Anda di halaman 1dari 33

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id
7

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Glaukoma

a. Definisi

Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai ekskavasi

Glaukomatosa, neuropati saraf optik, serta kerusakkan lapang pandangan

yang khas dan terutama diakibatkan oleh tekanan bola mata yang tidak

normal. Tekanan bola mata/Tekanan Intraokuler (TIO) berkisar antara 15-

20 mmHg dengan menggunakan tonometer Schiotz. Tekanan 24,4 mmHg

dianggap sebagai batas tertinggi dan tekanan 22 mmHg dianggap sebagai

batas normal tinggi yang perlu diwaspadai (Ilyas et al., 2010).

b. Klasifikasi

Berdasarkan etiologinya, Glaukoma dapat diklasifikasikan menjadi:

1) Glaukoma primer

Glaukoma primer tidak diketahui penyebabnya dan tidak

disertai dengan penyakit mata lainnya, dan dibagi menjadi

(Salmon et al., 2009):

a) Glaukoma sudut tertutup (closed-angle glaukoma, angle-

commitAkut,
closure glaukoma): to user
subakut, kronik, iris plateau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

b) Glaukoma sudut terbuka (open-angle glaucoma): Glaukoma

sudut terbuka primer (Glaukoma sudut terbuka kronik,

Glaukoma simpleks kronik) dan Glaukoma tekanan normal

(Glaukoma tekanan rendah).

2) Glaukoma sekunder

Glaukoma sekunder disebabkan oleh penyakit lain pada bola

mata (Ilyas et al.,2010). Glaukoma sekunder diklasifikasikan

meliputi (Salmon et al., 2009):

a) Glaukoma pigmentasi

b) Glaukoma eksfoliasi

c) Akibat kelainan lensa (fakogenik) : dislokasi, intumesensi,

fakolitik.

d) Akibat kelainan traktus uvea : uveitis, sinekia posterior

(seklusio pupilae), tumor, edema corpus ciliare

e) Sindrom Iridokorneoendotelial (ICE)

f) Trauma : hifema, kontusio/resesi sudut, sinekia anterior perifer

g) Pascaoperasi : Glaukoma sumbatan siliaris (Glaukoma

maligna), sinekia anterior perifer, pertumbuhan epitel ke

bawah, pascabedah tandur kornea, pascabedah ablation

retinae.

h) Glaukoma neovaskular : Diabetes Melitus, oklusi vena

sentralis retinae, tumor intraokuler.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

i) Peningkatan tekanan vena episklera : fistula karotis kavernosa,

sindrom Struge Weber

j) Akibat steroid

3) Glaukoma konginetal

Glaukoma konginetal dapat berupa Glaukoma infantile

(buftalmos, hidroftalmos) dan Glaukoma dengan kelainan

konginetal lain. Glaukoma konginetal meliputi (Salmon et al.,

2009):

a) Glaukoma konginetal primer

b) Glaukoma yang berkaitan dengan kelainan perkembangan

janin : Sindrom-sindrom pembelahan bilik mata depan dan

aniridia

c) Glaukoma yang berkaitan dengan kelainan perkembangan

ekstraokular

4) Glaukoma absolut, merupakan hasil dari semua Glaukoma yang

tidak terkontrol adalah mata keras, tidak dapat melihat, dan sering

nyeri (Salmon et al., 2009).

c. Patogenesis dan Patofisiologi

Mekanisme terjadinya Glaukoma dapat dijelaskan melalui dua

teori, yaitu teori mekanikal dan teori vaskular (Atas et al., 2014). Teori

mekanikal mengemukakan bahwa Glaukoma terjadi sebagai akibat

dari peningkatan Tekanan Intraokuler (TIO) sehingga menyebabkan


commit
saraf optik mengalami to userdan kerusakkan (Atas et al., 2014).
penekanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

Peningkatan TIO disebabkan oleh gangguan aliran ke luar aqueous

humor akibat kelainan dari sistem drainase sudut bilik mata depan

(open-angle glaucoma) maupun gangguan akses aqueous humor ke

sistem drainase (angle-closure glaucoma) (Salmon et al., 2009).

Efek peningkatan tekanan intraokuler dipengaruhi oleh perjalanan

waktu dan besarnya peningkatan. Pada Glaukoma sudut tertutup akut,

Tekanan Intraokuler mencapai 60-80 mmHg dapat menimbulkan

kerusakan nervus optikus. Sedangkan pada Glaukoma sudut terbuka

primer, Tekanan Intraokuler biasanya meningkat tidak lebih dari 30

mmHg dan kerusakan sel ganglion telah terjadi dalam waktu yang

lama hingga beberapa tahun (Salmon et al., 2009).

Mekanisme penurunan penglihatan pada Glaukoma disebabkan

oleh apoptosis sel ganglion retina yang menyebabkan penipisan

lapisan serat saraf dan lapisan inti-dalam retina serta berkurangnya

akson dari nervus optikus. Diskus optikus menjadi atrofik dan

membesar (ekskavasio Glaukomatosa) (Salmon et al., 2009).

Sementara itu, teori vaskular mengemukakan bahwa Glaukoma

terjadi sebagai akibat dari penurunan tekanan perfusi okuler (OPP)

sehingga menyebabkan penurunan aliran darah okuler yang berujung

pada kerusakkan iskemik sel ganglion retina, meskipun Tekanan

Intraokuler normal ataupun rendah (Memarzadeh et al., 2010).

