococcus
aureus,Pseudomonas spp, Mycoplasma pneumonia, Chlamydia, Moraxella
catarrhalis, legionella dan virus influenza. Mycoplasma, Chlamydia,Moraxella dan
Legionella merupakan kuman atypical. (Muller B et al, 2017)
Diagnosis CAP didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis,
foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika
pada foto toraks terdapat infiltrate baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2
atau lebih gejala seperti batuk-batuk bertambah, perubahan karakteristik
dahak/purulent, suhu tubuh > 380C (aksila)/riwayat demam, pada pemeriksaan fisik
didapatkan tanda – tanda konsolidasi, suara nafas bronkial dan ronki dan didapatkan
kadar leukosit > 10.000 atau < 4500. (Muller B et al, 2017)
Pemeriksaan analisis gas darah, elektrolit, ureum serta fungsi hati dilakukan
untuk menentukan derajat keparaah CAP Uji mikrbiologi dari sutum harus
dilakukan pada pasien CAP sedang dan berat, sedangkan pada pasien CAP yang
ringan sebaiknya pemeriksaan mikrobiologis harus berdasarkan faktor-faktor klinis
seperti usia, penyakit komorbid dan indicator-indikator beratnya CAP serta faktor
epidemiologi dn riwayat antibiotik yang digunakan sebelumnya. (Muller B et al,
2017).
Pada hari perawatan ketiga pasien masih mengeluhkan adanya batuk
berdahak dan demam, pada hasil rontgen thorax didapatkan adanya penebalan
hilus dan bercak infiltrate pada lapang paru dextra bagian lobus medial dan
inferior. Sehingga pasien ini didagnosa dengan Community Acquired Peumonia
(CAP) dan Melena et causa Gastritis Erosiva.

20
Panduan penanganan CAP saat ini merekomendasikan melakukan
stratifikasi pasien ke dalam kelompok risiko, melakukan pemilihan terapi
antimikroba empirik yang tepat berdasarkan peta pola kuman, farmakokinetik dan
farmakodinamik obat, ada tidaknya alergi obat, riwayat penggunaan antibiotika
sebelumnya, Efek samping obat, patogen lokal, harga. Tujuan pemberian
antimikroba adalah untuk menurunkan dan mengeradikasi kuman, menurunkan
kesakitan dan kematian serta meminimalkan resistensi. (Muller B et al, 2017).
Terapi empiris untuk CAP (PDPI) pada pasien yang sebelumnya sehat atau
tanpa riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya diberikan golongan β –
laktam atau β – laktam ditambah anti β – lactamase dan Makrolid baru. Pada pasien
dengan komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan
sebelumnya diberikan Fluorokuinolon respirasi (levofloxacin 750mg atau
mexilfloxacin ) atau golongan β - laktam ditambah makrolid. Pada pasien Rawat
inap Non ICU diberikan Fluorokuinolon respirasi (levofloxacin 750mg atau
moksifloxacin ) atau β - laktam ditambah makrolid. Pada pasien di ruang rawat
intensif, tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas β – lactam (cefotaxime,
ceftriaxone atau ampisilin sulbaktam) ditambah makrolid baru atau fluorokuinolon
respirasi (levofloxacin 750mg atau moksifloxacin ). Pertimbangan khusus apabila
ada faktor resiko infeksi pseudomonas : antipneumokokal, antipseudomonas laktam
(pipersilintazobaktam, sefepime, imipenem atau meropenem) ditambah
ciprofloxacin atatu levofloxacin (750mg) atau β – laktam seperti tersebut diatas
ditambah dengan aminoglikosida dan azitromisin atau β – laktam seperti tersebut
diatas ditambah dengan aminoglikosida dan antipneumokokal fluorokuinolon
(untuk pasien yang alergi penisilin, β – laktam diganti dengan aztreonam). Bila
dicuriga adanya infeksi CAMRSA tambahkan vancomisin atau linezolid. (Muller
B et al, 2017).
Setelah pasien ini terdiagnosa Community Acquired Peumonia (CAP), pasien
ini diberikan terapi levofloxacin tablet 1x500 mg /hari.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang
system kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis dari sel - sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah
putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau

21
penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel - sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.
Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400 -
1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada
orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun
(bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007c).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.
Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim
reverse transcrisptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan
menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu
HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan
masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara
kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di
seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang
dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar. Pada pusat lingkaran terdapat
untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional dan
struktural yaitu gag (group antigen), pol (polymerase), dan env (envelope).
AIDS (Aiquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family
retrviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat
pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional
pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam
bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau
melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T,

22
karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel
Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap
hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam
tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan
dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentiviridae. Virus
famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini
menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk
yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap
kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut
diturunkan.
Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan
seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan
makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+adalah reseptor pada
limfosit T yang menjadi target utama HIV. HIV menyerang CD4+ baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai
efek toksik akan menghambat fungsi sel T. secara tidak langsung, lapisan luar
protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+
yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen.
Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut
semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu.
Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah
infeksi. Pada masa ini, tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV
tampak sehat dan merasa sehat serta test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan
virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window periode). Kemudian
dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini
terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+
sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat,
50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV
menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200
sel/μL.

23
Virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang
terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang
terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama,
50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian
meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang
kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan,
demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi
jamur,herpes, dll. Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV
terjadi penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah. Virus
HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga akan menginfeksi
berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel
hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan
sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah
encefalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis.
Terdapat 3 faktor determinan HIV/AIDS yaitu faktor host, agent dan
environment. Faktor host mencakup semua golongan masyarakat, baik kelompok
risiko tinggi maupun masyarakat umum. Kelompok masyarakat yang mempunyai
risiko tinggi adalah pengguna narkoba suntik (Injecting Drug Use), kelompok
masyarakat yang melakukan promiskuitas (hubungan seksual dengan banyak
mitraseksual) misalnya WPS (wanita penjaja seks), dari satu WPS dapat menular
ke pelanggan-pelanggannya selanjutnya pelanggan-pelanggan WPS tersebut dapat
menularkan kepada istri atau pasangannya. Laki-laki yang berhubungan seks
dengan sesamanya atau lelaki seks lelaki (LSL). Narapidana dan anak-anak jalanan,
penerima transfusi darah, penerima donor organ tubuh dan petugas pelayan
kesehatan juga mejadi kelompok yang rawan tertular HIV. Salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS adalah usia pada
saat infeksi. Orang yang terinfeksi HIV pada usia muda, biasanya lambat menderita
AIDS, dibandingkan jika terinfeksi pada usia lebih tua.

