Anda di halaman 1dari 15

PROPOSAL TERAPI OKUPASI

MEMBUAT CELENGAN DARI LIMBAH


LONGSONG/GULUNGAN KAIN
DESA SIAGA SEHAT JIWA DESA WATUGAJAH

Disusun Oleh :

Anjar Rokhani, S.Kep PB1801048


Basuki Rahmat, S.Kep PB1801050
Budiyanto, S.Kep PB1801052
Emi Kusrini, S.Kep PB1801054
Nurul Faizah S.Kep PB1801069
Novianti Endah, S.Kep PB1801068
Jefri Alfian, S.Kep PB1801060
Muhammad yuda, S.Kep PB1801066
Sunarto, S.Kep PB1801074
Suroyo, S,kep PB1801075
Siti Farkanah, S.kep PB1801073
Retno Untari, S.Kep PB1801071

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH KLATEN
2019/2020
LEMBAR PENGESAHAN

PROPOSAL TERAPI OKUPASI


MEMBUAT CELENGAN DARI LIMBAH LONGSONG/GULUNGAN KAIN
DESA SIAGA SEHAT JIWA DESA WATUGAJAH KECAMATAN GEDANGSARI
KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Disusun untuk memenuhi tugas Stase Keperawatan Jiwa, Program Profesi Ners Alih Jalur
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH KLATEN

Telah disahkan pada : November 2019

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Ns.Retno Yuli H.,M.Kep.,Sp.Kep.Jiwa Nella Nurilah H.P, AMK


PROPOSAL
TERAPI OKUPASI : MEMBUAT CELENGAN DARI LIMBAH
LONGSONG/GULUNGAN KAIN
DI DESA WATUGAJAH KECAMATAN GEDANGSARI

Hari : Kamis
Tanggal : 28 November 2019
Waktu : 09.00 – selesai
Tempat : Di Balai Dusun Gunungcilik
Topik kegiatan :
Sasaran /kriteria hasil :
1. Pasien yang kooperatif dalam mengikuti kegiatan
2. Pasien yang ada diwilayah kerja puskesmas desa Watugajah