Mekanisme ini mendasari terjadinya Glaukoma tekanan

normal/rendah (Salmon et al., 2009).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

Menurut Alexandrescu et al. (2010), mekanisme lain yang

mendasari terjadinya Glaukoma adalah sebagai berikut :

1) Peran faktor vaskular

Adanya lesi endothelial dan aterosklerosis dapat menyebabkan

gangguan sirkulasi yang akhirnya mendukung terjadinya

kerusakan lapisan serabut saraf retina dan jaringan ikat di

bawahnya (Alexandrescu et al., 2010).

Perubahan diameter vaskular yang mengakibatkan peningkatan

resistensi aliran darah dapat dipengaruhi oleh disfungsi

endothelial. Molekul yang diprodukasi oleh endothelial yang dapat

berpengaruh pada disfungsi endothelial adalah endotelin 1 (ET-1)

dan Nitrit Oksida (NO). Keduanya disebut endothelium derived

vasoactive compounds (EDVCs) (Alexandrescu et al., 2010).

ET-1 berperan sebagai vasokonstriktor dan dalam peningkatan

permeabilitas vaskular yang dapat mengakibatkan perdarahan

retina, dan biasanya ditemukan pada kasus NTG. ET-1 juga dapat

meningkatkan pengeluaran prostaglandin E2 (PGE2) yang dapat

menurunkan kompleks tight junction endothelial sehingga

mengakibatkan ketidaksempurnaan sawar darah otak. Hal-hal

tersebut di atas dapat memfasilitasi proses difusi bahan-bahan

yang bersifat merusak untuk masuk ke retina. ET-1 menyebabkan

stres iskemik dengan menginduksi vasokonstriksi dan mengubah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

aktivitas pompa Na+/K+ bergantung ATP (Alexandrescu et al.,

2010).

NO merupakan produk dari L-arginine dengan bantuan enzim

Nitrit Oksida Sintase (NOS) yang memiliki 3 isoform: NOS-1

neural, NOS-2 inducible, dan NOS-3 endotelial (berperan dalam

vasodilatasi). NO bersifat tidak stabil, memiliki waktu hidup yang

pendek, dan mudah larut serta berdifusi melalui membran karena

ukurannya yang kecil. NO berperan dalam vasodilatasi,

kontraktilitas, neurotransmisi, neurotoksisitas, dan inflamasi. NO

bertanggung jawab terhadap keseimbangan tonus pembuluh darah

dan berperan dalam fisiologi saraf sebagai second messanger dan

memodulasi pompa natrium selular sehingga meningkatkan

produksi glutamat dan messanger intraselular yang lain dan

menyebabkan perubahan berkepanjangan pada aktivitas pompa

NA+/K+ bergantung ATP yang merupakan mekanisme yang

terlibat dalam terjadinya Glaukoma (Alexandrescu et al., 2010).

NOS terdapat pada trabekulum, dan dapat berfungsi melawan

radikal bebas melalui produksi NO. Peningkatan produksi NO

mengakibatkan vasodilatasi dan meningkatkan kontraktilitas

trabecular meshwork yang pada akhirnya menurunkan TIO dan

sebagai neuroproteksi dengan mencegah apoptosis nervus optikus.

Hal ini diperkuat dengan penelitian yang membuktikan efek Nitric

Oxide-releasing Dexamethasone (NCX1021) topikal dapat


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

menghindari efek negatif dexamethasone phosphate, seperti

peningkatan TIO , gangguan aliran darah okular, dan perubahan

morfologis korpus siliaris yang diinduksi kortikosteroid

(Alexandrescu et al., 2010).

2) Stres oksidatif pada lapisan sel ganglion retina

Kematian sel ganglion retina pada glaukoma terjadi dengan

proses apoptosis melalui peningkatan stres oksidatif akibat

tingginya konsentrasi radikal bebas. Oksidatif stres dapat

menginduksi enzim antioksidan dan berkontribusi dalam

menurunkan TRAP/Total Reaktive Antioxidant Potential

(superoksida bismutase dan glutation perioksidase) sehingga

TRAP dapat digunakan sebagai penanda adanya stres oksidatif

pada pasien Glaukoma (Alexandrescu et al., 2010).

3) Perubahan patofisiologi aqueous humor dan trabecular meshwork.

Perubahan patofisiologi pada Glaukoma diperankan oleh:

a) Glikoprotein transmembran CD44 (cluster of differentiation

antigen-44) dan asam hialuronat

Glikoprotein transmembran CD44 adalah reseptor

permukaan sel untuk asam hialuronat yang banyak terdapat

pada jaringan dan cairan okular dan berperan dalam proses

pertumbuhan sel dan penyajian enzim ke substratnya dengan

berhubungan pada faktor pertumbuhan dan metaloprotease.

