Superblok adalah konsep penataan ruang di perkotaan yang memaksimalkan fungsi lahan. Di lahan
yang terbilang cukup terbatas tersebut, dibuat beberapa fungsi seperti fungsi permukiman, bisnis
dan perdagangan, pendidikan, jasa, hingga rekreasi.
Dengan berbagai fungsi dan aktivitas tersebut, kawasan superblok disebut sebagai kota mandiri (self
contained city). Bila dilihat dari letaknya yang ada di dalam kota, superblok disebut juga kota di
dalam kota (city within city).
Tinggal di sebuah superblok, para penghuni dapat memenuhi kebutuhan hidupnya di satu kawasan
kecil, sehingga tingkat mobilisasi ke tempat yang jauh dapat dikurangi secara signifikan. Hal ini
membuat kualitas hidup lebih baik, efisien, dan tentu saja hemat waktu, uang, dan energi.
Gagasan awal superblok dikemukakan oleh seorang arsitek dan urbanis asal Perancis, Le Corbusier
pada 1924. Konsep yang dituangkan dalam proyek Ville Radieuse atau Radiant City tersebut memang
tidak pernah terealisasi, tetapi telah mengilhami pengembangan superblok di berbagai negara.
Di sisi lain, proyek mixed-use merujuk kepada bangunan multi-fungsi yang mampu mengakomodasi
beberapa fungsi sekaligus, seperti hunian, pusat belanja, perkantoran, pendidikan, rekreasi, dan
sebagainya.
Penerapan bangunan jangkung dalam konsep mixed-use di lokasi strategis seperti di pusat kota
diutamakan. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan pembangunan di lahan yang relatif kecil.
Dengan kondisi kota yang makin padat dan lahan kosong yang makin menyusut, konsep mixed-use
dianggap sebagai strategi pembangunan yang tepat.
Di sisi lain, kemacetan yang makin parah membuat warga kota yang memerlukan efisiensi waktu
menuju kantor atau pusat perbelanjaan, memilih hunian di dalam proyek mixed-use.
Superblok/mixed use pada dasarnya adalah suatu kawasan urban yang dirancang secara
terintegrasi (integrated development), dengan kepadatan bangunan yang cukup tinggi dan
merupakan kombinasi fungsi lahan yang bersifat campuran (mixed used), dimana kunci terpenting
dalam keberhasilannya adalah berjalannya fungsi mekanisme kontrol yang merupakan implementasi
dari regulasi-regulasi pengembangan kawasan superblok itu sendiri.
Kawasan superblock/mixed use harus mampu menjadi kawasan mandiri dimana warganya
bisa tinggal, bekerja serta berkreasi di dalam kawasan tersebut. Idealnya warga yang bekerja di
dalam lingkungan superblok tersebut juga bertempat tinggal di kawasan itu sehingga bisa didapat
produktivitas kerja yang tinggi serta meningkatnya waktu interaksi, baik dengan keluarga maupun
dengan relasi sosial yang lebih luas. Lebih ideal lagi apabila dalam superblock/mixed use tersebut
menerapkan regulasi terhadap konsep distribusi kepadatan campuran dimana ada penjatahan untuk
masyarakat berpenghasilan menengah ke atas maupun untuk masyarakat berpenghasilan menengah
ke bawah.
Standar luasan suatu kawasan disebut superblok atau bukan, sampai dengan saat ini belum
ada. Akan tetapi beberapa kawasan mega superblok, sebagai contoh, yang sudah dibangun di
Jakarta adalah kawasan SCBD seluas 47 ha, Mega Kuningan seluas 44 ha, serta Rasuna Epicentrum
seluas 53 ha. Dalam skala yang lebih kecil beberapa gedung atau lot bangunan yang saling
terintegrasi dalam satu konsep master plan dapat juga disebut sebagai superblok, misalnya CBD
Pluit, Central Park, dll.
Di Indonesia sendiri, konsep mixed use diperbolehkan dan diatur dalam undang-undang.
Konsep mixed use ini berkembang pada sekitar awal abad ke 19 di Amerika Serikat yang dipelopori
oleh Clarence Stein & Clarence Perry, dan di Eropa, khususnya di Perancis oleh arsitek terkenal Le
Corbusier.
