Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Agama Islam di Indonesia: Kerajaan Perlak

Posted by Aulia Fitri | Wednesday, January 12


Wikipedia
Islam adalah agama di Indonesia yang paling banyak pemeluknya, bagaimana sih kok islam dapat masuk ke Indonesia? bagaimana kah
sejarah islam di Indonesia ini?

Agama islam masuk ke Indonesia secara besar besaran terjadi sekitar abad XIV dan XV, masuk dan berkembanganya islam di Indonesia ini
juga tidak lepas dari kerajaan-kerajaan islam di Indonesia, seperti kesultanan Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Pajang,
Mataram, Cirebon, Ternate dan lain-lain. agar lebih jelas dalam menyimak sejarah islam di Indonesia, bagian pertama ini mari kita simak
tentang sejarah kerajaan Islam Kesultanan Perlak
Kesultanan Perlak
Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 masehi, Khalifah Usman bin Affan mengirim delegasi ke Cina. delegasi tersebut bertugas
memperkenalkanagama islam. Waktu itu hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW. dalam perjalanan laut yang
memakan waktu empat tahun ini, para utusan usman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya tahun 674 Masehi, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat sumatra.

Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Agama Islam. Sejak saat itu, para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan,
abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah. lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk
agama islam, meskipun belum secara besar-besaran. Aceh daerah paling barat di kepulauan Nusantara adalah yang pertama kali menerima
ajaran agama islam. bahkan di acehlah kesultanan atau kerajaan islam pertama di Indonesia berdiri, yakni kesultanan Perlak (Memang ada
perbedaan pendapat, di versi lain menyebutkan kerajaan islam yang pertama adalah Samudra Pasai)
Kesultanan Perlak adalah kerajaan islam pertama di Nusantara, kerajaan ini berkuasa pada tahun 840 hingga 1292 Masehi di sekitar
wilayah Peureulak atau Perlak. Kini wilayah tersebut mask dalam wilayahAceh Timur, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Perlak Merupakan Suatu daerah penghasil kayu perlak, adalah kayu yang digunakan sebagai bahan dasar kapal. Posisi strategis dan hasil
alam yang melimpah membuat perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad VIII hingga XII. sehingga, perlak sering
disinggahi oleh Jutaan kapal dari arab, persia, gujarat, malaka, cina, serta dari seluruh kepulauan nusantara. karena singgahannya kapal-
kapal asing itulah masyarakat islam berkembang, melalui perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Pendiri kesultanan Perlak adalah sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Shah yang menganut aliran atau Mahzab Syiah. Ia merupakan
keturunan pendakwah arab dengan perempuan setempat. Kerajaan perlak didirikannya pada tanggal 1 Muharram 225 H atau 840 masehi,
saat kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu di Jawa masih berjaya. sebagai gebrakan mula-mula, sultan Alaiddin mengubah nama
ibu kota kerajaandari bandar Perlak menjadi Banda Khalifah.
Ketika pemerintahan Sultan Alaiddin Sayid maulana Abbas Shah, sultan ketiga, ulama-ulama bermazhab Sunni mulai masuk ke perlak dan
menebarkan pengaruh. setelah wafatnya sultan pada 363 H atau 913 masehi, terjadi ketegangan antara kaum Syiah dengan kaum Suni,
sehingga selama dua tahun berikutnya kesultanan Perlak vakum kekuasaan, tidak memiliki sultan.

Setelah masa dua tahun tersebut, kaum syiah memenangi persaingan, kemudian pada tahun 915 M atau 302 H, Sultan Alaiddin Sayid
Maulana Ali Mughat Syah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya, terjadi lagi ketegangan antara kaum Syiah dan kaum Suni,yang kali ini
membawa kaum suni pada keunggulan. Akibatnya, para sultan berikutnya diangkat dari golongan Sunni.
Tahun 956 masehi atau 362 H, setelah meninggalnya Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan berdaulat atau sultan ketujuh,
terjadi lagi ketegangan selama kurang lebih empat tahun antara golongan Syiah dan Sunni,yang diakhiri dengan perdamaian dan
pembagian kerajaan menjadi dua bagian ; yaitu Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Sayid Maulana Syah (986 – 988) dan
Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan berdaulat (986 – 1023).

Pada tahun 988, Kerajaan Sriwijaya Menyerang Perlak. Sultan Alaiddin Maulana Syah meninggal karena serangan itu. Namun demikian,
sebagai akibatnya, seluruh perlak justru bersatu kembali di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Berdaulat.
Sultan Makhdum melanjutkan perjuangan melawan kerajaan Budha Sri Wijaya hingga tahun 1006.