Pemecahan proteolitik CD44 oleh matriks yang berhubungan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

dengan metaloprotease menghasilkan sCD44 (soluble cluster

of differentiation antigen-44) yang memiliki peran yang

berbeda dengan CD44. Keberadaan/bioavailabilitas sCD44

bergantung pada keterikatannya dengan asam hialuronat yang

dipengaruhi oleh tekanan. Pada orang normal, asam hialuronat

berikatan dengan sCD44 dan menginaktifkan sCD44. Pada

pasien Glaukoma (terutama COAG), asam hialuronat menurun

sedangkan sCD44 meningkat. Bila kadar sCD44 telah

mencapai batas, molekul tersebut menjadi toksik akibat

mengalami hipofosforilasi dan mengaktivasi proses

proapoptosis pada beberapa sel, termasuk sel trabecular

meshwork dan sel ganglion retina (Alexandrescu et al., 2010).

b) TGF-beta2 dan transtiretin

TGF-beta2 dan transtiretin terdapat pada aqueous humor

dan meningkat pada pasien Glaukoma. Transtiretin dapat

membentuk endapan/deposit amiloid yang dapat menyumbat

drainase aqueous humor dan meningkatkan TIO (Alexandrescu

et al., 2010).

c) Matriks metalloproteinase dan integrin

Pada pasien Glaukoma (terutama COAG), terjadi

penurunan aktivitas kolagenolitik Matrix Metalloproteinase

(MMP) dan peningkatan Tissue Inhibitor of Matrix

Metalloproteinase (TIMP) pada metabolisme matriks


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

ekstraseluernya, sehingga terjadi akumulasi matriks

ekstraselular jika dibandingkan dengan degradasinya

(Alexandrescu et al., 2010).

d) Proses modulasi dan regulasi jumlah filamen aktin sitoskeleton

pada sel trabecular meshwork.

Peningkatan jumlah filamen aktin dapat menimbulkan

peningkatan resistensi aliran, berperan dalam drainase aqueous

humor melalui trabecular meshwork. Selain itu, dapat terjadi

peningkatan kontaktilitas aktin akibat TGF-beta yang diinduksi

stres yang akhirnya menyebabkan Glaukoma (terutama

COAG) (Alexandrescu et al., 2010).

d. Faktor risiko

Menurut Ilyas (2007) beberapa faktor risiko yang dapat

menyebabkan Glaukoma:

1) Sirkulasi darah dan regulasinya

2) Fenomena autoimun

3) Degenerasi primer sel ganglion

4) Usia di atas 45 tahun

5) Keluarga mempunyai riwayat Glaukoma

6) Pascabedah dengan hifema

7) Ras

8) Hipertensi

9) Diabetes Melituscommit to user


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

10) Tembakau

e. Manifestasi klinis

Terdapat beberapa bentuk Glaukoma, dua bentuk tersering adalah

Glaukoma sudut terbuka dan Glaukoma sudut tertutup (Fazio, 2012).

1) Glaukoma sudut terbuka

Glaukoma sudut terbuka sering disebut “the sneak thief of

sight” karena bersifat asimptomatik hingga terjadi kehilangan

penglihatan yang signifikan (Fazio, 2012).

Manifestasi klinis pada Glaukoma antara lain (Ilyas et al.,

2010):

a) Tidak terdapat tanda-tanda dari luar.

b) Perjalanan penyakit perlahan dan progresif dengan kerusakkan

papil saraf optik (ekskavasio Glaukomatosa).

c) Biasanya penderita baru sadar saat mencapai keadaan lanjut.

d) Sifat Glaukoma ini bilateral, biasanya lebih dahulu terjadi pada

salah satu mata. Seringkali ditemukan pada usia 40 tahun ke

atas.

2) Glaukoma sudut tertutup

Sebelum mendapat serangan akut, penderita Glaukoma sudut

tertutup biasanya mengalami gejala dini (prodorma) yang terjadi

hanya sebentar dan hilang sendiri. Keadaan prodorma yang terjadi

yaitu (Ilyas et al., 2010):


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

a) Mata kabur sebentar pada salah satu mata, adanya

penampakkan lingkaran warna pelangi di sekitar lampu atau

lilin, sakit kepala di sebelah mata yang kabur, dan nyeri ringan

pada bola mata yang berlangsung selama setengah hingga dua

sampai tiga jam. Pada fase ini, dalam pemeriksaan didapatkan

hiperemi perikorneal yang ringan, kornea agak suram, bilik

mata depan gak dangkal, pupil sedikit melebar, dan tekanan

bola mata meninggi. Gejala prodorma berangsur-angsur terjadi

semakin sering hingga terjadi serangan akut.

b) Gejala mereda setelah tidur nyenyak. Hal ini disebabkan oleh

miosis mata saat tidur hingga sudut bilik mata depan terbuka

kembali.

Setelah keadaan prodorma, penderita mengalami fase serangan

akut yang meliputi (Ilyas et al., 2010):

a) Sakit kepala berat yang terus-menerus

b) Nyeri mata yang berat

c) Penglihatan sangat kabur dan terlihat warna pelangi di sekitar

lampu.

d) Gejala mual dan muntah (menyertai nyeri bola mata berat),

e) Dalam pemeriksaan didapatkan kelopak mata bengkak,

konjungtiva bulbi yang sangat hiperemik (kongestif), injeksi

siliar dan kornea yang suram, bilik mata depan suram, pupil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

midriasis, refleks pupil lambat atau tidak ada, tajam

penglihatan menurun hingga hitung jari, tekanan bola mata

tinggi.

f. Diagnosis

Diagnosis Glaukoma ditetapkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan

penunjang yang diperlukan meliputi:

1) Visus

Tajam penglihatan (visus) masih baik apabila keadaan belum

lanjut. Pada fase serangan akut Glaukoma sudut tertutup, visus

dapat menurun hingga hitung jari (Ilyas et al., 2010).

2) Tonometri

Pengukuran tekanan intraokular dengan menggunakan Tonometer.

