Anda di halaman 1dari 117

MUSIK PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA DI

KOTA MEDAN: KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN

SKRIPSI SARJANA

O
L
E
H

NAMA: ANITA ROMAULI PRISKILA


NIM: 090707026

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2015
MUSIK PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA DI

KOTA MEDAN: KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN

SKRIPSI SARJANA

O
L
E
H

NAMA: ANITA ROMAULI PRISKILA


NIM: 090707026

Disetujui
Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Drs. Torang Naiborhu, M. Hum


NIP : 196512211991031001 NIP : 19630814199001004

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2015
DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN

Medan, 10 Juli 2015

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D


NIP. 196512211991031001

iii
PENGESAHAN

Diterima oleh:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk
melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang
Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara Medan.

Medan
Hari: Jumat
Tanggal: 10 Juli 2015

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU


DEKAN,

Dr. Syahron Lubis, M.Si.,Ph.D.


NIP. 195110131976031001

PANITIA UJIAN

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D ( )

2. Torang Naiborhu M.Hum ( )

3. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D ( )

4. Dra. Herestina Dewi M.Pd ( )

5. Fadlin, M.A ( )

iv
ABSTRAK

Medan merupakan ibukota dari sumatera utara, yang mana di dalamnya


terdapat manusia yang memiliki beragam kebudayaan. Salah satunya suku Batak
Toba yang ada di kota medan. Upacara adat perkawinan di kota medan telah
mengalami perubahan dari yang penulis ketahui melalui buku maupun media
lainnya, dahulunya gondang sabangunan merupakan musik pengiring upacara adat
perkawinan suku batak toba. Modernisasi yang terdapat di kota medan menjadi
salah satu penyebab perubahan yang terjadi dalam musik pada upacara adat
perkawinan batak toba, khususnya di kota Medan. Masuknya alat musik modern
kedalam musik perkawinan menjadi kesatuan yang kompleks dengan alat musik
tradisi pada musik perkawinan adat Batak Toba, tanpa menghilangkan nilai
tradisinya. Melalui pengamatan awal penulis, pada setiap upacara perkawinan
musik yang digunakan selalu berbeda-bed. Ada yang menggunakan musik tiup
kombinasi dengan keyboard, ada juga yang menggunakan uning-uningan sebagai
musik perkawinan, tergantung kepada si pembuat pesta.
Musik perkawinan pada upacara adat Batak Toba memiliki dua peranan,
yaitu pernanan vertikal dan peranan horizontal. Peran vertikal berarti
penghormatan kepada Sang Pencipta, peran horizontal berarti penghormatan
sesama manusia (secara khusus penghormatan dalam unsur-unsur dalihan na tolu).
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin mengangkat judul: “Musik Pada
Upacara Adat Perkawinan Batak Toba di Kota Medan: Kajian Fungsi,
Kontinuitas, dan Perubahan.”

v
KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa telah

melimpahkan Berkat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan judul “Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba di

Kota Medan. Kajian Fungsi, Kontinuitas, dan Perubahan”. Adapun tujuan skripsi

ini adalah sebagai kelengkapan tugas dalam memenuhi salah satu persyaratan

guna memperoleh gelar Sarjana pada jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara.

Selama dalam penyusunan skripsi ini ,penulis telah banyak menerima

bantuan dari berbagai pihak dan sebagai rasa syukur, penulis menyampaikan

ucapan terimakasih kepada:

1. Bapak Syaron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara yang telah banyak membantu di kantor jurusan, serta kepada

seluruh staf pengajar jurusan etnomusikologi penulis mengucapkan terima

kasih atas bimbingan dan bantuan yang diberikan, sehingga memperluas

wawasan penulis dalam pengetahuan selama mengikuti perkuliahan.

2. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. selaku ketua jurusan

Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara sekaligus

Dosen Pembimbing dalam menyelesaikan tugas akhir dan Ibu Dra. Heristina

Dewi, M.PD selaku sekretaris jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya

yang telah memberikan dukungan dan bantuan administrasi sertaregi strasi

perkuliahan dalam menyelesaikan tugas akhir penulis.

vi
3. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum dan Bapak Drs.Muhammad Takkari,

M.Hum, Ph.D selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar dalam membantu

penulis dan selalu membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

4. Orang tua penulis tercinta, Kanur Purba dan Risdawati Tindaon yang penulis

kasihi dan sangat berjasa dalam kehidupan penulis atas setiap bimbingan dan

didikan yang diberikan mama dan bapak. Terima kasih untuk cinta yang

diberikan, untuk semangat dan doa yang tiada henti diberikan hingga sampai

terselesaikannya tulisan ini dan selalu sabar membimbing penulis dalam

menjalani kehidupan ini. Tak akan terbalaskan kebaikan mama dan bapa.

5. Adik kandung penulis tercinta, L. Maria Natalia Purba, Riama Arima Gabe

Purba, Agustinus Pardamean Purba, Albert Roberto Purba, dan Christin

Novelia Nauli Purba yang menjadi saudara dalam suka dan duka dan yang

selalu memberikan dukungan doa, dan juga Hendra Sinaga yang telah

mengingatkan dan memberikan semangat dalam proses penyusunan tugas

akhir.

6. Keluarga Besar Gereja Pentakosta Indonesia sidang Padang Bulan, baik para

Pendeta, Guru Injil, Sintua dan jemaat yang menjadi “rumah” selama penulis

berada di Medan, terima kasih untuk semangat, bimbingan rohani, dan doa

yang hidup yang diberikan kepada penulis.

7. Rekan-rekan pemuda/i GPI sidang Padang Bulan. Terima kasih untuk

persaudaraan yang erat dan telah menjadi teman seiman penulis dalam berbagi

suka dan duka selama di Medan. Terima kasih abang, kakak, dan adik-adikku

untuk setiap bantuan, semangat dan doa yang kalian berikan. Terkhusus terima

kasih untuk keluarga Kak Stefani Hutabalian, SKM, Tulang B. Anwar

vii
Manullang, S. Ked, yang tak henti-hentinya memberikan motivasi dan

semangat untuk mengerjakan tugas akhir ini. Terima kasih juga untuk

Evalentina Nababan, Obet P. Tobing, Esti Nababan, Samuel Malau, Jelita

Butar-butar yang telah menjadi saudara kandung akhir-akhir ini. Terima kasih

untuk kalian semua yang telah menerima penulis menjadi bagian dalam hidup

kalian, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

8. Keluarga Besar Paduan Suara Mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang

menjadi keluarga dan wadah di Kampus dalam mengikuti paduan suara.

9. Martin Tambunan, S.sn, Perawati Simbolon, Nerly C. Samosir, dan lain-lain

yang telah memberikan masukan dan semangat selama proses penyelesaian

tugas akhir.

10. Rekan-rekan Etnomusikologi 2009.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis masih banyak terdapat kekurangan dan

masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis

menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca hingga pada

akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca

khususnya mahasiswa Jurusan Etnomusikologi.

Medan, Juli 2015

ANITA ROMAULI P
NIM. 090707026

viii
DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Pokok Permasalahan ....................................................................... 16
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 17
1.3.1 Tujuan penelitian ................................................................... 17
1.3.2 Manfaat penelitian ................................................................. 17
1.4 Konsep dan Teori ............................................................................ 18
1.4.1 Konsep .................................................................................. 18
1.4.2 Teori ..................................................................................... 21
1.5 Metode Penelitian .......................................................................... 24
1.5.1 Studi kepustakaan .................................................................. 27
1.5.2 Penelitian lapangan ................................................................ 27
1.5.3 Penelusuran data online ......................................................... 28
1.5.4 Kerja laboratorium ................................................................. 28
1.5.5 Lokasi penelitian dan informan .............................................. 29
BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN ....................... 31
2.1 Geografis KotaMedan .................................................................... 31
2.2 Konsep Adat .................................................................................. 32
2.3 Religi atau Kepercayaan ................................................................. 36
2.4 Konsep Kemasyarakatan ................................................................ 40
2.5 Konsep Kekerabatan ...................................................................... 41
2.6 Persebaran Masyarakat Batak Toba ............................................... 45
2.7 Budaya Musikal Batak Toba .......................................................... 50
2.7.1 Musik vokal ................................................................................ 50
2.7.2 Musik pada upacara perkawinan ................................................. 53
2.7.2.1 Ensambel gondang hasapi ........................................................ 54
2.7.2.2 Ensambel gondang sabangunan ................................................ 56
2.7.2.3 Ensambel musik tiup ................................................................ 58
BAB III KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN MUSIK
PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA .................. 60
3.1 Perkawinan Pada Masyarakaat Batak Toba ........................................ 60
3.1.1 Tahapan upacara perkawinan .................................................... 61
3.1.1.1 Martumpol ................................................................... 61
3.1.1.2 Proses pemberkatan pernikahan .................................... 62
3.1.1.2.1 waktu ............................................................. 62
3.1.1.2.2 tempat ............................................................ 62
3.1.1.2.3 pemimpin upacara .......................................... 62
3.1.1.2.4 jemaat ............................................................ 62
3.1.1.3 Proses upacara adat ...................................................... 63
3.1.1.3.1 waktu ............................................................. 63
3.1.1.3.2 tempat ............................................................ 63
3.1.1.3.3 pemimpin upacara .......................................... 63
3.1.1.3.4 peserta upacara ............................................... 64

ix
3.1.2 Tingkatan upacara perkawinan ................................................. 64
3.1.3 Syarat-syarat Perkawinan ......................................................... 65
3.2 Sejarah Musik Perkawinan Batak Toba .............................................. 65
3.2.1 Masa pra-kristen ....................................................................... 65
3.2.2 Masa kristen ............................................................................. 66
3.2.3 Masa sekarang .......................................................................... 66
3.3 Fungsi Musik Pada Upacara Perkawinan Adat Batak Toba ................. 67
3.3.1 Fungsi pengungkapan emosional .............................................. 67
3.3.2 Fungsi penghayatan estetis ....................................................... 68
3.3.3 Fungsi hiburan .......................................................................... 70
3.3.4 Fungsi komunikasi ................................................................... 71
3.3.5 Fungsi perlambangan ............................................................... 72
3.3.6 Fungsi reaksi jasmani ............................................................... 73
3.4 Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba Sebagai Kajian
Kontinuitas dan Perubahan ................................................................ 74
3.4.1 Kajian perubahan musik ........................................................... 74
3.4.2 Kajian kontinuitas musik .......................................................... 76
BAB IV TRANSKRIP DAN ANALISIS MELODI .......................................... 78
4.1 Transkripsi ......................................................................................... 78
4.2 Analisis .............................................................................................. 81
4.3 Pemilihan Sampel Lagu ..................................................................... 84
4.4 Model Notasi ..................................................................................... 85
4.6 Analisis Musik Pada Saat Penyerahan Ulos (mangulosi) .................... 87
4.6.1 Analisis tangga nada ................................................................. 90
4.6.2 wilayah nada ............................................................................ 90
4.6.3 Nada dasar ................................................................................ 91
4.6.4 Jumlah nada ............................................................................. 91
4.6.5 Interval ..................................................................................... 92
4.6.6 Formula melodi ........................................................................ 94
4.6.6.1 Analisis bentuk, frasa, dan motif ................................... 95
4.6.7 Kadens ..................................................................................... 97
4.6.8 Kantur ...................................................................................... 98
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 101
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 101
5.2 Saran ................................................................................................ 102
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 104
DAFTAR WEBSITE ...................................................................................... 107
DATA INFORMAN ....................................................................................... 108
LAMPIRAN ................................................................................................... 109

x
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap masyarakat di dunia pasti memiliki kebudayaan1 yang berbeda dari

masyarakat lainnya. Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks yang

mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan

kemampuan-kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai

anggota masyarakat. Demikian halnya suku Batak Toba, meskipun merupakan

bagian dari enam 2 sub suku Batak. Suku Batak Toba tentunya memiliki kebudayaan

sendiri yang membedakannya dari lima sub suku Batak lainnya.

Medan merupakan ibukota dari Sumatera Utara, yang mana di dalamnya

terdapat manusia yang memiliki beragam kebudayaan. Masyarakat di Medan terdiri

dari beberapa suku, ada suku Batak, Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya.

Terlepas dari keibukotaannya, masyarakat di Medan juga masih melakukan tradisi

adat untuk setiap aktivitas kebudayaan, salah satunya masyarakat suku Batak Toba

yang terdapat di kota Medan.

Masyarakat Batak Toba memiliki adat istiadat yang diwariskan oleh nenek

moyangya dan turun-temurun diwariskan melalui tradisi oral (oral tradition). Di

sini adat istiadat ialah berbagai aktivitas sosial budaya termasuk upacara-upacara

kebudayaan yang disepakati menjadi tradisi dan berlaku secara umum di

1
Kebudayaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan hasil kegiatan
atau penciptaan batin akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat-istiadat, dan
sebagainya.
2
Enam sub suku batak yaitu: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak
Mandailing, Batak Angkola, dan Batak Pakpak.

1
masyarakat. Sementara tradisi adalah segala sesuatu seperti adat, kepercayaan,

kebiasaan, upacara dan sebagainya yang secara turun temurun diwariskan

Menurut Aritonang (1988:47), seorang teolog Kristen, adat bagi orang

Batak Toba bukanlah sekedar kebiasaan atau tata tertib sosial, melainkan sesuatu

yang mencakupi seluruh dimensi kehidupan: jasmani dan rohani, masa kini dan

masa depan, hubungan antara si aku (sebagai mikrokosmos) dengan seluruh jagad

raya (makrokosmos). Dengan kata lain, adat bagi orang Batak Toba adalah sesuatu

yang bersifat totalitas (Aritonang 1988:48), yang dapat diartikan sebagai pandangan

hidup orang Batak Toba. Adat bermanfaat untuk mencegah bencana, menjaga

keharmonisan dan kesuburan tanah, memastikan akan adanya kesinambungan

kebutuhan penduduk desa, serta menjaga keutuhan kekerabatan.

Umumnya di dalam setiap pelaksanaan upacara adat, masyarakat Batak

Toba selalu menggunakan musik tradisional sebagai media disetiap pelaksanaan

upacara adat. Salah satu upacara/kegiatan adat yang menjadi tradisi turun temurun

dan juga merupakan kegiatan yang dianggap sakral bagi masyarakat Batak Toba

ialah upacara perkawinan. Perkawinan adalah ikatan sosial atau perjanjian hukum

antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu

pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi.

Perkawinan dalam masyarakat Batak Toba bukan hanya menjadi urusan ayah, ibu,

dari kedua calon pengantin, tetapi merpakan menjadi urusan semua anggota

keluargayang menyangkut dalihan natolu. Peran-peran dalam upacara perkawinan

adat Batak Toba selalau terkait dalam tiga kedudukan utama dalam adat (dalihan

2
natolu)3 tersebut. Dalam masyarakat Batak Toba hingga sekarang ini, adat dalihan

na tolu masih tetap dihargai sebagai asas kehidupan. Asas kehidupan itu tergambar

pada falsafah dalihan na tolu, yaitu somba marhula-hula (hormat kepada pihak

marga orangtua dari istri [mertua]), elek marboru (sayang kepada pihak marga

daripada suami anak perempuan [menantu]), manat mardongan tubu (berhati-hati

kepada pihak marga daripada suami [lelaki bersaudara]).

Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari musik-musik yang

mengiringi proses upacara tersebut berlangsung, yang mana alat musik yang

digunakan memiliki peran dalam setiap rangkaian kegiatan upacara adat maka

dalam setiap upacara adat dan ritual keagamaan di masyarakat Batak Toba tentu

tidak terlepas dari adanya aktivitas musikal. Aktivitas musikal tersebut memiliki

peran dan fungsi dalam setiap bagian tahapan-tahapan upacara yang dilaksanakan.

Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba dapat dikatakan sebagai kegiatan

yang dianggap sakral karena ada hubungannya dengan kepercayaan masyarakat

kepada Tuhan.

Pada masyarakat Batak Toba terdapat dua jenis ensambel musik yang sangat

penting, yakni gondang hasapi dan gondang sabangunan. Kedua ensambel musik

ini selalu menjadi bagian dari aktivitas upacara ritual dan adat bagi masyarakat

Batak Toba dalam mengiringi musik gondang, seperti gondang mula-mula,

gondang somba-somba, gondang elek-elek, gondang liat-liat, dan gondang

hasahatan. Dahulunya, musik yang digunakan untuk upacara perkawinan Batak

Toba ialah gondang sabangunan. Gondang sabangunan lazimnya dimainkan di

3
Dalihan natolu adalah falsafah batak yaitu: hulahula, boru, dongan tubu.

3
halaman rumah, baik menggunakan atau pun tanpa panggung. Selain itu gondang

sabangunan juga diletakan di balkon rumah adat yang ada di bagian luar.

