Anda di halaman 1dari 42

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Sarjana Strata Satu (S1)

di Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Siliwangi

Oleh,

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SILIWANGI

TASIKMALAYA

2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT., yang


senantiasa melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Kerja Praktek ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpah
curahkan kepada jungjunan alam, Nabi Muhammad SAW.

Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan Laporan Kerja Praktek


yang berjudul “Pelaksanaan Grouting di Bendungan Leuwikeris Untuk
Mengurangi Rembesan” ditujukan untuk memenuhi persyaratan akademik
guna menyelesaikan kerja praktek program studi Teknik Sipil di Universitas
Siliwangi. Laporan ini disusun berdasarkan pengalaman, teori, dan
observasi dilapangan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bimbingan, bantuan,


dan do’a dari semua pihak, Laporan Kerja Praktek ini tidak dapat di
selesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar – besarnya kepada:

1. Orang tua dan keluarga yang senantiasa memberikan kasih sayang, motivasi,
do’a, arahan dan bimbingan, serta dukungan moril maupun materiil.
2. Bapak H. Asep Kurnia Hidayat, Ir., M.T. selaku Dosen Pembimbing Kerja
Praktek yang telah memberikan bimbingan dan banyak masukan kepada
penulis.
3. Semua yang terlibat di Lokasi Proyek yang telah memberikan ilmu dan
pengalamanya kepada penulis selama melaksanakan Kerja Praktek.

Dalam penyusunan laporan ini penulis sudah melakukan yang terbaik,


tetapi tentu masih banyak kekurangan lainnya, oleh karena itu penulis
berharap adanya kritik dan saran bagi pembaca dengan tujuan
membangunSemoga Laporan Kerja Praktek ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membacanya.

ii
Tasikmalaya,
Agustus 2019
DAFTAR ISI

Penulis

iii
DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desa Cikoneng terdiri dari 6 ( Enam ) Dusun ,14 RW dan 40 RT dengan jumlah
penduduk sebanyak 7.624 orang yang terdiri dari : Laki-Laki 3.829 orang dan Perempuan
3.795 orang dengan jumlah Kepala Keluarga 1.774 KK, dengan kepadatan Penduduk 220
km2, banyaknya curah hujan 2,956 mtm/thn

1.2 Batasan Studi

Pembahasan Laporan Praktik Kerja ini dititik beratkan pada pola simulasi debit
dengan model F.J. Mock pada

Untuk mempersempit ruang lingkup bahasan, maka permasalahan dibatasi


sebagai berikut :

5
1. Data yang dipakai untuk analisa adalah data yang diperoleh dari curah hujan
daerah selama satu tahun (tahun 2016).

2. Ketersediaan debit sungai yang dimaksud dalam pembahasan laporan ini


adalah debit yang mengacu pada siklus hidrologi.

3. Debit sungai yang diperoleh dari analisa adalah debit aliran sungai selama
kurun waktu satu tahun (tahun 2016).

4. Tidak membahas tentang pemanfaatan kebutuhan air di lokasi studi.

1.3 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam laporan ini adalah :

1. Berapakah besarnya parameter – parameter metode F.J. Mock untuk daerah


tangkapan air ?
2. Berapakah tingkat validitas penerapan model F.J. Mock di daerah tangkapan
air?
3. Berapakah besarnya debit aliran sungai dan komponen neraca air lahan lainnya
berdasarkan pendugaan dengan model F.J. Mock ?

1.4 Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dari penulisan laporan ini, antara lain :


1. Mengkaji penerapan Model F.J. Mock dalam menduga ketersediaan air
2. Mengetahui parameter – parameter yang berpengaruh dalam model F.J. Mock
untuk menghitung debit sungai.
3. Mengetahui besarnya debit aliran sungai yang mengalir di DAS Citanduy

6
1

Sedangkan manfaat dari penulisan laporan ini, antara lain :


1. Memberikan wacana dan pengetahuan tentang penerapan model F.J.
Mock yang digunakan sebagai sarana memproses data hujan menjadi
data debit.

2. Dapat mengetahui aplikasi dari model F.J. Mock di lapangan.


2

2 BAB II

GAMBARAN UMUM PROYEK

2.1 Siklus Hidrologi dan Neraca Air

Pada bumi kita terdapat kira-kira sejumlah 1,3 - 1,4 milyard km3 air : 97,5%
adalah air laut, 1,75 % berbentuk es dan 0,73 % berada di daratan sebagai air sungai,
air danau, air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001 % berbentuk uap di udara. Air di
bumi ini mengulangi terus-menerus sirkulasi penguapan, presipitasi dan pengaliran
keluar (outflow) yang dikenal dengan siklus hidrologi. Siklus hidrologi adalah
gerakan air laut ke udara, yang kemudian jatuh kepermukaan tanah sebagai hujan
atau bentuk presipitasi yang lain dan akhirnya mengalir ke laut kembali
(http//:www.php2.com).

