Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Tanah

Ekosistem tanah merupakan suatu set komponen tanah yang relatif

komplek dan satu sama lain saling tergantung. Sebagai suatu ekosistem, tanah

terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik terdiri dari

kelembaban, suhu/udara tanah, CO2, unsur hara, sinar matahari, bahan organik

dan anorganik lainnya yang merupakan medium/substrat untuk berlangsungnya

kehidupan. Sementara komponen biotik terbagi atas produsen yang dalam hal ini

adalah biota autotrof seperti tumbuhan dan dekomposer/pengurai yang merupakan

biota heterotrof seperti mikroba, herbivora dan karnivora. Fungsi ekosistem dapat

meliputi a). Alur energi yang melalui ekosistem dan siklus biogeokimia dan

b). Regulasi biologi dan ekologi termasuk regulasi biota oleh lingkungan dan

lingkungan oleh biota (Hanafiah et al., 2009).

Organisme didalam tanah dapat dikelompokkan atas ukurannya, yaitu

mikrofauna (ukuran tubuh < 0.1 mm seperti protozoa dan nematoda), mesofauna

(ukuran tubuh 0.1-2.0 mm seperti mikroarthropoda dan enchytraeideae) dan

makrofauna (ukuran tubuh > 2 mm seperti cacing tanah dan kaki seribu. Fauna-

fauna tanah ini menduduki tingkatan trofik tertentu pada jaring-jaring makanan

dan menjalankan fungsi mereka berdasarkan perilaku hidupnya, seperti pemakan

mikrobia, pendegradasi bahan organik, ada juga yang memakan akar tanaman

yang hidup atau yang dalam proses pelapukan serta terdapat beberapa jenis yang

menjadi predator bagi hewan lainnya. Gambar 1 menjelaskan klasifikasi hewan

tanah dalam tingkatan takson tertentu berdasarkan ukuran tubuhnya.

Universitas Sumatera Utara


Mikroflora dan mikrofauna Mesofauna Makro dan megafauna
100 µm 2 mm 20 mm
Bakteri
Jamur
Nematoda
Protozoa
Rotifera
Acari
Collembola
Protura
Diplura
Symphyla
Enchytraeidae
Chelonetida
Isoptera
Opiliones
Isopoda
Amphipoda
Chilopoda
Diplopoda
Megadrili (cacing tanah)
Coleoptera
Araneida
Molusca
1 2 4 8 16 32 64 128 254 512 1024 2 4 8 16 32 64

µm mm
Ukuran tubuh
Gambar 1. Klasifikasi biota tanah berdasarkan ukuran tubuhnya (Bardgett, 2005)

Struktur jaringan makanan di dalam tanah lebih kurang sama seperti jaring

makanan organisme diatas permukaan bumi, yakni terdiri atas produsen,

konsumen dan detritivor. Jumlah dan biomassa organisme tanah per volume

menurun besarnya dari posisi rantai makanan atas ke bawah. Berbeda dengan

jaring-jaring makanan lain, yang lebih sering terjadi predasi dan kemungkinan

memiliki kompleksitas yang lebih dari jaring-jaring makanan yang lain. Lebih

singkat, semua fauna tanah tergantung oleh produsen primer, contohnya sisa

tanaman (Gambar 2).

Universitas Sumatera Utara


Nematoda
Fitofag
Collembola

Akar
Tungau Tungau
Cryptostigmata Predator

Tungau Non- Nematoda


Mikor iza
Cryptostigmata Pemakan Tungau

Nematoda Nematoda
Fungivor Predator

Nematoda
Jamur
Omnivor
Detritus Flagelata
Amuba

Nematoda
Bakteri
Bakteriofag
Gambar 2. Struktur jaring-jaring makanan didalam tanah (Bardgett, 2005)

Mesofauna Tanah

Mikroartrophoda adalah hewan tanah yang lebih dikenal dengan istilah

mesofauna. Terdapat dua kelompok mesofauna yang kelimpahannya tinggi

didalam tanah, yaitu Collembola yang berukuran kecil (maksimal 5 mm),

tergolong serangga tanpa sayap dengan enam bagian abdomen dan tipe mulut

menggigit, serta satu kelompok lagi adalah Acari (tungau) yang memiliki tubuh

seperti kantung dan tubuh terbagi dalam dua alur, yakni anterior dan posterior. Di

alam, kelimpahan populasi mesofauna tanah terutama untuk tanah hutan yang

tinggi kandungan bahan organiknya dapat mencapai hingga 300.000 individu m-2

(Bardgett, 2005).

