Proposal Okupasi Terapi Celengan
Proposal Okupasi Terapi Celengan
Disusun Oleh :
Disusun untuk memenuhi tugas Stase Keperawatan Jiwa, Program Profesi Ners Alih Jalur
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH KLATEN
Hari : Kamis
Tanggal : 28 November 2019
Waktu : 09.00 – selesai
Tempat : Di Balai Dusun Gunungcilik
Topik kegiatan :
Sasaran /kriteria hasil :
1. Pasien yang kooperatif dalam mengikuti kegiatan
2. Pasien yang ada diwilayah kerja puskesmas desa Watugajah
A. LATAR BELAKANG
Gangguan jiwa adalah salah satu dari empat masalah kesehatan utama di Negara
maju, modern dan industri. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai
gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung namun beratnya gangguan
membuat arti ketidakmampuan serta identitas secara individu maupun kelompok akan
menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Hawari,
2001; Lestari & Wardhani, 2014).
Menurut American Psychiatric Association (1994,2013), gangguan mental
merupakan gejala atau pola dari tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis yang
terjadi pada seseorang dari berhubungan dengan keadaan distress (gejala yang
menyakitkan) atau ketidakmampuan (gangguan pada satu area atau lebih dari fungsi fungsi
penting) yang meningkatkan risiko terhadap kematian, nyeri, ketidakmampuan atau
kehilangan kebebasan yang penting dan tidak jarang respon tersebut dapat diterima pada
kondisi tertentu.
Menurut data dari WHO (World Health Organization) Tahun 2011, penderita
gangguan jiwa berat telah menempati tingkat yang luar biasa. Lebih 24 juta mengalami
gangguan jiwa berat dan sepertiganya tinggal di negara berkembang.Penderita gangguan
jiwa memang belum bisa disembuhkan 100%, tetapi penderita gangguan jiwa memiliki hak
untuk sembuh dan diperlakukan secara manusiawi. Berdasarkan UU RI No. 18 Tahun 2014
Bab I Pasal 3 tentang kesehatan jiwa telah dijelaskan bahwa upaya kesehatan jiwa
bertujuan menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati
kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang
dapat mengganggu kesehatan jiwa.
Stigma terhadap penderita gangguan jiwa akan membuat penanganannya tidak
berlanjut sehingga mempersulit penanganan penderita gangguan jiwa padahal informasi
sangat penting untuk mengetahui keparahan kasus gangguan jiwa . Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ) tidak hanya dampak dan gejala saja yang mereka peroleh tetapi
juga stigmanisasi (Kapungwe,2010). Sebanyak 75 % orang dengan gangguan jiwa
mengalami stigma dari masyarakat, pemerintah, petugas kesehatan dan media.
Keberhasilan terapi gangguan jiwa tidak hanya terletak pada terapi obat
psikofarmaka dan jenis terapi lainya tetapi juga pengetahuan keluarga dan peran serta
pasien dalam pengobatan. (Hawari, 2001; Lestari & Wardhani, 2014). Disamping itu sikap
dari keluarga penderita gangguan jiwa, yang membiarkan penderita gangguan jiwa dengan
alasan tidak ada harapan sembuh, tidak ada biaya dalam berobat serta beban yang
ditanggung oleh keluarga yang hidup bersama penderita gangguan jiwa makin
memperburuk keadaan penderita gangguan jiwa. ODGJ sering mendapatkan perlakukan
kasar seperti dipukul, diancam oleh lingkungan keluarga mereka sendiri (Katsikidow,
dkk.,2012 &Solomon,Cavanaugh & Gelles, 2005).
Banyak ahli dalam kesehatan jiwa memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap
apa yang dimaksud gangguan jiwa dan bagaimana gangguan perilaku terjadi. Perbedaan
pandangan tersebut tertuang dalam bentuk model konseptual kesehatan jiwa. Pandangan
model psikoanalisa berbeda dengan pandangan model social, model perilaku, model
eksistensial, model medical, berbeda pula dengan model stress – adaptasi. Masing-masing
model memiliki pendekatan unik dalam terapi, antara lain dengan menggunakan
pendekatan berdasarkan terapi modalitas.
Terapi- terapi yang digunakan untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) salah
satunya terapi modalitas, terapi modalitas banyak jenisnya seperti terapi psikoterapi, terapi
kelompok, terapi psikodrama, terapi lingkungan, dan Terapi rehabilitas. Dengan
menggunakan program rehabilitas yang dapat digunakan sejalan terapi modalitas lain atau
dapat berdiri sendiri, terapi ini terdiri atas terapi okupasi, rekreasi, terapi gerak, terapi
musik yang masingmasing mempunyai tujuan khusus (Kusumawati & Hartono, 2010, hlm.
