Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

NECK PLEGMON

DISUSUN OLEH:
Arnold Junaedi, AMK.
Binarto Nainggolan S.Kep., Ners

RUMAH SAKIT UNGGUL KARSA MEDIKA


Jalan Taman Kopo Indah III Blok H No 1
MargaAsih Kabupaten Bandung
KATA PENGANTAR

Puji Dan Syukur Kami Panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan Rahmat-Nya
Penyusun dapat menyelesaikan Makalah yang Berjudul Neck Plegmon.
Makalah ini Bertujuan untuk panduan diRumah Sakit Unggul Karsa Medika Bandung dalam
bidang keperawatan.
Semoga Makalah Panduan Neck Plegmon ini dapat bermanfaat dikalangan keperawatan
DiRSUKM Khususnya dan bagi para pembaca pada Umumnya.

Bandung April
Hormat Kami

Penyusun,
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1. Definisi Infeksi Leher Dalam


Infeksi leher dalam merupakan infeksi leher pada ruang (potensial)
diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai
sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan
leher (Fachruddin, 2007).
Abses terjadi sebagai akumulasi dari pus dalam suatu rongga
patalogis yang dapat terjadi dibagian tubuh manapun sebagai reaksi
pertahanan tubuh terhadap benda asing. Infeksi pada area leher dalam tidak
selalu menyebabkan abses. Pada kasus-kasus dimana infeksi jaringan lunak
tidak terlokalisir dimana eksudat menyebar keantara celah interstitial
jaringan ikat (Surarso, 2011).

2.2. Etiologi Dan Patogenesis


Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora
normal dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril
dari tubuh baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi atau
perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh
tertentu maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasarkan
lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran
berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob
(Pulungan, 2011).
Sumber infeksi paling sering pada infeksi leher dalam berasal dari
infeksi tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal.
Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah
sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan
penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual,
sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga
infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila (Pulungan, 2011).

RSUKM Bandung
Menurut penelitian yang dilakukan Parhischar dan kawan-kawan,
terhadap 210 infeksi leher dalam, 175 (83,3%) dapat diidentifikasi
penyebabnya. Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%. Ludwig’s angina yang
disebabkan infeksi gigi 76%, abses submandibula 61% disebabkan oleh
infeksi gigi (Parhiscar et al., 2001).
Yang dan kawan-kawan (2008) melaporkan dari 100 penderita
infeksi leher dalam, 77 (77%) penderita dapat diidentifikasi sumber infeksi
sebagai penyebabnya. Penyebab terbanyak berasal dari infeksi orofaring
35%, odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit, sialolitiasis,
trauma, tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.

2.3. Gejala Klinis dan Diagnosis


Gejala klinis infeksi leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi
pada umumnya yaitu, nyeri, demam, pembengkakan dan gangguan fungsi.
Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang
sesuai dengan ruang potensi yang terlibat (Ballenger, 1994; Fachruddin,
2000).
Pada penelitian Lee dan kawan-kawan di Korea, melaporkan gejala klinis
pada 158 kasus infeksi leher dalam, yaitu keluhan leher bengkak (74,7%),
keluhan sakit leher (41,1%), demam (14,6%), panas dingin (10,1%), sulit
bernafas (10,1%), disfagia (6,3%), dan trismus (1,9%) (Lee et al., 2007).

2.4. Pemeriksaan Penunjang

• Rontgen servikal lateral


Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan
lunak pada daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan,
air fluid levels, erosi dari korpus vertebra. Penebalan jaringan lunak pada
prevertebra setinggi servikal II (C2), lebih 7 mm dan setinggi 14 mm pada anak,
lebih 22 mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses retrofaring (Vieira, 2008).
• Rontgen panoramiks

RSUKM Bandung
Dilakukan pada kasus infeksi leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi
(Viera, 2008).
• Rontgen toraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,
pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses (Viera, 2008).
• CT Scan
Berdasarkan penelitian Crespo dkk, dikutip dari Murray AD dkk, bahwa
dengan hanya pemeriksaan klinis tanpa CT Scan mengakibatkan estimasi terhadap
luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien. CT Scan memberikan
gambaran abses berupa adanya air fluid levels (Viera, 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan pada 65 penderita infeksi leher dalam
di Departemen THT-KL Universidade Estadual de Campinas, São Paulo, Brazil,
pemeriksaan CT Scan dengan kontras adalah penting dalam mengevaluasi lokasi
infeksi pada ruang leher sehingga mempermudah tindakan drainase dan
pembedahan. John dan kawan-kawan menggunakan pemeriksaan CT Scan dengan
kontras untuk mendiagnosis infeksi leher dalam pada anak-anak yang akan
diberikan terapi antibiotik intravena (McClay et al., 2003).
• Pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam. Setelah desinfeksi
kulit, pus dapat diambil dengan aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan
insisi. Pus yang diambil sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal yang
ada di daerah saluran nafas atas atau rongga mulut. Spesimen yang telah diambil
dimasukkan ke dalam media transportasi yang steril (Yang, 2008).