Namun di Kota Medan khususnya pada upacara perkawinan, musik yang

digunakan pada umumnya mereka menyebutnya berbeda-beda4, ada yang

menyebutnya sebagai gondang, musik tiup, ataupun uning-uningan. Dalam bahasa

Batak Toba, kata gondang mengandung banyak pengertian, di antaranya adalah

instrumen musikal, ensambel musik, judul sebuah komposisi musik, judul kolektif

dari beberapa komposisi musik (repertoar)5, tempo pada komposisi suatu rangkaian

upacara, menunjukkan suatu kelompok misalnya kelompok kekerabatan atau pun

tingkat usia, dan bisa juga berarti sebuah doa.

Musik dikebudayaan Batak Toba biasanya digunakan untuk upacara ritual

adat yang biasanya menyangkut tentang kepercayaan suku Batak Toba kepada

Tuhan Yang Maha Esa, yang menyebabkan musik perkawinan pada upacara adat

perkawinan Batak Toba mempunyai dua peranan yaitu peranan vertikal dan

peranan horizontal. Peranan vertikal berarti penghormatan kepada sang pencipta,

peranan horizontal berarti penghormatan sesama manusia (secara khusus

penghormatan dalam unsur-unsur dalihan na tolu).

Musik pada upacara perkawinan juga memiliki peran dan fungsi dalam

setiap rangkaian upacara adat yang dilaksanakan, mulai dari marhusip, upacar

pemberkatan di gereja, dan sampai pada tahap upacara adat dimana musik itu juga

memiliki fungsi seperti dalam teori Allan P. Meriam bahwa“ethnomusicology as

4
Tergantung kepada konsumen yang melaksanakan upacara perkawinan tersebut
menginginkan jenis musik seperti apa yang akan dipakai pada upacara adat yang mereka laksanakan.
Banyaknya kasus yang terjadi ketika sebuah gondang yang dikenal dengan judul A dapat disebut
dengan judul B di tempat lain.
5
Repertoar ialah komposisi musik yang siap untuk dipertunjukkan.

4
the study of music culture” sehingga dapat disarikan bahwa etnomusikologi adalah

lahan kajian studi tentang musik milik kebudayaan suku tertentu baik dari aspek

fisik atau materi musiknya maupun konteks budaya masyarakat yang memiliki

musik itu sendiri. Dimana dalam hal ini musik dikatakan sebagai fungsi, yaitu

dalam hal menyampaikan permohonan kepada Tuhan. Permohonan kepada Tuhan

ini merupakan penyampaian sebuah doa/harapan yang baik kepada si pengantin.

Salah satu penyebab perubahan musik dalam upacara adat perkawinan

masyarakat Batak Toba ialah modernisasi. Modernisasi suatu masyarakat

merupakan suatu poses transformasi yang meliputi segala aspek kehidupan. Dilihat

dari segi kebudayaan, modernisasi dapat diartikan sebagai proses pergeseran sikap

dan mentalitas sebagian warga masyarakat yang disebabkan oleh adanya kebutuhan

untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman masa kini. Perkembangan zaman

mempengaruhi terjadinya perubahan dalam setiap bagian upacara adat perkawinan

masyarakat Batak Toba.

Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat adat yang secara berkelanjutan

mengalami perubahan diberbagai aspek kehidupan. Perubahan sosial mendorong

perubahan produk kebudayaannya yang tidak saja dalam lingkup konsep atau

gagasan tetapi juga dalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit dan visual. Dampak

perubahan sosial ini mengakibatkan adanya nilai-nilai tradisi yang tetap berlanjut

dan bertambah.

Zaman yang semakin maju dan berkembang dapat mempengaruhi

keberlanjutan musik tradisi menjadi semakin berkembang atau semakin

5
menghilang, seperti yang terjadi pada masyarakat Batak Toba yang ada di Kota

Medan.

Alat musik yang di gunakan pada saat upacara pernikahan telah mengalami

perkembangan yang pesat tanpa menghilangkan nilai tradisinya, masuknya alat

musik modern kedalam musik penikahan menjadi kesatuan yang kompleks dengan

alat musik tradisi pada musik perkawinan adat Batak Toba di kota Medan.

Berhubungan dengan hal tersebut, khususnya pada masyarakat Batak Toba di kota

Medan pelaksanaan upacara adat seperti upacara perkawinan, dalam pengamatan

sementara penulis pada peristiwa budaya, musik sebagai kelengkapan adat

perkawinan penyajiannya telah menggabungkan alat musik barat dengan alat musik

tradisional. Alat musik barat yang digunakan dalam upacara adat perkawinan

tersebut pada umumnya adalah alat musik keyboard, saxophone, ataupun terompet.

Keyboard merupakan salah satu alat musik yang multifungsi, dimana praktisi atau

pemain keyboard tersebut menggunakan fitur-fitur yang ada didalamnya untuk

memprogram atau menciptakan irama musik yang dibutuhkan, demikian juga

dengan saxophone ataupun terompet. Alat musik keyboard dan saxophone ataupun

terompet tersebut tidak dimainkan bersama alat musik modern saja, akan tetapi

digabungkan dengan alat musik tradisional, yaitu taganing, sulim, sarune, maupun

hesek.

Melalui pengamatan penulis juga pada setiap upacara adat perkawinan,

musik yang digunakan selalu berbeda-beda. Ada yang menggunakan sulim,

keyboard, taganing, ada juga yang menggunakan musik uning-uningan. Namun

6
semuanya itu, musik perkawinan di kota medan telah mengalami percampuran

dengan alat musik modern.

Muisk tiup atau musik uning-uningan pada upacara adat perkawinan Batak

Toba di kota medan disajikan untuk mengiringi upacara adat. Upacara adat yang

dilaksanakan pada pesta perkawinan adalah manortor, sehingga penyajian alat

musik sangat berperan sebagai pengiring tor-tor atau sebagai media menyampaikan

pesan antar tamu adat. Ada empat judul gondang yang disajikan didalam

mengiringi upacara adat yang dilaksanakan, yaitu gondang mula-mula, gondang

somba-somba, gondang elek-elek dan gondang hasahatan. Makna dari ke empat

gondang tersebut adalah sebagai sarana untuk menyembah hula-hula, mangelek

boru, dan dipercayai dapat memberi kemakmuran bagi yang melaksanakan upacara

adat.

Dengan demikian, penulis lebih tertarik untuk mengakaji lebih dalam lagi

mengenai perubahan dan kontinuitas yang terjadi dalam musik perkawinan di Kota

Medan dan fungsi dari musik perkawinan itu sendiri. Maka dari itu, berdasarkan

latar belakang tersebut penulis mengangkat penelitian ini menjadi sebuah tulisan

ilmiah dalam bentuk skripsi dengan memberi judul: “Musik Pada Upacara Adat

Perkawinan Batak Toba di Kota Medan: Kajian Fungsi, Kontinuitas, dan

Perubahan.”

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka tulisan ini akan

membahas pokok permasalahan sebagai berikut:

7
1. Bagaimana peran dan fungsi musik pada upacara adat perkawinan Batak Toba?

2. Bagaimana perubahan dan kontinuitas musik pada adat perkawinan Batak

Toba?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan peran dan fungsi musik pada pada upacara adat

perkawinan Batak Toba.

2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis hal-hal yang melatarbelakangi

terjadinya perubahan dan kontinuitas musik pada adat perkawinan Batak Toba.

1.3.2 Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dan ingin dicapai dalam tulisan ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan dapat member manfaat bagi pembaca, baik yang

berada dalam disiplin etnomusikologi maupun di luar etnomusikologi,

khususnya bagi penulis dalam menambah wawasan mengenai budaya Batak

Toba.

2. Sebagai dokumentasi dan sarana literature tentang kontinuitas dan perubahan

musikpada upacara adat perkawinan Batak Toba.

3. Sebagai dokumentasi tambahan bagi Departemen Etnomusikologi mengenai

fenomena budaya Batak Toba.

8
4. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana di Depertemen

Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep adalah kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang

perlu dirumuskan. Konsep juga merupakan rancangan ide atau pengertian yang

diabstrakkan dari peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, 1991:431). Untuk memperjelas konsep yang akan penulis gunakan dalam

penulisan skripsi ini, maka sebaiknya perlu dijelaskan 3 (tiga) hal pokok yang

menjadi topik utama dalam pembahasan yakni mengenai kajian fungsi, kontinuitas,

dan perubahan.

Kajian merupakan kata jadian yang terbentuk dari kata “kaji” yang berarti

mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan

mendalami.Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian kata

“kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan

dengan teliti (Badudu, 1982: 132).

Kontinuitas memiliki arti keberlanjutan, keberlangsungan,

dankesinambungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988).

Kontinuitas yang dimaksud di sini adalah adanya hal-hal yang masih tetap eksis,

dipertahankan, dan masih berlanjut hingga pada saat ini.Sebagai bentuk kontinuitas

dapat dilihat dari keberlanjutan alat musik tradisional yang masih dipakai pada

9
upacara perkawinan. Dimana dengan adanya fenomena musik, konsep/ide musik

tersebut masih terus berlanjut namun telah terjadi variasi.

Perubahan dalam suatu kebudayaan wajar terjadi, karena tidak ada

kebudayaan yang tidak berubah melihat dari zaman yang dari tahun ketahun

semakin berkembang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata

perubahan berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam bahasa

Inggris perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau sosial change,

artinya perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu

masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok

manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83).

Perubahan merupakan suatu proses dimana suatu keadaan berubah dan bisa

juga dikatakan peralihan dari suatu masa/era (Abdulsyani, 1995:83). Perubahan

yang dimaksud dalam konsep ini adalah suatu perubahan (peralihan) yang terjadi

pada komposisi yang terjadi pada instrument musik tradisional Batak Toba yang

member perubahan terhadap musiknya khususnya alat musik tradisional yang

digunakan pada upacara perkawinan Batak Toba. Dalam hal ini penulis bermaksud

melihat perubahan yang terjadi merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh

para seniman dan kebutuhan masyarakat akan berkembangnya musik

tradisionalnya. Kontinuitas dan perubahan ini akan dibatasi pada era sebelum dan

sesudahnya musik perkawinan mengalami perubahan.

Gondang dalam masyarakat Batak Toba artinya menunjuk seperangkat alat

musik (instrumen) tradisional yang dipergunakan pada saat menari (manortor)

dalam suatu upacara. Tetapi istilah gondang juga dipakai untuk komposisi lagu,

10
serta jenis tarian/tortor yang dibawakan kerabat6 dalam upacara. Dengan demikian

gondang menunjuk pada pengertian:

1. instrumen musik,

2. komposisi dan repertoar (untaian komposisi lagu),

3. jenis tortor7 kerabat.

Dalam hal ini perubahan yang terjadi pada musik yang digunakan pada upacara

perkawinan Batak Toba dimana musik yang digunakan telah mengalami perubahan,

bahwa yang awalnya musik pada upacara perkawinann Batak Toba menggunakan

gondang sabangunan yaitu taganing, sarune, gordang, ogung ihutan, ogung oloan,

ogung panggora, ogung doal dan hesek, arti kata lain masih menggunakan alat

musik tradisi Batak Toba. Sedangkan pada masa kini gondang sabangunan tersebut

telah mengalami perkembangan yaitu dengan bertambahnya alat musik modern

seperti keyboard, saxophone, atau terompet. Jadi ada keberlanjutan dan perubahan

yang terjadi itu ada pada musik upacara perkawinan masyarakat Batak Toba.

Bagi masyarakat Batak Toba, khususnya yang berada di kota medan,

hadirnya keyboard, saxophone, ataupun terompet menjadi suatu keuntungan dalam

pelaksanaan upacara adat maupun hiburan seperti yang sering dilihat pada acara

pesta perkawinan sekarang ini.

6
Karena musik gondang dan tortor merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
dalam pelaksanaan upaccara pesta adat (Emmi Simangunsong, hal. 83)
7
Tortor adalah tarian seremonial yang mendampingi penyajian.

11
1.4.2 Teori

Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berfikir dalam membahas

permasalahan. Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta,

dan juga dugaan yang menerangkan sesuatu (Marzuki, 1999:33). Serangkaian

konsep atau konstruk yang berhubungan dengan lainnya, dan juga suatu rangkaian

dari proporsi yang mengadung suatu pandangan sistematis dari fenomena

merupakan pemahaman teori menurut Kerlinger (1973). Teori juga dapat berarti

sebagai suatu analisis terhadap suatu hal yang sudah terbukti dan teruji

kebenarannya. Teori juga merupakan landasan berpikir secara ilmiah untuk

menguji, membandingkan, atau menerapkan untuk objek penelitian. Dalam

pembahasan ini teori dapat digunakan sebagai landasan dan kerangka berpikir

dalam membahas setiap permasalahan. Oleh karena itu, penulis mengadopsi

beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.

Untuk melihat fungsi peada upacara perkawinan Batak Toba, penulis

mengunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Soedharsono yang

mengelompokkan seni pertunjukan ke dalam tiga kategoriyaitu (1) sebagai sarana

ritual, (2) sebagai hiburan pribadi, dan (3) presentasi estetis. Pendekatan ini tidak

jauh berbeda dengan Merriam dalam bukunya The Antropology of Music

(1964:219-226) yang membagi musik ke dalam 10 kategori fungsi, yaitu fungsi :

(1) pengungkapan emosional, (2) penghayat estetis, (3) hiburan, (4) komunikasi, (5)

perlambangan, (6) reaksi jasmani, (7) berkaitan dengan norma-norma social, (8)

pengesahan lembaga social, (9) kesinambungan kebudayaan, (10) pengintegrasian

12
masyarakat. Namun Soedarsono lebih memperkecil fungsi seni untuk memudahkan

penulis menganalisis fungsi upacara tersebut.

Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk

menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan

pertumbuhan masyarakat (Soekanto, 1992:21). Suatu kebudayaan tidaklah bersifat

statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab kebudayaan

bukanlah suatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi, 1987:32).

Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan

kelanjutan (kontinuitas) merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami

sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan

fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap

kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan,

dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat

dielakkan (Merriam, 1964:303).

Selain itu penulis juga menggunakan teori perubahan budaya. Menurut

Herskovitz perubahan kebudayaan dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu

bagaimana yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang. Berdasarkan titik

pandang pertama, mereka selalu mempergunakannya dalam istilah difusi yang

didefenisikan sebagai transmisi budaya dalam proses. Perubahan dapat dipandang

dari bagaimana asal-usul sebuah kebudayaan tersebut apakah karena faktor internal

atau eksternal. Perubahan yang terjadi karena faktor internal disebut inovasi, dan

perubahan karena faktor eksternal disebut akulturasi (1948:525).

13
Sependapat dengan uraian tersebut, Koentjaraningrat (1965:135) juga

mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan

kebudayaan, yaitu: inovasi (innovation) adalah suatu proses perubahan kebudayaan

yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini

meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian

masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya

dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemudian Lauwer juga berpendapat

bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi

(acculturation), dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan

lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan

terjadinya suatu perubahan (1989:402). Perubahan kebudayaan adalah perubahan

yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh sejumlah warga

masyarakat yang terdapat dalam aturan-aturan atau nomra-norma, nilai-nilai,

teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa. Perubahan

kebudayaan bisa mencakup salah satu unsurnya dan mempengaruhi unsur-unsur

kebudayaan lainnya, atau juga dapat merubah seluruh unsur-unsur kebudayaan

tersebut. (Suparlan, 2004:24).

Gondang sabangunan pada kebudayaan Batak Toba khususnya dalam

Upacara Perkawinan telah mengalami perkembangan dan masyarakat Toba itu

sendiri menerima perubahan musik tersebut. Perubahan yang terjadi adalah dengan

bertambahnya instrument musik modern seperti keyboard, saxophone, dan terompet

yang ikut menjadi kesatuan dengan alat musik tradisional tersebut. Ada beberapa

faktor yang menyebabkan kebudayaan luar dapat mempengaruhi kebudayaan lain,

14
hal ini dikemukakan oleh L. Dyson dalam Sujarwa (1987:39) yang mengatakan

bahwa sikap menerima dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor

kebutuhan, keuntungan langsung yang dapat dinikmati, senang pada satu hal yang

baru, dan sifat inovatif yang ingin berkreasi. Ada juga sikap menolak yang

disebabkan oleh anggapan bahwa hal-hal yang baru tersebut merugikan, atau

bertentangan dengan tata nilai yang dianut sebelumnya.

Kontinuitas merupakan perwujudan dari pelestarian dan regenerasi terhadap

masalah yang digarap untuk mencapai pengembangan yang diharapkan. Pada ranah

sosiologis, kontinuitas diwujudkan dalam bentuk kesepahaman komunitas untuk

melakukan pemberdayaan atas masalah yang diangkat ke dalam penetapan yang

diinginkan secara representatif menghasilkan perilaku budaya, respons internalisasi

pengembangan yang diharapkan dalam mencapai tujuan yang menjadi

komitmennya.

Gondang sabangunan merupakan music rakyat (folk music) yang dipelajari

secara oral oleh seniman Batak Toba telah mengalami kontinuitas dan perubahan

dalam musiknya, hal ini diungkapkan oleh Bruno Nettl dan Gerald Behague

(1991:4) yang mengatakan bahwa:

…in a folk or nonliterature… a song must be sung, remembered,


and taught by one generation to the next. If this does, not
happen, it dies and is lost forever. There is another alternative: if
it is not accepted by it’s audience, it may be change to fit the
need and desires of the people who perform and hear it.

Bruno Nettl dan Gerald Behague mengatakan bahwa sebuah kebudayaan

rakyat atau kebudayaan tidak tertulis, sebuah lagu (music) harus dinyanyikan,

diingat dan diajarkan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Jika hal itu tidak

15
terjadi maka lagu atau musik tersebut akan hilang atau punah. Tetapi ada alternative

lain, jika lagu atau musik tersebut tidak diterima oleh penonton (audiens), hal ini

mungkin dapat diubah atau diberi inovasi untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan

keinginan orang-orang yang mempertunjukkan atau mendengarnya.

1.5 Metode Penelitian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:581), metode penelitian

diartikan sebagai suatu cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat

atau kemanusiaan yang bersangkutan. Dalam kaitan ini Hasan (1985:7) mengatakan

metode merupakan cara atau sistematika kerja untuk memahami objek yang

menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

Menurut Caplin (1989:301), metode adalah prosedur sistematis yang

tercakup dalam upaya menyelidiki suatu fakta atau konsep. Metode penelitian

dapat diartikan dalam beberapa disiplin ilmu tertentu. Di dalam ilmu-ilmu sosial,

objek pengamatan dan penelitian yang merupakan dasar dari pengetahuan ilmiah

adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus, terdiri dari kejadian-kejadian

kongkrit.

Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang

bersifat kualitatif. Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian

yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat

suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi

atau penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat. Menurut

Nawawi dan Martini (1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau

16
proses menjaring data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu

masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya.

Menurut Nettl (1964:62-64) ada dua hal yang esensial untuk melakukan

aktivitas penelitian dalam disiplin Etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field work)

dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan ini meliputi pemilihan

informan, pendekatan dan pengumpulan data, pengumpulan dan perekaman data,

latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh pemakaian musik.

Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang didapat dari

lapangan, menganalisis dan membuat hasil dari keseluruhan data-data yang

diperoleh.

Di dalam tulisan ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif yang

bersifat kualitatif. Kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

diamati (Bongdan dan Taylor dalam Moleong, 1989:3).

Dalam mengumpulkan data-data di lapangan penulis mengacu kepada

teknik penelitian yang diungkapkan oleh Curt Sachs dalam Nettl (1964:62) yang

mengatakan bahwa: “Curt Sachs (1962) divides ethnomusicological research into

two kinds of work, field work and desk work. Field work notes the gathering of

recordings and the first-hand experience of life in a particular human culture, while

deskwork includes transcription, analysis, and the drawing of conclusions.”

Menurut Curt Sachs penelitian dalam etnomusikologi ada dua hal yang

esensial, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work).

Kerja lapangan ini meliputi pemilihan informan, pendekatan dan pengumpulan

17
data, pengumpulan dan perekaman data, latar belakang perilaku sosial ataupun

mempelajari seluruh pemakaian musik. Sedangkan kerja laboratorium meliputi

pengolahan data yang didapat dari lapangan, menganalisis dan membuat hasil

dari keseluruhan data-data yang diperoleh.

Penelitian ini akan menggunakan metode yang diungkapkan oleh Curt

Sachs, namun belum melakukan kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium

(desk work) penulis akan melakukan studi kepustakaan terlebih dahulu. Adapun

studi pustaka ini untuk pengumpulan data dalam awal penelitian.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Dalam mengumpulkan awal penulis melakukan studi kepustakaan. Studi

kepustakaan perlu dilakukan untuk mengumpulkan data-data dan sumber bacaan

yang mendukung penelitian. Sumber bacaan ini dapat berupa buku-buku, skripsi

etnomusikologi, jurnal, maupun bacaan-bacaan yang diperlukan dalam mendukung

penelitian.

Dalam hal ini penulis telah membaca skripsi sarjana Etnomusikologi yang

mendukung kepada penulisan skripsi ini. Selain itu penulis mencari sumber data

dari internet dengan kata kunci World Wide Web (WWW). Penulis juga membaca

buku-buku antropologi dan etnomusikologi yaitu Pengantar Ilmu Antropologi, The

Anthropology Of Music, Folk and Traditional Music Of The Western Continents,

Worlds Of Music, Etnomusikologi, Pluralitas musik Etnik Batak Toba, Mandailing,

Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun, dan beberapa buku lainnya.

Studi kepustakaan ini juga dilakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan

18
dengan skripsi ini antara lain sosiologi dan topik tentang kebudayaan masyarakat

Batak Toba.

1.5.2 Penelitian Lapangan

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ini adalah kata-kata atau

tindakan selebihnya yang berfungsi sebagai data tambahan seperti dokumen dan

lain-lain (Lonfland dan Lonfland dalam Meleong, 1989). Selain kata-kata atau

tindakan perekaman audio ataupun materi musik juga menjadi sumber data yang

utama dalam penelitian ini.Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara

untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang tulisan ini. Sebelum melakukan

wawancara terlebih dahulu penulis menyiapkan segala sesuatu yang

dibutuhkan di dalam melakukan wawancara, yaitu: menyusun pertanyaan,

mempersiapkan alat-alat tulis, menyediakan alat perekam untuk merekam hasil

wawacara dengan informan.

1.5.3 Penelusuran Data Online

Internet merupakan salah satu media online yang memberikan banyak data

informasi, baik berupa teori, data gambar, dan juga artikel-artikel yang yang penulis

butuhkan. Media online ini ada yang berbentuk laman web, blog, yang berkaitan

dengan kajian yang penulis lakukan, baik secara teoretis maupun deskriptif studi.

1.5.4 Kerja Laboratorium

19
Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi

kepustakaan, kemudian dianalisis kembali di dalam kerja laboratorium. Penulis

akan melakukan seleksi data, analisis data, dan mengelompokkannya sesuai dengan

informasi yang penulis harapkan. Proses analisis data penelitian dimulai

dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh. Analisis data dilakukan mulai

awal penelitian dan berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan

peneliti an selesai. Begitu juga dengan data yang berbentuk gambar, penulis

akan mencantumkannya dalam tulisan ini. Data yang tidak bersifat musikal diolah

kemudian dan dituliskan dalam bentuk tulisan atau karya ilmiah. Selama proses

pengolahan data, penulis juga melakukan diskusi-diskusi dengan para dosen

pembimbing dan teman-teman yang ada di Departemen Etnomusikologi.

1.5.5 Lokasi Penelitian dan Informan

Dalam hal penentuan lokasi penelitian, para budayawan, musisi atau

seniman tradisional Batak Toba merupakan sumber dari data yang diperlukan oleh

penulis dalam penelitian ini. Karena sumber data dalam penelitian ini berupa

rekaman audio dan juga wawancara maka lokasi penelitian ini penulis memilih

berdasarkan tempat berdomisilinya para informan atau musisi yang dianggap

berkaitan dengan penelitian ini. Oleh karena itu melihat kasus yang terjadi di kota

medan, maka penulis memutuskan untuk memilih kota medan sebagai tempat yang

dipilih penulis untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian.

Untuk pemilihan informan8 penulis memilih para budayawan, musisi

(pargonsi) atau seniman tradisional Batak Toba yang ada di kota medan yang

8
Lihat lampiran skripsi sarjana ini

20
menurut penulis bisa memenuhi data-data yang akan penulis lakukan dalam hal

pengumpulan data melalui wawancara.

21
BAB II

MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN

2.1 Geografis Kota Medan

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara,

Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara

regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering

digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan

pemerintah daerah.

Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab

berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat

dengan kota-kota atau negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia.

Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar

barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang

relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa.

Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor

tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat

perdagangan dan keuangan regional/nasional.

Letak geografis Kota Medan adalah 3030 – 3043 LU, dan 980 35’-980 44’

BT. Luas Kota Medan saat ini adalah ± 265,10 km2. Kota Medan memilki

perbatasan yaitu:

(a) Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka,

22
(b) Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Deli Tua dan Pancur

(Kabupaten Deli Serdang),

(c) Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli

Serdang), dan

(d) Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung

Morawa (Kabupaten Deli Serdang)

Adapun kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu Kecamtatan Medan

Helvetia, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan Petisah, Kecamatan Medan

Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Area, Kecamatan

Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Selayang,

Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan

Amplas, Kecamatan Medan Denai, Kecamatan Medan Baru, Bandar Udara Polonia.

Secara geografsi Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya

alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli

Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai. Kondisi ini menjadikan Kota Medan

secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang

sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya.

2.2 Konsep Adat

Adat merupakan aktivitas sosial yang disepakati menjadi tradisi dan

berlaku secara umum bagi manusia yang diwariskan oleh nenek moyang sebagai

kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara

untuk mengatur tentang hubungan manusia dengan manusia. Menurut masyarakat

23
Batak Toba, adat merupakan pemberian Mulajadi Na Bolon yang harus dituruti

oleh makhluk penciptanya. Adat inilah yang menjadi hukum bagi setiap orang

tentang cara kehidupan untuk membedakan yang baik dan yang buruk.

Adat adalah kebiasaan atau hasomalan yang berarti aturan-aturan yang

dibiasakan. Pengertian lain yaitu kebiasaan yang terdapat pada suatu kelompok

marga yang berasal dari orang-orang tua dan diwariskan secara turun temurun,

berupa pesan tentang aturan atau tata tertib dan hukum yang tidak boleh diabaikan

atau dilupakan. Hukum adat merupakan pemberian Mulajadi Na Bolon sebagai

perintah yang harus dituruti dan bermula dari kebiasaan adat yang dilaksanakan

oleh sekelompok masyarakat. Maka dari itu tertanam oleh masyarakat Batak Toba

bahwa apabila adat ditaati dan dilaksanakan maka orang tersebut dipercaya akan

mendapat berkah, sedangkan orang yang tidak menaati adat tersebut akan mendapat

bala (hukum tersirat). Menurut Aritonang, seorang teolog kristen (1988:47), adat

bagi orang Batak Toba bukanlah sekedar kebiasaan atau tata tertib sosial,

melainkan sesuatu yang mencakup seluruh dimensi kehidupan: jasmani dan rohani,

masa kini dan masa depan, hubungan antara si aku (sebagai mikrokosmos) dengan

seluruh jagad raya (makrokosmos).

Secara teologis, adat adalah bentuk keseluruhan suatu agama suku, adat

merangkum, meresapi dan menentukan suku atau bangsa dengan cara yang

bagaimanapun. Adat menghubungkan orang yang hidup (kelihatan) dengan orang

yang mati (tidak kelihatan); adat mengatur tata tertib sosial untuk desa sebagai

persekutuan hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama; adat

mempertahankan daya hidup mitos dimana kekuatannya terdapat pada nomisme,

24
yaitu sikap hukum yang alamiah dan tujuannya ialah utk tercapainya kelanggengan

dan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam keseluruhan aspek

ini, dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan disatu-padukan sepenuhnya sama seperti

dunia alam dan cakrawala. Adat mepunyai corak bermotif sebab ia mempunyai

dasar dalam mitos yang merupakan konsepsi suatu bangsa untuk memahami

dirinya. Oleh karena itu, adat adalah bagian lahiriah serta pengembangan mitos

dalam kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk beluknya

kehidupan (Pasaribu, 1986:61).

Adat merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek moyang,

yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali menjadi suatu

kebiasaan atau menjadi hal yang biasa (Schreiner, 1994:18). Pola-pola kehidupan

yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari, pembangunan rumah, upacara

perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara, dilaksanakan dan diatur

menurut adat (ibid, 1994:20).

Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi

oleh masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya.

Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa

kehidupan masyarakat Batak Toba selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat.

Adat dalam suku Batak Toba merupakan bagian yang harus dipatuhi dan dilakukan.

Dalam praktek pelaksanaan adat Batak Toba, realita di lapangan terdapat empat (4)

kategori adat yang dilakukan:

25
1. komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan adat yang

tersendiri, menunjuk kepada setiap komunitas mempunyai tipologi9 adat

masing-masing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih lekat dan

kental dibandingkan dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif

lebih individualis dalam menyikapi respon terhadap adat Batak. Perilaku ini

muncul akibat pengaruh lingkungan yang membentuk pola pikir disamping

unsur teknologi yang juga mempengaruhinya.

2. Adat diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar manusia, yang

dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam masyarakatnya.

Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang telah

membudaya dan juga sering dianggap sebagai bagian dari adat isitiadat.

Peraturan perundang-undangan dan hukum agama banyak mengatur kehidupan

norma masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil peranan adat dalam

mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya.

3. Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba

berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami

perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu.

4. Pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga mengalami

perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan informasi.

Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat

pendukungnya. Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur

kehidupan manusia. Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku

9
Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokkan berdasarkan tipe atau
jenis (pembagian budaya menurut suku bangsa)

26
tidak sesuai dengan adat disebut dengan na so maradat (orang yang tidak

memiliki adat) dan akan ada sanksi sosial terhadap orang-orang yang

melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan dapat berbentuk perkawinan

terlarang. Misalnya, perkawinan semarga (incest). Pencurian, pencemaran

nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan sosial masyarakat yang

tidak dapat dilanggar (bandingkan, Bruner 1961:510). Sanksi bagi pelanggar

hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilah yang mereka percayai.

Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun yang tidak kunjung

sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan sanksi kematian.

Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan selanjutnya dalam

beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang

diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang

menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek

moyangnya.

2.3 Religi atau Kepercayaan

Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, segala hal di dalam

kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai

karya Mula Jadi Nabolon. Dalam cerita turun temurun, mitologi dalam kepercayaan

masyarakat Batak Toba ini yaitu adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara

Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang

memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia (Situmorang,

2009:21).

27
Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang

diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam

tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan

Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi

Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya

di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam

yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata

Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara

(roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang

member ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh

jahat. (Tampubolon, 1978:9-10)

Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke

mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini

terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak.

Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki

dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri

sendiri (Hutauruk, 2006:8)

Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh

Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik

otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata

kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam

tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata

Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas

28
keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan

berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak

disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon

(Sangti, 1977:279).

Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep

bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal.

Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah

meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri.

Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk

ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama

jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya

setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio

suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia

nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh.

(ibid. 1978:10).

Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa

orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu

yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang

Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi

dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata

Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia

adalah awal dari semua yang ada.

29
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk

mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar

pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus

mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup,

kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup

kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini

terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak

pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara sesama orang Batak.

Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Sahala

adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia. Sahala tersebut

merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting dan

kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah ketika seseorang

memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa

diperoleh bisa juga hilang.

Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai-nilai

kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan

hasangapon (kehormatan). Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia

adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan

kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi

seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur

hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk

membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-

usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri.

30
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah

mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih

dianggap sama dengan banyak memiliki anak, ladang yang luas dan ternak yang

banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak

memiliki sahala sebagai raja.

Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan

gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon

digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Secara harafiah

hasangapon bisa diartikan sebagai terpuji, tauladan, terhormat, atau nyaris tanpa

cela. Dalam mencapai harajaon, hamoraon, dan hasangapon, berarti seseorang

tesebut telah menjadi pribadi yang sempurna.

Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang

kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu,

masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan

masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki

gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.

2.4 Konsep Kemasyarakatan

Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang

Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat (4) prinsip

yaitu:

31
1. Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba

berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam sistem adat

istiadat. Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi,

akan lebih banyak berbicara atau disebut raja adat.

2. Perbedaan pangkat dan jabatan. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan

pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada perbedaan harta dan keahlian yaitu

pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik (pargonsi) dan juga pandai-pandai

seperti besi, tenun, ukir, dan lain-lain.

3. Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat

dan keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem

ini berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal

marga Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih

berhak atas jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau

yang di luar jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat

dalam pemilikan tanah.

4. Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat

dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah

berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat

atau berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang

sudah berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam

kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada

masyarakat Batak Toba.

32
2.5 Konsep Kekerabatan

Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal

dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan

mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang

disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang

secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal

atau laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan

dalam sebuah kelompok yang dinamai marga. 10 Sedangkan patrilineal adalah garis

keturunan menurut laki-laki.

Mengenai prinsip garis keturunal patrilineal tersebut, Soerjono Soekanto

memberikan penjelasan: “Hubungan kekerabatan melalui laki-laki saja, dan karena

itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat

ayahnya masuk kedalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum

kerabat ibunya jatuh diluar batas itu”11. Sehingga, kelompok marga Batak adalah

sebuah organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi

orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba.

Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group)

sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum.

Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal

merupakan masyarakat yang patriakal. Dalam masyarakat tradisional, posisi

perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak

10
Marga adalah nama pertanda dari keluarga mana seorang berasal. Nama marga dalam
keluarga umumnya terletak di belakang, sehingga sering disebut dengan nama belakang. Marga
turun-temurun dari kakek kepada bapak, kepada anak, kepada cucu, kepada cicit, dan seterusnya.
(www.id.wikipedia.org/wiki/marga)
11
Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 59

33
laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak

melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari

anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat

mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan

laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa

kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering

memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, maka perkawinan

antara orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.

Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa

pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga

Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah

memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih

tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga

yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah

memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih

tinggi.

Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari

satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga

batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang

pun berada di atas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga

yang mereka anggap lebih tinggi.

Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari

filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang

34
laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu

yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan.

Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing

memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat

hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang

terdiri dari:

1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah

mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula

bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari

yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang

yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang

(tulang kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang

ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya

anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu

ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan

anak laki-laki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak laki-

laki, termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari

tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula-hula hatopan

yaitu semua abang dan adik dari pihak hula-hula.

2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk

di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara

perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari

menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua

35
laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara

perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara

perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang

termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari

putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang

termasuk di dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak

atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari

putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere

(kemenakan) atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua

keturunan dari putri kakak kita dari tingkat kelima.

3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya

segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan laki-

laki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi

sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hula-

hula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula

dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu.

Penyebutan kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan

tubu adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak

Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini.

Artinya hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan

fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan

harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga

golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran

36
artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih

dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai debata

na ni ida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat,

perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hula-hula harus

selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan

boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus berperasaan seia

sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat

menghormati.

Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah

mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak

dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi

masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis

berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan

kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik

untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.

2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba

Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk ke

tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama

menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu

kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan

lain diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak

Toba.

37
Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang

ditularkan melalui pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan

timbulnya minat orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok. Pendidikan

yang ditanamkan oleh missionaris agama Kristen di tanah Batak diyakini sebagai

satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia luar lebih jauh yang

sekaligus dapat memberikan hasil dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya,

dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk mengatasi kemiskinan dan

meningkatkan status ekonomi dan sosial.

Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar,

membuat orang Batak selalu suka bekerja keras sehingga pekerjaan adalah sesuatu

yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil

akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru

lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani.

Dengan terbentuknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan

lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah

mengecap pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari

pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan

perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur

(penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orang-

orang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (Tanah Batak Toba yang luas) harus

dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras

dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga Dolok.

38
Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera Timur,

masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat dan

berbahaya. Misalnya, alternatif jalan menuju Padang sebagai pelabuhan

internasional ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Hal ini

pernah terjadi dengan adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah

Minang pada tahun 1900-an dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat

dengan kapal api dari Padang, atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun

1820-an ke tanah Batak pada saat perang Paderi/Bonjol.

Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui

beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari

tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal

(perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak.

Rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir

timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea.

Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru

dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea,

Parapat, Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan

dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain

semakin tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga

Batak yang sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka. Persebaran

masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat perekonomian yang

lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan saja, tetapi

adalah juga para petani-petani yang hanya mengandalkan semangat dan

39
pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, dan

kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di

kampungnya. Untuk kepergiannya, mereka mau membayar pajak rodi sebesar 3

(tiga) gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan rodi selama setahun.

Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah pilihan untuk

meningkatkan taraf ekonomi mereka (Sangti, 1977:180).

Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah parserahan

selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa segala aspek

kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu saja.

Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek moyang mereka

terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar belakang daerah di

bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu dapat

diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka.

Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di

bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara-upacara

adat Batak mereka. Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun,

menempati hampir semua daerah yang ada di Simalungun. Mereka hidup

berkelompok di Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok

Sinumbah, Bah Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga

Balata, Tanah Jawa, Parapat dan daerah lain.

Di Medan, sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik mulai berubah.

Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil

pekerjaan mereka yang cukup memuaskan sekaligus memperlihatkan identitas

40
mereka. Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga

menunjukkan identitas mereka. Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang ulet

dan pekerja keras, sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa orang-

orang yang tertib dan pandai yang mereka kenal ternyata adalah orang Batak.

Walaupun orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat

berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan

(lihat Hasselgren, 2008:48).

Keberadaan orang Batak Toba di Jakarta (Batavia) diperkirakan sekitar

tahun 1900-an, yang dibawa oleh pihak kolonial Belanda sebagai pembantu utama

mereka. Dapat dicatat, orang Batak pertama yang sudah ada di Jakarta adalah

seorang pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu Tarutung

yang menjadi guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada di

Batavia pada tahun 1907 (Sihombing, 1962:65). Setahun kemudian terjadi eksodus

orang Batak dalam mencari pekerjaan ke Batavia dengan menempuh perjalanan

sendiri.

Komunitas pertama orang Batak yang tinggal di Batavia, berada di kawasan

Sawah Besar dengan membentuk perkumpulan Batak Kristen Protestan

sebagaimana mereka dahulunya di Tapanuli (Hasibuan, 1922:61). Bagi orang Batak

yang datang ke Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke

daerah itu, secara estafet perlakuan itu tetap dipergunakan dalam menyatukan dan

membentuk komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang

Batak Kristen sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang

41
Batak yang berada di Jakarta sebanyak 50 orang, dan berkembang sangat pesat

hingga saat ini.

Di Kalimantan orang Batak sudah mendiami daerah itu pada tahun 1923,

mereka berada di sekitar Singkawang, Pontianak dan Mempawah. Sedang di pulau

Sulawesi, orang Batak sudah bermukim mulai tahun 1920-an, seperti

ditempatkannya beberapa orang Batak menjadi anggota militer. Di Papua dimulai

pada tahun 1942, dengan masuknya orang Batak sebagai tentara Heiho dan

Romusha yang dibawa oleh tentara Jepang. Tahun 1961, seorang petinggi militer

Batak telah menjumpai orang Batak di pulau Morotai Papua.

Hal yang perlu dicatat, adalah adanya orang Batak yang sudah bermukim di

luar negeri. Orang Batak pertama yang berada di Eropa tercatat pada tahun 1876

bernama Djaogot, dia dibeli oleh Pdt. Van Asselt sebagai budak yang kemudian

dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu di sana. Setelah itu terdapat beberapa

nama yang juga menetap di luar negeri baik itu dengan alasan untuk melanjutkan

studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H. Manullang seorang putra Tarutung

melanjutkan sekolahnya di Senior Cambridge Singapura antara tahun 1907-1909.

Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak yang menjadi guru di sana. Tahun

1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah Zending asal Sipirok, yakni A.

Batubara berangkat ke Singapura untuk mencari pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar

W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah ke Malaya dan bekerja di Ipoh

sebagai pegawai Lindeteves.

Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba

dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau

42
Batam dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa (Almanak HKBP, 1994:370).

Pada tahun 2011, masyarakat Batak yang bermukim di pulau Batam dan Tanjung

Pinang dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126

jiwa.13

2.8 Budaya Musikal Batak Toba

2.8.1 Musik vokal

Budaya musikal masyarakat Batak Toba tercakup dalam dua bahagian

besar, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal pada masyarakat

Batak Toba disebut dengan ende. Dalam musik vokal tradisional,

pengklasifikasiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat

dilihat berdasarkan liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian

terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu:

1. Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak

(lullaby).

2. Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang

akan melangsungkan pernikahan. Biasanya dinyanyikan pada waktu senggang

saat menjelang pernikahan.

3. Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo

chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dan daam waktu senggang,

biasanya malam hari.

4. Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring

tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-

43
lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende

tumba ini dilakukan oleh para muda-mudi atau remaja di alaman (halaman

kampung) pada malam terang bulan.

5. Ende sibaran, adalah musik vokal yang menggambarkan cetusan penderitaan

seseorang yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita

tersebut, dan biasanya dinyanyikan di tempat yang sepi.

6. Ende pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkaitan dengan

pemberkatan,dan berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang

Maha Kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh para orang tua kepada keturunannya.

7. Ende hata, adalah musik vokal berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan

secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun

dengan bentuk pola “aa bb” yang memiliki jumlah suku kata yang sama.

Biasanya dimainkan oleh kumpulan anak-anak yang dipimipin oleh seseorang

yang lebih dewasa atau orang tua.

8. Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup

seseorang yang telah meninggal, yang disajikn pada saat atau setelah

disemayamkan. Dalam ende andung alunan melodi biasanya muncul secara

spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan

terampil dalam sastra yang menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting

untuk jenis nyanyian ini.

Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi kelompok

musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu:

44
1. Ende namarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk acara-acara

namarhadodoan (resmi).

2. Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak

Toba dalam kegiatan sehari-hari.

3. Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan

berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita.

Tetapi apabila dikaji lebih rinci dari banyaknya jenis musik vokal pada

masyarakat Batak Toba, maka dibuat pengklasifikasian yang lebih mendetail

terhadap nyanyian-nyanyian tersebut sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Berikut ini adalah pembagian jenis musik vokal Batak Toba oleh Jan Harold

Brunvand yang dikutip oleh Ritha Ony (1983:13). Jenis musik vokal tersebut

sebagai berikut:

1. Nyanyian kelonan (lullaby), yaitu musik vokal yang mempunyai irama halus,

tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang sehingga

dapat membangkitkan rasa kantuk bagi si anak yang mendengarkan. Contoh:

Mandideng.

2. Nyanyian kerja (work song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama dan

kata-kata yang bersifat menggugah semangat,sehingga dapat menimbulkan rasa

gairah untuk bekerja. Contoh : Luga-luga solu.

3. Nyanyian permainan (play song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama

gembira serta kata-kata yang lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan.

Contoh: Sampele-sampele.

45
4. Nyanyian yang bersifat kerohanian atau keagamaan, yaitu musik vokal yang

teksnya berhubungan dengan kitab Injil, legenda-legenda keagamaan, atau

pelajaran-pelajaran keagamaan. Contoh: Metmet ahu on.

5. Nyanyian nasehat, yaitu musik vokal yang liriknya berisi nasehat tentang

bagaimana pola bertingkah laku yang baik. Contoh: Siboruadi.

6. Nyanyian mengenai hubungan berpacaran dan pernikahan, yaitu musik vokal

yang liriknya biasanya mengungkapkan kebiasaan muda-mudi yang sedang

bercinta dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Contoh: Madekdek ma

Gambiri.

2.8.2 Musik pada pacara perkawinan

Ada tiga jenis enasambel musik yang umum dipakai pada upacara adat

perkawinan batak toba di kota medan dahulu dan sekarang, yaitu: ensambel

gondang hasapi, ensambel gondang sabangunan dan musik.

2.8.2.1 Ensambel gondang hasapi

Secara umum ensambel yang lazim digunakan untuk upacara adat

perkawinan namun masa sekarang hampir tidak digunakan lagi penggunaanya pada

upacara perkawinan. Instrumen yang dipakai dalam ensambel ini terdiri dari:

hasapi doal, sarune etek, garantung, mengmung, hesek.

(a) Hasapi doal, instrumen ini sama dengan hasapi ende namun dalam

permainannya hasapi doal berperan sebagai pembawa ritem konstan. Ukuran

instrumen hasapi doal lebih besar sedikit dari hasapi ende.

46
Gambar 1. Hasapi doal

(b) Sarune etek, adalah instrumen pembawa melodi yang memiliki reed tunggal.

Klasifikasi ini termasuk dalam kelompok aerophone yang memiliki lobang

nada (empat dibagian atas, satu dibagian bawah) dimainkan dengan cara

mangombus marsiulak hosa.

Gambar 2. Sarune etek

(c) Garantung, adalah instrumen pembawa melodi yang terbuat dari kayu dan

memiliki lima bilah nada. Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam

kelompok xylophone. Selain berperan sebagai pembawa melodi, juga berperan

47
sebagai pembawa ritem variable pada lagu-lagu tertentu, dimainkan dengan

cara mamalu.12

Gambar 3. Garantung

(d) Mengmung, adalah instrumen pembawa melodi konstan yang memiliki tiga

senar. Senarnya terbuat dari kulit bamboo tersebut. Klasifikasi instrumen ini

bisa dimasukkan kedalam kelompok idiochordophone.

(e) Hesek, adalah instrument pembawa tempo (ketukan dasar) yang terbuat dari

pecahan logam atau besi dan kadang kala dipukul dengan botol kosong.

Instrument ini dimainkan dengan cara mengadu pecahan logam tersebut sesuai

dengan irama dari suatu logam. Klasifikasi ini termasuk kedalam kelompok

idiophone.

(f) Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double

reed) yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara

mangombus marsiulak hosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok

aerophone.

12
Mamalu dapat diartikan dengan memukul, memainkan atau membunyikan. Contoh
mamalu hasapi (membuyikan hasapi), mamalu garantung (membunyikan garantung) dan lain-lain.
Palu-palu merupakan alat pemukul berupa stik yang digunakan untuk memukul instrumen.

48
Gambar 4. Sarune Bolon

2.8.2.2 Ensambel gondang sabangunan

Sampai zaman sekarang gondang sabangunan lazim dipakai pada upacara

adat perkawinan batak toba, khususnya pada saat pemberian ulos maupun sebagai

pengisi acara. Instrumentasi yang dipakai pada ensambel yang dipakai dalam

ensambel gondang sabangunan terdiri dari:

(a) Taganing, yaitu lima buah gendang yang terdiri dari odap-odap, paidua odap,

painonga, paidua ting-ting, dan ting-ting dan berfungsi sebagai pembawa

melodi dan juga sebagai ritem variabel dalam beberapa lagu. Klasifikasi

intrumen ini termasuk kedalam kelompok membranophone, dimainkan dengan

cara dipukul membrannya dengan menggunakan palu- palu/stik. Di dalam

permainan taganing terdapat empat teknik memukul, yaitu; 1) memukul stik

pada bagian tengah gendang, 2) memukul stik pada pinggiran gendang, 3)

memukul stik pada tengah dan menghentikannya seketika dengan cara

menekan permukaan gendang dengan ujung stik, 4) menekan permukaan

gendang dengan ujung jari tangan kiri. Gordang, satu buah gendang yang lebih

besar dari taganing yang berperan sebagai pembawa ritem kostan maupun

49
variabel. Instrumen ini sering disebut sebagai bass dari ensambel gondang

sabangunan. Alat musik ini dimainkan dengan menggunkan dua buah stik

pemukul, sama dengan memainkan taganing. Sarune bolon, termasuk

pembawa melodi yang memiliki lidah ganda, dimainkan dengan cara

mangombus marsiulak hosa. Klasifikasi instrument ini termasuk kedalam

kedalam kelompok aerophone.

Gambar 5. Taganing

(b) Ogung (gong), yaitu empat buah gong yang diberi nama oloan, ihutan, doal

dan panggora. Setiap ogung mempunyai ritem yang sudah konstan. Instrument

ini berperan sebagai pembawa ritem konstan atau pembawa irama dalam

gondang sabangunan. Klasifikasi ini termasuk ke dalam kelompok idiophone.

(c) Odap, yaitu gendang dua sisi yang berperan sebagai pembawa ritem variabel.

Pada praktiknya alat musik ini sangat jarang dimainkan. Kehadirannya dalam

ensambel gondang sabangunan lebih terbatas pada upacara-upacara ritual

kepercayaan, seperti yang ditemukan pada masyarakat parmalim yang masih

melanjutkan kepercayaan Batak Toba. Klasifikasi instrumen ini termasuk ke

dalam kelompok membranophone.

50
(d) Hesek, adalah instrument pembawa tempo (ketukan dasar) yang terbuat dari

pecahan logam atau besi dan kadang kala dipukul dengan botol kosong.

Instrument ini dimainkan dengan cara mengadu pecahan logam tersebut sesuai

dengan irama dari suatu logam. Klasifikasi ini termasuk kedalam kelompok

idiophone.

2.8.2.3 Musik Tiup (Brass Band)

Musik tiup adalah ensambel yang paling umum digunakan pada upacara

adat batak toba masa kini di Kota Medan. Ensambel ini dianggap sangat efektif

karena sifatnya yang dinamis dalam arti dapat memainkan berbagai macam lagu,

baik rohani gereja, lagu populer, maupun lagu-lagu rakyat Batak dan lagu-lagu

diluar Batak lainnya. Penulis berpendapat karena kemampuannya itulah sehingga

selera masyarakat Batak secara umum, baik yang berasal dari perantauan maupun

yang berdomisili di kota medan dapat dipenuhi oleh musik ini.

Walaupun dalam penyebutannya ensambel ini disebut musik tiup atau

musik saja, namun beberapa instrumen tradisional Batak telah dipadukan dengan

musik tiup tersebut. Instrumentasinya terdiri dari:

a. Trumpet merupakan salah satu alat musik tiup logam yang pada awalnya

digunakan sebagai sinyal panggilan. Trumpet dikenal sebagai alat musik

transposisi yang bisa memainkan lagu dari semua kunci/keytone.

51
Gambar 6. Trumpet

b. Saxophone merupakan alat musik tiup logam (brass wind) dengan reed tunggal

seperti pada alat musik klarinet.

Gambar 7. Saxophone

c. Trombone merupakan instrumen yang terbuat dari bahan kuningan (brass) dan

bahan lain dari besi putih atau besi stainless. Jenis trombone ada dua, yaitu:

1. Slide trombone, alat musik tiup logam dengan warna suara tersendiri yang

memungkinkan suara diproduksi dengan halus.

2. Valve trombone, yaitu trombone yang diciptakan untuk mencapai

kemudahan dalam formasi dan penggunaannya. 13

13
Lihat tesis Monang Asi Sianturi 2012, hal. 243-245.

52
Gambar 8. Trombone

53
BAB III

KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN MUSIK

PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA

3.1 Perkawinan Pada Masyarakat Batak Toba

Perkawinan merupakan pengikatan adat; pengikatan kekerabatan; sehingga

dapat terjadinya suatu perikatan membawa akibat bukan semata-mata terhadap

hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, kedudukan anak,

harta bersama, kedudukan hak dan kewajiban orangtua, tetapi menyangkut juga

kepada hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekerabatan, dan juga

menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

Perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang

bentuk bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya

perkawinan di Indonesia atau perkawinan yang mempunyai akibat hukum adat yang

berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.14

Dalam hukum adat, sahnya perkawinan secara adat Batak Toba umumnya

tergantung kepada masyarakat penganut agama yang bersangkutan yang

dilaksanakan menurut tata tertib agamanya, mereka juga terlebih dahulu melakukan

upacara adat supaya dapat masuk ke dalam lingkungan masyarakat adat dan diakui

menjadi warga masyarakat adat. Masyarakat Batak Toba pada umumnya menganut

14
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV. Mondar Maju, Bandar
Lampung,1992, hal.182

54
perkawinan monogami dan prinsip keturunan masyarakat Batak Toba adalah

patrilineal15.

Perkawinan bagi suku Batak Toba adalah sakral dan suci. Dalam

perkawinan adat Batak Toba juga ada aturan yang harus ditaati dan hukumannya

sangat tegas yang dilakukan oleh suku Batak sejak dahulu kala. Apabila suku Batak

Toba melanggar aturan yang diberlakukan oleh penatua adat, maka akan diberi

hukuman, seperti di bakar hidup-hidup, dipasung, dibuang atau diungsikan dari

kampung serta dicoret dari tatanan silsilah keluarga.16

3.1.1 Tahapan upacara perkawinan

Perkawinan adat pada masyarakat Batak Toba tidak terlepas dari

perkawinan agama. Semua upacara perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat

batak toba dalam konteks adat selalu didahului atau diikuti pengesahan agama

masing-masing. Tahapan yang umum dilakukan sebagai berikut: martumpol,

pemberkatan pernikahan, upacara adat17.

3.1.1.1 Martumpol

Martumpol bagi orang Batak Toba bisa disebut juga acara pertunangan,

namun secara harafiah martumpol adalah acara kedua pengantin di hadapan

pengurus jemaat gereja yang diikat dalam janji untuk melangsungkan perkawinan.

15
Maksudnya adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan yang berasal dari
pihak ayah. Patrilineal berasal dari dua kata latin, yaitu pater yang berarti ayah, dan linea yang
berarti garis. Jadi patrilineal berarti keturunan yang mengikuti garis yang diambil dari pihak ayah.
16
Jurnal Ikatan Mahasiswa Batak Toba USU
17
Beberapa penganut agama tertentu seperti Katholik, Kharismatik tidak melakukan
tahapan martumpol. Umumnya mereka melakukan langsung kepada acara pemberkatan di gereja
dan upacara adat.

55
Martumpol dihadiri oleh orang tua kedua calon pengantin dan kerabat mereka

beserta para undangan. Martumpol biasanya diadakan di gereja, karena sebagian

besar masyarakat Batak Toba beragama Kristen.

3.1.1.2 Acara pemberkatan pernikahan

3.1.1.2.1 Waktu

Acara pemberkatan dilakukan setelah proses martumpol dilaksanakan.

Biasanya selang beberapa bulan atau minggu setelah proses martumpol

dilaksanakan. Waktunya tergantung pada kesiapan kedua pengantin dan kedua

keluarga pengantin. Pemberkatan di gereja diadakan sebelum berlangsungnya

proses upacara adat namun masih pada hari yang sama. Upacara pemberkatan

diadakan pagi hari sekitar pukul 09.00 WIB sampai dengan selesai.

3.1.1.2.2 Tempat

Tempat berlangsungnya acara pemberkatan kedua pengantin dilaksanakan

di gereja. Gereja yang dipakai biasanya adalah gereja dimana salah satu dari

orangtua mempelai menjadi jemaatnya atau dapat juga meminjam gereja terdekat

apabila gereja mempelai jauh dari lokasi pesta, namun masih dalam

lembaga/insttusi yang sama.

3.1.1.2.3 Pemimpin upacara

Pemimpin upacara dalam acara pemberkatan pernikahan di gereja yaitu

pendeta, namun dapat juga dipimpin oleh pengurus gereja seperti guru jemaat

56
(voorhanger). Pemimpin ini dibantu oleh pengurus gereja lainnya, seperti penatua

gerejaa, tim musik gereja, biblevrow, dan lain-lain.

3.1.1.2.3 Jemaat

Jemaat dalam upacara pemberkatan pernikahan yaitu kedua calon

pengantin, keluarga dari kedua pengantin, saudara dari kedua pengantin, dan

kerabat dari kedua pengantin serta organisasi-organisasi kekerabatan dan

kemasyarakatan dari kedua pengantin.

Gambar 9. Upacara pemberkatan di gereja

57
3.1.1.3 Proses upacara adat

3.1.1.3.1 Waktu

Proses upacara adat berlangsung setelah selesai upacara pemberkatan

pernikahan secara agama di gereja.

3.1.1.3.2 Tempat

Tempat diadakan proses upacara adat biasanya dilakukan dekat dari

kediaman pengantin. Di Kota Medan biasanya diadakan di gedung atau wisma yang

tidak jauh dari tempat kediaman pengantin dan biasanya juga tidak jauh dari tempat

(gereja) pemberkatan pernikahan.18

3.1.1.3.3 Pemimpin upacara

Pemimpin upacara dalam upacara adat yaitu penatua-penatua adat, tokoh-

tokoh adat, raja parhata dari masing-masing pihak pengantin laki-laki dan

perempuan.

3.1.1.3.4 Peserta upacara

Yang menjadi peserta upacara dalam upacara adat pernikahan yaitu kedua

pengantin, kedua orang tua pengantin, keluarga dari kedua pengantin, saudara dari

kedua pengantin, dan kerabat dari kedua pengantin.

18
Jika yang menjadi tuan rumah adalah pengantin laki-laki (dialap jual) maka gereja dan
tempat pesta ditentukan ditempat yang tidak terlalu jauh dari kediaman mempelai laki-laki.
Demikian sebaliknya jika pengantin wanita (diataruhon jual, sitombol) yang menjadi tuan rumah,
maka gereja dan tempat pesta juga tidak terlalu jauh dari kediaman pengantin wanita tersebut.

58
Gambar 10. Upacara adat

3.1.2 Tingkatan upacara perkawinan

Ada tiga tingkatan upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba, yaitu:

(1) unjuk; (2) mangadati; (3) pasahat sulang-sulang ni pahoppu.

1. Unjuk merupakan ritus perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua

prosedur adat Batak yaitu Dalihan Na tolu. Inilah yang disebut sebagai tata

upacara ritus perkawinan biasa.

2. Mangadati merupakan ritus perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan

adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang bersangkutan mangalua

atau kawin lari, tetapi ritusnya sendiri dilakukan sebelum pasangan tersebut

memiliki anak.

59
3. Pasahat sulang-sulang ni pahoppu merupakan ritus perkawinan yang

dilakukan diluar adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang

bersangkutan mangalua dan ritusnya dilakukan setelah memiliki anak. 19

3.1.3 Syarat-syarat perkawinan

Syarat-syarat yang harus ada dalam perkawinan adalah adanya sinamot,

ulos, jambar, dekke.

1. Sinamot bisa juga disebut uang jujur yang merupakan salah satu syarat sah nya

perkawinan, syarat hubungan kekerabatan, terhitung dalam adat, syarat dapat

mengunjungi dan meminta bantuan kepada keluarga pihak perempuan.

2. Ulos merupakan kain tenun yang berbentuk selendang khas suku Batak Toba,

ulos artinya hangat atau berkat. Pemberian ulos kepada pengantin dimaksudkan

agar ikatan batin kedua mempelai seperti rotan20 (hotang).

3. Jambar berupa daging ataupun uang yang dibagikan kepada sanak keluarga

ataupun kerabat yang terlibat dalam pelaksanaan upacara perkawinan. Untuk

jambar daging, si empunya pesta biasanya memotong daging babi atau kerbau.

4. Dekke merupakan ikan yang akan di bagikan kepada keluarga laki-laki dari

pihak pengantin perempuan.

19
https://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_adat_Batak_Toba
20
Pada zaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat
dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh corak ulos pengantin.

60
3.2 Sejarah Musik Perkawinan Batak Toba

3.2.1 Masa Pra-Kristen

Dalam kehidupan sehari-hari pada masa pra-kristen, adat diwujudkan dalam

banyak bentuk dan praktek. Misalnya mamele (pemujaan roh nenek moyang), pesta

bius (upacara korban), mangongkal holi (upacara penggalian tengkorak. Praktek ini

diwariskan secara oral dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai bagian dari

adat. Pada zaman pra-kristen gondang sabangunan merupakan alat musik yang

digunakan untuk upacara adat perkawinan namun digunakan bertolak-belakang

dengan ajaran kristen.

3.2.2 Masa Kristen

Sejak masuknya Nommensen ke Tanah Batak ajaran agama kristen mulai

menyebar dikalangan masyarakat Batak Toba, musik sudah tidak lagi di hantarkan

kepada Mula Jadi Na Bolon melainkan kepercayaan mereka sudah mengenal Tuhan

Yang Maha Esa. Perubahan pun sudah terjadi dalam kegiatan upacara adat sudah

diberlakukan secara agama Kristen, musik yang digunakan masih tetap

menggunakan gondang sabagunan namun dalam nyanyian, lagu-lagu yang biasa

dinyanyikan di gereja telah di nyanyikan juga ke dalam rangkain upacara adat,

khususnya nyanyian sebagai nyanyian penghantar ulos.

3.2.3 Masa sekarang

Zaman sekarang musik yang digunakan dalam upacara perkawinan adat

Batak toba telah mengalami perubahan yang pesat, dimana setelah munculnya masa

61
opera batak maka telah masuklah alat-alat musik modern untuk dipakai dan

dikombinasikan dengan sulim, taganing, hesek. Namun pada kebanyakan upacara

adat perkawinan yang penulis telusuri, sulkibta merupakan alat musik yang banyak

dipakai dalam upacara adat perkawinan di Kota Medan. Perubahan mencolok

terlihat pada masa sekarang.

3.3 Fungsi Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba

Kesenian merupakan salah satu warna kebudayaan yang terbentuk dari hasil

kreatifitas dan inovasi masyarakat dan lingkungannya. Kesenian tradisional lahir

dari budaya masyarakat terdahulu di suatu daerah tertentun yang terus berkembang

secara turun-temurun dan terus diikuti oleh generasi berikutnya.

Di samping mengenalkan musik perkawinan, fungsi musik perkawinan

Batak Toba di Kota Medan merupakan ritual adat yang tidak bertentangan dengan

ajaran agama Kristen, yang mana fungsi musik perkawinan sebagai sarana upacara

adat dalam pesta perkawinan Batak Toba sebagai sarana untuk mengungkapkan

rasa kegembiraan dan sebagaai sarana hiburan.

Untuk melihat fungsi pada upacara perkawinan Batak Toba, penulis

melakukan pendekatan yang dikemukakan oleh Allan P. Merriam dalam bukunya

The Anthropology of Music yang membagi musik kedalam sepuluh (10)21 kategori

fungsi musik, adapun fungsi musik yang berkaitan pada upacara perkawinan adat

Batak Toba dalam hal ini penulis menitikberatkan enam (6) fungsi musik

21
Alan P. Merriam, 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University
Press. (1) pengungkapan emosional, (2) penghayat estetis, (3) hiburan, (4) komunikasi, (5)
perlambangan, (6) reaksi jasmani, (7) berkaitan dengan norma-norma sosial, (8) pengesahan
lembaga social, (9) kesinambungan kebudayaan, (10) pengintegrasian masyarakat (lih. hal. 23).

62
perkawinan pada fungsi komunikasi, hiburan, perlambangan, pengungkapan

emosional, reaksi jasmanai, penghayatan estetis dan fungsi ritual. Lima dari

keenam fungsi tersebut yaitu fungsi komunikasi, hiburan, perlambangan,

pengungkapan emosional, reaksi jasmani dan penghayatan estetis merupakan wujud

dari adanya kontinuitas yang masih tetap di pertahankan dan diterima di tengah-

tengan masyarakat Batak Toba di Kota Medan, sementara fungsi ritual sudah

mengalami perubahan dan bahkan telah diabaikan.

3.3.1 Fungsi pengungkapan emosional

Pada berbagai kebudayaan, musik memiliki fungsi sebagai kendaraan dalam

mengekspresikan ide-ide dan emosi. Musik digunakan untuk menstimulasi perilaku

sehingga dalam masyarakat mereka ada lagu-lagu untuk menghadirkan ketenangan.

Para pencipta musik dari waktu ke waktu telaah menunjukkan kebebasannya

mengungkapkan ekspresi emosinya yang dikaaitkan dengan berrbagai objek seperti

cinta, suka-duka, amarah dan mulai mengotak-atik nada sesuai dengan suasana

hatinya.

Musik merupakan media yang dapat digunakan untuk mengungkap

perasaan. Sebagai contoh, ada orang yang mengungkapkan perasaannya dengan

bernyayi, penulisan lirik lagu, dan ada juga yang mengungkapkan perasaannya

dengan memainkan alat musik. Pengungkapan emosional tersebut diekspresikan

dengan kondisi suasana hati orang tersebut.

Dalam perkawinan, musik yang dimainkan dapat dianggap sebagai media

untuk mengungkapkan perasaan. Pada saat orangtua dari pihak pengantin wanita

63
menyampaikan ulos hela kepada pengantin, pemusik (pargonsi) akan membawakan

lagu ataupun musik untuk menggambarkan konteks pemberian ulos tersebut.

Sebagai contoh, lagu Borhat ma dainang akan dinyanyikan sebelum dan pada saat

ulos disampaikan. Isi teks lagu ini adalah doa orang tua dan keikhlasan

memberangkatkan putrinya mengarungi bahtera rumah tangga. Dalam doa tersebut

dimohon agar pengantin memperoleh anak laki-laki dan anak perempuan

sebagaimana cita-cita dari orang Batak, walaupun harus berpisah namun batin akan

selau bersama dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.

3.3.2 Fungsi penghayatan estetis

Pada dasarnya setiap orang telah dikaruniai Tuhan dengan berbagai

kemampuan belajar (ability to learn) dan bakat (talent) tentang apa saja. Setiap

orang memiliki kemampuan dan kecepatan yang berbeda-beda dalam hal

memahami keindahan tentang apa saja termasuk pula keindahan musik.

Untuk menikmati rasa estetis (indah), maka orang perlu belajar dengan cara

membiasakan diri mendengarkan musik-musik. Setiap jenis musik memiliki

keunikan melodis, ritmis, dan haarmonis yang terkait dengan komposisi dan

instrumentasinya.

Pada dasarnya, seseorang dapat enikmati musik karena secara psikologis

mampu untuk menghayati musik itu sendiri. Seseorang juga mampu memainkan

musik dengan baik apabila mampu menghayati permainan dengan baik. Seorang

pemain musik apapun tidak akan maksimal menggunakan instrumen yang

64
dimainkannya jika tidak mampu menghayati permainan musik tersebut dengan baik

walaupun secara teknis orang tersebut mahir dalam memainkannya.

Guntur Sitohang yang merupakan salah seorang sesepuh pargonsi Batak

Toba di Harian Boho Samosir pernah berkata, “jika kita ingin mahir dalam bermain

musik maka kita harus menjadikan musik itu sebagai bagian dari kehidupan kita” 22

yang artinya kita harus menganggap musik itu sebagai sosok yang kita sayangi

setiap saat sama seperti bagaimana kita menyanyangi orang tua, keluarga, bahkan

diri kita sendiri. Dengan demikian, maka kita harus merawat, menjaga, dan

memeperlakukan instrumen dengan baik.

Selain itu, musik pada upacara adat perkawinan dapat berfungsi sebagai

media untuk penghayatan estetis, hal ini dapat dilihat dari peristiwa manortor pada

saat akan menyerahkan ulos kepada pengantin. Pada umumnya tidak semua orang

Batak Toba dapat manortor karena memperoleh pelajaran manortor, tetapi

kenyataannya jika kita melihat di lapangan terjadi sebuah keselaarasan antara

gerakan tangan, kaki, dan badan pada saat manortor dengan iraman musik yang di

mainkan oleh pargonsi (pemain musik). Hal ini menunjukkan bahwa keselarasan

itu muncul karena adaya pengahayatan estetis dari sipanortor ketika mendengarkan

alunan musik yang dimainkan.

3.3.3 Fungsi hiburan

Pada umumnya setiap orang pasti membutuhkan hiburan dalam berbagai

aspek kehidupannya. Hiburan adalah suatu kegiatan yang menyenangkaan hati.

22
Lihat wawancara Bonggud dengan Guntur Sitohang 2011.

65
Musik sebagai salah satu cabang seni juga memiliki fungsi menyenangkan hati,

membuat rasa puas akan irama, bahasa melodi, atau keteraturan dari harmoninya.

Pada hakekatnya hiburan tidak semata-mata dibutuhkan oleh orang yang diligkupi

rasa duka atau memiliki beban berat dalam hidupnya, tetapi hiburan juga dapat

dinikmati oleh orang yang senang terhadap sesuatu sehingga dia tertarik untuk

menyaksikan atau mendengarkan hiburan tersebut.

Hiburan biasanya disajikan dalam berbagai bentuk penyajian baik pada saat

bersifat formal, semi formal maupun non-formal. Hiburan yang bersifat formal

biasanya identik dengan seni pertunjukan yang ditampilkan dalam berbagai acara-

acara yang bersifat akademis, kenegaraan, keaagamaan, konser akbar dan lain

sebagainya. Hiburan yang bersifat semi formal biasanya ditampilkan ketika konteks

acaranya bersifat lebih santai, biasanya dapat kita lihat pada seni pertunjukan kecil

seperti mini konser, konser dadakan dan lain sebagainya. Hiburan yang bersifat

non-formal merupakan hiburan yang dipertunjukkan untuk kepentingan pribadi

maupun golongan tertentu yang disajikan tanpa adanya aturan konsep acara yang

ditentukan dengan tujuan hanya untuk kesenangan semata atau pengisi waktu

luang.

Berkaitan dengan konteks hiburan tersebut, musik pada upacaraa

perkawinan berfungsi sebagai media hiburan juga merupakan instrumen yang

sudah sering dipakai dalam seni pertunjukan baik bersifat formal, semi formal,

maupun non-formal. Sebagai wujud fungsi musik perkawinan sebagai media

hiburan dalam konteks formal dapat dilihat ketika musik perkawinan menjadi

instrumen pokok pada saat acara adat, dalam konteks ini ialah upacara adat

66
perkawinan dan bisa disaksikaan oleh para undangan yang menghadiri pesta adat

perkawinan tersebut.

3.3.4 Fungsi komunikasi

Musik sudah dari sejak dahulu digunakan sebagai alat komunikasi baik

dalam keadaan damai maupun perang. Bunyi-bunyi teratur, berpola ritmik, dan

menggunakan alur-alur melodi menandakan adanya fungsi komunikasi dalam

musik. Merriam mengatakan bahwa musik walaupun tanpa syair sebenarnya telah

dianggap mengkomunikasikan sesuatu.23

Dalam hal ini, fungsi musik pada upacara adat perkawinan sebagai media

komunikasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu komunikasi secara vertikal dan

komunikasi secara horizontal. Komunikasi secara vertikal yakni komunikasi antara

manusia dengan pencipta, sedangkan komunikasi secara horizontal yakni

komunikasi antara manusia dengan sesama. Sebagai bentuk komunikasi yang

bersifat vertikal dapat kita lihat ketika musik memainkan repertoar gondang

tertentu seperti repertoar Gondang Somba-somba yang memiliki makna

penghormatan dan penyembahan kepada sang Pencipta, dimana sang Pencipta

dalam repertoar ini menyampaikan sebuah pesan kepada semua yang hadir pada

acara tersebut. Sedangkan bentuk komunikasi yang bersifat horizontal dapat dilihat

pada saat sipargonsi memainkan repertoar seperti repertoar Gondang Elek-elek,

Gondang Liat yang mencerminkan komunikasi antara pargonsi (pemain musik)

dengan panortor (orang yang menari).

23
Lihat Panggabean, 1996:86

67
3.3.5 Fungsi perlambangan

Dalam berbagai budaya bangsa yang masih mempertahankan tradisi nenek

moyang mereka, musik digunakan sebagai sarana mewujudkan simbol-simbol dari

nilai-nilai tradisi dan budaya setempat. Kesenangan, kesedihan, kesetiaan,

kepatuhan, penghormatan, rasa bangga, atau perasaan-perasaan khas mereka

disimbolkan melalui musik baik secara sendiri maupun menjadi bagian dari tari,

syair, dan upacara.

Alan P. Merriam juga mengatakan bahwa musik dapat berfungsi sebagai

perrlambangan atau simbol dari tingkah laku manusia.24 Berbicara mengenai

tingkah laku, orang lain diluar etnis Batak pada umumnya memandang bahwa

masyarakat Batak Toba dikenal dengan sifatnya yang keras, tegas, prinsipil, yang

terkesan kasar dan cepat dalam berbicara. Jika ditinjau dari segi musiknya, hal

tersebut bisa diterima karena bukti tersebut dapat dilihat dari musik dan repertoar

yang disajikan pada setiap acara adat masyarakat Batak Toba, biasanya repertoar

gondang selalu dibawakan dengan nuansa intonasi yang tegas, nada dan lirik yang

sangat rapat dengan tempo dan durasi yang berbeda-beda. Hal ini membuktikan

bahwa musik dapat menunjukkan identitas dari masyarakat pendukungnya, dan

musik atau repertoar yang mereka sajikan sesungguhnya melambangan gambaran

umum tentang tingkah laku dari masyarakat Batak Toba itu sendiri.

Melalui repertoar gondang yang dimainkan juga dapat diketahui bahwa

repertoar tersebut adalah lambang/identitas dari kelompok tertentu, misalnya

24
Alan P. Merriam, 1964, hal. 119-222

68
gondang sampur marmeme atau pasu-pasua dimana kelompok hula-hula manortor

bersama dengan hasuhutan maka gerakan mengangkat tangan sejajar bahu dengan

posisi telungkup adalah melambangkan bahwa hula-hula adalah sumber berkat

bagi borunya.

3.3.6 Fungsi reaksi jasmani

Fungsi musikal musik pada upacara perkawinan sebagai reaksi jasmani

sejalan dengan fungsinya sebagai pengungkapaan emosional dan fungsinya sebagai

penghayatan estetis, karena reaksi jasmani muncul ketika adanya penghayatan yang

menghasilkan emosional, dan emosional tersebut yang kemudian diungkapkan

melalui reaksi jasmani. Sebagai wujud dari fungsi reaksi jasmani dapat dilihat

dengan mengambil contoh pada saat manortor pada pesta adat perkawinan

masyaraakat Batak Toba. Ketika pemain musik (pargonsi) memainkan musik

dengan repertoar yang baik, maka sipanortor akan manortor kegirangan sambil

mengeluarkan seruan “eee.. mmada...” yang secara harafiah diartikan “ya inilah

kegembiraan kita.”

Sebaliknya ketika lagu atau repertoar yang dimainkan oleh pargonsi

(pemusik) kurang keindahannya bagi panortor, maka dengan spontan para audiance

akan mendapat teriakan dan sorakan negatif dari para panortor. Dari kedua

pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa nikmat atau tidaknya sajian sebuah

musik akan memperoleh reaksi jasmani positif maupun negatif pula dari orang yang

mendengarkan.

69
3.4 Musik pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba sebagai Kajian

Kontinuitas dan Perubahan

3.4.1 Kajian perubahan musik pada upacara adat perkawinan

Dalam pembahasan ini penulis mefokuskan ensambel musik yang

berkembang pada masyarakat Batak Toba. Dalam hal ini penulis memfokuskan

kajian pada musik yang masih berlanjut hingga sekarang ini pada penggunaannya

dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba. Penulis akan mengkaji

musik yang digunakan pada upacara adat perkaawinan di Kota Medan mulai dari

era 80-an hingga sekarang. Ada yang berlanjut dan ada perubahan yang terjadi

pada musik yang dipakai dalam upacara adat perkawinan di Kota Medan. Seperti

menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk menyesuaikan

diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan pertumbuhan

masyarakat (Soekanto, 1992:21).

Musik yang pada era 80-an dengan pada era zaman sekarang telah

mengalami perubahan dan perkembangan dalam struktur musiknya. Seperti hasil

wawancara dengan Marsius Sitohang selaku dosen uning-uningan di Departemen

Etnomusikilogi bahwa pada era 80-an musik perkawinan terbagi menjadi 3 (tiga)

bagian; yakni gondang sabangunan, uning-uningan, dan musik tiup. Penggunaan

dari ketiga bagian musik tersebut dimainkan harus sesuai dengan rasa dan

perpaduan yang cocok pada saat proses mangulosi berlangsung, dengan kata lain

ada saatnya masing-masing dari bagian musik tersebut dimainkan. Namun setelah

jaman opera masuk dan berkembang, mulailah terjadi perubahan dari segi struktur

musiknya. Musik yang di pakai telah terjadi pencampuran, seperti mulai berlakunya

70
permainan sulim dengan taganing, hasapi, doal, garantung, hesek. Mulai dari tahun

90-an disitulah mulai terjadi perbahan dalam struktur musiknya, ada yang tetap

digunakan, ada yang tidak lagi digunakan, dan telah terjadi pengkolaborasian

dengan alat musik modern seperti zaman sekarang ini.

Tabel 1. Struktur musik perkawinan era 80-an

Ensambel Instrumen Sifat

Gondang Taganing Berdiri sendiri

sabangunan Sarune

Ogung (oloan ihutan,

panggoran, doal)

Hesek

Uning-uningan Garantung Berdiri sendiri

Sulim

Hasapi

Hesek

Musik tiup Terompet Berdiri sendiri

Tuba

Trombone

drum tenor

71
Tabel 2. Struktur musik perkawinan era 90-an

Ensambel Instrumen Sifat Vokal

Musik tiup Terompet Campuran yang Lazimnya

Sulim berasal dari repertoar pada

Taganing gondang saat mangulosi

Ogung sabangunan dan telah terdapat

Hasapi gondang hasapi nyanyian,

Hesek dan musik tiup diiringi oleh

vokal dan musik.

Tabel 3. Struktur musik perkawinan era 2000-an

Ensambel Instrumen Sifat Vokal

Musik Terompet Telah terjadi Lagu yang

Saxophone pengkolaborasian digunakan makin

Taganing dengan alat musik bervariasi; lagu

Hasapi modern. Batak Toba, lagu

Kibod pop, lagu pop diluar

Sulim tradisi Batak Toba.

Jenis vokal pun

makin beragam,

yakni: solo, trio,

grup.

72
3.4.2 Kajian kontinuitas musik pada upacara adat perkawinan

Dalam perannya musik merupakan wadah yang digunakan dalam proses

manortor dalam upacara adat perkawinan. Terdapat nama gondang yang dipakai

selama proses manortor berlangsung. Nama gondang yang dipakai dalam

pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba dari dahulu hingga sekarang

masih tetap ada dan sama; yakni gondang mula-mula, gondang somba-somba,

gondang elek-elek, gondang liat-liat, gondang hasahatan. Akan tetapi lagu yang

diapakai tidak sama dengan lagu yang dimainkan pada gondang hasapi maupun

gondang sabangunan.

Lagu-lagu dalam musik berasal dari lagu-lagu rakyat maupun lagu-lagu

lainnya di luar tradisi Batak Toba namun dapat dikelompokkan kedalam gondang-

gondang tertentu, misalnya gondang somba-somba pada musik tiup diambil dari

melodi lagu opera begitu juga dengan gondang lainnya dapat diambil dari lagu-lagu

rakyat yang konteksnya sesuai dengan konteks gondang.

73
BAB IV

TRANSKRIP DAN ANALISIS MELODI

4.1 Transkripsi

Sebelum melakukan kerja analisis, langkah pertama yang dikerjakan ialah

mengubah bunyi musik ke dalam lambang visual melalui sebuah proses kerja yang

disebut transkripsi. Nettl mengatakan bahwa transkripsi adalah proses menotasikan

bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual, atau kegiatan memvisualisasikan

bunyi musik ke dalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas.25

Walaupun kegiatan mentranskripsi musik tradisional dalam bentuk notasi

visual sejak lama telah dianggap sebagai tugas yang esensial, berat dan sukar bagi

para etnomusikolog/musikolog/musisi seniman, namun untuk melihat dan

memahami bunyi musik sebagai produksi dari tata tingkah laku masyarakat

pemiliknya dalam bentuk visual, maka tidak ada cara lain kecuali melakukan

transkripsi terhadap bunyi musik yang akan dideskripsikan itu.

Pada umumnya dalam budaya oral, notasi yang digunakan ialah notasi

konvensional Barat, hal ini menjadi alternatif pilihan yang paling besar

kemungkinannya digunakan, terutama jika dalam budaya musikal yang diteliti tidak

tersedia sistem penulisan notasi musik.26

25
Nettl, op. cit. 98.
26
Supanggah, op. cit. 13.

74
Dari pengamatan yang dilakukan oleh beberapa ahli, memang terdapat

kelemahan yang serius terhadap hasil transkripsi yang menggunakan notasi musik

(Barat) yang konvensional. Hal ini disebabkan:

a. Pertama, notasi ini terlalu subyektif, yaitu telinga manusia tidak mampu

menerima atau menangkap apa saja yang disajikan (dalam musik yang akan

ditranskripsi), sekalipun rekaman itu diulang berkali-kali, dan juga ketajaman

persepsi individual dari si pentranskripsi yang berbeda-beda.

b. Kedua, notasi musik Barat bukan didesain untuk musik tradisi lisan (lihat

Seeger, 1958).

c. Ketiga, sejauh ini belum ada satu notasi visual pun yang dirancang, termasuk

notasi Barat dengan tanda-tanda khusus untuk nada-nada non-konvensional dan

lain-lain, yang dapat mewakili, seperti kualitas suara yang asli, cara-cara yang

penting dalam memproduksi bunyi vokal atau intrumental, dan sebagainya.27

Untuk itu keterbatasan notasi musik Barat haruslah disadari apabila kita

hendak melakukan suatu transkripsi yang detail, sebagaimana di kemukakan oleh

27
Masalah di atas kemudian dapat dipecahkan dengan diciptakannya oscilograph,
sonagraph, dan melograph. Melograph model C yang dibuat oleh Charles Seeger dapat menganalisis
suara secara sangat detail serta dapat menghasilkan gambar dari rekaman nada-nada, amplitudo, dan
spektrum bunyi pada saat bersamaan ke dalam bentuk sebuah film grafik. Akan tetapi sekalipun
peralatan ini mempunyai sifat obejektif, namun terdapat kelemahan-kelemahan dari informasi yang
diberikannya, dan terdapat pula sejumlah materi yang tidak dapat dianalisis dengan menggunakan
alat ini. Di satu sisi alat ini memberikan informasi lebih banyak dari yang diperlukan (sehingga sulit
untuk dipelajari), artinya alat ini mampu menangkap lebih banyak dibanding daya tangkap telinga
manusia, padahal sebuah transkripsi haruslah berdasar kepada apa yang dapat diterima oleh indera
pendengaran manusia, dengan kata lain tujuan dari pentranskripsian adalah untuk mencatat hal-hal
yang esensial, serta menghindari hal-hal yang dipandang tidak esensial. Untuk itulah kemudian
penggunaan notasi (Barat) dalam pentranskripsian suatu musik tetap dipakai sesuai kepentingan dan
kegunaannya. Ibid., 14-15. Lihat juga Barbara Crader, “Ethnomusicology,” dalam Stanley Sadie,
The New Grove Dictionary of Music and Musicians (London, New York: Macmillan Publisher
Limited, 1980), 117.

75
Singer. “The limitations of our Western musical notation must be taken into

consideration, particularly when attempting a detailed transcription”.28

Namun demikian Nettl (1975) mengatakan bahwa untuk menemukan ciri-

ciri yang mendasari musik yang diteliti, notasi konvensional Barat dapat digunakan,

tetapi dengan membubuhkan tanda-tanda khusus yang berguna untuk memberikan

kejelasan pada musik yang ditranskripsikan itu.29 Hal ini sejalan dengan apa yang

dikemukakan oleh Pandora Hopkins, bahwa kita menggunakan notasi karena

adanya keinginan untuk menunjukkan bahwa notasi itu adalah sebagai fenomena

yang telah memiliki arti bagi pemakainya, dan dengan notasi dapat memberikan

materi yang bernilai untuk perbandingan. 30 Lagipula, “Transcription, therefore, are

needed to visualize what we near, to enable us to study musics comparatively and

in detail, and to help us communicate to others what we think we heard”.31

Demikianlah Phylis M. May berpendapat bahwa transkripsi diperlukan untuk

memvisualisasikan apa yang didegar yang memungkinkan untuk membantu

mempelajari musik secara komparatif dan detail, serta membantu untuk

mengkomunikasikannya kepada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa

yang didengar itu. Meskipun sesungguhnya mentranskripsikan bunyi musik ke

28
Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in
Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 113.
29
Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts (Chicago:
University Press, 1983), 16.
30
Pandora Hopkins, “The Purpose of Transcription”, dalam Journal for the Society of
Ethnomusicology (Ann Arbor Michigan, 1966), 316.
31
Phylis M. May, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in
Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 109.

76
dalam bentuk visualisasi tidak akan pernah bisa sama persis sebagaimana ketika

musik itu disajikan.32

Sebagaimana dikemukakan oleh Seeger (1958), dalam melakukan

transkripsi terdapat dua jenis notasi musik berdasarkan tujuan dan penggunaannya.

Kedua notasi itu ialah, notasi preskriptif dan notasi deskriptif, dan karena itu

pentranskripsian pun dibedakan atas transkripsi preskriptif (Inggris: prescriptive)

dan transkripsi deskriptif (Inggris: descriptive).

Transkripsi preskriptif ialah pencatatan bunyi musikal ke dalam lambang notasi

dengan hanya menuliskan nada-nada pokoknya saja. Notasi seperti ini umumnya

dipakai hanyalah sebagai petunjuk bagi para pemusik atau sebagai alat pembantu

untuk si penyaji supaya ia dapat mengingat (apa yang telah dipelajarinya secara

lisan).

Sedangkan transkripsi deskriptif ialah menuliskan bunyi musikal ke dalam

lambang notasi (konvensional Barat) secara detail menurut apa yang dapat

ditangkap oleh indera pendengaran si transkriptor dengan maksud untuk

menyampaikan ciri-ciri dan detail-detail komposisi musik yang belum diketahui

oleh pembaca.33

Sistem notasi konvensional Barat (notasi balok) tersebut digunakan dengan

pertimbangan bahwa:

a. pada budaya tradisi musikal yang diteliti tidak ditemukan sistem penulisan

musik

32
Transkripsi pada umumnya pasti dipengaruhi oleh interpretasi si transkriptor terhadap
karakter-karakter musik itu. Oleh sebab itu tidak akan dapat dihindari atau akan ada muncul
perbedaan-perbedaan akan sebuah segmen musikal dari dua orang atau lebih dalam
mentranskripsikan suatu musik. Lihat juga Nettl, Theory and Method, op.cit., 99.
33
Ibid., 99.

77
b. para etnomusikolog/musikolog pada umumnya selalu menggunakan notasi

balok dalam mentranskripsikan musik non-Barat, terutama pada budaya

dimana musik itu berada tidak terdapat sistem penulisan musik

c. notasi ini sudah dikenal secara umum terutama dikalangan akademisi

d. sangat membantu dalam melihat struktur musik melalui tinggi-rendahnya nada

pada setiap lintasan melodi (melodic line), atau dalam membedakan durasi

sebuah not dengan durasi not lainnya, serta tanda-tanda musik lainnya yang

secara umum lebih mudah dipahami oleh pembaca, dan tentu saja hal ini akan

lebih memudahkan dalam melakukan kerja analisis.

4.2 Analisis

Dalam Webster’s Third New International Dictionary of the American

Language disebutkan bahwa analisis adalah pemisahan suatu kesatuan ke dalam

unsur-unsur fundamental atau bagian-bagian komponen.34 Tujuannya ialah untuk

menguji sifat-sifat dan konotasi-konotasi dari sebuah konsep, ide, atau pun wujud.

Dengan demikian, hasil akhir dari sebuah analisis adalah pemisahan atas sifat-sifat

sebuah objek, baik dilihat secara keseluruhan maupun secara terpisah. Selanjutnya,

dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan, menerangkan,

mengujicoba, dan merancang bagian-bagiannya secara umum, mengikuti logika

keilmuan dan harus memiliki alasan-alasan tertentu yang jelas.35

Membincangkan analisis musikal sama halnya dengan membincangkan

setiap unsur-unsur bermakna yang tertuang di dalam sebuah musik. Dilakukannya

34
Philip B. Gove, Webster’s Third New International Dictionary of the American Language
(New York: The World Publishing Company, 1966), 77.
35
Marcia Herndorn, “Analisis Struktur Musik Dalam Etnomusikologi.” seperti naskah
terjemahan M. Takari, Perikuten Tarigan (Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara, 1994), 4.

78
analisis terhadap masing-masing unsur musikal itu ialah karena ada tujuan untuk

menjelaskan unsur bermakna tersebut. Namun sebagaimana dikatakan oleh Nicolas

Cook, bahwa hingga saat ini belum ada metode analisis oral maupun formal tunggal

yang sudah baku dan berlaku secara umum yang dapat dipakai untuk menganalisis

musik secara menyeluruh.

There is not any one fixed way of starting an analysis. It depends of


the music, as wel as on the analyst and the reason the analysis is
being done. But there is a presequisite to any sensible analysis, an
this is familiarity with the music.36

Berkenaan dengan gaya atau prinsip dasar struktur musikal, Willy Apel

mengatakan bahwa gaya adalah unsur atau elemen penting yang sangat

berhubungan dengan struktur suatu komposisi. Unsur atau elemen dimaksud ialah

bentuk (Inggris: form), melodi (Inggris: melody), maupun ritme atau irama (Inggris:

rhythm).37

Dalam melakukan analisis, dapat juga dikombinasikan dengan metode

weighted scale (bobot tangga nada) dari William P. Malm serta langkah-langkah

description of musical compositions yang ditawarkan oleh Bruno Nettl. Malm

mengatakan bahwa gaya musikal berkaitan dengan dua hal yang tidak terpisahkan,

yaitu melodi dan ritme atau ruang dan waktu. Unsur melodi berkaitan dengan

ruang, dimana setiap nada dalam garis melodi bergerak sesuai dengan tinggi

rendahnya nada. Sementara ketinggian dan kerendahan nada mempunyai durasi

secara panjang dan pendek yang dalam hal ini merupakan unsur dari ritme. Dengan

perkataan lain, ritme berkaitan dengan waktu, dimana setiap nada dalam melodi

36
Nicolas Cook, A Guide to Musical Analysis (London & Melbourne: J.M. Dent & Sons
Ltd, 1987), 237.
37
Willy Apel, op. cit., 811.

79
memiliki durasi yang berbeda-beda, dan dengan perbedaan durasi itulah tercipta

gerak melodi yang harmonis. Unsur-unsur yang berkaitan dengan melodi terdiri

dari:

(1) tangga nada (Inggris: modus),

(2) nada dasar (Inggris: pitch centre),

(3) wilayah nada (Inggris: range),

(4) jumlah nada-nada,

(5) jumlah interval,

(6) pola-pola kadensa,

(7) formula-formula melodik,

(8) kontur,

(9) durasi,

(10) ritme,

(11) frase dan kalimat, serta

(12) periode atau siklus.

Yang berkaitan dengan dimensi waktu yaitu:

(1) tempo,

(2) pulsa,

(3) ketukan,

(4) pola dan motif, serta

(5) birama.38

Dipihak lain Bruno Nettl mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan komposisi

38
Malm, op. cit., 7.

80
musikal harus memperhatikan unsur-unsur berikut:

(1) perbendaharaan nada,

(2) tangga nada (Inggris: modus),

(3) tonalitas,

(4) interval,

(5) kantur melodi,

(6) ritme,

(7) tempo, dan

(8) bentuk.39

4.3 Pemilihan Sampel Lagu

Dalam kaian analisis transkripsi ini, penulis hanya memilih sebuah sampel

lagu untuk dianalisis berdasarkan metode weighted scale (bobot tangga nada) dari

Willian P. Malm. Namun dari seluruh unsur yang dikemukakan oleh Malm, penulis

hanya mengambil beberapa unsur pokok saja, yaitu:

1) Tangga nada

2) Modus

3) Wilayah nada

4) Interval

5) Pola kadensa

6) Formula melodi (bentuk)

7) Identifikasi tema (thematic material)

39
Netll, Theory and Method. op. cit., 145-149.

81
8) Kontur melodi

Lagu Borhat ma dainang yang akan penulis transkripsikan dan analisi pada

bagian bab ini sebagai salah satu lagu/nyanyian pada upacara adat perkawinan

Batak Toba. Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan penulis dalam

memilih komposisi lagu tersebut utuk di analisis, yaitu karena:

1. Menurut penulis, pada saat pemberian ulos hela merupakan bagian upacara

adat yang penulis rasa lebih menyentuh daripada bagian rangkaian

pemberian ulos lainnya.

2. Lagu Borhat ma dainang merupakan lagu yang sangat populer, dan di setiap

lokasi penelitian penulis selalu terdapat lagu tersebut pada ucara adat

perkawinan masyarakat Batak Toba di Kota Medan.

4.4 Model Notasi

Notasi yang digunakan untuk mentranskripsi lagu Borhat ma dainang adalah

notasi Barat. Notasi ini merupakan notasi yang sudah baku dan sudah umum. Di

dalamnya terdapat beberapa simbol-simbol yang digunakan dalam partitur notasi

balok dari lagu-lagu di atas. Adapun beberapa simbol tersebut akan diuraikan

secara rinci di bawah ini.

1.

Menunjukkan garis paranada dimana terdapat lima buah garis paranada dan

empat buah spasi.

2.

82
Gambar yang paling kiri menunjukkan tanda kunci (key signature) G, dimana

pada garis paranada kedua dari bawah merupakan nada G. Gambar yang ditengah

merupakan tanda kres yang berarti nada dasarnya adalah G. Sedangkan gambar

yang paling kanan menunjukkan birama 4/4 artinya dalam setiap birama memiliki

empat ketuk not seperempat.

3.

Gambar tersebut menandakan not penuh (whole note), artinya nada tersebut

memiliki nilai sebanyak empat ketuk.

4.

Gambar tersebut menandakan not seperempat (quarter note), artinya nada

tersebut memiliki nilai sebanyak satu ketuk.

5.

Gambar tersebut menandakan not seperdelapan (eighth note), artinya nada

tersebut memiliki nilai sebanyak setengah ketuk.

5.

83
Gambar tersebut menandakan not triol pada birama 4/4, artinya nada

tersebut memiliki 3 nada dalam 1 ketuk.

6.

Gambar tersebut menandakan not seperenambelas (sixteenth note), artinya

nada tersebut memiliki nilai sebanyak seperempat ketuk.

4.5 Analisis Musik Pada Saat Penyerahan Ulos (mangulosi)

Dalam pembahasan analisis musik pada saat penyerahan ulos (mangulosi).

Mangulosi merupakan proses mengalungkan kain ulos, kain adat Batak ke pundak

pengantin. Mangulosi tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, baik yang

memberi maupun yang menerima harus mengerti makna dari pemberian ulos

tersebut. Kain ulos itu sendiri memiliki makna memberi perlindungan terhadap

segala cuaca dan keadaan yang dipercayai oleh suku Batak, sehingga pemberian

ulos merupakan simbol pemberian berkat dan perlindungaan.

Pemberian ulos pada upacara perkawinan Batak Toba banyak sekali, seperti

ulos pansamot, ulos holong, ulos hela, ulos bere, ulos kepada ale-ale, dan

sebagainya. Dalam kajian ini, penulis mengambil sampel pada saat penyerahan ulos

hela. Penyampaian ulos hela ini merupakan pemberian nasihat dan umpasa-umpasa

84
dari orang tua pengantin perempuan kepada orang yang menikah. Contoh

pemberian nasihat dari orang tua pengantin perempuan kepada kedua mempelai:

Nunga dipadomu Debata hamu gabe sada Ripe Naimbaru, Sai

ganjang ma umurmu, sai Tuhanta ma namangaramoti hamu

dingolumu, dao ma nasa parsahitan. Ulos Nahapal ma Uloson, sai

dipahapal Debata ma dihamu holong ni roha dohot Dame i. Asa

songon nidok ni umpama ma:

“Pege sangkarimpang,

Hunik sahadang-hadangan,

mangangkat ma hamu rap tuginjang,

manimbung rap tu toru tongtong satahi saoloan.

Sinimbur ni pangkat ma tu sinimbur ni hotang,

tudia pe hamu mangalangka sai mamasu-masu ma Tuhanta,

disi ma hamu dapotan parsaulian.”

Selain berupa kata-kata nasihat, orang tua pun memberikan hata ni umpasa,

umpasa merupakan rangkaian kata-kata doa, bisa semacam pantun atau puisi yang

di dalamnya terdapat pernyataan restu, doa, dan harapan bagi orang yang

mendengarnya (dalam hal ini yaitu kedua mempelai). Contoh hata ni umpasa

adalah sebagai berikut:

Bintang na rumiris

Akkup ni ombul na sumorop

Anak pe di hamu deak riris

85
Boru deak torop

Tubu ma hariara

Di olang-olang ni huta

Sai tubu ma di hamu anak na sangap

Dohot boru na martua

Sahat-sahat ni solu

Sahat ma tu bontean

Leleng ma hita mangolu

Sahat tu panggabean

Setelah orang tua dari pihak parboru memberikan kata-kata nasihat dan hata ni

umpasa, mereka akan menyanyikan lagu sebagai tanda bahwa orang tua dari

pengantin perempuan telah mengikhlaskan puterinya untuk mengarungi bahtera

rumah tangga. Salah satunya Borhat ma dainang, yang akan menjadi bahan analisis

penulis. Maka orang tua pengantin perempuan akan meminta musik kepada

pargonsi (pemusik) dengan berkata: “di hamu parmusik nami, ala na nuaeng

pasahat ulos ma hami tu boru dohot hela nami, bahen hamu ma ende Borhat ma

dainang”

86
Gambar 11. Pemberian ulos hela

4.6.1 Analisis tangga nada

Sebagaimana dikemukakan oleh Nettl bahwa cara-cara untuk

mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan semua nada yang dipakai

dalam membangun sebuah komposisi musik tanpa melihat fungsi masing-masing

nada tersebut dalam lagu.

Selanjutnya, tangga nada tersebut digolongkan menurut beberapa klasifikasi,

menurut jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonik (dua nada), tritonic (tiga

nada), tetratonik (empat), pentatonik (lima nada), heksatonic (enam nada),

heptatonic (tujuh nada). Dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap satu

nada saja.40

Menurut Malm, mendeskripsikan tangga nada adalah menyusun semua nada

yang dipakai dalam melodi suatu lagu. Dengan demikian penulis akan menyusun

40
Nettl, Theory and Method. op. cit., 145.

87
nada-nada yang terdapat dalam melodi lagu Borhat ma dainang mulai dari nada

terendah hingga nada tertinggi, termasuk nada-nada oktaf.

4.6.1.1 Tangga nada lagu Borhat ma dainang

Penulis mengurutkan semua nada yang dipakai dalam lagu ini, kemudian

menyusunnya ke dalam garis paranada yang disusun sesuai dengan nada-nada pada

lagu Borhat ma dainang. Setelah dianalisa, pada lagu ini terdapat enam nada dan

ditambah satu nada oktaf. Nada tersebut adalah nada G, A, B, C, D, E, F#, G’.

4.6.2 Wilayah nada lagu Borhat ma dainang

Untuk membuat wilayah nada yang terdapat pada lagu Borhat ma dainang

ini, penulis berpedoman kepada tangga nada yang sudah dibuat ke dalam bentuk

partitur yang terdapat pada sub-bab sebelumnya. Lagu Borhat ma dainang memiliki

wilayah nada dari nada D ke D’. Jarak dari nada D ke D’ adalah sebanyak enam

laras sehingga jumlah frekuensi jarak nada tersebut adalah 1200 cent.

4.6.3 Nada dasar (Pitch Center)

88
Dalam menentukan nada dasar pada setiap lagu yang akan ditranskripsikan,

penulis berpedoman kepada hasil rekaman yang dimainkan di lapangan. Atas dasar

itu, kemudian penulis mengubahnya ke dalam bentuk partitur. Namun dalam

mentranskripsikan lagu Borhat ma dainang, penulis terlebih dahulu berpedoman

kepada partitur yang sudah ada, kemudian mencocokkannya dengan hasil rekaman

yang ada di lapangan. Nada dasar dalam partitur lagu Borhat ma dainang adalah

G.

4.6.4 Jumlah nada (frequency of note)

Jumlah nada merupakan banyaknya pemakaian nada yang dipakai dalam

sebuah komposisi. Menurut Nettl (1964:146), untuk menggambarkan jumlah nada-

nada umumnya disampaikan lewat notasi yang ditulis pada garis paranada. Dalam

hal ini penulis akan menyusun jumlah nada yang dipakai sesuai dengan tangga

nada yang telah dibuat sebelumnya.

4.6.4.1 Jumlah nada lagu Borhat ma dainang

Frekuensi pemakaian nada pada lagu ini dapat dilihat pada garis nada di

bawah ini:

4.6.5 Interval

89
Interval ialah jarak antara satu nada ke nada berikutnya, naik maupun turun

berdasarkan jumlah laras yang mengantarai kedua nada tersebut. Berdasarkan

hukum musik, nama-nama interval telah ditentukan menurut jumlah nada yang

dipakai, sedangkan jenisnya ditentukan berdasarkan jarak kedua nada tersebut

dalam laras, seperti pada tabel berikut:

Simbol interval Jumlah Jumlah Nama dan jenis interval Contoh


nada Laras nada
1P 1 0 Prime perfect C-C
2M 2 1 Sekunda mayor C-D
3M 3 2 Terts mayor C-E
4P 4 2,5 Kwart perfect C-F
5P 5 3,5 Kwint perfect C-G
6M 6 4,5 Sekta mayor C-A
7M 7 5,5 Septime mayor C-B
8P 8 6,5 Oktaf perfect C-C’
9M 9 7,5 None mayor C-D’
10M 10 8,5 Decime mayor C-E’
 Catatan, interval besar (mayor, M) dikurang setengah laras menjadi interval

kecil (minor, m); interval murni (perfect, P) dan kecil (minor, m) dikurang

setengah laras menjadi interval kurang (diminish, dim); Sebaliknya, interval

besar (mayor, M) dan murni (perfect, P) ditambahsetengah laras menjadi

interval lebih (augumentasi, Ag), sedangkan interval murni (perfect) tidak

bisa menjadi interval besar ataupun kecil.

Rumus interval

dim+ ½ laras = m m + ½ laras = M M + ½ laras = Ag


m – ½ laras = dim M – ½ laras = m Ag – ½ laras = M

90
P – ½ laras = dim P + ½ laras = Ag

Dengan demikian, berdasarkan hukum interval diatas maka interval untuk

komposisi melodi sulim di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. Frekuensi Pemakaian Interval

Lagu Borhat ma dainang

Interval Naik Turun jumlah


1dim 2 2
1P 81 81
2M 23 49 72
2m 4 13 17
3M 4 4
3m 4 1 5
3aug 1 1
4P 2 2
5P 1 1
7aug 2 2
Total 187

4.6.6 Formula melodi

Melodi berasal dari bahasa Yunani yaitu meloidia yang artinya bernyanyi

atau berteriak. Namun berdasarkan kamus online Virginia Tech Multimedia Music

Dictionary, melodi adalah:

91
A rhythmically organized sequence of single tones so related to one
another as to make up a particular phrase or idea. [sebuah nada yang
disusun secara berurutan sehingga setiap nada berkaitan dan
membentuk sebuah frasa atau ide tertentu]

Dalam mendeskripsikan fomula melodik, ada tiga hal penting yang akan

dibahas yaitu bentuk, frasa, dan motif. Bentuk adalah suatu aspek yang

menguraikan tentang organisasi musikal. Unit terkecil dari suatu melodi disebut

dengan motif, yaitu tiga nada atau lebih yang menjadi ide sebagai pembentukan

melodi. Gabungan dari motif adalah semi frasa, dan gabungan dari semi frasa

disebut dengan frasa (kalimat).

Terdapat beberapa istilah yang lazim digunakan untuk mengidentifikasi

garapan formula melodi sebuah komposisi musik. Menurut William P Malm dalam

bukunya Musical Cultures of The Pasific The Near East and Asia (1977:8), yaitu:

a. Repetitif dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk nyanyian yang

memakai formula melodi yang relatif pendek dan selalu diulang-ulang.

b. Iteratif yaitu nyanyian dengan formula melodi yang kecil dengan

kecenderungan pengulangan-pengulangan dalam keseluruhan nyanyian.

c. Apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frase pertama setelah terjadi

penyimpangan-penyimpangan melodi, bentuk ini disebut reverting.

d. Jika salah satu dari bentuk tersebut diulang dengan formalitas yang sama tetapi

dengan teks nyanyian yang cenderung baru, disebut strofic.

92
e. kalau bentuknya selalu berubah dengan menggunakan materi teks yang selalu

baru, ini disebut progressive.41

Nettl dalam bukunya Theory and Method in Ethnomusicology, mengatakan

bahwa untuk mendeskripsikan bentuk suatu komposisi, ada beberapa patokan yang

dipakai untuk membagina ke dalam berbagai bagian, yaitu:

1. Pengulangan bagian komposisi yang diulangi bisa dianggap sebagai satu unit.

2. Frasa-frasa istirahat bisa menunjukkan batas akhir suatu unit.

3. Pengulangan dengan perubahan (misal, transposisi lagu atau pengulangan

pola ritmis dengan nada-nada yang lain).

4. Satuan teks dalam musik vokal, seperti kata atau baris.

Dalam hal ini penulis membagi bentuk dalam lagu-lagu yang dianalisa dengan

patokan poin kedua diatas, yaitu membagi dengan berdasarkan frasa-frasa istirahat.

4.6.6.1 Analisis Bentuk, Frasa, dan Motif pada Lagu Borhat ma dainang

Birama Frasa
1-4 A
5-8 B
9-12 C
13-16 B1
17-20 D
21-24 E
25-28 A1
29-32 B2

41
Malm., op. cit., 17.

93
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa A

Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa A1

Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa B

Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa B1

Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa B2

Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa C

94
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa D

Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa E

4.6.7 Kadens

Sebagaimana kalimat bahasa yang diberi tanda baca berupa koma dan titik,

maka demikian juga halnya dengan musik, juga diberi tanda baca melalui kadens-

kadens yang terdapat di dalamnya. Sebuah kadens adalah satu kerangka atau

formula yang terdiri dari elemen-elemen harmonis, ritmis, dan melodis yang

menghasilkan efek kelengkapan yang bersifat sementara (kadens tak sempurna,

kadens gantung) dan yang permanen (kadens lengkap, sempurna).

Kadens yang berakhir pada nada tonal disebut kadens sempurna (lengkap),

sedangkan yang berakhir pada nada lain (seperti nada dominan atau sub-dominan)

disebut kadens gantung (tak sempurna). Analoginya dengan kalimat, kadens

sempurna itu merupakan titik; kadens gantung merupakan tanda tanya atau titik-

koma. Sebuah frase yang berakhir pada kadens gantung (tak sempurna) disebut

frase anteseden dan biasanya kadens seperti ini akan segera pula diikuti oleh sebuah

frase konsequen yang berakhir dengan sebuah kadens sempurna (lengkap).

95
4.6.7.1 Pola kadensa lagu Borhat ma dainang

Pola semi kadens (half cadence) terdapat pada:

Birama ke-2

Birama ke-6

Birama ke-10

Birama ke-14

Birama ke-22

Birama ke-26

Birama ke-30

Pola kadens penuh (full cadence) yaitu terdapat pada :

Birama ke-4

Birama ke-8

Birama ke-12

Birama ke-16

96
Birama ke-24

Birama ke-28

Birama ke-32

4.6.8 Kantur

Kontur adalah garis melodi yang terdapat pada sebuah komposisi musik

yang dapat diidentifikasi berdasarkan pergerakan melodinya dan diperlihatkan

melalui grafik garis. Pada komposisi musik yang relatif panjang, identifikasi kantur

didasarkan pada bentuk melodi musiknya.

a. Bila gerak melodinya naik dari nada rendah ke nada yang lebih tinggi disebut

ascending;

b. Bila gerak melodinya menurun dari nada yang tinggi ke nada yang lebih rendah

disebut descending;

c. Bila gerak melodinya melengkung bergelombang/melengkung dari nada yang

rendah ke nada yang tinggi kembali ke nada yang rendah, atau sebaliknya

disebut pendulous;

d. Bila gerak melodinya berjenjang seperti anak tangga dari nada yang rendah ke

nada yang lebih kemudian sejajar disebut terraced;

e. dan apabila gerakan-gerakan intervalnya sangat terbatas atau bersifat tetap

disebut static.

97
4.6.8.1 Kantur pada lagu Borhat ma dainang

Kontur di atas menunjukkan melodi pada lagu Borhat ma dainang ini bersifat

Pendulous, dimana melodi awalnya berada pada nada yang lebih tinggi, kemudian

bergerak ke nada yang lebih rendah dan selanjutnya kembali ke nada yang lebih

tinggi. Terdapat pada birama ke-10 sampai pada birama ke-11.

Sedangkan bentuk kontur pada gambar notasi di atas menunjukkan adanya

sifat Pendoulos yang tidak hanya menggambarkan nada dari yang lebih tinggi

menuju nada yang lebih rendah, kemudian naik kembali menuju nada yang lebih

tinggi. Tetapi dilanjut dengan pergerakan menuju ke nada yang lebih rendah. Notasi

di atas berada pada birama yang ke-24 sampai birama yang ke-25 pada lagu Borhat

ma dainang.

Jenis kontur pada gambar notasi di atas menunjukkan adanya sifat

descending, yaitu dari nada yang lebih tinggi menuju nada yang lebih rendah.

Notasi tersebut terdapat pada birama ke-20.

98
Jenis kontur pada gambar notasi di atas menunjukkan adanya sifat statis, yaitu

garis melodi yang sifatnya tetap. Notasi tersebut terdapat pada birama yang ke-18.

Jenis kontur pada gambar notasi di atas menunjukkan adanya sifat teracced,

yaitu garis melodi yang sifatnya berjenjang seperti anak tangga. Terdapat pada

birama ke-23.

99
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian tentang permasalahan dan pembahasan yang

telah dijelaskan tentang musik perkawinan di Kota Medan, maka penulis

menyimpulkan bahwa musik perkawinan pada upacara pernikahan adat Batak

Toba telah mengalami perubahan dan perkembangan. Ada beberapa instrumen

tradisiona Batak Toba lainnya yang masih tetap eksis dan mampu bertahan dan

ada juga yang beberapa diantaranya mengalami kepunahan, seperti sulim, hasapi,

taganing.

Masuknya alat musik modern kedalam pengkolaborasian dengan alat

musik tradisi sebagai musik yang dipakai dalam upacara adat perkawinan Batak

Toba zaman sekarang ini, dipengaruhi karena kebutuhan manusia yang semakin

berkembang akan musik pop dan perkembangan zaman. Memang nilai tradisi

yang dahulu sudah hampir tidak ditemukan lagi pada zaman sekarang ini. Sebagai

salah satu bukti sudah tidak disebutkan lagi nama repertoar untuk musik yang

akan dimainkan pada saat penyerahan ulos, melainkan sudah menggunakan lagu-

lagu pop/modern ataupun rohani yang dimainkan oleh pargonsi pada saat proses

mangulosi berlangsung. Hal inilah yang menyebabkan mengapa sudah tidak

digunakan lagi gondang sabangunan sebagai musik yang dipakai dalam upacara

perkawinan adat.

Namun untuk tidak menghilangkan nilai-nilai tradisi budaya Batak toba,

sulim, taganing, dan hasapi masih sering dijumpai pada upacara perkawinan adat

100
Batak Toba, karena alat musik tersebut masih cocok untuk digunakan sebagai

pengiring lagu pop/modern. Hal inilah yang dapat dikatakan musik dalam upacara

adat perkawinan mengalami pengurangan dalam jenis instrumen tradisi yang

dipakai.

Dari segi rangkaian upacara adatnya, masih tetap sama dengan zaman

sebelum berkembangnya musik modern dikalangan masyarakat Batak Toba,

hanya saja yang membedakan ialah rangkaian upacara adat tidak lagi dilakukan

berminggu-minggu atau berbulan-bulan karena faktor sanak-saudara yang sudah

berjauhan atau banyak yang di perantauan maka upacara adat perkawinan Batak

Toba cukup dilakukan selama satu hari yang dinamakan Adat Na Gok atau Ulaon

Sadari.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis kemukakan di atas, maka

penulis mengajukan beberapa saran seperti berikut ini :

1. Jikalau ada di antara pembaca yang tertarik dengan kajian tulisan ini,

penulis menyarankan agar kiranya berkenan untuk membahas lebih lanjut

tentang pembahasan ini, karena setiap periode pada waktu penggunaan

instrumen khususnya dalam konteks kebudayaan pasti selalu

memunculkan fenomena baru dalam setiap aspek kkehidupan masyarakat

itu sendiri.

2. Selaku masyarakat yang memiliki identitas kebudayaan, sebaiknya kita

bersama-sama untuk melestarikan setiap unsur kebudayaan secara khusus

musik tradisi yang turun-temurun diajarkan oleh para musisi pendahulu.

Aturan dan ketetapan adat yang terdahulu harus kembali di rancang agar

101
3. semakin lama tidak semakin punah tradisi kebudayaan khususnya pada

kebudayaan masyarakat Batak Toba. Namun tetap diimbangi dengan

kebutuhan masyarakat masa kini, tanpa menghilangkan nilai tradisi

sebagai suku Batak Toba.

102
DAFTAR PUSTAKA

Barbara Crader, “Ethnomusicology,” dalam Stanley Sadie, The New Grove


Dictionary of Music and Musicians (London, New York: Macmillan
Publisher Limited, 1980), 117.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka.

Dyson, L (dalam Sujarwa). 1987. Manusia dan Seni Budaya. Jakarta: Balai
Pustaka.

Gultom, D.J. 1992. Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak. Medan:
Armanda.

Kaplan, David and Manners, Albert A. 1999. Teori Budaya. [trans]. Landung
Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. 1985. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi (ed). Jakarta. Rineka Cipta.

Kountur, Rony, D.M.S., Ph.D. 2003. Metode Penelitian: untuk Penulisan Skripsi
dan Tesis. Jakarta: Teruna Grafika.

Marcia Herndorn, “Analisis Struktur Musik Dalam Etnomusikologi.” seperti


naskah terjemahan M. Takari, Perikuten Tarigan (Medan: Jurusan
Etnomusikologi, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 1994), 4.

Meriam, Alan P. 1964. The Anthropology Of Music. United States Of America:


University Press.

Moleong, Lexy J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.
Nettl, Bruno.1964. Theory and Method in Ethnousicology. New York: The Free
Press of Glencoe.

Pandora Hopkins, “The Purpose of Transcription”, dalam Journal for the Society
of Ethnomusicology (Ann Arbor Michigan, 1966), 316.

Phylis M. May, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in


Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University
Archieve, 1978), 109.

Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse


in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University
Archieve, 1978), 113.

103
Sidabutar, Bonggud. 2014. Sulim Batak TobaSebagai Kajian Kontinuitas dan
Perubahan. Medan, Universitas Sumatera Utara.

Simangunsong, Emmi. 2002. “Ensambel Gondang Sabangunan Batak Toba:


Perhubungan Di antara Muzik, Tortor Dan Adat Dalihan Na Tolu.‟
Unpublish M.A. thesis, University Sains Malaysia, Pulau Pinang,
Malaysia.

Takari, Muhammad. 2004. Interelasi Budaya Musik Batak dan Melayu di


Sumatera Utara dalam Pluralitas Musik Etnik Batak Toba, Mandailing,
Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun. Medan: Pusat
Dokumentasi PengkajianKebudayaan Batak, Universitas HKBP
Nommensen.

104
DAFTAR WEBSITE

http://kajiseni.blogspot.com/2012/10/tradisi-gondang-sabangunan-dan-tortor.html

https://polban.academia.edu/Aikaaikasiregar/Activity

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20345/1/Appendix.pdf

www.gobatak.com

www. meiracindy.blogspot.com

www.rolandhutajulu.blogspot.com/adat-perkawinan-batak-toba

journal of Emmi Simangunsong “Muzik Gondang Sabangunan dan Peranannya

dalam Upacara Pesta Adat Batak Toba: Satu Pengenalan”

105
DATA INFORMAN

1. Nama : Coy Manurung


Alamat : Perumnas Mandala
Umur : 32 tahun
Pekerjaan : Pargonsi

2. Nama : Juniro Sitanggang


Alamat : Jalan Sei Padang
Umur : 26 tahun
Pekerjaan : Pargonsi/Mahasiswa

3. Nama : Bapak Kembar


Alamat : Simpang Marindal
Umur : 48 tahun
Pekerjaan : Raja Parhata/Wiraswasta

4. Nama : Marsius Sihotang


Alamat : Jalan Sisingamangaraja. Tanjung Morawa
Umur : 54 Tahun
Pekerjaan : Dosen Etnomusikologi USU dan Tokoh Musik
Batak Toba

106
107

Anda mungkin juga menyukai