Gambar 1 Skema Siklus Hidrologi (Sumber : http//:www.php2.com)


Di alam, air mengalami siklus yang disebut siklus air. Hujan (P) turun ke bumi.
Sebagian air itu langsung menguap (E), sebagian mengalir diatas permukaan (Q) sebagai
danau, sungai dan laut. Air sungai, danau dan laut mengalami penguapan (E). Sebagian
lagi meresap kedalam tanah dan menjadi air simpanan (S). Air itu ada yang meresap oleh
tumbuhan dan menguap (Et), ada pula yang keluar sebagai mata air dan mengalir sebagai
air.

Siklus hidrologi seperti yang di uraikan tersebut merupakan siklus yang menerus
3

dan tidak akan pernah terputus, meskipun tidak selalu mengikuti siklus yang lengkap.
Masing – masing unsur aliran dipengaruhi dan mempengaruhi unsur lainnya,
4

dan tergantung dari faktor – faktor tertentu yang bersifat khas. Jenis faktor dan perannya
dalam masing – masing unsur aliran akan di bahas secara mendalam di bagian masing –
masing (Sri Harto Br, 2000).

Konsep neraca air pada dasarnya menunjukkan keseimbangan antara jumlah air
yang masuk ke, yang tersedia di, dan yang keluar dari sistem (sub sistem) tertentu.
Secara umum, persamaan neraca air di rumuskan sebagai berikut (Sri Harto Br, 2000).

I = O  S (2-1)

di mana :
I = masukan (inflow)

O = keluaran (outflow)

S = perubahan tampungan
Yang dimaksud dengan masukan adalah semua air yang masuk ke dalam sistem,
sedangkan keluaran adalah semua air yang keluar dari sistem. Perubahan tampungan
adalah perbedaan antara jumlah semua kandungan air (dalam berbagai sub sistem) dalam
satu unit waktu yang di tinjau, yaitu antara waktu terjadinya masukan dan waktu
terjadinya keluaran. Persamaan ini tidak dapat di pisahkan dari konsep dasar yang
lainnya (siklus hidrologi) karena pada hakikatnya, masukan ke dalam sub sistem yang
ada, adalah keluaran dari sub sistem yang lain dalam siklus tersebut (Sri Harto Br, 2000).

Neraca air merupakan hubungan antara masukan air total dan keluaran air total
yang terjadi pada suatu DAS yang di dalamnya terkandung komponen – komponen
seperti debit aliran sungai, curah hujan, evapotranspirasi, perkolasi, kelembaban tanah.
Semakin besar evapotranspirasi, semakin kecil debit aliran sungai. Evapotranspirasi di
pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain iklim dan jenis vegetasi. Iklim tidak dapat di
modifikasi oleh manusia, sehingga faktor jenis vegetasi inilah yang menjadi perhatian
dalam pengelolaan sumber daya air (Asdak, 2002).

Persamaan neraca air dengan mengansumsikan bahwa aliran air bawah


permukaan yang masuk sama dengan yang keluar, dan panjang akar tanaman berada
jauh di atas permukaan air tanah, dapat di tulis sebagai berikut (Asdak, 2002).
5

Q = P – ET - L  (2-2)
S
t
di mana :

Q = debit aliran (m3/dt)


P = curah hujan (mm/tahun)
 = evapotranspirasi (mm/bulan)
L = perkolasi (mm/t)

S = kelembaban tanah (mm) mewakili satuan volume per satuan wilayah


t = periode waktu yang di perlukan untuk perhitungan (jam, hari, bulan)
Nilai positp menunjukkan penambahan kelembaban tanah, sementara
menunjukkan penurunan kelembaban tanah di tempat yang bersangkutan.

Perhitungan neraca air untuk suatu daerah tertentu yang terbatas, dapat di
lakukan dengan menggunakan persamaan (Sosrodarsono dan Takeda, 1987) :

P = (D2 – D1) + E + (G2 – G1) + H.Pa + M (2-3)


di mana :
D1 = debit aliran (m3/dt)
D2 = curah hujan (mm/tahun)
 = evapotranspirasi (mm/bulan)
G1 = perkolasi (mm/t)

G2 = kelembaban tanah (mm) mewakili satuan volume per satuan wilayah


 = periode waktu yang di perlukan untuk perhitungan (jam, hari,
bulan)

Pa = laju menahan udara rata – rata di bagian lapisan variasi air tanah
M = penambahan kadar kelembaban tanah

