Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Cultural studies atau yang kita kenal sebagai studi kajian budaya merupakan
hubungan atau relasi antara kebudayaan dan kekuasaan. Storey dalam bukunya yang
berjudul, Teori Budaya dan Budaya Pop (An Introductory Guide to Cultural Theory and
Popular Studies, 1993) telah memetakan budaya pop dalam lanskap cultural studies. Dalam
bukunya yang lebih bersifat sebagai pengenalan ini, Storey lebih memfokuskan kajiannya
pada implikasi teoretis, implikasi metodologis, dan percabangan yang terjadi pada saat-saat
tertentu dalam sejarah kajian budaya pop. Storey cenderung lebih memperlakukan teori
budaya atau budaya popular sebagai sebuah proses pembentukan wacana (discursive
formation).
Dalam kajiannya yang cukup komprehensif tersebut, Storey menempatkan Roland
Barthes dalam subtopik “Strukturalisme dan Pascastrukturalisme”. Barthes tidak hanya sering
disalahpahami konsep-konsepnya, tetapi juga seringkali dikategorikan sebagai seorang tokoh
strukturalisme atau poststrukturalisme dan ahli semiotika. Buku-buku yang membicarakan
Barthes terutama dalam bahasa Indonesia, seringkali terbatas dalam kategorikategori tersebut.
Tidak hanya itu, buku-buku berbahasa Indonesia yang khusus berbicara tentang pemikir
Prancis yang lahir pada 1915 di Cherbourg, Prancis ini, tidak lebih dari hitungan jari. Sebut
saja misalnya: Semiologi Roland Barthes oleh Kurniawan (2001), Barthes, Seri Pengantar
Singkat edisi terjemahan tulisan Jonathan Culler (2003), dan Semiotika Negativa karya St.
Sunardi (2004). Adapun Karya-karya Barthes tentang analisis sejumlah fenomena budaya
pop antara lain Mythologies, The Fashion System, dan Camera Lucida.
Roland Barthes lahir pada 12 November 1915 di kota Cherbourg di Normandia. Dia
adalah anak dari petugas angkatan laut Louis Barthes, yang tewas dalam pertempuran di Laut
Utara sebelum anaknya berusia satu tahun. Ibunya, Barthes Henriette, dan bibi dan nenek
telah membangkitkan Dia di desa URT dan kota Bayonne . Ketika Barthes berumur sebelas
tahun, keluarganya pindah ke Paris , meskipun lampiran ke akar provinsi itu akan tetap kuat
sepanjang hidupnya.

Roland Barthes sangat dikenal luas sebagai penulis yang menggunakan analisis
semiotik dan pengembang pemikiran pendahulunya seorang bapak semiologi atau semiotik
Ferdinand de Saussure. Tulisan-tulisannya dipublikasikan dalam sebuah majalah di Perancis
pada awal pertengahan abad silam memuat berbagai pesan, yang kemudian pesan-pesan itu
disebutnya sebagai mitos. Barthes membahas mitos lebih serius dan menuangkannya pada
bukunya yang diterbitkan oleh Noondy Press tahun 1972 berjudul Mythologies di bagian
Myth Today. Dalam konteks mitologi lama, mitos berkaitan dengan sejarah dan terbentukan
masyarakat pada masanya, tetapi Barthes memandangnya sebagai bentuk pesan atau
perkataan yang harus diyakini kebenarannya walau tidak dapat dibuktikan.
Bagi Barthes mitologis bukan saja berbentuk perkataan saja melainkan juga dapat
berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, bahkan iklan dan
lukisan. Di tangan Barthes semiotik digunakan secara luas dalam banyak bidang sebagai alat
untuk berfikir kritis.
Pernyataan Barthes yang paling dikenal adalah “La Mort de l’auteur” atau “matinya
si penulis”, The death of the author yang dengan itu ia ingin menggarisbawahi bahwa tidak
ada otoritasi interpretasi, dan interpretasi dapat terus berjalan. Buku Mithologie (mitologi),
karya Roland Barthes merupakan buku seri yang memuat artikel-artikel yang sebagian besar
dipublikasikan dalam majalah Les Leures Nouvelles antara tahun 1954 dan 1956.