24
Dalam Adisasmito (2007), risiko transmisi transplasental yaitu transmisi dari
ibu kepada bayi/janinnya saat hamil atau saat melahirkan adalah 50%, yaitu apabila
seorang ibu pengidap HIV melahirkan anak, maka kemungkinan anak itu terlular
HIV. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus
dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya 1%. Petugas
kesehatan yang terluka oleh jarum suntik atau benda tajam lainnya yang
mengandung darah yang terinfeksi virus HIV, mereka dapat menderita HIV/AIDS,
angka serokonversi mereka <0,5%.
Faktor Agent yang dimaksudkan ialah Virus HIV secara langsung maupun
tidak langsung akan menyerang sel CD4+. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-
sel T, sehingga menggangu sel-sel efektor imun yang lainnya, daya tahan tubuh
menurun sehingga orang yang terinfeksi HIV akan jatuh kedalam stadium yang
lebih lanjut.
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan
cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus, yang
membuat individu yang terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus
HIV yang masuk sangat menentukan penularan, penurunan jumlah sel limfosit T
berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh.
AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case
Fatality Rate 100% dalam lima tahun, artinya dalam waktu lima tahun setelah
diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal. Proporsi kasus AIDS
yang dilaporkan telah meninggal di Indonesia hingga Desember 2009 adalah
19,3%.
Faktor environment, Menurut data UNAIDS (2009), dalam survei yang
dilakukan di negara bagian Sub-Sahara Afrika antara tahun 2001 dan 2005,
prevalensi HIV lebih tinggi di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan,
dengan rasio prevalensi HIV di kota : pedesaan yaitu 1,7:1. Misalnya di Ethiopia,
orang yang tinggal di areal perkotaan 8 kali lebih mudah terinfeksi HIV dari pada
orang-orang yang tinggal di pedesaan.
Penelitian Silverman, dkk (2006) desain Case records di Mumbai, pada 175
orang perempuan korban perdagangan seks di rumah pelacuran di India, 54,3%
diantaranya berasal dari India, 29,7% berasal dari Nepal, 4% berasal dari

25
Bangladesh dan 12% tidak diketahui asalnya. Dari 28,4% perempuan India korban
perdagangan seks yang positif HIV, perempuan yang berasal dari Kota Karnataka
dan Maharashtra lebih mungkin terinfeksi HIV daripada perempuan yang berasal
dari Kota Bengal Barat dengan Odds Ratio (OR) 7,35. Hal ini dikarenakan Kota
Karnataka dan Maharashtra merupakan daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi.
Jadi perempuan korban perdagangan seks yang berasal dari daerah dengan
prevalensi HIV yang tinggi kemungkinan untuk telah terinfeksi HIV sebelumnya
lebih besar.
Transmisi HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus
HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual,
jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang
terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi
terhadap HIV/AIDS dapat diketahui, misalnya pengguna narkotika, pekerja seks
komersial dan pelanggannya, serta narapidana. Transmisi HIV secara seksual
terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal
seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya.
Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan
seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada
risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Kekerasan seksual secara umum
meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan
dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi
HIV.
Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual dengan risiko
tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitraseksual yang pasif menerima
ejakulasi semen dari seorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan karena tipisnya
mukosa rektum sehingga mudah sekali mengalami perlukaan saat berhubungan
seksual ano-genital. Risiko perlukaan ini semakin bertambah apabila terjadi
perlukaan dengan tangan (fisting) pada anus/rektum. Tingkat risiko kedua adalah
hubungan oro-genital termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV.
Tingkat risiko ketiga adalah hubungan genito-genital/hetero seksual, biasanya
terjadi pada hubungan suami istri yang salah seorang telah mengidap HIV.

26
HIV dapat menular melalui transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan
jarum suntik dan alat tusuk lainnya seperti alat tindik yang terkontaminasi HIV.
Penggunaan jarum suntik yang berganti-gantian menyebabkan tingginya kasus
HIV/AIDS pada kelompok pengguna napza suntik (IDU). Pada umumnya, ibukota
dan kota-kota metropolitan mempunyai jumlah penggu na napza suntik yang besar.
8 Di negara berkembang, cara ini juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai
oleh petugas kesehatan. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik yang
mengandung darah yang terkontaminasi merupakan penyebab sepertiga dari semua
infeksi baru HIV.
Transmisi parenteral lainnya adalah melalui donor/transfusi darah yang
mengandung HIV. Risiko tertular infeksi HIV lewat transfusi darah adalah >90%,
artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang terkontaminasi HIV maka
dapat dipastikan orang tersebut akan menderita HIV sesudah transfusi itu. Di negara
maju resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil, hal ini
dikarenakan pemilihan donor yang semakin bertambah baik dan pengamatan HIV
telah dilakukan. Namun demikian, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses
terhadap darah yang aman. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui
rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan
dan saat persalinan.
HIV tidak menular melalui peralatan makanan, pakaian, handuk, sapu tangan,
toilet yang dipakai secara bersama-sama, ciuman pipi, berjabat tangan, hidup
serumah dengan penderita HIV yang buka n mitra seksual dan hubungan sosial
lainnya. Air susu ibu pengidap HIV, saliva/air liur, air mata, urin serta gigitan
nyamuk belum terbukti dapat menularkan HIV/AIDS.
Transmisi dapat melalui hubungan seksual (terutama homseksual) dan dari
suntikan darah yang terinfeksi atau produk darah. Diperkirakan bahwa 90 sampai
100% orang yang mendapat transfusi darah yang tercemar HIVakan mengalami
infeksi. Suatu penelitian di Amerika Serikat melaporkan risiko infeksi HIV-1
melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV berkisar antara 1 per 750.000
hingga 1 per 835.000. Pemeriksaan antibodi HIV pada donor darah sangat
mengurangi transmisi melalui transfusi darah dan produk darah (contoh,
konsentrasi faktor VIII yang digunakan untuk perawatan hemofolia).

27
Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi HIV kepada
janinnya sewaktu hamil , persalinan, dan setelah melahirkan melalui pemberian Air
Susu Ibu (ASI). Angka penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu
persalinan 10-20%, dan saat pemberian ASI 10-20%. Di mana alternatif yang layak
tersedia, ibu-ibu positif HIV-1 tidak boleh menyusui bayinya karena ia dapat
menambah penularan perinatal. Selama beberapa tahun terakhir, ditemukan bahwa
penularan HIV perinatal dapat dikaitkan lebih akurat dengan pengukuran jumlah
RNA-virus di dalam plasma. Penularan vertikal lebih sering terjadi pada kelahiran
preterm, terutama yang berkaitan dengan ketuban pecah dini.
Walaupun pernah ditemukan dalam air liur pada sebagian kecil orang yang
terinfeksi, tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa air liur dapat menularkan
infeksi HIV baik melalui ciuman biasa maupun paparan lain misalnya sewaktu
bekerja bagi petugas kesehatan. Selain itu, air liur dibuktikan mengandung inhibitor
terhadap aktivitas HIV. Demikian juga belum ada bukti bahwa cairan tubuh lain
misalnya air mata, keringat dan urin dapat merupakan media transmisi HIV
(Nasronudin, 2007).
Berbagai penelitian multi institusi menyatakan bahwa risiko penularan HIV
setelah kulit tertusuk jarum atau benda tajam lainnya yang tercemar oleh darah
seseorang yang terinfeksi HIV adalah sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan HIV
ke membran mukosa atau kulit yang mengalami erosi adalah sekitara 0,09%. Di
rumah sakit Dr. Sutomo dan rumah sakit swasta di Surabaya, terdapat 16 kasus
kecelakaan kerja pada petugas kesehatan dalam 2 tahun terakhir. Pada evaluasi
lebih lanjut tidak terbukti terpapar HIV (Nasronudin).
Gejala infeksi HIV pada awalnya sulit dikenali karena seringkali mirip
penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare sehingga penderita tampak sehat.
Kadang-kadang dalam 6 minggu pertama setelah kontak penularan timbul gejala
tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, sakit menelan dan pembengkakan
kelenjar getah bening di bawah telinga, ketiak dan selangkangan. Gejala ini
biasanya sembuh sendiri dan sampai 4-5 tahun mungkin tidak muncul gejala.
Pada tahun ke 5 atau 6 tergantung masing-masing penderita, mulai timbul
diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut
dan pembengkakan di daerah kelenjar getah bening. Kemudian tahap lebih lanjut