Acari atau hewan yang lebih dikenal dengan istilah tungau adalah

golongan Arachnida kecil dengan bagian posterior yang tidak bersegmen, kecuali

Universitas Sumatera Utara


prostigmata. Tidak ada perbedaan antara anterior dan posterior pada bagian

tubuhnya. Acari terbagi dalam lima sub-order berdasarkan stigmata mereka atau

oran respirasi, yaitu mesostigmata (gamasida), prosigmata (actinedida), asigmata

(acaridida), cryptostigmata (oribatida) dan parasitic stigmata (ixodida). Secara

keseluruhan mereka tersebar atas 1200 famili dan kemungkinan sampai 500.000

spesies yang mana banyak terdapat di dalam tanah dan serasah. Beberapa dari

golongan ini bersifat sebagai predator dalam tanah (Lavelle and Spain, 2001).

Enchytraeidae (potworm) adalah oligocaetes kecil dan merupakan hewan

tanah yang penting. Mereka memakan substrat seperti serasah tanaman, fungi,

partikel mineral, atau feses dari biota tanah lainnya. Mereka sangat mudah

beradaptasi, terdapat diberbagai tempat baik pada mineral tanah ataupun

sampah/serasah. Jika dibandingkan dengan cacing tanah, potworm memiliki

metabolisme yang lebih tinggi dalam biomassa yang sama. Potworm terdapat

hampir pada semua jenis tanah jika kelembabannya sesuai (Meyer, 1996).

Collembola atau springtail, memiliki takson yang sangat beragam, dengan

21 famili dan sudah mencapai dua puluh ribu spesies yang sudah jelas. Namun

diperkirakan jumlah spesies yang ada mendekati angka tiga ratus ribu spesies.

Mereka adalah hexapoda tanpa sayap yang lebih mirip ke golongan insecta yang

sebenarnya, tubuhnya kecil dan memanjang dengan terdapatnya organ yang

berfungsi untuk melompat, sehingga ketika mereka mulai berkembang secara

sempurna seperti spesies yang sudah merayap di permukaan tanah, mereka dapat

melakukan pergerakan dengan melompat cepat. Pada bagian ventralnya, terdapat

antena yang berfungsi untuk mendeteksi kelembaban dan keberadaan substrat.

Panjang tubuhnya berkisar antara puluhan mm sampai 1-2 cm dengan biomasa

dari 1-20 µg berat kering per individu. Collembola merupakan indikator yang

Universitas Sumatera Utara


jelas dari perubahan ekosistem dalam situasi suksesional karena spesies mereka

yang besar jumlahnya dan beragam fungsinya. Rekolonisasi dapat terjadi dengan

cepat meskipun spesies yang eudaphic memerlukan waktu rekolonisasi yang lebih

lama daripada spesies yang bersifat epidaphic (Lavelle and Spain, 2001).

Secara umum, arachnida dapat dideskripsikan sebagai arthropoda predator,

sebagian besar terdapat di daeah vegetasi, permukaan tanah, atau pada serasah

tanaman. Areaneida, Opiliones, Chelonethi serta Acari kesemuanya tersebut

tergolong kedalam kelas arachnida dan sebagai tambahannya, terdapat dua grup

lagi yakni scorpions dan solifugae yang mana terdapat di daerah tropis - semi

tropis (Brown, 1978).