Tujuan dari majalah tersebut membahas nilai-nilai dan sikap yang secara implisit
memuat berbagai pesan yang sesuai dengan kebudayaan seperti layaknya dalam koran,
majalah, laporan, dan foto, melalui objek atau material seperti permainan, minuman, parfum
dan mobil. Barthes menamakan pesan-pesan tersebut sebagai “mitos” (Yunani:
muthos),artinya tuturan yang mempunyai makna pesan.

Di Indonesia, Roland Barthes seringkali dikutip pendapatnya tentang semiotika


(semiologi) terutama tentang konsep pemaknaan konotatif atau yang lebih dikenal istilah
second order semiotic system. Semiotika berasal dari bahasa Yunani: semeion yang berarti
tanda. Semiotika adalah model penelitian yang memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut
mewakili sesuatu objek representatif. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan
istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua
merujuk pada ilmu tentangnya. Istilah semiotik lebih mengarah pada tradisi Saussurean yang
diikuti oleh Charles Sanders Pierce dan Umberto Eco, sedangkan istilah semiologi lebih
banyak dipakai oleh Barthes. Baik semiotik ataupun semiologi merupakan cabang penelitian
sastra atau sebuah pendekatan keilmuan yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan semiotika?
2. Bagaimana prinsip-prinsip semiotika menurut Roland Barthes?
3. Apa saja pemikiran dari Roland Barthes?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa itu semiotika.
2. Untuk mengetahui bagaimana prinsip-prinsip semiotika menurut Roland Barthes.
3. Untuk mengetahui apa saja pemikiran dari Roland Bartes.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Semiotika
Alex Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.
Semiotika—atau dalam istilah Barthes, semiologi—pada dasarnya hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam
hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga
mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Sedangkan Van Zoest seperti dikutip oleh Rahayu S. Hidayat menjelaskan bahwa
semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian dengan
tanda. Berbicara tentang kegunaan semiotika tidak dapat dilepaskan dari pragamatik, yaitu
untuk mengetahui apa yang dilakukan dengan tanda, apa reaksi manusia ketika berhadapan
dengan tanda. Dengan kata lain, permasalahannya terdapat pada produksi daan konsumsi arti.
Semiotika dapat diterapkan di berbagai bidang antara lain: semiotika musik, semiotika bahasa
tulis, semiotika komunikasi visual, semiotika kode budaya, dsb. Pengkajian kartun masuk
dalam ranah semiotika visual.
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui
dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat
atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat
asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier).
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda
(signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang
bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau
didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau
konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180).
Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan
tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari
penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian
merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi
dari sehelai kertas,” kata Saussure.
Terdapat tiga bidang kajian dalam semiotika: pertama, semiotika komunikasi yang
menekuni tanda sebagai bagian bagian dari proses komunikasi. Artinya, di sini tanda hanya
dianggap tanda sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan sebagaimana yang diterima
oleh penerima. Dengan kata lain, semiotika komunikasi memperhatikan denotasi suatu tanda.
Pengikut aliran ini adalah Buyssens, Prieto, dan Mounin. Kedua, semiotika konotasi, yaitu
yang mempelajari makna konotasi dari tanda. Dalam hubungan antarmanusia, sering terjadi
tanda yang diberikan seseorang dipahami secara berbeda oleh penerimanya. Semiotika
konotatif sangat berkembang dalam pengkajian karya sastra. Tokoh utamanya adalah Roland
Barthes, yang menekuni makna kedua di balik bentuk tertentu. Yang ketiga adalah semiotika
ekspansif dengan tokohnya yang paling terkenal Julia Kristeva. Dalam semiotika jenis ini,
pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya karena digantikan oleh pengertian produksi
arti. Tujuan semiotika ekspansif adalah mengejar ilmu total dan bermimpi menggantikan
filsafat.
Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda
tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep
mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang
lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam
artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut
menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori
metasemiotik (scientific semiotics).
Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean
yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu
masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi,
pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya
membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga
mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah
Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi,
walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi.
Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran
ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh
Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia
bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.1
B. Prinsip-Prinsip Semiotika Menurut Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara
kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi
kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna
yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara
teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam
teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini
dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai
kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di
sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah
signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu
masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah
terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna

1
. Febiarni,Maina(2012,September), semiotika menurut pandangan Roland Barthes dikutip 7 oktober 2019,
roland barthes dari sumber https://banggaberbahasa.blogspot.com/2012/09/semiotika-menurut-pandangan-
roland_820.html
denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat
menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus.
Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada
simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah
konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini,
“pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
(http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/19/teori-teori-semiotika-sebuah-
pengantar/)
Menurut Barthes penanda (signifier) adalah teks, sedangkan petanda (signified)
merupakan konteks tanda (sign).
Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua tahap. Pada tahap
pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya pada (1) penanda dan (2) petandanya. Tahap
ini lebih melihat tanda secara denotatif. Tahap denotasi ini baru menelaah tanda secara
bahasa. Dari pemahaman bahasa ini, kita dapat masuk ke tahap kedua, yakni menelaah tanda
secara konotatif. Pada tahap ini konteks budaya, misalnya, sudah ikut berperan dalam
penelaahan tersebut. Dalam contoh di atas, pada tahap I, tanda berupa bunga mawar ini baru
dimaknai secara denotatif, yaitu penandanya berwujud dua kuntum mawar pada satu tangkai.
Jika dilihat konteksnya, bunga mawar itu memberi petanda mereka akan mekar bersamaan di
tangkai tersebut. Jika tanda pada tahap I ini dijadikan pijakan untuk masuk ke tahap II, maka
secara konotatif dapat diberi makna bahwa bunga mawar yang akan mekar itu merupakan
hasrat cinta yang abadi. Bukankah dalam budaya kita, bunga adalah lambang cinta? Atas
dasar ini, kita dapat sampai pada tanda (sign) yang lebih dalam maknanya, bahwa hasrat cinta
itu abadi seperti bunga yang tetap bermekaran di segala masa. Makna denotatif dan konotatif
ini jika digabung akan membawa kita pada sebuah mitos, bahwa kekuatan cinta itu abadi dan
mampu mengatasi segalanya.
Roland Barthes (1915-1980) menggunakan teori siginifiant-signifié dan muncul
dengan teori mengenai konotasi. Perbedaan pokoknya adalah Barthes menekankan teorinya
pada mitos dan pada masyarakat budaya tertentu (bukan individual). Barthes mengemukakan
bahwa semua hal yang dianggap wajar di dalam suatu masyarakat adalah hasil dari proses
konotasi. Perbedaan lainnya adalah pada penekanan konteks pada penandaan. Barthes
menggunakan istilah expression (bentuk, ekspresi, untuk signifiant) dan contenu (isi, untuk
signifiè). Secara teoritis bahasa sebagai sistem memang statis, misalnya meja hijau memang
berarti meja yang berwarna hijau. Ini disebutnya bahasa sebagai first order. Namun bahasa
sebagai second order mengijinkan kata meja hijau mengemban makna “persidangan”. Lapis
kedua ini yang disebut konotasi.
Derrida membangun teorinya dengan argumen yang bertolak belakang dengan
pemikiran Husserl. Husserl mengemukakan bahwa makna ujaran adalah yang diinginkan oleh
pemroduksi tuturan. Bahasa yang utama adalah tuturan. Bagi Derrida, bahasa bersifat
memenuhi dirinya sendiri (self-sfuficient), dan bahkan terbebas dari manusia. Derrida melihat
bahasa bersumber pda “tulisan”. Tulisan adalah bahasa yang secara maksimal memnuhi
dirinya sendiri karena tulisan menguasai ruang ruang secara maksimal pula. Sebenarnya
pemaknaan yang dilakukan oleh Derrida adalah pemaknaan membongkar dan menganalisis
secara kritis (critical analysis). Teori ini bertolak dari teori Saussure tentang tanda.2
C. Pemikiran Roland Barthes
1. Mitos Sebagai Sistem Semiologi
Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakinii
kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide tertapi
merupakan suatu cara pemberian arti. Secara etimologis, mitos merupakan suatu
jenis tuturan, tentunya bukan sembarang tuturan. Suatu hal yang harus
diperhatikan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi, yakni suatu pesan
(message). Tetapi mitos tidak didefinisikan oleh objek pesan melainkan dengan
cara menuturkan pesan tersebut, misalnya dalam mitos, bukan hanya menjelaskan
tentang objek pohon secara kasat mata, tetapi yang penting adalah cara
menuturkan tentang pohon tersebut. Apa saja bisa dikatakan sebagai mitos selama
diutarakan dalam bentuk wacana/diskursus.