Para Sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti, yaitu Dinasti Sayid Maulana Abdul Azis Syah dan Dinasti Johan Berdaulat.
Di bawah ini merupakan nama-nama sultanyang memerintah kerajaan perlak:
Berita dari marcopolo menyebutkan, pada saat persinggahannya di Pasai pada tahun 692 H atau 1292 M, telah banyak ulama arab yang
menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Batuttah, Pengembara Muslim dari Maghribi (sekarang maroko). Ketika Singgah di aceh
pada tahun 746 H atau 1345 M, ibnu Batuttah menuliskan bahwa di Perlak dan Pasai telah tersebar Mazhab Syafi’i.

Pada awal abad ke-13 di Ujung barat Sumatra berdiri kerajaan baru di bawah Sultan Malik Al-Saleh, bernama Samudra Pasai. Sementara di
malaka, seorang pangeran asal Sri Wijaya membangun kerajaan baru bernama Malaka. Artinya situasi politik saat itu sedang memanas.
Untuk itu, Sultan Makhdum Alaiddin mallik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (1230 – 1267) sebagai sultan ke 17 menjalankan
politik persahabatan. Jalanyang ia tempuh adalah dengan menikahkan dua orang putrinya dengan para penguasa negeri tetangga. Putri
ratna Kamala dinikahkannya dengan raja kerajaan Malaka yaitu Sultan Muhammad Syah Parameswara, sementara itu ganggang
dinikahkan dengan raja kerajaan Samudra Pasai, malik Al-Saleh.
Meski telah menjalankan politik damai dengan mengikat persaudaraan, ketegangan politik itu rupanya tetap saja mengancam kedaulatan
kesultanan Perlak. Perlak goyah, Sultan makdum Aliddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267 – 1292) menjadi sultanyang terakhir.
Setelah ia meninggal, perlak disatukan dengan kerajaan Samudra Pasai di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al-Zahir, putra
Al-Saleh.

Awal Kehancuran Kerajaan Aceh Darussalam

Posted by Aulia Fitri | Monday, May 24

MASA Pemerintahan Sulthan Alaiddin Mahmud Syah, Kerajaan Belanda mengultimatum


Kerajaan Aceh tertanggal 26 maret 1873 dengan diikuti pengiriman tentaranya untuk
menyerang Kerajaan Aceh, sehingga pertempuran dua (2) Negara pun tak bisa dielakkan.
Kerajaan Aceh pun dengan segala upaya mempertahankan kedaulatannya, baik melalui
pertahanan maupun dengan cara diplomasi.

Dengan pertahanan, Prajurit Kerajaan Aceh mampu menewaskan Panglima perang


tentara Belanda yakni : Jenderal Mayor J.H.R Kohler. Di bidang diplomasi Kerajaan
Aceh pun mengirim utusan ke Kerajaan Ottoman Turki Usmani serta mengadakan
diplomasi ke Amerika Serikat melalui konsulnya di Singapura.

Setelah gagal dalam Invansi pertama, Kerajaan Belanda menyiapkan Invansi kedua untuk
membumi-hanguskan Kerajaan Aceh agar takluk di bawah pemerintahan Ratu Belanda.
Rakyat Aceh yang beragama Islam dengan semangat Jihad fi sabilillah tetap
mempertahankan Kedaulatan Negaranya Dalam invansi kedua ini, pasukan Belanda
mampu merebut “Dalam” yakni Istana Darud-donya, akhirnya Sulthan Alaiddin Mahmud
Syah terpaksa menyingkir dari dalam.

Dengan keyakinan tinggi untuk tetap berdaulat, Sulthan Aceh dengan ilmu
kenegaraannya yang sudah diakui dunia memindahkan pusat pemerintahan (Ibu kota) ke
Indra Puri hingga pada tahun 1874 beliau meninggal di Samahani karena wabah kolera
yang sengaja didatangkan oleh tentara Belanda dan dimakamkan di Samahani tepatnya di
Desa Tumbo Baro Kec. Kuta Malaka Kab. Aceh Besar.

Setelah baginda Sulthan Alaiddin Mahmud Syah wafat, Para pembesar Kerajaan Aceh
mengangkat Tuanku Muhammad Daud pengganti beliau, sehingga Tuanku Muhammad
Daud bergelar Sulthan Alaiddin Muhammad daud Syah. Karena Sulthan Alaiddin
Muhammad Daud Syah masih sangat muda, maka ditetapkan Tuanku Hasyim Banta
Muda sebagai pemangku sulthan.

Untuk menampakkan masih adanya Pemerintahan yang sah di Kerajaan Aceh kepada
Dunia Internasional, maka sesuai dengan hukum adat Aceh ditabalkanlah Tuanku
Muhammad Daud menjadi sulthan Aceh di Mesjid Indra Puri pada tahun 1878 dengan
pesta rakyat yang sangat meriah. Panglima perang Belanda di Aceh “Van Swieten”
mendengar adanya penambalan sulthan Aceh sangat marah, karena keinginan
Pemerintahan Belanda untuk menggantikan posisi Sulthan Alaiddin Mahmud Syah yang
telah meninggal gagal total.