138).
Terapi okupasi yaitu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam
melaksanakan suatu tugas terpilih yang telah ditentukan dengan maksud mempermudah
belajar fungsi dan keahlian yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan
lingkungan (Kusumawati & Hartono, 2010, hlm. 147). Dengan okupasi, pasien jiwa akan
dikembalikan ke arah hidup yang normal dan dapat meningkatkan minatnya sekaligus
memelihara dan mempraktikkan keahlian yang dimilikinya sebelum sakit sehingga dia
akan tetap sebagai seseorang yang produktif.
Sebaiknya terpai okupasi dilakukan sedini mungkin, sejak penderita dirujuk oleh
dokter. Sebelum penderita mulai latihan, perlu diberikan evaluasi awal dengan dilakukan
observasi.
Terapis di dalam memberikan suatu latihan harus bersikap sabar, ramah, dan dituntut
untuk kreatif, selain itu tidak kalah pentingnya juga peran serta orangtua dalam proses
latihan. Pada hal ini diharapkan terapis dapat memberikan masukan-masukan kepada
orangtua penderita untuk berlatih di rumah.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti terapi okupasi membuat celengan dari barang bekas diharapkan pasien
dapat dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain
dan masyarakat sekitarnya.
2. Tujuan Khusus
a. Mengisi waktu luang bagi pasien jiwa
b. Meningkatkan kesehatan pasien jiwa
c. Meningkatkan produktifitas pasien jiwa
d. Meningkatkan ketrampilan pasien
e. Membantu melepaskan dorongan emosi secara wajar.
f. Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan kondisinya.
g. Meningkatkan interaksi sosial antar pasien jiwa
C. POKOK MATERI
1. Pengertian okupasi terapi
2. Tujuan terapi okupasi
3. Peranan terapi okupasi dalam pengobatan
4. Indikasi terapi okupasi
5. Karakteristik aktivitas terapi
6. Proses terapi okupasi
7. Pelaksanaan terapi
(Materi terlampir)
D. PENGORGANISASIAN KELOMPOK
1. Leader : Budianto, S.Kep. :
Uraian tugas :
a. Memimpin jalannya Terapi Okupasi .
b. Merencanakan, mengontrol dan mengendalikan jalannya terapi.
c. Membuka acara.
d. Menjelaskan cara pembuatan Celengan
e. Memimpin terapi okupasi.
f. Menutup acara diskusi.
2. Co Leader : Siti Farkanah, S.Kep :
Uraian Tugas :
a. Menyampaikan informasi dari fasilitator ke leader tentang aktivitas klien.
b. Mengingatkan leader jika kegiatannya menyimpang.
3. Observer : Suroyo, S.Kep, Sunarto, S.Kep
a. Mengobservasi jalannya terapi okupasi, mulai dari persiapan, proses dan penutup
dengan format evaluasi perilaku.
b. Menilai aspek kemampuan pasien dalam memperkenalkan diri.
4. Dokumentasi : Jefri Alfian , S.Kep, Muhammad Yudha Sanjaya, S.Kep
a. Mendokumentasikan kegiatan terapi okupasi dalam bentuk tulisan/ dokumen maupun
foto
b. Mendokumentasikan jalannya kegiatan terapi okupasi dari pembukaan hingga
penutupan acara.
5. Fasilitator : Nurul Faizah, S.Kep, Emi Kusrini, S.Kep, Retno Untari, S.Kep, Anjar
Rokhani, S.Kep, Novianti Endah. S.Kep, Basuki, S.Kep
Uraian Tugas :
a. Memfalisitasi pasien dalam terapi okupasi.
b. Mengarahkan pasien yang kurang kooperatif.
E. METODE
1. Diskusi
2. Demonstrasi
3. Tanya Jawab
F. SETTING TEMPAT
v
Keterangan :
: Leader
: Co Leader
: Fasilitator
: Peserta
: Observer
: Dokumentasi
I. DAFTAR PESERTA
No. Nama Masalah Keperawatan
1 Ny. “Sm” Halusinasi
2 Tn. “K” Halusinasi Pendengaran
3 Tn. “Sr” Isolasi sosial
4 Tn. “St” Waham
5 Tn. “Sk” Isolasi Sosial
6 Ny. “Sl” Halusinasi
7 Ny. “Sy” Isolasi Sosial
8 Tn. “H” Isolasi Sosial
9 Tn “Stn” Isolasi Sosial
K. EVALUASI
1. Evaluasi Struktur
a. Persiapan pasien dan keluarga sudah terlaksana dengan baik berupa kontrak waktu,
topik, dan tempat.