2.5. Prinsip Penatalaksanaan


Prinsip utama adalah menjamin dan memelihara jalan nafas yang
memadai. Jika diperlukan jalan nafas buatan, intubasi endotrakea sulit dilakukan
karena abses merubah atau menyumbat jalan nafas atas. Jika intubasi tidak
mungkin dilakukan, maka dilakukan trakeostomi atau

RSUKM Bandung
krikotirotomi. Terapi selanjutnya dimaksudkan untuk mengatasi infeksi dan
mencegah komplikasi (Bailey, 2006).
Pemeriksaan kultur darah serta aspirasi abses dan pemberian antibiotik
serta drainase bedah, diperlukan pada penatalaksanaan infeksi ini. Resusitasi
cairan diperlukan karena hampir selalu terjadi dehidrasi oleh karena intake yang
tidak mencukupi karena seringnya terjadi trismus (Bailey, 2006).
Drainase bedah diindikasikan untuk penderita dengan abses atau ancaman
terjadinya komplikasi. Ruang primer yang terkena dan perluasan keruang lainnya
harus dibuka dan didrainase. Drainase dapat berupa aspirasi abses atau insisi dan
eksplorasi, tergantung pada luasnya abses dan komplikasi yang ditimbulkannya
(Surarso, 2011;Triana, 2011).
Berikut algoritma untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan
infeksi/abses leher dalam (Bailey, 2006; Surarso, 2011).

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan infeksi leher dalam (Bailey,


2006).

2.6. Komplikasi Infeksi leher dalam


Komplikasi infeksi leher dalam menurut Bailey (2006) terdiri dari:
A. Komplikasi infeksi:

RSUKM Bandung
• Perdarahan pada arteri karotis
• Trombosis pada sinus kavernosus
• Defisit neurologi yang terdiri dari: Horner Syndrome, pada nervus kranial
IX dan XII
• Edema paru
• Mediastinitis
• Perikarditis
• Aspirasi
• Sepsis
B. Komplikasi pembedahan:
• Kerusakan dari struktur neurovascular
• Infeksi pada luka
• Keracunan darah
• Luka parut
• Aspirasi

2.7. Ruang Lingkup


Infeksi di dalam ruang (potensial) leher dalam meliputi abses yang
terbentuk di peritonsil, parafaring, retrofaring, angina ludovici (Ludwig’s angina)
atau abses submandibula (Surarso, 2011; Bradley, 2012).

2.8. Abses Peritonsil

Definisi
Abses peritonsil (Quinsy) adalah kumpulan nanah/pus dalam ruang
peritonsil, diantara kapsul fibrous tonsil dengan muskulus konstriktor faringeal
superior, biasanya pada bagian kutub atas (Cowan, 1997; Dingra, 2007).
Etiologi

RSUKM Bandung
Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus weber dikutub atas tonsil (Bailey,
2006; Galioto, 2008).
Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat
ditemukan kuman aerob dan anerob. Streptococcus pyogenes (grup A beta
hemolytic streptococcus) merupakan kuman aerob yang paling sering dijumpai
pada abses peritonsil. Infeksi gigi dan merokok juga menjadi faktor risiko
terjadinya abses peritonsil (Balleger 1997;MD Galioto, 2008).