Tekanan normal sebesar 15,5 mmHg. Pada Glaukoma sudut

terbuka kronis, TIO biasanya sebesar 22-40 mmHg dan pada

Glaukoma sudut tertutup, TIO meningkat hingga di atas 60 mmHg

(James et al., 2006). Namun pada orang dengan Glaukoma tekanan

normal (Glaukoma tekanan rendah), TIO berada dalam batas

normal atau kurang dari 20 mmHg (Ilyas, 2007).

3) Oftalmoskopi/funduskopi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat keadaan saraf optik. Pada

funduskopi, akan terlihat tempat masuk saraf optik yang disebut


commit
sebagai papil optik. to user
Papil optik bagian tengah (mangkuk) tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

berisi saraf optik sehingga berwarna lebih pucat dibandingkan

dengan papiloptik bagian tepi (lempeng) yang berisi saraf optik.

Pada Glaukoma, bagian lempeng menjadi tipis akibat pelebaran

bagian mangkuk (ekskavasi) sehingga dapat mengakibatkan

kerusakkan saraf optik. Ekskavasi papil optik dinyatakan dalam

perbandingan/rasio antara mangkuk (cup) dan lempeng (disc). Jika

Cup/Disc Ratio (CDR) > 0.4, keadaan ini menandakan kerusakan

saraf optik (Ilyas, 2007).

4) Perimetri/tes lapang pandang

Perimetri digunakan untuk melihat keadaan lapang pandang. Pada

Glaukoma, terdapat daerah lapang pandang yang menghilang

(skotoma) akibat kerusakkan saraf optik (James et al., 2006). Pada

keadaan awal, pemeriksaan lapang pandang perifer tidak

menunjukkan kelainan, tetapi lapang pandang sentral mulai

menunjukkan skotoma parasentral. Pada keadaan lanjut, lapang

pandang perifer akan menunjukkan kerusakkan (Ilyas, 2007).

5) Gonioskopi

Gonioskopi bertujuan untuk mengetahui jenis Glaukoma dengan

memeriksa sudut iridokornea dengan goniolens (James et al.,

2006). Dapat dinilai derajat terbukanya sudut (Ilyas, 2007):

a) Derajat 0, apabila tidak terlihat struktur sudut dan kornea

menyentuh iris, dengan lebar sudut 0o, disebut sudut tertutup.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

b) Derajat 1, apabila tidak terlihat setengah bagian trabekulum

sebelah belakang dan garis Schwalbe terlihat, dengan lebar

sudut 10o, disebut sudut sangat sempit dan dapat menjadi sudut

tertutup.

c) Derajat 2, apabila sebagian kanalis Schlemm terlihat, dengan

lebar sudut 20o, disebut sudut sempit dan dapat menjadi sudut

tertutup.

d) Derajat 3, apabila bagian belakang kanalis Schlemm terlihat

termasuk scleral spur, dengan lebar sudut 20-35o, disebut

sudut terbuka sedang.

e) Derajat 4, apabila korpus siliaris terlihat, dengan lebar sudut

35-45o, disebut sudut terbuka.

g. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang diberikan adalah :

1) Terapi pengobatan

a) Simpatomimetik : non-selektif dan alfa2-selektif, digunakan

untuk menurunkan sekresi dan meningkatkan aliran ke luar

aqueous humor, misalnya adrenalin (James et al., 2006).

b) Simpatolitik : beta-bloker (non-selektif dan beta1-selektif),

alfa-beta-bloker, alfa1-bloker, digunakan untuk menurunkan

sekresi dan meningkatkan aliran ke luar aqueous humor,

misalnya timolol.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

c) Parasimpatomimetik : digunakan untuk meningkatkan aliran

keluar aqueous humor, misalnya pilokarpin (James et al.,

2006).

d) Analog prostaglandin : digunakan untuk meningkatkan aliran

keluar aqueous humor melalui jalur uveosklera, misalnya

latanopros (James et al., 2006).

e) Carbonic anhydrase inhibitors : sistemik (misalnya

azetazolamid) dan topikal (misalnya dorzolamid), digunakan

untuk menurunkan sekresi aqueous humor (James et al., 2006).

f) Hiperosmotik (Japan Glaukoma Society, 2006).

2) Terapi pembedahan

a) Bedah filtrasi

Pembedahan ini dilakukan dengan membuat lubang kecil pada

limbus kornea untuk membuat jalur baru aliran aqueous humor

antara bilik depan dan ruang subkonjungtiva. Contoh terapi ini

adalah trabekulektomi (Japan Glaukoma Society, 2006).

b) Bedah rekonstruksi jalur aliran aqueous humor:

Trabekulotomi, goniosinekiolisis, goniotomi (Japan Glaukoma

Society, 2006).

c) Bedah untuk mehilangkan blokade pupil: iridektomi perifer

(Japan Glaukoma Society, 2006).

d) Bedah siklodesktruktif, yaitu dengan membekukan korpus

siliaris menggunakan peralatan kriokoagulasi untuk


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

menurunkan produksi aqueous humor (Japan Glaukoma

Society, 2006).

3) Terapi laser (Japan Glaukoma Society, 2006).

2. Diabetes Melitus

a. Definisi

Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit metabolisme yang

ditandai dengan hiperglikemia sebagai hasil dari defek sekresi insulin

dan atau kerja insulin (ADA, 2013).

b. Klasifikasi

Menurut ADA (2014), Diabetes Melitus dapat diklasifikasikan

menjadi empat kategori klinis:

1) Diabetes Melitus tipe 1 (disebabkan oleh destruksi sel beta,

biasanya menimbulkan defisiensi insulin absolut.

