Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tablet Hisap Vitamin C


2.1.1. Pengertian Tablet

Tablet adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau

tanpa pengisi. Berdasarkan metode pembuatannya tablet digolongkan menjadi

tablet kempa dan tablet cetak.

Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan

bentuk sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat dengan

memberikan tekanan tinggi atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat

dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung

pada desain cetakan.

Tablet cetak dibuat dengan menekan massa serbuk lembab dengan

tekanan rendah kedalam lubang cetakan. Kepadatan tablet tergantung pada

ikatan kristal yang terbentuk selama proses pengeringan selanjutnya dan tidak

tergantung pada kekuatan yang diberikan (Farmakope Indonesia Edisi V, 2014).

2.1.2. Pengertian Tablet Hisap

Tablet hisap atau biasa disebut lozenges adalah sediaan padat yang

mengandung satu atau lebih bahan obat, umumnya dengan bahan dasar beraroma

dan manis, yang dapat membuat tablet melarut atau hancur perlahan dalam

mulut. Tablet dibuat dengan cara tuang (dengan bahan dasar gelatin dan atau

9
10

sukrosa yang dilelehkan atau sorbitol) atau dengan cara kempa tablet

menggunakan bahan dasar gula. Tablet hisap tuang kadang disebut pastiles,

sedangkan tablet hisap kempa disebut troches.

Tablet umumnya digunakan untuk mengobati iritasi lokal, atau infeksi

mulut atau tenggorokan, tetapi dapat juga mengandung bahan aktif yang

ditujukan untuk absorbsi sistemik setelah ditelan. (Farmakope Indonesia Edisi V,

2014)

2.1.3. Pengertian Vitamin C

Vitamin C adalah nutrien dan vitamin yang larut dalam air dan penting

untuk kehidupan serta menjaga kesehatan. Vitamin C juga dikenal dengan nama

kimia yaitu asam askorbat. Vitamin C berfungsi sebagai katalis dalam reaksi

kimia yang terjadi dalam tubuh manusia, sehingga apabila katalis ini tidak

tersedia seperti pada saat keadaan defesiensi vitamin, maka fungsi normal tubuh

akan terganggu (David Pakaya, 2014)

Vitamin C pertama kali di isolasikan oleh seorang pakar bernama Albert

Szent Gyorgy (1928) yang bekerja di Canbridge, Inggris. Beliau merumuskan

suatu komponen yang disebut asam heksuronika karena mempunyai 6 atom

karbon serta bersifat mereduksi.

Vitamin C atau asam askorbat identik dengan rasa asam yang dapat

meningkatkan sekresi saliva. Hal ini terjadi ketika terangsang oleh sensasi rasa

asam maka reseptor akan memulai impuls di saraf aferen dan membawa

informasi langsung ke pusat saliva di medulla batang otak sehingga pusat saliva

mengirim impuls melalui saraf otonom kekelenjar saliva untuk meningkatkan


11

sekresi saliva. Inervasi saraf parasimpatik memegang peran utama sekresi saliva

menyebabkan sekresi liur cair dalam jumlah besar dengan kandungan bahan

organik yang rendah.

Vitamin C di absorpsi melalui saluran cerna, pada bagian atas usus halus

secara difusi lalu masuk keperedaran darah melalui vena porta. Vitamin C

terdistribusi luas dalam jaringan tubuh. Eliminasi vitamin C melalui urin setelah

eksresi dari ginjal.

2.2. Saliva
2.2.1. Pengertian Saliva

Saliva adalah cairan sekresi eksokrin didalam mulut yang kontak dengan

mukosa dan gigi, berasal terutama dari tiga pasang kelenjar saliva mayor dan

minor pada mukosa oral.

Berdasarkan sumbernya ada dua jenis saliva yaitu saliva glandular yang

berasal dari kelenjar saliva dan whole saliva. Whole saliva adalah campuran

cairan yang berasal dari kelenjar saliva, sulkus gingival, transudat mukosa oral,

mucus dari rongga hidung dan faring, bakteri oral, sisa makanan, epitel yang

terdeskuamasi, sel darah serta sebagian kecil obat-obatan dan produk kimia.

