Politik adalah suatu terminologi yang sering menimbulkan “alergi” bagi banyak pihak,
terutama pihak yang belum memahami hakikat politik yang sebenarnya ataupun pihak yang
pernah “tersakiti” dalam bentuk apapun melalui konteks perpolitikan, baik saat berpolitik
praktis sendiri maupun efek tidak langsung dari sanak keluarga yang “terjebak” dalam politik
praktis. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa keterlibatan seseorang dalam
perpolitikan akan menimbulkan “simptom keanehan” yang tidak biasa bagi orang-orang
disekelilingnya. Politisi ini tampak paranoid akan pemikirannya sendiri karena prediksi-
prediksi ketidaktentuan politik, boleh jadi di kepalanya sedang melakukan simulasi-simulasi
distopia (masa depan buruk) atau memikirkan posisinya yang terancam pihak oposan. Di
saat orang lain sibuk membangun mimpi individunya atau sekedar berharap “survive” dengan
kebutuhan hidup yang mungkin masih kekurangan, para politisi senantiasa mengamati,
membaca, dan mereka-reka apa yang akan terjadi terhadap bangsanya dan apa yang bisa
mereka lakukan untuk berkontribusi (atau memanfaatkan oportuniti). Politik sejatinya juga
bukan karir yang “menafkahi”, sehingga banyak non-politisi praktis terheran-heran dengan
dedikasi politisi untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memeras waktu, pikiran, energi,
dan materi untuk sesuatu yang abstrak. Kecuali memang dari awal tujuan politisinya sudah
pragmatis dan oportunis dalam mengincar jabatan atau proyek, di mana sayangnya hal inilah
yang dominan terjadi.
Tentunya penulis berasumsi bahwa pembaca yang sampai mau membuka buku ini adalah
pihak yang ingin memahami hakikat politik lebih dalam ataupun mencoba “recovery” dari
sakit hati perpolitikan masa lalu dengan motivasi pencarian bahwa politik bisa saja “ideal”,
serta mau mencegah diri dari opsi politik “amoral” (atau justru mempraktikkannya). Apapun
pilihan anda nantinya sebagai pembaca, buku ini hanyalah media penyampaian pesan yang
tidak punya kesadaran dan paksaan untuk membentuk pembacanya menjadi ideal ataupun
amoral. Kita akan mengupas seluk-beluk politik untuk membuka tabir sepemahaman,
sehingga anda tahu kenapa anda atau orang terdekat anda berpolitik praktis dengan tidak
menyisakan rasa alienasi (pengucilan, antipati, jijik, hardik sosial) terhadap politisi yang
“terus sibuk dengan dunianya” (terutama yang posisinya sedang terpuruk, padahal dunia di
luar politik tampak “menenangkan”).
Buku ini juga bisa menjadi komplimentari sempurna bagi anda yang “getol” membaca buku
pengembangan diri dan karakter, self-help, motivasi, entrepreneurship, dan genre sejenisnya.
2
Karena umumnya, buku-buku tersebut memacu anda secara individu untuk
menyempurnakan kekuatan dalam diri anda. Bahkan hingga seolah-olah dunia akan “takluk”
hanya dengan kekuatan motivasi individu semata karena pergerakan frekuensi alam atau
kehendak Tuhan yang selurus dengan niat mulia anda. Namun secara realistis, buku ini akan
secara signifikan membantu anda berhasil dengan “tips dan trik” suplemen interaksi antar
manusia, yang tentu juga merupakan faktor besar penentu kesuksesan anda yang
sesungguhnya. Singkatnya, setelah anda berhasil menguasai diri anda dengan buku
motivasi, selanjutnya adalah bagaimana menguasai orang lain agar bisa sesuai dengan
tujuan anda, yang di mana hal ini adalah inti sari dari politik itu sendiri. Anda tidak perlu
khawatir dengan stigma bahwa genre politik cenderung memilih diksi bahasa berat dan
bertele-tele, karena susunan bahasa buku ini sengaja dibuat dengan diksi bahasa genre
populer (dan kadang sedikit nakal) agar konsep politik secara terang bisa diterima lebih
banyak kalangan, tidak membosankan, menstimulus berpikir kritis, dan tidak dianggap
sesuatu yang eksklusif, apalagi biasanya langsung diacuhkan dengan perasaan jijik.
Sampai hari ini, politik sudah memilik banyak makna dan definisi, tergantung dari ilmuwan
mana yang menjadi rujukan serta seberapa diterima dan relevannya pernyataan mereka pada
suatu konteks politik. Namun untuk memudahkan persepsi yang bervariatif dari pembaca,
maka kita akan mencoba menggunakan definisi politik paling dasar dan paling terbuka,
sehingga juga bisa mewadahi definisi-definisi yang lebih kompleks lainnya. Mari kita mulai
dengan menyimak sejarah munculnya akar kata politik terawal yang bisa dicatat sejarah.
Aristoteles (384-322 SM) adalah salah satu filsuf terawal yang mempopulerkan kata politik
melalui definisinya terhadap manusia yang ia sebut “zoon politikon”. Dengan istilah itu ia
ingin menekankan bahwa manusia adalah “zoon” (hewan atau makhluk biologis kompleks,
*zoo (in English = kebun binatang)* yang hidup bermasyarakat (bahasa Yunani Kuno “polites”
artinya warga negara / masyarakat, tidak menyendiri), yaitu berinteraksi untuk mencapai
tujuan dengan cara-cara yang non-”rimba”-wi atau berbeda dengan hukum rimba yang
berlaku untuk hewan pada umumnya, karena manusia memiliki kecerdasan untuk
membentuk “peradaban”, sedangkan hewan yang bergantung pada instingnya hanya mampu
membangun “ekosistem”. Hal ini tidak dapat dipungkiri manusia manapun (sekalipun ia
mengaku apolitis, karena hakikatnya dia memilih dan mempengaruhi orang untuk sesuai
dengan persepsinya). Se-anti apapun seseorang dengan kata politik, dia akan tetap punya
kebutuhan untuk berinteraksi dan mencapai suatu tujuan dari hasil interaksi tersebut.
Memang pada umumnya kata politik erat hubungannya dengan segi-segi kekuasaan dengan
3
unsur-unsur seperti: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision
making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Namun, kenyataannya interaksi paling sederhana antar dua manusia biasa tanpa melibatkan
lembaga atau kebijakan resmi, masih tetap memunculkan sintesis kepentingan dan tujuan
(baik tercapai ataupun tidak). Sehingga definisi politik paling sederhana yang bisa kita tarik
menjadi “politik adalah upaya untuk mencapai suatu tujuan antar dua manusia atau lebih”.
Upaya dimaksudkan sebagai bentuk sadar inisiatif manusia, bukan sekedar reflek atau
insting spontan biomekanik tubuhnya (hewan dan tumbuhan juga punya sifat ini), serta
hanya bisa terjadi jika terdapat antar dua manusia atau lebih. Karena di saat seorang
manusia berupaya untuk mencapai tujuannya tanpa berinteraksi dengan manusia, itu belum
bisa disebut berpolitik (ber-politise: ber-masyarakat). Misal, jika seseorang merasa lapar dan
memakan suatu buah pohon yang terletak di hutan tak berpenghuni, maka upaya
menghilangkan laparnya belum bisa dikatakan sebagai politik. Sedangkan seorang anak
yang meminta uang jajan kepada ibunya dengan pilihan merengek atau memuji, berarti ia
telah menjalankan proses politik. Oleh karena itu, perpolitikan biasanya membahas unsur-
unsur unik dalam manusia, seperti misalnya identitas, kepentingan, kesadaran, psikologis,
kebutuhan, dsb. Dengan definisi seumum ini, maka secara praktiknya politik juga merupakan
unsur tak terelakkan dalam pergaulan sehari-hari, transaksi dan negosiasi bisnis, relasi cinta-
kasih antar anggota keluarga, dan konteks apapun yang mengandung interaksi antar
manusia.
Apa yang ditawarkan buku ini adalah “segelintir” mutiara pemikiran penulis dari hasil
interaksi dan pengamatan sehari-hari dalam konteks perpolitikan, sehingga definisi “ideal”
ataupun “amoral” dalam buku ini tentunya juga dalam keterbatasan subjektivitas penulis
sebagai manusia biasa. Penulis berupaya untuk memberikan analogi yang ringan agar
mudah dicerna semua kalangan, tinggal bagaimana pembaca menduplikat inti sarinya
terhadap kasus nyata yang lebih kompleks pada lokus yang dialaminya. Buku ini lebih
bersifat stimulan untuk pembaca berpikir kritis atas premis-premis yang ditawarkan,
sehingga tidak semua isi buku ini mendadak menjadi aksioma begitu saja tanpa
independensi pemikiran. Gaya bahasa dalam buku ini dinamis, puitis, agak vulgar, dan
terkadang kontroversial. Gaya penulisan ini dipilih agar menarik dan menggugah proses
berpikir. Visi ditulisnya buku ini agar bisa menjadi bacaan siapa saja, bukan konsumsi
eksklusif akademisi atau praktisi sosial-politik. Walaupun tentu tetap dibutuhkan beberapa
pengetahuan dasar tentang konten-konten yang jadi pembahasan. Dalam rangka menjaga
4
relevansi konten dengan wawasan pembaca, penulis juga menyiapkan pratinjau untuk setiap
“level” yang mengandung tematik khusus sesuai tingkat kesulitannya. Pembaca kasual bisa
menikmati level pertama sebagai “hidangan pembuka” untuk memasuki level-level
selanjutnya.
Pembaca juga tidak harus mengikuti urutan tema yang disusun dalam buku, melainkan boleh
bebas mendahulukan tema yang lebih sesuai dan punya urgensitas dalam kehidupan
pembaca sendiri. Adapun disarankan untuk membaca isi buku ini secara urut, agar penulis
dan pembaca bisa berada dalam bingkai narasi yang seirama dan bisa lebih familiar dengan
istilah-istilah yang pada bab sebelumnya mungkin sudah terlontar. Selain itu, penulis
menyusun kerangka penulisan yang cukup unik dengan sistem “level” dengan tujuan
membagi segmen minat pembaca, selagi mengharapkan keterpacuan pembaca untuk
melanjutkan ke tahapan selanjutnya yang relatif lebih rumit. Pembaca dipersilakan untuk
membuka seluas-luasnya imajinasi liar untuk menyesuaikan analogi yang disediakan dalam
buku ini dengan konteks bidangnya, entah ada yang berjuang dalam perkara bisnis,
pekerjaan, rumah tangga dan kekeluargaan, pertemanan, status sosial di mata masyarakat,
dan sebagainya. Selamat membaca!
5
LEVEL 1 : SIFAT & SIKAP “BURUK” MANUSIA
BAB I : Marah
BAB II : Khianat = Setia
BAB III : Loyportunis
BAB IV : Curang
BAB V : Khianat Komitmen
BAB VI : Sombong
BAB VII : Kaku & Prosedural
BAB VIII : Yes Man!
BAB VIII : Bodoh
PRATINJAU
Pada level pertama ini kita akan membahas beberapa sifat dan sikap “buruk” manusia yang
tidak hanya kita temukan dalam perpolitikan, namun juga biasa kita temukan dalam interaksi
sederhana sehari-hari. Tema tentang sifat buruk dipilih sebagai pembuka buku ini karena
memiliki daya tarik tersendiri, di mana kebanyakan motivasi seseorang membaca buku ini
adalah karena pernah berhadapan dengan orang-orang yang memiliki sifat buruk ini,
sehingga pembaca ingin memahami lebih dalam penyebab dan solusi menghadapinya. Atau
mungkin sebagai bahan refleksi diri bagi beberapa orang yang mulai menyadari dan ingin
memperbaiki sifat buruknya. Fenomena yang menarik dalam level ini adalah, bahwa sifat-
sifat “buruk” manusia yang dibahas ternyata tidak harus sepenuhnya buruk. Terkadang ada
sisi-sisi strategis dan alasan yang rasional dalam kemunculan sifat-sifat tersebut. Sifat-sifat
“buruk” yang dibagi menjadi delapan bab tersebut diharapkan mampu mewakili esensi dari
sifat-sifat buruk manusia secara umum yang tidak mungkin disebutkan satu per-satu.
Dengan tingkat kesulitan yang relatif mudah, Contoh-contoh yang ditampilkan dalam level ini
juga relatif mudah dibayangkan dan dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Segmentasi
pembaca untuk level ini menjangkau kalangan yang sangat luas jika dibandingkan dengan
level-level selanjutnya, yang artinya level ini akan cocok dan menarik dibaca oleh hampir
semua orang.
6
BAB I: MARAH
Tiada Logika Diolah dalam Marah
Asal Syahwat Terpenuhi, Barulah Dia Berhenti
Psikologi manusia memiliki reaksi-reaksi unik berdasarkan stimulan yang muncul dalam
kehidupan mereka. Dalam kasus seseorang yang “marah” dalam berinteraksi, maka ada
suatu ketidaksesuaian tujuan yang melampaui batas toleransi menurut prinsip pribadinya
atau ada benturan nilai yang menginjak-injak kehormatan harga diri atau pihak yang ia
perjuangkan kepentingannya. Sehingga marah adalah suatu reaksi ekspresif yang menuntut
lawan interaksinya untuk melihat kekecewaannya secara agresif, lebih dari kecewa dengan
bermuka masam atau sekedar hilangnya ketertarikan. Terkadang marah diperlukan untuk
menyatakan ketegaran anda memperjuangkan tujuan atau mempertahankan kehormatan.
Yang menjadi masalah adalah apakah tujuan yang tidak tercapai tersebut adalah tujuan yang
“ideal” atau justru tujuan untuk memenuhi “syahwat” ketamakan. Sedangkan untuk
ketidaksesuaian nilai atau kehormatan yang terinjak, apakah itu karena pihak lawan interaksi
sengaja atau tidak sengaja melakukannya? Apakah karena melakukan “agresi” untuk
menggoyang nilai tersebut atau sekedar membela diri dengan meng-”counter” interaksi yang
lebih dahulu menginjak nilai dan kehormatannya? Di sinilah terdapat kemungkinan bahwa
tidak hanya satu subjek interaksi saja yang bisa marah, melainkan banyak.
Orang yang marah bisa secara “sadar” berhenti, hanya jika syahwatnya terpenuhi atau
kehormatannya direstorasi kembali. Orang marah yang secara “tidak sadar” berhenti adalah
orang-orang yang “ciut” setelah mendapati lawan interaksinya memiliki variabel yang
mematikan rasa marahnya secara tidak langsung. Bisa jadi lawannya marah lebih besar
sehingga dirinya yang marah berubah menjadi takut, atau lawannya bisa menenangkan
dengan permintaan maaf, atau lawannya memiliki argumen yang tidak bisa ditolak dirinya
(dan audiens jika ada) hingga membuatnya “malu” atau terdiam. Pada dasarnya marah
adalah luapan emosi yang menutup pintu logika dalam berargumen dan menghakimi suatu
perkara. Apapun yang keluar sebagai perkataan dan tindakan si pelaku marah didominasi
oleh insting dan mekanisme pembelaan diri, lebih dari logika pikiran dingin. Jika ada orang
yang masih bisa menyusun retorika yang baik saat bernada tinggi dan bersikeras, itu berarti
dia belum mencapai “murka” (puncak kemarahan hingga hilangnya logika), melainkan marah
yang “sengaja diberi kadar” untuk diekspresikan dengan bumbu logika yang masih bertahan.
Oleh karena itu, marah menjadi ideal untuk anda terapkan di saat lawan interaksi anda sudah
tidak mau atau mampu mendengar logika yang anda sampaikan, itupun setelah anda
7
matang mempertimbangkan bahwa lawan interaksi anda telah melanggar nilai dan
kehormatan anda, atau tujuan anda yang tidak tercapai dalam interaksi tersebut adalah
tujuan “ideal” dan bukan “syahwat amoral” ketamakan.
Jika anda berhadapan dengan orang yang marah, maka pastikan dulu lewat indikator
kemarahan tadi apakah dia layak marah atau tidak. Jikalah memang ia berhak marah, maka
sebaiknya pihak bersalah yang menyebabkan kemarahan segera meminta maaf dan
berusaha memperbaiki keadaan. Jika ia tidak berhak marah, maka perhatikan “kekuatan nilai
tawar” anda. Apakah anda layak untuk berbalik marah dengan kemarahan yang lebih besar,
atau anda cukup mengalihkan diri dari interaksi tersebut jika kemungkinan menimbulkan
kerusakan yang lebih besar. Jika memungkinkan, maka sampaikan argumen logis yang bisa
“menyadarkan” kesalahpahaman pihak yang marah. Solusi berargumen ini sangat dianjurkan
dalam kondisi interaksi yang melibatkan audiens yang cenderung “netral” (biasanya
perdebatan) sehingga anda tidak tampak lari seperti pengecut, namun tetap menguasai
forum karena anda akan “tampak” memahami yang anda sampaikan, di saat si pemarah
tampak tidak paham, yang akhirnya mengarahkan persepsi audiens bahwa andalah yang
lebih benar. Sedangkan solusi berargumen sangat tidak dianjurkan jika dalam interaksi “1v1”
atau “1 v MORE” atau “FEW v MANY”. Orang yang marah dengan tidak terpenuhi syarat ideal
kemarahannya adalah orang yang memaksakan forum untuk berjalan sesuai keinginannya
apapun yang terjadi, baik dia benar maupun salah. Jika anda dalam posisi “1v1”, maka orang
ini hanya akan menghabiskan waktu dan energi anda dikarenakan orang yang marah sangat
sulit ditenangkan dengan logika karena keterbatasan pemahamannya atau memang tidak
mau mengakui argumen yang benar sekalipun ia tahu. Maka anda dipaksa mengikuti standar
kebodohan atau egonya, sehingga interaksi yang tersisa hanya menyisakan “sampah” bagi
kepentingan dan kehormatan anda. Jika anda dalam kondisi “1 v MORE” atau “FEW v MANY”,
sebaiknya anda segera pergi karena ancaman yang muncul bisa bereskalasi melampaui
batasan komunikasi menjadi kekerasan, karena marah itu “menular”, terutama jika merasa
“besar” jumlahnya sekalipun belum tentu “benar”.
Di sisi lain, orang yang mudah marah adalah orang yang kurang dewasa dalam mengontrol
emosinya. Artinya dia akan mudah terpicu untuk berekspresi lepas, baik dalam emosi positif
maupun negatif. Dia akan mudah tersanjung karena senang dipuji, dia akan cepat malu jika
menyadari kesalahan, dia akan lantang tertawa bila ada stimulan canda. Jika anda
menemukan orang yang “ekspresif polos” seperti ini, akan jauh lebih mudah mendeteksi
tanda-tanda kemarahannya dibandingkan orang yang memiliki “poker face” atau “dead fish
8
eye”. Karena sedikit saja ada pembicaraan yang menyinggung, marahnya akan langsung
bereaksi seketika. Anda bisa memanfaatkan “kelemahan” ini untuk memancing reaksi-reaksi
yang menyudutkan posisinya dengan antipati dan persepsi buruk dari orang-orang di
sekeliling, atau membuatnya bereaksi gegabah karena marah. Namun di saat yang sama,
orang mudah marah juga berbahaya karena dia bisa bereaksi nekat yang mengadu “nyali”,
apalagi jika dia memiliki suatu “kapital” kekuatan seperti finansial, fisik, atau massa yang
siap digerakkan (baca bab “kapital”). Sehingga, anda harus berpikir dua kali jika menemukan
orang yang mudah marah dengan “kapital” kekuatan lebih besar dari anda. Sudah menjadi
naluri alami bagi mereka untuk menekan dan memaksakan kehendak dengan “membabi-
buta”, karena dengan kapital kekuatannya dia tak perlu repot-repot “bermain cantik” dengan
taktik, strategi, diplomasi, atau apapun metode ideal yang tersedia. Bahkan ia tak perlu repot-
repot menjilat, memohon, menipu, dan metode amoral lainnya yang bersifat halus/lemah.
Marah bisa menjadi instrumen amoral bagi anda jika mau memaksakan tujuan (yang bahkan
tidak ideal) dan pastikan sudah berada dalam posisi dominan, entah karena jumlah
simpatisan dalam forum yang berpihak kepada anda atau kelemahan pribadi lawan interaksi
anda yang tidak mampu menguasai forum, walaupun tujuan dia sebenarnya lebih “ideal”.
9
BAB II: KHIANAT = SETIA
Khianat itu Bakat, Hanya Soal Sempat atau Tidak Sempat
Akan Saya Maafkan, Tapi Tidak untuk Dilupakan
Tiap Orang Berhak Kesempatan ke Dua, Tapi Jangan Minta dari Saya
Kebalikan dari marah, ada pula opsi untuk berkhianat dalam suatu interaksi politik. Indikator
pemicu pengkhianatan relatif sama dengan kemarahan, yaitu tidak tercapainya suatu tujuan
atau terinjaknya nilai dan kehormatan diri seseorang. Sejatinya khianat dan marah sama-
sama reaksi agresif. Namun bedanya, khianat adalah pilihan yang menghindari konfrontasi di
depan dengan menunda ekspresi dan sikap originalnya walaupun faktor pemicunya sudah
tercapai dalam suatu interaksi. Berkhianat berarti seakan-akan setuju atau berkomitmen atas
suatu hasil politik, padahal dia merencanakan pembelotan yang akan merusak hasil politik
tersebut dalam suatu kesempatan atau perencanaan, tergantung peluang mana yang muncul
terlebih dahulu. Sejatinya pengkhianatan adalah topik yang sangat kompleks karena
berkhianat adalah reaksi jangka panjang dan bukan instan seperti kemarahan.
Umumnya, berkhianat adalah suatu sikap yang dianggap terhina karena cenderung
mementingkan tujuan dan ego pribadi serta tidak bisa dipercaya sikap pendiriannya. Karena
berkhianat berarti tidak berlapang dada bahwa ada suatu tujuannya yang tidak tercapai dan
berusaha membalikkan keadaan pada suatu waktu, daripada memilih untuk “move on” dan
beralih fokus memperjuangkan tujuan lain pada interaksi perpolitikan lainnya dengan tidak
mencederai hasil perpolitikan yang sudah terjadi.
10
Berkhianat menjadi opsi ideal jika anda memperjuangkan kebenaran dengan TIDAK
DISERTAI KEBOHONGAN, inilah pengkhianatan “elegan”. Kita akan membahas tentang
“kebenaran” pada bab yang lain. Setidaknya untuk bab ini, jika anda yakin bahwa yang anda
perjuangkan adalah kebenaran (apapun definisi sementara anda tentang kebenaran), maka
anda layak “berkhianat” dengan hasil perpolitikan yang tidak mencapai “kebenaran” itu,
dengan catatan harus TANPA KEBOHONGAN. Karena sekali anda berbohong, maka setiap
orang (baik kawan maupun lawan) tidak akan pernah mempercayai anda! Kalaupun anda
menerima suatu hasil politik, itu hanya “tarikan napas” sementara untuk pihak-pihak yang
mendapat keunggulan sementara dari anda sambil bersiaga atas pengkhianatan anda di hari
depan. Bagaimana cara berkhianat tanpa kebohongan? Anda harus membuat klausul
pernyataan sikap atas hasil interaksi politik yang seakan-akan menerima, padahal masih
terdapat celah untuk merubah. Buatlah situasi yang “mengelukan (memanjakan sekaligus
rumit membingungkan)” buat pemenang politik agar lupa daratan atau sekalian persulit
kemenangannya sehingga merasa terancam sampai sibuk mempertahankan posisinya,
hingga si pemenang tidak teliti dengan pernyataan anda yang sudah disiapkan celahnya
dengan matang.
Jika anda berada pada posisi pemenang, maka teliti dan berhati-hatilah atas komitmen
lawan interaksi anda dengan potensi pengkhianatan yang ada, baik secara “elegan” maupun
“amoral”. Pastikan tidak ada celah komitmen yang dibuat oleh lawan dan kawan perpolitikan,
karena setidaknya “senjata” pertama anti pengkhianatan adalah klausul komitmen beserta
saksi-saksinya. Kemudian jangan pernah lengah dan berpuas dengan suatu pencapaian
politik, karena akan selalu ada celah pengkhianatan di masa depan, baik dari lawan maupun
kawan.
Jika para pengkhianat sudah tidak mempunyai kekuatan dan kesempatan (pastikan dengan
teliti!), maka maafkanlah mereka, baik diminta maupun tidak. Karena hal ini akan
membebaskan energi dan fokus anda untuk tujuan-tujuan selanjutnya dan musuh-musuh
yang lebih nyata. Tapi jangan pernah melupakan siapa mereka dan jangan pernah memberi
ruang perpolitikan bagi mereka. karena berkhianat itu bakat, pengkhianatan jangan diberi
panggung kesempatan. Bagaimanapun “memohonnya” mereka untuk kembali berpolitik
dalam naungan anda, sebaiknya jangan dipercaya. Persilakan dia untuk mencari kesempatan
ke dua di luar naungan anda, tidak perlu menggemborkan aibnya di pernaungan barunya,
karena bisa saja dia benar-benar bertobat dan kapok berkhianat. Hanya saja, jika anda
11
menerima kembali dirinya dalam naungan anda, maka anda sedang memelihara “bom
waktu” pengkhianatan jika ia berkhianat kembali pada suatu saat. Bahkan jika dia benar-
benar bertobat dan tidak akan berkhianat, ini akan menjadi preseden buruk bagi seluruh
simpatisan dan pasukan politik anda karena seakan-akan anda membuka pintu “silakan
berkhianat sesekali, kalau tobat akan kami terima kembali”. Cukuplah equilibrium dijaga
dengan memberi maaf bagi yang khilaf, tapi tetap tidak ada ruang bagi pecundang. Ingatlah
bahwa pengkhianat itu hina. Semena-Mena waktu berkuasa, saat kalah mengiba minta
suaka. Modusnya politik bunuh diri, pura-pura Mati. Kemudian lari, lantas “hidup lagi” di lain
“negeri”. Selain waspada terhadap lawan, Jaga baik-baik juga teman dan pasukan anda.
Karena teman anda rentan untuk kecewa dengan sikap dan perilaku anda, namun sedikit dari
mereka yg mau mengungkapkannya.
Beberapa hal menarik lainnya dari konsep pengkhianatan yang akan kita bahas adalah
bahwa pengkhianatan bisa “menegasikan” pengkhianatan lain yang dilakukan simultan.
Dalam dunia spionase banyak dikenal mata-mata yang menjalankan peran sebagai “ double
agent atau bahkan triple agent”, Di mana ia akan nampak mengkhianati dua atau tiga pihak
yang dinaunginya secara bersamaan hingga akhirnya hanya dia dan sedikit “orang
kepercayaan” yang tahu ke mana loyalitas tertingginya ditetapkan. Dalam kultur pop
Hollywood hal ini sering menjadi salah satu plot cerita film blockbuster action / thriller,
seperti misalnya seri Mission Impossible, 007, Bourne, dsb.
Lain lagi dengan pengkhianatan titipan. Dunia intelijen menyebutnya sebagai “sleeping
agent”, sedangkan politisi menjulukinya sebagai “politik titip kambing”. Keduanya bermakna
serupa, yaitu sama-sama menyusupkan/menitipkan orang di kubu lawan, disiapkan untuk
“suicide” dengan momentum yang sudah dirancang secara natural dan rasional. Jika anda
melihat ada oknum yang melakukan manuver politis yang tampak “sedikit bodoh dan
gegabah” atau “self destruct” atas karakternya (hingga terkadang berujung kasus kriminal),
kemudian berdampak dengan rusaknya sebuah koalisi atau reputasi tokoh politik yang
dickampanyekan dari pihak oknum itu, maka kemungkinan besar dialah sang “kambing” yang
dititipkan pihak lawan. Misalnya, anda sebagai calon presiden memiliki seorang pendukung
yang melakukan “black campaign” terhadap calon presiden lawan dengan cara-cara yang
bodoh secara terbuka, massif, bahkan mengumbar fitnah yang terancam kasus kriminal.
Namun ternyata “black campaign” tersebut tidak direncanakan apalagi didukung oleh
segenap koalisi anda. Kemudian karena kasus ini, media (terutama yang dikuasai koalisi
lawan anda) mengekspos secara besar-besaran kasus ini hingga terkesan over-generalisir,
12
bahwa pendukung anda terdiri dari orang-orang yang tidak beradab secara politik. Berita ini
akan “mematahkan hati” beberapa pendukung awam anda serta menjadi sorak-sorai
pendukung awam lawan anda. Maka, tindakan “bunuh diri” ini patut anda curigai sebagai
politik titip kambing atau pengkhianatan titipan.
Kemudian hal menarik lainnya dari konsep pengkhianatan yang lebih dekat dengan
kehidupan sehari-hari adalah bahwa pengkhianatan seseorang bisa “membalas”
pengkhianatan yang dilakukan terhadapnya, agar menjadi “impas”. Contoh yang sangat
disederhanakan misalnya, seorang adik suka mencuri uang kakaknya, namun tak kunjung
bertobat (terlepas dari ia mengakui atau tidaknya, tindakan mencuri uang tersebut terus
dilakukan sehingga sang kakak terus dirugikan). Setelah segala komunikasi yang “baik” telah
ditempuh dan tidak kunjung mengubah kebiasaan sang adik, akhirnya sang kakak melakukan
“pengkhianatan balasan” dengan mengambil sesuatu yang berharga dari adiknya agar sang
adik juga bisa merasakan kehilangan. Pengkhianatan balasan ini bisa dilakukan dalam
rangka “mendidik” ataupun “balas dendam”, tergantung pada motif pelakunya.
Kemudian contoh lain akan diambil dari dunia politik praktis yang disederhanakan. Seorang
ketua partai menjanjikan anda akan menjadi kandidat calon presiden yang diusung partai
tersebut jika anda memberi “mahar” kepada partai sekian milyar rupiah. Setelah anda
membayar mahar tersebut, ternyata sang ketua partai memutuskan untuk mengarahkan
gerbong suaranya kepada calon dari partai lain sebagai bagian dari koalisi, karena mungkin
dianggap calon ini lebih kuat secara elektabilitas. Namun uang mahar anda tetap tidak
dikembalikan. Anda yang telah dikhianati partai, atasan anda dan orang-orang yang
mendukung keputusannya, kemudian mengambil langkah “berkhianat balasan” agar terjadi
“impas”. Anda bisa memutuskan untuk berpindah ke salah satu partai koalisi lawan dengan
segala potensi gerbong suara, finansial, dan yang terpenting segala “isi dapur” partai anda
sebagai informasi “orang dalam” yang bisa dimanfaatkan untuk melawan partai lama anda.
Di koalisi yang baru, anda tidak harus menjadi calon presidennya, namun anda punya misi
“dendam pribadi” untuk mengimpaskan pengkhianatan yang dilakukan terhadap anda. Hal ini
jadi preseden sebagai pesan penting agar orang-orang berpikir panjang sebelum
mengkhianati anda.
Berkhianat bisa menjadi opsi amoral bagi anda jika anda pandai membaca peluang di hari
depan, sekalipun anda sedang tidak memperjuangkan “kebenaran” dan menghalalkan
kebohongan. Anda bisa mempraktikkan “zero sum game” bersamaan “devide et impera”
13
pada pihak-pihak yang berkepentingan hingga anda tinggal memilih naungan gerbong mana
yang lebih memfasilitasi kepentingan anda. Bahkan uniknya, anda bisa berpindah-pindah
bagai bajing loncat, karena anda sudah tidak perlu mempedulikan integritas diri anda dan
semua orang tahu loyalitas anda hanya sebatas kepentingan. Lagipula memang kepentingan
itulah yang dari awal anda kejar dengan siap mengorbankan apapun, termasuk integritas dan
kepercayaan. Hal ini bisa diterapkan dengan catatan bahwa anda memiliki nilai tawar atas
sesuatu yang dibutuhkan dari semua pihak yang anda targetkan. Jika anda tidak memiliki
apa-apa untuk ditawarkan, anda bukanlah calon pengkhianat melainkan hanya sekedar debu
pengganggu yang akan disapu dari arena pertarungan politik. Seseorang yang memilih jalan
ini dalam waktu yang cukup signifikan dapat dikatakan sebagai pengkhianat tulen.