28
akan terjadi penurunan berat badan secara cepat (> 10%), diare terus-menerus lebih
dari 1 bulan disertai panas badan yang hilang timbul atau terus menerus.
Klasifikasi Stadium HIV / AIDS
- Stadium I dengan gejala Akut, Asimptomatis, Pembesaran KGB, Limfadenopati
dan generalisata persisten.
- Stadium II dengan gejala Aktivitas normal, Penurunan berat badan < 10%,
Kelainan kulit dan mukosa yang ringan (dermatitis seboroik, prurigo,
onikomikosis, ulkus oral rekuren, kheilitis angularis), Herpes zoster dalam 5
tahun terakhir dan Infeksi saluran napas bagian atas (sinusitis bakterialis).
- Stadium III dengan gejala Lemah, 1 bulan terbaring di tempat tidur, Penurunan
berat badan > 10%, Diare kronis yang berlangsung selama > 1 bulan, Demam
berkepanjangan selama > 1 bulan, Kandidiasis orofaringeal, Oral hairy
leukoplakia, TB paru dalam tahun terakhir, Infeksi bakterial berat (pneumonia,
pneumosistis carinii), Angiomatosis basiler dan HZV yang berkomplikasi
- Stadium IV dengan gejala HIV wasting syndrome, PCP (Pneumosistis Carinii
Pneumonia), Toksoplasmosis otak, Diare kriptosporodiosis > 1 bulan,
Kriptokokosis ekstrapulmonal, Retinitis virus sitomegalo, Herpes simpleks
mukokutan > 1 bulan, Leukoensefalopati multifokal progresif, Mikosis
diseminata (histoplasmosis), Kandidiasis di esofagus, trakea, bronkus, paru,
Mikobakteriosis atipikal diseminata, Septisemia salmonelosis nontifoid, TB
ekstra paru, Limfoma, Sarkoma kaposi, Ensefalopati HIV, Gangguan kulit khas
: bruntus-bruntus hitam dan Drug reaction
Klasifikasi berdasarkan nilai CD4 menurut CDC, yaitu :
- Limfosit CD4 >500 sel/mm3 pada kategori A (asisomatis, infeksi akut) disebut
A1, kategori B (simptomatis) disebut B1 dan kategori C disebut (AIDS) disebut
C1.
- Limfosit CD4 200-499 sel/mm3 pada kategori A (asisomatis, infeksi akut)
disebut A2, kategori B (simptomatis) disebut B2 dan kategori C disebut
(AIDS) disebut C2.
- Limfosit CD4 < 200 sel/mm3 pada kategori A (asisomatis, infeksi akut)
disebut A3, kategori B (simptomatis) disebut B3 dan kategori C disebut
(AIDS) disebut C3.

29
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya terbagi menjadi
2 hal yaitu tumor dan infeksi oportunistik : (a)Pada manifstasi tumor diantaranya
Sarkoma Kaposi adalah kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh.
Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual,
dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer
sedangkan Limfoma ganas terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf,
dan bertahan kurang lebih 1 tahun, (b) Manifestasi oportunistik diantaranya
manifestasi paru yaitu Pneumosistis carinii pneumonia (PCP). Pada umumnya 85%
infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru PCP dengan gejala sesak
nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam untuk Citomegalovirus
(CMV). Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru
tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab
kematian pada 30% penderita AIDS. Untuk Mycobacterium avilum yang
menimbulkan gejala pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan serta Mycobacterium tuberculosis yang Biasanya timbul lebih dini,
penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru.
Selanjtnya gejala yang timbul untuk Manifestasi pada gastointestinal yaitu tidak
adanya nafsu makan, diare khronis dan berat badan turun lebih 10% per bulan.
Gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase, yang mencerminkan
dinamika interaksi antara HIV dan sistem imun, fase tersebut ialah (a) Fase Akut,
dimana fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia,
demam, ruam dan kadang-kadang meningitis aseptic.Pada fase ini terdapat produksi
virus dalam jumlah yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada
jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T
CD4+. Segera setelah hal itu terjadi, muncul respon imun yang spesifik
terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam
rentang waktu 3 hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui munculnya sel T
sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T
CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya jumlah virus
dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan
terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan, (b) Fase kronis
dimana fase ini menunjukan tahap penahanan relatif virus, sebagian besar sistem

30
imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para
pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten
dan banyak penderita yang mengalami infeksi opotunistik ringan, seperti sariawan.
Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang
meluas akan disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut. Namun, karena
kemampuan regenerasi sistem imun yang besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam
jumlah yang besar. Setelah melewati periode yang panjang dan beragam,
pertahanan pejamu mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan
jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat, (c) Fase
kritis dimana fase ini menujukan tahap terakhir yang ditandai dengan kehancuran
pertahanan pejamu yang sangat merugikan, peningkatan viremia yang nyata,
serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan mengalami demam lebih
dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah sel
CD4+ menurun di bawah 500 sel/μL. Setelah adanya interval yang berubah-
ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma
sekunder dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi yang
menentukan AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak
muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa
seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama
dengan 200 sel/μL sebagai pengidap AIDS. Hampir semua orang yang terinfeksi
HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala yang
berkaitan dengan HIV atau AIDS.
Banyak negara berkembang, yang belum memiliki fasilitas pemeriksaan
serologi maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO menetapkan kriteria
diagnosis AIDS sebagai berikut: Pada orang dewasa definisi kasus AIDS dicurigai
bila paling sedikit mempunyai 2 gejala mayor dan 1 gejala minor dan tidak
terdapat sebab-sebab penekanan sistem imun lain yang diketahui, seperti kanker,
malnutrisis berat atau sebab-sebab lainnya. Gejala mayor ialah penurunan berat
badan > 10% berat badan per bulan, diare kronis lebih dari 1 bulan, demam lebih
dari 1 bulan. Gejala minor ialah batuk selama lebih dari 1 bulan, pruritus dermatitis
menyeluruh, infeksi umum yang rekuren misalnya herpes zoster, kandidiasis
orofaringeal, infeksi herpes simpleks kronis progresif atau yang meluas dan