Patogenesis
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar
sehingga infiltrasi atau supurasi ke ruang peritonsil tersering menempati area ini,
sehingga palatum mole tampak membengkak. Infeksi biasanya berasal dari kripta
magna yang ada di dekat kutub atas (Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).
Pada stadium permulaan ditandai dengan area infiltrat yang bengkak dan
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula kearah
kontralateral (Ballenger, 1997; Surarso, 2011).
Bila proses peradangan berlanjut ke area sekitarnya akan menyebabkan
iritasi pada muskulus pterigoid interna sehingga timbul trismus. Abses peritonsil
dapat pecah spontan dan menimbulkan komplikasi aspirasi ke paru (Fachruddin,
2007; Surarso, 2011).
Dalam penelitian terbaru menyatakan adanya keterlibatan kelenjar weber
yang berperan dalam terjadinya abses peritonsil. Kelenjar weber merupakan
kumpulan sekitar 20-25 kelenjar ludah yang berada langsung diatas rongga tonsil,
didalam palatum mole dan dihubungkan dengan permukaan tonsil oleh sebuah
saluran. Kelenjar weber berperan untuk membersihkan daerah tonsil dari debris
dan sisa-sisa makanan yang terperangkap. Jika kelenjar weber mengalami
inflamasi dapat terjadi selulitis lokal. Pada proses infeksi yang berlanjut terus,
saluran yang berbeda pada permukaan tonsil menjadi tersumbat. Nekrosis jaringan
dan

RSUKM Bandung
terbentuknya nanah merupakan tanda dan gejala yang klasik dari abses peritonsil
(Galioto, 2008).

Tanda Dan Gejala


Abses peritonsil biasanya didahului oleh nyeri tenggorok selama 2-3 hari
yang secara perlahan-lahan menjadi lebih berat dan biasanya unilateral. Abses
peritonsil bilateral pernah dilaporkan tetapi jarang terjadi (Fachruddin, 2007).
Dapat terjadi nyeri alih pada telinga dan pembengkakan pada leher akibat
limfadenopati infektif.
Gejala klinis abses peritonsil terdiri dari:
• Demam tinggi, suhu tubuh bisa mencapai 39-40°C atau lebih
• Lemah
• Menggigil
• Sakit kepala
• Muntah
• Nyeri tenggorok yang berat, biasanya unilateral. Nyeri dapat menjalar ke
telinga dan sudut mandibula. Nyeri bertambah sesuai dengan perluasan
timbunan nanah.
• Nyeri menelan (odinofagia) dan sulit menelan (disfagia). Penderita tidak
dapat menelan air ludahnya sendiri.
• Hipersalivasi dan air ludah menetes dari sudut mulut.
• Suara tidak jelas seperti mengulum makanan, yang dikenal dengan sebutan
“hot potato voice”.
• Mulut berbau (fetor ex ore).
• Sukar membuka mulut (trismus).
• Nyeri bila menggerakkan kepala ke lateral akibat infiltrasi ke jaringan
leher di regio tonsil (Dingra, 2007; Surarso, 2011).

Tanda-tanda Klinis
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Orofaring
terlihat asimetris. Palatum mole tampak membengkak dan

RSUKM Bandung
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong ke
sisi kontralateral. Tonsil tampak hiperemis, membengkak dan terdorong kearah
tengah, depan dan bawah. Mukopus dapat terlihat menutupi daerah tonsil. Sering
dijumpai limfadenopati leher pada sisi yang sakit (Dingra, 2007).

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan (Steyer, 2002; Dhingra, 2007):
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Aspirasi abses
Aspirasi abses merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosa
abses peritonsil
4. Pemeriksaan laboratorium
Pus yang didapat dari tindakan aspirasi dikirim ke laboratorium untuk
dilakukan pewarnaan gram dan kultur untuk menentukan regimen terapi
yang sesuai
5. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa abses
peritonsil adalah CT Scan dan MRI.

Penatalaksanaan
A. Konservatif
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik dosis tinggi dan obat
simptomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin
pada leher. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri dapat diberikan
analgetik (lokal) dengan menyuntikkan xylocain atau novocaine 1% di ganglion
sfenopalatina. Ganglion ini terletak di bagian belakang atas lateral dari konka
media. Ganglion sfenopalatina mempunyai nervus palatina anterior, media dan
posterior yang mengirimkan cabang aferennya ke tonsil dan palatum molle di atas
tonsil.

RSUKM Bandung
Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan cairan infus untuk
mencegah dehidrasi (Dhingra, 2007; Fachruddin, 2007).
Pemilihan antibiotik sangat tergantung kepada hasil biakan dan uji
kepekaan dari pus yang didapat melalui tindakan aspirasi. Antibiotik sebagai
pilihan digunakan golongan penicillin tetapi karena munculnya bakteri yang
memproduksi beta-laktamase maka pilihan antibiotik telah berubah. Beberapa
penelitian melaporkan lebih dari 50% hasil kultur didapati kuman anerob yang
memproduksi beta-laktamase, hal inilah yang membuat banyak para dokter
menggunakan antibiotik spektrum luas sebagai first line therapy (Galioto, 2008).
Manfaat pemberian steroid pada pengobatan abses peritonsil belum diteliti
lebih lanjut meskipun steroid banyak dipakai untuk mengurangi edema dan
inflamasi pada penyakit THT lainnya (Galioto, 2008).