A. LATAR BELAKANG
Gangguan jiwa adalah salah satu dari empat masalah kesehatan utama di Negara
maju, modern dan industri. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai
gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung namun beratnya gangguan
membuat arti ketidakmampuan serta identitas secara individu maupun kelompok akan
menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Hawari,
2001; Lestari & Wardhani, 2014).
Menurut American Psychiatric Association (1994,2013), gangguan mental
merupakan gejala atau pola dari tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis yang
terjadi pada seseorang dari berhubungan dengan keadaan distress (gejala yang
menyakitkan) atau ketidakmampuan (gangguan pada satu area atau lebih dari fungsi fungsi
penting) yang meningkatkan risiko terhadap kematian, nyeri, ketidakmampuan atau
kehilangan kebebasan yang penting dan tidak jarang respon tersebut dapat diterima pada
kondisi tertentu.
Menurut data dari WHO (World Health Organization) Tahun 2011, penderita
gangguan jiwa berat telah menempati tingkat yang luar biasa. Lebih 24 juta mengalami
gangguan jiwa berat dan sepertiganya tinggal di negara berkembang.Penderita gangguan
jiwa memang belum bisa disembuhkan 100%, tetapi penderita gangguan jiwa memiliki hak
untuk sembuh dan diperlakukan secara manusiawi. Berdasarkan UU RI No. 18 Tahun 2014
Bab I Pasal 3 tentang kesehatan jiwa telah dijelaskan bahwa upaya kesehatan jiwa
bertujuan menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati
kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang
dapat mengganggu kesehatan jiwa.
Stigma terhadap penderita gangguan jiwa akan membuat penanganannya tidak
berlanjut sehingga mempersulit penanganan penderita gangguan jiwa padahal informasi
sangat penting untuk mengetahui keparahan kasus gangguan jiwa . Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ) tidak hanya dampak dan gejala saja yang mereka peroleh tetapi
juga stigmanisasi (Kapungwe,2010). Sebanyak 75 % orang dengan gangguan jiwa
mengalami stigma dari masyarakat, pemerintah, petugas kesehatan dan media.
Keberhasilan terapi gangguan jiwa tidak hanya terletak pada terapi obat
psikofarmaka dan jenis terapi lainya tetapi juga pengetahuan keluarga dan peran serta
pasien dalam pengobatan. (Hawari, 2001; Lestari & Wardhani, 2014). Disamping itu sikap
dari keluarga penderita gangguan jiwa, yang membiarkan penderita gangguan jiwa dengan
alasan tidak ada harapan sembuh, tidak ada biaya dalam berobat serta beban yang
ditanggung oleh keluarga yang hidup bersama penderita gangguan jiwa makin
memperburuk keadaan penderita gangguan jiwa. ODGJ sering mendapatkan perlakukan
kasar seperti dipukul, diancam oleh lingkungan keluarga mereka sendiri (Katsikidow,
dkk.,2012 &Solomon,Cavanaugh & Gelles, 2005).
Banyak ahli dalam kesehatan jiwa memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap
apa yang dimaksud gangguan jiwa dan bagaimana gangguan perilaku terjadi. Perbedaan
pandangan tersebut tertuang dalam bentuk model konseptual kesehatan jiwa. Pandangan
model psikoanalisa berbeda dengan pandangan model social, model perilaku, model
eksistensial, model medical, berbeda pula dengan model stress – adaptasi. Masing-masing
model memiliki pendekatan unik dalam terapi, antara lain dengan menggunakan
pendekatan berdasarkan terapi modalitas.
Terapi- terapi yang digunakan untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) salah
satunya terapi modalitas, terapi modalitas banyak jenisnya seperti terapi psikoterapi, terapi
kelompok, terapi psikodrama, terapi lingkungan, dan Terapi rehabilitas. Dengan
menggunakan program rehabilitas yang dapat digunakan sejalan terapi modalitas lain atau
dapat berdiri sendiri, terapi ini terdiri atas terapi okupasi, rekreasi, terapi gerak, terapi
musik yang masingmasing mempunyai tujuan khusus (Kusumawati & Hartono, 2010, hlm.
138).
Terapi okupasi yaitu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan suatu tugas terpilih yang telah ditentukan dengan maksud mempermudah
belajar fungsi dan keahlian yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan
lingkungan (Kusumawati & Hartono, 2010, hlm. 147). Dengan okupasi, pasien jiwa akan
dikembalikan ke arah hidup yang normal dan dapat meningkatkan minatnya sekaligus
memelihara dan mempraktikkan keahlian yang dimilikinya sebelum sakit sehingga dia
akan tetap sebagai seseorang yang produktif.
Sebaiknya terpai okupasi dilakukan sedini mungkin, sejak penderita dirujuk oleh
dokter. Sebelum penderita mulai latihan, perlu diberikan evaluasi awal dengan dilakukan
observasi.
Terapis di dalam memberikan suatu latihan harus bersikap sabar, ramah, dan dituntut
untuk kreatif, selain itu tidak kalah pentingnya juga peran serta orangtua dalam proses
latihan. Pada hal ini diharapkan terapis dapat memberikan masukan-masukan kepada
orangtua penderita untuk berlatih di rumah.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti terapi okupasi membuat celengan dari barang bekas diharapkan pasien
dapat dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain
dan masyarakat sekitarnya.
2. Tujuan Khusus
a. Mengisi waktu luang bagi pasien jiwa
b. Meningkatkan kesehatan pasien jiwa
c. Meningkatkan produktifitas pasien jiwa
d. Meningkatkan ketrampilan pasien
e. Membantu melepaskan dorongan emosi secara wajar.
f. Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan kondisinya.
g. Meningkatkan interaksi sosial antar pasien jiwa
C. POKOK MATERI
1. Pengertian okupasi terapi
2. Tujuan terapi okupasi
3. Peranan terapi okupasi dalam pengobatan
4. Indikasi terapi okupasi
5. Karakteristik aktivitas terapi
6. Proses terapi okupasi
7. Pelaksanaan terapi
(Materi terlampir)