31
limfadenopati generalisata. Adanya Sarkoma Kaposi meluas atau meningitis
cryptococcal pada orang dewasa sudah cukup untuk menegakkan AIDS.
Sedangkan pada anak-anak definisi kasus AIDS terpenuhi bila ada sedikitnya
2 tanda mayor dan 2 tanda minor dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan
imun yang lain yang diketahui, seperti kanker, malnutrisi berat atau sebab-sebab
lain. Gejala mayor ialah berat badan turun atau pertumbuhan lambat yang abnormal,
diare kronis > 1 bulan dan demam > 1 bulan. Gejala minor ialah adanya
limfadenopati generalisata, kandidiasis orofaringeal, infeksi umum yang rekuren,
batuk-batuk selama > 1 bulan dan adanya ruam kulit yang menyeluruh.
Pemeriksaan Infeksi HIV / AIDS diantaranya: (a) ELISA (Enzyme-Linked
Immunoabsorbent Assay) adalah Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis
HIV. Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi
tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif
sehingga menyebabkan false positif, diantaranya penyakit autoimun ataupun karena
infeksi. Sensivitas ELISA antara 98,1% -100% dan dapat mendeteksi adanya
antibodi terhadap HIV dalam darah, (b) Western Blot memiliki spesifisitas
(kemampuan test untuk menemukan orang yang tidak mengidap HIV) antara 99,6%
- 100%. Namun pemeriksaannya cukup sulit,mahal dan membutuhkan waktu
sekitar 24 jam. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang
menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi setelah dua minggu
dengan sampel yang sama. Jika test Western Blot tetap tidak bias disimpulkan,
maka test Western Blotharus diulangi lagi setelah 6 bulan, (c) PCR (Polymerase
Chain Reaction) untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk
infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas. Diagnosis
infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO dan atau
CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat
bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala
mayor dan satu gejala minor.
Salah satu cara penentuan serologi HIV yang dianjurkan adalah ELISA,
mempunyai sensitivitas 93-98% dengan spesifitas 98-99%. Pemeriksaan serologi
HIV sebaiknya dilakukan dengan 3 metode berbeda. Dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan yang lebih spesifik Western blot.

32
Tes serologi standar terdiri dari ELISA dan diikuti konfirmasi WB. Melalui
WB dapat ditentukan antibodi terhadap komponen protein HIV yang meliputi inti
(p17, p24, p55), polimerase (p31, p51, p66), dan selubung (envelope) HIV (gp41,
gp120, gp160). Bila memungkinkan pemeriksaan WB selalu dilakukan karena tes
penapisan melalui EIA terdapat potensi false positif2%. Interpretasi WB meliputi:
- Negatif :tidak ada bentukan pita
- Positif :reaktif terhadap gp120/160 dan gp41 atau p24
- Indeterminate :terdapat berbagai pita tetapi tidak memenuhi kriteria
hasil positif.
Akurasi pemeriksaan serologi standar (ELISA dan WB atau immunoflourescent
assay) sensitivitas dan spesifitasnya mencapai > 98%.
Pada hari perawatan kelima pada pasien masih tetap didapatkan demam
dan pasien mulai tampak gelisah, sehingga dilakukan pemeriksaan DDR, HBsAg
dan Widal namun hasilnya negatif, karna pada pasien juga didapatkan adanya
Oral Candidiasis, maka pasien dicurigai menderita penyakit immunocompromise,
kemudian dilakukan pemeriksaan tes antibody HIV 3 metode dan hasilnya positif.
Sehingga pasien ini didiagnosa dengan HIV/AIDS (B20) dengan Community
Acquired Peumonia (CAP) dan Melena et causa Gastritis Erosiva.
Pada penerapan tatalaksana HIV/AIDS terdapat dua tatalaksana yaitu
Tatalaksana Umum yang dimana merupakan Istirahat, dukungan nutrisi yang
memadai berbasis makronutrien dan mikronutrien untuk penderita HIV&AIDS,
konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial, membiasakan gaya
hidup sehat antara lain membiasakan senam. Sedangkan yang kedua adalah
Tatalaksana Khusus merupakan Pemberian antiretroviral therapy (ART)
kombinasi, terapi infeksi sekunder sesuai jenis infeksi yang ditemukan, terapi
malignansi.
Secara umum, penatalaksanaan ODHA terdiri dari beberapa jenis, yaitu: (a)
Pengobatan untuk menekan replikasi HIV dengan obat anti retroviral (ARV), (b)
Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, sarkoma
kaposi, limfoma, kanker serviks. (c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang
mempunyai nilai gizi lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti

33
dukungan psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup dan menjaga
kebersihan.
Terapi antiretroviral (ARV) Antiretroviral therapy ditemukan pada tahun
1996 dan mendorong suatu evolusi dalam perawatan penderita HIV/AIDS.
Replikasi HIV sangat cepat dan terus-menerus sejak awal infeksi, sedikitnya
terbentuk 10 miliar virus setiap hari. Namun karena waktu paruh virus bebas
(virion) sangat singkat maka sebagian besar virus akan mati. Penurunan CD4
menunjukkan tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh
HIV. Pemeriksaan CD4 ini berguna untuk memulai, mengontrol dan mengubah
regimen ARV yang diberikan.
Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada penderita
yang dicurigai,tetapi perlu menempuh langkah-langkah yang arif dan bijaksana,
serta mempertimbangkan berbagai faktor; dokter telah memberikan penjelasan
tentang manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaan ARV,
kesanggupan dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak
terbatas; serta saat yang tepat untuk memulai terapi ARV.
Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat yang
ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal
dengan highly active antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering
disingkat menjadi ART (antiretroviral therapy) atau terapi ARV. Pemerintah
menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV dengan berdasarkan
pada 5 aspek yaitu efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan,
dan harga obat. Konseling terapi yang memadai sangat penting untuk terapi seumur
hidup dan keberhasilan terapi jangka panjang. Isi dari konseling terapi ini termasuk:
kepatuhan minum obat, potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang
tidak diharapkan atau terjadinya sindrom pulih imun (Immune Reconstitution
Inflammatory Syndrome/IRIS) setelah memulai terapi ARV, terutama pada ODHA
dengan stadium klinis lanjut atau jumlah CD4 <100 sel/mm3, dan komplikasi yang
berhubungan dengan terapi ARV jangka panjang. Orang dengan HIV harus
mendapatkan informasi dan konseling yang benar dan cukup tentang terapi
antiretroviral sebelum memulainya. Hal ini sangat penting dalam mempertahankan
kepatuhan minum ARV karena harus diminum selama hidupnya. Faktor yang