Brooks, et al. (1992) menuliskan persamaan neraca air yang dapat di gunakan
untuk memperkirakan besarnya evapotranspirasi. Dalam hal ini dinyatakan bahwa
evapotranspirasi mempengaruhi hasil air, sebagian besar menentukan proporsi input
curah hujan pada suatu DAS yang menjadi aliran sungai . Evapotranspirasi di pengaruhi
oleh hutan, jarak, dan usaha – usaha pertanian yang mengubah vegetasi. Persamaan
6

neraca air yang di gunakan adalah :

ET = P – Q - S - t (2-4)
7

di mana :
ET = evapotranspirasi (mm)
P = curah hujan pada periode waktu tertentu (mm)
Q = aliran sungai (mm)

S = perubahan tampungan DAS (mm)


= S1 – S2
di mana :
S1 = tampungan awal pada suatu periode waktu tertentu (mm)
S2 = tampungan akhir pada suatu periode waktu tertentu (mm)

t = perubahan ketebalan rembesan (mm)


= lo – l1
di mana :

lo = rembesan yang keluar DAS (mm)


l1 = rembesan yang kedalam DAS (mm)
Neraca air di sebuah DAS yang berhutan dapat di gambarkan dengan
persamaan sebagai berikut (www.library.usu.ac.id)

Pg = (T + Ic + Et + Es + w) + Q + S  L + U (2-5)
di mana :
Pg = curah hujan kasar
Ic = Intersepsi tajuk

Et = evapotranspirasi total
S = perubahan kadar air tanah
Es + w = evaporasi dari permukaan tanah dan air
 L = kebocoran ke dalam dan ke luar DAS
T = transpirasi

U = aliran sungai bawah tanah


Q = aliran sungai

Pada beberapa DAS, komponen evapotranspirasi pada neraca air bisa di atas 90%
dari curah hujan. Perubahan vegetasi yang menurunkan evapotranspirasi tahunan akan
8

mengakibatkan peningkatan aliran sungai atau pengisian air tanah.

Dari sejumlah pendapat yang dikemukakan di atas, dapat di simpulkan bahwa


prinsip analisis neraca air adalah menghitung masukan dan keluaran pada suatu sistem
9

(DAS) yang di kaji. Dalam studi kali ini, di lakukan kajian terhadap penggunaan Model
F.J. Mock sebagai suatu konsep yang dapat memberikan keluaran dari sistem DAS
berikut hubungan antar komponen dan perubahannya.
10

(DAS) yang di kaji. Dalam studi kali ini, di lakukan kajian terhadap penggunaan Model
F.J. Mock sebagai suatu konsep yang dapat memberikan keluaran dari sistem DAS
berikut hubungan antar komponen dan perubahannya.

2.2 Teknik Evaluasi DAS

Secara umum Daerah Aliran Sungai (DAS) di definisikan sebagai suatu


wilayah yang dibatasi oleh alam, seperti punggung bukit-bukit atau gunung, maupun
batas buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah
tersebut memberikan kontribusi aliran ke satu titik kontrol (outlet) (Suripin, 2001)
Daerah aliran sungai dapat dianggap sebagai suatu ekosistem, dimana di
dalamnya terjadi interaksi antara faktor-faktor biotik, non biotik dan manusia.
Sebagai suatu ekosistem maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, proses yang
terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output)
dari ekosistem tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah
hujan, sedangkan komponen keluaran terdiri dari debit air dan muatan sedimen,
sehingga DAS menjadi dasar dari semua perencanaan hidrologi (Suripin, 2001).
Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada
komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu komponen yang penting.
Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya
seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, dan
dengan demikian akan mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Maka apabila
terjadi perubahan pada salah satu komponen lingkungan, ia akan mempengaruhi
komponen-komponen yang lain. Pengaruh atau interaksi manusia pada suatu DAS
yang tercakup dalam pengelolaan tanaman dan praktek konservasi tanah, akan sangat
mempengaruhi proses terjadinya erosi atau sebaliknya (Suripin, 2001).
11

Gambar 2.2. Komponen-komponen sistem DAS hulu (Sumber : Suripin, 2001)


Sebagai suatu sistem, dengan adanya masukan ke dalam sistem (DAS) dapat
di evaluasi proses yang telah dan sedang berlangsung dengan melihat keluaran dari
sistem. Secara hidrologis, suatu pengelolaan DAS dapat dikatakan telah memberikan
suatu dampak yang positif (kondisi DAS membaik) apabila parameter – parameter
hidrologi yang di amati pada outlet dari suatu DAS menunjukkan kecenderungan
sebagai berikut (Siswoyo, Lelono dan Parnomo, 2004) :
Perbandingan antara debit maksimum bulanan (Qn) dengan debit minimum
nulanan (Qmin) dalam satu tahun menunjukkan kecenderungan menurun
Unsur utama hidrograf aliran sungai menunjukkan time to peak dan time base
semakin lama, dan peak discharge semakin menurun
Volume base flow dan koefisien resesi semakin meningkat
Koefisien run off sesaat tahunan menurun
Muatan sedimen (sedimen load) yang merupakan jumlah seluruh muatan
yang terdiri dari muatan dasar (bed load), muatan suspensi (suspended load), dan
padatan terlarut (dissolved solid) menunjukkan kecenderungan menurun
Kandungan unsur kimia dan hara di dalam perairan sungai merupakan hasil proses
hiogeokimia di dalam DAS menunjukkan kecenderungan menurun. Evaluasi kondisi
DAS dengan menggunakan teknik di atas mempunyai keunggulan dapat menjelaskan
secara kuantitatif, karena dihasilkan dari suatu pengukuran langsung. Pemantauan
dengan cara ini dapat di lakukan bila suatu DAS /
12