Acari, Collembola dan Enchytraeidae merupakan kelompok mesofauna

yang umum yang sering kita jumpai dalam tanah. Namun demikian masih banyak

golongan mesofauna lainnya selain ke tiga golongan besar tersebut diatas,

diantara grup minor tersebut adalah protura dan diplura yang tergolong dalam

serangga apterygota

1. Protura, tidak memiliki sayap, antena dan mata, tinggal di lingkungan

organik yang kaya asam humat. Pemakan sisa tanaman (panphytophages)

dengan kerapatan populasi berkisar 28.000-50.000 individu m-2

2. Diplura, ukurannya kecil dan densitasnya rendah bahkan sangat rendah

berkisar dari nol sampai hanya beberapa ribu individu. Jumlah yang

terbanyak yang pernah dilaporkan adalah berkisar 790 individu m-2 pada

hutan di Tennessee.

3. Pauropoda yang ukurannya kecil (<1 mm), buta dan tidak berpigmen serta

bersifat phytophagus dengan kerapatan rata rata 2000 individu m-2.

Universitas Sumatera Utara


4. Shympyla, beberapa dari golongan ini merupakan hama yang serius,

bersifat eudaphic (hidup secara underground) dan memakan akar yang

masih hidup ataupun yang sudah mati serta beberapa jenis adalah predator

bagi mikroorganisme. Kepadatannya dalam tanah hanya berkisar beberapa

ratus individu per meter bujur sangkar saja.

Keberadaan mesofauna tanah sangat bergantung pada ketersediaan energi

dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya,seperti bahan organik dan

biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam

tanah. Dengan ketersediaan energi dan hara bagi mesofauna tersebut, maka

perkembangan dan aktivitas mesofauna akan berlangsung baik dan timbal

baliknya akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah

(Lavelle, 1996 ; Hilwan dan Handayani, 2013)

Sacket et al., (2010 dalam Djuna, 2013) menyatakan bahwa fauna tanah

adalah organisme paling penting yang dapat ditemukan baik di permukaan

maupun di dalam tanah pada ekosistem tanah. Mereka memainkan peranan

penting dalam fungsional ekosistem, terutama sebagai mekaniknya ekosistem

yang berkontribusi terhadap kesuburan tanah pada tanah tropis dan menciptakan

jaring makanan yang kompleks di dalam tanah.

Hasil penelitian Sianturi (2009) menyatakan bahwa jenis dan kepadatan

populasi maupun kepadatan relatif dari mesofauna pada lahan kelapa sawit

perkebunan rakyat lebih tinggi dibandingkan populasi lahan kelapa sawit

yang dikelola oleh perusahaan perkebunan. Diduga bahwa akibat adanya

perbedaan pengelolaan di lingkungan perkebunan sehingga mempengaruhi

populasi biota tanahnya. Biasanya perusahaan perkebunan mengelola lahan lebih

intensif

Universitas Sumatera Utara


Penelitian mengenai biota tanah akhir-akhir ini difokuskan pada ekosistem

seperti hutan dan padang rumput yang dikelola tidak seintensif daripada lahan

pertanian ataupun perkebunan. Para ahli ekologi telah memberi perhatian khusus

pada funsgsi ekosistem dari mikro dan mesofauna, sedangkan ilmuan di bidang

pertanian lebih memfokuskan peranan mereka dalam fiksasi N, hama dan

penyakit tumbuhan. Pemahaman kita mengenai organisme tanah di lahan

pertanian sudah mulai meningkat, namun banyak penelitian yang dilakukan hanya

untuk menjelaskan bagaimana cara meningkatkan produksi saja. Padahal

mesofauna sendiri menduduki semua tingkatan trofik pada jaring makanan dalam

tanah dan mempengaruhi produksi primer secara langsung melalui memakan akar

(root feeding) dan secara tidak langsung melalui kontribusi mereka dalam

dekomposisi dan mineralisasi unsur hara (Neher and Barbercheck, 1999)

Hasil penelitian Culik dan Filho (2003) mengenai keragaman dan

distribusi Collembola di negara Brazil memperlihatkan bahwa jumlah total spesies

collembola yang berhasil ditemukan adalah mencapai 199 spesies yang terdiri

dari 19 famili dan 80 genera. Dimana spesies terbanyak kelimpahannya

ditemukan pada daerah Amazon dan Rio de Jenairo yang sebagian besar

wilayahnya berupa hutan. Sementara hasil penelitian dari Indriyati dan Wibowo

(2008) menyatakan bahwa kelimpahan jenis Collembola pada lahan sawah semasa

bera mencapai 7 famili. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa kelimpahan biota

tanah pada hutan alami lebih tinggi daripada lahan yang digunakan oleh praktik

budidaya.

Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit

Kelapa sawit adalah tanaman yang memiliki akar serabut, dimana susunan

akar kelapa sawit terdiri atas: a). Akar serabut primer yang tumbuh ke bawah dan

Universitas Sumatera Utara


ke samping, b). Akar serabut sekunder yang merupakan cabang akar serabut

primer yang bercabang ke atas dan ke bawah, c). Akar serabut tersier yang

merupakan cabang akar serabut sekunder yang selanjutnya bercabang lagi

membentuk bulu-bulu akar (pilus radicalis). Inilah yang aktif menyerap hara

makanan dan berfungsi sebagai alat pernafasan serta yang terakhir d). Tudung

akar (calyptra) yaitu bagian paling ujung letaknya dari akar, terdiri dari jaringan

yang berguna untuk melindungi ujung akar yang masih muda dan lemah (Pahang,

2010)

Hasil penelitian Nazari dan Sota (2012) mengenai sebaran akar kelapa

sawit dengan menggunakan deteksi geolistrik resesivitas menunjukkan bahwa

penyebaran akar tersier dan kwartet dominan dalam arah horizontal antara

2,5 – 4,0 m dari piringan batang dengan kedalaman maksimum 0,3 m. Sedangkan

akar sekunder umumnya berada pada kedalaman antara 0,3 – 0,5 m dan sebagian

kecil muncul ke permukaan. Sementara akar primer umumnya berada pada

kedalaman 0,5 – 1,08 m, dan cenderung arah vertikal ke bawah. Sehingga dari

hasil tersebut kita dapat mengetahui keberadaan akar yang aktif dalam penyerapan

hara agar memudahkan kita dalam meningkatkan efektivitas pemupukan.

Carron et al. (2015) menyatakan bahwa keragaman spasial pada

perkebunan kelapa sawit dengan umur tanaman yang sudah tua (mature palm oil).

Zona piringan kelapa sawit memiliki kesuburan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan zona gawangan, zona panen, zona antara piringan dengan jalan panen,

serta zona antara piringan dengan gawangan. Hal ini diakibatkan kandungan C-

organik dan N tanah di daerah piringan kelapa sawit lebih tinggi. Penyebabnya

adalah adanya pelapukan dari akar tanaman (rhizosfer) kelapa sawit yang sudah

tua yang merupakan sumber makanan bagi fauna tanah, terutama cacing serta

Universitas Sumatera Utara


adanya aplikasi pupuk secara rutin pada daerah piringan. Untuk wilayah

gawangan, meskipun banyak tumpukan dari pelepah, namun kadar C-Organiknya

tidak lebih tinggi dikarenakan sukarnya pelepah tersebut untuk didegradasi oleh

biota tanah.

Bahan Organik Tanah

Komponen organik tanah dibedakan atas organisme hidup yang biasa

disebut biomassa dan organisme yang mati yang kemudian diklasifikasikan

sebagai bahan organik. Bahan organik terbagi atas bahan humik dan bahan

nonhumik (Mukhlis et al., 2011).

Bahan organik di dalam tanah mempengaruhi sifat fisik, kimia daan

biologi tanah dan merupakan indikator penting bagi kelestarian ekosistem.

Sebagian besar tanah mengandung stok bahan organik dalam jumlah besar dan

stok bahan organik yang siklusnya aktif dalam jumlah lebih kecil, yang berasal

dari input tanaman, mikrobia dan residu hewan. Identifikasi stok bahan organik

yang aktif maupun labil secara biologi adalah langkah yang esensial untuk

mengetahui siklus nitrogen dan karbon didalam tanah. Perubahan ukuran stok

karbon berguna sebagai indikator dari pengelolaan yang berhubungan dengan

karbon dan hara (Huang et al., 2011).