34
mempengaruhi kepatuhan minum ARV adalah penyediaan ARV secara cuma-
cuma, kemudahan minum obat dan kesiapan untuk meminumnya. Setelah
dilakukan konseling kepatuhan, ODHA diminta berkomitmen untuk menjalani
pengobatan ARV secara teratur untuk jangka panjang. Konseling meliputi cara dan
ketepatan minum obat, efek samping yang mungkin terjadi, interaksi dengan obat
lain, monitoring keadaan klinis dan monitoring pemeriksaan laboratorium secara
berkala termasuk pemeriksaan CD4.
Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi
ODHA sebelum inisiasi ARV dan membantu penentuan paduan yang akan
digunakan. Berikut dalam tabel 5 adalah tes laboratorium yang direkomendasikan
(a) Jumlah CD4 dan Skrining TB, (b) HBsAg, (c) Anti-HCV, (d) Antigen
kriptokokus jika jumlah CD4 ≤ 100 sel/mm3, (e) Skrining infeksi menular seksual,
(e) Pemeriksaan penyakit non komunikabel kronik dan komorbid. Inisiasi ART
secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk pencegahan,
meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden infeksi terkait HIV dalam
populasi. Rekomendasi inisiasi ART pada dewasa dan anak Inisiasi ART pada
orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan 4, atau jika jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3,
Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun jumlah CD4 pada
Koinfeksi TB, Koinfeksi Hepatitis B, Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV,
Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif (pasangan serodiskordan),
untuk mengurangi risiko penularan, LSL, PS, Waria, atau Penasun, Populasi umum
pada daerah dengan epidemi HIV meluas. Pada anak < 5 tahun inisiasi ART tanpa
melihat stadium klinis WHO dan berapapun jumlah CD4.
Rekomendasi menurut WHO untuk memulai terapi antiretroviral penderita
dewasa pada stadium I untuk pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan maka ARV
belum direkomendasikan sedangkan pemeriksaan CD4 dapat dilakukan maka terapi
bila CD4 < 200 sel/mm3. Pada stadium II untuk pemeriksaan CD4 tidak dapat
dilakukan maka ARV belum direkomendasikan sedangkan pemeriksaan CD4 dapat
dilakukan maka mulai terapi apabila CD4 < 200 sel/mm3. Pada stadium III untuk
pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan tetap bisa mulai terapi ARV sedangkan
pemeriksaan CD4 dapat dilakukan maka pertimbangan terapi bila CD4 < 350
sel/mm3acd dan mulai ARV sebelum CD4 turun <200 sel/mm3. Pada stadium IV

35
untuk pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan mulai terapi ARV sedangkan
pemeriksaan CD4 dapat dilakukan terapi tanpa mempertimbangkan jumlah CD4.
Obat anti retroviral terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, nleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease. Saat ini regimen pengobatan
anti retroviral yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV. Terdapat
beberapa regimen yang dapat dipergunakan dengan keunggulan dan kerugian
masing-masing.
Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi satu sama
lainnya karena pemakaian obat tunggal tidak menyembuhkan dan bisa memicu
munculnya virus yang resisten terhadap obat tersebut. Pemakaian obat kombinasi
menjadi standar pengobatan AIDS saat ini, yang disebut highly active antiretroviral
threrapy (HAART). Walaupun demikian, cara ini juga masih belum efektif.
Kombinasi ARV lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah
kombinasi zidovudin (ZDV), lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP).
Regimen kombinasi untuk dewasa adalah 2NRTI + 1NNRTI atau AZT + 3TC
+EFV, AZT + 3TC + NVP, TDF + 3TC (atau FTC) + EFV, TDF + 3TC (atau FTC)
+ NVP dan Tidak dianjurkan regiman berbasis Protease Inhibitor (PI). Unruk ARV
lini pertama:

Tabel ARV lini pertama

Nama Data
o. Formulasi Dosis menurut umur
generik farmakokinetik
- < 4 minggu: 4 mg/kg/dosis, 2x/hari
(profilaksis)
Zinovudin Tablet - minggu – 13 tahun: 180 – 240
1. Semua umur
(NRTIs) 300mg mg/m2/dosis, 2x/hari
- dosis maksimal: >13 tahun, 300
mg/dosis, 2x/hari.
- < 30 hari< 2 mg/kg/dosis, 2x/hari
(profilaksis)
Lamivudin Tablet - > 30 hari atau <60kg: 4 mg/kg/dosis.
2. Semua umur
(NRTIs) 150 mg 2x/hari.
- Dosis maksimal: 150 mg/dosis,
2x/hari.

36
Kombinasi Tablet
tetap 300 mg Dosis maksimal: < 13 tahun atau > 60
Remaja dan
3. Zinovudin (AZT) plus kg: 1 tablet/dosis, 2x/hari (tidak untuk
dewasa
plus 150 mg berat badan 30 kg)
Lamivudin (3TC)
-
< 8 tahun: 200 mg/m2
Dua minggu pertama 1x/hari.
Nevirapin Tablet Selanjutnya 2x/hari.
4. Semua umur
(NNRTIs) 200 mg - > 8 tahun: 120-150 mg/m2,
Dua minggu pertama, 1x/hari
Selanjutnya 2x/hari.
- 10-15 kg: 200 mg 1x/sehari.
- 15 - <20 kg: 250 mg 1x/sehari.
Hanya untuk
- 20 - <25 kg: 300 mg 1x/hari
Efavirenz Tablet anak >3 tahun
5. - 25 - <33 kg: 350 mg 1x/hari
(NNRTIs) 600mg dan berat >10
- 33 - <40 kg: 400 mg 1x/hari
kg
- Dosis maksimal: > 40 kg: 600 mg
1x/hari
Stavudin, d4T Tablet - < 30 kg: 1 mg/kg/dosis, 2x/hari
6 Semua umur
(NRTIs) 30 mg - 30 kg atau lebih : 30 mg/dosis, 2x/hari
- < 16 tahun atau < 37.5 kg: 8
mg/kg.dosis, 2x/hari
Abacavir Tablet
7. Umur > 3 bulan - Dosis maksimal: >16 tahun atau > 37.5
(NRTIs) 300 mg
kg
- 300 mg/dosis, 2x/hari
Tenofovir
Diberikan setiap 24 jam. Interaksi obat
disoproxil Tablet
8. dengan ddl, tidak lagi dipadukan dengan
fumarat 300 mg
ddl.
(NRTIs)
Tablet
Tenofovir +
9. 200 mg/
emtricitabin
300 mg

Rekomendasi regimen lini kedua adalah 2NRTI + boosted- PI (Bpi). Regimen


lini kedua direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh pemerintah dalah
TDF/AZT+3TC+lopinavir/ritonavir (LPV/RTV). Apabila pada lini pertama
menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC atau FTC) sebagai dasar

37
NRTI pada regimen lini kedua. Apabila pada lini pertama menggunakan TDF
makan gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI pada regimen lini kedua.