Hipokrit dan Idealis itu Sama Modalnya: Ngotot, Muka Tembok, dan Keras Kepala
Tapi Perhatikan yang Membuat Berbeda: Ilusi Proxy Versus Prestasi Fakta
14
BAB III: LOYPORTUNIS
Sinopsis sang Loyportunis, Hikayat sang Bajing Loncat
Pelacur Politik itu Pengemis Intelektual dan Proletar Suaka
Jadilah Kawan yang Hebat atau Sekalian Lawan Terkuat
Jangan Berkawan Karena Tidak Ada Kesempatan untuk Melawan
Uniknya, pengkhianat tulen justru selalu eksis di arena-arena politik, karena mereka tidak
ragu merusak tatanan yang bermartabat dengan fitnah dan ketidakpastian. Pengkhianat
tulen itu bagaikan pembawa acara “pelelangan” yang menjajakan nilai tawarnya kepada
pembeli tertinggi. Dalam pelelangan, ketidakpastian penawaran membuat pembeli berlomba-
lomba menaikkan harganya. Sehingga sang pemenang akan mengeluarkan uang yang lebih
tinggi dari nilai intrinsik barangnya, sedangkan yang kalah disia-siakan waktu dan
harapannya. Dalam dunia yang penuh konflik dan kepentingan, berurusan dengan
pengkhianat sering kali menjadi opsi waras untuk mengalahkan lawan yang terang
benderang berhadapan. Karena sang pengkhianat ini sering kali menawarkan sesuatu yang
cukup besar untuk menjadi penentu kemenangan antar pihak yang bersengketa politik.
Dalam permainan judi, siapapun yang menang, bandar selalu untung. Dalam perpolitikan,
gerbong pengkhianat dan bajing loncat tidak akan peduli siapa pemenangnya. Selama nilai
tawarnya bisa merubah keseimbangan kekuatan murni pihak-pihak yang bersengketa, maka
akan selalu ada “jatah potongan kue” untuk dirinya.
Penulis akan coba ilustrasikan dalam sebuah proses voting sederhana. Jika calon A memiliki
90 suara loyal dan calon B memiliki 100 suara loyal, hal ini menjadi muspro setelah
munculnya gerbong loyalis si C berisikan 20 suara, yang di mana ia sadar tidak punya
kesempatan memenangkan pemilu jika mencalonkan dirinya sendiri, namun dengan cerdik ia
menjual 20 suaranya itu ke penawar tertinggi. Selama margin pertarungan murni antara
calon A vs B tidak lebih tinggi dari 20 suara, maka C akan mendapat “jatah bermain dan
potongan kue” dari siapapun yang menang voting. Jika C memiliki suara 50 loyalis, maka
ketimpangan 60 vs 100 yang tampak telak kembali menjadi muspro. Karena dalam voting
tidak ada perbedaan antara kemenangan si B dengan skor 100 vs 60 (murni tanpa campur
tangan si C), kemenangan si B dengan skor 150 vs 60 (C mendukung B), atau kemenangan si
A dengan skor 110 vs 100 (C mendukung A). Telak-tipisnya skor tidak menambah atau
mengurangi “hadiah” kemenangan yang diperebutkan dalam voting. Itulah kenapa si C
berperan sebagai kunci penentu kemenangan. Sebagaimana seorang kiper yang membantu
serangan di masa injury time babak ke dua dalam permainan sepak bola. Karena dalam
15
sistem turnamen, kalah 1-0 atau 2-0 sama-sama tereliminasi. Maka bertaruh dengan
majunya seorang kiper diharapkan bisa berbuah gol penyama kedudukan. Padahal saat dia
maju, sang kiper sedang “berkhianat” atas tugasnya menjaga gawang yang terbuka lebar.
Yang jauh lebih menarik lagi adalah, “loyalis” atau suara tetap dan pendukung setia suatu
pihak juga memiliki kadar kesetiaan yang berbeda-beda. Selain pihak yang setia (loyalis
sejati), ada beberapa di antara mereka masih berada di ambang jurang loyalitas dan
oportunis (selanjutnya penulis sebut “loyportunis”). Pihak-pihak ini kemudian akan “cemburu”
melihat perlakuan spesial calon yang didukungnya kepada si C yang diasumsikan menjadi
kunci kemenangan, padahal si C adalah bajing loncat yang sehari-hari tidak ikut jatuh bangun
berjuang bersama tim loyalis original (baik loyalis sejati maupun loyprtunis), bahkan bisa jadi
suara loyalis C tidak sebesar suara beberapa gerbong loyalis original. Semakin iri dengkinya
para loyportunis ini, maka mereka bisa saja mendeklarasikan diri sebagai pihak “D” yang
suaranya “for sale”. Lepas sudah loyalitasnya terhadap calon aslinya (tidak penting apakah
dari calon A atau B, bahkan dengan deklarasi itu istilah loyportunis sudah tidak layak
disematkan, melainkan mereka adalah bajing loncat lainnya), suaranya akan diberikan
terhadap penawar tertinggi. Ditambah lagi, kemunculan si C dan D ini menstimulus gerbong-
gerbong lain menjadi si E, F, G, dst. Peta kekuatan awal antara A vs B menjadi berantakan
hingga tidak jelas siapa mendukung siapa dengan iming-iming hadiah apa. “Nebula”
ketidakjelasan ini adalah ladang subur bagi pengkhianat dan ladang tandus bagi
produktivitas kerja nyata pemenang voting. Karena apapun hasilnya, para pengkhianat
mendapat kue tujuannya tanpa komitmen kerja totalitas (baik kerja saat pemenangan
maupun kerja nyata saat berkuasa, akan dibahas di bab “pengkhianatan komitmen”). Jangan
lupa pula nasib sang pemenang yang tidak akan leluasa bekerja nyata karena sudah tercekik
dengan hutang-hutang politiknya secara materiil dan share of power terhadap gerbong-
gerbong pengkhianat dan loyportunisnya.
Simulasi pada paragraf sebelumnya adalah contoh voting yang sangat sederhana.
Bayangkan bagaimana pertarungan politik skala besar yang melibatkan hingga ratusan
gerbong kepentingan, jutaan suara, dan banyak calon. Rasanya alfabet A sampai Z tidak
cukup untuk menjadi representasi variabel gerbong-gerbong kepentingannya. Jangan lupa
pula membayangkan berapa uang yang dihamburkan untuk “mengondisikan pasukan” bagi
para calon, serta mahalnya dana kelancaran serta pengamanan proses pemilihan umum bagi
penyelenggara. Sederhananya, sistem voting dan demokrasi secara umum, adalah sistem
yang menjaga atmosfer politik agar “seolah-olah” adil dan mewadahi semua orang tapi
16
merusak ekosistem kerja nyata dan sangat boros biaya. Kelemahan sistem ini akan dibahas
pada bab lain tentang kelemahan “demokrasi”. Bukan berarti sistem lain pasti lebih baik, tapi
setidaknya pola pikir kita tidak perlu lagi me-Nuhankan sistem voting (di mana yang banyak
pasti menang, yang banyak lebih benar dan harus dibela) serta lebih terbuka dengan
konsekuensi negatif yang ditimbulkan dengan sistem voting secara khusus atau demokrasi
secara umum.
Secara spesifik dalam konteks bab ini, demokrasi adalah sistem yang menyuburkan tumbuh
kembang pengkhianat dalam bentuk loyportunis dan bajing loncat. Karena pengkhianat akan
selalu ada dalam sistem apapun, namun tidak ada yang lebih terang-benderang daripada
peran mereka dalam sistem demokrasi, hingga bahkan dibutuhkan, dihormati, disanjung,
diperebutkan, sampai dicita-citakan orang-orang tanpa idealisme. Loyportunis dan bajing
loncat bisa menjadi opsi ideal bila kepentingan anda merupakan idealisme atau kebenaran
dan bukan ego keserakahan, di mana siapapun pemenang pemilihan bisa memfasilitasi
kepentingan anda dengan sebesar-besarnya penerapan (sebagai konsekuensi negosiasi nilai
tawar). Namun perlu diperhatikan, bahwa opsi ideal ini hanya berlaku jika gerbong anda
bekerja totalitas selama pemenangan dan pasca kemenangan, sehingga bukan menjadi
“habis manis sepah dibuang” (akan dibahas dalam bab “pengkhianat komitmen”). Gerbong
anda siap bekerja nyata, berdarah dan berkeringat, bagaikan mercenary profesional yang
selalu memuaskan kliennya yang memberi penawaran tertinggi. Opsi ideal ini memungkinkan
bila tidak ada satupun kontestan pemilihan yang memiliki core value yang sama dengan
perjuangan anda, sehingga tidak ada tempat untuk anda menjadi loyalis sejati.
Loyportunis dan bajing loncat bisa menjadi opsi amoral dengan menerapkan prinsip “habis
manis sepah dibuang” sambil memperjuangkan kepentingan ego pribadi atau golongan atas
nama keserakahan. Bagaikan politisi sulapan, simsalabim dari ada menjadi tiada, opsi yang
mudah dan menarik bagi pelacur politik, yaitu pengemis intelektual dan proletar suaka.
17
BAB IV: CURANG
Semakin Bodoh Seseorang, Semakin Sulit Ia Berbuat Curang
Penyimpangan Hanya Dilakukan oleh Mereka yang Paham Aturan
Curang adalah salah satu bentuk spesifik dari pengkhianatan. Curang bisa berarti mengakali
sistem, tidak adil dalam bertindak, atau melanggar peraturan. Apapun wujudnya, curang
secara spesifik menjadi pelanggaran dengan persiapan konsekuensi tanggungan. Apapun
konsekuensi tanggungannya, diharapkan hasilnya sedikit lebih baik daripada berpangku
tangan tanpa kecurangan. Kesesuaian kondisi dan kecerdasan diri adalah syarat mutlak
untuk keberhasilan sebuah kecurangan. Sebisa mungkin jangan sampai setelah berbuat
curang hasilnya lebih buruk daripada tidak curang. Itulah mengapa hanya orang-orang
cerdas yang bisa berbuat curang, tentunya status cerdas juga relatif dengan perbandingan
terhadap kognitif orang-orang yang hendak dicuranginya.
Jika dalam permainan sepak bola, seorang pemain lawan berpeluang besar mencetak gol,
maka anda punya pilihan untuk men-tackle lawan tersebut agar penetrasinya berhenti.
Dengan ini, peluang yang lebih besar dalam mencetak gol dengan giringan, sedikit diperkecil
dengan tendangan bebas. Bisa saja dengan pelanggaran itu anda mendapat kartu dari wasit
sedangkan tendangan bebas tadi justru berbuah gol. Tapi secara analisis peluang, hal ini
lebih fisibel daripada membiarkan penetrasi giringan bola yang berbahaya, sekalipun
mungkin justru jika giringan tersebut dibiarkan malah meleset tidak berbuah gol (plus anda
tidak diganjar kartu), bisa saja itu terjadi. Masalahnya, siapa yang tahu mana yang benar-
benar akan terjadi?
Kedua simulasi “kemungkinan” tersebut tidak bisa berjalan dalam waktu yang sama. Sedikit
meminjam teori fisika, hanya penganut paham teori “multiverse” yang menganggap hal itu
mungkin, sebagaimana madzhab “string theory” dalam fisika menjelaskan bahwa dunia ini
tidak terdiri dari alam se-mesta (Uni-verse), melainkan multi-mesta (multi-verse). Multimesta
tadi adalah manifestasi yang mewakili semua pilihan dan kemungkinan, sehingga jumlahnya
tak terbatas. Lain lagi dengan penganut teori yang melampaui 3 dimensi, di mana dimensi di
atas ruangan 3 dimensi yang terdiri dari panjang, lebar, dan tinggi, adalah waktu. Jika saja
ditemukan mesin yang mampu melihat hasil-hasil kemungkinan pasca kecurangan, baik
mesin lintas multimesta atau lintas waktu, maka analisis “real time” tidak terlalu diperlukan.
Cukup bandingkan hasil-hasil pastinya dan pilih mana yang anda suka. Namun semuanya
masih sebatas teori dan belum ada teknologi untuk menerapkannya.
18
Yang pasti, apa yang kita rasakan adalah kepastian hasil yang hanya terjadi sekali, tak bisa
diulang, dan tak bisa dibandingkan, melainkan hanya bisa dihitung besar peluangnya. Itulah
mengapa kecurangan membutuhkan kecerdasan. Karena jika seorang bodoh tidak paham
peraturan, mereka bukan hanya membuat penyimpangan yang tak perlu, tapi juga merugikan
dirinya sendiri. Padahal esensi dari kecurangan yang produktif adalah mengejar peluang
untuk menang yang tak bisa didapat dengan bermain bersih. Maka kecurangan produktif
membutuhkan kecerdasan pemahaman peraturan untuk mencari celah-celah pemanfaatan
dan meningkatkan peluang menang.
Curang bisa menjadi opsi ideal jika anda siap menerima konsekuensinya, entah nantinya
rencana anda berhasil maupun tidak. Jika anda melakukan kecurangan atas peraturan yang
sudah terpatenkan konsekuensi atau hukumannya, silakan menimbang apakah peluang
keberhasilan rencana dibalik kecurangan anda sepadan dengan resiko yang didapat. Jika
tidak ada konsekuensi yang tersepakati, perhatikan siapa yang menjadi “decision maker”-nya
jika anda melakukan kecurangan. Apakah pengambil keputusan tersebut bisa diajak
kompromi, apakah dia berhati lemah dan tidak tegas, apakah dia kaku dan proedural, apakah
sang penengah bisa “disuap”, silakan hitung peluangnya!
Jika anda berada pada pihak yang berpotensi dicurangi, siapkan atau ajukan segala
peraturan yang mencegah kecurangan yang bisa merusak kemenangan anda. Berhati-hati
pula jika kecurangan anda ternyata diduplikat lawan anda atau justru dibalas dengan
kecurangan yang lebih besar, sehingga apa yang awalnya dijanjikan sebagai arena “tinju”
(hanya boleh memukul dengan tangan), lama-lama menjadi tanding “kickboxing” (boleh
memukul dan menendang), kemudian semakin terbuka menjadi “MMA” (boleh memukul,
menendang, membanting, dan mengunci) hingga berakhir menjadi pertarungan jalanan tanpa
aturan (boleh membunuh, pakai senjata, keroyokan, dsb.). Kredibilitas penengah sangat
berperan penting dalam menjaga eskalasi kecurangan agar tidak sampai keluar kendali,
karena umumnya interaksi politik tingkat atas pasti memiliki “penengah”, baik dalam bentuk
badan kepanitiaan, golongan netral, komunitas epistemik, ataupun poros tengah
berkepentingan. Karena perbedaan tarung dalam ring dengan tarung jalanan adalah
keberadaan wasit dan/atau juri.
Menariknya, kecurangan juga bisa ditumpuk dengan kecurangan demi kecurangan lainnya,
hingga lawan dan penengah pertarungan menjadi kewalahan. Karena sama saja dengan
membuat kecurangan, menanggulangi kecurangan juga membutuhkan kecerdasan, sumber
19
daya, waktu, dan energi yang tidak sedikit. Bahkan bisa jadi akan beberapa kali lipat lebih
besar modal yang dibutuhkan untuk penanggulangan kecurangan, karena menanggulangi
sifatnya reaktif, sedangkan merencakan sifatnya inisiatif. Pihak yang reaktif cenderung harus
mengikuti alur permainan yang melakukan inisiatif (curang). Kecurangan bertumpuk ini
mungkin dilakukan jika anda memiliki superioritas yang signifikan secara kecerdasan,
sumber daya, dan loyalitas tim dibandingkan lawan dan penengah kontestasi politik anda
untuk membangun kecurangan yang masif dan sistematis. Tapi selalu ingat, curang jangan
terang-benderang, itu namanya mem-bully (bagi pemenang) atau frustrasi (bagi pecundang)!
Curang bisa menjadi opsi amoral jika anda tidak siap menerima konsekuensinya saat
rencana anda gagal. Ini sama saja dengan kecurangan destruktif, hanya sedikit lebih baik
daripada kecurangan bodoh (dia tidak tahu bahwa dia curang karena memang tak tahu
aturan). Jika anda mendapat kartu kuning, kemudian anda protes keras dengan memaki-
maki terhadap wasit, maka anda akan mendapat kartu merah. Anda akan menjadi
pecundang dua kali dan tidak layak menjadi elit politisi.
Sedangkan kecurangan bodoh itu seperti penonton / suporter yang manginvasi arena
permainan, padahal dia bahkan bukan pemain dan tidak meningkatkan peluang kemenangan
pemain yang didukungnya dalam bentuk apapun. Orang seperti ini biasanya punya syahwat
yang lebat untuk terlibat, padahal tidak punya kemampuan atau nilai tawar yang mumpuni.
Atas nama popularitas sesaat dia melakukan manuver kontroversial yang sia-sia. Hanya
untuk sesaat kemudian diusir lagi dari arena pertandingan. Anda harus jeli melihat orang-
orang seperti ini, jangan sampai berikan dia tempat dalam perjuangan politik anda. Jika
perlu, siapkan beberapa “settingan” orang semacam ini untuk berada dalam tim lawan.
Iseng-iseng memungkinkan untuk sedikit membuyarkan konsentrasi atau dijadikan bahan
ejekan untuk tim lawan. Bahkan lebih canggih, anda bisa “berkompromi” dengan sang
penengah yang bisa “disuap” atau menuntut keras sang penengah yang berhati lemah, untuk
mengganjar berat kecurangan bodoh semacam ini dengan hukuman yang signifikan hingga
bisa mengganggu peluang kemenangan tim lawan.
20
BAB V: KHIANAT KOMITMEN
TIDAK TOTAL Dalam Perjuangan
Adalah Sebentuk PENGKHIANATAN YANG DIRENCANAKAN
Karena Mengaku CAKAP dan MAMPU
Tapi Hatinya SENGAJA TIDAK MAU
Pengkhianatan dalam bentuk komitmen setengah hati adalah kasus yang cukup unik.
Biasanya pengkhianat komitmen tidak memiliki motivasi yang cukup tinggi untuk berjuang,
mereka loyo membantu kawan dan juga tidak punya cukup kebencian untuk ngotot
melawan. Namun ternyata mereka cukup oportunis sambil “iseng-iseng berhadiah” untuk
terlibat dalam suatu interaksi politik dengan peluang yang menjanjikan. Mereka seperti
seorang mahasiswa yang tidak pernah ikut kerja kelompok, namun hadir di hari penilaian
dengan tidak merasa malu sama sekali mendapatkan “cipratan” nilai hasil kerja keras teman-
temannya. Mereka tidak susah di saat kalah, karena tidak ikut bersusah payah. Namun ikut
girang di saat menang, ikut-ikutan titip kepentingan atau jabatan.
Masalah terbesar bagi pasukan politik yang memiliki orang seperti ini adalah, dia menjadi
faktor wanprestasi dalam kinerja tim. Apapun yang direncanakan tidak akan berhasil sesuai
rencana karena ada penggembosan dari dalam. Ibarat sebuah ban motor, orang ini bukan
membocorkan ban anda (pengkhianat tulen), tapi seolah-olah memompa ban anda padahal
tidak diisi angin sampai batas aman. Setelah anda percaya bahwa ban anda terisi, maka
anda akan terjungkal di tengah jalan karena “pengkhianatan komitmen” dalam memompa
ban tadi. Semakin kencang laju kendaraan anda, semakin dahsyat anda terjungkal. Semakin
besar rencana politik anda, semakin dahsyat wanprestasinya.
Prinsip dasar pengkhianat komitmen adalah tidak mau rugi, tapi mau ikut untung. Secara
pribadi, penulis tidak bisa mencarikan kompatibilitas ideal untuk pengkhianatan semacam
ini. Menurut hemat penulis, pengkhianatan macam ini lebih nista dari pengkhianatan tulen
pada bab sebelumnya. Setidaknya, pengkhianatan tulen bisa berarti loyalitas tanpa batas dan
tidak pasrah memperjuangkan kepentingan yang dibelanya. Sedangkan pengkhianatan
komitmen berarti mencari aman bagi diri sendiri sambil dengan hina membonceng yang
berjuang mati-matian. Mereka malas berjuang, menang ikut senang, kalah duduk tenang.
Sengaja merencenakan ketidaktotalan bahkan sebelum dimulainya perjuangan. Berhati-
hatilah dengan politisi semacam ini! Tarik dan uji komitmen pasukan anda dengan suatu
perkara yang anda rencanakan sendiri (“vaksin komitmen”), sehingga anda bisa
21
memverifikasi komitmen perjuangannya, sebelum mereka benar-benar terjun ke medan
politik sesungguhnya dan loyalitas mereka hanya bisa disaksikan rumput yang bergoyang.
Orang macam inilah epitome dari “musuh dalam selimut”, karena bukan hanya berkhianat
tanpa terlihat, melainkan lebih jauh dia “bermalas-malasan di dalam selimut zona nyaman”.
Mungkin ada yang berpikir bahwa khianat komitmen juga bisa digolongkan sebagai
kesetiaan terhadap diri sendiri atau golongan yang diuntungkannya sebagaimana
pengkhianatan tulen dalam bab sebelumnya, hanya saja metode yang digunakan dalam
khianat komitmen ini lebih “pragmatis sekaligus oportunis” di waktu yang sama, karena bisa
mencari peluang dan bertahan di zona nyaman secara simultan. Kemudian mengapa bab ini
tidak memiliki opsi ideal? Justru di sinilah masalah utamanya, orang seperti ini hanya akan
bisa menangkap peluang-peluang medioker untuk ukuran di levelnya karena ia tidak mau
“berkorban” bahkan dalam rencana pengkhianatannya. Sehingga potensi terbesar yang bisa
ia capai secara pribadi juga tidak akan maksimal. Akhirnya secara tidak langsung, ia juga
“mengkhianati potensi” dirinya sendiri, atau golongan, atau keluarga yang sedang
diperjuangkannya dengan hasil yang medioker, itupun kalau akhirnya menang.
Pengkhianat komitmen hanya berlaku sebagai opsi amoral dengan cara memastikan bahwa
tim politik yang membonceng anda tidak punya cukup sumber daya dan akses untuk
membuktikan wanprestasi anda. Jika anda menjanjikan sumber daya atau suara (yang tidak
anda miliki sebagiannya atau bahkan seluruhnya), siapkan seribu alasan mutakhir yang
masuk akal dan tidak bisa diverifikasi! Jika perlu tebar fitnah ke sana - kemari! Pinang
kepentingan yang masuk akal kepada tim agar mereka tidak terlalu ragu menerima anda dan
tak terlalu bertanya-tanya. Jika kalah tak mengapa, jika menang ikut tertawa.
22
BAB VI: SOMBONG
Banyak Manusia Hanya Dididik Secara Intelektual
Tapi Absen Secara Moral dan Spiritual
Sombong adalah salah satu penyakit hati manusia yang paling sulit untuk dihilangkan.
Sombong memiliki beberapa turunan sifat lainnya yang akan penulis coba deskripsikan:
1. Angkuh, merasa paling hebat, paling tinggi, paling terhormat, dan paling benar. Dia
tidak sadar bahwa dia juga punya kekurangan atau bukan orang yang berstatus
“paling” dalam sebuah forum. Seseorang yang angkuh merasa superior dibandingkan
lawan interaksinya. Dia tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Orang seperti ini terjebak
“euphoria” dalam imajinasinya sendiri, padahal orang lain menertawakannya di dalam
hati. Cara terbaik untuk menghadapi orang angkuh adalah meninggalkannya atau
lakukan persona non-grata (cuekin saja).
2. Gengsi, kebalikan dari angkuh, orang yang gengsi adalah orang yang minder dan
merasa inferior karena sadar dengan segala kekurangannya, namun tidak mau
mengakui dan bertingkah sok superior. Dia tahu bahwa dia tidak tahu. Orang seperti
ini dalam waktu lama bisa menjadi depresi atau sosiopat, karena ketidakmampuannya
bersosialisasi yang sudah ia sadari sendiri. Cara terbaik untuk menghadapi orang
gengsi adalah dengan dibalas “kecongkakan” yang disengaja hingga dia tidak lagi
punya muka untuk mempertahankan gengsinya.
3. Keras Kepala, Orang yang keras kepala akan menolak kebenaran yang datang pada
dirinya, entah karena merasa sudah paling benar (angkuh) atau egonya malu jika
mengakui kebenaran yang ditawarkan kepadanya (gengsi). Dia tidak tahu bahwa dia
tahu. Orang seperti ini membangun “pagar” yang membatasi kekurangannya sekarang
dengan potensi terbaiknya hanya karena menolak kebenaran. Cara terbaik untuk
menghadapi orang keras kepala adalah dengan memberikan bukti-bukti kuat atas
kebenaran yang anda bawa hingga dia tidak lagi punya argumen untuk tetap keras
kepala.
4. Congkak, Orang yang tinggi hati dan kerap membanggakan dan memamerkan diri
atas suatu kesuperioritasan dirinya yang memang faktanya benar demikian. Dia tahu
bahwa dia tahu. Orang seperti ini umumnya kompetitif, giat, dan ulet. Namun dia yang
ambisius juga akan menghalalkan segala cara untuk menjadi yang terbaik dalam
bidangnya, karena pengakuan dan popularitas atas keunggulan yang dia pamerkan
adalah segalanya. Cara terbaik untuk menghadapi orang congkak adalah dengan
memaksa pikirannya untuk berkompetisi dengan orang lain yang lebih hebat. Dengan
23
begitu dia akan berpikir bahwa prestasi atau kepemilikannya belum cukup untuk
membuat orang-orang kagum dengan dirinya, melainkan sibuk mengagumi orang lain
yang jadi rujukan “lebih hebat” tersebut.
Kesimpulannya, sombong adalah sifat buruk manusia yang akan menutup potensi terbaik
seseorang, menjauhkannya dari kebenaran, dan mendekatkannya dengan kehancuran karena
tidak ada nasihat dan pendapat yang mau dia terima. Namun begitu, sombong bisa menjadi
opsi ideal untuk menghadapi kesombongan lainnya. Tentunya dengan takaran yang wajar
sekedar untuk menetralkan interaksi, bukan malah membuat anda menjadi orang sombong
permanen baru yang pebih parah dari orang sombong sebelumnya. Karena jenis
kesombongan apapun itu, jika dihadapkan pada kesombongan dengan penampakan dan
bukti yang lebih hebat, maka seseorang bisa berhenti dengan kesombongannya. Walaupun
tampaknya berhenti, bisa jadi itu hanya sementara karena malu, setidaknya forum interaksi
anda di masa mendatang sudah bisa “steril” dari gangguan kesombongan orang tersebut.
Kalaupun dia belum sepenuhnya tobat, biarkan ia membawa kesombongannya di tempat
lain.
Mari kita bayangkan bagaimana buruknya keadaan suatu institusi jika anggotanya
membiarkan seseorang yang sombong dan senantiasa menjual dirinya dengan bualan. Tentu
“overselling” atas kemampuan dirinya tersebut akan menjadi resep kehancuran atas institusi
yang dipimpinnya. Jika institusi itu sebuah perusahaan, maka perusahaan itu akan bangkrut
dan menyebabkan karyawannya PHK. Jika institusi itu sebuah negara, maka negara akan
terjebak dalam krisis yang merajalela dan bisa membuat ketegangan dengan negara lainnya.
Kesombongan murni itu sendiri tentu saja merupakan sifat amoral manusia. Niat paling
sederhana dari kesombongan adalah jalan pintas jika ingin mencapai kepuasan dengan
dipuji, dihormati, dipandang tinggi, disegani, dan sebagainya. Kepuasan semacam ini adalah
serendah-rendahnya dan senista-nistanya manusia. Sombong yang amoral sejatinya
bukanlah sebuah “opsi”, karena kebanyakan manusia yang mengidap sombong telah
memilikinya tanpa kesadaran. Semoga kita segera sadar dan mawas diri jika terdapat sifat-
sifat seperti ini.
Tidak Semua Pohon Bisa Berbuah, dan Tidak Semua Buah Bisa Dimakan
Tidak Semua Orang Bisa Berubah, dan Tidak Semua yang Berubah Lantas Tiba Kemenangan
Semua Takdir Butuh Noktah, Jaya Hanya Tertunda Kalau Paham Hikmah Tanpa Dilawan
24
Anda bisa membeli pengetahuan, tapi tidak pemahaman
Anda bisa membeli jabatan, tapi tidak kehormatan
25
BAB VII: KAKU & PROSEDURAL
Kunci Kegagalan Orang Baik adalah Semua Orang Coba untuk Disenangkan
Tak Ada Manusia Tanpa Kekurangan dan Sumber Daya Tanpa Batasan
Sehebat dan Secanggih Apapun Usaha yang Kau Jalankan
Jangan Ambil Peran Takdir Soal Keberlanjutan
Hingga Seolah-Olah Tuhan Sampai Kau pensiunkan
Tak ada bayi yang lahir dengan niat buruk. Dia bisa terlahir dengan keadaan idiot (IQ rendah)
tapi tidak dengan berprinsip amoral. Idiot bisa terjadi karena tingkat kecerdasan juga
ditentukan dari kondisi kesehatan organ otak, namun seseorang hanya bisa menjadi amoral
hingga psikopat atau sosiopat dikarenakan “trauma” nilai-nilai yang ia pelajari di
lingkungannya saat bertumbuh kembang. Tidak ada orang yang tiba-tiba cinta kekerasan jika
selama masa kecilnya ia tidak terpapar dengan kondisi-kondisi kekerasan. Mungkin terjadi
KDRT di rumahnya, mungkin ia di-bully (pelonco) di sekolah, atau mungkin terlalu sering
menonton film berisi adegan kekerasan. Dengan intensitas tertentu, paparan nilai sehari-hari
inilah yang membuat seseorang bisa menjadi pemarah, sombong, pengecut, tamak, dsb.
Bahkan beberapa kasus ekstrim bisa membuat seseorang sampai mengidap gangguan
mental neurosis, seperti sado-masokis, OCD, kanibal, pedofil, fobia, dll.
Bagi seseorang yang terdidik atau terbiasa dengan lingkungan ideal sering kali sulit
memahami motif dan urgensi orang lain yang “terpaksa” bertindak amoral. Misalnya, banyak
masyarakat awam yang jengkel dengan kaum politisi elit yang lumrah berpraktik korupsi,
seakan-akan mereka bisa lebih baik jika berada di posisi serupa. Padahal praktik korupsi di
tataran elit tidak semata-mata hanya urusan ketamakan belaka, melainkan sudah tuntutan
sistem yang serba salah (baca lengkap bab “demokrasi”). Contoh lain yang lebih sederhana,
misalnya ada orang kaya yang suka menghardik kaum tuna wisma karena berperilaku yang
mungkin dianggap tidak etis oleh si kaya. Banyak dari mereka yang lupa bahwa hidup di
dunia ini tidak sama dengan taman surga. Mereka tidak berinteraksi dengan malaikat yang
sempurna, melainkan harus saling bertukar kepentingan dengan manusia yang penuh
kekurangan, kebutuhan, dan keinginan. Sedangkan di saat yang sama, tidak semua manusia
26
memiliki kemampuan untuk memenuhi kepentingannya melalui cara-cara ideal. Ada orang
yang harus mencuri buah dari pohon tetangga karena lapar yang tertahankan, hingga oknum
politisi yang melakukan kecurangan dalam pemilu untuk memenuhi syahwat jabatan dan gila
hormatnya.
Orang-orang yang hidupnya lempeng-lempeng saja (serba mapan, minim ambisi, jarang
disakiti, dsb.) akan sulit memahami orang lain dengan urgensi kepentingan yang sudah
disebut di atas. Karena dia tidak mengerti bagaimana kondisi hidup orang lain yang penuh
turbulensi (ekonomi naik-turun, punya mimpi besar, sering berkompetisi, dsb.). Urgensi
mereka telah memaksa untuk saling memperebutkan sumber daya yang terbatas, baik
keterbatasan finansial, material, jatah kursi jabatan, peringkat prestasi suatu kompetisi, dsb.
Banyak orang bermimpi jadi presiden, namun jatah kursi presiden hanya ada satu di setiap
negara. Ribuan orang ingin menjadi anggota dewan, namun jatah kursi legislatif hanya
beberapa ratus atau puluhan saja. Kepentingan-kepentingan semacam inilah yang memicu
timbulnya sifat dan sikap buruk manusia dalam berinteraksi politik, sebagaimana banyak
dibahas pada level pertama buku ini.