Kontribusi bahan organik terhadap fungsi tanah terbagi menjadi tiga

bagian, yakni secara fisik, kimia maupun biologi. Secara fisik, bahan organik

berperan dalam warna tanah, retensi air, mencegah kekeringan, menjaga

kelembaban tanah, stabilitas struktur tanah dan pertukaran gas jika

dikombinasikan dengan mineral liat. Secara kimia, bahan organik berfungsi dalam

mengkhelat ketersediaan unsur mikro seperti Fe, sebagai penyangga reaksi

keseimbangan didalam tanah dan pertukaran kation. Sementara dari aspek biologi,

Universitas Sumatera Utara


bahan organik berfungsi sebagai sumber energi bagi organisme tanah, sumber

nutrisi bagi tanaman melalui mineralisasi, menyediakan aliran nutrisi yang

lambat, namun berkelanjutan bagi pertumbuhan tanaman, jika dikombinasikan

dengan zat senobiotik, mampu mempengaruhi bioavailabilitas dan keefektifan

pestisida (Wander, 2004).

Kandungan umum bahan organik dalam tanah dan laju penguraian dari

kandungan bahan berbeda. Selulosa pada umumnya terkandung dalam proporsi

terbesar dari bahan organik segar. Komponen lignin lebih sulit terdekomposisi,

namun setelah terdekomposisi, maka beberapa unsur hara yang awalnya terikat

akan dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Semua jenis polisakarida terdekomposisi

dengan cepat dalam tanah dan karena itu berfungsi sebagai sumber C bagi

mikroorganisme. Lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut.

Bentuk Rumus Dekomposisi Komposisi

Selulosa (C6H10O5)n Cepat* 15-50%

Hemiselulosa 5-35%
glukosa C6H12O6 Sedang-lambat
galaktosa
mannosa
xylosa C5H10O5 Sedang-lambat
R
Lignin (penyl-propana) Lambat 15-35%
HO CH2CH2CH3

R’

Protein Kasar RCHNH2COOH** Cepat 1-10%

Polysakarida
Kitin (C6H9O4.NHCOCH3)n Cepat
Pati Rantai glukosa Cepat
Pektin Asam galakturonid Cepat
Inulin Unit fruktosa
*dekomposisi lebih cepat dengan adanya N
**asam amino glisin (salah satu dari banyak kelompok protein)

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1. Komponen bahan organik, laju dekomposisi serta komposisi masing-masing
fraksi (Raun et al.,2002)

Hasil studi dari Leroy et al., (2006) menyatakan bahwa penambahan

amandemen berupa bahan organik yang berasal dari sayuran, buah-buahan serta

sampah kebun yang telah dikomposkan dalam rentang waktu selama tujuh tahun

dapat meningkatkan populasi biota, termasuk mikroarthropoda seperti Collembola

ataupun golongan tungau. Hal ini dikarenakan peningkatan populasi mikroba dari

bahan organik yang ditambahkan sehingga ketersediaan makanan bagi

Collembola juga meningkat dan pada akhirnya populasinya turut meningkat.

Begitu juga dengan populasi tungau yang bersifat fungivor atau phytophagus,

keberadaan juga meningkat setelah diaplikasikan bahan organik berupa kompos

dalam rentang waktu tertentu.

Salah satu jenis bahan organik yang banyak terdapat di daerah perkebunan

adalah tandan kosong kelapa sawit. Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) adalah

limbah pabrik kelapa sawit yang jumlahnya sangat melimpah. Setiap pengolahan

1 ton TBS menghasilkan 230 kg tandan kosong kelapa sawit. Pengolahan dan

pemanfaatan TKKS oleh pabrik kelapa sawit masih sangat terbatas. Alternatif lain

dengan menimbun (open dumping) untuk dijadikan mulsa di perkebunan kelapa

sawit atau diolah menjadi kompos (Hanum, 2009).

Hasil analisa kandungan TKKS yang telah dilakukan oleh Purnamayani

pada tahun 2012 menyatakan bahwa TKKS mengandung sejumlah unsur hara dan

karbon serta asam-asam organik yang dapat dimanfaatkan oleh biota tanah.