B. Operatif
Ada 3 prosedur operasi untuk pengobatan abses peritonsil, yaitu
aspirasi jarum, insisi dan drainase serta tonsilektomi.
a) Aspirasi jarum/ Pungsi
Bila telah terbentuk abses, dilakukan aspirasi pada daerah abses,
kemudian diinsisi untuk mengeluarkan pus. Aspirasi abses merupakan
gold standard untuk menegakkan abses peritonsil (Fachruddin, 2007).
b) Insisi dan drainase
Insisi dilakukan pada daerah yang menonjol (berfluktuasi), biasanya
pada bagian depan pilar anterior, batas antara 1/3 bagian atas dan
tengah tonsil atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit (Ballenger,
1997; Fachruddin, 2007).
c) Tonsilektomi
Setelah dilakukan insisi dan drainase kemudian pasien dianjurkan
untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-

RSUKM Bandung
sama tindakan drainase abses disebut tonsilektomi “a’chaud”. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut
tonsilektomi ”a’ tiede” dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah
drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ froid”. Pada umumnya
tonsilektomi dilakukan setelah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu
sesudah drainase abses (Fachruddin, 2007).

Komplikasi
Abses dapat pecah spontan dan menyebabkan perdarahan dan aspirasi paru
(Lee KJ, 1997; Surarso, 2011).
1. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring yang dapat
menyebabkan abses parafaring. Penyebaran infeksi melalui m. konstriktor
faringeus superior dapat menyebabkan abses parafaring dimana bagian
luar tonsil terikat longgar pada m. konstriktor faringeus superior.
2. Infeksi meluas masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis.
Infeksi dapat turun ke bawah (mediastinum) melalui ruang visceral
vascular. Ruangan ini adalah ruang potensial dalam carotid sheath yang
berada mulai dari dasar tengkorak hingga ke medistinum dan menerima
kontribusi dari seluruh tiga lapisan fasia profunda dan dapat menjadi
tempat infeksi sekunder yang menyebar langsung dari ruang-ruang lain di
leher dalam termasuk dari ruang peritonsil.
3. Bila abses menjalar ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus
sinus kavernosus, meningitis dan abses otak. Infeksi dapat menyebar ke
atas (intrakranial) melalui ruang visceral vascular yang mulai dari dasar
tengkorak menyebabkan trombus sinus kavernosus. Abses peritonsil yang
berkomplikasi menjadi abses parafaring dapat meluas ke intrakranial
dimana dasar ruang parafaring berada di dasar tengkorak (pars petrosus os
temporal dan os sfenoid)

RSUKM Bandung
2.9. Abses Retrofaring
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan hingga 5 tahun.
Umumnya terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar
dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius dan telinga
tengah. Sedangkan pada usia 6 tahun kelenjar-kelenjar tersebut mengalami atrofi
(Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).

Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah
(Facruddin 2007):
1. Infeksi saluran nafas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring.
2. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau
tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi.
3. Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin).

Berdasarkan jenisnya secara umum abses retrofaring terbagi dua yaitu:


1. Akut
Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4-5 tahun. Keadaan ini
terjadi akibat infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid,
nasofaring, rongga hidung, sinus paranasal dan tonsil yang meluas ke
kelenjar limfe retrofaring (limfadenitis) sehingga menyebabkan supurasi
pada daerah tersebut. Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi
langsung oleh karena trauma akibat penggunaan instrumen (intubasi
endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi) atau benda asing.
2. Kronis
Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua.
Keadaan ini terjadi akibat infeksi tuberkulosis (TBC) pada

RSUKM Bandung
vertebra servikalis dimana pus secara langsung menyebar melalui
ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi akibat
infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari kelenjar
limfe servikal (Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).

Pada banyak kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob
secara bersamaan. Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring
adalah: kuman aerob; Streptococcus beta–hemolyticus group A (paling sering),
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non–hemolyticus, Staphylococcus
aureus, Haemophilus sp., kuman anaerob; Bacteroides sp., Veillonella,
Peptostreptococcus, Fusobacteria (Fachruddin, 2007; Surarso, 2011).