Artinya, orang menuturkan tentang pohon dapat dibuat dalam berbagai macam
versi. Pohon yang diutarakan oleh kelompok lingkungan bukan saja sebagai objek
tetapi pohon mempunyai makna luas, psikologi, sakral, pelestarian dan
seterusnya. Dalam arti pohon diadaptasi untuk suatu jenis konsumen, dengan
kerangka literatur yang mendukung dan imaji-imaji tertentu yang difungsikan
untuk keperluan sosial (social usage) yang ditambahkan pada objek murni.
Pengertian mitos dalam konteks mitologi-mitologi lama mempunyai pengertian
suatu bentukan dari masyarakat yang berorientasi pada masa lalu atau dari
bentukan sejarah yang bersifat statis, kekal. Mitos dalam pengertian lama identik
sejarah/histori, bentukan masyarakat pada masanya.

2
Alfathoriq (2012, 30 september) Roland Barthes. Dikutip 7 oktober 2019, biografi Roland Barthes dari sumber
https://alfathoriq.blogspot.com/2012/09/roland-barthes.html
Menurut Barthes, ada dua kekeliruan besar dalam kehidupan sosial modern.
Pertama, masyarakat berfikir bahwa institusi dan intelektual merupakan suatu hal
yang bagus karena mereka mencangkup dalam sesuatu yang alami. Kedua, adalah
melihat bahasa sebagai suatu fenomena yang lebih dari satu set bentuk
konvensional. Barthes berusaha melakukian analisis dan mengkritik masyarakat.
Simana imaji dan iklan, hiburan, budaya populer, dan literer, serta barang yang
dikonsumsi sehari-hari ditelaah secara subyektif dalam hasil danpenerapannya.
Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan saja berbentuk tuturan oral,
tetapi tuturan itu dapat berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga,
pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah semua yang mempunyai
modus representasi. Paparan contoh di atas mempunyai arti (meaning) yang belum
tentu bisa ditangkap secara langsung, misalnya untuk menangkap arti atau meaning
sebuah lukisan diperlukan interpretasi. Tuturan mitologis dibuat untuk komunikasi
dan mempunyai suatu proses signifikasi sehingga dapat diterima oleh akal. Dalam hal
ini mitos tidak dapat dikatakan hanya sebagai suatu objek, konsep, atau ide yang
stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi. Dengan demikian maka mitos
tergolong dalam suatu bidang pengetahuan ilmiah, yakni semiologi.
Dalam hal hubungan mitos dan semiologi, Barthes berhutang budi pada
Saussure. Sebab Saussure melihat studi linguistik sebagai studi kehidupan tanda
dalam masyarakat, yang kemudian diadopsi dengan nama semiologi. Semiologi
berasal dari kata semion yang berarti tanda. Semiologi tidak berurusan dengan isi
melainkan dengan bentuk yang membuat suara, imaji, gerak, dan seterusnya yang
berfungsi sebagai tanda. Mitologi terdiri dari semiologi dan ideologi. Semiologi
sebagai formal science dan ideologi sebagai historical science. Mitologi mempelajari
tentang ide-ide dalam suatu bentuk Mitos yang berurusan dengan semiologi telah
berkaitan dengan dua istilah, yakni penanda signifier (significant) dan petanda
signified (signife), dan kemudian bertautan lagi dengan istilah sign (tanda).
