Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri,Pertusis,
Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak
atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I.
Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi
(PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheria oleh
karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya. Sebelum era vaksinasi,
racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat
menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah. Rendahnya kasus
difteri sangat dipengaruhi adanya program imunisasi. Jumlah kasus penyakit difteri di
Propinsi Jawa Timur tahun 2006 sebesar 39 kasus, dengan rincian jumlah terbanyak Kota
Surabaya 8 Kasus, Kabupaten Sidoarjo 7 kasus, Kabupaten Sumenep 4 kasus dan Kota Probolinggo 4
kasus .

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan difteri?
2. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya penyakit difteri?
3. Bagaimanakah tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit difteri?
4. Bagaimanakah patofisiologi penyakit difteri?
5. Bagaimanakah epidemiologi penyakit difteri?
6. Bagaimanakah penanganan penyakit difteri?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan difteri.
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit difteri.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit difteri.
4. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit difteri.
5. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit difteri.
6. Untuk mengetahui penanganan penyakit difteri.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Difteri
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae,
oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan bakteri penyebabnya.
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
dan ada kalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
vagina (Chin, 2000). Bakteri Corynebacterium diphtheria merupakan bakteri berbentuk batang
gram positif, tidak berspora, dan bercampak atau kapsul. Memiliki 3 tipe varian yaitu type
gravis, intermedius dan mitis (Depkes RI, 2004). Difteri menyebabkan selaput tebal di bagian
belakang tenggorokan. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan bernapas, gagal jantung,
kelumpuhan, bahkan kematian.Vaksin dianjurkan untuk bayi, anak-anak, remaja dan orang
dewasa untuk mencegah difteri (CDC).
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, ada kalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjunngtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas
oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi
dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada
difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang
berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan edema dileher dengan pembentukan
membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas. Difteri hidung
biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi
(ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat
menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,
timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam
dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian
dari impetigo.

3
B. Etiologi
Difteri disebabkan Corynebacterium diphteriae, yang merupakan bakteri gram positif
yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung
dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari
lesi (Dahlan, 2007).
Dengan pewarnaan, bakteri bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau
merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Bakteri ini tumbuh secara aerob, bisa
dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-telluritatau media
Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan
bakteri diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,
glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite,
medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan
cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna
abu-abu coklat (Sudoyo, 2006).
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil
yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
a. Gravis
Koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis
eritrosit.
b. Mitis
Koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
c. Intermediate
Koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan
hemolisis eritrosit. Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis.
Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan
dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bias memproduksi eksotoksin, akan tetapi
virulensinya berbeda. Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis,
kadang-kadang ada bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain
toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang
berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas
C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro.

4
Kemampuan suatu strain untuk membentuk/ memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag, toksin hanya bias diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag
yang mengandung toxigene. Untuk membedakan jenis virulen dan non virulen dapat diketahui
dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:
1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai
sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.

2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)

3. Rapid enzyme immunoassay (EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih
singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya
basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri.

Misalnya basil Hoffman, dan Corynebacterium serosis. Basil dapat membentuk :


1. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan
yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.

2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi
dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal
dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu per lima puluh
ml toksin dapat membunuh marmot dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.

Bakteri ini ditularkan melalui droplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang
telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar
permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa
jenis bakteri ini menghasilkan toksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan
pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Bakteri difteria akan mati pada
pemanasan suhu 60°C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es,
air, susu dan lendir yang telah mengering (Sumarmo, 2008).

5
. C. Patofisiologi
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa
saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri
berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa
menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga
saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan
kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa
penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau kurang bahkan
kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier
kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.

2. Tahap Penyakit Dini


Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.
Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.Antara
minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis)
bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak
sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan
gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara
perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak
jarang difteri juga menyerang kulit.

3. Tahap Penyakit lanjut


Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel
dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah

6
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran
udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.

D. Patogenesis
Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa atau kulit, melekat serta
berkembangbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh
limfe dan darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel. Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A, mengakibatkan inaktivasi enzim translokasi sehingga
proses translokasi tersebut tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang
diperlukan, akibatnya sel akan mati. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersamaan dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang pad awalnya mudah dilepas. Semakin
banyak produksi toksin maka semakin lebar daerah infeksi sehingga terbentuk eksudat fibrin,
kemudian membentuk suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman
tergantung dari jumlah darah yang terkandung.
toksin yang dihasilkan menyerang saraf tertentu seperti saraf di tenggorokan. Penderita
mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga
sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung bisa terjadi selama minggu
pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada
elektrokardiogram (EKG). Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan
selama berminggu-minggu.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri
dari sel darah putih, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang
lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara
paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan
saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga
mengalami kelsulitan bernapas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah
diagnosis dapat ditegakkan (Ditjen P2PL Depkes, 2003). Diagnosis dikonfirmasi dari basil
hasil swab hidung dan tenggorok (Kementerian Kesehatan,2013).