Berdasarkan stimulasi, ada dua jenis saliva yaitu Untimulated Saliva dan

Stimulated Saliva. Unstimulated saliva adalah saliva yang dihasilkan keadaan

istirahat tanpa stimulasi eksogen atau farmakologis, yang memiliki aliran kecil

tetapi kontinu. Sedangkan Stimulated saliva adalah saliva yang dihasilkan

karena stimulasi mekanik, gustatori, olfaktori atau stimulus farmakologis. (Nila

Kasuma, 2015).
12

2.2.2. Komposisi Saliva

Saliva terdiri dari 99% air dan 1% bahan padat yang didominasi oleh

protein dan elektrolit. Elektrolit yang paling banyak terdapat disaliva adalah

natrium, kalium, klorida, bikarbonat, kalsium fosfat dan magnesium.

Komposisi saliva dirongga mulut ditentukan oleh sel acinar ke sistem duktus

yang menyebabkan peningkatan konsentrasi garam dan osmolaritas seiring

dengan peningkatan laju aliran saliva.

Sekitar 0,5 L saliva disekresikan dalam 24 jam, paling banyak di pagi-

siang hari. Aliran saliva distimulasi melalui refleks neural pathway yang

distimulasi dengan mengecap dan mengunyah makanan. Stimulus taktil dan

fungsi saliva berkurang saat tidur.

Saliva mengandung substansi organik dengan efek antimikrobial yaitu

lisozim, laktoferin, peroksidase, histatin dan immunoglobulin A sekretori.

Lisozim dan laktoferin disekresikan oleh sel duktus.

Sel duktus juga memproduksi faktor pertumbuhan yaitu epidermal

growth factor (EGF) dan fibroblast growth factor, yang meningkatkan

penyembuhan luka dirongga mulut dan melindungi mukosa esofageal dengan

membentuk barrier pertahanan mukosa. Nerve growth factor yang dihasilkan

oleh sel duktus sangat penting dalam perkembangan saraf simpatetik.

Komposisi saliva lainnya yaitu beberapa hormon yang dapat juga diukur

di plasina seperti steroid, non steroid, peptida, dan hormon protein. pH dan

analit (bakteri, ion, dan mediatorinflamasi) disaliva dapat mempengaruhi


13

konsentrasi hormon disaliva. Level saliva dapat merefleksikan level hormon di

plasma.

2.2.3. Mekanisme Sekresi Saliva

Sekresi kelenjar saliva dikontrol oleh sistem syaraf otonom

parasympathetic dan sympathetic melalui refleks saliva. Reflek stimulasi

kelenjar saliva memiliki peran penting dalam salivasi. Proses keluarnya saliva

diawali oleh stimulus yang mengaktivasi refleks stimulasi. Aktivtas mengunyah

dan makan adalah stimulus utama terhadap sekresi saliva. Reseptor yang

diaktivasi pada saat mengunyah dan makan yaitu gustatory receptor,

mechanoreceptor, nociceptor, dan olfactory receptor. Ada empat tipe rasa yang

memicu sekresi saliva melalui gustatory saliva reflex yaitu rasa asam, asin,

manis, dan pahit. Rasa asam dan asin merupakan stimulus kuat dalam memicu

sekresi saliva. Gustatory receptor terdapat pada papilla lidah dalam bentuk taste

buds.

Laju aliran saliva adalah parameter yang menentukan normal, tinggi,

rendah, atau sangat rendahnya aliran saliva yang dinyatakan dalam satuan

ml/menit. Pada individu dewasa yang sehat, laju aliran normal saliva yang

distimulasi adalah 1-3ml/menit, lajualiran saliva yang lambat 0,7-1ml/menit,

dan hiposalivasi apabila kurang dari 0,7 ml/menit. Laju aliran normal saliva

nonstimulasi adalah 0,25-0,35 ml/menit, laju aliran saliva yang rendah adalah

0,1-0,25ml/menit, dan hiposalivasi apabila laju aliran saliva kurang dari 0,1

ml/menit (Nila Kasuma, 2015).


14

2.2.4. Faktor Yang Mempengaruhi Sekresi Saliva

Beberapa faktor yang mempengaruhi sekresi saliva menurut Nila

Kasuma (2015) dalam buku Fisiologi dan Patologi Saliva adalah:

2.2.4.1. Hidrasi

Jika tubuh kekurangan air, aliran saliva berkurang karena kelenjar saliva

mengurangi sekresi untuk mempertahankan jumlah air dalam tubuh.

2.2.4.2. Usia

Secara histologi, dengan semakin bertambahnya usia, sel-sel parenkim

pada glandula salivarius akan terus tergantikan oleh sel-sel adiposa dan jaringan

fibrovaskular dan volum dari acini berkurang.