Sehingga pengaplikasian TKKS dapat membantu peningkatan aktivitas biologi

dalam tanah. Adapun kandungan kimia yang terdapat dalam TKKS yang telah

diteliti oleh sebelumnya antara lain : C-organik 81.67%, N-total 0.22%,

Universitas Sumatera Utara


C/N 365.82, P 0.13%, K 2.73%, Ca 0.31%, Mg 0.14%, asam humat 10.92% dan

asam pulvat 1.05%.

Sebagai sumber bahan organik, tandan kosong kelapa sawit (TKKS)

merupakan sumber potensial dikarenakan jumlahnya yang besar dalam sekali

produksi (bobot TKKS yang dihasilkan setara dengan 20% dari bobot tandan buah

segar) (Purnamayani, 2012). Namun TKKS cukup sukar untuk terdegradasi secara

alamiah di alam, terutama jika bentuknya masih utuhdan segar. Hal ini disebabkan

tingginya kandungan lignin. Untuk memnpercepat proses degradasi dan

menurunkan kadar C/N dari TKKS, Mukhlis et al. (2013) menguji potensi

lignoselulolitik dari jamur Trichoderma. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa

penggunaan T. harzianum dan T. koningii mampu menurunkan kadar C/N TKKS

sampai nilai 17,60 dalam masa inkubasi selama enam minggu. Hal ini juga

diperkuat oleh pernyataan Wang Q et al. (2015), yang mengungkapkan bahwa

jamur dari genus Trichoderma memiliki kemampuan untuk mensekresikan enzim

selulase.

Enzim Selulase

Reaksi biokimia dari populasi bakteri di dalam tanah menjadikan tanah

dengan kemampuan untuk mendegradasi semua komponen alami dan sebagian

komponen sintetik seperti residu pestisida dan polusi limbah industri yang masuk

pada suatu lahan. Banyak enzim yang dapat bereaksi jika ada terdapat

mikroorganisme (enzim endoseluler). Bagaimanapun, tanah juga memproses

aktivitas enzim yang tertinggal setelah populasi mikroba menurun atau ketika

mikroba tersebut mati. Enzim tersebut dinamakan enzim ekstraseluler atau enzim

abiotik (Wood, 1995).

Universitas Sumatera Utara


Pada skala ekosistem, enzim ekstraseluler dipengaruhi oleh kandungan

dan komposisi bahan organik. Faktor fisika yang paling penting dan

mempengaruhi produksi enzim dan metabolit adalah suhu dalam periode inkubasi

karena aktivitas enzim sangat sensitif terhadap suhu (Reddy et al., 2014).

Akumulasi enzim ekstraseluler dalam tanah tergantung sejak mekanisme

stabilisasi molekulnya, menjadikan protein dapat didegradasi oleh protease.

Enzim dapat dijerap oleh permukaan mineral liat dan diantara lamellae liat. Enzim

yang berasosiasi dengan bahan organik akan lebih resisten terhadap degradasi.

Asosiasi enzim dengan permukaan padat seperti partikel liat akan dapat merubah

afinitas substrat menjadikan rantai protein mengalami koagulasi (Wood, 1995).

Selulosa sejauh ini jumlahnya menjadi kekhawatiran, karena ini

merupakan kandungan bahan organik yang paling penting. Tanaman mengandung

40-70% selulosa. Fungi (Chaetomium , Fusarium, Polyporaceae, Poraceae),

myxobacteria dan sebagian eubakteria (Pseudomonas, Actinomycetes) adalah

kelompok mikrobia yang penting dalam degradasi selulosa pada kondisi aerob.

Pada kondisi anaerob, selulosa didegradasi oleh bakteri genus Clostridium. Dalam

kajian enzimologi tanah, penentuan aktivitas selulase cukup sulit, karena selulosa

tidak larut dalam air. Pengujian carboxymethylcellulose (CM-cellulose)

merupakan hal yang sering digunakan. Seperti penentuan aktivitas xyanase dan

invertase. aktivitas selulase dapat ditentukan dari reduksi gula yang terjadi

(Schinner et al., 1996).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai