Anda di halaman 1dari 9

BAB V

PEMBAHASAN

A. Status Gizi

Berdasarkan hasil penelitian 4.1 tentang distribusi frekuensi status gizi

pada mahasiswa angkatan 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Batam

menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa dari 109 responden yang diteliti

didapatkan bahwa sebanyak 28 orang (25,7%) memiliki status gizi yang kurus, 40

orang (36,7%) memiliki status gizi normal dan sebanyak 41 orang (37,6%)

memiliki status gizi gemuk.

Status gizi merupakan keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan

antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement)

oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan fisik, perkembangan,

aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya) (Suyanto, 2009).

Dalam penelitian ini, status gizi yang dimaksud adalah status gizi

responden yang diukur menggunakan Antropometri yaitu IMT (Indeks Massa

Tubuh). Indeks Massa Tubuh merupakan hasil perbandingan antara perbandingan

antara berat badan dalam Kg dengan Tinggi Badan dalam m (Supriasa, 2005).

Kategori IMT menurut Sirajuddin (2012) Kurus < 18,5; normal 18,5 - 22,9; serta

gemuk > 23,0.

Mahasiswi angkatan 2014 sebagian besar memiliki status gizi gemuk hal

ini dikarenakan karena asupan lemak yang tidak dibatasi. Depkes RI

menganjurkan 25% dari total energi pada tubuh. Kebiasaan makan dan ngemil
yang sering, pola makan besar, makan diluar dan kurangnya aktivitas fisik

mahasiswi termasuk dalam penyebab status gizi gemuk pada mahasiswi (WHO).

Status gizi kurus juga ditemukan pada mahasiswi angkatan 2014 Fakultas

Kedokteran Universitas Batam, hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara

konsumsi gizi dengan kecukupan gizi yang dianjurkan (Emilia, 2009). Sehingga

mahasiswi mudah lelah, mudah terkena penyakit, anemia, kurang kosentrasi, dan

gangguan pada sistem tubuh seperti reproduksi (Supariasa, 2005).

Sedangkan jumlah status gizi normal pada mahasiswi juga tinggi, hal ini

dikarenakan pola makan yang teratur dan asupan gizinya seimbang dan sesuai

yang dibutuhkan oleh tubuh, kemudian aktivitas olahraga yang cukup banyak

karena terdapat fasilitas olahraga yang memadai, fasilitas olahraga disediakan

oleh kampus untuk mengembangkan minat dan bakat mahasiswi. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Diza (2015) menyebutkan bahwa

responden memiliki status gizi normal yaitu 69 orang dari 94 responden.

Berdasarkan uraian diatas, didapatkan bahwa sebagian besar responden

memiliki status gizi gemuk dan kurus, hasil ini menujukkan jumlah yang

signifikan dengan responden yang memiliki status gizi normal.

B. Kejadian Dismenore

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.1 tentang distribusi frekuensi

kejadian dismenore mahasiswi angkatan 2014 Fakultas Kedokteran Universitas

Batam menunjukkan bahwa sebagian besar dari 109 responden yang diteliti
didapatkan bahwa sebanyak 76 orang (69,7%) mengalami dismenore primer dan

sebanyak 33 orang (30,3%) tidak mengalami dismenore primer.

Dismenore primer merupakan rasa nyeri dan mual pada bagian perut bawah

selama menstruasi, umumnya terjadi pada wanita di usia muda tanpa adanya

penyakit patologi seperti endometriosis (Hudson, 2007). Dismenore primer

merupakan suatu ciri-ciri siklus ovulasi dan biasanya timbul pada 6 sampai 12

bulan setelah menarche (Hacker, 2001).

Dalam penelitian ini sebagian besar mahasiswi mengalami dismenore

primer ini disebabkan karena status gizi kurus ataupun gemuk dan pola makan

yang tidak teratur dan kurangnya olahraga atau sehingga terjadinya dismenore.

Gejala dismenore primer yaitu rasa nyeri murni karen a proses kotraksi rahim

tanpa disertai penyakit dasar. Dismenore primer biasanya nyeri haid yang terjadi

sejak menarche dan tidak terdapat kelainan pada alat kelainan. Cirinya terjadi

beberapa waktu atau 6-12 bulan sejak menstruasi pertama (menarche). Rasa nyeri

timbul sebelum menstruasi, atau diawal menstruasi, dan berlangsung beberapa

jam atau beberapa kemudian. Dismenorea primer juga kadang disertai mual,

muntah, sakit kepala, atau diare.