7
E. Gejala

a. Difteri hidung
Menyerupai common cold, gejalanya seperti pilek ringan dan disertai gejala sistemik
ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian makropulen
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada
daerah septum nasi. Absorbs sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga lama terdiagnosis.
b. Difteri faring
Anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri telan. Dalam 1-2 hari berikutnya akan
timbul membrane yang melekat berwarna putih/kelabu dapat menutupi tonsil dan dinding
faring meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah laring trakea. Dapat terjadi
limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadentid terjadi bersamaan dengan edema
jaringan lunak leher yang luas, maka akan timbul bersamaan dengan edema jaringan lunak
leher yang luas, maka akan timbul bullneck. Selanjutnya gejala tergantung pada derajat
penetrasi toksin dan luas membrane. Pada kasus berat dapat terjadi kegagalan pernapasan atau
sirkulasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.

c. Difteri laring
Biasanya merupakan perluasan dari difteri faring. Pada difteri laring primer gejala
toksik kurang nyata. Gejala klinis difteri laring sulit dibedakan dari tipe infectious croups yang
lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi
laring berat terdapat retraksi suprasental, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi peleasan
membrane yang menutup jalan napas, bisa terjadi kematian mendadak.

d. Difteri kulit, konjungtiva, dan telinga


Merupakan tipe difteri yang tidak lazim unusual. Difteri kulit berupa tukak dikulit, tapi
jelas dan terdapat membrane pada dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata
dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membrane pada konjungtiva
pelpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan berbau.

8
F. Pencegahan

a. Imunisasi DPT
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan
pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan
satu – dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit
difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul
adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan
obat penurun panas . Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu
diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali.
Sayangnya kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang
dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali. (Wijaya, 2004)

b. Penyuluhan Tentang Bahaya Difteri


Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat
terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteri dan perlunya imunisasi aktif diberikan
kepada bayi dan anak-anak. (Wijaya, 2004)

c. Memperhatikan Kebutuhan Hygiene


Mencegah penyakit difteri penting pula untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan
lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk
dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga
harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Di samping itu juga perlu diperhatikan makanan
yang kita konsumsi. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang bersih.
Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk mempercepat
kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang lain. (Kartono, 2008).

G. Treatment
Pengobatan pada penderita difteria bertujuan untuk menginaktivasi toksin yangbelum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadiminimal,
mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobatiinfeksi penyerta dan
penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya berpengaruh padatoksin yang bebas atau yang
terabsorpsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi toksinyang telah melakukan penetrasi ke dalam
sel. (Detending RR, 2007)

9
a. Pengobatan umum

 Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
 Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
 Pemberian cairan serta diet yang adekuat,
 Memberikan makanan lunak dan mudah dicerna, cukup mengandung protein dan
kalori.
 Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi antaralain dengan
pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu.
 Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan nebulizer. (Sing A, 2005)

b. Pengobatan Khusus

 Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)


Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun
dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
(Sing A, 2005)

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, karena pada
pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin
1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis.
Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS
diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatasnegatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar
antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel 1. Pemberian ADS intravena dalam larutan
garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5%dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan
efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya.

10
Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
(Long SS, 1996)
 Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri,
menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan organisme pada kontak. C.
Diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi
yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau
eritromisin. Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri
nasofaring.4. Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh sekurang
kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok yang diambil berjarak 24 jam
sesudah selesai terapi (Detending RR, 2007).

 Kortikosteroid
Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan
kortikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas dapat disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit
miokarditis, namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak
terbukti. Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14
hari (Detending RR, 2007).

c. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit
yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya reversibel. Bila pasien mulai
gelisah,iritabilitas meningkat serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi
tindakan trakeotomi (Maloney Dowel, 2011). Pengobatan terhadap miokarditis adalah dengan
istirahat total, tidak boleh ada aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan pemberian digitalis.
Sedangkan pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan terjadi paralisis otot pernafasan
dilakukan artifisial respirasi dengan menggunakan intermitten positive pressure dan jalan nafas
harus selalu dijaga. (Maloney Dowel, 2011)

11
H. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan Gangguan Difteri

A. Pengkajian
1. Biodata
a. Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan
pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
b. Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
c. Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman
yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
2. Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia, lemah
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran
nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolism
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b. Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur

d. Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan
nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
7. Pemeriksaan fisik

12
a. Pada diptheria tonsil – faring
1) Malaise
2) Suhu tubuh < 38,9 º c
3) Pseudomembran ( putih kelabu ) melekat dan menutup tonsil dan
4) dinding faring
5) Bulneck
b. Diptheriae laring
1) Stridor
2) Suara parau
3) Batuk kering
4) Pada obstruksi laring yang berat terdpt retraksi suprasternal, sub costal
dan supraclavicular
c. Diptheriae hidung
1) Ringan
2) Sekret hidung serosanguinus  mukopurulen
3) Lecet pada nares dan bibir atas
4) Membran putih pada septum nasi

B. Diagnosa Keperawatan (Doengoes, E Marylin,2000)


1. Pola nafas napas tidak efektif b/d edema laring.
2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia.
3. Nyeri akut b/d proses inflamasi.