2.2.4.3. Merokok

Merokok menyebabkan peningkatan temporer laju aliran unstimulated

saliva. Efek iritasi tembakau meningkatkan sekresi kelenjar, dan nikotin

menyebankan perubahan fungsi dan morfologi kelenjar saliva. Stimulasi olfaktif

dan merokok menyebabkan kenaikan sementara pada aliran saliva tanpa

terstimulasi

2.2.4.4. Medikasi

Obat-obatan yang bersifat antichalinergic seperti antidepresan,

anxiolitik, antipsikotik, antihistamin, dan antihipertensi menyebabkan

berkurangnya laju aliran saliva dan mengubah komposisinya

2.2.4.5. Konsumsi Alkohol

Dengan hanya satu kali konsumsi ethanol dosis tinggi sudah dapat

menyebakan penurunan sekresi aliran saliva terstimulasi secara signifikan.


15

Konsumsi alkohol yang berkepanjangan dapat menyebabkan disfungsi kelenjar

saliva dan pembesaran kelenjar parotid bilateral sehingga dapat mempengaruhi

laju aliran saliva.

2.2.5. Metode Pengumpulan Saliva


2.2.5.1. Draining Method

Saliva dibiarkan menetes melalui bibir bawah kedalam sampling tube.

Subjek diinstruksikan untuk meludah pada akhir durasi pengumpulan. Jumlah

saliva ditentukan dengan weighing/ menimbang (dengan asumsi gravitasi 1g/

cm3 ) atau dengan membaca skala pada test tube.

2.2.5.2. Spitting Method

Saliva dibiarkan mengumpul didasar mulut, kemudian subjek meludah

ke preweighed/ graduated test tube pada setiap 60 detik atau pada saat pasien

akan menelan. Tube dapat dilengkapi dengan funnel. Jumlah saliva yang

dikumpulkan ditentukan dengan weighing atau membaca skala pada test tube.

2.2.5.3. Suction Method

Saliva diaspirasi dari dasar mulut ke gradutaed test tube melalui ejector/

aspirator.

2.2.5.4. Absorbent Method

Saliva dikumpulkan/ diabsorbsi dengan preweighed swab, cotton roll,

atau kassa yang ditempatkan dimulut pada orifis kelenjar saliva mayor,

kemudian ditimbang kembali pada akhir durasi.


16

2.3. Gagal Ginjal Kronis


2.3.1. Defenisi

Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) merupakan

gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible (tubuh gagal dalam

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit),

sehingga menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam

darah). Gagal ginjal kronis meruapakan perkembangan gagal ginjal yang

progresif dan lambat (Brunner dan Suddarth,2016).

Gagal ginjal kronis adalah kondisi dimana ginjal telah rusak atau tidak

mampu untuk menyaring darah sebagaimana ginjal yang sehat. Karena hal ini

terjadi kelebihan cairan dan penumpukan sisa metabolisme dalam tubuh yang

menyebabkan gangguan pada ginjal (Centers for Disease Control and

Prevention, 2017).

Gagal ginjal kronis terjadi ketika ginjal rusak dan tidak dapat menyaring

darah seperti seharusnya. Penyakit ini disebut “kronis” karena kerusakan pada

ginjal terjadi secara perlahan dan dalam jangka waktu yang lama. Kerusakan ini

dapat menyebabkan limbah menumpuk di dalam tubuh dan menyebabkan

masalah kesehatan lainnya. Fungsi utama ginjal adalah menyaring air yang

berlebih dan membuang sisa metabolisme darah untuk diubah menjadi urin.

Agar tubuh dapat berfungsi dengan baik, ginjal menyeimbangkan garam dan

mineral seperti kalsium, fosfor, natrium, dan kalium yang bersirkulasi dalam

darah. Ginjal juga memproduksi hormon yang dapat membantu mengontrol

tekanan darah, produksi sel darah merah, dan menjaga tulang tetap kuat (The

National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, 2016)


17

Gagal ginjal kronis adalah kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal

yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai penurunan glomerular

filtration rate (GFR). Selain itu, CKD dapat pula didefinisikan sebagai suatu

keadaan dimana GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau

tanpa disertai kerusakan ginjal (National Kidney Foundation, 2017)