D. PENGORGANISASIAN KELOMPOK
1. Leader : Budianto, S.Kep. :
Uraian tugas :
a. Memimpin jalannya Terapi Okupasi .
b. Merencanakan, mengontrol dan mengendalikan jalannya terapi.
c. Membuka acara.
d. Menjelaskan cara pembuatan Celengan
e. Memimpin terapi okupasi.
f. Menutup acara diskusi.
2. Co Leader : Siti Farkanah, S.Kep :
Uraian Tugas :
a. Menyampaikan informasi dari fasilitator ke leader tentang aktivitas klien.
b. Mengingatkan leader jika kegiatannya menyimpang.
3. Observer : Suroyo, S.Kep, Sunarto, S.Kep
a. Mengobservasi jalannya terapi okupasi, mulai dari persiapan, proses dan penutup
dengan format evaluasi perilaku.
b. Menilai aspek kemampuan pasien dalam memperkenalkan diri.
4. Dokumentasi : Jefri Alfian , S.Kep, Muhammad Yudha Sanjaya, S.Kep
a. Mendokumentasikan kegiatan terapi okupasi dalam bentuk tulisan/ dokumen maupun
foto
b. Mendokumentasikan jalannya kegiatan terapi okupasi dari pembukaan hingga
penutupan acara.
5. Fasilitator : Nurul Faizah, S.Kep, Emi Kusrini, S.Kep, Retno Untari, S.Kep, Anjar
Rokhani, S.Kep, Novianti Endah. S.Kep, Basuki, S.Kep
Uraian Tugas :
a. Memfalisitasi pasien dalam terapi okupasi.
b. Mengarahkan pasien yang kurang kooperatif.
E. METODE
1. Diskusi
2. Demonstrasi
3. Tanya Jawab
F. SETTING TEMPAT

v
Keterangan :
: Leader
: Co Leader
: Fasilitator
: Peserta
: Observer
: Dokumentasi

G. MEDIA DAN ALAT


1. Longsong/Gulungan kain
2. Kertas Kado
3. Kertas Karton tebal
4. Lem Kayu
5. Gunting
6. Cutter
H. LANGKAH-LANGKAH
1. Tahap pre interaksi ( 5 menit ):
Leader memberikan salam terapeutik, memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan serta
peraturan kegiatan dalam kegiatan terapi okupasi.
2. Tahap Orientasi ( 10 menit ):
a. Leader mengevaluasi perasaan pasien
b. Leader melakukan kontrak (waktu, tempat, topik).
c. Leader menjelaskan tujuan dan prosedur terapi.
3. Tahap Kerja :
a. Leader : Memimpin pelaksanaan serta mendemonstrasikan kegiatan terapi okupasi.
b. Fasilisator : Memfasilitasi klien untuk melaksanakan kegiatan terapi okupasi.
c. Observer : Mengobservasi kemampuan pasien dalam pelaksanaan terapi okupasi.
4. Tahap Terminasi :
a. Mengevaluasi perasaan pasien.
b. Beri pujian atas keberhasilan pasien.
c. Kontrak yang akan datang :
- Topik : sepakati kegiatan yang akan datang.
- Waktu : sepakati waktu pertemuan yang akan datang.
- Tempat : sepakati tempat pertemuan yang akan datang

I. DAFTAR PESERTA
No. Nama Masalah Keperawatan
1 Ny. “Sm” Halusinasi
2 Tn. “K” Halusinasi Pendengaran
3 Tn. “Sr” Isolasi sosial
4 Tn. “St” Waham
5 Tn. “Sk” Isolasi Sosial
6 Ny. “Sl” Halusinasi
7 Ny. “Sy” Isolasi Sosial
8 Tn. “H” Isolasi Sosial
9 Tn “Stn” Isolasi Sosial

J. PELAKSANAAN TERAPI OKUPASI

1. Siapkan alat dan bahan yang digunakan.


2. Potong selongsong bekas gulungan kain sepanjang 15 cm
3. Ambil Kerton tebal/kardus bekas, gambar lingkaran dengan diameter sama besar sesuai
diameter selongsong sebanyak 2 buah, lalu gunting menjadi 2 potong kardus/karton bulat.
4. Pada 1 potong karton bulat diberi lem di sekelilingnya (bagian tepi saja). Tempelkan kardus
bulat ke salah satu ujung selongsong (alas), tekan hingga benar-benar merekat
5. Ambil 1 potong karton bulat lainnya dan buat lubang secukupnya di bagian tengah untuk
memasukkan uang. berikan lem di sekelilingnya (bagian tepi saja). Tempelkan kardus bulat
ke salah satu ujung selongsong (penutup), tekan hingga benar-benar merekat
6. Tempelkan kertas kado pada badan, alas dan tutup tabung dengan menggunakan lem kayu.