Pada penelitian ini peneliti mengambil usia 20-24 tahun karena dismenore

primer tidak terjadi pada saat awal menstruasi (menarche) tetapi umumnya terjadi

pada usia remaja akhir. Pada saat menarche, siklus menstruasi masih siklus

anovulatorik. Dalam siklus anovulatorik, estrogen dilawan oleh progesterone


sehingga terbentuk lapisan endometrium yang tidak stabil dan kontraktilitas otot

uterus juga tidak terjadi, sehingga tidak terjadi dismenore (Cakir, 2007).

Kejadian dismenore akan meningkat selama masa remaja sesuai

pertambahan usia nya dan di luar masa remaja kejadian dismenore akan menurun

seiring dengan pertambahan usia nya pula (Cakir, 2007). Menurut Nathan (2005)

puncak kejadian dismenore primer pada rentang usia remaja akhir menuju dewasa

muda yaitu rentang usia 15-25 tahun dan akan menurun diluar usia tersebut.

Sedangkan menurut Hudson (2007) puncak kejadian dismenore primer berada

pada usia 20-24 tahun dan akan menurun seiring pertambahan usia.

Sebagian besar dismenore primer terjadi pada wanita usia 21-25 tahun

karena adanya optimalisasi fungsi syaraf uterus sehingga produksi prostaglandin

meningkat sehingga timbul rasa sakit (dismenore) saat menstruasi. Selain itu,

seiring bertambahnya usia seseorang, maka semakin sering mengalami dismenore

sehingga leher rahim melebar. Leher rahim yang melebar membuat produksi

prostaglandin berkurang dan dismenore akan beerkurang seiring dengan

penurunan fungsi syaraf uterus akibat penuaan (Novia dan Puspitasari, 2008).

Puspitasari (2008) menemukan bahwa kejadian dismenore di Indonesia

mencapai 60-70%. Titilayo (2009) mengungkapkan bahwa kejadian dismenore

sebanyak 40-95% dialami oleh wanita yang menstruasi di Nigeria. Studi juga

dilakukan oleh Cakir (2007) pada mahasiswa di Turki menunjukkan hasil yang

cukup tinggi yaitu yang mengalami dismenore sebanyak 89,5% dan 10% nya

mengalami dismenore berat. Studi di Yordania pada remaja putri juga


menunjukkan hal yang serupa yaitu sebanyak 87,4% mengalami dismenore primer

(Razzak, 2010).

Kejadian dismenore dipengaruhi oleh kadar prostaglandin, semakin parah

kejadian dismenore ditemukan semakin tinggi pula kadar prostaglandin nya.

Peningkatan kadar prostaglandin berhubungan dengan kontraksi otot rahim dan

nyeri. Kontraksi otot uterus dirangsang oleh prostaglandin yang menyebabkan

endometrium meluruh dan keluar bersama ovum yang tidak dibuahi (Hudson,

2007).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh

Ayu, dkk (2012) pada 96 orang mahsiswi kedokteran didapatkan bahwa sebanyak

75 orang mengalami dismenore primer dan sebanyak 21 orang tidak mengalami

dismenore primer.

Berdasarkan uraian diatas, didapatkan bahwa lebih dari setengah

mahasiswi angkatan 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Batam mengalami

kejadian dismenore primer dibandingkan dengan mahasiswi yang tidak

mengalami kejadian dismenore primer.

C. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Dismenore Primer Pada

Mahasiswi Angkatan 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Batam

Berdasarkan tabel 4.3, menunjukkan bahwa sebanyak 24 orang (85,7%)

memiliki status gizi kurus disertai dengan kejadian dismenore primer, dan hanya 4

orang (14,3%) yang memiliki status gizi kurus tapi tidak mengalami dismenore
primer. Sebanyak 20 orang (50,0%) memiliki status gizi normal dengan kejadian

dismenore primer dan 20 orang (50,0%) yang memiliki status gizi normal tapi

tidak mengalami dismenore primer. Dan sebanyak 32 orang (78,0%) memiliki

status gizi gemuk disertai dengan kejadian dismenore primer, dan hanya 9 orang (

22,0%) yang memiliki status gizi gemuk tapi tidak mengalami dismenore primer.

Sesuai dengan pendapat Fancin (2004), status gizi yang kurang atau terbatas

selain akan mempengaruhi pertumbuhan, fungsi organ tubuh, juga akan

menyebabkan terganggunya fungsi reproduksi. Hal ini akan berdampak pada

gangguan haid, tetapi akan membaik bila asupan nutrisinya baik.

Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Rahimin (2006) yang menyatakan

bahwa kecepatan metabolisme memengaruhi kemampuan reproduksi yang ada

dibawah kontrol hipotalamus dengan sinkronsasi oleh susunan saraf pusat.