2.3.2. Etiologi

Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada

tahun 2017 didapatkan urutan etiologi terbanyak yaitu hipertensi (36%), diabetes

mellitus (29%), glomerulopati primer (12%), pielonefritis kronis (7%), nefropati

obstruksi (4%), lain-lain (12%)

2.3.2.1. Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arteri sistemik yang menetap

di mana tekanan darah sistolik ≥130 mmHg atau tekanan darah diastolik

≥80 mmHg (American Heart Association, 2017). Berdasarkan etiologinya,

hipertensi dibagi menjadi hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi primer

adalah peningkatan tekanan darah sebagai akibat dari gaya hidup seseorang

dan faktor lingkungan. Hipertensi sekunder adalah kondisi dimana terjadi

peningkatan tekanan darah akibat penyakit lain seperti gagal jantung, gagal

ginjal atau kerusakan sistem hormon tubuh (Ratna Dwi Astuti, 2017).

2.3.2.2. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin, atau keduanya. Beberapa gejala yang ditemukan pada


18

penderita diabetes meliitus adalah poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan

berat badan dan penglihatan kabur (American Diabetes Association, 2017).

Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas dan berfungsi untuk

meregulasi glukosa darah. Kerusakan sel β pulau Langerhans pankreas

akibat reaksi autoimun pada DM tipe 1 secara langsung mengakibatkan

defesiensi skresi insulin. Pada DM tipe 2 awalnya terjadi resistensi insulin

yang lama-kelamaan menuyebabkan defisiensi insulin yang relatif.

2.3.2.3. Glomerulopati Primer

Glomerulopati primer yaitu kerusakan glomerulus akibat penyakit dasar

yang berasal dari ginjal, yang mempengaruhi fungsi struktur glomerulus di

mana tanpa penyakit multisistemik lainnya (Arthur C, 2016)

Berdasarkan kriteria IRR, diagnosis golmerulopati primer ditandai dengan

tubuh sembab, hipertensi dan bendungan sirkulasi, proteinuria, hematuria,

mikroskopik/ makroskopik dengan slinder eirtrosit, tanpa disertai penyakit

sistemik atau penyakit ginjal lainnya.

2.3.2.4. Pielonefritis Kronis

Pielonefritis merupakan penyakit infeksi kronik pada ginjal yang

disebabkan oleh infeksi berulang pada ginjal yang memicu terjadinya

perubahan struktur ginjal fibrosis (pembentukan jaringan parut) pada

korteks dan perubahan bentuk kaliks ginjal dan atrofi ginjal (Brunner dan

Suddarth,2016).
19

Berdasarkan kriteria IRR, pielonefritis ditandai dengan proteinuria

asimptomatik dengan/ atau tanpa hematuria, ISK berulang, hipertensi,

gambaran USG kedua ginjal mengisut.

2.3.2.5. Nefropati Obstruksi

Berdasarkan kriteria IRR, nefropati obstruktif ditandai dengan adanya

riwayat obstruksi saluran kemih pada lithiasis, BPH vesicouretral reflux, Ca

vesica urinaria, Ca prostat atau Ca servix, ISK berulang, hipertensi dan

hidronefrosis.

2.3.2.6. Lain-lain

Etiologi lainnya seperti lupus (1%), nefropati asam urat (1%), ginjal

polikistik (1%), lain-lain (8%), dan tidak diketahui 1%.

2.3.3. Tahapan Gagal Ginjal Kronis


2.3.3.1. Penurunan Cadangan Ginjal (Faal Ginjal Antara 40-75%)

Pada tahap ini, ada beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, di

antaranya:

1. Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi

2. Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal

3. BUN dan kreatinin serum masih normal, dan

4. Pasien asimtomatik

Tahap ini merupakan tahap perkembangan ginjal yang paling ringan,

karena faal ginjal masih dalam kondisi baik. Oleh karena itu penderita juga

belum merasakan gejala apapun. Bahkan hasil pemeriksaan laboratorium

menunjukkan bahwa faal ginjal masih berada dalam batas normal.


20

Selain itu, kreatinin serum dan kadar BUN (blood urea nitrogen) masih

berada dalam batas normal dan penderita asimtomatik.

2.3.3.2. Indufisiensi Ginjal (Faal Ginjal antara 20-50%)

Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita, di

antaranya:

1. Sekitar 75-80% nefron tidak berfungsi

2. Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal

3. BUN dan kreatinin serum mulai meningkat

4. Anemia dan azotemia ringan

5. Nokturia dan poliuria

Pada stadium ini, lebih dari 75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak.