Tanda dan Gejala


Pada anak dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas
atas. Pada orang dewasa dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda
asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat
batuk kronis (Fachruddin, 2007).
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada
anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau
makan dan minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul
sesak napas karena sumbatan jalan napas, terutama di hipofaring. Bila proses
peradangan berlanjut sampai mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh
abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara
(Adam, 1997; Fachruddin, 2007).
Berdasarkan umur, gejala pada orang dewasa yaitu sakit tenggorokan,
demam, disfagia, odinofagia, leher sakit, dispnu. Gejala pada anak-anak diatas 1
tahun yaitu sakit tenggorokan (84%), demam (64%), leher kaku (64%), odinofagia
(55%), dan batuk. Sedangkan gejala pada bayi yaitu demam (85%), leher bengkak
(97%), kurang asupan oral (55%), rhinorrhea (55%), letargi (38%), dan batuk
(33%) (Khan JH, 2012).

RSUKM Bandung
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran nafas
bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto
rontgen lateral jaringan lunak leher. Pada kasus-kasus ini, radiografi jaringan
lunak lateral leher menunjukkan peningkatan bayangan jaringan lunak yang jelas
antara saluran udara faring dan korpus vertebra servikalis. Laring dan trakea
ditunjukkan dalam posisi ke arah depan. Jika terdapat keraguan mengenai
radiografi, maka dapat dipertegas dengan radiografi penelanan barium (Adam
1997; Kahn JH, 2010).

Penatalaksanaan
A. Medikamentosa
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk
kuman aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral. Tujuan dari
farmakoterapi adalah untuk membasmi infeksi, mengurangi morbiditas,
dan mencegah komplikasi.
B. Tindakan bedah
Dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskop langsung dalam
posisi pasien baring Trendelnburg. Pus yang keluar segera diisap, agar
tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau
anesthesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi
reda. Kadang-kadang, intubasi endotrakeal atau krikotirotomi mungkin
diperlukan jika pasien menunjukkan tanda-tanda obstruksi saluran napas
atas (Fachruddin, 2007; Khan JH, 2010).

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring,
ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan napas sampai asfiksia. Bila
pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia

RSUKM Bandung
aspirasi dan abses paru. Infeksi itu sendiri seperti sepsis dan kematian
(Fachruddin, 2007; Khan 2012).

2.10. Abses Parafaring


Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi,
parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan
perluasan dari infeksi leher dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses
submandibula, abses retrofaring maupun mastikator (Ballenger, 1997; Fachruddin,
2007).

Gambar 2. Daerah parafaring dari potongan axial (Bailey, 2006)

Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi
dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah
terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring
superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,
hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan
sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.

RSUKM Bandung
3. Penjalaran infeksi dan ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula
(Ballenger, 1997; Fachruddin, 2007).

Tanda dan Gejala


Sebagian besar pasien mengalami edema, sakit tenggorokan, dan
odinofagia. Jika infeksi meluas dari faring ke ruang ini, pasien akan menunjukkan
trismus yang jelas. Adanya pembengkakan di sekitar angulus mandibula dan
demam tinggi. Sedangkan dinding faring lateral mungkin terdorong ke medial,
seperti pada abses peritonsilar (Bailey, 2006; Fachruddin, 2007).

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda
klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto
rontgen jaringan lunak AP atau CT Scan (Bailey, 2006; Fachruddin,2007).

Terapi
Terapi yang berhasil mencakup perbaikan jalan napas, antibiotik
parenteral, dan drainase bedah. Drainase eksternal adalah melalui fosa
submaksillaris seperti yang dijelaskan oleh Mosher tahun 1929 (Bailey, 2006).
Untuk terapi medikammentosa pada abses parafaring adalah dengan
pemberian antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan
anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan
antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya
melalui insisi dari luar dan intra oral (Surarso, 2011).
Insisi dari luar dilakukan 2½ jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m. sternokleidomastoideus ke
arah atas belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m. pterigoid interna
mencapai ruang parafaring dengan

RSUKM Bandung
terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis, insisi
dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan m.
sternokleidomastoideus (cara Mosher) (Bailey, 2006; Fachruddin, 2007).
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai
klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus m. konstriktor faring superior
ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan
sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai
gejala dan tanda infeksi reda (Bailey, 2006; Fachruddin, 2007).

Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau
langsung ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan
peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai
mediastinum. Komplikasi yang paling berbahaya dari infeksi spatium
faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi
tromboflebitis septic vena jugularis. Juga dapat terjadi perdarahan masif yang tiba-
tiba akibat dari erosi arteri karotis interna. Komplikasi ini dapat memberi kesan
dengan adanya perdarahan awal yang kecil (perdarahan tersamar) (Adam, 1997;
Fachruddin, 2007).

2.11. Abses Submandibula


Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila
dan submental. Muskulus milohiod memisahkan ruang sublingual dengan ruang
submental dan submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila
oleh otot milohioid. Didalam ruang sublingual terdapat kelenjar liur sublingual
beserta duktusnya (Bailey, 2006).
Abses submandibula dan angina ludovici (Ludwig’s angina) dapat terjadi
karena adanya infeksi yang bersumber dari gigi, dasar mulut,

RSUKM Bandung
faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang
leher dalam lain (Raharjo, 2008; Ballenger, 2009).

Gambar 3. Potongan vertikal submandibula (Lee KJ, 1997).

Etiologi

Sumber infeksi seringkali dari gigi molar ke dua atau ke tiga, ataupun
peradangan supuratif kelenjar limfe servikal di ruang sub mandibula yang
merupakan penyebab dari abses sub lingual ataupun submental (Surarso, 2010).
Pada kasus yang berasal dari infeksi gigi, sering ditemukan kuman anaerob
Bacteroides melaninogenesis, Eubacterium Peptostreptococus dan yang jarang
adalah kuman Fusobacterium (Novialdi, 2011).

Tanda dan Gejala


Demam dan nyeri leher yang disertai pembengkakan di bawah dagu atau
dibawah lidah baik unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeritenggorok
atau trismus. Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan
dapat berfluktuasi atau tidak (Ballenger, 1997; Fachruddin, 2007).

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus terkadang
sulit untuk menentukan lokasi abses terutama jika melibatkan

RSUKM Bandung
beberapa daerah infeksi leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan
pengobatan sebelumnya, pada pasien biasanya dijumpai riwayat sakit gigi,
mengorek atau mencabut gigi (Bailey, 2006; Surarso, 2010).

Terapi

Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan
secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi lokal untuk
abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narcosis bila letak
abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau
setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2
hari gejala dan tanda infeksi reda (Surarso, 2010).

2.12. Angina Ludovici/Ludwig’s Angina


Ludwig’s angina mula-mula di deskripsikan oleh Wilhelm Frederick von
Ludwig pada 1836. Ludwig’s angina atau angina ludovici ialah infeksi ruang
submandibula berupa selulitis atau flegmon dari bagian superior ruang suprahioid
dengan tanda khas berupa pembengkakan, tidak membentuk abses, sehingga keras
pada perabaan submandibula (Adam, 1997; Fachruddin, 2007).

Etiologi
Penyebab angina ludovici adalah trauma bagian dalam mulut, infeksi lokal
pada mulut, karies gigi, terutama gigi molar dan premolar, tonsillitis dan
peritonsilitis, trauma pada ekstraksi gigi, angina vincent, erysipelas wajah, otitis
media dan eksterna serta ulkus pada bibir dan hidung. Jika infeksi berasal dari
gigi, organism pembentuk gas tipe anaerob sangat dominan. Jika infeksi bukan
berasal dari gigi, biasanya disebabkan oleh streptokokus (Adam, 1997).

RSUKM Bandung
Tanda dan Gejala
Tanda-tanda dan gejala ludwig’s angina adalah selulitis, nyeri tenggorok
dan leher, disertai selulitis yang berkembang pesat atau pembengkakan di daerah
submandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan. Demam, sakit
gigi, malaise, disfagia dan napas berbau trismus, merupakan gejala yang umum.
Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada
jaringan dasar mulut dan mendororng lidah ke atas dan belakang dengan demikian
dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial (Adam, 1997).

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, gejala dan tanda
klinik. Pada “Pseudo Angina Ludovici”, dapat terjadi fluktuasi (Fachruddin,
2007).
Diagnosis menurut kriteria Grodinsky yaitu :
• Keterlibatan secara bilateral atau lebih ruang leher dalam
• Gangren yang disertai dengan pus serosanguinous
• Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai struktur
kelenjar.
• Penyebaran melalui ruang fasial lebih sering daripada melalui sistem
limfatik (Lemonick, 2002).