sub DAS telah terinstrumentasi dengan baik (well instrumented catchment). Apabila
DAS / sub DAS tidak terinstrumentasi dengan baik, maka dapat digunakan
pendekatan pemodelan hidrologi. Karena dengan model tersebut dapat dilakukan
evaluasi dan simulasi terhadap dampak hidrologi dan berbagai skenario perubahan –
perubahan lingkungan yang mungkin terjadi dengan cepat, baik alami maupun
dengan bantuan manusia.

2.2.1 Analisis Curah Hujan Titik (Point Rainfall)

Hujan titik (point rainfall) adalah analisa curah hujan terpusat yang datanya
diperoleh dengan alat pengukur hujan (rain gauge). Data tersebut masih merupakan data
kasar / data mentah yang tidak dapat langsung dipakai dan harus diolah sesuai dengan
kebutuhan, selain itu data yang satu dengan yang lain tidak saling bergantungan sehingga
proses pengolahannya menggunakan metode statistik.

Data curah hujan bisa didapatkan dengan melakukan pengukuran antara lain :
a) Besarnya curah hujan per jam
b) Jumlah hujan per hari dan lamanya
c) Jumlah hari hujan per bulan
d) Jumlah curah hujan per tahun
e) Besarnya hujan harian maksimum dalam satu tahun selama periode
pengamatan tertentu.
2.2.2 Analisis Curah Hujan Daerah

Untuk mendapatkan gambaran mengenai penyebaran hujan di seluruh daerah,


di beberapa tempat tersebar pada DAS dipasang alat penakar hujan. Pada daerah
aliran kecil kemungkinan hujan terjadi merata di seluruh daerah, tetapi tidak
demikian pada daerah aliran yang besar, hujan di berbagai tempat pada DAS yang
besar tidak sama, sedangkan pos-pos penakar hujan hanya mencatat hujan di suatu
titik tertentu. Dengan demikian akan sulit untuk menentukan berapa hujan yang turun
di seluruh areal serta sulit pula untuk menentukan hubungan antara besarnya debit
banjir dan curah hujan yang mengakibatkan banjir tersebut.
13

Ada tiga macam cara yang digunakan untuk menentukan tinggi curah hujan
rata-rata diatas areal tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik pos penakar
atau pencatat, yaitu (Suripin, 2001):

a. Metode rata-rata aljabar

Gambar 2.3 Hujan Rata-rata untuk Metode Rata-rata Aljabar (Sumber : Suripin,
2001)

Metode ini merupakan metode yang paling sederhana dalam perhitungan hujan
kawasan. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semua penakar hujan mempunyai
pengaruh yang setara. Cara ini cocok untuk kawasan dengan topografi rata atau datar, alat
penakar tersebar merata/hampir merata dan harga individual curah hujan tidak terlalu jauh
dari harga rata-ratanya. Hujan kawasan diperoleh dari persamaan :

P
 P1  P2  ...  Pn 
n (2-6)

Dimana P adalah curah hujan rata-rata daerah (mm), n adalah banyaknya pos
penakar hujan dan P1, P2, …, Pn adalah curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan.

b. Metode Thiessen

Gambar 2.4 Hujan Rata-rata untuk Metode Poligon Thiessen


14

(Sumber : Suripin, 2001)

Metode ini juga dikenal sebagai metode rata-rata timbang (weighted mean).
Cara ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk
mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan
menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua
pos penakar terdekat. Diasumsikan bahwa variasi hujan antara pos yang satu dengan
lainnya adalah linier dan bahwa sembarang pos dianggap dapat mewakili kawasan
terdekat.