Orang yang hidupnya lempeng-lempeng saja, bukan berarti tidak punya kepentingan, namun
wujud kepentingan mereka terbatas pada suatu pencapaian yang non-kompetitif. Beberapa
dari mereka merasa cukup dengan kondisi aman, tenang, nyaman, tentram, dan serba
medioker, yang penting kebutuhan pribadi dan keluarganya terpenuhi. Orang seperti ini tidak
akan mati-matian memperjuangkan idealisme atau kebenaran yang dianutnya, namun tidak
juga berpikir amoral untuk memuaskan hasrat gila hormat, tamak harta, atau rakus jabatan.
Namun ada juga orang yang termotivasi untuk berbuat lebih memperjuangkan idealisme dan
kebenaran yang dianutnya, namun dengan pemikiran yang kaku dan prosedural. Orang-orang
seperti ini berprinsip bahwa, “tidak ada sapur kotor yang mampu membersihkan”. Padahal
menyapu lantai yang sangat kotor dengan sapu yang sedikit kotor masih memiliki efek
pembersihan, sekalipun tidak sempurna. Dan memang, tidak ada yang sempurna! Tidak ada
sapu yang senantiasa bersih setelah sapuan pertamanya dan tidak ada kain pel yang tak
perlu dibilas. Sejatinya, Tidak ada hal yang sempurna baik atau sempurna buruk. Akan selalu
ada sekian takar keburukan dalam setiap kebaikan, dan akan selalu ada sekian takar
kebaikan dalam setiap keburukan. Maka, berani kotor itu baik! Asalkan bukan suka kotor-
kotoran.
27
Orang yang kaku dan prosedural ingin semuanya berjalan sempurna dan bersih, tidak ada
ruang lentur untuk negosiasi dan diskresi (baca bab “kebijaksanaan”). Dia akan menganggap
semua orang semapan dirinya, memiliki pemahaman, kebiasaan, dan adab yang setara,
punya niat setulus dirinya, punya kemerdekaan finansial yang mencukupi, serta tidak berpikir
untuk membuka opsi-opsi amoral sebagai jalan pintas pemenuhan kepentingannya. Mereka
berhalusinasi bahwa seakan-akan seluruh dunia punya dedikasi untuk “fair play” berjamaah.
Orang-orang kaku yang berjuang ini akhirnya akan bingung dan kecewa dengan sikap orang
lain yang tidak sesuai ekspektasinya. Dia merasa sudah berniat tulus dan berkorban banyak,
tapi banyak pencapaiannya yang tidak cukup diapresiasi. Ironisnya, hal ini terjadi karena
memang sering kali membela kebenaran dan idealisme itu tidak memberikan manfaat instan
terhadap orang lain, padahal mereka itulah orang-orang yang punya agenda kepentingan
untuk dipuaskan dengan segera.
Dalam bab “keadilan” telah dibahas bahwa adil itu bukan berarti sama rata sama rasa. Anda
tidak akan bisa untuk mencoba menyenangkan semua orang, melainkan akan selalu ada
yang disenangkan dan yang dikorbankan (baca bab “kebijakan”), hanya masalah takaran dan
kesenjangannya saja yang diukur agar dianggap wajar. Dalam interaksi politik yang
berurusan dengan manusia lain, sangat sulit untuk berhasil memenangkan hati orang lain
atau mendapat suatu kekuasaan hanya dengan menjalankan segala sesuatunya dengan
“wajar”. Orang yang kaku dan prosedural seakan sedang mengikat kedua tangan dan kaki
mereka sendiri saat berhadapan dengan orang yang pragmatis dan oportunis, yaitu orang-
orang yang siap bermanuver bebas dengan seluruh anggota tubuhnya tanpa terikat. Manusia
harus belajar untuk berkompromi dengan nilai-nilai idealismenya demi membuka kesan yang
ramah dan terbuka, sehingga orang lain juga mau berkompromi untuk menerima nilai-nilai
idealisme dan kebenaran yang ditawarkannya (baca bab “kebenaran & pertentangan”).
Setelah orang lain terbuka dan percaya, barulah persuasi dan nilai tawar mulai diasupkan
dengan bertahap agar idealisme anda bisa mulai mendominasi.
Jika seseorang sudah kaku dari awal, maka orang lain akan menganggapnya sebagai pribadi
yang angkuh dan eksklusif. Sehingga, sebenar dan seideal apapun perjuangan yang anda
bawa, tidak akan bisa tersampaikan dalam interaksi politik anda. Kaku dan prosedural hanya
bisa menjadi opsi ideal bagi orang-orang yang bekerja dalam sistem dengan tupoksi yang
kaku pula, seperti militer, manajer perusahaan, buruh pabrik, dsb.
28
Kaku dan prosedural akan menjadi satu-satunya opsi amoral yang “tidak disadari” oleh
pelakunya. Karena ia berpikir telah bertindak benar dan ideal, padahal ia sedang merugikan
dirinya sendiri dan orang lain. Merugikan diri sendiri karena ia telah membuang energi,
waktu, dan materi untuk perjuangan yang tidak akan berhasil. Sedangkan merugikan orang
lain karena ia akan menjadi tembok penghalang bagi orang-orang yang ingin memenuhi
kepentingannya dengan cara amoral. Orang yang kaku hanya akan dibenci oleh orang-orang
yang “normal”, maksudnya adalah orang-orang yang terbiasa dengan suatu nilai amoral
tertentu hingga dipraktikkan secara bersama-sama. Orang yang kaku karena “benar-benar
benar” akan sama dibencinya dengan orang yang “benar-benar salah”. Contoh, Sekelompok
mahasiswa menjadwalkan rapat organisasi pada jam 4 sore. “Normalnya” kelompok
mahasiswa ini dalam menghadiri jadwal adalah terlambat 10-20 menit. Orang yang hadir
tepat waktu tentu akan kecewa karena terbuang waktunya dan harus menunggu
keterlambatan yang dianggap “normal” tadi. Jika si kaku yang tepat waktu ini
mengungkapkan kekecewaannya, maka dia akan dicecar balik dengan kata-kata “sok rajin,
songong, belagu, tidak toleran, dsb.” Kebencian yang diterima si kaku yang tepat waktu
(benar-benar benar) akan hampir sama kadarnya dengan seseorang yang hadir rapat setelah
lewat berjam-jam dari jadwal aslinya, kita sebut saja si super telat (benar-benar salah).
Fenomena ini adalah bentuk pertahanan diri dari “zona nyaman” atas kebiasaan yang
dianggap “normal” oleh suatu golongan tertentu. Maka orang-orang yang kaku dan
prosedural adalah sosok yang sama dibencinya dengan orang-orang pembuat onar.
29
BAB VIII: YES MAN!
Jangan Menasihati Orang yang Tidak Minta Bantuan
Biarkan Ia Tenggelam dalam Ketidaktahuan
Kala Niat Baik Salah Dialamatkan
Kawan Bisa Berbalik Tanpa Pamitan
Sudah menjadi naluri manusia untuk membagi kebahagiaan dengan menolong atau
membantu orang lain, terutama jika sudah memenuhi kebutuhan dan kebahagiaannya
sendiri. Merekalah yang disebut “dermawan”, walaupun bentuknya tidak harus uang. Di sisi
lain, orang yang menderita suatu kesulitan untuk memperjuangkan kebutuhan dan
kebahagiaan orang lain bisa disebut “berkorban”. Lebih jauh lagi, orang yang menderita suatu
kesusahan untuk memenuhi keinginan atau ego ketamakan orang lain bisa disebut dengan
“dimanfaatkan”. Adapula tipe orang yang menderita kesusahan demi menjatuhkan orang
lain, sifatnya bisa disebut “kedengkian”. Sedangkan orang yang mendapat keuntungan
dengan menjatuhkan orang lain bisa disebut “penghasutan”.
Kedengkian dan penghasutan adalah manifestasi hati amoral yang sudah cukup diwakilkan
pada pembahasan bab-bab lainnya dalam level pertama ini yang membahas sifat dan sikap
buruk manusia. Sedangkan bab “yes man” ini (serta bab “kaku dan prosedural”) khusus akan
membahas orang-orang dengan niat baik, sebagaimana tadi disebut dengan: dermawan,
berkorban, dan dimanfaatkan. Mereka adalah orang-orang yang menemukan kebahagiaan
atau kepuasan dibalik kesulitannya. Setidaknya begitulah perasaan awalnya, hingga terjadi
sesuatu buruk yang tidak diduganya. Mereka sulit menolak tawaran orang lain, entah
tawaran itu nantinya berakhir baik atau buruk bagi dirinya.
“YES MAN” juga sulit untuk menahan diri dalam menolong orang lain, entah orang tersebut
layak ditolong ataupun tidak. Di masa kecil, kerap kali kita terdidik untuk memberi
pertolongan tanpa pamrih dan tanpa harus diminta. Seakan dengan setiap inisiatif bantuan
kita, segala masalah di dunia ini akan menjadi lebih mudah dan antar manusia akan secara
sadar saling menghargai pengorbanan orang yang membantunya. Semakin dewasa, kita
menemukan bahwa faktanya tidak selalu demikian. Steve Jobs pernah berkata bahwa
kesuksesan seseorang terletak pada kemampuannya untuk berkata “tidak”, yaitu menolak
untuk dibantu atau membantu terkait hal-hal yang di luar fokus ambisinya. Jangan sampai
anda menjadi “yes man”, bagaikan keset yang selalu setia berucap “welcome” walaupun
terus diinjak-injak. Bab ini akan mengulas bahwa ternyata sesekali manusia harus menjadi
30
“raja tega”. KarenaYES MAN hanya bisa menjadi opsi ideal jika dilakukan pada era
perbudakan. Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan jika anda ingin memberi
pertolongan kepada orang lain dalam interaksi kehidupan sehati-hari.
BERHENTI MENOLONG ORANG YANG TIDAK LAYANG DITOLONG. Sam Levenson berkata,
“Saat anda tumbuh dewasa, anda akan menyadari bahwa anda punya dua tangan, satu untuk
menolong diri anda sendiri, satu lagi untuk menolong orang lain.” Orang-orang yang tidak
layak ditolong adalah orang yang kerap kali melakukan “undervalue” atas bantuan yang anda
berikan. Mungkin ia merasa semua pengorbanan anda cukup dihargai dengan ucapan terima
kasih, bahkan beberapa diantaranya tidak tahu terima kasih. Anda harus memiliki batasan
yang jelas atas faktor-faktor pertolongan anda: apa yang anda korbankan dan seberapa
besar, bagaimana hasil pencapaiannya, seberapa sering orang itu anda bantu, serta apa
timbal balik dari orang tersebut.
Sebagaimana penulis uraikan di atas, menolong kebutuhan orang lain bisa disebut dengan
“berkorban”. Konsep “berkorban” ini, bersamaan dengan “dermawan”, layak anda lakukan
dengan tanpa pamrih. Namun anda juga perlu memahami bahwa pengorbanan itu pada
waktunya akan mulai terasa memberatkan anda, terutama jika dilakukan berulang-ulang.
Bisa jadi anda malah sedang dimanfaatkan. Mudah untuk sakit hati dan meninggalkan orang
yang tidak tahu terima kasih (kecuali orang yang sedang dilanda cinta atau loyal buta),
namun resah hati selalu bisa mengganggu anda terhadap orang yang tidak bisa membalas
pengorbanan anda yang kesekian kalinya selain ucapan terima kasih. Selain memberatkan
anda, pertolongan yang berulang-ulang ini juga akan menciptakan ketergantungan dari orang
yang anda tolong dan membuat mereka sulit terasah untuk mandiri.
Ciri-ciri mereka adalah orang yang selalu meminta pertolongan tanpa peduli kondisi anda.
Mereka akan berkali-kali mengajak anda bertemu di tempat-tempat yang cukup
memberatkan anda. Tak perlu berharap banyak soal “tarif konsultasi” atau “bagi kue” dalam
sebuah proyek atau kontestasi politik, bahkan untuk menraktir kopi atau makan saja ia
keberatan (kalaupun ada hanya sesekali, tidak sebanding dengan frekuensi pertemuan). Dia
mungkin lupa atau bahkan tidak mau tahu, bahwa anda juga punya jadwal sendiri, anda
punya kepentingan dan mimpi pribadi yang harus dikejar, anda punya akuntabilitas atas
keuangan diri yang tidak bisa sembarangan dihamburkan untuk membantu kebutuhan
materiil atau membeli makan/minum hingga modal entertain selama bertemu secara terus-
menerus. Orang seperti ini bagaikan “spesialis gratisan” atau “spesialis terima kasih”.
31
BERHENTI MENOLONG ORANG YANG TIDAK PEDULI PADA ANDA. Hal ini sering terjadi juga
pada orang-orang yang dilanda cinta dan loyal buta. Sering kali juga terjadi pada orang-orang
yang mencoba menjilat penguasa. Semua modal ia kerahkan, padahal ia sedang
dimanfaatkan. Semua orang akan mengeksploitasi anda jika anda mengijinkannya. Untuk
menghindari itu, segera perjelas “value” anda! Banyak hal yang terlalu besar untuk dibalas
dengan sekedar ucapan terima kasih, terutama jika pertolongan anda ternyata membuahkan
penghasilan materiil yang besar atau mengantarkan seseorang menduduki sebuah jabatan.
Bentuk kompensasi “value” bantuan anda tidak harus selalu dinilai dengan uang, anda bisa
mengajukan banyak alternatif yang kreatif. Mungkin anda bisa mengajukan saham untuk
bantuan aktiva terhadap suatu perusahaan, anda bisa meminta space beriklan dalam sebuah
acara yang mengundang anda sebagai pembicara, anda bisa meminta komitmen jatah kursi
atau proyek untuk seorang politisi yang sedang mencalonkan diri, dsb.
Poin kepedulian orang yang anda tolong terhadap anda menjadi sangat penting karena tiga
hal. Pertama, anda akan mengeliminasi orang-orang yang tidak layak anda bantu karena
mereka dari awal memang sudah tidak peduli dengan anda. Apapun bentuk bantuannya dan
sebesar apapun pengorbanan anda, mereka tidak akan menghargainya. Apalagi jika bantuan
itu bersifat abstrak, misalnya seperti nasihat konsultasi, mereka akan menolaknya mentah-
mentah karena tidak percaya dengan kredibilitas anda. Ilmu dan keahlian yang anda kais
dengan susah payah hanya akan berakhir menjadi sampah. Poin ke dua adalah, anda hanya
akan menolong orang-orang yang benar-benar layak serta bisa memanfaatkan pertolongan
anda menjadi hasil yang diharapkan, artinya pertolongan anda tidak akan sia-sia. Ke tiga,
orang yang peduli dengan anda akan memahami “value” anda. Kalaupun ia bernegosiasi
untuk bentuk dan jumlah kompensasi value tersebut, anda akan menerima timbal balik yang
relatif lebih layak daripada sekedar terima kasih. Karakter Joker dalam film Dark Knight
berpesan, “Kalau anda ahli dalam sesuatu, jangan pernah melakukannya cuma-cuma”.
Karena orang yang menerima bantuan anda secara gratis atau tanpa konsekuensi, maka ia
tidak memiliki beban dalam memanfaatkan bantuan anda sebaik-baiknya. Sebaliknya,
bantuan yang berbayar atau memiliki konsekuensi tertentu, akan “memaksa” orang yang
dibantu untuk melakukan performa terbaik dalam memanfaatkan bantuan anda, karena dia
sudah “berinvestasi” atau “berkorban” (misalnya membayar tarif konsultasi atau
menanggung biaya pertemuan) untuk mendapatkan pertolongan anda.
INGATLAH BAHWA ORANG PERTAMA YANG HARUS ANDA TOLONG ADALAH DIRI ANDA
SENDIRI. Jika sebuah pesawat mengalami turbulensi dan penurunan tekanan udara, maka
32
para pramugari berpesan kepada para orang tua agar memasang masker oksigen untuk
dirinya sendiri dulu, baru menolong anaknya. Karena jika orang tua menolong anaknya
terlebih dahulu, bisa jadi ia tidak akan punya cukup energi tersisa untuk menolong dirinya
sendiri. Sang anak hanya bisa menonton, karena dia saja tidak merdeka untuk menolong
dirinya sendiri, apalagi menolong orang tuanya. Anda sebagai pemberi bantuan berarti
menjadi pihak yang dianggap lebih merdeka, mapan, dan memiliki “extra value” dibandingkan
orang-orang yang anda bantu pada urusan tertentu. Oleh karena itu, anda harus menjaga
kualitas diri dan keberlangsungan hidup anda agar bisa terus-menerus menebar manfaat
seiring waktu (kepada orang-orang yang layak mendapat pertolongan anda). Sangat naif dan
bodoh jika seseorang mengorbankan segalanya dalam memberikan sebuah bantuan hingga
ia sendiri menjadi pincang dan berpindah peran menjadi “hamba” yang butuh pertolongan.
Karena seyogianya menolong orang adalah untuk memuaskan batin seorang manusia yang
merasa dihargai karena dibutuhkan dan puas atas kebermanfaatan. Sehingga jika memberi
pertolongan menjadikan anda tidak bahagia (apalagi kesusahan), maka hentikanlah
pertolongan anda! Apalagi jika anda sedang dimanfaatkan, atau boleh jadi anda menolong
orang yang tidak butuh pertolongan.
JANGAN TOLONG ORANG LAIN JIKA ANDA TIDAK MEMILIKI KEMAMPUAN. Bantuan anda
justru berpotensi mengacaukan urusan mereka menjadi lebih rumit. Hanya karena niat baik
anda untuk menolong, tanpa kemampuan yang mumpuni, bukan berarti masalah orang lain
akan menjadi lebih baik. Ada baiknya dalam beberapa keadaan yang anda bukan ahlinya,
anda memberi dukungan moril atau mendoakan orang tersebut untuk menunjukkan bahwa
setidaknya anda peduli secara tulus, tanpa mengambil resiko yang merugikan hubungan
kedua belah pihak (baik personal maupun profesional). Suatu tindak kebaikan yang acak bisa
merubah hidup seseorang menjadi lebih baik, sekaligus berpotensi menghancurkannya pula.
33
JANGAN TOLONG ORANG LAIN JIKA ANDA TIDAK SIAP 100%. Dalam memberikan suatu
pertolongan akan ada konsekuensi periode dan komitmen yang harus dijalankan agar
pertolongan tadi bisa bermanfaat. Jika anda membantu seseorang yang mengganti bola
lampu di atap dengan menahan sebuah tangga, maka sebaiknya anda menahan tangga itu
sampai selesai. Jika anda berhenti menahan tangga itu di tengah jalan, maka orang yang
anda tolong malah bisa jatuh dan terluka. Jika anda tidak siap menahan tangga tersebut
sampai selesai, setidaknya biarkan orang itu mencari pertolongan dari orang lain. Karena
bantuan yang setengah-setengah tersebut akan jauh lebih merugikan yang anda tolong
daripada sebelum anda tolong sama sekali. Dalam contoh tadi, lebih baik bola lampu yang
mati ditunda untuk diganti daripada ia harus cedera karena jatuh dari tangga. Walaupun anda
memiliki keahlian yang dibutuhkan, belum tentu anda memiliki jadwal atau materiil yang
dibutuhkan untuk menuntaskan pertolongan. Sampaikan permintaan maaf kepada orang
yang mengharapkan pertolongan anda dan beri pemahaman bahwa anda juga sedang
disibukkan oleh suatu urusan penting atau punya suatu keterbatasan untuk menolong secara
tuntas.
Para YES MAN sering kali tak sadar, bahwa dengan menolong orang yang salah berarti dia
melewatkan kesempatan untuk menolong orang yang benar. Sehingga secara tak sadar pula
dia terjebak dalam kondisi amoral yang serba merugikan, akibat kepolosan (kebodohan) niat
baiknya sendiri. Ataupun jikalau dia sadar bahwa dia sedang dimanfaatkan, dia tidak cukup
berani untuk menegaskan “value” dirinya. Dia bagaikan “kotak P3K” yang hanya dicari oleh
orang-orang yang “terluka” oleh masalah mereka, dan setelah itu hanya menjadi “pajangan”
hingga muncul “luka” masalah selanjutnya.
34
BAB IX: BODOH
Politisi Sok Kritis, Maunya Hanya Bicara
Fakir Menulis, Miskin Membaca
Malas Berpikir itu Penyakit Kronis, Takut Berpikir itu Bencana
Orang bodoh adalah orang yang tak tahu atau tak mampu akan sesuatu. Seseorang “pasti”
pintar di suatu bidang sekaligus bodoh pada suatu bidang yang lain. Sejenius apapun
seseorang, dia pasti tidak banyak tahu akan suatu bidang di luar fokusnya. Di sisi lain, seidiot
apapun seseorang, dia pasti mengetahui suatu bidang lebih baik daripada orang-orang yang
sama sekali tidak mengetahuinya. Albert Einstein berkata, “Semua orang (sejatinya) adalah
jenius, namun jika kita menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka dia
akan percaya seumur hidupnya bahwa dia bodoh.” Sederhananya, semua orang memiliki
potensinya masing-masing yang tidak perlu dipaksakan (kalaupun boleh diarahkan), jangan
juga disia-siakan seluruhnya (kalaupun boleh memprioritaskan sebagiannya). Cukuplah
berfokus menekuni bidang yang ingin diahlikan, maka dia akan “lulus” dari kebodohan yang
ingin “dihindarkan”.
Pengetahuan dan kemampuan seseorang yang menjadi potensi “kepintaran” orang itu,
adalah modal bagi dia untuk berniat, berucap, berpikir, dan bertindak secara benar.
Sebaiknya jika seseorang memaksakan ketidaktahuan dan ketidakmampuannya (bodoh)
pada suatu bidang, maka niat, ucapan, pikiran, dan tindakannya akan menjadi salah untuk
keberlanjutan bidang itu. Salah satu hal kebodohan paling berbahaya yang bisa terjadi pada
manusia adalah “bodoh politik” (buta politik atau berstatus apolitis). Bahaya yang mengintai
bisa dibagi menjadi dua implikasi, yaitu internal dan eksternal. Implikasi internal berarti
dampak terhadap dirinya sendiri yang bodoh politik. Jika dia buta politik, maka afiliasi
politiknya akan salah kaprah dan menjadi “zombie” yang sangat mudah tergiring arus agitasi-
propaganda titipan penguasa atau fitnah oposisi petahana (baca bab “agitasi-propaganda”).
Sedangkan orang yang apolitis berarti melakukan “pembiaran” terhadap kezaliman politis di
sekitarnya. Keduanya akan menghasilkan “kelancaran” bagi para politisi yang menjalankan
agenda liciknya.
35
Kita akan membahas lebih banyak tentang orang-orang yang bodoh politik dengan implikasi
eksternal, yang berarti dampaknya terhadap orang lain. Bahaya mengintai jika dia suatu saat
menjadi politisi elit, namun masih “bodoh” untuk standar di level arena permainannya. Inilah
orang-orang “angkuh” (baca bab “sombong”) yang sedang aji mumpung. Bisa saja mereka
berangkat dengan niat yang baik dan tulus. Tapi dengan kebodohannya, niscaya mereka
hanya akan diperalat oleh para dalang di balik layar yang menitipkan “pesanan” (baca bab
“dibalik layar”) hingga niat tulus mereka akan berbelok di tengah jalan. Seyogianya dalam
kondisi normal, orang bodoh akan kalah dengan orang pintar. Jadi seyogianya pula kita tak
perlu khawatir dengan politisi bodoh yang mencoba peruntungannya (walaupun kita tetap
perlu khawatir dengan politisi pintar yang semena-mena, tapi tidak dibahas dalam bab ini).
Namun pada kenyataannya, arena politik praktis tidak hanya mempertandingkan satu
variabel kemampuan, yaitu bodoh atau pintarnya ilmu dan kemampuan politik seseorang,
melainkan variabel lain seperti kepemilikan harta, status sosial, nasab keturunan, pangkat
dan jabatan, gelar akademik, dsb (baca bab “kapital”). Hal ini bukan berarti orang kaya, tokoh
terpandang atau keturunannya, pejabat bergengsi, serta akademisi non-politik dilarang
menjadi politisi elit. Namun banyak di antara mereka yang menjadi “politisi karbitan” dengan
kapitalnya masing-masing tadi, mencoba peruntungan di arena politik tanpa pengetahuan
dan kemampuan politik yang mumpuni. Mereka yang akhirnya menang dan menjabat dalam
kondisi demikian, maka akan menghancurkan cita-cita luhur dari pemerintahan untuk
menyejahterakan (dibahas lengkap pada bab “demokrasi dan pemerintahan”). Oleh karena
itu, tak ada opsi ideal apapun untuk menampung sebuah kebdohan!
Politisi Pintar atau bodoh pada awalnya akan memiliki persamaan, bisa jadi berawal dengan
niat ideal membawa agenda mulia perubahan dan pembangunan, atau sekedar memenuhi
hasrat amoral yang belum kesampaian. Tapi berbeda dengan politisi pintar, dengan
kebodohan politiknya dia tabrak sana dan senggol sini. Mereka tidak punya jurus intrik yang
cantik, selain hanya sikut kanan dan tampar kiri. Orang seperti ini bukan berarti pasti “gagal”
dalam perebutan kekuasaan. Namun, setinggi apapun pencapaian dan jabatannya, mereka
hanyalah orang-orang yang menjadi boneka bagi mereka yang duduk di balik layar yang jauh
lebih pintar (baca bab “di balik layar”).
Kebodohan adalah amoral yang paling fundamental (ketiadaan moral, bukan lagi moralitas
buruk), karena semua orang terlahir dalam garis “start” yang sama bodohnya, di mana
kondisi ideal dan pilihan moral belum bisa dipilih sama sekali. Tinggal bagaimana orang itu
36
mau belajar agar menjadi pintar, atau bisa jadi ia terjebak dalam belenggu keangkuhan (baca
bab “sombong”) hingga sekaligus mempertahankan kebodohannya di waktu yang sama.
Tentunya bodoh adalah salah satu opsi amoral yang sama sekali tidak menarik karena tidak
mengandung unsur yang menguntungkan. Seseorang boleh salah atau khilaf sesekali, tapi
tidak boleh mempertahankan kebodohan! Karena orang ideal dan amoral sama-sama benci
dengan kebodohan (untuk dirinya sendiri). Kalaupun sifat “bodoh” ada manfaatnya bagi
orang amoral, tentunya dengan mengeksploitasi kebodohan orang lain dan bukan dirinya
sendiri yang menjadi bodoh.
37
LEVEL 2 : PETA POTENSI DIRI
BAB X : Kapital
BAB XI : Niat & Konsistensi
BAB XII : Kepemimpinan
BAB XIII : Mawas Diri
BAB XIV : Memantaskan Diri
PRATINJAU
Pada level ke dua ini kita akan membahas beberapa peta potensi diri yang yang selayaknya
harus dimiliki oleh para politisi. Tema peta potensi diri dipilih sebagai tahap “pertimbangan
atau perenungan” pembaca buku ini sebelum benar-benar berkomitmen untuk mendalami
dunia politik praktis. Karena pada level-level selanjutnya, pembaca disarankan memiliki
kesiapan mental dan batin untuk menghadapi kerumitannya. Walaupun pembahasan tentang
politik pada level selanjutnya tetaplah sah-sah saja dibaca semua kalangan, namun motivasi
orang-orang yang berminat dalam politik praktis dibandingkan orang yang hanya sekedar
ingin tahu, tentulah berbeda. Maka level ini akan mencoba mempersiapkan posisi pendirian
anda untuk membaca level-level selanjutnya.
Dengan tingkat kesulitan menengah, Contoh-contoh yang ditampilkan dalam level ini relatif
bisa dipahami dengan sedikit berpikir kritis. Segmentasi pembaca untuk level ini menjangkau
kalangan yang mencoba menjadi politisi pemula, atau orang-orang berambisi yang ingin
memantapkan pencarian jati diri hingga mereka yang sedang mengejar mimpi.
38
BAB X: KAPITAL
Tak Ada Gunung Terlalu Tinggi untuk Didaki
Tak Ada Laut Terlalu Dalam untuk Diselam
Tak Ada Lawan Terlalu Mapan untuk Dilawan
Hanya Soal Waktu, Tahu, Mampu, dan Mau
Seorang bayi yang tak berkemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri, hanya bisa
merengek dan menangis sebagai sinyal agar kebutuhannya bisa dipenuhi oleh orang tuanya.
Hingga seiring waktu ia belajar berbicara, berjalan, dan menyempurnakan fungsi motorik
lainnya untuk sedikit demi sedikit memenuhi kebutuhannya sendiri, walaupun belum selalu
bisa mandiri sepenuhnya. Yang dulunya ia disuapi, nantinya bisa mendulang makan sendiri,
sekalipun uang untuk membeli makanannya masih dinafkahi orang tuanya. Sederhananya,
setiap manusia memiliki insting untuk memenuhi kebutuhannya pribadi, baik secara mandiri
maupun ketergantungan. Hal ini lumrah sebagai salah satu sifat umum seluruh makhluk
hidup, baik manusia ataupun makhluk lainnya, untuk bertahan hidup.
Semua modal kehidupan seorang manusia bermula dari kondisi tumbuh kembangnya.
Setidaknya ada empat modal yang terwariskan dan menjadi landasan berpijak menuju
kedewasaannya, di mana penulis menyebutnya sebagai “4 kapital asasi” sebagai berikut:
1. GENETIK. DNA sebagai kode genetik pembangun wujud biologis manusia akan
menentukan apakah seseorang lahir sempurna atau cacat, sehat atau sakit, normal atau
mutasi, berumur panjang atau pendek (regenerasi sel internal, bukan maut karena faktor
eksternal), pria atau wanita, tinggi atau pendek, kuat atau lemah, bakat gemuk atau kurus,
berwarna kulit apa, berjenis rambut apa, memiliki ras apa, dsb. Faktor genetik ini tidak bisa
diwakilkan orang lain selain orang tuanya sendiri. Entah sang anak nantinya “dibuang” oleh
orang tuanya, atau menjadi anak angkat keluarga lain, atau tinggal di panti asuhan, kode
genetik tidak akan mengkhianati pabrik produksinya. Seseorang yang terlahir dari silsilah ras
negroid tidak akan tumbuh dengan wajah seorang kaukasia, hanya karena mungkin ia diasuh
oleh orang kaukasia.
2. EKONOMI. Seorang bayi yang hanya bisa memberi sinyal tangis tentu tidak memiliki
kemampuan apapun untuk membangun perekonomian. Seorang manusia yang belum
bekerja, bisa dikatakan kaya atau miskin hanya bergantung pada kondisi keluarganya. Bill
Gates pernah berkata, “Jika anda lahir miskin, itu bukan salah anda. Jika anda mati miskin,
39
itu salah anda.” Tak heran jika kata mutiara ini menjadi salah satu “holy words” bagi
golongan entrepreneur. Masa kanak-kanak yang kaya, bisa membuat seseorang terlena dan
foya-foya hingga bangkrut setelah peninggalan orang tuanya, atau menjadi katalis untuk
pencarian ilmu dan pengasahan kemampuannya menjadi lebih kaya dari orang tuanya
dengan masuk ke sekolah terbaik, membeli peralatan tercanggih, dan membangun sistem
yang efisien. Sedangkan masa kanak-kanak yang miskin, bisa membuat seseorang berputus
asa dan mengiba-iba seumur hidup, atau menjadi cambuk motivasi untuk keluar dari lubang
kemiskinan untuk dirinya, orang tuanya, pasangan dan anak-anaknya di masa depan.
3. SOSIAL. Berbeda dengan kode genetik, modal sosial adalah proses yang dipupuk pasca
kelahiran seorang bayi. Sehingga menjadi mungkin, misalnya seseorang yang lahir dari
silsilah ras tiong hoa kemudian berbicara bahasa arab karena diasuh oleh keluarga arab
(sekalipun wajahnya tidak berubah menjadi arab). Sejak bayi, seorang manusia akan
menangkap pelajaran dari apapun yang dilihat, didengar, dirasa, dan dirabanya. Dia akan
mempelajari apa yang wajar dan kurang ajar, dia akan menganalisa apa yang baik atau
buruk, dia akan memilah mana yang benar dan salah. Suatu paradigma dalam kepalanya
hanya mampu terbandingkan oleh paradigma lain dengan pembawa pesan yang sama
kuatnya atau lebih kuat dari pembawa pesan paradigma lamanya. Misal, pesan-pesan
kehidupan orang tua seorang anak dari suatu kampung akan mulai dibandingkan dengan
ajaran dosen filsafat atau sosiologi yang mengampunya dari kampus ternama di kota besar,
atau bisa jadi dibandingkan dengan ceramah-ceramah keagamaan yang ditonton online.