Terapi
Sebagai gold standard dalam penanganan angina ludovici adalah bebaskan
jalan nafas, kemudian diberikan terapi antibiotika dengan dosis tinggi, untuk
kuman aerob dan anaerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan
eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan
evakuasi pus (pada angina ludovici jarang terdapat pus) atau jaringan nekrosis.
Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os hyoid (3-4 jari di
bawah mandibula), dengan demikian menghentikan ketegangan yang terbentuk di
dasar mulut.

RSUKM Bandung
Sebelum dilakukan insisi dan drainase, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap
kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan dilakukan intubasi pada pasien
(Fachruddin, 2007; Russel, 2011).

Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah (Medina, 2005; Facruddin,
2007):
1. Sumbatan jalan napas
2. Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum
3. Sepsis

2.13. Anatomi Leher


Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh
fasia servikalis. Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrosus yang
membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi
beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi tiga bagian yaitu fasia
servikalis superfisialis, media dan fasia servikalis profunda. Ketiga fasia ini
dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot
platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikalis profunda dan klavikula serta
meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula. (Ballenger,
1994).
Fasia servikalis superfisial terletak tepat di bawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke
bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang
antara fasia servikalis superfisial dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe
superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna (Ballenger,
1994).
Fasia servikalis profunda mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri dari
tiga lapisan yaitu:
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar
tengkorak sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior

RSUKM Bandung
menyebarkan ke daerah wajah dan melekat pada klavikula serta
membungkus m. sternokleidomastoideus, m. trapezius, m. masseter,
kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal,
investing layer, lapisan pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas dua yaitu divisi muskular dan viscera.
a) Divisi muskular, terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis
profunda dan membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m.
tirohioid dan m. omohioid. Di bagian superior melekat pada os hioid
dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum,
klavikula dan skapula.
b) Divisi viscera, membungkus organ-organ anterior leher yaitu kelenjar
tiroid, trakea dan esofagus. Di sebelah posterosuperior berawal dari
dasar tengkorak bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan
bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hyoid.
Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan
esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia bukofaringeal
adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian posterior
faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi dua yaitu divisi alar dan prevertebra.
a) Divisi alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda
dan divisi prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan media
fasia servikalis profunda. Divisi ala melengkapi bagian posterolateral
ruang retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
b) Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan
lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot di
daerah tersebut. Berjalan dari dasar tengkorak sampai

RSUKM Bandung
ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger space
dan dinding anterior dari korpus vertebra.
Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis
(carotid sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang
faringomaksilaris sampai ke toraks (Raharjo SP,2013)

Gambar 4. Ruang-ruang potensial di daerah leher (Bailey, 2006)

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah
sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.
• Ruang sepanjang leher
Ruang ini meliputi ruang retrofaring, the danger space, ruang
prevertebral dan ruang vascular visceral. (Raharjo SP,2013).
Di bagian posterior ruang retrofaring terdapat danger space, disebut
demikian karena berisi jaringan ikat longgar sehingga resistensinya kecil terhadap
penyebaran infeksi dan berjalan mulai dari dasar tengkorak hingga ke diafragma.
Ruang prevertebral terletak diantara otot-otot prevertebral dan fasia prevertebral.
Infeksi di sini dapat menerobos ke lateral atau inferior ke dalam mediastinum
posterior (Bailey, 2006).

Ruang visceral vascular adalah ruang potensial dalam carotid sheath.


Sebagaimana halnya ruang prevertebral, ruang visceral vascular adalah ruangan
yang cukup tertutup, mengandung sedikit jaringan ikat