K. EVALUASI
1. Evaluasi Struktur
a. Persiapan pasien dan keluarga sudah terlaksana dengan baik berupa kontrak waktu,
topik, dan tempat.
b. Persiapan alat bantu dan media yang digunakan untuk terapi okupasi
2. Evaluasi Proses
a. Pasien mampu mengikuti terapi okupasi dengan baik sampai selesai
b. Pasien kooperatif dalam mengikuti terapi okupasi
c. Pasien dapat bekerjasama dengan perawat
d. Media dan alat bantu dapat digunakan dengan baik
e. Lingkungan mendukung dalam pelaksanaan terapi okupasi
3. Evaluasi Hasil
a. Evaluasi kognitif
Setelah mengikuti terapi okupasi, diharapkan pasien mampu :
1) Pasien mampu menjelaskan tujuan dari pelaksanaan okupasi terapi
2) Pasien mampu menjelaskan manfaat dari pelaksanaan terapi okupasi
b. Evaluasi Afektif
1) Pasien mampu mengungkapkan perasaan setelah terapi okupasi
2) Pasien dapat menyadari atau memahami tentang tujuan okupasi terapi
c. Evaluasi Psikomotor
1) Pasien dapat melaksanakan ketrampilan yang telah dilakukan.
Materi Okupasi Terapi

A. Pengertian
Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi
seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan. Terapi ini berfokus pada
pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan peningkatan
bertujuan untuk membentuk seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang
lain (Riyadi dan Purwanto, 2009).
Terapi Okupasi/terapi kerja adalah salah satu jenis terapi kesehatan yang merupakan
proses penyembuhan melalui aktivitas. Aktivitas yang dikerjakan tidak hanya sekedar
membuat sibuk pasien, melainkan aktivitas fungsional yang mengandung efek terapetik dan
bermanfaat bagi pasien. Artinya aktivitas yang langsung diaplikasikan dalam kehidupan..
Penekanan terapi ini adalah pada sensomotorik dan proses neurologi dengan cara
memanipulasi, memfasilitasi dan menginhibisi lingkungan, sehingga tercapai peningkatan,
perbaikan dan pemeliharaan kemampuan dan pekerjaan atau kegiatan digunakan sebgai terapi
serta mempunyai tujuan yang jelas.
Pekerjaan atau okupasi sejak dulu kala telah dikenal sebagai sesuatu untuk
mempertahankan hidup atau survival, dan juga diketahui sebagai sumber kesenangan. Dengan
bekerja, seseorang akan menggunakan otot-otot dan pikirannya, misalnya dengan melakukan
permainan (game), latihan gerak badan, kerajinan tangan dan lain-lain, dimana hal ini akan
mempengaruhi kesehatannya juga.

B. Tujuan terapi okupasi


Adapun tujuan terapi okupasi menurut Riyadi dan Purwanto (2009), adalah:
1. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi mental.
a. Menciptakan kondisi tertentu sehingga klien dapat mengembangkan kemampuannya
untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya.
b. Membantu melepaskan dorongan emosi secara wajar.
c. Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan kondisinya.
d. Membantu dalam pengumpulan data untuk menegakkan diagnosa dan terapi.
2. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan gerak, sendi, otot dan
koordinasi gerakan.
3. Mengajarkan ADL seperti makan, berpakaian, BAK, BAB dan sebagainya.
4. Membantu klien menyesuaikan diri dengan tugas rutin di rumah.
5. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan meningkatkan kemampuan yang dimiliki.
6. Menyediakan berbagai macam kegiatan agar dicoba klien untuk mengetahui kemampuan
mental dan fisik, kebiasaan, kemampuan bersosialisasi, bakat, minat dan potensinya.
7. Mengarahkan minat dan hobi untuk dapat digunakan setelah klien kembali di lingkungan
masyarakat.