Sejatinya, paradigma sosial itu selalu dinamis dan berubah. Karena dari manapun sumber
paradigma tersebut (baik gagasan, konsensus inter-subjektif, teori sains, wahyu agama),
pastilah disampaikan oleh manusia yang juga punya keterbatasan pemahaman, baik
terhadap diri dan lingkungannya sendiri, apalagi di luar lingkungan atau pengalamannya.
Sehingga, sekuat apapun doktrin orang tua, guru, dosen, pemuka agama, ilmuwan, tokoh
terpandang, pejabat, sahabat, dll., akan selalu bisa dibanding dan dipertandingkan.
Seseorang akan selalu memilih paradigma mana yang paling relevan dengan kondisi pribadi
dan masyarakat sekitarnya, baik secara terbuka maupun rahasia.
4. KEYAKINAN. Seorang manusia dewasa bisa merdeka memilih keyakinannya. Entah pada
akhirnya dia beriman pada suatu agama tertentu, hingga mungkin menjadi ateis/agnostik,
semua tetap bermula pada dogma dari orang tuanya. Dia akan mulai “dicekoki” dogma ilmu
sesuai agama atau kepercayaan orang tuanya / walinya sebagai aksioma (kebenaran yang
tabu dipertanyakan). Seorang anak kecil sudah memiliki keingintahuan dan pola pikir kritis.
40
Itulah sebabnya anak kecil sering bertanya sampai ke akar masalah, sayangnya mereka
sering kali berhenti jika orang yang ditanya menyuruhnya untuk berhenti bertanya. Barulah
pada suatu usia remaja, dia tidak hanya mampu berpikir kritis, namun juga berani mencari
perbandingan. Adapun ia berpuas diri dengan keyakinannya (kemudian sibuk dengan urusan
lain), atau ia terus belajar untuk mendalami dogmanya adalah pilihan dia sendiri. Bagi
mereka yang konsisten mempelajari dogmanya, ia akan menemukan “pencerahan” karena
pendalaman yang dia pelajari. Pencerahan tersebut berbentuk jawaban-jawaban pemuas
atas suatu rasa penasarannya yang lama tak terjawab oleh orang sekelilingnya (yang tidak
mendalami sejauh dirinya sendiri). Hasilnya, bisa jadi ia memiliki keyakinan yang lebih kuat,
atau justru menemukan kejanggalan yang tidak bisa ia toleransi hingga harus berubah
keyakinan. Dengan belajar dan pendalaman dogma, seseorang bisa berubah dari awam
menjadi imam, beberapa lainnya berpindah agama, atau berubah dari bertuhan menjadi
ketiadaan.
Dengan berangkat dari keempat “kapital asasi” di atas, setiap manusia akan memulai
perjalanan hidupnya untuk mengumpulkan kapital-kapital selanjutnya. Setiap kapital atau
modal yang dimiliki seseorang bisa jadi mendukungnya untuk mengumpulkan kapital yang
lainnya lagi. Tidak terlepas dari politik, kapital memiliki peran penting sebagai latar belakang
sukses atau tidaknya seseorang dalam meyakinkan orang lain atau memperebutkan tahta
kekuasaan. Berikut adalah beberapa kapital umum yang kerap digunakan dalam perpolitikan:
1. STATUS SOSIAL. Ketokohan seseorang karena dedikasi ilmu, kemampuan, kekayaan, atau
pengabdiannya pada suatu bidang bisa melejitkan persepsi masyarakat terhadapnya.
Misalnya, tokoh kebidangan, seperti budayawan, seniman, cendekiawan, relawan
kemasyarakatan, dsb. Kemudian tokoh popularitas, seperti selebritis dan social media
influencer. Tokoh keagamaan, seperti kiai, ustadz, buya, pastor, pendeta, guru, yogi, biksu,
dsb. Mereka relatif lebih didengarkan daripada orang-orang awam yang tidak memiliki status
sosial yang tinggi, sehingga kapital status sosial ini bisa membantu proses politik seseorang.
Status sosial ini adalah “induk” yang memiliki irisan-irisan kapital yang di bahas selanjutnya.
2. HARTA. Para pengusaha yang terlanjur kaya raya (setidaknya lebih kaya dibandingkan
rata-rata lawan politik di levelnya) biasanya bingung untuk ke mana menyalurkan uangnya.
Jika hobi pribadi dan kemewahan keluarga sudah terpenuhi, biasanya mereka akan terjun ke
dunia filantropi, atau beberapa lainnya menjadi politisi. Tentunya, mereka tidak akan mencari
“penghidupan” materiil dalam berpolitik praktis yang sudah terpenuhi oleh sumber
41
penghasilannya sendiri. Namun ketamakan seseorang untuk terus mempertebal pundi-pundi
uangnya adalah langkah yang masuk akal untuk menjamin kekuasaannya dan kroninya (baik
menjabat di depan layar atau sebagai investor penjabat di balik layar). Dia harus menjamin
bahwa rezim yang berganti-ganti tidak boleh mengganggu ladang usaha dan privileged yang
selama ini dia jalankan sebagai orang yang kaya raya.
3. KETURUNAN. Kepribadian dan kemampuan tak selalu bisa diwariskan. Banyak yang
mengadu nasab untuk memanipulasi nasib. Banyak pula yang bahkan memanipulasi hingga
nasabnya sekaligus supaya menjadi jalan pintas menuju hegemoni dan kehormatan yang
didambakan. Seorang keturunan pemimpin negara (anak presiden, perdana menteri,
pangeran kerajaan, dll.), kemiliteran (anak pejabat tinggi seperti jenderal), tokoh agama
(misalnya dalam agama Islam: “gus” anak kiai atau “habib” keturunan rasul). Seorang gus
hanya dilayak dihormati hanya jika ia sama baiknya atau lebih baik dari sang kiai orang
tuanya, atau seorang anak presiden hanya layak diakui karena prestasinya sendiri dan bukan
karena prestasi orang tuanya. Fitrah masyarakat awam yang hobi “mengeramatkan”
keturunan dari tokoh terpandang menjadi lahan subur bagi orang-orang yang berpolitik
dengan kapital keturunan. Padahal keturunan hanya mewarisi kepastian genetik, bukan
kepastian ideologi apalagi prestasi. Kalaupun seorang keturunan tokoh terpandang tersebut
memiliki idealisme dan prestasi, maka itu bukan karena semata-mata dikarenakan faktor
silsilahnya, melainkan karena memang dirinya pribadi adalah insan yang berkualitas.
Sekalipun tak bisa dipungkiri bahwa idealisme dan prestasinya tetap lebih dipermulus
dengan statusnya sebagai keturunan tokoh terpandang.
4. PANGKAT DAN JABATAN. Seorang pejabat akan relatif lebih mudah untuk
mempertahankan jabatannya yang sama atau memperebutkan jabatan baru yang lebih
tinggi. Sebagai petahana, seorang calon sudah “dianggap” teruji dan terbukti karena
pengalamannya. Jika kita mengasumsikan ada dua calon dalam sebuah pemilihan, di mana
keduanya relatif setara dalam urusan kapital lainnya (kayanya, pintarnya, baiknya,
karismanya, reputasinya, rasnya, silsilahnya, agamanya, fisiknya) maka tidak heran jika
petahana berpeluang untuk melanjutkan masa pemerintahannya. Atau misalnya dalam
perebutan kursi gubernur yang mempertandingkan antara demisioner wali kota dengan non-
pejabat, maka sang demisioner wali kota memiliki peluang yang lebih baik.
5. GELAR AKADEMIK. Seseorang yang memiliki gelar akademik apapun (tidak harus sarjana
perpolitikan) akan mendapat pandangan yang lebih tinggi di mata masyarakat. Seorang
42
Profesor relatif lebih di dengar daripada Doktor, Doktor relatif lebih di dengar daripada
Master, Master relatif lebih di dengar daripada Sarjana, Sarjana lebih di dengar daripada drop
out, dan drop out relatif lebih didengar daripada orang yang tidak sekolah/kuliah. Kita
mengetahui bahwa politik adalah proses perebutan kekuasaan. Di mana kekuasaan tersebut
akan berbuah pada arah kebijakan yang multidimensional dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, gelar akademik non-politik juga dianggap akan memiliki kontribusi terhadap
arah kebijakan jika mereka berkuasa.
6. AGAMA. Agama adalah identitas sosial yang paling tabu. Agama atau keyakinan menjadi
hal yang sangat tabu karena sering kali berlandaskan hal-hal yang metafisik atau tidak
diketahui. Bahkan dalam komunitas saintifik yang ateis/agnostik sekalipun, kerap kali
mereka belum bisa membuktikan ketiadaan Tuhan sebagaimana mereka menganggap
bahwa orang beragama tidak bisa membuktikan keberadaan Tuhan. Baik ketuhanan maupun
saintifik masih memiliki misterinya masing-masing yang hanya bisa diselesaikan dengan
keyakinan untuk pribadi dan toleransi terhadap pihak lain. Kalaupun status ras seseorang tak
bisa dirubah karena genetiknya, namun agama adalah hal yang paling sulit diubah (di antara
hal lain yang dapat diubah) dalam variabel sosiologis manusia. Seseorang yang menganut
agama mayoritas pada masyarakat tertentu, maka proses politiknya cenderung akan lebih
mudah dibandingkan mereka yang menganut agama minoritas. Atau dalam beberapa
organisasi/komunitas, orang beragama akan sulit diterima idenya oleh orang-orang saintifik
yang ateis/agnostik.
7. FISIK. Seseorang dengan fisik yang bugar dan prima dianggap lebih meyakinkan daripada
mereka yang tampak lemah dan rapuh. Namun kalau hanya masalah postur dan performa
saja, maka variabel fisik adalah kapital terlemah dalam berpolitik. Ironisnya, masyarakat yang
“lemah” akan memiliki ketertarikan kepada calon yang tampak lemah pula dibandingkan
yang tampak kuat. Atau masyarakat yang kolot akan lebih percaya seorang politisi tua renta
dan sakit-sakitan daripada seorang muda cerdas yang aktif karena membandingkan faktor
pengalamannya.
8. RAS. Kondisi fisik lainnya yang secara spesifik lebih kuat dalam urusan berpolitik adalah
ras. Ketertarikan suatu identitas terhadap kesamaan fisik paling mudah terlihat pada atribut
yang melekat pada suatu ras. Bagaimana orang kaukasia berkulit putih akan cenderung
percaya pada orang kaukasia juga, dst. Beberapa kasus unik terjadi belakangan ini, misalnya
Presiden Barack Obama sebagai keturunan Afrika-Amerika yang menjadi presiden AS
43
selama dua periode. Kemudian Wali Kota London sejak 2016, Sadiq Khan yang merupakan
keturunan Pakistan, bahkan juga beragama Islam. Namun fenomena tersebut masih
merupakan “anomali” yang tidak berpola sehingga masih tergolong kasus minoritas, di mana
tentunya mereka memiliki kekuatan kapital politik lainnya dengan kesenjangan yang masif
dibandingkan lawannya yang mungkin memiliki ras mayoritas. Kemudian adapula fenomena
yang terbalik dalam urusan ras. Suatu ras mayoritas menganggap ras lainnya sebagai
“superior” karena memiliki kualitas tertentu untuk perkara tertentu. Orang Indonesia mungkin
akan tetap memilih ras pribumi sebagai pemerintahnya, namun secara agama tidak harus
demikian. Para keturunan ras arab akan mendapat “tempat spesial” di mata pribumi yang
mayoritas jika berurusan dengan agama Islam (karena Islam bermula dari arab). Atau
misalnya seorang “bule” akan mendapat perhatian spesial jika mengadakan seminar
keilmuan daripada narasumber lokal (sindrom post-kolonialisme, menganggap pendatang
dari dunia pertama lebih hebat dalam urusan keilmuan dan teknologi). Fenomena yang
penulis sebut sebagai “kapital ras terbalik” ini menjadi lahan subur untuk kapital “keturunan”
sebagaimana telah dibahas di atas.
Demikian tadi beberapa contoh kapital untuk urusan politik. Kapital bagaikan pedang
bermata dua. Anda bisa memanfaatkannya untuk urusan politik ideal. Atau anda bisa
memanfaatkannya untuk urusan politik amoral.
44
BAB XI: NIAT & KONSISTENSI
Niat itu Mengikuti dari Awal sampai Akhir Kejadian
Niat Menjadi Ukuran dalam Menilai Kelayakan Suatu Perbuatan
Niat adalah sebentuk tekad hasil pemikiran dan ketetapan hati seseorang untuk meraih
suatu hasil dari suatu tindakan yang akan diperbuatnya. Kekuatan niat seseorang dinilai dari
konsistensinya. Karena niat yang lemah tanpa konsistensi hanyalah sekedar “angan-angan”,
di mana orang tersebut tidak rela berkorban secara terus-menerus sampai tujuannya
tercapai.
Misalnya anda ditawari 2 jenis makanan, di mana yang satu adalah jenis makanan organik
yang kurang enak tapi menyehatkan sedangkan satunya adalah jenis makanan olahan yang
sangat lezat tapi lebih cenderung mengandung unsur yang tidak sehat. Jika anda harus
menentukan pilihan, secara sederhana pilihan itu ditentukan oleh prioritas berdasarkan niat
anda. Jika niat anda berniat untuk “hidup sehat” anda akan memilih makanan yang lebih
bergizi walaupun rasanya kurang enak, sedangkan jika anda berniat untuk “memanjakan”
lidah anda dengan kelezatan maka anda akan lebih memilih makanan yang sangat lezat
walaupun kurang menyehatkan.
Namun kenyataannya dalam hidup ini, seiring waktu selalu dibutuhkan konsistensi untuk
mencapai hasil yang signifikan atas pilihan-pilihan yang anda lakukan. Anda tidak mungkin
tiba-tiba menjadi orang paling bugar di dunia hanya karena sekali makanan sehat yang
kurang enak, atau tiba-tiba mengidap kanker stadium 4 karena sekali memakan sesuatu
yang enak walaupun kurang menyehatkan (kita tidak berbicara steroid atau racun, tapi menu
makanan pada umumnya). Anda bisa menjadi sangat sehat dan bugar atau mengidap suatu
penyakit karena makanan yang anda konsumsi secara periodik (di luar pengaruh gaya hidup
lainnya). Apakah anda secara konsisten menyehatkan tubuh anda dengan mengorbankan
kenikmatan lidah, atau sebaliknya? Konsistensi inilah yang dijadikan kekuatan suatu niat,
apakah niat itu mengikuti dari awal hingga akhir perbuatan. Hasil tidak akan mengkhianati
proses, maka hasil akhir atau “endgame” yang dicapai akan mendeskripsikan kekuatan niat
anda, setidaknya jika tidak ada interfensi atau disrupsi.
Penulis akan mencoba membedakan terminologi interfensi dan disrupsi pada bab ini untuk
memudahkan pembaca dalam meluruskan niatnya. Interfensi adalah suatu gangguan yang
sangat genting sehingga terpaksa merubah niat seseorang karena ketidaksanggupannya
45
meneruskan niat di awal jika dibandingkan kondisi normal sebelumnya. Misalnya, seseorang
yang mencoba menerapkan diet makanan sehat ternyata memiliki keterbatasan biaya dan
akses atas makanan sehat secara konsisten, sehingga dia harus merubah dietnya hanya
sekedar untuk mengenyangkan diri, entah makanan tersebut sehat atau tidak, bahkan enak
ataupun tidak, yang penting masuk di budget dan aksesnya terjangkau sehari-hari. Misalnya
seperti anak kos yang kerap memasak mie instan karena kekurangan kiriman orang tua. Jika
anda berhasil keluar dari keterbatasan finansial dan akses, maka anda bisa kembali ke jalur
lurus niat anda untuk diet sehat.
Sedangkan disrupsi adalah suatu gangguan yang menisbikan begitu saja semua niat anda di
awal dengan hasil yang tidak bisa diganggu-gugat. Misalnya, sesudah anda berniat
melakukan diet dan gaya hidup sehat, tiba-tiba anda didiagnosa terkena tumor, entah karena
genetik atau apapun faktor yang tidak ada hubungannya dengan niat gaya hidup sehat anda.
Sesehat apapun makanan yang anda konsumsi sehari-hari, anda akan tetap melakukan
kemoterapi yang akan menghancurkan sel-sel tubuh anda hingga menisbikan diet sehat
anda, hanya sekedar untuk bertahan hidup hingga anda nampak kurus kering dan sulit
beraktivitas.
Niat seseorang menjadi opsi ideal jika niat itu berbanding lurus dengan niat suatu kelompok
yang dinaunginya. Persamaan visi dalam suatu kelompok, idealnya akan menyukseskan
kelompok tersebut, entah suatu keluarga, perusahaan, lembaga, partai politik, hingga negara.
46
Perbedaan misi atau cara yang ditempuh untuk mewujudkan visi tersebut adalah suatu
dinamika yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Sehingga proses-proses
persuasif dan politik yang terjadi dalam kelompok tersebut-lah yang akan menentukan
keberhasilan visi tadi. Karena dalam dinamika politik tersebut sangat memungkinkan terjadi
gesekan-gesekan kepentingan yang akhirnya menyebabkan “interfensi” atau “disrupsi” bagi
beberapa anggota kelompok tersebut, hingga visi yang ingin diwujudkan dari niat awalnya
harus ditelantarkan. Dinamika ini sangat perlu diperhatikan dan dikontrol, terutama oleh
pemimpin kelompok tersebut agar visi bersama tetap bisa terjaga. Karena dengan niat yang
lurus-pun, penyelewengan dan pengkhianatan masih bisa terjadi (karena interfensi atau
disrupsi), apalagi jika ada orang-orang yang sejak awal terlibat dengan niat amoral .
Niat seseorang adalah hal yang sangat penting sebagai landasan layak atau tidaknya
tindakan yang dia lakukan. Niccolo Machiavelli dalam Il Principe berprinsip, “The End
Justifies The Mean” (Hasil akhir membenarkan cara yang ditempuh). Artinya, mau sekotor
atau selicik apapun cara yang digunakan, jika hasil akhirnya tercapai maka semuanya boleh
dimaklumi. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan pepatah “sapu kotor tidak bisa
membersihkan” (baca bab “kaku & prosedural”). Prinsip manapun yang lebih anda setujui,
keduanya tetap tidak terlepas dari “niat” sebagai landasan tindakannya.
Niat seseorang menjadi opsi amoral jika orang itu bisa meyakinkan anggota kelompok
lainnya bahwa ia memiliki suatu visi / niat yang sama, namun kenyataannya ia memiliki visi
dan agenda sendiri dengan kepentingan yang bisa “dititipkan” dalam kelompok tersebut.
Inilah orang-orang yang akan menjadi pengkhianat dalam kelompok tersebut, cepat atau
lambat, banyak atau sedikit, termaklumi atau tidak. Penyelewengan tindakan, ucapan, dan
pola pikirnya akan terkupas sedikit demi sedikit seiring berjalannya dinamika dalam
kelompok tersebut. Kekuatan orang yang memiliki niat amoral ini ada pada kemampuan
persuasi, kebohongan, kepercayaan diri, tingkat statusnya dalam kelompok tersebut, serta
komprominya dengan anggota lain untuk “tarik-ulur” antara pemenuhan kepentingan
pribadinya dengan kepentingan kelompoknya.
47
BAB XII: KEPEMIMPINAN
Hanya Layak Jadi Kapten Jika Lulus Uji Turbulen
Jangan Nafsu Jadi Nahkoda Kalau Belum Bisa Baca Peta
Jangan Jadi Politisi Kalau Masih Bingung Periuk Nasi
Jangan Bicara Kebenaran Hakiki Kalau Masih Bingung Jati Diri
Dinamika politik dalam kehidupan nyata tidak selalu hitam dan putih, banyak area abu-abu
yang selalu membutuhkan diskresi dan respon darurat. Kondisi abu-abu dengan berbagai
urgensitas yang memaksa ini membuat manusia dengan segala keterbatasannya harus
menimbang dan memilih tindakannya. Banyak momen di mana kondisi yang ada membuat
seseorang tidak memiliki pilihan baik atau buruk, melainkan hanya ada pilihan buruk atau
buruk sekali. Pepatah barat mengatakan, “choose your poison!” yang artinya apapun
pilihanmu yang tersedia, semuanya “racun”. Dalam keadaan demikian, sewajarnya seseorang
memilih tindakan yang “paling minim” keburukannya jika memang harus segera dilakukan
tindakan.
Permasalahan muncul setelah tindakan itu selesai dilakukan dan krisis awal sudah
ditanggulangi, munculnya krisis baru akibat tindakan yang “masih buruk” tersebut. Biasanya
berujung pada persepsi amoral, atau goyahnya integritas dan kepercayaan. Hal ini menjadi
wajar karena mereka yang merubah persepsinya bukanlah orang-orang yang terlibat krisis
sebagaimana pelaku tindakan tadi. Kalaupun mereka terlibat krisis, bisa jadi mereka tidak
memiliki kuasa atau keberanian untuk memberi keputusan hingga mengeksekusi
tindakannya. Sering kali jiwa pemimpin ditempa dari momen-momen seperti ini. Kesendirian
dalam menghadapi cercaan dan simulasi “what if” di kepalanya seraya mencari-cari alternatif
yang sudah muspro pasca krisis. Sering kali manfaat yang diterima lingkungannya pasca
krisis atau potensi krisis yang diselesaikan dengan tindakan “buruk” tadi kerap tidak
disyukuri atau dianggap hal yang biasa saja, sehingga mengharapkan apresiasi mereka
menjadi hal yang mustahil. Orang-orang yang menempa diri dengan kondisi ini berkali-kali,
pada waktunya akan menjadi pemimpin yang layak dan kuat.
Sejatinya, tidak ada hak bagi kaum awam dari krisis serta orang-orang yang tidak punya nyali
bertindak untuk mengritik pelaku tindakan. Karena bisa jadi mereka tidak peduli dengan
krisis awalnya, atau kalaupun peduli tidak memiliki alternatif yang lebih baik. Kalaupun ada
alternatif yang “tampak” lebih baik di matanya (masih subjektif), namun masih sama-sama
bersifat spekulatif dan tidak mendapat konsensus bahwa alternatifnya lebih baik, maka ia
48
harus berlapang dada dengan tindakan sang pembuat keputusan. Karena sang pembuat
keputusan bisa jadi lebih sigap di saat yang lain masih sibuk berdiskusi, atau justru dialah
sang pemilik kekuasaan yang keputusannya harus dipatuhi. Oleh karena itu, tidak ada
pemimpin hebat yang bermula sebagai pengikut yang buruk. Entah saat dia masih menjadi
masyarakat awam, atau seorang murid dari mentornya, atau dia menjadi pejabat level
rendah, dia tetap harus membuktikan kualitas, loyalitas, adab, dan kontribusi terhadap
institusi dan pemimpinnya.
Terdapat berbagai teori soal kepemimpinan yang tentunya tidak akan dibahas satu per satu
dalam buku ini. Anda dipersilakan untuk memilih gaya kepemimpinan apa yang paling cocok
untuk pribadi anda dan apa yang anda pimpin. Namun satu hal yang pasti, pemimpin berarti
puncak tertinggi atas sesuatu yang dipimpinnya. Jika ia menjadi presiden, maka seyogianya
dialah yang terbaik di negaranya. Jika ia seorang ketua RT, maka seyogianya dialah yang
terbaik di rukun tetangganya. Kalau ada orang lain yang sejatinya lebih baik memimpin dari
dirinya, maka ada yang salah dengan sistemnya hingga membuat dia menjadi pemimpin
tersebut (baca bab “demokrasi”). Bukan berarti seorang pemimpin harus sempurna dari
kekurangan, namun terkhusus kemampuan kepemimpinannya, maka ia harus seseorang
yang terbaik dalam lingkup yang dipimpinnya.
Kepemimpinan adalah sesuatu yang hakiki terjadi, sehingga harus diasah, dikuatkan, dan
dituntaskan. Karena setiap orang adalah pemimpin, setidaknya untuk dirinya sendiri. Bentuk
kepemimpinan terhadap diri sendiri, misalnya: bagaimana kekuatan anda untuk menolak
kemalasan, menjaga sifat dan sikap buruk (baca level pertama) dalam rangka pragmatisme
dan oportunisme, bertahan dari gratifikasi instan dan prokrastinasi, dsb. Banyak sekali orang
yang belum tuntas memimpin dirinya sendiri, namun terlanjur bernafsu memimpin orang lain.
Banyak pula yang belum tuntas memimpin yang kecil, namun tidak mau ketinggalan momen
untuk memimpin yang lebih besar. Karena kepemimpinan adalah sesuatu yang hakiki, maka
kepemimpinan bukanlah sebuah opsi, tapi sebuah konsekuensi. Kepemimpinan bisa menjadi
konsekuensi ideal atau amoral adalah bagaimana niat, kemampuan, dan kecocokan
seseorang dalam memimpin atas apa yang dipimpinnya.
49
BAB XIII: MAWAS DIRI
Tidak Semua Harus Kita Ketahui
Lebih Baik Tidak Tahu Sama Sekali, Daripada Mengerti Tapi Bikin Sakit Hati
Makin Tinggi Ilmunya
Makin Tinggi Rasa Takutnya, Karena Makin Besar Mimpinya
Kalau Pakai Baju Diukur Dulu
Jangan Sampai Keluar Bikin Malu, Apalagi Tak Tahu Malu
Mawas diri adalah esensi dari level ke dua buku ini dalam rangka pertimbangan dan
perenungan. Apapun mimpi dan ambisi anda di dunia ini, tidak akan pernah terlepas dari
proses politik (sekalipun bukan politik praktis). Tidak mungkin tidak, apapun ambisi anda
akan melibatkan interaksi dengan orang lain. Itulah kenyataan hidup di dunia ini. Oleh karena
itu, mengendalikan mimpi dan prinsip bersyukur sangatlah penting untuk menjaga
kewarasan seseorang agar segala pikiran dan tindakannya masih masuk akal. Semua bab
yang sudah atau akan anda baca pada bab ini, akan kembali pada bab “kapital”. Apa yang
anda punya untuk mengendalikan semua kondisi yang dijabarkan buku ini menjadi kondisi
yang anda inginkan (baik ideal maupun amoral).
Percayalah, apapun mimpi anda, anda tidak sendirian. Hanya akan ada segelintir orang yang
berhasil dibandingkan orang-orang yang dikalahkannya dalam kompetisi mimpi yang sama,
misalnya memperebutkan jabatan atau menjadi perusahaan yang sukses. Di sisi lain ada
pula mimpi yang tidak perlu berkompetisi, misalnya ingin memiliki keluarga yang bahagia
dan sejahtera, tidak harus menghancurkan rumah tangga milik tetangga. Mimpi dan cita-cita
seseorang atau segolongan orang bisa menjadi api pembakar semangat ataupun abu
pemadam mimpi orang lain. Tony Gaskin berkata, “Kalau kamu tidak membangun mimpimu,
seseorang akan membayarmu untuk membangun mimpinya”.
Beberapa kalimat motivasi terkadang membuat banyak orang lupa diri. Misalnya Mark
Batterson berpesan, “Jika mimpimu tidak membuatmu takut, mimpimu tak cukup besar.”
Memiliki mimpi memang penting, tapi “reality check” juga tidak kalah penting. Bukan berarti
Mark Batterson salah dengan motivasinya, namun “mimpi besar yang membuat takut”
tidaklah sama dengan “mimpi yang membuat anda menjadi gila”. Tim Notke berpesan, “Kerja
keras mengalahkan bakat, jika bakat gagal bekerja keras.” Kedengarannya seperti motivasi
yang bagus! Namun frase ke dua dari kalimat tersebut adalah sebuah bentuk “reality check”
yang artinya anda hanya bisa mengalahkan orang dengan kapital yang lebih baik jika anda
50
bekerja keras dan dia tidak. Jika anda dan orang tersebut bekerja sama kerasnya, maka si
pemilik kapital akan selalu menang.
“Reality Check” terbaik adalah dari hati anda sendiri. Ribuan orang meragukan anda tidak
akan menjadi masalah selama anda tidak meragukan diri sendiri. Karena terlepas dari mimpi
anda masuk akal atau tidak, akan selalu ada orang yang meragukan anda. Jika anda telah
selesai melakukan “reality check”, maka anda bisa menemukan ambisi yang masuk akal dan
masuk jangkauan terjang, namun juga cukup besar, menantang, dan menakutkan. Selebihnya
adalah bagaimana anda bekerja keras dan cerdas serta belajar dengan giat dan semangat.
John C. Maxwell berkata, “Setiap pagi anda punya dua pilihan: lanjut tidur dan mimpikan
impian anda atau bangun dan mengejar mimpi tersebut.” Mawas diri menjadi opsi ideal bagi
mereka yang butuh perenungan untuk mencegah ketamakan.
Mawas diri menjadi opsi amoral bagi mereka yang merenungkan dirinya dengan ketakutan
dan tidak percaya diri. Banyak potensi yang mati hanya karena seseorang gagal menilai
kelebihannya sendiri dan takut untuk menghadapi tantangan dalam mengejar mimpi. Hal ini
adalah kebalikan dari “orang gila” yang tamak dan menghalalkan segala cara amoral untuk
mengejar mimpinya. Keseimbangan adalah inti sari kehidupan. Analisa yang seimbang
tentang kelebihan dan keurangan kapital akan membuat anda mencapai potensi terbaik
anda.
Musuh yang Sedang Diam Lebih Berbahaya Daripada yang Terang-Terangan Melawan
Saatnya Keluar dari Zona Nyaman dan Membuat Sona Aman
Karena Nyaman itu Melalaikan, Sedangkan Aman itu Tuntutan
Kepanikan akan Datang saat Anda Tak Paham Batas Persoalan
Ketakutan akan Datang saat Anda Tak Punya Kendali Kehidupan
51
BAB XIV: MEMANTASKAN DIRI
Biarkan Telur Pecah Dari Dalam Karena itu Bermakna Kehidupan
Dipecahkan dari Luar Bermakna Kehancuran, Sekedar Porsi Sekali Makan
Memantaskan diri hanyalah menjadi opsi ideal bagi orang-orang yang mau menjalankan
politik secara ideal. Karena menjalankan politik secara amoral tidak perlu berprinsip
kepantasan, cukup dengan kapital (baca bab “kapital). Bab ini akan membahas beberapa
paradigma untuk memantaskan diri anda sebagai politisi menurut penulis. Setuju atau tidak,
itu tetap terserah anda.
1. Kala Menang
Jangan bunuh harapan dan mimpi-mimpi lawan anda, atau anda akan mendapatkan
perlawanan yang hebatnya tak pernah anda kira. Pelihara mimpi mereka jika ingin
kemenangan anda berlangsung lama. Nikmatnya air karena haus, nikmatnya makan karena
lapar, sebagaimana nikmatnya menang karena berjuang. Menginjak-injak lawan anda pasca
kemenangan adalah kenikmatan yang tak diperlukan, selain hanya pemuas ketamakan.
Orang yang terinjak-injak kehormatannya atau anda kuras habis sumber dayanya akan
menjadi orang “gila”, yaitu orang yang tidak punya kepentingan selain menghancurkan anda,
karena segala yang perlu dia pertahankan dengan akal sehat sudah anda berantas tuntas.
2. Kala Kalah
Belajarlah keikhlasan dari hujan yang tak pernah marah pada matahari dan awan, apalagi
menghujat Sang Pengatur kehidupan! Air diangkat tinggi ke langit berkali-kali hanya untuk
dipanggang terik matahari sampai dijatuhkan lagi. Begitulah roda kehidupan yang kadang di
atas dan kadang di bawah.
3. Kala Dikritik
Phytagoras berpesan, “Pukulan dari sahabatmu lebih baik daripada ciuman musuhmu.”
Sahabat yang “memukulmu” dengan kritik-kritik membangun, sering kali membuat situasi
menjadi panas dan tegang. Namun saran dan kritik adalah sebuah konsekuensi dalam
kehidupan manusia yang tidak sempurna. Justru anda harus berhati-hati dengan “ciuman”
musuh anda lewat pujian yang tampak berlebihan, karena sesungguhnya dia punya agenda
dan kepentingan yang bersebrangan dengan anda pada waktunya. Kemudian, jangan sampai
anda salah membedakan antara “pukulan” kritik dengan “tusukan” pengkhianatan. Penulis
teringat dengan sebuah lagu Kelly Clarkson yang berlirik “What Doesn’t Kill You Makes You
52
Stronger.” Sebuah “pukulan” kritik sahabat yang tidak membunuhmu, akan membuatmu
menjadi lebih kuat. Sedangkan satu tusukan sahabat yang berkhianat punya misi untuk
membunuhmu di tempat.