2) Diabetes Melitus tipe 2 (disebabkan oleh defek sekresi insulin

progresif akibat resistensi insulin)

3) Diabetes Melitus tipe spesifik lain dari diabetes akibat penyebab

lain.

4) Diabetes Melitus gestasional (diabetes yang didiagnosis selama

kehamilan).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

c. Diagnosis

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

Gejala klasik Diabetes Melitus + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL

(11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil

pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu

makan terakhir.

atau

Gejala klasik Diabetes Melitus + kadar glukosa plasma puasa ≥ 126

mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori

tambahan sedikitnya 8 jam.

atau

Kadar glukosa plasma 2 jam ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L) pada Tes

Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang dilakukan dengan standar

WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram

glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air.

* Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% oleh American Diabetes Assocation

2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis

Diabetes Melitus, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang

telah terstandardisasi dengan baik.

(PERKENI, 2011)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

d. Patofisiologi

1) Diabetes Melitus tipe 1

Diabetes Melitus tipe 1 merupakan penyakit autoimun kronis

yang berhubungan dengan kerusakkan selektif sel beta pankreas

penghasil insulin. Kerusakkan autoimun sel beta pankreas

menimbulkan defisiensi sekresi insulin yang mengakibatkan

kekacauan metabolik disertai dengan peningkatan berlebihan

sekresi glukagon oleh sel alfa pankreas. Secara normal,

hiperglikemia menimbulkan penurunan sekresi glukagon, namun

pada individu dengan Diabetes Melitus tipe 1, konsentrasi

glukagon tidak dapat ditekan oleh hiperglikemia sehingga

memperburuk defek metabolik yang ditimbulkan dari defisiensi

insulin (Schteingart, 2006).

Selain defek akibat defisiensi insulin, terdapat pula defek

akibat penurunan ambilan insulin di jaringan. Defisiensi insulin

menimbulkan lipolisis yang tidak terkendali dan peningkatan kadar

asam lemak bebas dalam plasma, yang menekan metabolisme

glukosa pada jaringan perifer seperti otot skeletal. Gangguan

penggunaan glukosa dan defisiensi insulin juga menurunkan

ekspresi gen-gen yang diperlukan jaringan untuk merespon insulin

secara normal seperti glukokinase di hati dan GLUT 4 (transporter

glukosa dalam jaringan lemak) (Ozougwu et al., 2013). Defisiensi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

insulin mengakibatkan gangguan metabolisme glukosa, lemak, dan

protein (Ozougwu et al., 2013).

2) Diabetes Melitus tipe 2

Awalnya, terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja

insulin yang disebabkan oleh kelainan dalam pengikatan insulin

dengan reseptor karena berkurangnya jumlah reseptor pada

membran sel sehingga mengganggu kerja insulin. Akhirnya,

timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang

bersirkulasi dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan

euglikemia. Sekitar 80% individu dengan Diabetes Melitus tipe 2

mengalami obesitas, sementara obesitas berkaitan dengan

resistensi insulin (Schteingart, 2006). Individu dengan Diabetes

Melitus tipe 2 yang tidak mengalami obesitas mungkin memiliki

distribusi lemak tubuh yang terutama berada pada region abdomen

(ADA, 2013). Diabetes Melitus tipe 2 tidak berhubungan dengan

HLA, virus, maupun autoimunitas, dan biasanya mempunyai sel

beta yang masih berfungsi (Sudoyo, 2010).

e. Penyakit yang berkaitan dengan mata

1) Retinopati diabetika

Retinopati diabetika merupakan kelainan pada retina akibat

Diabetes Melitus,commit
mulai todari
userretinopati diabetika non proliferatif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

yang ditandai dengan mikroaneurisma, perdarahan retina, ablasio

retina, hingga dapat mengakibatkan kebutaan. Kelainan dasar pada

retinopati diabetika terletak pada kapiler retina. Perubahan

histopatologis kapiler retina dimulai dari penebalan membran

basalis, hilangnya perisit dan proliferasi endotel hingga mencapai

perbandingan 10:1 (sel endotel terhadap sel perisit) (Sudoyo,

2010).

2) Neuropati diabetika

Neuropati diabetika gangguan neuropati yang terjadi pada

Diabetes Melitus tanpa penyebab neuropati perifer lain.

Manifestasi neutopati diabetika dapat bervariasi, mulai dari tanpa

keluhan dan hanya terdeteksi pada pemeriksaan elektrofisiologis

hingga keluhan nyeri hebat yang terlokalisasi maupun sistemik,

bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi. Risiko

yang dihadapi oleh individu dengan neuropati diabetika adalah

infeksi berulang, ulkus yang tidak mudah sembuh, dan amputasi

jari/ kaki (Sudoyo, 2010).

3. Hipertensi

a. Definisi

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah

sistolik lebih dari atau sama dengan 140 mmHg dan atau peningkatan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

tekanan darah diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmHg

(Brown, 2006).

b. Etiologi

Berdasarkan penyebabnya, Hipertensi dikategorikan menjadi:

1) Hipertensi primer

Hipertensi primer disebut juga Hipertensi esensial atau

Hipertensi idiopatik. Terdapat berbagai faktor yang

memengaruhinya seperti genetik, lingkungan, defek ekskresi

natrium, peningkatan natrium dan kalsium intraseluler,

hiperaktivitas sistem saraf simpatis, sistem rennin-angiotensin,

serta faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas,

alkohol, merokok, polisitemia. Terdapat sekitar 95% kasus

Hipertensi dan biasanya timbul pada usia 30-50 tahun (Gray et al.,

2005).