C. Peranan Terapi Okupasi / Pekerjaan Dalam Pengobatan


Aktivitas dipercayai sebagai jembatan antara batin dan dunia luar. Melalui aktifitas
manusia dihubungkan dengan lingkungan, kemudian mempelajarinya, mencoba ketrampilan
atau pengetahuan, mengekspresikan perasaan, memenuhi kebutuhan fisik maupun emosi,
mengembangkan kemampuan, dan sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup. Potensi
tersebutlah yang di gunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan terapi okupasi, baik bagi
penderita fisik maupun mental.
Aktivitas dalam terapi okupasi di gunakan sebagai media baik untuk evaluasi, diagnosis,
terapi, maupun rehabilitasi. Dengan mengamati dan mengevaluasi pasien saat mengerjakan
suatu aktivitas dan menilai hasil pekerjaan dapat di tentukan arah terapi dan rehabilitasi
selanjutnya dari pasien tersebut. Penting untuk di ingat bahwa aktivitas dalam terapi okupasi
tidak untuk menyembuhkan, tetapi hanya sebagai media. Diskiusi yang teraarah setelah
penyelesaian suatu aktifitas adalah sangat penting karena dalam kesempatan tersebut terapis
dapat mengarahkan pasien dan pasien dapat belajar mengenal dan mengatasi persoalannya.
Aktifitas yang di lakukan pasien di harapkan dapat menjadi tempat untuk berkomunikasi lebih
bai dalam mengekspresikan dirinya. Kemampuan pasien akan dapat diketahui baik oleh terapi
maupun oleh pasien itu sendiri melalui aktifitas yang dilakukan oleh pasien. Alat – alat atau
bahan – bahan yang digunakan dalam melakukan suatu aktifitas, pasien akan didekatkan
dengan kenyataan terutama dalam hal kemampuan dan kelemahannya. Aktivitas dalam
kelompok akan dapat merangsang terjadinya interaksi diantara anggota yang berguna dalam
meningkatkan sosialisasi dan menilai kemampuan diri masing-masing dalam hal
keefisiensianya untuk berhubungan dengan orang lain. Aktivitas yang dilakukan meliputi
aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi dimana sangat dipengaruhi oleh konteks-
konteks terapi secara keseluruhan, lingkungan, sumber yang tersedia, dan juga oleh
kemampuan si terapis sendiri (pengetahuan, ketrampilan, minat, dan kreatifitasnya). Adapun
hal-hal yang mempengaruhi aktivitas dalam terapi okupasi antara lain sebagai berikut :
1. Jenis
Jenis aktivitas dalam terapi okupasi adalah sebagai berikut :
a. Latihan gerak badan
b. Olahrga
c. Permainan
d. Kerajinan tangan
e. Kesehatan, kebersihan, dan kerapihan pribadi
f. Pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari)
g. Praktik pre- vokasional
h. Seni (tari, musik, lukis, drama, dll)
i. Rekreasi (tamsya, nonton bioskop/drama, pesta ulang tahun, dll)
j. Diskusi dengan topik tertentu (berita, surat kabar, majalah, televisi, radio, atau keadaan
lingkungan)
k. Dan lain-lain
2. Karakteristik aktivitas
Aktivitas dalam terapi okupasi adalah segala macam aktivitas yang dapat menyibukan
seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan berkembang,
sekaligus sebagai sumber kekeuasaan emosional maupun fisik. Oleh karena itu setiap
aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi harus mempunyai karakteristik sebagai
berikut :
a. Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas.
b. Mempunyai arti tertentu bagi pasien, artinya dikenal oleh atau ada hubungannya
dengan pasien.
c. Pasien harus mengerti tujuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa kegunaannya
terhadap upaya penyembuhan penyakitnya.
d. Harus dapat melibatkan pasien secara aktif walaupun minimal.
e. Dapat mencegah lebih beratnya kecacatanatau kondisi pasien, bahkan harus dapat
meningkatkan atau setidak – tidaknnya memelihara kondisinya.
f. Harus dapat memberi dorongan agar si pasien mau berlatih lebih giat sehingga dapat
mandiri.
g. Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.
h. Harus dapat di modifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan
kemampuan pasien.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih aktifitas adalaah sebagai
berikut
a. Apakah bahan yang digunakan merupakan yang mudah di kontrol, ulet, kasar, kotor,
halus, dsb.
b. Apakah aktifitas rumit atau tidak
c. Apakah perlu di persiapkan sebelum di laksanakan
d. Cara pemberian instruksi bagaimana
e. Bagaimana kira – kira setelah hasil selesai
f. Apakah perlu pasien membuat keputusan
g. Apakah perlu konsentrasi
h. Interaksi yang mungkin terjadi apakah menguntungkan
i. Apakah di perlukan kemampuan berkomunikasi
j. Berapa lama dapat di selesaikan
k. Apakah daqpat dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat di sesuaikan dengan
kemampuan dan ketrampilan pasien. Dsb.