4. Kala Belajar
Politik itu soal jam terbang, bukan khatam buku berlembar-lembar. Politik sejatinya proses
berkesinambungan mencari pengalaman, tidak harus kekuasaan instan. Jabatan itu hanya
dampak kepantasan dan bukan menjadi tujuan, karena sesungguhnya amanah itu beban.
5. Kala Berdebat
Raihlah kemenangan lewat tindakan, bukan dari perdebatan! Karena lawan berdebat adalah
kawan dalam berpikir. Para penikmat kopi seyogianya bisa lebih adil, karena mereka terbiasa
untuk membiarkan pahit dan manis hidup berdampingan dalam satu wadah yang sama. Ia
menikmati pertarungan intim itu tanpa harus memilih siapa yang paling ia sukai. Karena
hitamnya kopi adalah esensi, sedangkan rasa pahit sebagai konsekuensi, maka sedikit ruang
pada gula untuk memaniskan harus diberikan, supaya rasa keadilan tidak hilang. Biarlah kopi
tetap hitam dan susu tetap putih, kita bisa merubah rasa tanpa harus berdebat soal warna,
seperti gula yang larut tak berwujud di antara keduanya. Tanpa gula, kopi akan tetap pahit
dan susu akan tetap hambar.
6. Kala Berinteraksi
Kualitas pribadi nampak dari cara dia berlaku dengan hati, ke bawah dia menghargai, ke atas
dia menghormati. Isi hati seseorang tidak bisa dibohongi oleh apa yang tampak dari luar.
Seseorang yang menghargai akan berbeda dari seseorang yang meremehkan. Seseorang
yang tunduk karena takut akan berbeda dengan segan karena hormat. Misalnya cara dia
berbicara, setinggi apa nadanya, sebesar apa volumenya, diksi apa yang dipilihnya, kalimat
apa yang disusunnya, dan bagaimana artikulasinya. Kemudian dari tanda non-verbalnya,
bahasa tubuh mikro dan makro ekspresinya serta pancaran auranya. Cukup dengan
mempelajari tanda-tanda psikologis tersebut, anda juga bisa membaca kualitas pribadi
hingga ketulusan niat dan kejujuran seseorang.
7. Kala Negosiasi
Katakan, “Jangan bernegosiasi dengan SAYA untuk kepentingan ANDA! Datang lagi nanti
saat anda berbicara tentang KITA dan mengedepankan MEREKA!” Ingatlah pesan Henry
Kissinger, bahwa tak ada kawan dan lawan abadi, yang abadi hanya kepentingan. Jangan
53
sampai anda terpaku pada negosiasi politis yang ego sentris. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan Alexis de Tocqueville, bahwa dalam politik, kebencian pada pihak yang sama
hampir selalu menjadi landasan dari perkawanan. Maka sejatinya politik bukanlah kontes
pencarian teman atau lawan, melainkan memperjuangkan kepentingan dan memperebutkan
kekuasaan, tak peduli siapa yang menjadi kawan dan lawan di tengah jalan. Orang yang
kawan dan lawannya tidak bertambah atau berkurang, berarti tidak pernah berjuang.
54
LEVEL 3 : SISTEM
PRATINJAU
Pada level ke tiga ini kita akan membahas beberapa sistem atau aturan tak tertulis yang
harus dipahami oleh para politisi. Tema sistem ini dipilih sebagai tahap “pemantapan”
pembaca untuk berkomitmen mendalami dunia politik praktis. Level ini akan membuka
wawasan umum yang sekiranya cukup sebagai panduan pembuka untuk berpolitik praktis,
sekalipun masih banyak relevansinya yang terkait kehidupan sehari-hari.
Dengan tingkat kesulitan tinggi, Contoh-contoh yang ditampilkan dalam level ini relatif lebih
rumit daripada level-level sebelumnya. Namun begitu, penulis masih mencoba menyajikan
analogi-analogi yang sedekat mungkin dengan kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Segmentasi pembaca untuk level ini menjangkau kalangan yang mencoba menjadi politisi
pemula, atau orang-orang yang ingin memantapkan pola pikir dan wawasan politiknya
sebagai bahan pemikiran diskusi sehari-hari.
55
BAB XV: KEADILAN & KEBIJAKAN
ADIL adalah Sikap yang Sesuai dengan Selera Penguasa
Proporsi Kebijakan dengan Standar Ganda
Ada yang bilang adil adalah sama rata sama rasa, senasib sepenanggungan. Apakah adil jika
seorang anak harus memakai baju ukuran bapaknya atau sebaliknya? Ada yang bilang pula
bahwa adil adalah bekerja sesuai kemampuan sambil menerima sesuai kebutuhan. Manusia
mana yang tidak punya motivasi pengharapan dan tak bernafsu seperti mesin atau malaikat?
Pihak yang lebih moderat menyampaikan bahwa adil adalah meletakkan sesuatu atau
bersikap sesuai proporsinya. Proporsi menurut siapa? Kenapa harus “dia” yang menentukan
definisi proporsinya? Apapun definisi keadilannya, proporsinya akan tetap ditentukan
PENGUASA.
Yang perlu kita sepakati bahwa keadilan bukanlah menyenangkan apalagi memuaskan
semua pihak. Jika anda berniat menyumbangkan 1 kg beras, sedangkan ada dua fakir miskin
yang membutuhkan masing-masing 1 kg beras, maka pilihannya adalah: a. Satu orang
miskin puas saya beri 1 kg beras, seorang lagi tidak puas dengan tidak mendapat apa-apa;
atau b. Masing-masing saya berikan ½ kg sehingga keduanya tidak mencapai titik
kepuasannya, sedangkan beras sudah habis terbagi (sama rata sama rasa); atau c. Saya
berikan satu orang miskin yang saya pilih untuk “disenangkan” (walaupun tidak bisa
dipuaskan) dengan porsi yang lebih banyak, seorang miskin yang lain saya beri lebih sedikit
sekedar untuk membela diri bahwa anda sudah “menyumbang” padanya hingga tidak bisa
dicap lalim atau tidak adil. Pada opsi terakhir tadi, maka kita sudah melakukan
“kesewenangan” lewat keputusan “kebijakan” untuk menyumbang dengan “keberpihakan”.
Mungkin saja yang anda sumbang lebih adalah orang miskin yang sudah tua renta, cacat
fisik, beranak lima yang belum mandiri, dan ditinggal istri atau suaminya; sedangkan orang
miskin yang anda sumbang lebih sedikit relatif lebih muda, sehat jasmani, dan belum punya
tanggungan keluarga sehingga relatif berpengharapan untuk produktif (bekerja sesuai
kemampuan, menerima sesuai kebutuhan). Dengan pertimbangan variabel di atas, maka
cukup mudah untuk menentukan proporsi ideal keadilan dari sumbangan beras anda.
Sekarang bagaimana jika orang miskin pertama ternyata orang tua renta yang sehat jasmani
sedangkan orang miskin ke dua adalah anak muda yang cacat fisik? Atau Orang pertama
adalah seorang ibu muda dari 5 anak yang belum mandiri namun memiliki suami yang punya
pekerjaan walaupun serabutan, sedangkan orang ke dua adalah janda tua yang anaknya
56
sudah dewasa? Maka proporsi keadilan tidak lagi sehitam-putih simulasi pertimbangan
sebelumnya. Bias latar belakang sang penyumbang selaku “penguasa” beras akan
mempengaruhi kebijakannya. Dalam kasus orang tua sehat vs pemuda cacat; misal saja saat
masa pertimbangan anda teringat orang tua anda yang tua renta di kampung halaman, maka
anda akan “berpihak” pada pak tua sehat; sedangkan misalnya anda teringat dengan saudara
anda yang memiliki kemiripan cacat fisik, maka anda akan “berpihak” pada pemuda cacat.
Atau dalam kasus ibu muda bersuami dengan tanggungan 5 anak kecil vs janda tua beranak
dewasa; misalnya saja anda memiliki anak yang masih kecil dan tidak tega melihat kelima
anak ibu miskin tadi kelaparan, maka anda akan “berpihak” pada ibu muda; sedangkan
misalnya anda teringat dengan ibu anda di kampung halaman yang sendirian sepeninggalan
ayahanda, maka anda akan “berpihak” pada sang janda tua. Inilah bentuk “bias” proporsi
keadilan yang tidak hanya menghasilkan pihak yang “disenangkan” tapi juga “dikorbankan”.
Hasil akhir kebijakan ditentukan “penguasa beras” atau siapapun yang berkuasa atas sumber
daya yang dipertarungkan dalam kancah politik. Karena sumber daya dunia ini terbatas,
sedangkan keinginan seluruh manusia (yang batasnya adalah usia hidup dan angan-angan
abstrak mereka) tentunya tidak bisa dipuaskan seluruhnya, maka “adil” menjadi proporsi
penguasa atas nama keterbatasan.
Mari renungkan! Jika saya tambahkan variabelnya menjadi 5 sumber daya dengan takaran
berbeda, yaitu: beras 1 kg; gula 3 kg; mie instan 20 bungkus; telur 2,5 kg; dan daging 7 ons, di
mana sumber daya ini harus anda bagikan ke 13 orang miskin dengan usia, gender, dan latar
belakang yang berbeda, bagaimana cara anda membaginya? Saya yakin bagaimanapun
caranya, anda akan menemukan kebijakan yang paling mendekati “adil” (menurut anda).
Sekarang mari kita renungkan jauh lebih dalam! Bagaimana seorang pemimpin negara
dikatakan adil dengan seluruh kerumitan variabel yang ada dalam negaranya,
mendistribusikan sumber daya yang belum jelas potensinya untuk jutaan warga yang belum
selalu akurat segmentasinya? Lalu semua itu juga harus diselesaikan selama periode
kepemimpinannya yang terbatas. Oleh karena itu, keadilan subjektif semacam ini adalah
konsekuensi logis kehidupan. Karena keterbatasan sumber daya dan persepsi penguasa.
Proporsi berstandar ganda terjadi jika sang penguasa mengalami “kegalauan” nilai-nilai
perjuangannya, sehingga apa yang diprioritaskan sebelumnya menjadi tidak relevan dengan
yang selanjutnya. Entah karena sang pembuat kebijakan mengalami pergeseran idealisme
atau bahkan terdapat ancaman yang memaksa beloknya nilai keadilan dirinya. Di sisi lain,
bisa saja apa yang menjadi substansi perjuangan sang penguasa ternyata berbeda dengan
57
apa yang ditangkap masyarakat dalam naungan kebijakannya. Misal hari ini anda
menyumbang 1 kg beras ke seorang tua, sedangkan minggu depan di saat orang tua tadi
sudah mengharap 1 kg beras selanjutnya, ternyata anda menyumbang ke seorang anak kecil
yang minggu lalu tidak anda sumbang. Sang orang tua gagal menangkap prioritas kebijakan,
bahwa kapanpun anda memiliki beras untuk disumbang yang bersifat “pemerataan bergilir
periodik”, dan bukannya “lebih kasihan kepada orang tua dibandingkan anak-anak”. Dalam
kedua jenis “standar ganda” tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun pendapat di luar
penguasa menjadi tidak penting, karena beras akan selalu diterima tangan pihak yang
“disenangkan” penguasa pada suatu waktu dan komplain yang “dikorbankan” tidak merubah
keadaan penguasa, selama tidak muncul ancaman yang berbahaya.
Keadilan yang ideal adalah suatu proporsi kebijakan yang sesuai dengan hati nurani
penguasa setelah sekuat tenaga dalam waktu yang tersedia menimbang sampai terbayang
“rasa sakit” dari pihak yang dikorbankan. Jika rasa sakit pihak yang dikorbankan masih tidak
lebih besar atau masih sebanding dengan pihak yang “disenangkan”, maka cukuplah itu
menjadi keadilan. Karena tidak akan pernah ada keadilan objektif dalam keterbatasan objek.
Standar ganda tidaklah penting dalam persepsi keadilan sang penguasa, selama dia dalam
keadaan sadar penuh tanpa gangguan dan ancaman. Jika penguasa dalam keadaan
terganggu atau terancam, tidak perlu jauh-jauh bicara keadilan, selamatkan dulu kekuasaan
anda, apapun itu bentuknya. Jika 1 kg beras yang anda miliki ternyata sudah dicuri oleh
maling dari gudangnya, maka siapapun yang mau anda “senangkan” atau “korbankan” sama-
sama tidak mendapat beras. Maka, keadilan tanpa sumber daya dan kekuasaan hanyalah
sebatas pengkhayalan.
Jika Aku Bertanya kepada Orang-Orang tentang Apa yang Mereka Inginkan
Mereka Akan Meminta Kuda yang Lebih Cepat
(Henry Ford, Pendiri Ford Motor Company)
Orang-Orang Tidak Tahu yang Mereka Inginkan , Sampai Kau Tunjukkan pada Mereka
(Steve Jobs, Co-Pendiri Apple Computers)
58
Kesewenangan dalam kebijakan bisa menjadi opsi amoral dengan dalil keadilan dalam
keterbatasan. Kesewenangan yang berarti kesemena-menaan dalam berwenang adalah
intonasi negatif yang identik dalam menstigma penguasa yang lalim atau tidak adil. Namun
jika anda mempunyai (atau bahkan membuat-buat) bahan, data, sumber daya, argumen, dan
idealisme yang layak untuk dijadikan sebuah pembenaran (bukan kebenaran) keadilan
tertentu, maka anda bisa melakukan apa yang anda inginkan dengan tetap mendapat
dukungan dari pihak yang anda “senangkan” dan mungkin sedikit pemakluman dari pihak
yang “dikorbankan”. Secara prgamatis, hal ini adalah fisibilitas politik yang tak bisa ditolak.
Daripada misalnya, sudah harus capek-capek memperjuangkan sesuatu yang tidak sejalan
dengan kepentingan pribadi atau golongan anda, itupun sambil tetap mendapat perlawanan
dari pihak yang “dikorbankan” yang akan selalu ada, baik anda berjuang untuk kepentingan
anda ataupun tidak. Namun secara idealis, terkadang jalan ini ditempuh dalam rangka
mencapai tujuan yang lebih “mulia” (apapun arti mulia dalam pandangan anda) yang
biasanya bersifat restoratif atau pembaharuan sistem yang sudah rusak dalam fenomena
yang disebut Samuel P. Huntington sebagai “political decay” (pembusukan politik). Biasanya
perjuangan semacam ini tidak bertahan lama atau setidaknya sulit mendominasi status quo
yang ada, sehingga hal inipun sulit dikatakan sebagai kebijakan yang ideal karena tidak
fisibel umur manifestasinya. Karena keadilan yang seideal dan semulia apapun tidak akan
menghentikan teriakan dan perlawanan orang miskin yang diacuhkan, orang kaya yang
disingkirkan, pejabat-pejabat yang dilengserkan, tokoh-tokoh yang dipenjarakan, dan
“korban” lain yang menjadi persona non-grata (diacuhkan dan dikorbankan) dalam kebijakan
penguasa.
59
BAB XVI: KEBIJAKSANAAN
Tingkat Kebijaksanaan itu Intensitas Diskresi
Sesekali dan Arif Diskresi itu Panggilan Nurani
Keseringan dan Sembarangan Diskresi itu Korupsi
Pada suatu hari seorang polisi lalu-lintas menghadang seorang bapak tua renta dengan
penampilan mengenaskan yang mengendarai motor butut tanpa memakai helm. Belum
sempat resmi ditilang, sang bapak mengiba-iba minta ditoleransi dengan alasan , “Maaf pak
polisi, saya barusan cuma antar anak saya sekolah, jaraknya tidak sampai 1 km dari rumah.
Rumah saya kelihatan, itu pak di ujung jalan.” Dengan sedikit melakukan “ scanning” akan
kondisi bapak tua tersebut, “panggilan nurani” pak polisi merasa kasihan dengan
membatalkan surat tilangnya seraya berkata, “Terus kalau rumah bapak dekat dengan
sekolah anaknya, aspal jalanan berubah jadi lembek bantalan tahu? Sekali ini saja saya
maafkan pak, lain kali saya lihat tidak pakai helm lagi akan saya tilang! Ini demi keselamatan
bapak sendiri.” Pada hari-hari berikutnya sang bapak tua terus menggunakan helm jika
mengendarai motor, tak peduli seberapa dekat jarang tempuhnya.
Kemudian pada wilayah lain, seorang polisi melihat seorang bapak tua renta dengan
penampilan mengenaskan yang mengendarai motor butut tanpa memakai helm (kondisi
yang hampir serupa dengan cerita pertama). Namun karena kasihan, tanpa berpikir panjang
sang polisi membiarkan lewat begitu saja sang bapak yang awalnya tampak “gelisah” karena
takut ditilang. Ternyata setelah waktu berlalu, karena pak tua ini tidak kunjung ditilang tanpa
menggunakan helm berkali-kali, sang pak tua beranggapan berarti boleh-boleh saja tidak
pakai helm, setidaknya di jalanan yang dijaga polisi yang satu ini. Hingga suatu hari seorang
remaja yang berkendara motor tanpa helm dengan santai melintasi pos polisi. Tak ayal sang
polisi bergerak cepat menghadang motor sang remaja sambil meniup peluitnya tanda
pelanggaran. Belum sempat resmi ditilang, sang remaja malah protes kepada pak polisi,
“Kenapa saya ditangkap saat tidak pakai helm pak? Kata “bapak” saya tidak apa-apa tidak
pakai helm di jalanan sini.” Usut punya usut, ternyata sang bapak tua renta tadi adalah ayah
dari sang remaja, di mana sang remaja tersebut mengambil contoh dan informasi dari
ayahnya bahwa tidak mengapa tak pakai helm jika bermotor di wilayah tersebut. Sang polisi
yang kebingungan mencoba berdalih, “Ya kan bapakmu sudah tua renta, kasihan kalau
ditilang! Kamu kan masih muda, sehat dan bugar, saya tidak perlu kasihan sama kamu, pakai
helm saja kok susah!” Sang remaja yang tidak kalah akal membalas, “Terus kalau bapak saya
tua renta dan tidak pakai helm, tiba-tiba aspal jalanan berubah jadi lembek bantalan tahu?
60
Malah lebih bahaya beliau kalau kecelakaan pak, badannya lebih rapuh!” Pak polisi yang baru
mulai menyadari “ketidak-bijaksanaannya” memberikan kalimat penutup, “Pokoknya kamu
saya tilang! Dan sampaikan ke bapakmu, kalau tidak pakai helm lagi saya tilang!”
Dua paragraf di atas adalah simulasi penerapan “diskresi” dalam kondisi yang hampir sama,
namun memiliki metode dan hasil yang berbeda. Diskresi yang dimaksud adalah tindakan
yang mengabaikan policy (kebijakan) dan produk regulasinya (peraturan hasil kebijakan)
karena suatu pertimbangan dari pelakunya. Berprinsip adil dalam kebijakan adalah harga
mati untuk seseorang yang ideal, namun penegakan regulasinya tidak selalu demikian. Hal
ini mungkin terjadi karena pada praktik lapangannya, banyak “area abu-abu” yang tidak
selamanya bisa diputuskan sehitam-putih berdasarkan regulasi buatan manusia. Karena
kebijakan adalah produk “pengalaman” segelintir orang yang memiliki kekuasaan untuk
diterapkan kepada sebanyak-banyaknya orang dalam wilayah kekuasannya. Maka terkadang
hal-hal yang dialami masyarakat luas tidak selalu bisa diwakili oleh “pengalaman” segelintir
pembuat kebijakan tersebut.
Pada contoh pertama, sang polisi memang “menoleransi” satu kali kesalahan sang bapak
tua. Namun sang polisi tidak lupa memberi “langkah peringatan” dengan tetap menghadang
motor sang bapak, mengintimidasi dengan rencana penilangan, dan tidak lupa memberi
nasihat berupa penerangan akan pentingnya peraturan tersebut (tentunya diksi yang dipilih
tergantung sikon dan lawan bicaranya). Hasilnya adalah, sang bapak tua menyadari
kesalahannya dan dengan kesadaran sendiri (hasil nasihat polisi) selalu memakai helm di
masa selanjutnya, walaupun mungkin “dibumbui” sedikit ketakutan yang memang diperlukan
untuk menjaga ketertiban (ancaman akan ditilang kalo tidak pakai helm lagi). Inilah contoh
diskresi ideal dengan metode “kearifan” dengan intensitas “sesekali” (secukupnya dan
sewajarnya) karena panggilan “nurani”.
61
Kita beralih pada contoh ke dua, di mana sang polisi bukan hanya “menoleransi” kesalahan
sang bapak tua, namun “membiarkan” sama sekali dan begitu saja. Hal ini berakibat buruk
secara multidimensi. Pertama, sang bapak tua akan beranggapan bahwa, secara khusus
tidak apa-apa tidak mengendarai motor tanpa helm, atau bahkan secara umum tidak apa-
apa melanggar peraturan. Ke dua, sang bapak tua mengalami “moral hazard” (bahaya moral)
karena saat pertama kali ia melanggar dan masih “gelisah” ternyata ia dibiarkan, maka untuk
seterusnya ia bukan hanya sekedar melanggar, tapi “terbiasa” dengan santainya melanggar.
Ia sudah tidak peduli dengan keberadaan sang polisi yang berterusan membiarkannya lalu-
lalang tanpa helm dengan sepeda motor. Lama kelamaan, hal ini bisa berkembang ke hal-hal
lain, mungkin sang bapak tua tidak akan peduli dengan standar keamanan kerangka
motornya, spionnya, atau bahkan tidak mau mengurus surat ijin berkendaranya, karena toh
tidak akan diperiksa. Pada dimensi lain yang merambat ke lingkungan, diskresi semacam ini
menjadi “preseden teladan buruk”. Contoh di atas menunjukkan bahwa akhirnya sang anak
dari bapak tua tersebut turut menyimpulkan bahwa siapa saja yang mengendarai motor
tanpa helm tidak akan mendapat konsekuensi apa-apa. Ternyata tidaklah demikian, selain
memang berbahaya jika tidak menggunakan helm dan melanggar peraturan, sang anak
“salah menyimpulkan” bahwa sang polisi lebih mengedepankan rasa kasihan kepada bapak
tua, dan bukannya semua orang akan dibiarkan begitu saja. Namun jelas, karena rasa
kasihan yang salah tempat ini, sang polisi justru mendapat protes “nasihat” bahwa justru
sang bapak tua yang lebih rentan jika tidak menggunakan helm. Akhirnya sang polisi
kehilangan wibawanya dan tidak bisa memberi nasihat kepada sang anak, selain hanya
memberikan tilang dan dipandang “antagonis” karena ketidakarifannya. Inilah contoh
diskresi amoral dengan metode “sembarangan” ditambah intensitas “keseringan” karena
prinsip yang “korupsi”. Korupsi secara harfiah bermakna “rusak” (corrupt) yang berarti
prinsip pak polisi yang salah menaruh rasa kasihan dan tidak arif dalam pembiaran yang
berulang telah “merusak” tatanan orang-orang di wilayahnya untuk sadar berkendara motor
menggunakan helm.
Korupsi di atas bukan diartikan sebagai oknum polisi yang menilang seseorang, kemudian
bisa disogok agar tidak perlu ke pengadilan. Korupsi yang semacam ini, walaupun sama-
sama bisa digolongkan sebagai diskresi, memiliki tingkat “kerusakan” moral pada level yang
lebih tinggi karena bertujuan hanya untuk menguntungkan diri sendiri. Korupsi semacam ini
justru akan memberikan “moral hazard” yang akan diidap oleh sang polisi (bukan pada
pelanggar), karena ia akan cenderung untuk “mencari-cari korban” tilangan selanjutnya,
untuk ditangkap dan membayar “uang damai” yang masuk ke kantong pribadinya. Tentunya
62
ia juga tidak terlalu peduli apakah para “korban” tadi akan memakai helm pada kesempatan
selanjutnya ataupun tidak. Karena jika tidak ada yang melanggar, berarti ia juga tidak dapat
pemasukan tambahan.
63
BAB XVII: PENDAPAT & RESPON
Beda Pendapat Karena Beda Pendapatan
Beda Respon Karena Beda Sikon
Jikalau kebijakan dan kebijaksanaan adalah instrumen eksklusif milik penguasa, maka
masyarakat biasa punya pilihan untuk berpendapat. Sekalipun memang, pendapat itu
sifatnya pribadi dan tidak bisa “memaksa” banyak pihak sebagaimana kebijakan penguasa.
Tapi setidaknya berpendapat itu masih memiliki unsur persuasif bagi siapapun yang mampu
dijangkau pelakunya. Sikap yang reaktif atas stimulan politis bisa disebut sebagai “respon”
politis yang manifestasinya akan berbeda sesuai “sikon atau pendapatannya”, entah dia
sebagai pihak yang “disenangkan” atau “dikorbankan” dari sebuah kebijakan penguasa atau
sekedar interaksi politik sederhana.
Jika ada suatu negara atau lembaga yang mencabut kebebasan berpendapat, maka
sejatinya mereka sudah mencabut hak politik manusia di dalamnya hingga berada dalam
ambang batas “hewan yang beradab”. Karena mereka hanya bisa berpolitik secara horizontal
dalam interaksi receh sehari-hari, namun ditutup aksesnya secara vertikal dalam politik
praktis kenegaraan atau kelembagaan naungannya. Itupun masih tidak bisa menghentikan
unsur “respon” selama manusianya masih bernyawa, sekalipun memang jangkauan dan
pilihan tindakannya lebih terbatas.
Tentunya pendapat juga bisa mengandung standar ganda sebagaimana proporsi keadilan
yang kita bahas sebelumnya (baca bab “keadilan & kebijakan”). Pendapat seseorang
(sebagaimana kebijakan pemilik kekuasaan) akan selalu membela kepentingannya.
Sehingga pendapat yang murni objektif adalah ketidakmungkinan yang hakiki, sedangkan
pendapat yang murni subjektif adalah bunuh diri. Menurut Weber dalam Verstehen, yang
paling mungkin diperjuangkan adalah pendapat inter-subjektivitas, baik secara konsensus,
voting, ataupun cara lainnya. Tinggal bagaimana kreativitas seseorang dalam meracik
pendapatnya agar bisa menyentuh relevansi inter-subjektivitas tertentu, sehingga
pendapatnya banyak diterima dan memiliki validasi untuk layak diperjuangkan suatu kaum
secara bersama-sama, agar tidak mati konyol berjuang sendiri sia-sia.
Pendapat dan respon yang ideal diukur melalui konsistensi berdasarkan nilai yang dianutnya.
Seseorang harus memiliki identitas yang jelas dan selalu relevan dalam setiap kepentingan
dibalik pendapatnya. Sabar saat kalah dan memberi selamat kepada pemenang, bersyukur
64
saat menang dan tidak merendahkan yang kalah. Silakan perjuangkan kepentingan anda
lewat pendapat dan respon yang diperlukan dengan tidak menisbikan kepentingan pihak
yang bersebrangan.
Uniknya, semua orang tidak akan selalu setuju atau selalu tidak setuju atas perkara-perkara
yang berbeda terhadap orang lain. Karena varian kepentingan manusia sangatlah banyak,
sehingga masing-masing variannya harus menempuh jalan masing-masing untuk terpenuhi.
Di sinilah celah di mana pendapat dan respon bisa memiliki standar ganda serta menyentuh
golongan inter-subjektivitas berbeda untuk setiap pendapatannya. Karena sekali lagi, bias
latar belakang seseorang memainkan peran penting di sini. Artinya si A dan si B bisa menjadi
kawan dalam suatu perkara, kemudian menjadi lawan untuk perkara lainnya.
Anda tidak perlu terkejut jika melihat orang yang kalah dalam suatu interaksi politik
merespon berlebihan atau bahkan menyatakan pendapat yang sama sekali tak berhubungan.
Mungkin saja ada kepentingan lain yang lebih dalam semakin sulit tercapai dengan
kekalahan kecilnya pada interaksi yang sekarang. Atau mungkin dia ingin menggiring
interaksi politik ke arah yang lebih relevan dengan varian kepentingan selanjutnya, sambil
cepat merelakan kekalahan kepentingan sebelumnya.
Pendapat dan respon yang amoral diukur melalui inkonsistensi berdasarkan nilai yang
dianutnya. Seseorang harus mampu “bermimikri”, sebagaimana alam mengajarkan bunglon
untuk menghindari ancaman; ataupun “berkamuflase”, sebagaimana alam mengajarkan ular
hijau mengendap di dedaunan untuk mendapat “mangsa” dukungan. Dengan pendapat dan
respon yang adaptif terhadap perkembangan lingkungan perpolitikan, maka seseorang akan
selalu dianggap “relevan” sekalipun terasa ada “ganjalan”. Karena dalam perpolitikan, benar-
salah sulit dijadikan ukuran. Maka setidaknya “relevan” adalah status yang diperlukan agar
sebuah kepentingan bisa diperjuangkan atau dipertahankan. Amoral tetap bisa menjadi
elegan ataupun picisan, tergantung relevansinya. Menang sedikit mabuk, Kalah banyak
ngamuk (baca bab “marah”); adalah tanda respon amoral picisan. Pendapat dan respon
amoral yang elegan dan berkesinambungan akan menggiring anda menjadi “pengkhianat
tulen” sebagaimana dibahas pada bab “khianat=setia”, atau dalam analogi alam bisa disebut
sebagai “spesialis mimikri dan kamuflase” (bunglon).
65
BAB XVIII: DIPLOMASI & AGRESI
Diplomasi Hanya Dijadikan Alibi Agar Sah Ketika Menghakimi
Sekedar Proposisi Perang Urat Syaraf Sebelum Agresi
Diplomasi, baik secara formal maupun informal, berarti melakukan negosiasi dan kompromi
kepentingan suatu pihak dengan pihak lainnya. Diplomasi bisa pasti akan menciptakan suatu
hasil, entah kesepakatan, status quo, atau konfrontasi. Ketiga hasil tersebut membuat suatu
pihak seakan “sah” untuk “menghakimi” pihak lawannya dengan suatu tindakan sesuai hasil
akhir diplomasi tersebut.
Namun menariknya, sifat alami manusia untuk “menguasai dan mengontrol” sebesar-
besarnya akan mengarahkan hasil diplomasi tersebut, secara cepat atau lambat, ke arah
agresi. Jika hasil diplomasi tersebut berujung pada konfrontasi, maka “agresi” tersebut akan
segera saja terjadi, entah dalam bentuk perang (misalnya konflik antar negara), penggugatan
hukum (misalnya antar perusahaan), atau pertengkaran fisik (misalnya antar teman), hingga
gugatan cerai (misalnya antar pasutri). Jika tidak terjadi kesepakatan apapun (status quo),
maka para pihak yang berkonflik akan terus melakukan tindakannya masing-masing dan
seiring waktu hanya akan meningkatkan ketegangan yang sudah terjadi hingga dibutuhkan
diplomasi ulang atau hingga akhirnya terjadi “agresi” juga.
Hal yang menarik untuk dibahas adalah ketika terjadi kesepakatan dalam diplomasi tersebut.
Jika para pihak yang berkonflik tetap eksis dengan berbagai kesepakatan dalam waktu yang
relatif lebih lama (bahkan berpuluh-puluh hingga ratusan tahun), pada akhirnya juga akan
terjadi “agresi”. Logikanya, dalam suatu kesepakatan dapat dipastikan terjadi “pengorbanan
kepentingan” atas para pihak yang berkonflik untuk meredakan ketegangan di antara
mereka. Pengorbanan kepentingan ini akan membuat para pihak tersebut tidak bisa
mencapai tingkat kepuasan yang diharapkan, sehingga pada suatu ketika, dengan suatu cara
atau sebab, kesepakatan ini akan dilanggar. Entah terjadi pergantian pemimpin suatu
lembaga, entah terjadi faktor darurat, entah ada dorongan (ancaman atau dukungan) dari
pihak eksternal maupun internal, entah hanya karena murni ketamakan, apapun itu pada
akhirnya akan terjadi pelanggaran kesepakatan. Sehingga pembaruan diplomasi tidak akan
terelakkan, hingga akan terjadi pelanggaran kembali, dan begitu seterusnya hingga jalur
diplomasi dianggap tidak bisa memfasilitasi sampai terjadilah agresi. Konflik antar
perusahaan yang berebut paten kekayaan intelektual, misalnya, mungkin akan menghabiskan
beberapa tahun hingga suatu perusahaan “melenyapkan” perusahaan pesaingnya, baik
66
dengan agresi kriminalisasi hukum, penetrasi market-share, hingga akuisisi saham.