Tabel 10 ARV lini kedua

Nama Data
No. Formulasi Dosis
generik farmakokinetik

- 400 mg/100 mg setiap 12 jam untuk


pasien naïf baik dengan atau tanpa
kombinasi EFV atau NVP.
Tablet tahan
- 600 mg/ 150 mg setiap 12 jam bila
suhu panas,
Lopinavir/ dikombinasi dengan EFV atau NVP
1. 200 mg 6 bulan
ritonavir (PI) untum pasien yag pernah mendapat
Lopinavir + 50 terapi ARV
mg ritonavir - 2 minggu- 6 bulan: 16 mg/4 mg/kg
BB, 2x/hari
-6 bulan – 18 bulan: 10
mg/lgBB/dosis lopinavir
Tenofovir
Tablet Diberikan setiap 24 jam interaksi
disoproxil
2. obat dengan ddl, tidak lagi dipadukan
fumarat 300 mg dengan ddl.
(NRTIs)

Tabel Regimen ARV kombinasi untuk anak

Singkatan FDC Stavudinr (D4T) Lamivudine(3TC) Nevirapine (NVP)


menurut WHO Dosis/tablet (mg) Dosis/tablet (mg) Dosis/tablet (mg)

Paediatric FDC 12
12 60 -
dual

Paediatric FDC 12
12 60 100
tripel

Tabel Rekomendasi waktu memulai ARV

38
Target pasien Klinis Rekomendasi

Asimtomatik WHO stadium 1 CD4 < 350

WHO stadium 2 CD4 < 350


Simtomatik
WHO stadium 3 atau 4 CD4 berapa pun

CD4 berapa pun diberikan


TB dan Hepatitis B TB aktif secepatnya setelah OAT 2
bulan

Ibu hamil WHO stadium apa pun CD4 berapa pun

Pemilihan obat yang berdasarkan pada kondisi pasien diantaranya adalah.;


(a)Kombinasi awal yang digunakan bagi pasien HIV dengan hasil lab normal adalah
AZT+3TC (Duviral) + NVP (Neviral), (b)Bila pasien tersebut sedang dalam
pengobatab TB maka yang digunakan adalah EFV. Setelah selesai pengobatan TB
maka yang digunakan adalah EFV. Setelah selsai pengobatan TB, EFV diganti
dengan NVP, (c)Bila pasien tersebut memiliki Hb<9 maka regimen yang digunakan
adalah TDF=3TC. Jika TDF belum tersedia, d4T_3TC selama 6-12 bulan kemudian
regimen diganti menjadi AZT+3TC atau TDF+3TC, (d)Lopanavir/ritonavir
digunakan sebagai lini kedua.
Monitoring pasien dalam terapi ARV terdiri dari (a) Monitoring klinis dimana
Frekuensi monitoring klinis tergantung dari respons dari terapi ARV. Monitoring
klinis perlu dilakukan pada minggu 2,3,8,12,24 minggu sejak memulai terapi ARV.
Setiap kunjungan dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala efek
samping obat atau gagal terapi dan frekunsi ( infeksi bacterial, kandidiansis dan
atau infeksi oportunistik lainya) ditambah konseling untuk membantu pasien
memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhannya.

Tabel Rekomendasi pemeriksaan laboratoriun


untuk memonitor pasien dalam terapi ARV

39
Tahap terapi ARV Tes yang direkomendasikan Tes yang dianjurkan

Pada saat diagnosis HIV CD4 HbsAG

Sebelum memulai ARV CD4

Hb untuk AZT, keratinin


Pada saat memulai ARV CD4 klirens untuk TDF, SGPT
untuk NVP

Hb untuk AZT, keratinin


Pada saat menjalani ARV CD4 klirens untuk TDF, SGPT
untuk NVP

Pada saat kegagalan klinis CD4 Viral load

Pada saat kegagalan


Viral load
imunologis

Wanita yang menjalani


PMTCT dengan NVP dosis Viral load enam bulan
tunggal dengan lanjutan dalam setelah memulai terapi ARV
12 bulan

(b) Monitoring lain yaitu monitoring jumlah CD4+ secara rutin setiap 6 bulan atau
lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC = total lymphocyte
count) tidak direkomendasikan untuk digunakan memonitor terapi karena
perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi.
Enam bulan sejak memulai terapi ARV merupakan masa yang kritis dan
penting. Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi perkembangan klinis dan
imonologi kea rah yang lebih baik, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi dan atau
terjadi toksisitas obat. Selain itu bisa juga terjadi suatu sindrom pulih imun dimana
pasien sepertinya mengalami perburukan klinis yang sebetulnya merupakan suatu
keadaan pemulihan respon imunitas (yang kadang sampai menimbulkan gejala
peradangan/inflamasi berlebihan)

Tabel Kriteria Gagal Terapi

Kegagalan Komentar

40
Kondisi harus dibedakan dari SPI

Kondisi stadium 4 WHO baru atau Kondisi WHO stadium 3 tertentu (TB
Gagal klinis paru, infeksi bacteria berat) dapat
berulang
merupakan tanda kegagalan
pengobatan.

Penurunan CD4 kembali seperti


awal sebelum pengobatan (atau
lebih rendah) atau

Penurunan sebesar 50% dari nilai Tanpa infeksi penyerta lain yang
Imunologis tertinggi CD4 yang pernah dicapai menyebabkan penurunan CD4

ketika pengobatan sementara.

atau

Jumlah CD4 tetap < 100 sel/m3

Ambang batas viral load optimal


untuk mendefinisikan kegagalan
virologist belum ditentukan VL>5000
Virologis Viral load plasma > 5000 kopi/ml
kopi/ml berhubungan dengan
perkembangan klinis dan penurunan
CD4

Tabel Efek samping ARV


Obat Efek samping Substitusi

Supressi sum sum tulang Jika digunakan pada terapi lini pertama,
TDF (atau d4T jika tidka ada pilihan
Anemia makrositi atau
lain)
neutropenia
Jika digunakan pada terapi lini kedua,
Intoleransi gastrointertinal, sakit
Zidovudin d4T
kepala, insomnia, asthenia

Pigmentasi kulit dan kuku

Asidosis laktat dengan steatosis


hepatic

41
Pancreatitis, neuropati perifer, AZT dan TDF
Stavudin asidosis laktat denga steatosis
hepatitis (jarang), lipotrofi

Toksisitas renda _

Lamivudin Asidosis laktat dengan steatoses


hepatitis (jarang)

Reaksi hipersensitivitas (dapat AZT atau TDF


fatal),

Demam, ruam kelelahan, mul


muntah, tidak napsu makan
Abacavir
Gangguan pernapasan (sakit
tenggorok, batuk)

Asidosis laktat dengan steatosis


hepatitis (jarang)

Asthenia, sakit kepala, diare, mual Jika digunakan pada lini pertama AZR
muntah, sering buang angin, (atau d4t jika tiada pilihan)
insufisiensi ginjal, sindroma
Jika digunakan pada lini kedua,
fanconi
Secara pendekatan kesehatan
Osteomalasia
masyarakat, makan tidak ada pilihan lain
Tenofovir
Penurunan densittas tulang jika pasien telah gagal

Hepatitis eksaserbasi akut berat AZT/d4t pada terapi lini pertama,


pada pasein HIV dengan koinfeksi
Jika kemungkinan dipertimbangkan
Hepatitis B yang menghentikan merujik ke tingkat perawatan yang lebih
TDF tinggi dimana terapi individual tersedia.

Emtricitabine Ditoleransi dengan baik -

Reaksi hipersensitivitas EFV

Sindroma steven-johnson Bpi jika tidak toleransi terhadap kedua


NNRTI
Nevarapin Ruam
Tiga NNRTI jika tidak ada pilihan lain.
Toksisitas hepar

hiperlipidemia

42
Ritonavir Hiperlipidemia Jika digunakan pada lini kedua.

Intoleransi gastrointertinal, mual, Jika digunakna pada lini kedua.


pancreatitis, hiperglikemial,
Lopinavir
pemindahan lemak dan
abnormalitas lipid

Reaksi hipersensitivitas sindroma NVP


steven-johnson
Bpi jika tidak toleran terhadap kedia
Ruam NRTI

Toksisitas hepar Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain.

Toksisitas sisterm saraf pusat yang


berat dan persisten (depresi dan
pusing)
Efavirenz
Hiperlipidemia

Ginekomastia (pada laki-laki)

Kemungkinan efek teratogenik


(pada kehamilan trimester pertama
atau wanita yang tidak
mengganggu kontrasepsi yang
adekuat)

Pasien ini baru terdiagnosa HIV/AIDS dan belum dilakukan pemeriksaan


CD4 sehingga belum diterapi ARV, akan tetapi pasien diberikan terapi
kotrimoksazole dimana terapi ini merupakan standar pencegahan primer terhadap
infeksi pada pasien HIV dengan CD4 < 200 sel/mm3, dosis yang diberikan 480 mg.
Pasien juga diberikan Nystatin drop untuk mengobati infeksi jamur pada HIV/AIDS
yaitu Oral Candidiasis.
Toxoplasma Gondii merupakan parasit obligat intraseluler yang tersebar luas
di seluruh dunia. Di Indonesia prevalensi zat anti T gondii positif pada manusia
berkisar antara 2 % dan 63%. Pada pasien HIV positif didapatkan sekitar 45% telah
terinfeksi T. gondii. Pada pasien dengan infeksi HIV, T. Gondii menyebabkan
infeksi oportunistik yang berat sehingga diperlukan penatalaksanaan yang tepat dan
sesegera mungkin. Pada individu sehat (immunokompeten) parasit ini

43
menyebabkan infeksi kronik persisten yang asimptomatik, namun pada
immunocompromised akan terjadi reaktivasi sehingga menimbulkan gejala klinis.
Penularan terhadap manusia terutama terjadi apabila tertelan daging babi atau
domba yang mengandung kista jaringan atau apabila menelan sayuran yang
terkontaminasi dan dimasak tidak matang. Jika kista jaringan yang mengandung
bradizoit atau ookista tertelan pejamu, maka parasit akan terbebas dari kista dalam
proses pencernaan. Bradizoit ini resisten terhadap efek dari pepsin dan menginvasi
traktus gastrointestinal pejamu. Dalam eritrosit parasit mengalami transformasi
morfologi, akibatnya jumlah takizoit invasif meningkat. Takizoit ini mencetuskan
respon IgA sekretorik spesifik parasit. Dari traktus gastrointestinal, kemudian
parasit menyebar ke berbagai organ, terutama jaringan limfatik, otot lurik,
miokardium, retina, plasenta dan sistem saraf pusat (SSP). Di tempat-tempat
tersebut, parasit menginfeksi sel pejamu, bereplikasi, dan menginvasi sel yang
berdekatan. Terjadilah proses yang khas yakni kematian sel dan nekrosis fokal yang
dikelilingi respon inflamasi akut.
Pada pasien immunocompromise seperti pada pasien HIV/AIDS, terjadi suatu
keadaan adanya defisiensi imun yang disebabkan oleh defisiensi kuantitatif dan
kualitatif yang progresif dari limfosit T (T helper). Subset sel T ini digambarkan
secara fenotip oleh ekspresi pada permukaan sel molekul CD4 yang bekerja sebagai
reseptor primer terhadap HIV. Pada pasien HIV terjadi penurunan CD4 di bawah
level kritis (CD4<200/ul) sehingga pasien menjadi sangat rentan terhadap infeksi
oportunistik. Pada HIV, manifestasi klinis terjadi bila jumlah limfosit CD4 < 100
sel/ml. Manifestasi tersering pada HIV adalah ensefalitis. Ensefalitis terjadi pada
sekitar 80% kasus. Rabaud et al menunjukkan bahwa selain otak terdapat beberapa
lokasi lain yang sering terkena yaitu mata (50%), paru-paru(26%), darah tepi(3%),
jantung (3%), sumsum tulang(3%) dan kandung kemih (1%).
Ensefalitis toksoplasma (ET) dapat terjadi pada 30 sampai 40% pasien yang
tidak mendapat profilaksis toxoplasmosis pada HIV. Studi di negara barat
melaporkan komplikasi pada sistim saraf terjadi pada 30-70% penderita HIV,
bahkan terdapat laporan neuropatologik yang mendapat kelainan pada 90%
spesimen post mortem dari penderita HIV yang di periksa. Pada pasien dengan ET
gejala-gejala yang sering terjadi adalah gangguan mental (75%), defisit neurologik