Sedangkan kecepatan metabolisme dipengaruhi oleh gizi maka penambahan

lemak pada saat pertumbuhan berperan pada mekanisme tersebut. Penambahan

lemak memberikan kontrol pada hormon gonadotropin, sehingga jaringan lemak

merupakan sumber estrogen di luar gonade (hipofisis). Dengan demikian sekresi

estrogen juga dipengaruhi oleh berat badan dan lemak tubuh.

Selain itu menurut Prawirohardjo (2007) pada penelitian Novak dan

Reynolds yang melakukan pada uterus kelinci menyimpulkan bahwa hormon

estrogen merangsang kontraktilitas uterus sedangkan hormon progesterone

mencegahnya. Penelitian lain oleh Proctor (2006) menjelaskan bahwa karena

endometrium dalam fase sekresi memproduksi prostaglandin F2 yang

menyebabkan kontraksi otot-otot polos yang berlebihan seperti dismenore.


Faktor yang juga dapat mempengaruhi dismenore yaitu gaya hidup yang

dijalani oleh wanita. Kurangnya aktivitas fisik dan olahraga secara teratur dapat

membuat aliran darah pada otot uterus berkurang sehingga bisa terjadi nyeri saat

menstruasi. Olahraga dan aktivitas fisik secara teratur seperti jalan sehat, berlari,

bersepeda, berenang yang dilakukan sebelum dan selama haid, membuat aliran

darah semakin lancar sehingga nyeri akan berkurang (Icesma, 2013). Selain itu

kebiasaan makan yang dijalani oleh wanita salah satunya mahasiswi yang suka

mengkonsumsi makanan yang tidak sesuai seperti makanan junk food untuk

kudapan maupun makan besar akan membuat tumpukan lemak semakin banyak,

sehingga menyebabkan dismenore (Novia dan Puspitasari, 2008).

Metode yang dapat digunakan untuk mengurangi dismenore seperti

pengaturan posisi, distraksi atau teknik relaksasi nafas dalam dapat dilakukan

untuk mengurangi nyeri (Novia dan Puspitasari, 2008). Sylvia dan Lorraine

(2006) menyatakan bahwa aktivitas fisik dan olahraga-olahraga ringan sangat

dianjurkan untuk mengurangi nyeri haid. Dengan melakukan aktivitas fisik atau

olahraga ringan saat menstruasi daoat merangsang pembentukan hormon

endorphin. Hormon ini berfungsi sebagai obat penenang alami yang dihasilkan

otak dan susunan saraf tulang belakang yang akan membuat seorang menjadi

nyaman. Selain itu pada kondisi tubuh rileks, tubuh akan menghentikan produksi

semua hormon yang menyebabkan dismenore dan hormon yang diproduksi saat

stres.

Responden dengan status gizi kurang dan mengalami dismenore dengan

tingkatan sedang disebebkan karena kurangnya asupan nutrisi seperti vitamin B,


vitamin E, vitamin C dan sebagainya. Semakin banyak kekurangan nutrisi tersebut

maka tingkat dismenore yang dialami akan semakin berat. Menurut Prawirahardjo

2005), kekurangan zat-zat gizi seperti kurang vitamin B (terutama B6), vitamin E,

vitamin C, magnesium, zat besi, seng, mangan, dan asam lemak linoleat

menyebabkan semakin beratnya dismenore.

Hasil uji statistik menggunakan uji chi square, didapatkan nilai p=0,002

(p<0,05) dengan tingkat kepercayaan 95% sehingga dapat disimpulkan bahwa

hipotesis diterima, yaitu terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian

dismenore primer.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

status gizi dengan dismenore primer pada mahasiswi angkatan 2014 Fakultas

Kedokteran Universitas Batam.

D. Keterbatasan Peneliti

Didalam penelitian ini, keterbatasan yang di hadapi peneliti adalah:

1. Saat pengumpulan data ada kemungkinan responden tidak serius dalam

memberikan jawaban kuesioner, dikarenakan penelitian dilakukan pada

saat selesai ujian blok.

2. Dalam menjawab setiap pertanyaan ada kemungkinan pemahaman

responden berbeda dalam menjawab pertanyaannya, karena responden

memiliki persepsinya masing-masing.


3. Penelitian dapat menjadi bias dikarenakan penelitian diambil dalam

sewaktu (cross sectional) dan status gizi seseorang bisa berubah

seketika mahasiswi menjaga keseimbangan gizinya.

Anda mungkin juga menyukai