Sedangkan konflik yang terjadi antar negara atau pemerintahan bisa terjadi berpuluh-puluh
tahun, hingga ratusan tahun (misalnya masa kolonialisasi, atau perang dagang antar negara
adi kuasa).
Penulis bukan menekankan bahwa berarti diplomasi merupakan hal yang sia-sia,
melakunkan diplomasi adalah proses yang “elegan” untuk melangkah menuju suatu
keniscayaan agresi. Karena agresi yang dilancarkan tanpa diplomasi merupakan langkah ke-
rimba-an, serta akan menyulitkan dalam jangka panjang dikarenakan kita menjadi “musuh
bersama” semua pihak dan mereka semua akan menutup akses kita untuk mencapai
kepentingan. Dalam sejarah, pihak yang melakukan ini dengan skala mendunia adalah kaum
Mongol pimpinan Genghis Khan hingga akhirnya berakhir di era Kubilai Khan di Blitar,
Nusantara. Keberhasilan mereka mengagresi separuh dunia tanpa proses diplomasi
membutuhkan sifat-sifat yang sangat tidak berperikemanusiaan (silakan baca sejarah
perlakuan pasukan Mongol terhadap jajahannya), dan tentunya membutuhkan kekuatan
militer yang bukan main-main. Jika kita persempit lokus kita pada kehidupan sehari-hari, kita
tidak bisa tiba-tiba memukul siapa saja yang tidak setuju dengan kita karena kita akan
dihajar massa atau diperkarakan secara hukum. Di sisi lain kita tidak bisa seenaknyaa
menggugat hukum semua orang yang kita anggap “mengganggu”, karena proses dan biaya
hukum yang sangat mahal. Singkatnya, dalam kehidupan normal, diplomasi adalah proses
yang tak terhindarkan, pun begitu pembaca buku ini lebih tahu bahwa “agresi” di masa
mendatang juga tak terhindarkan pasca diplomasi, berapa lama pun waktunya.
Diplomasi menjadi opsi ideal bagi para pihak yang memiliki konflik kepentingan untuk
menunda terjadinya agresi atau menghindari status quo yang dianggap lebih merugikan
daripada berkompromi, kemudian yang terpenting adalah mentaati segala ketentuan jika
terjadi kesepakatan. Agresi dalam bentuk apapun akan membutuhkan suatu “kapital”,
sebagaimana politik (baca bab “kapital”). Anda harus memiliki militer yang kuat untuk
berperang, memiliki pengacara yang hebat dan mahal untuk berproses hukum, atau memiliki
tubuh kuat dan teknik bela diri untuk berkelahi. Diplomasi bisa menjadi jalan ideal jika kapital
ini belum anda miliki untuk menghindarkan kekalahan dalam agresi, bisa juga jika anda
menganggap jalur agresi tidak efisien dibandingkan berdiplomasi, walaupun secara kapital
anda lebih unggul dan bisa menang. Karena dalam suatu agresi, menang ataupun kalah akan
menghabiskan sumber daya yang berharga (Kalah jadi abu, menang jadi arang). Opsi ideal ini
berlaku bagi pihak yang berkomitmen untuk mentaati kesepakatan diplomasi tersebut,
67
hingga cukup sabar menunggu bagi pihak lawan untuk melanggarnya, hingga kemudian anda
punya “legitimasi” untuk menghakimi lawan karena pelanggarannya, entah dengan diplomasi
ulang dengan ketentuan yang lebih menekan lawan karena pelanggarannya yang lalu atau
melakukan agresi.
Agresi hanya bisa terhindarkan / terbatalkan seutuhnya dikarenakan dua faktor. Faktor
pertama yaitu kelompok yang eksis berlandaskan rasa cinta kasih (misalnya keluarga atau
pertemanan). Semua dinamika dan perselisihan yang terjadi di dalam keluarga atau
pertemanan bisa didiplomasikan sampai anggota keluarga meninggal dunia atau suatu
pertemanan berakhir karena perpisahan, tanpa ada ketegangan yang memuncak sampai
terjadi suatu “agresi” (perceraian / permusuhan / perkelahian). Kemudian faktor ke dua yaitu
“musnahnya” eksistensi kelompok tersebut. Dalam kasus bisnis, misalnya perusahaan yang
bangkrut sehingga perusahaan saingannya terbebas dari kompetisi dan ketegangan yang
belum sempat memuncak hingga terjadi suatu agresi. Contoh lainnya dalam kasus militer
pemerintahan, misalnya suatu kerajaan yang luluh-lantah terjerat pemberontakan internal
sehingga kerajaan musuhnya tidak perlu berperang untuk menghancurkan kerajaan tersebut.
Menariknya dalam faktor ke dua ini adalah, bahwa suatu “agresi” dapat terbatalkan karena
“agresi” lainnya. Misalnya terjadi pada contoh kerajaan yang luluh-lantah karena “agresi
pemberontak” sebelum “agresi kerajaan musuhnya”.
Di sisi lain, diplomasi bisa menjadi “bentuk pengakuan” untuk sebuah entitas. Pengakuan ini
tidak harus selalu dianggap “setara dan sejajar” dengan entitas lawan diplomasinya, namun
setidaknya dia memiliki suatu kekuatan atau kapital yang entah dibutuhkan atau
diperhitungkan, bahkan ditakuti oleh lawan diplomasinya. Sudah sewajarnya jika suatu
negara berdiplomasi sesama negara karena sejajar status kedaulatannya, bisa juga suatu
perusahaan dengan perusahaan lainnya karena sejajar status institusinya di mata hukum.
Tapi perlu dipahami juga bahwa konsep “setara dan sejajar” di sini adalah level entitasnya,
dan bukan kualitas kekuatannya. Suatu negara besar bisa serta-merta menolak tawaran
diplomasi suatu negara kecil yang tidak memiliki kapital berarti, sedangkan negara itu bisa
membuka pintu investasi terhadap sebanyak-banyaknya korporat internasional.
Contoh silang bisa terjadi, misalnya terdapat diplomasi investasi antara suatu negara dengan
korporat internasional untuk pengolahan suatu SDA, artinya sang negara mengakui bahwa
sang perusahaan memiliki teknologi yang dibutuhkan, sedangkan sang perusahaan
mengakui bahwa sang negara menyimpan bahan yang bisa menguntungkan. Atau contoh
68
lain dalam konflik militer domestik, negara terpaksa berdiplomasi dengan gerakan
pemberontak bersenjata karena kekuatan mereka cukup signifikan untuk dilawan. Padahal
prinsipnya suatu negara tidak layak bernegosiasi dengan pemberontak, teroris, atau bangsa
yang belum merdeka karena entitas mereka yang masih di bawah negara tanpa adanya
kedaulatan.
Diplomasi menjadi opsi amoral jika anda sudah merencanakan pelanggaran atas
kesepakatan diplomasi tersebut dengan memanfaatkan kelengahan lawan yang merasa
“aman” dari hasil diplomasi tersebut. Tidak ada yang bisa mencegah suatu pihak melanggar
suatu kesepakatan, jika konsekuensi dari pelanggaran kesepakatan tersebut tidak cukup
untuk membuat pihak yang melanggar mendapatkan kerugian yang lebih besar
dibandingkan hasil yang dia dapatkan dengan pelanggarannya. Anda harus selalu waspada
terhadap lawan diplomasi anda sekalipun tercapai sebuah kesepakatan, terutama jika tidak
ada konsekuensi signifikan atas suatu pelanggaran. Konsekuensi yang tidak signifikan ini
biasanya terjadi bila tidak ada suatu arbitrasi / penengah yang lebih kuat daripada para pihak
yang berkonflik dalam diplomasi mereka. Misalnya ada dua perusahaan berkonflik yang
ditengahi tim pengacara di bawah payung hukum akan berpikir panjang untuk melanggar
hasil kesepakatan kontrak. Sedangkan dua partai politik yang bersepakat atas suatu
dukungan pencalonan pada rapat tertutup tidak akan mendapat konsekuensi yang
mengancam jika berkhianat dan mengalihkan dukungannya.
69
BAB XIX: DEMOKRASI DAN PEMERINTAHAN
Politisi Disfungsi, Rakyat Sibuk Berdemokrasi
Tercapai Secara Esensi, Tapi Merusak Aspek Fungsi
Sekedar Garansi untuk Mewajarkan Sedikit Orang
Mengeksploitasi Sebanyak-Banyaknya Orang
Kita akan mencoba sebuah dekonstruksi aksioma publik awam tentang sebuah sistem yang
dianggap “mapan” secara universal (seakan-akan tidak mungkin ada salahnya), yaitu
demokrasi. Selama kita masih tinggal dalam suatu peradaban kemasyarakatan, baik dalam
negara, atau kerajaan, hingga suku pedalaman, pada dasarnya sistem politik kita hanya ada
dua pilihan: yaitu demokratis atau otoritarian. Saya serahkan kepada anda untuk
menganalisa spesifikasi cabang kedua sistem tadi untuk disesuaikan pada negara atau
kerajaan tertentu. Bagaimana dengan anarki? Anarki atau absennya sebuah tatanan dan
pemerintahan membuat manusia berdegradasi tanpa ada tempat berharap selain dirinya
sendiri, di mana anarki membunuh esensi dari politik itu sendiri, yaitu bermasyarakat (polites:
masyarakat). Bahkan sistem kesukuan manusia purba saja sudah menyadari bahaya dari
ketiadaan otoritas dalam anarki. Jika kala purba itu mereka menolak anarki untuk saling
menjaga sesama dari kerasnya alam, anarki di jaman modern harus dihindari demi tercapai
tatanan peradaban dan mencegah kehancuran besar-besaran.
Pada bab ini, penulis mencoba untuk menggugah pandangan pembaca. Bertrand Russell
pernah berkata, “Kebebasan berpendapat hanya eksis di saat pemerintah merasa rezimnya
“aman”.” Jika seseorang masih bebas membaca buku bertema seperti ini (dan penulis bisa
menerbitkan buku ini), maka asumsinya mereka berada dalam sistem demokratis dengan
hak kebebasan berpikir dan berpendapat, serta punya pengharapan politis dan tidak seperti
70
negara otoritarian. Namun, apakah demokrasi itu sebebas dan seadil yang orang awam
bayangkan? Kita akan mencoba melintasi sedikit sejarah demokrasi.
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu kata Demos (rakyat) dan Kratos
(kekuasaan) yang secara istilah bermakna kekuasaan yang berasal dari dan untuk rakyat.
Maka pemerintahan yang menganut demokrasi diharapkan membentuk sistem terpimpin
oleh otoritas yang dipilih langsung oleh rakyat, dengan ekspektasi bahwa kebijakannya
benar-benar loyal terhadap kepentingan rakyat. Sistem yang sebanyak mungkin melibatkan
rakyat sebagai landasan kebijakan dan politiknya, diperkirakan dapat memberi kesejahteraan
lebih baik, pendidikan yang lebih maju, serta kesadaran bernegara yang lebih mendalam.
Logika sederhananya adalah partisipasi politik berbanding lurus dengan keberhasilan
kebijakan dan kemakmuran rakyat.
Yang menjadi tanda tanya adalah, bahwa sosok Tuhan yang sempurna disematkan ke dalam
subjek-subjek yang jauh dari kata sempurna. Misalnya, dalam sistem yang otoritarian
(monarki ataupun nation-state), keputusan absolut di tangan seorang pemimpin yang
pastinya juga manusia biasa, dianggap manusia terbaik “titipan Tuhan” di masa
pemerintahan dan wilayah kedaulatannya. Pemimpin absolut ini tetap butuh makan, istirahat,
hiburan, mood, pengetahuan, pengalaman, dsb. Mereka juga tidak lepas dari
ketidaksempurnaan seperti lelah, lapar, birahi, kantuk, bosan, emosi, ragu, tidak tahu, dsb.
Sebenarnya klaim terhadap nama Tuhan ini memang dibenarkan dalam dogma keagamaan.
Terutama dengan kepemimpinan di suatu negeri dalam masa kekuasaan agamanya masing-
masing. Pada ajaran agama-agama Abrahamik kita mengenal sosok-sosok raja “pilihan
Tuhan” (entah orang yang sangat beriman, atau bahkan beberapa di antaranya sekaligus
berstatus nabi) misalnya ada sosok-sosok Raja Israel Thalut/Saul, Daud/David,
Sulaiman/Salomon; hingga di era Agama Islam terdapat gelar Khalifah untuk Muhammad.
71
Sedangkan contoh pada epos agama Hindu kita mengenal sosok-sosok raja yang
merupakan titisan para dewa; seperti Maharaja Manu (titisan Dewa Wiwaswan), Raja
Kosala / Ayodhya: Rama (titisan Dewa Wisnu), Raja Yadu / Dwarawati: Kresna (juga titisan
Dewa Wisnu pada era berbeda), Raja Kuru / Hastinapura: Yudhistira (titisan Dewa Dharma),
dll. Pada dasarnya mereka juga punya mekanisme uji kelayakan, pengaderan, hingga
pemilihan calon pemimpin, penasihat politik, dan perwakilan wilayah, serta kemiliteran,
ditambah “alat-alat” kenegaraan lain yang menjustifikasi bahwa sebenarnya pemimpin
mereka hanyalah manusia biasa yang butuh bantuan, baik selama masa pertimbangan
maupun pelaksanaan kebijakannya. Sekalipun keputusan mereka menjadi absolut jika telah
dititahkan, karena “Vox Rex Vox Dei” atau suara raja (sang orang pilihan, sang nabi, atau
titisan dewa) dianggap suara Tuhan.
Di sisi lain, tidak sedikit pula raja-raja zalim yang sangat bertolak belakang dengan raja-raja
yang diteladani dari ajaran agama-agama tadi, namun mereka tetap meng-klaim bahwa
suara mereka adalah suara Tuhan dengan memanfaatkan kepatuhan masyarakat kepada
sistem keagamaan yang dianut wilayah itu. Tak lupa dalam beberapa kasus ekstrim,
beberapa menganggap bahwa mereka adalah Tuhan itu sendiri (Fir’aun Mesir Ramses II dan
Raja Babilon Namrud/Nimrod). Sederhananya dalam sistem otoritarian, masyarakat akan
mengalami kondisi ekstrim menjadi sangat sejahtera atau sangat menderita, tergantung
kepemimpinan sang raja. Karena tidak ada kekuatan struktural yang akan mengganggu
kebijakan raja untuk adil dan bijaksana, ataupun mengganggu kezaliman raja untuk bodoh
dan berfoya-foya. Setidaknya itu sedikit sinopsis otoritarianisme yang sekali lagi, dengan
“jantan” memaksa masyarakatnya tunduk secara absolut. Sinopsis otoritarian ini sekedar
untuk pembukaan “invidious comparison” (perbandingan yang menyakitkan) atas apa yang
akan kita bahas dalam demokrasi.
Demokrasi juga memiliki ketidakadilannya sendiri dalam mengklaim nama Tuhan. Sebagai
protes akan rentannya kesewenangan satu individu dalam memimpin bangsa, maka rakyat
turut dilibatkan agar terpilih pemimpin dan tercipta sistem yang “dianggap” mewakili
kepentingan semua pihak. Masalahnya, tidak ada yang namanya sistem yang “terlampau”
adil dan mampu mewakili semua pihak (sebagaimana dibahas dalam bab “keadilan &
kebijakan”). Pasti tetap ada yang dimenangkan dan dikorbankan. Logika demokrasi terletak
pada yang lebih banyak jumlahnya. Mayoritas dianggap suara kebenaran dan mewakili
kehendak Tuhan. Seakan Tuhan-lah yang menaruh hati banyak orang untuk memiliki pilihan
atau kepentingan yang sama hingga akhirnya “menang”, sekaligus menaruh cobaan atau
72
bahkan “setan” pada hati sedikit orang untuk memilih atau berkepentingan sebagai minoritas
hingga harus menerima kekalahan dan dikorbankan.
Pertama kita akan mengkritik sistem pemilu “one man one vote” (satu orang satu suara)
yang banyak diterapkan negara-negara demokrasi. Harapan dari sistem ini adalah, sekali lagi,
semua orang merasa terfasilitasi, dianggap, dan dilibatkan dengan nilai yang sama, tidak
peduli ras, gender, tingkat pendidikan, status kemasyarakatan, tingkat kesejahteraan, dsb.
(Tentu saja masih memperhatikan tingkat kedewasaan, seperti usia atau status pernikahan,
serta memiliki akal sehat atau tidak sakit jiwa). Namun di sinilah justru letak kelemahan
terbesarnya! Bagaimana mungkin menyamakan nilai suara seorang profesor doktor ilmu
politik dengan seorang (maaf) gelandangan tanpa gelar pendidikan? Atau menganggap
sepadan seseorang di kota metropolitan (yang mengikuti perkembangan berita calon
pemilu) dengan seseorang yang (maaf sekali lagi) tinggal di pedalaman hingga tak
terjangkau saluran listrik dan buta huruf? Di mana letak “keadilan” dari “persamaan” suara
ini? Sungguh jauh dari konsep keadilan yang proporsional. Kalau ada alasan kenapa anak di
bawah umur dan orang gila tidak memiliki hak suara (bernilai nol), bagaimana orang-orang
yang buta politik? Jika mau diambil invidious comparison dalam hal ini, bukankah
seharusnya remaja di bawah umur yang masih mengikuti berita perpolitikan lebih berhak ikut
pemilu daripada seorang dewasa yang terisolasi di pedalaman?
Kritik ke dua akan penulis tujukan kepada sistem kemenangan berdasarkan mayoritas suara.
Contoh yang sangat disederhanakan untuk membandingkan kebaikan vs keburukan, jika
suatu desa melakukan Pilkades dengan 2 calon, calon pertama seorang Kyai sedangkan
calon ke dua adalah seorang preman. Jika di dalam desa itu terdiri dari 100 jamaah saleh
dan 1000 preman, kira-kira siapa pemenangnya? 100 saleh vs 1000 preman? Tentunya
kehidupan nyata tidak sehitam-putih itu bukan? Contoh lain yang agak disederhanakan untuk
membandingkan profesi vs profesi. Jika dalam suatu Pilkades terdapat dua calon, calon
pertama seorang petani dan calon ke dua seorang nelayan. Jika di dalam desa itu terdiri dari
100 petani dan 1000 nelayan, kira-kira bagaimana nasib petani setelah Kepala Desa terpilih?
Kebahagiaan 1000 nelayan harus dibayar dengan “mengorbankan” kepentingan 100 petani.
Dalam dunia nyata, tentunya segala variabel pemilihan akan lebih kompleks. Jumlah calon
bisa lebih dari 2 orang, ditambah faktor kepentingan tidak hanya dari profesi saja, melainkan
agama, ras, suku, status sosial, program kerja, kontrak politik, hingga penampilan fisik sang
calon, dsb (baca bab “kapital”). Namun sekompleks apapun variabelnya, pada akhirnya
pemenang tetaplah calon dengan suara terbanyak, sehingga para minoritas akan kalah dan
73
dikorbankan. Sebenarnya, selama porsi keadilan proporsional (dibahas dalam bab “keadilan
& kebijakan”) bisa dijalankan sebaik-baiknya, maka hal ini setidaknya bisa dimaklumi. Namun
hal ini hampir tidak memungkinkan dikarenakan konsekuensi buruk demokrasi yang akan
kita bahas selanjutnya.
Kritik ke tiga akan penulis tujukan kepada sistem voting demokrasi yang memaksa para
calon untuk “menjual dirinya”. Masyarakat akan memberikan suaranya kepada calon yang
dianggapnya “terbaik” di antara calon-calon lainnya dengan cara membandingkan prestasi
dan keburukan para calon. Hal ini tidak terbatas pada karir politik saja, tapi bisa merambat
pada kondisi keluarga, pekerjaan, keilmuan, agama, ras, bahkan fisik seorang calon (baca
bab “kapital”). Para calon dan tim suksesnya akan mengeluarkan biaya yang sangat besar
untuk mencitrakan yang terbaik dengan menampilkan prestasi-prestasi terbaiknya serta
menjauhkan keburukan-keburukannya di mata masyarakat. Bayangkan berapa biaya yang
dikeluarkan untuk biaya iklan media cetak dan elektronik, pemasangan baliho, pembagian
brosur dan merchandise, rapat koordinasi (plus entertainment tingkat tinggi) di tempat-
tempat mewah, biaya organisir event selama kampanye, bahkan hingga money politic di balik
layar, dsb. Singkatnya, demokrasi itu super mahal! Mahalnya demokrasi ini memaksa
seorang calon (tidak terkecuali calon independen) harus “berhutang budi” terhadap tim
suksesnya. Karena tim sukses tidak hanya sekedar loyalis sejati, seperti beberapa anggota
partai politiknya, keluarga, atau relawan saja, tapi juga rival politiknya di partai yang sama
atau partai pendukungnya, pengusaha-pengusaha, dan kaum-kaum “berstatus sosial tinggi”
lainnya yang menitipkan proyek-proyek atau kebijakan tertentu pasca kemenangan sang
calon. “No free lunch”, tidak ada bantuan yang gratis, terutama dari pihak “loyportunis” yang
justru biasanya menjadi gerbong suara penentu kemenangan (baca bab “loyportunis”). Selain
mahal secara biaya, praktek “menjual diri” bagi calon ini juga berdampak buruk secara moral,
dengan menekankan bahwa tidak mungkin bekerja “ikhlas tanpa pamrih” atau berprestasi
tanpa suatu ekspos berita. Karena hal ini harus menjadi “selling point” atau keunggulan
komparatif seorang calon. Kemudian calon juga dipaksa “berbohong” dengan sejauh
mungkin mengubur berita-berita keburukannya atau mengklaim sebuah prestasi yang
sejatinya bukan prestasi, mungkin rekayasa statistik di mana Indikatornya diutak-atik
walaupun bukan kondisi lapangannya yang membaik. Apapun metodenya, klaim ini dibuat
sedemikian rupa dengan kondisi yang relatif kompleks untuk dicari kebenarannya. Tipu daya
menjual diri ini akan menjadi bahan perdebatan antar tim sukses atau konstituen elit, namun
akan menjadi “makanan mentah” bagi masyarakat “awam”, di mana justru masyarakat
awam, dengan serba keterbatasan ilmu politik dan wawasannya inilah yang umumnya
74
menjadi massa mengambang dan diperebutkan para calon. Kemudian, seharusnya petahana
harus “dipaksa” cuti dengan titah regulasi, jika dalam suatu pemilihan ingin mencalonkan diri
kembali. Karena sulit membedakan apakah dia sedang bekerja mengabdi atau
mempersiapkan kampanye promosi.
Kritik ke empat adalah bahwa demokrasi dengan cita-cita “dari rakyat untuk rakyat” jelas
tidak bisa tercapai karena pada praktiknya demokrasi tetap menggunakan irisan-irisan
sistem lain, terutama untuk bisa menang dalam pemilu berdasarkan ketiga kritik
sebelumnya. Dalam sejarah Indonesia berdiri, sistem demokrasi kita secara semu
membungkus berbagai irisan sistem lain yang beroperasi sesuai jamannya:
Orde Lama, Pemilihan presiden saat proklamasi bisa dianggap memiliki irisan sistem
“meritokrasi/timokrasi”. Beberapa cendekiawan yang dianggap layak berkumpul dan
menetapkan sistem pemerintahan dan pemimpinnya tanpa melibatkan masyarakat di
wilayah-wilayah yang diklaimnya. Kemudian pemerintahan berjalan secara “aristokrasi”
dengan tokoh-tokoh utama para cendekiawan dan tidak lupa munculnya “teknokrasi”
sebagai konsekuensi politik “mercusuar”. Hal ini masih bisa dimaklumi karena pada waktu
itu Indonesia adalah negara yang baru bebas dari penjajahan dengan segala keterbatasan
materiil dan sumber daya manusianya namun tetap berambisi menjadi “macan asia”. Hingga
pemilu pertama diadakan pada tahun 1955 yang hanya diadakan untuk memilih anggota
legislatif, namun tidak pemilihan presiden. Ditambah ketetapan MPRS tahun 1963 yang
mengesahkan bahwa Sukarno menjadi presiden seumur hidup, maka resmilah Sukarno
menjadi seorang “tirani”. Adanya sistem presidensil dan pemilu seyogianya harus sepaket
dengan cita-cita Trias Politica, Montesque, untuk mengadakan check and balance serta
share of power untuk keadilan kepentingan. Namun rupanya demokrasi ini “disunat”
sebagian, di mana legislatif boleh berganti namun presiden bertahan sampai mati.
Orde Baru, Dengan settingan canggih, pihak militer yang dipimpin Suharto bisa menggeser
sang “presiden seumur hidup” Sukarno, sebelum wafatnya. Dengan berkuasanya pihak
militer, maka Indonesia memasuki era sistem “oligarki”. Seiring waktu, “keluarga cendana”
dan anak-anak usahanya juga mempraktekkan “kleptokrasi dan plutokrasi” dengan
menguasai SDA dan belanja pengadaan negara sebesar-besarnya dengan golongan mereka
sendiri. Singkatnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terpusat dalam jaringan Suharto
sudah menjadi rahasia umum dalam pemerintahan ini. Dengan kekuatan sistem-sistem
tersebut, Suharto berhasil manjadi “tirani” selanjutnya dengan mempertahankan status
75
kepresidenannya selama 32 tahun dalam 5 kali pemilu, yang sebenarnya melibatkan
pemilihan presiden (1977-1997). Namun Suharto masih terlalu kuat untuk dilengserkan lewat
5 kali pemilu. Maka benarlah bahwa demokrasi yang semu selama orde baru ini digunakan
sebagai garansi sedikit orang untuk mengeksploitasi sebanyak-banyaknya orang. Jika saja
tidak ada krisis moneter akibat faktor eksternal, mungkin Suharto akan memerintah lebih
lama lagi (pergolakan Baht Thailand yang didalangi George Soros hingga mengguncang
berbagai negara Asia Tenggara, pihak oposisi memanfaatkan momentum kehancuran
ekonomi yang merambat sampai ke Indonesia untuk memaksa turunnnya Suharto).
Reformasi, Hal yang paling menarik sekaligus ironis dalam era reformasi adalah setelah
relatif munculnya “kesempurnaan” Trias Politica, dengan pemilu presiden dan legislatif yang
cukup mewakili keseimbangan kekuatan politik dalam negara. Tidak ada lagi tirani, tidak ada
lagi korupsi terpusat, tidak ada lagi aristokrasi bangsawan atau plutokrasi militer, hingga
semua golongan merasa dilibatkan dan terwakilkan lewat banyaknya partai politik pada
setiap pemilu. “Esensi” keterlibatan rakyat sudah relatif terpenuhi, tapi bagaimana dengan
fungsi pemerintahannya? Tragisnya, dampak dari “keseimbangan” kekuatan ini berbanding
lurus dengan peluang “kleptokrasi dan plutokrasi” yang membengkak karena diterapkan
dengan tidak terpusat. Banyak kaum yang merindukan masa Suharto dengan meme “Piye
kabare? Enak Jamanku Toh?” Sebesar-besarnya korupsi masa Suharto yang terpusat, adalah
sekedar untuk mempertahankan kekuasaan, namun di saat yang sama masih banyak
“potongan kue” untuk tetap menjaga stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat di bawah.
Harga kebutuhan pokok masyarakat relatif terjaga murah dan stabil, saturasi kegaduhan
sosial-politik dapat diredam dengan tangan besi, singkatnya masyarakat bisa hidup makmur,
tenang, dan sejahtera, selama tidak mengganggu pemerintah. Namun yang terjadi pada era
reformasi, “kleptokrasi dan plutokrasi” yang tidak terpusat justru menjadi “kue” rebutan para
elit yang “berkekuatan imbang” di mana akhirnya hanya menyisakan “remah-remah”
kesejahteraan untuk masyarakat yang harusnya mereka perjuangkan. Belum lagi “teknokrasi”
titipan lokal dan asing yang semakin meningkatkan jurang kesenjangan daerah maju dan
tertinggal. Sudah sifat alami manusia, terpusat ataupun tidak, untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan. Sehingga semakin banyak “pemain” maka sudah pasti
semakin “gaduh” arenanya (mana yang anda pilih, menonton duel tinju dalam ring atau
tawuran masal antar siswa?). Pada era reformasi, harga kebutuhan pokok masyarakat
cenderung bervolatilitas tinggi, saturasi kegaduhan sosial-politik justru menjadi komoditas
isu untuk kampanye pemilu selanjutnya, singkatnya masyarakat relatif lebih sulit hidup
makmur, tenang, dan sejahtera, apapun afiliasi politiknya dibandingkan era orde baru. Lebih
76
unik lagi, demokrasi yang mendekati “sempurna” selama reformasi ini seharusnya menjadi
lahan di mana mayoritas mengeksploitasi minoritas. Namun kenyataannya, dari mayoritas ini
masih “diwakili” oleh para elitnya untuk mengeksploitasi kaum non-elit, termasuk para
konstituen mereka sendiri yang jumlahnya mayoritas tadi. Karena korupsi yang dilakukan
kaum elit ini tidak pandang bulu, “irisan kue” yang dimakan juga merupakan hak-hak
masyarakat, baik mayoritas maupun minoritas. Sehingga dalam demokrasi sempurna-pun
selama reformasi ini, tetap digunakan sebagai garansi semu sedikit orang untuk
mengeksploitasi sebanyak-banyaknya orang! Bahkan seperti kanibal, karena turut memakan
hak pendukungnya sendiri.
Kritik keempat tadi tidak dimaksudkan untuk memberi citra buruk dari para pelaku politik,
termasuk para presiden, di tiap eranya. Tentu masing-masing mereka turut memiliki jasa dan
prestasinya masing-masing. Yang ingin penulis tekankan adalah, bahwa demokrasi bukanlah
sistem yang secara aksioma atau di luar kepala bisa dianggap “benar” atau “paling baik”.
Dalam keadaan yang mendekati sempurna-pun (secara keterlibatan masyarakat dan
keseimbangan kekuatan), terbukti bahwa fungsi pemerintahan tidak mampu
“mengembalikan” kesejahteraan kepada rakyat. Singkatnya, kesempurnaan demokrasi tidak
berbanding lurus dengan kesempurnaan fungsi pemerintah terpilih dari demokrasi.
Demokrasi juga “memaksa” orang-orang baik yang berkompetisi dengan membawa cita-cita
mulianya masing-masing untuk berkompromi dan berkorupsi, hanya untuk sekedar “bertahan
hidup” di dalam arena, apalagi sampai bisa memenangkan kontestasi.
Kritik ke lima adalah, demokrasi selalu membutuhkan suara terbanyak dan senantiasa harus
meminta bantuan suara, hingga terpaksa berbagi kekuatan dengan banyak pihak. Hal ini
membuat pemimpin terpilih berposisi sangat lemah. Pada kritik ke lima ini, penulis tidak lagi
menekankan pada kesulitan pemimpin menjalankan program kerjanya dikarenakan sibuk
membayar hutang politiknya, namun pada bagaimana seharusnya masyarakat lebih cermat
memilih pemimpin. Sosok pribadi seorang pemimpin menjadi hampir “nisbi” setelah ia dipilih,
karena program kerja yang memprioritaskan hutang-hutang politik atas pendukungnya tadi.
Berarti sejatinya dalam berdemokrasi, masyarakat tidak perlu repot-repot melihat siapa
pemimpin yang tampil di depan, tapi langsung melirik siapa pendukung-pendukung di
belakangnya. Karena merekalah yang akan menjadi dalang di belakang layar atas program
kerja dan kebijakan pemerintahan. Bertrand Russell pernah berpesan, “Demokrasi adalah
sistem di mana kita memilih seseorang untuk jadi sasaran caci-maki dan disalahkan.” (baca
bab “di balik layar”).
77
Dengan kelima kritik di atas, penulis juga tidak serta-merta mengatakan bahwa demokrasi
adalah sistem “terburuk” untuk diterapkan, namun dengan mengubah persepsi menjadi
“belum tentu paling benar”, setidaknya sistem demokrasi bisa berdiri sejajar dengan sistem-
sistem lainnya dalam persepsi yang fair & balanced. Pemahaman ini diharapkan bisa
membuka cakrawala pembaca untuk lebih bijak dalam pemilu, menanggapi isu-isu politik,
serta yang terpenting lebih bijak dalam kehidupan sehari-hari dengan tidak berprinsip bahwa
yang paling banyak-lah yang harus menang atau paling benar. Demokrasi bisa menjadi
sistem ideal jika suatu kelompok/lembaga/negara tidak memiliki kesenjangan yang terlalu
jauh (dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan, ras, dsb.), sehingga tingkat kematangan
politik mereka bisa benar-benar murni untuk kemajuan kelompok/lembaga/negaranya.