Misalnya satu karangan bunga menandakan cinta. Dalam hal ini berarti tidak
hanya berurusan dengan signifier dan signified, bunga dan cinta, karena dalam tahap
analisis terdapat tiga istilah, bunga yang menandakan cinta adalah sebagai tanda
(sign). Dalam hal ini signifier adalah suatu konsep bahasa (bunga), signified adalah
gambaran dari mental bunga, dan sign merupakan hubungan antara konsep dan
gambaran mental yang melahirkan suatu arti, yakni: cinta. Jika hal tersebut diterapkan
pada contoh psikis (Freud), bahwa psikis manusia adalah representasi. Misalnya, di
satu pihak terdapat tingkah laku seseorang yang telah dipengaruhi oleh mimpi-
mimpinya, di lain pihak terdapat sign yang mengartikan kejanggalan tingkah laku
orang tersebut, kesalahan-kesalahan tuturannya atau hubungan keluarganya. Berkaitan
dengan contoh tersebut Barthes cenderung memisahkan ketiga istilah signifier,
signified, dan sign.

2. Membaca Dan Mendeteksi Mitos

Untuk mengetahui atau mendeteksi mitos dapat dengan cara mengetahui karakter-
karakter mitos seperti yang dikatakan Barthes sebagai berikut :
1. Tautologi :
Suatu pendefinisian dari suatu pernyataan yang tidak dapat diperdebatkan lagi,
misalnya : “karena dari sananya sudah begitu” isi dari pernyataan tersebut telah
direduksi menjadi penampilan. Sebagai contoh lain adanya suatu pernyataan-
pernyataan hampa seperti “ Midnight’s Summer Dream adalah karya Shakespere“
tidak mengatakan apa-apa tetapi mengandung implikasi lainnya seperti prestise
karena dalam pernyataan itu terdapat nama Shakespere.
2. Identifikasi:
perbedaan, keunikan direduksi menjadi satu identitas fundamental. Misalnya:
“semua agama adalah sama” atau sama sekali diasingkan dibuat agar tidak
dimengerti.
3. Neither-norism (bukan ini bukan itu)
Orang yang menganut opini dalam posisi di tengah tidak berani
memilih/memihak.
4. Mengkuantitaskan yang kualitas
Kualitas direduksi ke kuantitas, semua tingkah laku manusia, realitas sosial
dan politik direduksikan kepada pertukaran nilai kuantitas. Sebagai contoh
misalnya kesuksesan sebuah karya seni jika menghasilkan banyak uang, demikian
pula untuk mengukur kesuksesan seorang aktor atau aktris. Masalah besar seperti
kemiskinan direduksi menjadi angka-angka belaka.
5. Privatisasi Sejarah
Mitos membuang arti sejarah yang sebenarnya, sejarah hanya diperuntukkan
sajian tamu/pejabat misalnya objek seni untuk turis, atau sebagai pertunjukan.
3. Fashion
Dalam buku The Fashion System, Barthes membicarakan panjang lebar
mengenai dunia mode. Sebagaimana bukunya yang terdahulu, dalam buku ini
Barthes juga membicarakan operasi struktur penanda (signifier) mode, struktur
petanda (signified)-nya, dan struktur sign atau signifikansinya. Memang kajian
mode atau fashion Barthes tidak terlepas dari bidang semiotika yang selama ini
dikembangkannya. Pada salah satu kesimpulannya mengenai tata busana ini,
Barthes menyatakan sebagai berikut.
“... in the West, fashion tends to become a mass phenomenon, precisely
insofar as it is consumed by means of a mass-circulation press (whence the
importance and, as it were, the autonomy of written fashion), the maturity of the
system is thus adopted by mass society according to a compromise. Fashion must
project the aristocratic model, the source of its prestige: this is pure fashion, but
at the same time it must represent, in a euphoric manner, the world of its
consumers by transforming intra-worldly functions into signs (work, sport,
vacations, seasons, ceremonies): this is naturalized fashion, whose signifieds are
named. Whence its ambiguous stastus: it signifies the world and signifies itself, it
constructs it self here as a program of behavior, and the as a luxurious spectacle
(Barthes, 1983a:292-293).”