Dengan ditabalnya Tuanku Muhammad Daud sebagai sulthan Aceh, maka beliau berhak
menyandang gelar Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah. Di bawah pemerintahan
beliau pun Van Swieten denga gencar menyerbu pusat pemerintahan (Ibu Kota), sehingga
Ibu Kota pun terpaksa dipindahkan hingga beberapa kali hingga sampai ke Keumala
Dalam.

Di Keumala Dalam, Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah mengangkat Tgk. Chik
Muhammad Saman di Tiro sebagai Panglima tertinggi fi sabilillah Kerajaan Aceh untuk
mengusir Pasukan Kerajaan Belanda hingga Tgk. Muhammad Saman meninggal karena
diracuni oleh seorang janda yang telah diupah oleh tentara Belanda tahun 1891 sehingga
untuk menggantikannya diangkatlah anaknya Tgk. Muhammad Amin (makamnya ada di
Tiro) dengan gelar Tgk. Chik Muhammad Amin di Tiro sebagai pemimpin pasukan fi
sabilillah dengan persetujuan Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah.

Dengan taktik dan siasat busuk yang dilakukan oleh tentara Belanda dengan menangkap
anak sulthan Aceh dan istrinya yakni : Tuanku Raja Ibrahim dan 2 istrinya Teungku
Putroe Gambo Gadeng dan Pocut Morong pada tahun 1902. Sehingga denga adanya
tekanan dari pihak Belanda, Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah terpaksa menyerah
setelah bermusyawarah dengan para pembesar Kerajaan Aceh setelah mengamanahkan
stempel “Tjap sikeureung” kepada Tgk Chik di Tiro yang saat itu disandang oleh Tgk.
Chik Muhammad Amin di Tiro. Ini jelas terbukti bahwa ketika Sulthan menanda-tangani
surat penyerahan tanpa tanpa dibubuhi stempel “Tjap sikeureung” yang merupakan
stempel resmi kerajaan Aceh.

Walaupun Sulthan telah menyerah, namun pihak pembesar Kerajaan lainnya bersama
dengan Tgk. Chik Muhammad Amin di Tiro tetap mengadakan perlawanan terhadap
penjajahan Belanda terhadap Negara Aceh. Sehingga Sulthan Alaiddin Muahammad
Daud Syah diasingkan ke Batavia. Lagi-lagi dengan tekad yang tinggi untuk
mengembalikan kedaulatan Kerajaan Aceh kembali seperti semula, Sulthan Alaiddin
Muhammad Daud Syah mengirim surat kepada kepada Kaisar Jepang ketika masih
berada di KUTA RADJA. Ini terbukti ketika tentara Belanda menggeledah rumah
kediaman Sulthan, sehingga beliau diasingkan lagi ke Ambon.

Lagi-lagi Sulthan membuat onar dengan menggerakkan para para nelayan dan pengrajin
cengkeh di Ambon yang keturunan Bugis (Sulthan Aceh sendiri keturunan Bugis) untuk
mengadakan perlawanan. Karena kekhawatiran dari pihak Belanda, sehingga Sulthan
ALaiddin Muhammad Daud Syah dipindahkan lagi ke Batavia hingga beliau meninggal
tahun 1939 dan dimakamkan TPU (tempat pemakaman umum) Rawamangun-Jakarta
Timur.

Setelah beliau wafat, kekuatan politik yang tidak menentu karena adanya orang
berpendidikan luar yang telah terpengaruh dengan sistem Kolonial dan mempunyai
kekuatan karena memegang Jabatan sebagai Ketua Umum PUSA (Persatuan Ulama
Seluruh Aceh), dengan serta merta menggabungkan ACEH ke dalam NKRI. Karena suatu
jabatan yang dijanjikan yakni Gubernur Militer, ketika Kebijakan NKRI yang
menggabungkan Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Timur (Ibukotanya Medan). Beliau
(sang pengkhianat Negara/Kerajaan Aceh) mengangkat kembali senjata dengan dalih
Soekarno tak menepati janji, sehingga terjadi DI/TII Aceh karena kerakusan mereka
terhadap jabatan.

Di lain pihak, yakni Tuanku Raja Ibrahim (anak Sulthan Alaiddin Muhammad Daud
Syah) tidak meneriakkan lagi akan hak waris tahta Negara Aceh walaupun harus hidup
menderita.

~Selamatlah mereka yang tidak mengejar kekuasaan, karena kekuasaan hanya membawa
petaka
Sumber: Pusat Dokumen & Informasi Aceh (dengan perubahan penulis)

Anda mungkin juga menyukai