D. Indikasi terapi okupasi


Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa indikasi dari terapi okupasi sebagai
berikut:
1. Klien dengan kelainan tingkah laku, seperti klien harga diri rendah yang disertai dengan
kesulitan berkomunikasi.
2. Ketidakmampuan menginterpretasikan rangsangan sehingga reaksi terhadap rangsang
tidak wajar.
3. Klien yang mengalami kemunduran.
4. Klien dengan cacat tubuh disertai gangguan kepribadian.
5. Orang yang mudah mengekspresikan perasaan melalui aktivitas.
6. Orang yang mudah belajar sesuatu dengan praktik langsung dari pada membayangkan.

E. Karakteristik aktivitas terapi


Riyadi dan Purwanto, (2009), mengemukakan bahwa karateristik dari aktivitas terapi
okupasi, yaitu: mempunyai tujuan jelas, mempunyai arti tertentu bagi klien, harus mampu
melibatkan klien walaupun minimal, dapat mencegah bertambah buruknya kondisi, dapat
memberi dorongan hidup, dapat dimodifikasi, dan dapat disesuaikan dengan minat klien.

F. Proses terapi okupasi


Adapun proses dari terapi okupasi, sebagai berikut :
1. Pengumpulan data, meliputi data tentang identitas klien, gejala, diagnosis, perilaku dan
kepribadian klien. Misalnya klien mudah sedih, putus asa, marah.
2. Analisa data dan identifikasi masalah dari data yang telah dikaji ditegakkan diagnosa
sementara tentang masalah klien maupun keluarga.
3. Penentuan tujuan dan sasaran dari diagnosa yang ditegakkan dapat dibuat sasaran dan
tujuan yang ingin dicapai.
4. Penentuan aktivitas jenis kegiatan yang ditentukan harus disesuaikan dengan tujuan terapi.
5. Evaluasi kemampuan klien, inisiatif, tanggungjawab, kerjasama, emosi dan tingkah laku
selama aktivitas berlangsung. Dari hasil evaluasi rencanakan kembali kegiatan yang sesuai
dan akan dilakukan. Evaluasi dilakukan secara periodik, misalnya 1 minggu sekali dan
setiap selesai melaksanakan kegiatan.

G. Pelaksanaan Terapi
Terapi okupasi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok tergantung dari kondisi
klien dan tujuan terapi.
1. Metode
a. Individual : dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum mampu berinteraksi
dengan kelompok dan klien lain yang sedang menjalani persiapan aktivitas.
b. Kelompok : klien dengan masalah sama, klien yang lama dan yang memiliki tujuan
kegiatan yang sama. Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil
yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang (Keliat dan Akemat, 2005). Jumlah
anggota kelompok kecil menurut Stuart dan Laraia (2001, dalam Keliat dan Akemat,
2005) adalah 7-10 orang, Rawlins, Williams, dan Beck (1993, dalam Keliat dan
Akemat, 2005) menyatakan jumlah anggota kelompok adalah 5-10 orang. Jika anggota
kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan
mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak
cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi. Johnson (dalam Yosep, 2009)
menyatakan terapi kelompok sebaiknya tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan
reaksi interpersonal yang terbaik terjadi pada kelompok dengan jumlah sebanyak itu.
Apabila keanggotaanya lebih dari 10, maka akan terlalu banyak tekanan yang dirasakan
oleh anggota sehingga anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas, dan seringkali
bertingkah laku irrasional.
2. Waktu
Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individual maupun kelompok dengan
frekuensi kegiatan per sesi 2-3 kali dalam seminggu. Setiap kegiatan dibagi menjadi 2
bagian, pertama: ½-1 jam yang terdiri dari tahap persiapan dan tahap orientasi, kedua: 1-
1/2 jam yang terdiri dari tahap kerja dan tahap terminasi (Riyadi dan Purwanto, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

Ade H.2011. Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Nuha Medika

Keliat, B.A. dan Akemat. 2005. Keperawatan Jiwa: Terapi Akitivitas Kelompok. Jakarta: EGC.

http://repository.unusa.ac.id/1395/1/KT-NS-160108_abstract.pdf . Lestari, Sri Harum (2016).


Penerapan Terapi Okupasi Waktu Luang Pada Klien Skizofrenia Dengan Masalah
Keperawatan Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah Rumah Sakit Jiwa Menur
Surabaya

Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sujono Riyadi dan Teguh Purwanto. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009.

Anda mungkin juga menyukai