Dewi Sartika Mixed Used Building karya DAP Studio (Sumber: arsitag.com)
Kawasan mixed use harus mampu menjadi kawasan mandiri tempat warganya bisa tinggal,
bekerja, serta berekreasi di dalam kawasan tersebut. Konsep ini dapat menjadi solusi atas kondisi
masa kini yang penuh dengan kesemrawutan seperti kemacetan. Penghuninya juga bisa menghemat
ongkos transportasi karena jarak antara tempat tinggal dan tempat bekerja yang sangat dekat.
Mewadahi 3 fungsi urban atau lebih, misalnya terdiri dari retail, perkantoran, hunian hotel
dan entertainment
Terjadinya integrasi dan sinergi fungsional
Terdapat ketergantungan kebutuhan dari masing-masing fungsi di dalamnya
Kelengkapan fasilitas yang tinggi, memberikan kemudahan bagi pengunjungnya
Peningkatan kualitas fisik lingkungan
Efisiensi pergerakan karena adanya pengelompokan dari berbagai fungsi
Ciputra World Jakarta merupakan sebuah megasuperblok di kawasan Kuningan. Dengan total luas
lahan sebesar 15 Ha, Ciputra World direncanakan akan memiliki 15 tower dengan total investasi
mencapai Rp 15 triliun.
Ciputra World 1 berdiri di atas lahan seluas 5,5 Ha dengan 3 menara yang digunakan sebagai ruang
perkantoran, apartemen, museum, theater, gallery, dan pusat perbelanjaan. Ciputra World 2 berdiri
di atas lahan seluas 3,5 Ha dengan 4 menara yang digunakan sebagai ruang perkantoran dan
apartemen. Sedangkan Ciputra World 3 masih dalam tahap perencanaan.
Bangunan Komersial
Fungsi komersial meliputi perdagangan seperti ruang kantor sewa, hotel, gudang, pertokoan,
supermarket, pusat perbelanjaan dan layanan jasa seperti service, laundry, dll. Untuk lebih menarik
sebaiknya bangunan komersial ini merupakan hasil karya arsitektur sehingga mempunyai nilai
(niaga) tinggi yang dapat disewakan ataupun diperjual belikan.
Kantor Onduline Yogyakarta
1. Pencitraan (brand image), dimana bangunan komersial harus mempunyai citra atau karakter
yang kuat sebagai daya tarik untuk menarik konsumen.
Ruko
2. Nilai ekonomis, bangunan dimana bangunan ini mudah perawatannya sehingga tercapai
efisiensi dalam penggunaan dimana erat kaitannya dengan keuangan.
Kos Putri, Yogyakarta
4. Prinsip keamanan bangunan, sebagai persyaratan utama dalam bangunan komersial karena
mewadahi keselamatan publik seperti tangga darurat, peralatan keselamatan dari kebakaran
maupun antisipasi untuk bencana alam lain. Prinsip keamanan bangunan ini dibedakan
menjadi safety (keselamatan) dan security (keamanan).
- Kenyamanan penghawaan
- Kenyamanan pencahayaan
- Kenyamanan audio
6. Kebutuhan jangka panjang, aspek ini penting untuk mengantisipasi dinamika perubahan baik
dari waktu maupun tuntutan kebutuhan.
7. Kondisi, potensi dan karakter kawasan, aspek ini akan menunjang lancarnya ekonomi bangunan
komersil ini, karenanya harus ada kesesuaian antara kondisi, potensi dan karakter kawasan dengan
fungsi bangunan komersial yang akan diadakan.
8.Kondisi sosial budaya masyarakat, aspek ini untuk mendukung lancarnya kegiatan perekonomian
dimana bangunan komersial dengan kegiatannya itu berada. Karenanya bangunan komersial dan
kegiatannya ini harus bisa diterima oleh masyarakat sekitarnya secara sosial, budaya maupun
psikologis.
9. Perkembangan teknologi, dimana diharapkan bangunan komersial ini mampu menerima atau
bahkan dapat menerapkan perkembangan teknologi yang ada sehingga bisa memberi manfaat lebih
bagi sekitarnya.
Pertimbangan-pertimbangan aspek diatas perlu disesuaikan dengan jenis aktifitas komersial yang
diwadahi dalam bangunan tersebut sehingga aspek-aspek di atas bersifat fleksibel.