RSUKM Bandung
dan resisten terhadap penyebaran infeksi. Ruangan ini berada mulai dari dasar
tengkorak hingga ke medistinum dan menerima kontribusi dari seluruh tiga
lapisan fascia profunda dan dapat menjadi tempat infeksi sekunder yang menyebar
langsung dari ruang-ruang lain di leher (Bailey, 2006).
• Ruang suprahioid
Ruang yang berada di atas tulang hioid antara lain adalah ruang
submandibular, ruang parafaring, ruang peritonsil, ruang mastikator, ruang
temporal dan ruang parotis. Ruang submandibular dibatasi di anterior dan lateral
oleh mandibula, bagian superior oleh mukosa lingual dan di postero-inferior oleh
hioid serta lapisan superfisial fascia servikalis profunda dibagian inferior (Bailey,
2006).
Ruang parafaring, disebut juga ruang faringomaksila, ruang perifaring atau
ruang faring lateral. Digambarkan berbentuk corong terbalik dengan dasarnya
berada di dasar tengkorak dan apeksnya di hioid. Ruang parafaring berhubungan
dengan beberapa ruang leher dalam termasuk submandibular, retrofaringeal, ruang
parotis dan ruang mastikator. Hal ini memiliki implikasi klinis penting dalam
penyebaran infeksi di ruang-ruang leher (Ballenger, 1997).
Ruang parafaring kemudian dibagi oleh prosessus styloid menjadi
kompartemen anterior, muskuler, atau prestyloid serta kompartemen posterior
neuro vaskuler atau poststyloid. Ruang prestyloid berisi lemak, otot, kelenjar
limfe, dan jaringan konektif serta dibatasi oleh fossa tonsilar dimedial dan
pterygoid medial disebelah lateral (Ballenger, 1997).
Ruang poststyloid berisi carotid sheath dan saraf kranialis IX, X, XII.
Aponeurosis stylopharingeal zuckerkandel dan testus dibentuk oleh perpotongan
antara fascia alar, buccoparyngeal dan stylomuscular fascia yang bertindak
sebagai penghalang penyebaran infeksi dari kompartemen prestyloid ke
poststyloid (Bailey, 2006).
Ruang peritonsil dibentuk oleh kapsul dari tonsil palatina di medial, oleh
otot konstriktor faring superior di sisi lateral dan pilar anterior tonsil di superior
serta pilar posterior tonsil di inferior. Ruang ini mengandung

RSUKM Bandung
jaringan ikat longgar terutama yang dekat dengan palatum mole yang menjelaskan
mengapa mayoritas abses peritonsil berlokasi di pole posterior dari tonsil
(Ballenger, 1997).
Ruang mastikator dibentuk oleh lapisan superfisial dari fascia servikalis
profunda dan membungkus masseter dibagian lateral dan m. pterigoid di medial.
Ruang mastikator berhubungan langsung dengan ruang temporal di bagian
superior di bawah zigoma (Raharjo SP,2013).
Ruang temporal dibatasi di lateral oleh lapisan superfisial fasia servikalis
yang melekat ke zigoma dan temporal ridge serta batas medialnya adalah
periosteum tulang temporal. Ruang ini dibagi menjadi ruang superfisial dan
profunda oleh m. Temporalis (Bailey, 2006).
Ruang parotid, selain berisi kelenjar parotis juga kelenjar limfe parotis, n.
fasialis dan vena fasialis posterior. Lapisan pembungkus memiliki bagian paling
lemah di permukaan supero-medial menyebabkan adanya hubungan langsung
ruangan ini dengan ruang parafaring (Ballenger, 1997; Surarso, 2011).
• Ruang infrahioid
Ruang potensial yang ada di bawah tulang hioid adalah ruang
visceral anterior. Area ini dibungkus oleh lapisan media dari fasia servikalis
profunda dan mengandung kelenjar tiroid, esofagus dan trakea. Ruang potensial
ini mulai dari kartilago tiroid hingga ke anterior dari mediastinum superior dan
arkus aorta (Ballenger, 1997; Surarso, 2011)

2.13. Kekerapan
Lee dan kawan-kawan (2007) melaporkan 158 kasus infeksi leher dalam
dari tahun 1995-2004. Ditemukan 89 penderita laki-laki dan 69 penderita
perempuan. Usia penderita mulai dari 1-89 tahun dengan nilai umur rata-rata 35,4
tahun.
Yang dan kawan-kawan (2008) pada 100 kasus infeksi leher dalam yang
dilakukan April 2001 sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan laki-laki
dan perempuan 3:2. Usia 1-88 tahun dengan nilai rata-rata usia 49,2 tahun. Lokasi
abses lebih dari satu ruang potensial

RSUKM Bandung
29%, abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%,
sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, dan ruang karotis
11%.
Di bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang (Oktober 2009-
September 2010) didapatkan 33 penderita infeksi leher dalam, abses peritonsil 11
penderita, abses submandibula 9 penderita, abses parafaring 6 penderita, abses
retrofaring 4 penderita, abses mastikator 3 penderita, abses pretrakea 1 penderita.

2.14. Kerangka konsep

Keluhan Utama

Etiologi Gejala Klinis


Infeksi Leher Dalam
Umur Lokasi

Jenis Kelamin Mikrobiologi

Radiologi

Peritonsil
Retrofaring
Parafaring
Submandibula

Komplikasi Tanpa Komplikasi

Penatalaksanaan Penatalaksanaan
RSUKM Bandung

Anda mungkin juga menyukai