Selain itu, kadar BUN dan kreatinin serum juga mulai meningkat.

2.3.3.3. Gagal Ginjal

Pada tahap ini, beberapa hal terjadi dalam tubuh penderita di antaranya:

1. Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal

2. Bun dan kreatinin serum meningkat

3. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik

4. Poliuria dan nokturia

5. Gejala gagal ginjal

Pada tahap ini, penderita merasakan beberapa gejala, antara lain mual,

muntah, pusing, nafsu makan berkurang, sesak napas, sakit kepala, air

kemih berkurang, kurang tidur, kejang, hingga penurunan kesadaran.


21

2.3.3.4. End-stage Renal Disease (ESRD)

Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita di

antaranya:

1. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi

2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal

3. BUN dan kreatinin tinggi

4. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik,

5. Berat jenis urine tetap 1,010

6. Oliguria

7. Gejala gagal ginjal

Pada stadium akhir, ± 90% massa nefron telah hancur. Nilai GFR 10% di

bawah batas normal dan kadar kreatinin haya 5-10 ml/menit, bahkan

kurang. Bahkan, peningkatan kreatini serum dan kadar BUN juga mencolok.

Pada stadium akhir, penderita tidak dapat mempertahankan homeostatis

cairan dan elektrolit dalam tubuh. Biasanya penerita menjadi oliguri

(pengeluaan urine ≤ 500 ml/hari karena kegagalan glomerulus). Pada

stadium akhir gagal ginjal, penderita harus mendapatkan pengobatan dalam

bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

2.3.4. Manifestasi Klinis

Menurut Siti Setiati (2016) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI

menjelaskan bahwa penderita gagal ginjal kronis mengalami gejala-gejala

sebagai berikut:
22

2.3.4.1. Gangguan pada gastrointestinal

1. Anorexsia, mual, dan muntah akibat adanya gangguan metabolisme

protein dalam usus dan terbentuknya zat toksik

2. Fetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur, yang

kemudia diubah menjadi ammonia oleh bakteri sehingga napas penderita

berbau ammonia

2.3.4.2. Gangguan sistem hematologi dan kulit

1. Anemia karena kekurangan produksi eritropoetin

2. Kulit pucat dan kekuningan akibat anemia dan penimbunan urokrom

3. Gatal-gatal akibat toksik uremik

4. Trombositopenia

5. Gangguan fungsi kulit (fagositosis dan kematosis berkurang)

2.3.4.3. Gangguan sistem saraf dan otak

1. Miopati, kelainan dan hipertofi otot

2. Ensipalopati metabolik, lemah, tidak bisa tidur, dan konsentrasi

terganggu.

2.3.4.4. Gangguan sistem kardiovasular

1. Hipertensi

2. Nyeri dada dan sesak napas

3. Gangguan irama jantung akibat sclerosis dini

4. Edema
23

2.3.4.5. Gangguan sistem endokrin

1. Gangguan seksual/ libido; fertilitas dan penurunan seksual pada laki-

laki serta gangguan menstruasi pada wanita

2. Gangguan metabolisme glukosa; retensi insulin dan gangguan sekresi

insulin

2.3.4.6. Gangguan pada sistem lain

1. Tulang mengalami osteodistrofi renal

2. Asidosis metabolik (As’adi, 2017).

2.3.5. Komplikasi

Gagal ginjal kronis menyebabkan berbagai macam komplikasi. Pertama,

hiperkalemia, yang diakibatkan karena adanya penurunan eksresi asidosis

metabolik. Kedua, perikarditis, efusi perikardial dan tamponade jantung. Ketiga,

hipertensi yang disebabkan oleh retensi cairan dan natrium, serta malfungsi

sistem renin angioaldosteron. Keempat, anemia yang disebabkan oleh penurunan

eritropoetin, rentang usia sel darah merah. Kelima, penyakit tulang yang

disebabkan oleh retensi fosfat, kadar kalium serum yang rendah, metabolisme

vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar aluminium (As’adi, 2017)

2.4. Hemodialisis
2.4.1. Defenisi

Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah

buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal

atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat. Bagi

penderita gagal ginjal kronis, dialisis dapat mencegah kematian. Hemodialisis


24

tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu

mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan

ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terpainya terhadap kualitas hidup

pasien (Brunner dan Suddarth, 2016).