Dunia mode merupakan proyek model kaum aristokrat sebagai salah satu bentuk atau
wujud pretise. Pada perkembangan berikutnya, model pakaian seseorang juga harus
disesuaikan dengan fungsinya sebagai tanda, yang membedakan antara pakaian untuk
kantoran, olah raga, liburan, berburu, upacara-upacara tertentu, bahkan untuk musim-musim
tertentu seperti pakaian musim dingin, musim semi, musim panas ataupun musim gugur.
Manusia pengguna pakaian yang mengikuti trend akan mengejar apa yang tengah menjadi
simbol status kelas menengah atas. Yang tidak mengikuti arus dunia mode akan dikatakan
manusia yang tidak fashionable alias ketinggalan mode. Tata busana tidak lagi menjadi
sekedar pakaian tetapi juga telah menjadi mode, menjadi peragaan busana, menjadi sebuah
tontonan yang memiliki prestisenya tersendiri, menjadi simbol status kehidupan.
Hal ini tidak hanya terjadi di dunia Barat saja, tetapi juga tengah melanda Indonesia.
Barthes tidak salah membidik salah satu aspek ini, yakni mode, sebagai salah satu kajiannya,
mengingat Paris merupakan kiblat mode dunia. Begitulah, salah satu topik pembicaraan
Barthes tentang aspek kebudayaan massa yakni tentang dunia mode. Dunia yang kini penuh
dengan kemewahan para model yang memperagakannya di sejumlah catwalk pusat-pusat
peragaan busana di berbagai kota metropolis. Status seseorang dalam masyarakat seringkali
dicitrakan melalui merk dan rancangan siapa pakaian yang dikenakannya. Padahal kalau
ditelusuri, dunia mode adalah salah satu pelegitimasi ideologi gender yang selama ini sering
dikonter oleh para feminis.
4. Camera
Selain bicara tentang mode, Barthes juga berbicara tentang foto, khususnya
tentang foto-foto dalam media massa dan iklan. Hal ini diungkapkannya dalam
dua artikelnya, “The Photographic Message” pada 1961 dan “Rethoric of the
Image” juga pada 1961. Lewat dua artikelnya ini, Barthes menguraikan makna-
makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah foto dalam media massa dan iklan.
Foto sebagai salah satu sarana yang sanggup menghadirkan pesan secara langsung
(sebagai analogon atau denotasi) dapat meyakinkan seseorang (pembaca berita
atau iklan) bahwa peristiwa tersebut sudah dilihat oleh seseorang, yakni
fotografer.
Akan tetapi, di balik peristiwa tersebut, ternyata foto juga mengandung pesan
simbolik (coded-iconic message) yang menuntut pembacanya untuk
menghubungkannya dengan “pengetahuan” yang telah dimiliki sebelumnya. Di
sejumlah media massa Indonesia pada tahun 1998, ketika Presiden Soeharto
menandatangani LoI dengan IMF, tampak Camdesus tengah memperhatikan
Soeharto yang tengah membubuhkan tanda tangan. Wakil IMF itu berdiri
mengawasi dengan posisi tangan bersedekap. Sebagai analogon atau makna
denotasi, foto ini hanya menyatakan telah terjadi penandatangan nota persetujuan
antara RI yang diwakili Soeharto dengan IMF yang diwakili Camdesus. Akan
tetapi, posisi tangan Camdesus dan caranya memandang Soeharto membubuhkan
tanda tangan secara konotatif memaknakan dia telah menaklukkan seorang
pemimpin yang telah 32 tahun berkuasa.
Contoh-contoh analisis semacam inilah yang dikemukakan Barthes dalam
analisisnya tentang sejumlah foto. Salah satunya tentang seorang tentara berkulit
hitam yang mengenakan seragam militer Prancis yang tengah memberikan
penghormatan militer, matanya terpancang pada bendera nasional. Foto ini
menjadi sampul dari majalah Paris-Match. Dalam analisisnya, Barthes
menyatakan bahwa foto itu ingin menyatakan Prancis sebagai sebuah negara
besar, tempat para putranya, tanpa diskriminasi warna kulit, dengan penuh setia,
melayani bangsa di bawah kibaran benderanya. Foto itu merupakan konter atas
para pencela kolonialisme (Culler, 2003:52).