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder merupakan Hipertensi yang diketahui

penyebabnya secara spesifik, seperti penggunaan estrogen,

penyakit ginjal, Hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme

primer, sindrom Cushing, feokromositoma, koarktasio aorta,

Hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.

Terdapat sekitar 5% kasus Hipertensi (Gray et al., 2005).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

c. Klasifikasi

Menurut JNC 7, tekanan darah diklasifikasikan sebagai berikut

(Chobanian et al., 2003):

Tabel 2.2 Klasifikasi Tekanan Darah

Kategori tekanan Tekanan darah sistolik Tekanan darah

darah (mmHg) diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 90-99

Hipertensi stage 2 ≥ 160 ≥ 100

d. Patofisiologi

Mekanisme yang berhubungan dengan Hipertensi antara lain:

1) Curah jantung dan tahanan perifer

Pada sebagian kasus Hipertensi esensial, curah jantung

biasanya normal namun tahanan perifer meningkat. Tekana darah

ditentukan oleh jumlah sel otot polos yang terdapat pada arteriol.

Peningkatan jumlah sel otot polos memengaruhi peningkatan

konsentrasi kalsium intraseluler dan semakin lama mengakibatkan

penebalan arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin

sehingga menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang

menetap (Gray et al., 2005)


commit to user
2) Sistem rennin-angiotensin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

Pengaturan tekanan darah diatur oleh ginjal melalui pengaturan

cairan ekstraseluler dan seksresi renin. Sistem renin-angiotensin

merupakan sistem endokrin yang penting dalam pengaturan

tekanan darah. Renin disekresi oleh jukstaglomerulus apparatus

ginjal sebagai respon terhadap penurunan perfusi, penurunan

asupan garam, maupun sistem saraf simpatis. Angiotensinogen

yang diproduksi oleh hati kemudian bersirkulasi dalam darah dan

diubah menjadi angiotensin I oleh renin. Selanjutnya, angiotensin I

diubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin I-Converting

Enzyme (ACE). Angiotensin II kemudian berperan sebagai

vasokonstriktor sehingga meningkatkan tekanan darah (Gray et al.,

2005).

3) Sistem saraf otonom

Hipertensi disebabkan oleh interaksi antara sistem saraf

otonom dan sistem renin-angiotensin bersamaan dengan faktor-

faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa

hormon (Gray et al., 2005).

4) Disfungsi endotel

Sel endotel vaskular mempunyai peran penting dalam

pengaturan pembuluh darah jantung dengan memproduksi molekul

vasoaktif yaitu nitrit oksida dan endotelium peptide. Secara klinis,

pengobatan dengan antiHipertensi menunjukkan perbaikan

gangguan produksi nitrit oksida (Gray et al., 2005).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

5) Substansi vasoaktif

Endothelin dapat mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal

serta meningkatkan sensitivitas garam pada tekanan darah (Gray

et al., 2005).

6) Disfungsi diastolik

Hipertrofi ventrikel kiri mengakibatkan ventrikel tidak dapat

beristitahat saat terjadi fase diastolik. Hal ini bertujuan untuk

memenuhi peningkatan kebutuhan input ventrikel, mengakibatkan

peningkatan tekanan atrium melebihi normal dan penurunan

tekanan ventrikel, terutama saat berolahraga (Gray et al., 2005).

e. Penyakit yang berkaitan dengan mata

1) Retinopati Hipertensif dan retinopati arteriosklerotik

Retinopati Hipertensi merupakan kelainan pada retina atau

pembuluh darah retina akibat tekana darah yang tinggi. Kelainan

pembuluh darah pada retina sangat mengikuti tingginya dan

lamanya tekanan darah yang dimiliki individu. Adanya keluhan

penurunan visus tidak banyak dirasakan kecuali jika terjadi

iskemik optik neuropati (Ilyas, 2010).

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan sklerosis

pembuluh darah sehingga akan memberikan gambaran pada

fundus berupa retinopati arteriosklerotik (Ilyas, 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

4. Hubungan Glaukoma dengan Diabetes Melitus dan Hipertensi

Sejumlah penelitian populasi mengemukakan bahwa individu dengan

Diabetes Melitus memiliki Tekanan Intraokuler lebih tinggi 2 hingga 3

mmHg dibandingkan dengan individu tanpa Diabetes Melitus (Wong et

al., 2011). Sementara itu, setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah

sistolik berhubungan dengan peningkatan TIO sekitar 0.27 mmHg (He et

al., 2011). Bukti epidemiologi mengenai hubungan antara Diabetes

Melitus dan Hipertensi terhadap kejadian Glaukoma masih belum

sepenuhnya jelas. Namun, Diabetes Melitus dan Hipertensi diperkirakan

berperan dalam :