C. Intervensi

Diagnosa Intervensi Rasional


Pola nafas napas
. Mandiri
tidak efektif b/d 1. Observasi tanda – 1. untuk mengetahui
edema laring. tanda vital. keadaan umum
2. Posisikan pasien pasien
semi fowler.

13
3. Anjurkan pasien agar 2. Agar pasien
tidak terlalu banyak merasa lebih
bergerak. nyaman
Kolaborasi 3. Agar sesak tidak
4. Kolaborasi dengan bertambah
tim medis dalam
pemberian terapi 4. Mempertahankan
Oxygen kebutuhan
oksigen yang
maksimal bagi
pasien

Ketidak Mandiri
seimbangan nutrisi 1. Monitor intake kalori 1. Untuk
kurang dari dan kualitas mengetahui
kebutuhan tubuh konsumsi makanan pemasukan atau
b/d anoreksia 2. Berikan porsi kecil intake makanan.
dan makanan 2. Makanan dalam
lunak/lembek. porsi kecil mudah
3. Berikan makan dikonsumsi oleh
sesuai dengan selera. klien dan
4. Timbang BB tiap mencegah
hari terjadinya
anoreksia.
3. Meningkatkan
intake makanan.

4. Mengetahui
kurangnya BB
dan efektifitas
nutrisi yang
diberikan

14
Nyeri akut b/d Mandiri
proses inflamasi 1. Lakukan pengkajian 1. untuk mengetahui
nyeri secara lokasi nyeri dan
menyeluruh meliputi derajat nyeri,
lokasi, durasi, sehingga dapat
frekuensi, kualitas, dilakukan
keparahan nyari dan pengobatan yang
factor pencetus nyeri tepat.
2. Observasi 2. Agar dapat
ketidaknyamanan non mengetahui
verbal tingkat nyeri pada
3. Ajarkan untuk pasien.
menggunakan teknik 3. Relaksasi dapat
non farmakologi merelaksasi otot –
misal relaksasi, otot sehingga
guided imageri, terapi nyeri dapat
musik dan distraksi berkurang dan
pasien bisa rileks.

4. Lingkungan yang
tenang dapat
4. Kendalikan factor menjadikan
lingkungan yang pasien dapat
dapat mempengaruhi istirahat.
respon pasien 5. Agar nyeri
terhadap berkurang dan
ketidaknyamanan pasien cepat
misal suhu, sembuh
lingkungan, cahaya,
kegaduhan.

15
Kolaborasi:
5. pemberian analgetik
sesuai indikasi

D. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri
dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor
kemajuan kesehatan klien

E. Evaluasi Keperawatan
1. Pola napas efektif
2. Nyeri berkurang atau hilang

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri,
Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian
anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Difteri merupakan salah satu penyakit
menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan
oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa
dengan bakteri penyebabnya.
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
dan ada kalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
vagina (Chin, 2000). Bakteri Corynebacterium diphtheria merupakan bakteri berbentuk batang
gram positif, tidak berspora, dan bercampak atau kapsul. Memiliki 3 tipe varian yaitu type
gravis, intermedius dan mitis (Depkes RI, 2004). Difteri menyebabkan selaput tebal di bagian
belakang tenggorokan. Hal ini dapat menyebabkan kesulitan bernapas, gagal jantung,
kelumpuhan, bahkan kematian.Vaksin dianjurkan untuk bayi, anak-anak, remaja dan orang
dewasa untuk mencegah difteri (CDC).

B. Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk
anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak,
tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang
dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus
dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum
minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan
menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan
lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat
sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat
5 sempurna.

17
DAFTAR PUSTAKA

Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, 17th.ed. Jakarta: Infomedika.
Dahlan A, Aminullah A. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid II. 11 th ed. Jakarta :
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
Depkes RI. 2004. Pedoman Penyelenggaran Imunisasi. Jakarta.
Deterding RR. Essentials of diagnosis and typical features Diphtheria. In : Hay WW, Leswin
MJ, Sondheimer JM, eds. Current diagnosis and therapy in pediatric. 18th ed. United State of
America : Library of congress press ; 2007.p.1176 – 8
Dowel, Maloney. Arch Otolaryngol AMA. Diphtheria, 2000. (http://archotol.ama-
assn.org/cgi/reprint/ 61/1/29 diakses pada 15 November 2015)
Kartono, 2008. Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten Tasikmalaya dan
Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2 No.5.
Long SS. Diphteria. In : Behrman, Kleigman, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 15th ed.
Philadelphia : WB Saunders company ; 1996.p. 955 – 59
SingA,Heesemann . Imported diphtheria Germany, 2005 (http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol
11no02/05.html diakses pada 15 November 2015)
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta: Penerbit Ilmu Penyakit
Dalam
Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Bag. IKA FK UI
Wijaya Kusuma. 2004. Difteri, Cara Mencegah dan Mengatasinya.
http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/735/gdlhub-gdl-s2-2014-sarisiskad-36707-8.-bab-2-a.pdf
(diakses pada 14 November 2015)
http://www.cdc.gov/diphtheria/index.html (diakses pada 13 November 2015)

18

Anda mungkin juga menyukai