b. Persiapan alat bantu dan media yang digunakan untuk terapi okupasi
2. Evaluasi Proses
a. Pasien mampu mengikuti terapi okupasi dengan baik sampai selesai
b. Pasien kooperatif dalam mengikuti terapi okupasi
c. Pasien dapat bekerjasama dengan perawat
d. Media dan alat bantu dapat digunakan dengan baik
e. Lingkungan mendukung dalam pelaksanaan terapi okupasi
3. Evaluasi Hasil
a. Evaluasi kognitif
Setelah mengikuti terapi okupasi, diharapkan pasien mampu :
1) Pasien mampu menjelaskan tujuan dari pelaksanaan okupasi terapi
2) Pasien mampu menjelaskan manfaat dari pelaksanaan terapi okupasi
b. Evaluasi Afektif
1) Pasien mampu mengungkapkan perasaan setelah terapi okupasi
2) Pasien dapat menyadari atau memahami tentang tujuan okupasi terapi
c. Evaluasi Psikomotor
1) Pasien dapat melaksanakan ketrampilan yang telah dilakukan.
Materi Okupasi Terapi
A. Pengertian
Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi
seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan. Terapi ini berfokus pada
pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan peningkatan
bertujuan untuk membentuk seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang
lain (Riyadi dan Purwanto, 2009).
Terapi Okupasi/terapi kerja adalah salah satu jenis terapi kesehatan yang merupakan
proses penyembuhan melalui aktivitas. Aktivitas yang dikerjakan tidak hanya sekedar
membuat sibuk pasien, melainkan aktivitas fungsional yang mengandung efek terapetik dan
bermanfaat bagi pasien. Artinya aktivitas yang langsung diaplikasikan dalam kehidupan..
Penekanan terapi ini adalah pada sensomotorik dan proses neurologi dengan cara
memanipulasi, memfasilitasi dan menginhibisi lingkungan, sehingga tercapai peningkatan,
perbaikan dan pemeliharaan kemampuan dan pekerjaan atau kegiatan digunakan sebgai terapi
serta mempunyai tujuan yang jelas.
Pekerjaan atau okupasi sejak dulu kala telah dikenal sebagai sesuatu untuk
mempertahankan hidup atau survival, dan juga diketahui sebagai sumber kesenangan. Dengan
bekerja, seseorang akan menggunakan otot-otot dan pikirannya, misalnya dengan melakukan
permainan (game), latihan gerak badan, kerajinan tangan dan lain-lain, dimana hal ini akan
mempengaruhi kesehatannya juga.
G. Pelaksanaan Terapi
Terapi okupasi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok tergantung dari kondisi
klien dan tujuan terapi.
1. Metode
a. Individual : dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum mampu berinteraksi
dengan kelompok dan klien lain yang sedang menjalani persiapan aktivitas.
b. Kelompok : klien dengan masalah sama, klien yang lama dan yang memiliki tujuan
kegiatan yang sama. Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil
yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang (Keliat dan Akemat, 2005). Jumlah
anggota kelompok kecil menurut Stuart dan Laraia (2001, dalam Keliat dan Akemat,
2005) adalah 7-10 orang, Rawlins, Williams, dan Beck (1993, dalam Keliat dan
Akemat, 2005) menyatakan jumlah anggota kelompok adalah 5-10 orang. Jika anggota
kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan
mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak
cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi. Johnson (dalam Yosep, 2009)
menyatakan terapi kelompok sebaiknya tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan
reaksi interpersonal yang terbaik terjadi pada kelompok dengan jumlah sebanyak itu.
Apabila keanggotaanya lebih dari 10, maka akan terlalu banyak tekanan yang dirasakan
oleh anggota sehingga anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas, dan seringkali
bertingkah laku irrasional.
2. Waktu
Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individual maupun kelompok dengan
frekuensi kegiatan per sesi 2-3 kali dalam seminggu. Setiap kegiatan dibagi menjadi 2
bagian, pertama: ½-1 jam yang terdiri dari tahap persiapan dan tahap orientasi, kedua: 1-
1/2 jam yang terdiri dari tahap kerja dan tahap terminasi (Riyadi dan Purwanto, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, B.A. dan Akemat. 2005. Keperawatan Jiwa: Terapi Akitivitas Kelompok. Jakarta: EGC.
Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sujono Riyadi dan Teguh Purwanto. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009.