Sistem pemerintahan ibarat mesin kendaraan yang apolitis, karena cara kerja mereka yang
mekanis. Namun seidentik apapun beberapa kendaraan, pasti jadi ada yang tak serupa jika
mulai dikendarai oleh yang punya. Sistem pemerintahan itu mekanis: kaku, prosedural, dan
hirarkis. Asalkan yang mengemudi sudah secara jujur lulus uji lisensi, maka kendaraan akan
sampai ke tujuan dengan kenyamanan dan kemanfaatan. Namun bila pengemudi hanya
bermodal percaya diri, bersiap ugal-ugalan atau mungkin celaka di tengah jalan. Jika
kendaraan ada kerusakan, jangan buru-buru diganti atau dicampakkan. Bawalah ke “bengkel”
konstitusional (Kongres, Munaslub, Rapimnas, Muktamar, dll.). Temukan kerusakannya dan
ganti komponennya. Mungkin hanya soal kepemimpinan yang murahan atau “spareparts”
fungsionaris “KW” sekian. Jika komponennya sudah terlalu langka dan mahal, mungkin tidak
diproduksi lagi, atau tak tergantikan, maka kita bisa berencana memilih kendaraan lainnya.
Demokrasi bisa menjadi pilihan amoral jika memang dibentuk dengan niatan demokrasi
semu, yaitu memastikan masyarakatnya seakan-akan terlibat politik, padahal segala urusan
selesai di tataran elitik. Pada akhirnya demokrasi yang semu ini hanya bagaikan pil
“halusinogen” bahan diskusi rakyat sehari-hari yang berhalusinasi denhan bangganya atas
keterlibatan politiknya, padahal yang mereka diskusikan adalah “isu-isu sampah” yang telah
difilter para elit hingga hasil akhirnya hampir tidak terpengaruh sama sekali. Arena
demokrasi yang gaduh oleh para elit yang semakin kaya berbanding lurus dengan rakyat
jelata yang ikut-ikutan gaduh sambil merosot miskin.
78
Sejatinya Politik adalah Cahaya Kehidupan
Tanpa Politik Manusia Purba Saling Membunuh Dalam Era Kegelapan
Sampai Demokrasi Muncul Sebagai Cahaya yang Menyilaukan
Politisi Modern Saling “Membunuh” agar Jadi Tontonan
Barang Siapa Naik Tanpa Persiapan
Bersiaplah Turun Tanpa Kehormatan
Jika Koalisi Semata-Mata untuk Mengejar Kemenangan
Selama itu Pula Masyarakat Jadi Pemimpi Kesejahteraan
Politik yang senantiasa memperebutkan pengaruh, tentu melibatkan banyak metode dan
strategi. Semakin tinggi tingkat politik praktisnya, semakin rumit metode dan strateginya.
Penyebaran isu, hoax, fitnah, pencitraan, dsb. adalah hal yang lumrah dalam berpolitik. Cara-
cara teoritis yang lebih canggih juga sering dimainkan, seperti devide et impera (politik adu
domba, pecah belah lalu kuasai), zero sum game (kosong-kosong, semua seakan
diberlakukan sama rata), chicken game (adu gertak nyali, seperti adu ayam jago) dsb.
Contoh paling sederhana dalam kehidupan sehari-hari, seperti penyebaran gosip antar ibu-
ibu rumah tangga, cara seorang ayah yang membedakan nada bicaranya terhadap masing-
masing kakak-beradik, serta adu “bacot” antar genk bisa dinisbatkan sebagai agitasi-
propaganda. Inti dari contoh di atas adalah segala bentuk penyampaian interaksi yang
“menggiring” suatu opini publik, baik untuk dituruti, diakui, dihormati, disukai, disegani,
ditakuti, dicintai, dll. Definisi sederhana masing-masing menurut penulis, agitasi adalah
hasutan berapi-api yang bisa jadi berbentuk teriakan orasi atau sekedar menguasai meja
diskusi, sedangkan propaganda adalah pemberitaan dengan media apapun.
Praktik agitasi-propaganda sudah lama menjadi “senjata” manusia dalam rangka memberi
pengaruh politiknya, bahkan sebelum interaksi tersebut diberi nama agitasi dan propaganda.
Berdebat, berpidato, bergosip, dan bentuk persuasi sederhana lainnya telah diterapkan sejak
sejarah manusia dimulai. Namun untuk melihat “kecanggihan” penyebaran isu modern, kita
akan melihat sejarah persuasi “simbolik”. Menurut sejarah agama Abrahamik, pada jaman
Raja Sulaiman/Salomon, Bani Israel, muncullah para penyihir yang memiliki kekuatan magis
gelap (kekuatan yang dimurkai Tuhan) dengan memanfaatkan kekuatan satanik. Para
penyihir ini juga memiliki “kitab panduan” untuk mencatat mantra mereka, sebagaimana
kitab suci bagi umat beragama. Kitab-kitab ini disebut dengan grimoire dan berisikan simbol-
simbol ritual mereka. Orang-orang modern yang menemukan tumpukan kitab-kitab
peninggalan penyihir ini menyebutnya dengan sihir “sigil” (diambil dari kata latin: “sigillum”
yang artinya “segel”). Setelah dikembangkan dalam suatu sekte yang disebut chaos magic
pada sekitar abad 17, simbol ini sering dimanfaatkan untuk mennggambarkan suatu hasil
80
yang diinginkan oleh penyihir yang menggambarnya, salah satunya untuk menghipnotis atau
mengarahkan seseorang secara alam bawah sadar melalui simbol-simbol tidak langsung
yang dipaparkan berulang-ulang. Di era saintifik, “sihir” simbolik ini dikenal dengan berbagai
nama, misalnya dalam ilmu komunikasi disebut “semiotika”. Pada teori-teori konspirasi
internasional, kita bisa melihat propaganda, misalnya tentang mata satu atau pose tangan
piramid dajjal/antikristus yang dipopulerkan selebriti dunia. Namun dalam kehidupan sehari-
hari, bisa diambil contoh seorang ibu rumah tangga yang datang arisan dengan memakai
gelang emas mewah juga bisa dikatakan sedang melakukan “sihir sigil”, dengan tujuan
memamerkan kekayaan tanpa harus membicarakannya. Uniknya, agitasi-propganda tidak
harus berbanding lurus dengan kebenarannya. Seorang ibu yang memakai gelang emas
dalam arisan tadi belum tentu memiliki keadaan ekonomi keluarga yang benar-benar kaya,
tapi setidaknya gelang emas tadi menjadi “simbol” mewakili kemewahan untuk membentuk
persepsi publik, bahwa dia seorang kaya, entah benar-benar kaya atau pura-pura kaya. Kalau
benar-benar kaya berarti dia sombong, jika pura-pura kaya berarti dia bohong. Realitas tidak
selalu menjadi prioritas sebuah agitasi atau propaganda, tujuan utamanya adalah
membentuk persepsi target audiensnya. Adolf Hitler pernah mengatakan, “Kebohongan yang
diulang-ulang akan (dianggap) menjadi kebenaran.” Dengan volume paparan yang cukup,
persepsi akan tebentuk sesuai tujuan pemilik propaganda.
Pepatah populer lain juga diutarakan oleh Glenn W. Turner, “Fake it, ‘till u make it!” (Teruslah
berbohong sampai menjadi kenyataan). Tokoh terkenal yang menerapkan prinsip ini (bahkan
sebelum pepatah ini dipopulerkan pada 1973) salah satunya adalah Thomas Alva Edison.
Jika sewaktu sekolah kita hanya diajarkan bahwa Edison menciptakan bohlam setelah
menempuh 10.000 percoban, itu hanyalah ulasan yang terlalu disederhanakan untuk
memberi gairah inspirasi pada anak-anak menjadi seorang inventor. Penemu bohlam yang
menjadi purwarupa riset Edison adalah Sir Joseph Wilson Swan. Namun bohlam yang
dihasilkan Sir Swan hanya bisa bertahan selama 13,5 jam, sehingga tidak bisa dikomersilkan.
Edison mencoba mengembangkan bohlam yang memiliki daya tahan lebih agar bisa
dikomersilkan dan diterapkan secara praktikal. Edison membutuhkan investor untuk setiap
risetnya, dalam kasus bohlam komersial ini bahkan harus sampai sepuluh ribu kali
percobaan (setiap satu percobaan yang gagal, berarti ada uang investasi yang melayang). Di
sisi lain ia juga seorang manusia biasa yang butuh biaya untuk makan dan membayar
tagihan rutin kehidupan sehari-hari. Yang sebenarmya terjadi adalah pada setiap beberapa
kegagalannya, ia akan mengelabuhi para investornya dan para jurnalis dengan laporan
perkembangan-perkembangan palsu untuk menjaga kredibilitas risetnya serta menjaga
81
aliran dana para investornya. Bahkan ia tidak segan-segan mengajak para jurnalis yang
awalnya skeptis untuk bergabung menjadi investorya dengan investasi yang cenderung
“murah” namun bersyarat titipan untuk “membumbui” berita kegagalan eksperimennya
dengan perkembangan-perkembangan yang direkayasa (agar tampak ada kemajuan dan
tidak stagnan di tempat), hingga akhirnya penemuan bohlam komersial yang mampu
bertahan 40 jam berhasil pada eksperimen ke-10.000. Edison harus berbohong 9.999 kali
demi keberhasilannya.
Di sisi lain, prinsip “Fake it, ‘till u make it!” ini tidak selalu berhasil, contoh yang relatif hangat
datang dari salah satu Perusahaan Silicon Valley raksasa, Theranos, milik Elizabeth Holmes.
Dengan mesinnya yang dinamakan “Edison” (ironiknya, terinspirasi dari Thomas Alva
Edison), Holmes membohongi publik dengan klaim akurasi mesin “Edison” dalam
mendiagnosa kesehatan para pasiennya. Setelah beroperasi selama 14 tahun (2004-2018)
dan bervaluasi 4 Milyar Dolar, perusahaan itu secara instan dinyatakan bangkrut setelah
Holmes tidak bisa lagi meyakinkan pihak-pihak investor, jurnalis, dan konsumen yang skeptik
dengan kegagalan produknya karena beroperasi sekian lama tanpa kemajuan yang berarti.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua contoh di atas adalah bahwa sekalipun kebenaran
tidak selalu menjadi prioritas sebuah propaganda, namun sang penyebar berita harus
berhati-hati terhadap pihak-pihak yang mencari atau menagih kebenran propaganda yang
disebarkan. Namun, untuk perkara pola pikir yang bersifat intangible (tak berwujud), maka
bukti kebenarannya tentu akan sangat subjektif atau justru tak perlu dibuktikan sama sekali.
Cukup diekspos secara berkesinambungan lewat media-media yang strategis, maka
masyarakat akan memiliki pola pikir sesuai pesan di dalam propaganda itu.
Misalnya teori “top of mind” sebuah istilah. Banyak suatu merk yang menjadi perwakilan atas
jenis barangnya, sekalipun merk yang diamksud tidaklah yang sama dengan yang disebut. Di
indonesia, sering kali kita menyebut air mineral dengan sebutan “Aqua”, padahal yang
dimaksud belum tentu bermerk Aqua. Kemudian di beberapa daerah Jawa Timur, sering kali
seseorang menyebut sepeda motor dengan sebutan “Honda”. Akan menjadi lucu di saat
tersusun kalimat, “Saya mengendarai Honda Ninja.” (Ninja adalah produk Kawasaki, bukan
Honda). Atau merk KFC yang lekat dengan makanan ayam goreng krispi. Banyak mahasiswa
yang sering membeli lalapan “KFC gerobak” di dekat kosnya. Diksi-diksi tadi disebut dengan
majas sinekdoke pars pro parte, di mana sebagian merk mewakili jenis barang keseluruhan
(baca bab “kebenaran vs kebaikan, pertentangan vs perbedaan”).
82
Dalam era industri digital 4.0 sekarang, status “kewarganegaraan” seseorang menjadi dua,
nyata dan maya, atau citizen dan netizen. Sebagai citizen biasanya mereka apatis karena
sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi lain halnya ketika dia sebagai netizen. Orang-
orang mendadak puitis, politis, bahkan ideologis. Inilah fenomena yang disebut “ slacktivism”
atau aktivisme pemalas (slack = malas, tidak total dan sekedarnya saja). Tanpa disadari, kita
sudah menjadi “warga negara dunia” dengan ID dan IP yang serupa Kartu Tanda Penduduk
(KTP) di dunia nyata. Kita dengan mudahnya dibuat simpati, berempati, hingga membenci
apa yang kita tidak pahami. Bahkan sering kali tidak berhubungan langsung dengan kita di
dunia nyata. Sederhananya, kita sudah “dijajah” secara maya di dunia nyata dan secara nyata
di dunia maya. Harta kita dikuras lewat “quota” dan otak kita dicuci dengan informasi yang
didistorsi.
Dalam hal agitasi dan propaganda politik, kekuatan kapital propaganda sangat
mempengaruhi akses terhadap lokasi, kondisi, segmen pasar, dan intensitas pesan yang
akan disebarkan. Jika anda mencoba berpartisipasi dalam politik praktis, pastikan anda dan
tim sukses memiliki cukup kapital untuk bersaing dengan tim lawan. Banyak politisi pemula
yang “coba-coba” hingga dipastikan kalah sia-sia jauh sebelum kontestasi dimulai. Berikut
adalah beberapa jenis kapital propaganda dan contoh penerapannya:
Kapital Perusahaan, seorang ketua partai politik yang memiliki stasiun televisi, ia bisa
sesering mungkin menayangkan iklannya di stasiun televisi miliknya tersebut.
Kapital Finansial, semakin kaya seorang politisi, semakin besar budget untuk pemasangan
iklan pada baliho-baliho raksasa yang tersebar di wilayah-wilayah strategis, yang per-unitnya
bisa menghabiskan puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Kapital Status Sosial, seorang Kyai yang bisa safari pengajian di banyak pesantren dan
masjid sambil menyisipkan pesan-pesan kampanye. Lalu seorang Youtuber atau Selebgram
bisa menggiring para followernya untuk mengikuti pilihan politiknya.
Kapital Generasional, seseorang melakukan kegiatan apapun (olahraga, seni, wawancara,
simposium, dll.) bersama para tokoh milenial dan gen-z yang dipublikasi untuk meningkatkan
keterkaitan tokoh tersebut dengan generasi muda.
Kapital Penampilan, Biasanya kapital ini adalah produk Public Relation untuk meningkatkan
brand awareness terhadap partai atau calon tertentu. seseorang yang memakai baju dengan
warna atau motif tertentu akan mengingatkan pada golongan politik tertentu. Atau gestur
tangan yang merujuk pada nomor pilihan tertentu dalam sebuah pemilu.
Kapital Jabatan, seorang presiden petahana bisa menyisipkan Quotes atau dokumentasi
yang menarik dalam publikasi proyek-proyek negara sekaligus kampanye tidak langsung
83
yang “mencuri” start bahkan jauh sebelum pemilihan umum selanjutnya.
Kapital Minat/Seni, penyanyi atau band terkenal bisa menyisipkan pesan-pesan kampanye
atau kritik terhadap pemerintah dalam lirik-lirik lagunya hingga menggiring opini publik di
setiap kesempatan memanggung.
Kapital Profesi, Seorang pengusaha yang mencalonkan diri bisa menarik perhatian kaum
entrepreneurship karena dianggap mewakili dan lebih mengerti tantangan serta visi mereka.
Kapital Prestasi, pencapaian seseorang secara pribadi dalam bidang apapun bisa
dipublikasikan untuk menggaet ketertarikan suatu segmen yang berhubungan dengan
prestasi tersebut.
Kapital Aib Lawan, Tim sukses bisa melakukan perbandingan prestasi calonnya dengan
aib/keburukan calon lawan dengan “negative campaign”, hal ini sah-sah saja selama
keburukan itu sifatnya fakta. Karena pada dasarnya masyarakat sebagai pemilih harus
benar-benar dipaparkan secara jelas seluruh poin kebaikan dan keburukan tiap calon untuk
menentukan pilihan yang matang. Namun jika aib yang diumbar merupakan rekayasa, maka
bentuknya akan berubah menjadi “black campaign”, di mana selain menjadi amoral juga
dapat diperkarakan secara hukum sebagai kasus pemfitnahan dan pencemaran nama baik.
Dan masih banyak lagi jenis kapital propaganda lain yang bisa dimanfaatkan seorang politisi.
Masing-masing kapital ini menjadi “simbol” atau “sihir sigil” yang terpapar sehari-hari untuk
mata dan telinga publik awam yang sebisa mungkin mencuri perhatian mereka sambil
mencari-cari kecocokan atas suatu hal untuk mengambil simpati secara bawah sadar. Opsi
ideal untuk melakukan agitasi-propaganda adalah memeanfaatkan kapital propaganda
seefisien mungkin untuk menyebar berita sebanyak-banyaknya dengan segmentasi publik
yang tepat, baik berita positif atau negatif, selama berita tersebut bersifat FAKTA.
Sebagai bagian dari publik, setidaknya kita bisa lebih bijak dan tidak “awam” dalam
menanggapi isu-isu politik yang beredar untuk tidak menelannya mentah-mentah. Peter
Drucker berkata, “Hal terpenting dari komunikasi adalah MENDENGARKAN apa yang tidak
DISAMPAIKAN”. Kita bukan sedang disuguhi berita, tapi dicekokin agenda. Karena isu media
itu seperti arus sungai (korporat media) yang membawa “sampah” (berita) hingga berakhir di
hilir (otak rakyat) menjadi endapan “limbah” (persepsi titipan) yang menyebabkan bau dan
kerusakan ekosistem (debat kusir antar masyarakat awam). Pranata sosial kita sudah
terpapar nilai-nilai baru yg dibawa oleh “tsunami teknologi informasi” satu dekade
belakangan ini, tanpa ada upaya untuk melakukan adaptasi yang mampu menciptakan
proteksi, maka satu dakade lagi bangsa ini akan lupa dengan jati dirinya, dan satu generasi
84
berikutnya akan hilang dari peta dunia. Menanggapi fenomena ini, kita bisa memanfaatkan
kaca mata politik dengan falsafah lensa cembung ilmu fisika, sifat bayangan terhadap jarak
bendanya selalu berubah dan bergantung. Namun begitu, terdapat dua kepastian yang dapat
diambil dari sifat lensa cembung:
1. Semua BAYANGAN MAYA yang dibentuk lensa cembung selalu TEGAK terhadap
bendanya. Pemberitaan yang FIKTIF selalu dipaksa menjadi KEBENARAN.
2. Semua BAYANGAN NYATA yang dibentuk lensa cembung pasti TERBALIK terhadap
bendanya. Pemberitaan yang FAKTUAL selalu dipaksa seolah FITNAH.
Semakin tinggi level politik praktisnya, maka semakin rumit dan berlimpah isu
propagandanya. Kemudian semakin ketat persaingan politiknya, maka akan semakin
menegangkan dan sensitif lontaran propaganda antar pihak yang berseteru. Petahana akan
sebanyak mungkin mengklaim prestasi, entah benar-tidaknya, tuntas-belumnya, bukan
menjadi prioritas. Pihak oposisi akan sebanyak mungkin membuka keburukan dan aib rezim
penguasa, entah benar-tidaknya, sekali lagi bukan prioritas. Apapun yang nampak bisa
dipublikasi atau diperkarakan hukum, maka akan langsung dijalankan. Entah siapa yang
membaca dan mendengar publikasinya, entah kasus itu terbukti di pengadilan, sekali lagi
bukanlah prioritas. Ada apa dengan kebenaran? Mengapa menjadi tidak penting? Opsi
amoral untuk melakukan agitasi-propaganda adalah memeanfaatkan kapital seefisien
mungkin untuk menyebar berita sebanyak-banyaknya dengan segmentasi publik yang tepat,
baik berita positif atau negatif, tanpa mempedulikan KEBENARAN berita tersebut.
85
tertentu, ternyata selama itu pula puluhan isu lainnya sudah kembali membanjiri publik.
Proses verifikasi semacam ini bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami, sambil
terus-terusan ditambah tumpukan pupuk kandang. Perbandingan aplikasi sederhananya
semisal: segelintir akademisi yang melakukan riset hingga berdebat atas satu isu dalam
beberapa waktu, puluhan isu lain yang tak punya verifikasi sudah kembali dikonsumsi ribuan
keluarga yang menonton berita dari televisi. Jika cita-cita akhir sebuah propaganda adalah
opini publik, maka publik awam yang banyak-lah yang layak dikejar. Karena mempengaruhi
persepsi mereka sangat cepat, mudah, dan efisien jika dibandingkan dengan mempengaruhi
masyarakat yang “berilmu” secara politik dan rela melakukan verifikasi.
Di Depan Banyak Orang Dia Bicara Pelan, Tapi Berteriak Lantang di Tengah Hutan
Orasinya Dikemas Indah dengan Sajak Surga, Seolah-Olah Mereka Pernah Ke Sana
Agitasinya Sepanas Neraka, Seolah-Olah Neraka Sudah Muncul di Bawah Rumahnya
86
Olahan Berita Pemilik Media Menggantikan Fungsi Kewarasan Mereka
Publik Awam itu Seperti Daun Kering, Diterbangkan Angin dan Tergiring
Mudah Dikumpulkan Susah Diikat, Dibakar Kemudian Abunya tersesat
87
BAB XXI: KEKUASAAN & JABATAN
Kekuasaan itu Bermusim, Tidak Selamanya Bermukim
Rezim Boleh Berganti, Tapi Intitusi Harus Tetap Berdiri
Marwah Lembaga dan Negara Harusnya Dijaga di Segala Cuaca
Bukan Ketika Cerah Malah Semena-mena, Badai Tiba Ia Mengiba-Iba
Misalnya, bisa jadi suatu presiden terpilih adalah calon dari partai anda, namun jumlah kursi
di kabinet dan legislatif juga memiliki batas. Anda bisa jadi orang yang kurang beruntung dan
tak dapat apa-apa setelah bersusah-payah memenangkan sang presiden. Apalagi, jika
ternyata kemenangan ini terjadi setelah kekalahan-kekalahan beruntun sebelumnya, di mana
waktu itu partai anda dipaksa “berpuasa” dengan sedikit atau tidak dapat kursi di
pemerintahan sama sekali. Nah, di sinilah status perpolitikan anda akan ditentukan, apakah
anda loyalis atau loyportunis (Baca bab loyportunis)? Apakah anda berpolitik untuk
kepentingan pribadi atau kepentingan golongan? Apakah anda berpolitik untuk
mengumpulkan harta atau anda berpolitik karena sudah kaya? Apakah anda berpolitik untuk
mengabdi atau mengumpulkan abdi? Apakah anda berpolitik karena ingin dihormati atau
sudah dihormati?
Marwah atau integritas lembaga hingga negara adalah prioritas bagi mereka yang berpolitik
untuk mengabdi, karena integritas lembaga bisa berdiri tegak lintas generasi jika
beranggotakan loyalis sejati, sedangkan negara mampu menyejahterakan masyarakatnya
jika para penguasa tidak sibuk berbagi “kue” hutang politiknya. Jadikanlah politik sebagai
“hobi”, boleh juga jadi “profesi” tapi jangan sampai menjadi “obsesi”! Kalau menang mawas
diri, kalau kalah tidak sakit hati. Percayalah bahwa kekuasaan itu akan menghampiri orang-
orang sesuai kelayakan pada masanya! Karena biasanya, nomadisme (bajing loncat),
parasitisme (loyportunis), dan pragmatisme (zona nyaman) itu adalah perilaku mereka yang
88
sadar punya banyak dosa tapi masih punya banyak cita-cita. Kekuasaan itu ideal bagi orang-
orang yang berpolitik untuk mengabdi. Mereka inilah yang bisa disebut sebagai politisi
idealis.
Kekuasaan itu menempati posisi puncak dari “piramida kebutuhan manusia”, menurut
Abraham Maslow. Mereka yang sampai pada titik “pride” alias kehormatan/jabatan adalah
mereka yang (seharusnya) telah selesai dengan urusan sandang, pangan, dan papan.
Piramida itu mengerucut keatas, sehingga jangan sampai seseorang terjun
politik/kekuasaan dlm rangka mencari sandang, pangan, bahkan papan! Jika terjadi, itu
berarti piramidnya terbalik ke bawah dan sulit seimbang. Rawan dihujam goncangan,
pribadinya akan runtuh entah ke sisi kiri atau kanan. Kehormatan tidak akan didapatkan oleh
mereka yang memanipulasi kekuasaan untuk urusan perut, badan, kenyamanan, apalagi
kemaluan. Hari-hari mereka dipenuhi birahi konsumsi, terlebih libido politik dan ekonomi
selalu membumbung tinggi. Egonya hanya berhenti jika habis terjual semua harga diri, atau
tak mampu lagi bermimpi lewat tidur yang tak kunjung bangun lagi, yaitu mati.
Kekuasaan itu amoral bagi orang-orang yang berpolitik untuk mencari penghidupan dan
kehormatan. Orang-orang seperti ini akan selalu mencari celah untuk menghalalkan segala
cara dalam meraih kekuasaan, entah dengan pengkhianatan atau kebohongan berita-berita
proxy untuk menutupi niatnya, mereka akan selalu menjilat pihak-pihak yang bisa
melancarkan tujuannya, serta tidak segan diam-diam “menusuk” pesaingnya dengan
berbagai cara. Orang-orang menjadi munafik / hipokrit karena kekuasaan adalah tujuan
utamanya, ia tidak memiliki nilai-nilai atau prinsip berkemajuan. Dia juga akan mati-matian
mempertahankannya, semena-mena di masanya, serta rakus selagi bisa. Karena pada posisi
puncak inilah ia “berpenghasilan” dan banjir kehormatan. Kekuasaan macam ini tidak harus
selalu di posisi puncak, tidak harus selalu ketua atau presiden, bisa jadi dewan legislatif,
kementerian, departemen, staf ahli, apapun “kursi” yang dibutuhkan sesuai kepentingannya.
89
Ketika Menjadi Organisatoris, Jangan Cuma Bisa Kumpul Tapi Tak Bisa Baris
Anda Telah Menggadai Separuh Libido Politik dan Ego Pribadi Menjadi Inventaris
Adalah Licik Jika Mudah Mencampakkan Institusi
Adalah Naif Jika Totalitas Membangun Institusi
Adalah Bijak Memantaskan Diri untuk Sukses Bersama Institusi
90
BAB XXII: DI BALIK LAYAR
Bedakan Perpolitikan dengan Politik-Politikan
Jangan Seolah-Olah Berpolitik padahal Selesai di Tataran Elitik
Puncak dari segala sistem dalam level ke tiga buku ini adalah tentang siapa yang berada di
balik layar dan apa kepentingannya. Jangan terlalu sibuk dengan “dunia” perjuangan anda
tanpa anda tahu bahwa semuanya sudah ada skenario pengaturnya. Butuh lebih dari sekedar
niat baik dan ilmu yang cukup untuk merubah tatanan “sistem” dan orang-orang di balik
layar. Nyaris tak ada yang baru dalam intrik kancah berpolitik, hanya perlu kritis memodifikasi
subjek, objek, waktu, dan tempatnya saja. Maka anda bisa mudah membaca fenomena yang
beredar serta tahu bagaimana cara menghadapinya. Kalau ada sebagian pihak yang hobinya
mengeruhkan, maka tugas sebagian yang lain untuk menjernihkan. Semua mata-mata untuk
keseimbangan dan kesinambungan. Keluarga Rockefeller menjadi salah satu keluarga
terkaya dan menguasai sistem dunia karena mempraktikkan politik di balik layar. Misalnya
peran mereka dalam perang AS vs Vietnam, mereka berprinsip bahwa tak peduli siapa yang
akhirnya menang perang selama operasinya bisa terus diperpanjang. Karena perang akan
selalu butuh makanan, peluru, dan perban yang sudah mereka siapkan. Sehingga sikap
“pembiaran” ini bisa justru menguntungkan (bagi orang di balik layar).
Sehebat apapun sales parfum, yang dibeli parfumnya, bukan sales-nya. Secantik apapun tuna
susila, yang dibeli tubuhnya, bukan pribadinya. Politik itu layaknya drama, ada yang menjadi
aktor dan ada yang menjadi sutradara. Ada peran yang harus dimainkan, dibagikan,
diperjualbelikan, sekaligus ada konflik yang harus “dibuatkan” supaya ada korban yang harus
“diselamatkan”. Everything is by design. Tidak perlu marah pada aktornya, tapi cari naskah
dan sutradaranya. Sejatinya, di balik layar adalah sesuatu yang di luar kuasa anda, maka tak
ada opsi atau konsekuensi untuk menjadi ideal atau amoral. Jika anda, entah bagaimana,
berhasil menjadi orang di balik layar, maka opsi ideal dan amoral yang berlaku dalam
tindakan anda sebagai pemilik kekuatan di balik layar adalah sesuai dengan bab-bab lain
pada buku ini.
91
Anda Pegang Mikrofon , Saya Pegang Salon
Anda Pegang Pena, Saya Pegang Koreksi Tinta
Jangan Mencari Sudut Dalam Lingkaran
Gambar Sendiri dengan Rumus Sin, Cos, Tan
Komparador Harus Diciptakan
Gesekan Harus Sesuai Koridor “Settingan”
Belajarlah Tampak Protagonis dan Antagonis dalam Waktu Bersamaan
Karena Politisi Ulung Bisa Cepat Berubah Sesuai Pesanan
Sia-Sia yang Kau Lakukan Kawan, Jika Tak Kau Siapkan Orang yang Akan Menceritakan
Bukan soal Ketulusan, Tapi Keilmuan dan Kemanfaatan
Tokoh itu Besar Karena Cerita, Cerita itu Indah Tergantung Siapa yang Menyampaikannya
Orang di Balik Layar Juga Manusia, Legenda Harus Disiapkan Sesuai Agenda
92
LEVEL 4 : NILAI
PRATINJAU
Pada level ke empat ini kita akan membahas tata nilai paling mendasar dalam kehidupan
manusia. Karena sekali lagi, politik pada dasarnya adalah perebutan kekuasaan dan
perjuangan kepentingan manusia atas apa yang dianggapnya sebagai sesuatu yang bernilai.
Walaupun mendasar, namun pembahasannya akan sangat mendalam karena sangat
filosofis. Tema sistem ini dipilih sebagai tahap “pendalaman” pembaca untuk memahami
apa yang sebenarnya sedang diperjuangkan sebagai seorang manusia. Level ini akan
membuka tabir sudah benarkah cara berpikir seseorang, atau sudah tepat dan layakkah nilai-
nilai yang sedang diperjuangkan.
Dengan tingkat kesulitan yang rumit, Contoh-contoh yang ditampilkan dalam level ini relatif
multidimensional antara sosial dan eksakta. Bahkan dengan berbagai analogi yang sangat
sederhana, pembaca diharap untuk membedah esensi frase per frase dari contoh yang
disampaikan. Segmentasi pembaca untuk level ini menjangkau kalangan yang mencari
perbandingan dan pendalaman tentang cara berpikir serta nilai yang dianutnya dalam
kehidupan.
93
BAB XXIII: KEBENARAN & PERTENTANGAN
Jangan Monopoli Kebenaran, Karena Pertentangan itu Keniscayaan
Sampaikan Apa Adanya, Bukan Ada Apanya
Persepsi Tidak Mengubah Definisi, Cukup Simpan Bodohmu Dalam Hati
Pada hakikatnya, kebenaran itu berada di luar diri kita. Siapapun bisa menemukannya, asal
benar caranya. Bagaimana menentukan cara yang benar kalau kita belum mengetahui
kebenaran itu sendiri? Hakikat filsafat ini seakan-akan menjadi perdebatan klasik
kemunculan telur dan ayam. Kebenaran hakiki dan objektif adalah eksklusif dimiliki kaum
yang percaya ketuhanan atau hukum alam. Sedangkan dalam perpolitikan, anda bisa
bertemu orang yang tidak percaya Tuhan (ateis) ataupun orang dengan kepercayaan Tuhan
yang berbeda dengan anda (beda agama), di mana nilai-nilai kebenaran yang dianut antar
Tuhan tersebut juga berbeda. Sehingga anda tidak bisa memonopoli kebenaran dan
mendiskon pertentangan selama anda tidak memiliki dominasi yang signifikan dalam
interaksi perpolitikan. Sampaikan apa adanya dengan cara yang benar dan biarkan orang
menentukan derajat kebenarannya. Tak perlu diarahkan apalagi didistorsi. Karena sering kali
sesuatu yang benar menjadi salah karena cara penyampaiannya tidak benar.