A1P1  A2 P2 ...  An Pn
P= (2-7)
...  An
A1 A2 

Dimana P adalah curah hujan rata-rata daerah (mm). P1,P2, …, Pn adalah curah
hujan yang tercatat di pos penakar hujan 1, 2, …n. A1,A2, …, An adalah luas areal poligon
1, 2, …n. Dimana n adalah banyaknya pos penakar hujan.

c. Metode garis Isohiet

Gambar 2.5 Hujan Rata-rata untuk Metode Isohiet (Sumber : Suripin, 2001)

Metode ini merupakan metode yang paling akurat untuk menentukan hujan
rata-rata, namun diperlukan keahlian dan pengalaman. Cara ini memperhitungkan secara
aktual pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan, dengan kata lain mengkoreksi asumsi
metode Thiessen yang menganggap bahwa tiap-tiap pos penakar mencatat kedalaman
yang sama untuk daerah sekitarnya dapat dikoreksi.
15

Untuk menghitung hujan rata-rata DAS dengan persamaan berikut :


16

P1  P2 P2  P3 Pn1  Pn
A A ......  A

1 2 n1
P= 2 2 2 (2-

A1  A2  ....  An1
8)

Cara Memilih Metode

Selain berdasarkan stasiun pengamatan, curah hujan daerah dapat dihitung


dengan parameter luas daerah tinjauan sebagai berikut :

a. Untuk daerah tinjauan dengan luas 250 ha dengan variasi topografi kecil
dapat diwakili oleh sebuah stasiun pengamatan.
b. Untuk daerah tinjauan dengan luas 250-50.000 ha yang memiliki 2 atau 3
stasiun pengamatan dapat menggunakan metode rata-rata aljabar.
c. Untuk daerah tinjauan dengan luas 120.000-500.000 ha yang memiliki
beberapa stasiun pengamatan tersebar cukup merata dapat menggunakan
metode rata-rata aljabar, tetapi jika stasiun pengamatan tersebar tidak merata
dapat menggunakan metode Thiessen.
d. Untuk daerah tinjauan dengan luas lebih dari 500.000 ha menggunakan metode
Isohiet atau metode potongan antara.

Sedangkan dari Suripin (2004: 31), lepas dari kelebihan dan kelemahan ketiga
metode yang tesebut diatas, pemilihan metode yang cocok dipakai pada suatu DAS dapat
ditentukan dengan pertimbangan tiga faktor berikut :

1. Jaring-jaring pos penakar hujan dalam DAS

Jumlah pos penakar hujan cukup Metode isohyet, Thiessen atau rata-
rata aljabar dapat dipakai

Jumlah pos penakar hujan terbatas Metode rata-rata aljabar atau Thiessen

Pos penakar hujan tunggal Metode hujan titik

2. Luas DAS
17

DAS besar (> 5000 km2) Metode isohyet

DAS sedang (500 s/d 5000 km2) Metode Thiessen

DAS kecil (< 500 km2) Metode rata-rata aljabar

3. Topografi DAS

Pegunungan Metode rata-rata aljabar

Dataran Metode Thiessen


18

Berbukit dan tidak beraturan Metode Isohyet

Pada studi kali ini cukup digunakan Metode hujan titik karena hanya satu stasiun
hujan saja yang berpengaruh pada daerah tangkapan air Bendung Akir yaitu Stasiun
Hujan Wagir.

2.3 Evapotranspirasi

Peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah dan
air disebut evaporasi (penguapan). Peristiwa penguapan dari tanaman disebut
transpirasi. Jika kedua proses tersebut terjadi dalam waktu yang bersamaan disebut
evapotranspirasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah suhu, air,


kelembaban udara, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari, dan lain-lainnya.
Pada waktu pengukuran perlu diperhatikan keadaan tersebut karena saling berhubungan
antara satu dengan yang lain dan mengingat faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh
lingkungan.

Karena kondisi yang berubah dari waktu ke waktu, maka harus diakui bahwa
perkiraan evapotranspirasi yang menggunakan harga yang hanya diukur pada sebagian
daerah adalah sulit dan sangat menyimpang. Jika evaporasi pada suatu daerah
meningkat, maka transpirasi akan menurun, begitu juga jika sebaliknya jika evaporasi
menurun maka transpirasi meningkat. Oleh karena itu komponen E dan T tidak bisa
diukur secara terpisah, sehingga kombinasi ET destimasi dengan keseimbangan air tanah
atau metode keseimbangan energi di atas tanah.

Evapotranspirasi yang mungkin terjadi pada kondisi air tersedia berlebih


disebut evapotransprasii potensial. Meskipun demikian kondisi air yang berlebih sering
tidak terjadi.

Dalam studi kali ini, perhitungan besarnya evapotranspirasi potensial dipakai


rumus empiris menggunakan metode Pennman Modifikasi, Blaney Criddle, dan,
Radiasi.

2.3.1 Evapotranspirasi Potensial (ETp)

Evapotranspirasi yang mungkin terjadi pada kondisi air tersedia berlebih


19

disebut evapotransprasii potensial. Meskipun demikian kondisi air yang berlebih sering
tidak terjadi.

Dalam studi kali ini, perhitungan besarnya evapotranspirasi potensial dipakai


rumus empiris menggunakan metode Pennman Modifikasi, Blaney Criddle, dan,
Radiasi.

2.3.1.1 Evapotranspirasi Cara Penmann

Peristiwa ini disebut evapotranspirasi. Banyaknya berbeda-beda, tergantung


dari kadar kelembaban tanah dan jenis tumbuh-tumbuhan. Umumnya banyak
transpirasi yang diperlukan untuk menghasilkan satu gram bahan kering disebut laju
transpirasi dan dinyatakan dalam gram. Di daerah yang lembab, banyaknya kira-kira
200-600 gram. Dan untuk daerah kering kira-kira dua kali sebanyak itu.
Transpirasi dan evaporasi dari permukaaan tanah bersama-sama disebut
evapotranspirasi atau kebutuhan air (consumtive use). Jika air yang tersedia pada
tanah cukup banyak, maka evapotranspirasi itu disebut evapotranspirasi potensial.
Mengingat faktor-faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi itu lebih banyak dan
lebih sulit daripada faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi maka banyaknya
evapotranspirasi tidak dapat diperkirakan dengan teliti. Akan tetapi evapotranspirasi
adalah faktor dasar untuk menentukan kebutuhan air dalam rencana irigasi dan
merupakan proses yang penting dalam siklus hidrologi. Oleh sebab itu, maka telah
banyak jenis cara penentuan yang telah diadakan antara lain dengan menggunakan
rumus Lysimetre, cara perkiraan dengan banyaknya evaporasi dan panci evaporasi,
dan lain-lain.
Dalam studi ini perhitungan besarnya evaporasi dipakai rumus empiris Pennman
sebagai berikut :

ETp = F1 . R (1 - r) – F2 (0,1 + 0,9 S) + F3 (K + 0,01 w) (2-9)

Di mana F1, F2, F3 merupakan konstanta yang di cari dengan persamaan :


A (0,18 0,55 S )
F1 = (2-10)
A 0,27

F2 1 1)
20

A . B ed ) (
(0,56
0,09
2 2
= -

A 0,27

0,27 .
0,35
(ea
ed )

F3 = A 0,27 (2-12)

Keterangan :

ETp = evapotranspirasi potensial (mm/hari)


A = slope tekanan uap air berdasarkan nilai temperatur (Hg/oF)
B = radiasi benda hitam berdasarkan nilai temperatur (Hg/oF)

ea = tekanan uap jenuh dengan tekanan uap yang sebenarnya (mm Hg)
ed = tekanan uap jenuh aktual (mm Hg)

= ea x h
h = kelembaban relatif (%)
S = rasio penyinaran matahari (%)
R = radiasi gelombang pendek yang memenuhi batas luar atmosfir
atau angka angot (mm/hari)

r = koefisien refleksi
K = koefisien kekasaran evaporasi permukaan (1,0)
w = kecepatan angin (mil/hari)

Data terukur yang diperlukan adalah :


 t = suhu bulanan rata-rata (oC)
 h = kelembaban relatif bulanan rata-rata (%)
 S = kecerahan matahari bulanan (%)
21

 w = kecepatan angin bulanan rata-rata (m/dt)


 Letak lintang daerah yang ditinjau
22

2.3.1.2 Evapotranspirasi Cara Blaney-Criddle

Rumus ini menghasilkan evapotranspirasi untuk sembarang tanaman sebagai


fungsi suhu jumlah jam siang hari dan koefisien tanaman empiris. Rumus ini berlaku
untuk daerah yang luas dengan iklim kering dan sedang. Dalam pemakaian rumus ini
perlu memasukkan suhu udara, kelembaban udara, kecepatan, dan waktu relatif sinar
matahari. Data tersebut merupakan data-data meteoriologi biasa. Radiasi matahari
dapat diukur dengan radiometer.

U=kxf (2-13)

Dimana :
U = evaporasi bulanan
T = suhu udara rata-rata bulanan
k = koefisien tanaman bulanan
Keuntungan dari penggunaan rumus ini adalah kesederhanaan
perhitungannya, meskipun belum diketahui apakah cara ini dapat dipergunakan untuk
semua tempat. Tetapi cara ini dapat digunakan untuk perkiraan evapotranspirasi jangka
waktu yang panjang.

Rumus tersebut dapat dimodifikasi lagi menjadi :


K.P(45,7t 813)
U=[ ] (2-
100
14)
K = Kt x Kc (2-15)

Kt = 0,0311 t + 0,240 (2-16)

Keterangan:

U = banyaknya transpirasi bulanan.


t = suhu rata-rata bulanan.
Kc = koefisien tanaman bulanan.
P = prosentase jam siang bulanan dalam setahun
23

2.3.1.3 Evapotranspirasi Cara Radiasi

Rumus radiasi menggunakan pendekatan perhitungan banyaknya radiasi


gelombang pendek yang diterima bumi dalam perhitungan ETo. Besar evapotranspirasi
potensial ETo dalam pendekatan ini di hitung dengan rumus (Suhardjono, 1994) :

ETo  c ETo * (2-17)

ETo* W  Rs (2-18)

 
Rs  0,25  0,54 n N Ra (2-19)

di mana :

W = faktor pengaruh suhu dan elevasi ketinggian daerah


Rs = radiasi gelombang pendek yang diterima bumi (mm/hari)
n/N = kecerahan matahari (%)

Ra = radiasi gelombang pendek yang memenuhi batas luar atmosfer, tergantung


letak lintang daerah.

2.3.2 Evapotranspirasi Aktual (ETa)

Evapotranspirasi tetap terjadi dalam kondisi air tidak berlebih meskipun tidak
sebesar evaporasi potensial. Evaporasi ini disebut evapotranspirasi aktual. Selain itu
juga dikenal evapotranspirasi terbatas yaitu evapotranspirasi aktual dengan
mempertimbangkan kondisi vegetasi dan permukaan tanah serta frekuensi curah hujan
(Mock, 1973). Hubungan dari tersebut dapat dilihat pada persamaan berikut :
24

E = ETp . (d/30) . m (2-20)

dimana,
E = Perbedaan antara evapotranspirasi potensial dengan evapotranspirasi terbatas
ETp = Evapotranspirasi potensial
d = Jumlah hari kering atau tanpa hujan dalam 1 bulan
m = Prosentase lahan yang tertutup vegetasi, ditaksir dari peta tata guna lahan dan
diambil,

m = 0 untuk lahan dengan hutan lebat.


m = 0 untuk lahan dengan hutan sekunder pada akhir musim hujan dan
bertambah 10 % setiap bulan kering berikutnya.

m = 10 – 40 % untuk lahan yang tererosi.


m = 30 – 50 % untuk lahan pertanian yang diolah (misal : sawah,
ladang).

Berdasarkan frekuensi curah hujan dan Indonesia dan sifat infiltrasi serta
penguapan dari tanah permukaan, didapatkan hubungan :

d = 3/2 . (18 - n) atau d = 27 – 3/2h (2-21)


n = Jumlah hari hujan dalam sebulan

Substitusi dari persamaan (2-4) ke (2-3) didapatkan


E/ETp= (m/20) . (18 – h) (2-22)
ETa = ETp - E (2-23)

ETa = Evapotranspirasi actual

2.4 Pendugaan Ketersediaan Air Dengan Metode F.J. Mock

F.J. Mock pada tahun 1973 mengusulkan suatu model simulasi keseimbangan
air bulanan untuk daerah pengaliran di Indonesia. Model perhitungan ini didapat dari
hujan, evapotranspirasi, tanah dan tampungan air tanah.

Model ini diterangkan dalam makalahnya Guideline PSA 001 sebagai suatu
pendekatan perkiraan debit bulanan. Buku pedoman ini menekankan bahwa, tidak ada
debit bangkitan yang dapat dipercaya, sampai debit tersebut dikalibrasi dengan debit
penga matan. Model Mock ini juga disarankan didalam Standar Perencanaan Irigasi KP-
25

01, tetapi tanpa uraian lebih lanjut bagaimana cara menggunakannya. Cara Mock ini
cukup sederhana dalam perhitungannya dan terbukti sangat populer dikalangan
konsultan Indonesia. Sangat banyak contoh perhitungan yang salah, karena para
26

pengguna tidak mempelajari acuan yang asli, akan tetapi mengikuti studi kasus yang
telah ada. Juga banyak para pengguna tidak biasa memperhatikan atau mencoba pilihan
parameter yang ada. Hal ini terbukti dari banyaknya parameter yang digunakan diambil
secara langsung dari studi kasus yang telah ada tanpa mengadakan pengecekan lebih
lanjut pada pengguna annya. Kesalahan umum yang lain yang terjadi adalah tidak
cukupnya data hujan dalam satu tahun secara berurutan dalam tenggang waktu tertentu.