Hemodialisis merupakan suatu terapi yang digunakan pada klien yang

mengalami gagal ginjal baik gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronis untuk

menggantikan fungsi ginjal yang rusak, pada klien gagal ginjal akut, terapi

hemodialisis yang dibutuhkan yaitu terapi hemodialisis jangka pendek

sedangkan pada klien dengan gagal ginjal kronis diperlukan terapi hemodialisisi

jangka panjang (Herman, 2016).

2.4.2. Indikasi

Hemodialisis dimanfaatkan untuk keadaan gagal ginjal akut maupun gagal

ginjal kronis, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat (Herman, 2016)

Hemodialisis dilaksanakan pada klien gagal ginjal bila laju filtrasi

glomerulus (LFG) berkurang hingga 15 ml/menit atau sudah mencapai stadium

lanjut, klien gagal ginjal kronis harus menjalani terapi dialisis sepanjang

hidupnya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan sampai mendapat

pengganti ginjal baru melalui operasi transplantasi ginjal (Herman, 2016).

2.4.3. Persiapan

Untuk persiapan proses hemodialisis, diperlukan akses pembuluh darah

yang cukup baik agar aliran darah yang diperoleh cukup besar, yaitu laju aliran

darah paling tidak mencapai 200-300 ml/menit secara kontinu ketika

hemodialisis berlangsung selama 4-5 jam. Selain itu, suatu ‘fistula arteriovena’
25

perlu dibuat, yang lebih sering disebut juga sebagai fistula Cimino-Brescia,

merupakan fistula arteriovena yang dibuat sebagai muara vaskular untuk

hemodialisis, dan dibentuk dari penggabungan arteri dan vena di lengan bawah.

Tujuannya untuk menggabungkan vena yang kecil dan sempit dengan arteri

yang lebih besar dan kuat.

Aliran darah selanjutnya memasuki sirkulasi darah mesin hemodialisis

yang terdiri atas selang inlet arterial (ke mesin) dan selang outlet/ vena (dari

mesin ke tubuh). Kedua ujungnya disambungkan ke jarum dan kanula

ditusukkan ke pembuluh darah. Setelah melalui selang inlet, darah memasuki

dyalizer. Jumlah darah yang menempati sirkulasi darah di mesin berkisar 200

ml. Darah dibersihkan dalam dyalizer ini, sisa metabilisme secara kontinu

menembus penyaring dan memasuki kompartemen dialisat. Disisi lain, cairan

dialisat mengalir masuk kedalam mesin hemodialisis dengan kecepatan 500

ml/menit ke dalam dyalizer pada kompartemen dialisat. Cairan dialisat

meruapakan cairan yang pekat dengan bahan utma berupa elektrolit dan glukosa.

Cairan ini dipompa memasuki mesin sambil tercampur dengan air bersih yang

sudah menjalani proses pembersihan yang rumit (water treatment).

Selama hemodialisis berlangsung, darah dicampur dengan heparin agar tidak

membeku ketika berada di luar tubuh, yaitu dalam sirkulasi darah mesin

(Achdiat, Azwar, dkk, 2018).


26

2.4.4. Efek Samping

Efek samping yang dapat terjadi mencakup penurunan tekanan darah, ,

anemia, kram otot, detak jantung yang tidak teratur, mual, muntah, sakit kepala,

infeksi, pembekuan darah, dan emboli udara (Achdiat, Azwa, dkk, 2018).

2.5. Kerangka Teori Penelitian

Skema 2.1 Kerangka Teori Penelitian

Pasien gagal ginjal kronis

yang menjalani hemodialisis

Uremia Batasan Konsumsi Usia lanjut

asupan cairan obat-obatan

Penurunan Atrofi

produksi saliva kelenjar

Xerostomia

2.6. Kerangka Konsep Penelitian

Konsep adalah suatu abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan suatu

pengertian.

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau

kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya, atau antar variabel yang satu

dengan variable lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2016)
27

Skema 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Pengaruh Pemberian Peningkatan Sekresi

Tablet Hisap Vitamin C Saliva

Keterangan:

= Diteliti

= Pengaruh

2.7. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah: ada pengaruh pemberian tablet hisap

vitamin C terhadap peningkatan sekresi saliva pada pasien gagal ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis di ruang hemodialisis rumah sakit grandmed tahun 2019.

Anda mungkin juga menyukai