Seorang fotografer dalam memotret meringkali memperhatikan pose, objek
yang dipilihnya, logo-teknik, dan juga sejumlah manipulasi demi tercapainya apa
yang hendak “ditulisnya”. Hal ini seringkali ditemukan dalam sejumlah media
cetak, terlebih lagi pada iklan yang lebih menekankan kekuatan foto pada aspek-
aspek daya tariknya sebagai sarana persuasif yang seringkali memanfaatkan tema-
tema keintiman, seks, kekhawatiran, dan idola (St. Sunardi, 2004:157-158).
Hanya dalam buku Camera Lucida, Barthes tidak memfokuskan pada foto-
foto dalam media massa dan iklan tetapi memfokuskan kajiannya pada koleksi
foto-foto pribadinya. Berbeda dengan pendekatannya pada dua artikelnya pada
1961 yang lebih memusatkan analisisnya pada semiotik atas foto sebagai produk
budaya, dalam Camera Lucida, Barthes menyebutnya dengan pendekatan
fenomenologi sinis. Dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan sebuah
pengalaman, tapi bukan sembarang pengalaman, melainkan pengalaman
seseorang yang mempunyai kemampuan untuk membahasakan secara indah.
Memadang foto merupakan ziarah menuju jati dirinya yang melewati tahap
eksplorasi, animasi, dan afeksi. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi
ukuran Barthes untuk menilai kualitas foto, karena tidak setiap foto membuat kita
terpaku pada satu titik (St. Sunardi, 2004:166).3
DAFTAR KARYA
 A Barthes Reader
 Camera Lucida
 Critical Essays
 The Eiffel Tower and other Mythologies
 Elements of Semiology
 The Empire of the Signs \
 The Fashion System
 The Grain of the Voice
 Image-Music-Text
 Incidents

3
Febiarni,Maina(2012,September), semiotika menurut pandangan Roland Barthes dikutip 7 oktober 2019,
roland barthes dari sumber https://banggaberbahasa.blogspot.com/2012/09/semiotika-menurut-pandangan-
roland_820.html
 A Lover's Discourse
 Michelet
 Mythologies
 New Critical Essays
 On Racine
 The Pleasure of the Text
 The Responsibility of Forms
 Roland Barthes
 The Rustle of Language
 Sade/Fourier/Loyola
 The Semiotic Challenge
 S/Z
 Writing Degree Zero
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN
Adapun simpulan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan berbagai pendapat ahli, dapat disimpulkan bahwa semiotika atau
semiologi merupakan cabang penelitian sastra atau sebuah pendekatan keilmuan
yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda.
2. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi
(makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari
pengalaman kultural dan personal). Barthes juga melihat aspek lain dari
penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut
Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem
sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu
tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna
denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
3. Roland Barthes juga menganalisis tentang sejumlah fenomena budaya pop
seperti dalam Mythologies, The Fashion System, ataupun Camera Lucida.
Rupanya peristiwa sehari-hari, foto, atau gaya berpakaian juga dapat dianalisis
dengan kajian semiotik yang memiliki makna konotasi dan denotasi.

DAFTAR PUSTAKA

Culler, Jonathan. 2002. Barthes, Seri Pengantar Singkat (terjemahan Ruslani).


Yogyakarta: Jendela.
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera.
Sumawijaya, Bambang. 2008. Teori-teori Semiotika, Sebuah Pengantar.
http://bambangsukmawijaya.wordpress.com/2008/02/19/teori-teori-semiotika-sebuah-
pengantar/ (diunduh pada tanggal 22 september 2012)
Swandayani, Dian. 2005. Tokoh Cultural Studies Perancis: Roland Barthes. Makalah
dipresentasikan dalam Seminar Internasional Rumpun Sastra, Fakultas Bahasa dan Seni,
UNY Yogyakarta, pada 14—15 September 2005
Unknown, 2012. Roland Barthes. https://alfathoriq.blogspot.com/2012/09/roland-
barthes.html

Anda mungkin juga menyukai