Mock (1973) menjelaskan metode untuk menduga debit aliran sungai dengan
tahapan - tahapan sebagai berikut :

Rumus untuk menghitung aliran permukaan terdiri dari :


1. Evapotranspirasi Terbatas (Limited Evapotranspiration)
S = P – ETp (2-24)

E/ETp= (m/20) . (18 – n) (2-25)


E = Etp . (m/20) . (18-h) ETt (2-26)

ETa = ETp – E (2-27)

2. Keseimbangan Air (Water Balance)


WS = P – SS (S ) (2-28)

SS = SMCn – SMCn–1 (2-29)

SMCn= SMCn-1 + P1 (2-30)

3. Neraca air di bawah permukaan


dVn = Vn – Vn-1 WS (2-31)

I = i . WS dVn (2-32)

Vn = 1/2 . (1 + k) . I + k . Vn-1 (2-33)

4. Aliran permukaan
Ro = BF + DRo (2-34)

BF = 1 – dVn (2-35)

DRo = WS – I (2-36)
27

Keterangan :

= Hujan netto (mm)


S
P = Hujan (mm)
ETp = Evapotranspirasi potensial (mm)
ETa = Evapotranspirai terbatas (mm)
28

WS = Kelebihan air (mm)


SS = Kandungan air tanah (mm)
SMC = Kelembaban tanah (mm)
dV = Perubahan kandungan air tanah (mm)
V = Kandungan air tanah (mm)
I = Laju infiltrasi (mm/dt)
i = Koefisien infiltrasi (<1)
k = Koefisien resesi aliran air tanah (<1)
DRo = Aliran langsung (mm)
BF = Aliran air tanah (mm)
Ro = Aliran permukaan (mm)

n = Jumlah hari kalender dalam 1 bulan


m = Bobot lahan yang tidak tertutup vegetasi (0 < m < 50 %)
2.5 Parameter Model F.J. Mock

Model F.J.Mock memiliki lima parameter yang menggambarkan karakteristik


DAS, meliputi :

1. Singkapan lahan

Singkapan lahan disesuaikan dengan penggunaan tata guna lahan.


Prosentase singkapan lahan ini berpengaruh terhadap evapotranspirasi aktual yang
terjadi yang membedakan dengan evapotranspirasi potensial.

2. Koefisien Infiltrasi

Infiltrasi adalah gerakan air dari atas ke dalam permukaan tanah. Gerakan
air ini disebabkan antara lain oleh berat sendiri, rekahan tanah (celah tanah) yang
cukup dan tingkat kejenuhan dari tanah tersebut. Koefisien infiltrasi

(i) ditentukan berdasarkan kondisi porositas tanah dan kemiringan daerah


pengaliran. Lahan yang porous maka infiltrasi akan besar, lahan yang terjal dimana
air tidak sempat infiltrasi ke dalam tanah maka koefisien infiltrasi kecil. Besarnya
koefisien infiltrasi lebih kecil dari 1.

3. Kapasitas kelembaban tanah

Kapasitas kelembaban tanah (Soil Moisture Capacity) ditaksir berdasarkan


29

kodisi porositas lapisan tanah atas, biasanya ditaksir antara 50 mm – 250 mm, yaitu
kapasitas kandungan air dalam tanah per m2. Jika porositas tanah lapisan atas
tersebut makin besar, maka Soil Moisture Capacity makin besar pula.
30

4. Penyimpanan awal
Penyimpanan awal (initial storage) adalah besarnya volume air pada saat
awal perhitungan. Ditaksir sesuai dengan keadaan musim, seandainya bisa sama
dengan Soil Moisture Capacity dan lebih kecil daripada musim kemarau.

5. Faktor resesi air tanah


Dalam perhitungan kandungan air tanah (Ground Water Storage)
terdapat faktor resesi aliran air tanah (k), yaitu perbandingan air tanah pada suatu
bulan dengan aliran air tanah pada awal bulan.

Rumus – rumus storage air tanah :

Vn = k . Vn-1 + ½ (1+k). In (2-37)

Dimana,
Vn = Volume air tanah
k = qt/qo = Faktor resesi aliran air tanah
qt = Aliran air tanah pada periode ke t
qo = Aliran air tanah pada awal periode ke t
dVn = Vn – Vn-1

Vn = Volume air tanah bulan ke n


Vn-1 = Volume air tanah bulan ke n – 1

Pendugaan nilai parameter dengan menggunakan rumus pada sub bab 2.4
berhenti dengan tolok ukur berikut.

 KAR (Kesalahan Absolut Rerata) tidak bisa lebih kecil lagi


 Jumlah titik (bulan) yang mempunyai KAR > 25% paling sedikit
 Kesalahan Absolut Maksimum paling kecil
 Kedekatan gambar debit antara perhitungan (Q mod) dan pengamatan (Q
obs )
31

Kesalahan Absolut Rerata dirumuskan pada persamaan berikut. (Adidarma dan


Mulyantari, 2003).
32

1 n

KAR      (2-
n Q 38
  i 1
obs
33
34

3 BAB III

KAJIAN DAERAH STUDI

3.1 Lokasi Studi

Lokas

Gambar 3.1 Lokasi studi di lihat dari peta administrasi


35

3.2 Waktu Studi

3.3 Data Untuk Studi

3.4 Tahapan Studi


36

Anda mungkin juga menyukai