44
(70%), sakit kepala (50%), demam (45%), tubuh terasa lemah serta gangguan
nervus kranialis. Gejala lain yang juga sering ditemukan yaitu parkinson, focal
dystonia, rubral tremor, hemikorea-hemibalismus, dan gangguan batang otak.
Medula spinalis juga dapat terkena dengan gejala seperti gangguan motorik dan
sensorik di daerah tungkai, gangguan berkemih dan defekasi. Predileksi infeksi
terutama pada great white junction, ganglia basal dan talamus. Onset dari gejala ini
biasanya subakut.
Diagnosis toksoplasmosis dibuat berdasarkan temuan klinis, laboratoris, dan
radioimaging. Pemeriksaan penunjang laboratorium toksoplasmosis akut dibuat
berdasarkan kultur, pemeriksaan serologis dan PCR. Pemeriksaan laboratorium
tidak ada yang spesifik kecuali limfositosis, peningkatan LED dan peningkatan
transaminase. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada meningoensefalitis
menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial, pleidositosis mononuklear (10-50
sel/ml), peningkatan kadar protein
Tes serologi dapat menunjang diagnosis toksoplasmosis. Tes yang dapat
dipakai adalah tes warna Sabin Feldman (Sabin-Feldman dye test) dan tes
hemaglutinasi tidak langsung (IHA), untuk deteksi antibodi IgG, tes zat
antifluoresen tidak langsung (IFA), dan tes ELISA untuk deteksi antibodi IgM dan
IgG. Ig G anti toxoplasmosis meningkat setelah 1-2 minggu infeksi dan meningkat
mencapai puncaknya setelah 8-8 minggu. Ini akan menurun secara perlahan dalam
1-2 tahun, namun dalam beberapa kasus akan menetap seumur hidup. Titer Ig G
anti toxoplasma yang tinggi dengan aviditas yang positif menandakan infeksi akut
atau reaktivasi dari infeksi laten atau kronik toxoplasma.
Pemeriksaan Brain CT Scan pada pasien dengan ET menunjukkan gambaran
menyerupai cincin yang multipel pada 70-80% kasus. Pada pasien dengan AIDS
yang telah terdeteksi dengan IgG Toxoplasma gondii dan gambaran cincin yang
multipel pada CT scan 85% merupakan ET. Lesi tersebut terutama berada pada
ganglia basal dan corticomedullary junction.
Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan prosedur diagnostik yang
lebih baik daripada CT scan dan sering menunjukkan lesi-lesi yang tidak terdeteksi
dengan CT scan. Oleh karena itu MRI merupakan prosedur baku jika
memungkinkan terutama bila CT scan menunjukkan gambaran lesi tunggal.

45
Pada hari perawatan kesembilan pasien masih mengeluhkan demam
sehingga dicurigai adanya infeksi opportunistik yang menyertai, kemudian
dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM toxoplasmosis, pada hasil laboratorium
terjadi peningkatan kadar IgG anti toxoplasmosis dengan aviditas yang positif.
Dilakukan juga pemeriksaan CT scan kepala dengan kontras dan didapatkan kesan
meningoencephalitis dan sangat mungkin suatu neurotoxplasmosis. Sehingga
pasien terdiagnosa dengan Toxoplasmosis, HIV/AIDS (B20), Community Acquired
Peumonia (CAP) dan Melena et causa Gastritis Erosiva.
Toksoplasmosis cerebri merupakan salah satu kasus emergensi neurologi
pada HIV, oleh karena itu memerlukan penatalaksanaan yang serius. Terapi
meliputi penatalaksanaan infeksi aktif diikuti dengan terapi maintanance untuk
mencegah rekuren pada pasien dengan CD4 <200 sel/mm3. Terapi standar
diberikan primetamin loading dose 100 mg diikuti 50mg maintanance dan
sulfadiazin 100 mg/hari. Untuk pasien yang intoleran dengan sulfadiazin dapat
diberikan klindamisin 600 mg setiap 6 jam.Terapi maintanance diberikan minimal
6 minggu. Untuk mengurangi toksisitas pirimetamin terhadap sumsum tulang dapat
diberikan asam folat 2 sampai 4 mg/hari.Untuk mengurangi edem cerebri dapat
diberikan steroid intravena.
Pada pasien ini diberikan terapi primethamin loading dose 100 mg diikuti
pemberian maintenance 25mg /hari, kemudian diberikan asam folat 1x1 tablet/hari
dan Clindamisin 4300 mg/hari.
MAC (Mycobacterium Avium Complex) adalah kuman bakteri yang
berhubungan dengan TB. Kuman MAC sering berada pada makanan, air dan tanah.
Hampir semua orang memiliki kuman MAC akan tetapi jika kekebalan tubuh orang
tersebut kuat, MAC tidak akan memberikan masalah. MAC biasanya menyebabkan
penyakit infeksi serius ketika HIV/AIDS sudah mencapai angka CD4 ≤ 50. MAC
adalah infeksi bakteri yang dapat menyebabkan demam kambuhan, rasa sakit yang
umum, masalah pada pencernaan dan kehilangan berat badan yang parah. Infeksi
dapat menjadi serius seperti sepsis, hepatitis dan pneumonia. Salah satu
pemeriksaan yang dilakukan adalah kultur darah dimana sensitivitas dengan
menggunakan teknik modern 60-80%. Terapi pada MAC dapat diberikan Rifabutin

46
300mg, Azitromisin 500-600mg, Klaritromisin 2x500 mg/hari, Etambutol
25mg/kgBB.
Pada hari kelima belas perawatan pasien masih mengelukan demam dan
terjadi penurunan drastis pada kadar hemoglobin pasien yaitu 5,9 g/dL, pasien
dicurigai menderita penyakit opportunistik lainnya yakni MAC (Mycobacterium
avium complex) sehingga pasien dilakukan pemeriksaan kutur darah dan urin,
namun pada hasil kultur darah tidak didapatkan adanya pertumbuhan kuman.
Namun, pada pasien ini tetap diberikan terapi Azitromisin 1x500 mg.

KESIMPULAN
Seorang pasien laki-laki Tn. G. S, usia 23 tahun datang ke IGD RSUD
Jayapura dengan keluhan pusing berkunang-kunang serta gelap saat berdiri dan
badan terasa lemas disertai batuk berdahak berwarna putih sejak ± 4 hari sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan juga disertai adanya demam, mual dan muntah, BAB
cair sebanyak 4x dan terdapat gumpalan hitam sejak ± 5 hari. Berdasarkan
anamnesa, pemeriksaan fisik dan laboratorium maka penderita didiagnosa
HIV/AIDS dengan Melena et causa Gastritis Erosiva dan Febris
berkepanjangan yang disebabkan oleh CAP, Toxoplasmosis dan MAC Dengan
mendapat terapi supportif dari bagian Penyakit Dalam didapatkan perbaikan
kondisi terhadap pasien dari hari pertama perawatan hingga pasien diperbolehkan
pulang dari Rumah Sakit dan dianjurkan untuk control di Poli Klinik Penyakit
Dalam untuk pemantauan dan direncanakan terapi ARV.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, Arif M. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). In


Triyanti Kuspuji, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI; 2000. Hal162-163
2. Merati, Tuti P.Respon Imun Infeksi HIV. In : Sudoyo Aru W: editor. Buku
ajar ilmu penyalit dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2006. Hal 545-6
3. Ministry of Health (2008): Mathematic Model of HIV Epidemic in Indonesia,
2008-2014. Jakarta: Ministry of Health. Cited in Indonesian National AIDS
Commission (2012)
4. Ministry of Health (2011): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2010, Jakarta: Ministry of Health, National Institute of Health
Research and Development
5. Prof. Dr. Sofyan Ismael, Sp. A (K). Antiretroviral. Pedoman nasional
pelayanan kedokteran. Tatalaksanan hiv/aids. 2011. Hal 47-67.
6. Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidomologi, penularan, pencegahan, dan
pemberantasannya.. Jakarta: Erlangga Medical Series
7. Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi tropical. Hiv aids. Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.

48

Anda mungkin juga menyukai