Dengan meyakini bahwa kebenaran adalah sesuatu yang sejatinya mandiri dan berdiri
sendiri, maka apapun persepsi manusia tentang suatu kebenaran tidak akan mengubah
definisi kebenaran itu sendiri. Aristoteles berkata, “Aku tidak bisa merubah pilihanku hanya
karena orang tidak paham dengan apa yang aku maksudkan. Pada waktu yang sama, dalam
hal yang sama, tidak mungkin suatu benda adalah sesuatu dan sekaligus bukan sesuatu
tersebut.” Aristoteles ingin menekankan dua hal dalam kedua kalimat di atas. Pertama,
bahwa kesenjangan kemampuan berpikir (ditandai ketidakpahaman orang lain atas
pemikiran dirinya) sangat mempengaruhi pertentangan mereka memahami kebenaran,
sehingga berujung pada pilihan yang berbeda. Dalam konteks ini, Aristoteles-lah yang
dipaksa mengikuti pemikiran kebanyakan orang, yang cenderung tidak lebih benar dari
pemikirannya. Namun Aristoteles bertahan dengan pilihannya, walaupun ia juga tidak
memaksakannya. Sederhananya, Kita tidak perlu “memonopoli” kebenaran, walaupun di saat
yang sama jangan mau untuk “dimonopoli”.
Kemudian pada kalimat ke dua, sesuatu yang sudah dipastikan kebenaran entitasnya tidak
akan bisa menjadi entitas lain di waktu yang sama. Jika saya menyimpan sebuah jeruk
dalam kotak, kemudian saya meminta anda untuk menebak buah apa di dalamnya, maka
94
jawaban apapun selain jeruk akan otomatis salah. Persepsi anda atas ketidakpahaman akan
informasi utuh yang tersembunyi dalam kotak itu tidak akan pernah merubah isi kotaknya. Isi
kotaknya secara definitif adalah jeruk. Sedangkan jika berdasarkan persepsi anda menebak
apel, tidak mungkin jeruk dalam kotak itu sekonyong-konyong berubah menjadi apel hanya
karena ingin menyesuaikan persepsi anda. Singkatnya, kebenaran definitif hanya bisa
ditentukan dengan menyatukan semua potongan informasi yang memungkinkan. Lalu,
bagaimana cara membedakan bahwa kita lebih benar atau tidaknya dibandingkan kebenaran
yang ditawarkan orang lain? Silakan anda mendalaminya pada bab “kebenaran vs kebaikan,
pertentangan vs perbedaan”, bab “bodoh”, serta bab “sombong”.
Kebenaran yang ideal adalah prinsip yang anda pegang teguh dengan kerelaan
mengorbankan apapun, sekalipun tidak semua orang percaya dengan kebenaran tersebut.
Kancah perpolitikan yang elegan adalah pertarungan antar gagasan kebenaran dan bukan
ego kekuasaan. Setidaknya, kebenaran masih bisa ditoleransi hati dan akal sehat, sekalipun
berbeda-beda versinya. Namun perlu diingat, bahwa kebenaran hanya sekedar nilai imajinatif
jika penganutnya tidak berhasil memenangkan kepentingan kebenaran tersebut dalam
kancah interaksi politik. Di sinilah ruang untuk berkompromi dan bernegosiasi dibuka.
Kerelaan mengorbankan apapun untuk kebenaran tidak selalu harus mati konyol
memperjuangkannya sendirian, tapi terkadang harus berkompromi dengan “kebenaran lain”
demi terwujudnya, setidaknya, sekian persen dari kebenaran yang anda bawa. Karena sedikit
selalu lebih baik daripada tidak sama sekali. Tidak perlu mati-matian membela kebenaran
dengan menghidup-hidupkan pertentangan, cukup hidupkan cara berpikir yang benar! Kecuali
jika cara berpikir sudah didangkalkan, maka kebenaran harus dipaksakan.
Apa gunanya kancah perpolitikan elegan jika anda menjadi yang kalah? Sering kali
kebenaran bisa diarahkan dan didistorsi oleh pihak yang menghalalkan segala cara untuk
menang, atau justru memang sudah menang dan berkuasa. Maka kebenaran yang amoral
adalah prinsip yang diarahkan atau didistorsi untuk sesuai dengan keuntungan pribadi
dengan menghalalkan cara apapun, sekalipun anda sendiri tahu bahwa itu tidak benar.
Dalam konteks ini, kebenaran tidak lebih dari sekedar instrumen pencucian otak untuk
melanggengkan kekuasaan. Kebenaran macam ini sudah keluar dari hakikat sejati dan
kemurnian nilai intrinsiknya, serta mudah ditemukan tanpa pencarian yang berarti, karena
kita akan dicekoki oleh penguasa dalam kehidupan sehari-hari. Monopoli kebenaran berarti
memelihara kebodohan, sehingga bebas mereproduksi kekuasaan lewat kebohongan.
Sebagaimana Demagog yang menciptakan kesadaran semu lewat sistem “pseudo
95
democracy”. Adolf Hitler menyatakan bahwa kebohongan yang disampaikan berkali-kali
akan dianggap menjadi kebenaran. Sedangkan Benito Mussolini dengan tegas
menyampaikan, “Kami tidak berdebat dengan pihak yang tidak setuju, kami
menghancurkannya.” Kebohongan disampaikan ada apanya, bukan apa adanya. Kebenaran
amoral akan dimonopoli dan dicekokkan kepada pihak yang malas mencari kebenarannya
sendiri, serta dapat menggerakkan zombie-zombie kebodohan tadi untuk melenyapkan
perlawanan sedikit orang yang berhasil menemukan kebenaran ideal (karena sedikitnya
orang yang berpikir).
96
BAB XXIV: KEBENARAN VS KEBAIKAN, PERTENTANGAN VS PERBEDAAN
Pilihan Kita Berbeda, Karena Cara Berpikir Kita Tak Sama
Jangan Sampai Dipaksa, Apalagi Menghina
Gagasan Hanya Menawarkan Kebaikan, Di Antara Varian Kebaikan
Tak Sejalan Bukan Berarti Harus Berlawanan, Sekalipun Terhalang Berkawan
Kebaikan adalah konsep yang harus sempurna dipisahkan dengan kebenaran, sebagaimana
perbedaan adalah konsep yang harus dipisahkan dengan pertentangan. Walaupun memang
mereka punya persamaan dan terkadang pada praktiknya mereka beririsan, tapi secara
definitif harus betul-betul ditetapkan untuk menghindari kerancuan pemikiran. Oleh karena
itu, sebagian besar dari bab ini akan menyempurnakan pemisahan konsep-konsep ini,
sebelum sisanya akan membahas kebaikan dan perbedaan itu sendiri. Persamaannya bisa
dilihat bahwa kebenaran dan kebaikan adalah sama-sama sistem nilai yang dipercaya setiap
manusia sebagai acuan berpikir, bertindak, dan berperasaan yang ideal. Keduanya juga tidak
layak dipaksakan kepada orang lain karena dapat menimbulkan konflik (Kecuali anda merasa
unggul kapital kekuatan dan pertimbangan yang matang). Sehingga prinsip tenggang rasa
dan toleransi dalam “jangan memonopoli kebenaran”, juga berlaku pada kebaikan.
KEBENARAN
Perbedaan dari keduanya ada pada prinsip “objektivitas vs subjektivitas” atau “absolut vs
selera”. Kita akan mengambil contoh sederhana untuk membandingkan antara kebenaran
dengan kebaikan. Pertama adalah contoh dari kebenaran dengan prinsip objektivitas yang
absolut. Dalam ilmu fisika, jika ditanyakan warna apakah yang paling terang dalam spektrum
yang bisa ditangkap indera manusia? Jawaban yang benar secara absolut adalah “putih”.
Jika ada yang menjawab warna lain, maka dia “salah secara absolut” dan “bertentangan
dengan kebenaran”. Mengapa tidak ada ruang “toleransi” untuk pendapat lain? Karena
indikator terang atau tidaknya suatu warna ada pada nilai satuan lumensnya yang dapat
diukur secara kuantitatif, di mana akhirnya warna putih-lah yang memiliki nilai lumens
tertinggi.
*Jika pembaca lelah dengan pembahasan ilmu eksakta, silakan melompat ke bagian
kesimpulan. Karena lima halaman ke depan akan sangat berbau “saintifik dan mungkin
memberikan “alergi” bagi sebagian pembaca yang mengharapkan fokus bacaan tentang
sosial dan politik. Namun kenyataannya semua keilmuwan, baik eksakta maupun sosial-
97
politik, juga tidak terlepas dari beberapa prinsip yang saling terhubung secara filosofis. Jadi
jika anda suka “sains”, atau anda suka tantangan “brainstorming” filsafat, mari kita mulai...
SKEPTIK SAINS
Tentunya beberapa skeptik akan muncul dengan pertanyaan-pertanyaan tambahan sesuai
keahlian bidangnya, sebagaimana di saat kita mencoba menyampaikan kebenaran dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya orang yang cukup paham fisika akan bertanya, bukannya
putih itu gabungan seluruh warna dan bukan entitas warna itu sendiri? Bagaimana dengan
spektrum ultra-violet yang lebih terang dari warna yang bisa kita lihat, termasuk putih? Maka
bisa dijawab, bahwa putih didefinisikan warna karena itulah yang bisa ditangkap indera
manusia sebagai entitas unik tersendiri, terlepas bahwa dia adalah gabungan warna-warna
lainnya. Karena warna apapun sejatinya adalah gabungan dari entitas yang sama, yaitu
gelombang elektro magnetik, yang wujudnya bisa ditangkap mata menjadi merah, biru,
kuning hanya karena frekuensi kerapatan gelombangnya (padahal entitasnya sama-sama
gelombang elektro magnetik). Umpamanya seperti meja kayu dan kursi kayu, yang jika
dipecah belah akhirnya sama-sama kembali ke entitas bahannya sebagai kayu. Sedangkan
spektrum ultra-violet sudah dibatasi oleh pertanyaan awalnya, hanya warna-warna yang
dapat ditangkap indera manusia saja. Artinya segala spektrum infra-merah (di bawah merah,
seperti radiowave dan microwave) serta segala spektrum ultra-violet (di atas ungu, seperti
sinar x dan gamma) tidak termasuk dalam kontestasi jawaban.
SKEPTIK FILSAFAT
Orang skeptik lain dengan pemahaman filsafat akan ikut bertanya, “Jika warna putih adalah
warna yang paling terang, bagaimana kalau saya jawab white atau blank? Bukankah
jawabannya jadi berbeda padahal sama-sama putih? Maka terdapat dua solusi turunan atas
tantangan tadi. Pertama kita akan membahas jawaban “white”. Apapun cara anda menyebut
“putih” (bahasa indonesia), atau “white” (bahasa inggris), atau “blanc” (bahasa Prancis), atau
dengan bahasa dan sinonim apapun, selama itu menunjukkan esensi sang warna putih tanpa
ambiguitas, maka jawaban itu secara esensi sudah benar. Tapi anda tak perlu “melawak” jika
suatu saat mengisi lembar jawaban ujian resmi berbahasa Indonesia, kemudian anda jawab
dengan jawaban yang benar tapi dalam bahasa Mandarin.
Bagaimana dengan jawaban “blank”? Jika kita melihat bahwa “blank” adalah kosa kata
bahasa inggris yang mengandung serapan dari bahasa Prancis “blanc”, yang secara harfiah
berarti putih. Namun kemudian masalah muncul ketika ternyata vocabulary “blank” yang
98
diserap tadi tidak langsung mendapat arti harfiah “putih” yang ternyata sudah diwakili
vocabulary “white”. “Blank” diartikan secara harfiah sebagai kosong atau hampa. Hal ini bisa
menimbulkan ambiguitas. Jika kita membutuhkan jawaban “putih” yang tidak terambigu,
maka jawaban “blank” menjadi tidak benar absolut. Mungkin sang skeptik teringat pada
istilah “blank” pada aplikasi Microsoft Word miliknya yang menampilkan kertas putih, yang
memang isinya kosong. Tetapi bagaimana dengan “the blank space”? Kehampaan luar
angkasa yang semuanya hitam gelap karena absennya materi termasuk cahaya yang
memberikan spektrum warna? Maka “blank” yang seperti ini bisa justru menimbulkan warna
hitam, yaitu warna paling gelap dan berlawanan 180o dari jawaban “putih” yang paling terang.
Sejatinya, kebenaran sebuah entitas dan esensi selain bersifat absolut (tak terbantahkan),
dia juga harus konsisten sepanjang masa. Berbeda dengan konsep eksistensi yang bisa
berubah dengan status bipolar, ada atau tiada. Misalnya, entitas buah jeruk adalah
selamanya buah jeruk sampai kapanpun dan tidak akan berubah menjadi entitas buah apel.
Bagaimana jika ada simulasi bahwa sebuah jeruk bisa membusuk, terurai kembali ke dalam
tanah yang ternyata ditanami apel, sehingga saat panen unsur-unsur uraian jeruk tadi
tergabung menjadi apel? Ada beberapa tahapan yang perlu diuraikan dengan jelas dalam
simulasi di atas, karena entitas, eksistensi, dan esensi/substansi adalah tiga makna yang
berbeda.
ENTITAS jeruk adalah benda yang masuk kategori buah dengan sifat-sifat tertentu yang
sudah didefinisikan. Misalnya, kita akan membahas dalam fokus taksonomi (cabang ilmu
biologi yang membahas penggolongan makhluk hidup berdasarkan perbedaan ciri-cirinya).
Jeruk dengan bayam memang sama-sama termasuk “kingdom plantae / regnum tumbuhan”
namun berbeda ordo, di mana bayam yang merupakan sayur termasuk “ordo caryophyllales”
sedangkan jeruk yang merupakan buah termasuk “ordo sapindales”. Bagaimana dengan
jeruk dan apel yang sama-sama tegrolong buah? Ternyata apel masuk dalam “ordo rosales”
yang di mana tetap berbeda dengan jeruk.
Kenapa klasifikasi yang sangat rumit diperlukan sampai terdapat cabang keilmuannya
sendiri? Bukankan dalam kehidupan sehari-hari kita bisa membahasnya dengan bahasa
sederhana dan pengamatan indera? Mungkin mudah membedakan jeruk dengan bayam
karena ciri masing-masing sangat mencolok. Sedangkan kalau jeruk dengan apel? Keduanya
sama-sama bisa manis atau kecut, beberapa jenisnya sama-sama bisa berkulit hijau, apalagi
99
sama-sama sejenis buah-buahan. Tentu harus ada pembeda definitif untuk memisahkan
keduanya.
Lebih jauh lagi ketika kita sudah mengetahui mana yang jeruk dan mana yang bukan jeruk,
bagaimana membedakan antar varietas ras jeruk? Mana yang jeruk keprok, manis, nipis,
lemon, dsb.? Apakah jeruk lemon sama dengan melon? Kok namanya mirip-mirip? Di antara
berbagai jenis jeruk tadi, mana yang benar-benar jeruk “sejati”? Dalam ilmu bahasa,
kebingungan semacam ini bisa diselesaikan dengan memahami majas “sinekdoke”, baik
“pars pro-toto” maupun “totem pro-parte”. Perhatikan, “pars pro toto” adalah
parsial/sebagian (pars) untuk menjelaskan yang total/keseluruhan (toto). Sedangkan
lawannya “totem pro-parte” adalah total/keseluruhan (totem) untuk menjelaskan yang
parsial/sebagian (parte). Jika anda membedakan ras antar jeruk, berarti jeruk berperan
sebagai “toto/totem”, sedangkan jenis-jenis di bawahnya merupakan “pars/parte”.
Contoh sinekdoke pars pro toto: “Saya makan jeruk besar, rasanya kecut seperti lemon”.
Kalimat ini cukup unik dari berbagai sisi. Pertama, bisa jadi dia memakan spesies “jeruk
manis” yang memiliki nama spesies latin “citrus sinensis Osbeck” yang kebetulan ukurannya
besar dan rasanya kecut seperti lemon (tidak manis seperti namanya). Padahal istilah “jeruk
besar” adalah jenis spesies jeruk tersendiri dengan nama spesies latin “citrus maxima Merr”.
Ditambah rasa kecut yang seperti “lemon” yang ternyata juga jenis spesies jeruk tersendiri
dengan nama spesies latin “citrus lemon”. Kalimat ini menggunakan sub-jenis buah jeruk
untuk menggambarkan buah jeruk dengan jenis lain yang dimakannya, di mana buah jeruk
yang dimakan tadi ternyata spesies “jeruk manis”, tapi ia malah menggunakan istilah “jeruk
besar” karena ukurannya dan “lemon” karena rasa kecutnya.
Contoh sinekdoke totem pro parte: “Saya membeli buah jeruk dan buah lemon”.
Masyarakat Indonesia terbiasa membedakan lemon dengan jenis jeruk lainnya, seakan-akan
ia adalah entitas tersendiri yang sejajar dengan kategori jeruk. Padahal kenyataannya, buah
lemon adalah bagian dari jeruk. Dalam kalimat di atas, “jeruk” yang disebutkan berarti
berperan sebagai “totem” yang mewakili salah satu jenis spesies jeruk apapun, yang dalam
kasus ini pastinya bukan jenis lemon. Karena orang yang belanja “jeruk” ini membedakannya
dengan “lemon” yang juga dibelinya bersamaan.
Jika kalimat tentang jeruk yang sederhana dan semacam tidak penting ini memiliki
keambiguitasan makna yang begitu rumit, bayangkan kalimat-kalimat yang tersusun dalam
100
interaksi sehari-hari anda bersama keluarga atau kolega. Bagaimana cara anda berdiskusi
dengan teman anda untuk menjelaskan apa bedanya benar dan baik, adil dan sama rata,
perbedaan dan pertentangan, marah dan murka, dsb.? Belum lagi isu-isu propaganda media
yang ditelan masyarakat sehari-hari. Bagaimana jika propaganda yang disusun tadi disisipi
agenda-agenda pencucian otak dengan susunan kalimat penuh “enkriptik” bermakna ganda?
Anda bisa mendalaminya pada bab “agitasi-propaganda”.
EKSISTENSI jeruk jangan sampai lupa untuk dibahas. Eksistensi jeruk hanyalah dia “ada atau
tiada”. Sang jeruk akan terus “ada” sampai habis dimakan atau busuk terurai dan berstatus
“tiada”. “Ketiadaan” jeruk ini akan mengadakan eksistensi “entitas” lainnya, sebagaimana
hukum kekekalan energi mengatakan bahwa energi tidak bisa diciptakan atau dihilangkan,
namun hanya bisa berubah bentuk. Energi di sini adalah manifestasi unsur kandungan jeruk
dan benda lainnya yang akan dibahas pada sub-bab “esensi”. Ketiadaan jeruk kemudian
menjadi entitas nutrisi bagi tubuh manusia yang memakannya atau menjadi tumpukan
senyawa pada tanah tempat jeruk itu membusuk. Nutrisi dalam tubuh manusia pemakan
jeruk tadi akan menjadi bagian dari “entitas” organ tubuhnya dan sebagian lagi dibuang
menjadi kotoran, sedangkan tanah tempat jeruk membusuk tadi bisa ditumbuhi “entitas”
buah apel dengan memanfaatkan sebagian senyawa yang sesuai dari busuknya jeruk itu.
Dan begitulah siklus unsur kimia akan terus berlanjut.
ESENSI/SUBSTANSI Jeruk adalah sama saja dengan benda apapun yang berada di dunia ini.
Secara esensi fisika, penulis berani mengatakan bahwa manusia sama dengan hewan, jeruk
sama dengan batu, serta air sama dengan besi. Bagaimana mungkin seluruh entitas tadi
memiliki esensi yang serupa? Dalam ilmu fisika-kimia, kita bisa memecah semua benda
menjadi materi terkecil yang semuanya sudah digolongkan berdasarkan tabel periodik unsur.
Jeruk mengandung vitamin dan mineral yang beberapa di antaranya juga terdapat pada buah
lain, atau jenis makanan lain, seperti sayur hingga lauk pauk. Semua unsur yang terkandung
dalam makanan, juga bisa terkandung dalam minuman, bahkan hingga peralatan dan mesin-
mesin, tentunya dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda. Vitamin C yang terkandung
dalam jeruk adalah senyawa vitamin C yang sama pada buah apel, vitamin A pada jeruk
adalah senyawa vitamin A yang sama pada sayur wortel, zat tembaga dalam jeruk adalah
senyawa yang sama dengan tembaga yang menjadi bahan kerangka peluru senapan. Semua
senyawa kimia tadi bisa dipecah kembali menjadi unsur-unsur atomnya tersendiri. Misalnya
vitamin C (dalam bentuk asam askorbat yang belum teroksidasi menjadi dehidroaskorbat)
memiliki senyawa C6H8O6, yang berarti terdapat 6 unsur Carbon, 8 unsur Hydrogen, dan 6
101
unsur Oxygen. Ternyata, unsur CHO ini juga menyusun “entitas” lain yang kita sebut dengan
karbohidrat. Karbohidrat-pun memiliki beberapa jenis tersendiri, seperti monosakarida,
disakarida, oligosakarida, dan polisakarida; yang masih dipecah menjadi beberapa jenis lagi.
Kita ambil satu contoh nutrisi polisakarida dalam beras, yang salah satunya adalah “amylum”
dengan senyawa C6H10O5. Ternyata jeruk dan beras sama-sama mengandung CHO meskipun
dengan kuantitas yang berbeda dan menjadi kualitas entitas yang berbeda, dalam jeruk
kualitasnya menjadi entitas vitamin c, sedangkan dalam beras kualitasnya menjadi entitas
amylum (C6H8O6 vs C6H10O5 = vitamin c vs amylum = jeruk vs beras).
Lebih dalam lagi, ternyata antara entitas atom Carbon, Hydrogen, dan Oxygen juga memiliki
“esensi/substansi” yang sama. Semua unsur sub-atomik apapun, tidak hanya terbatas pada
ketiga unsur di atas saja, mengandung dua hingga tiga komponen yang sama dengan
susunan yang disebut “quarks”. Tiga komponen “quarks” itu adalah neutron, proton, dan
elektron. Yang membedakan setiap entitas atom adalah kuantitas bernaungnya ketiga “tron”
tersebut. Carbon memiliki 6 neutron, 6 proton, dan 6 elektron; Hydrogen memiliki 1 proton
dan 1 elektron dengan tidak memiliki neutron sama sekali; terakhir Oxygen memiliki 8
neutron, 8 proton, dan 8 elektron. Singkatnya, semua benda materialistik di dunia ini pasti
disusun oleh banyak senyawa yang disusun oleh banyak atom hingga pada akhirnya akan
mengandung “energi listrik” proton dan elektron (dengan sedikit atom yang tidak memiliki
neutron). Energi listrik ini menjadi landasan “entitas” energi lain sekaligus membuktikan
kekekalan energi itu sendiri. Itulah kenapa penulis berani mengatakan bahwa secara esensi
fisika, manusia sama dengan hewan, jeruk sama dengan batu, serta air sama dengan besi,
karena semuanya sama-sama mengandung proton, elektron, dan neutron (tentunya dengan
jumlah berbeda). Bahkan teori fisika quantum mulai menjelaskan unsur penyusun neutron,
proton, dan elektron yang disebut dengan “string theory” (teori getaran senar), yaitu entitas
fisik terkecil berbentuk gelombang yang tidak bisa diurai lebih kecil lagi. Sederhananya,
besar-kecil atau panjang-pendeknya getaran gelombang “senar” itulah yang akan
membentuk neutron, proton, atau elektron. Artinya, semua makhluk hidup dan benda mati di
seluruh alam semesta hanyalah manifestasi dari “entitas” getaran gelombang senar. Senar
inilah “esensi” kebenaran sejati atas semua benda fisik, setidaknya sampai “string theory”
diganti oleh alternatif yang terbukti lebih tepat, jika ada.
Kesimpulannya, kebenaran adalah suatu nilai yang jika ditentang maka selebihnya adalah
salah. Kebenaran memiliki alat ukur yang kuat dan paten untuk bisa ditegakkan secara
absolut. Namun begitu, kekuatan alat ukur kebenaran pada akhirnya tetap saja dibuat oleh
102
konsensus manusia dengan segala kekurangannya, terlepas dari sehebat atau secerdas
apapun kelompok manusia yang menetapkan konsesus itu. Terlebih lagi jika kita membahas
kebenaran yang bersifat imateriil (seperti pola pikir, ideologi, keyakinan, dsb.), maka alat
ukurnya akan semakin abstrak dan sulit dikuantitatifkan. Keterbatasan dan kesenjangan
kemampuan setiap manusia memahami suatu fenomena menjadikan nilai kebenaran yang
dianut setiap orang bisa berbeda-beda. Jangankan memahami kebenaran, cara berpikir
untuk mencarinya saja belum tentu benar. Maka prinsip toleransi dan tenggang rasa harus
didahulukan dalam rangka mencapai perdamaian dan kemakmuran bermasyarakat. Kecuali,
sekali lagi, anda punya kekuatan kapital untuk mendogmakan kebenaran anda, sekaligus
mempertahankan kedamaian.
KEBAIKAN
Akhirnya kita bisa beralih membahas tentang kebaikan. Sekarang kita akan mencoba contoh
yang sangat disederhanakan. Misalnya seorang ayah membelikan anaknya baju berwarna
merah, warna favorit sang ayah. Jika merah adalah warna favorit sang anak juga, maka dia
akan sangat gembira dan percaya diri memakainya. Gembira dan percaya diri ini menjadi
“kebaikan” sebagai produk dari “selera” atas “subjektivitas” sang anak. Namun jika merah
ternyata adalah warna yang dibenci sang anak, maka dia akan sangat sedih dan tidak
percaya diri memakainya. Sedih dan minder ini menjadi “keburukan” sebagai lawan kata dari
“kebaikan”. Tidak ada yang salah dalam memiliki warna favorit apapun sesuai selera masing-
masing. Karena warna “kesukaan” seseorang sebagai “satu subjek” tidak selalu menjadi
“kesukaan” orang lain sebagai “subjek lainnya”. Inilah yang disebut “perbedaan”. Adapun
kebaikan bisa tercipta dengan kebijaksanaan sang bapak untuk tidak memaksakan
seleranya harus sama dengan anaknya, atau mungkin bertanya warna favorit anaknya
sebelum membelikannya baju baru.
Kebaikan yang berlandaskan selera dan subjektivitas ini juga bisa berubah seiring waktu.
Contoh yang bersifat materiil, misalnya seorang anak balita baik untuk diberi baju ukuran
kecil, sedangkan saat beranjak dewasa baik jika diberi baju ukuran besar. Bayangkan jika dia
terus memakai baju yang sama sejak balita hingga dewasa? Kemudian contoh yang bersifat
imateriil, misalnya seorang anak suka warna biru karena cat tembok di rumahnya berwarna
dominan biru dan masuk ke alam bawah sadarnya. Tembok itu menjadi “simbol”
keharmonisan rumah tangga orang tua dan masa kecilnya yang indah (baca bab “agitasi-
propaganda”). Jika suatu ketika saat beranjak remaja, ternyata kedua orang tuanya bercerai,
bisa jadi tembok biru berubah menjadi “simbol” keretakan rumah tangganya. Hingga
103
akhirnya dia membenci warna biru yang dulu warna favoritnya. Tak berhenti sampai di situ,
pasca “broken home” dia sering keluar rumah dan bergaul bebas dengan teman-teman yang
kurang tepat hingga “berdugem” atau dekat dengan kalangan “punk-rock” jalanan hingga
warna favorit barunya adalah hitam.
Kebaikan yang ideal adalah kebaikan yang sesuai kebutuhan subjeknya. Secara sederhana,
manusia memiliki tiga tingkatan pemenuhan, yaitu primer/primary (kebutuhan),
sekunder/secondary (keinginan), dan tersier/tertiary (kemewahan). Segala sesuatu yang
dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup dengan layak sesuai tingkat kemakmuran
lingkungannya adalah kebutuhan primer. Kemudian segala sesuatu yang bisa menyenangkan
seseorang setelah kemakmuran hidupnya terjamin adalah keinginan sekunder. Terakhir
segala sesuatu yang sifatnya terlampau berfoya-foya dan tidak berfungsi signifikan selain
untuk unjuk ego diri adalah kemewahan tersier. Uniknya satu entitas benda bisa menjadi
pemenuhan primer/sekunder/tersier tergantung siapa yang memilikinya. Sebuah laptop
canggih dengan harga puluhan juta bisa menjadi kebutuhan primer bagi orang berprofesi IT
karena dapat mendukung performa kerjanya. Di sisi lain laptop canggih juga menjadi
keinginan sekunder bagi seorang pemuda yang ingin bermain video game dengan grafik
tinggi untuk memuaskan hobi bermainnya. Kemudian laptop canggih juga bisa menjadi
kemewahan tersier buat pemuda gaptek yang tidak ahli mengoperasikan laptop itu sampai
performa maksimalnya selain untuk mengetik tugas saja (yang bisa dilakukan dengan laptop
lebih murah), namun membanggakan diri pada lingkungannya dengan mambawa laptop
tersebut ke mana-mana. Suatu benda atau nilai bisa menjadi baik atau buruk bagi seseorang
tergantung bagaimana orang itu menyalurkan untuk pemenuhan dirinya.
Oleh karena itu, tingkat mahal atau tidaknya, lazim atau tidaknya, suatu benda dan nilai yang
dimiliki bukanlah indikator pemenuhannya. Misalnya, seorang bapak pengusaha bahan
bangunan yang memiliki keseharian mengantar pesanan membutuhkan sebuah mobil pick-
up. Di sisi lain dia juga butuh membeli motor untuk memudahkan kehidupan sehari-hari,
walaupun kurang mbermanfaat untuk profesinya. Jika keuangan bapak tersebut tidak cukup
untuk membeli keduanya dan terpaksa memilih, maka kebutuhan primer jatuh kepada mobil
pick-up yang notabene lebih mahal dan keinginan sekunder yang harus ditunda adalah
membeli motor yang notabene lebih murah. Tentunya hal ini berbeda dengan seorang
mahasiswa yang juga ingin memiliki satu motor dan satu mobil. Jika harus memilih, maka
“pada umumnya” sang mahasiswa cukup membeli motor daripada mobil untuk pergi ke
kampus.
104
Politisi Sejati Selalu Menemukan Pertemanan dalam Setiap Perlawanan
Lawan Terbentuk oleh Rasa Hormat atas Perbedaan
Musuh Terbentuk oleh Penghinaan atas Pertentangan
Kebaikan yang amoral adalah kebaikan yang dipaksakan sesuai keinginan subjeknya. Sering
kali sebuah kebaikan memiliki sisi keburukannya juga, sebagaimana dua sisi koin. Maka kita
harus pintar memilih dan menimbang mana kebaikan yang bisa memenuhi kebutuhan atau
sekedar memuaskan keinginan. Jika anda memiliki seorang anak balita yang meronta
karena tidak ingin disuntik oleh dokter, sebagai orang tua anda harus memaksa sang anak
untuk menerima “keburukan” sakitnya disuntik supaya bisa menerima “kebaikan”
sembuhnya badan. Kemudian di saat yang lain anak anda berkeinginan terus-menerus
meminta dibelikan permen yang bisa membahayakan kesehatan giginya, tentu anda tidak
akan membelikannya permen tersebut. Jika anak anda protes, maka anda akan memberi
“keburukan” berupa teguran atau marah yang bisa jadi membuat sang anak menangis.
Sebagai orang tua yang membesarkan anak balita akan lebih tahu mana yang baik dan mana
yang buruk, serta mana yang dibutuhkan dan mana yang sekedar keinginan dibandingkan
penilaian anak itu sendiri.
105
Sangat Disayangkan Degradasi Nurani
Sekarang Jamannya Politik Materialisasi
Karena Politik Ideologi Sudah Tak Seksi Lagi
Terlalu Banyak Sudut untuk memandang, Terlalu Banyak Maksud yang Tak Tersampaikan
Beda Jaman Beda Wawasan, Meskipun Sama Konsep Kita Soal Ilmu Pengetahuan
106