a. Teori mekanikal

Pada individu dengan Diabetes Melitus, kadar glukosa dalam

aqueous humor meningkat (7,8 mM) dibandingkan dengan normalnya

(3,2 mM) (Sato et al., 2002). Hiperglikemia mengakibatkan

percepatan deplesi dari sel endotel trabecular meshwork. Trabecular

meshwork merupakan jenis sel endotelial khusus pada segmen anterior

mata yang berfungsi sebagai pengatur resistensi aliran aqueous humor

untuk mempertahankan Tekanan Intraokuler. Daerah yang

bertanggung jawab melaksanakan fungsi ini adalah bagian

jukstakanalikular atau kribiformis, yang berada di dekat kanalis

Schlemm (Keller et al., 2012) dan terdiri atas matriks ekstraseluler

longgar (Belforte et al., 2010). Komponen matriks ekstraseluler yang


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

berperan dalam mempertahankan aliran aqueous humor adalah

Glikosaminoglikan (GAG), yang merupakan molekul rantai gula

linear panjang yang terdiri atas kumpulan disakarida. Salah satu jenis

disakarida dalam GAG adalah asam hialuronat, yaitu suatu

mukopolisakarida yang terdiri atas beribu komponen (D-asam

glukoronat dan N-asetil-glukosamin) yang tersusun berulang dan

berjumlah 20-25% dari total GAG yang menyusun trabecular

meshwork (Necas et al., 2008).

Asam hialuronat disintesis dengan bantuan protein membran

integral yang disebut Hyaluronan Synthase (HAS) (Necas et al., 2008)

yang terdapat pada plasma membran sel endotel trabecular meshwork.

Deplesi sel endotel trabecular meshwork menyebabkan penurunan

kadar asam hialuronat dalam GAG yang selanjutnya mengakibatkan

penurunan MMP yang berfungsi mengkatalisasi degradasi protein

matriks ekstraselular (Oh et al., 2013), sehingga mengubah

keseimbangan antara MMP dengan enzim penghambat MMP (Tissue

Inhibitor of Metalloproteinase/TIMP). Ketidakseimbangan antara

MMP dan TIMP menyebabkan akumulasi matriks ekstraseluler

cenderung meningkat, mengakibatkan resistensi aliran aqueous humor

meningkat, dan berujung pada peningkatan TIO (Sato et al., 2002).

Sementara itu pada individu dengan Hipertensi, peningkatan

tekanan darah cenderung meningkatkan tekanan arteri siliaris sehingga

meningkatkan komponen ultrafiltrasi pada produksi aqueous humor,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

sehingga menyebabkan peningkatan TIO. Tekanan arteri yang

meningkat juga cenderung mengakibatkan sedikit peningkatan pada

tekanan vena sehingga menyebabkan penurunan aliran keluar aqueous

humor yang dapat berperan dalam peningkatan TIO (He et al., 2011).

b. Teori vaskular

Diabetes Melitus dan Hipertensi diperkirakan berperan dalam

patofisiologi Glaukoma melalui pembentukkan aterosklerosis (Moore

et al., 2008). Mekanisme ini didasarkan pada penemuan yang

melaporkan bahwa neuropati optik Glaukomatosa tetap dialami oleh

pasien dengan kontrol Glaukoma yang baik dan dan pasien Glaukoma

tanpa disertai peningkatan Tekanan Intraokuler (Atas et al., 2014).

Pada individu dengan Diabetes Melitus, kekacauan metabolik

terjadi di dalam pembuluh darah, seperti hiperglikemia. Hiperglikemia

menyebabkan produksi berlebihan dari Spesifik Oksigen Reaktif

(ROS), seperti anion superoksida (O 2 -), yang menginaktivasi Nitrit

Oksida (NO) menjadi peroksinitrit (ONOO-) (Creager et al., 2003)

melalui rantai transpor elektron mitokondria (Giacco et al., 2010).

Dalam keadaan euglikemia, O 2 - dapat dinetralkan oleh enzim

antioksidan endogen, yaitu Superoksida Dismutase (SOD). Namun

pada keadaan hiperglikemia, produksi O 2 - melebihi kapasitas SOD

untuk menetralisasi anion ini, menyebabkan akumulasi berlebihan O 2 -

(Saccà et al., 2007). O 2 - kemudian menginduksi proses kaskade

commit to user
endotel yang mengakibatkan peningkatan jumlah produksi radikal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

bebas yang berasal dari oksigen, antara lain aktivasi Protein Kinase C

(PKC), produksi Advanced Glycation End Products (AGE) dan

aktivasi Receptor for AGE (RAGE), dan jalur heksosamin. Pada

proses aktivasi PKC intraseluler, O 2 - berperan mengaktivasi PKC dan

sebaliknya, PKC berperan dalam membentuk O 2 - berkelanjutan

(Creager et al., 2003).

PKC yang teraktivasi membatasi aktivasi protein kinase Akt

melalui pengambatan aktivitas jalur fosfatidilinosital-3 kinase yang

selanjutnya menurunkan aktivitas NO synthase (NOS). Sementara itu,

O 2 - berinteraksi dengan Nitrit Oksida (NO) membentuk peroksinitrit

(ONOO-), suatu senyawa yang mengoksidasi tetrahidrobioprotein,

yaitu kofaktor enzim NOS sehingga turut mengakibatkan penurunan

aktivitas NOS dan penurunan produksi NO sedangkan O 2 - terus

meningkat. NO merupakan suatu molekul yang disintesis oleh

endothelial NO Synthase (eNOS) di sel endotel dan berfungsi sebagai

vasodilator untuk mempertahankan homeostasis vaskular dengan

bekarja pada sel otot polos vaskular (Creager et al., 2003).

O 2 - juga meningkatkan produksi AGE intraseluler. AGE berfungsi

untuk meningkatkan radikal bebas yang berasal dari O 2 dan

mengaktivasi RAGE. Aktivasi RAGE selanjutnya semakin

meningkatkan produksi O 2 - intraseluler. Peningkatan O 2 - juga

mengaktivasi jalur heksosamin, yaitu jalur yang mengurangi aktivasi

NOS melalui protein kinase Akt (Creager et al., 2003).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

Peningkatan O 2 - mengakibatkan terjadinya kerusakkan sel, suatu

kondisi yang disebut sebagai stres oksidatif (Saccà et al., 2007). Stres

oksidatif pada sel endotel pasien Diabetes Melitus mengakibatkan

disfungsi endotel. Disfungsi endotel mengakibatkan penurunan NO,

menyebabkan peningkatan aktivitas Nuclear Factor kappa B (NF-κB),

yaitu suatu faktor transkripsi proinflamasi, sehingga meningkatkan

ekspresi molekul adesi leukosit dan produksi sitokin dan kemokin.

Keadaan ini mendorong migrasi monosit dan sel otot polos vaskular

ke intima dan pembentukkan sel busa (foam cell) makrofag. Sel busa

merupakan sel inisial dari lesi aterosklerotik. Sel otot polos vaskular

yang bermigrasi ke dalam sel busa kemudian mereplikasi dan

memproduksi matriks ekstraseluler sehingga membentuk sel

aterosklerotik yang matur. Namun, apoptosis sel otot polos vaskular

dalam lesi aterosklerotik juga meningkat sehingga lesi aterosklerotik

cenderung mengalami ruptur. Ruptur juga disebabkan oleh penurunan

sintesis kolagen yang dipicu sitokin pada lesi aterosklerotik (Creager

et al., 2003).

Selain mengakibatkan penurunan NO dan pembentukkan lesi

aterosklerotik, hiperglikemia juga meningkatkan sintesis prostanoid

dan endothelin, suatu molekul vasikonstriktor melalui peningkatan

ekspresi mRNA COX-2 (Cyclooxygenase-2). Endothelin mendorong

reaksi inflamasi dan menyebabkan pertumbuhan serta kontraksi sel

otot polos vaskular (Creager et al., 2003).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

Penurunan NO, pembentukkan lesi aterosklerotik, serta

peningkatan vasokonstriktor ini mengakibatkan penurunan aliran

darah okuler selanjutnya mengakibatkan penurunan tekanan perfusi

okuler (OPP), menyebabkan iskemia jaringan, dan berujung pada

neuropati optik Glaukomatosa (Memarzadeh et al., 2010; Saccà et al.,

2007).

Penurunan aliran darah generalisata dapat merangsang produksi

vasopresin dan memicu sistem renin-angiotensin sehingga

menghasilkan angiotensin II. Hormon ini merupakan suatu

vasokonstriktor kuat sehingga dapat meningkatkan tekanan darah dan

menyebabkan Hipertensi (Sherwood, 2011).

Hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan sel endotel, yang juga

mengakibatkan penurunan produksi NO dan peningkatan ekspresi

molekul adesi. Peningkatan ekspresi molekul adesi selanjutnya

mengakibatkan pembentukkan lesi aterosklerotik melalui proses yang

telah disebutkan sebelumnya (Guyton et al., 2007) dan berakhir pada

neuropati optic Glaukomatosa (Memarzadeh et al., 2010; Saccà et al.,

2007).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

B. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tinjauan pustaka, dapat digambarkan kerangka teori sebagai

berikut:
Ultrafiltrasi produksi aqueous humor
↑ tekanan arteri
↑ tekanan vena okuler siliaris

Diabetes Melitus ↑ sintesis Hipertensi


↑ Ekspresi prostanoid
mRNA COX-2 dan endotelin
Glukosa ↑
↑ produksi
Stres oksidatif sel vasopressin dan
↑ Produksi anion endotel Reaksi inflamasi angiotensin II
superoksida dan ↑ kontraksi otot
↓ Fungsi dan jumlah polos vaskular
sel endotel ↓ aliran darah
↓ Protein ↓ Produksi
trabecular meshwork
membran HAS NO
Pembentukkan sel
↓ Aktivitas aterosklerotik matur
↓ Asam NO sintase ↑ aktivitas
hialuronat NF-κB
↓ aliran darah
↑ sD44 ↓ MMP ↑ Ekspresi molekul okuler
bebas adesi leukosit,
↑ Produksi sitokin
Ketidakseimbangan ↓ Tekanan
dan kemokin
Aktivasi proses MMP dan TIMP perfusi okuler
apoptosis sel
↑ Akumulasi matriks ↓ vasodilatasi pembuluh Iskemia jaringan
↑ Resistensi aliran ekstraseluler darah okuler
aqueous humor

↑ Tekanan Glaukoma
Intraokuler
Tembakau
Ras
Penggunaan kortikosteroid
Faktor genetik
jangka panjang
Usia ≥ 45 tahun
Pascabedah dengan hifema
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

Keterangan:

= varibel yang diteliti

= variabel yang tidak diteliti TIMP = tissue inhibitor MMP

= memengaruhi MMP = matrix metalloproteinase

= berhubungan dengan sCD44 = soluble cluster of

HAS = hyaluronan synthase differentiation antigen-44

NO = nitrit oksida ↑ = Meningkatkan

NF-κB = nuclear factor kappa B ↓ = Menurunkan

COX-2 = cyclooxygenase-2

C. Hipotesis
Glaukoma berhubungan dengan Diabetes Melitus dan Hipertensi di RSUD
Dr. Moewardi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

commit to user

Anda mungkin juga menyukai