Anda di halaman 1dari 2

Respon Imun terhadap Infeksi Virus

Dengue (Patogenesis dan


Patofisiologi DBD)
16062010
Virus dengue termasuk ke dalam Arthropoda Borne Virus (Arbo virus) dan terdiri dari 4 serotype yaitu DEN 1,
2, 3, dan 4. Infeksi virus dengue untuk pertama kali akan merangsang terbentuknya atibodi non-netralisasi.
Sesuai dengan namanya, antibodi tersebut tidak bersifat menetralkan replikasi virus, tetapi justru memacu
replikasi virus. Akibatnya terbentuk kompleks imun yang lebih banyak pada infeksi sekunder
oleh serotype lain. Hal itu yang menyebabkan manifestasi klinis infeksi sekunder lebih berat dibanding
infeksi sekunder (Soedarmo, 2002).

Antibodi non-netralisasi yang terbentuk akan bersirkulasi bebas di darah atau menempel di sel fagosit
mononuklear yang merupakan tempat utama infeksi virus dengue. Antibodi non-netralisasi yang menempel
pada sel fagosit mononuklear berperan sebagai reseptor dan generator replikasi virus. Kemudian virus
dengue dengan mudah masuk dan menginfeksi sel fagosit (mekanisme aferen). Selanjutnya virus bereplikasi
di dalam sel fagosit dan bersama sel fagosit yang telah terinfeksi akan menyebar ke organ lain seperti hati,
usus, limpa, dan sumsum tulang belakang (mekanisme eferen). Adanya sel fagosit yang terinfeksi akan
memicu respon dari sel imun lain sehingga muncul berbagai manifestasi klinis \yang disebut sebagai
mekanisme efektor (Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).

Mekanisme efektor dimulai dengan aktivasi sel T helper (CD4), T sitotoksik (CD8), dan sistem komplemen
oleh sel fagosit yang terinfeksi. Th selanjutnya berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Th1 akan melepaskan
IFN-γ, IL-2, dan limfokin sedangkan Th2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. Selanjutnya IFN-γ akan
merangsang monosit melepaskan TNF-α, IL-1, PAF, IL-6, dan histamin. Limfokin juga merangsang
makrofag melepas IL-1. IL-2 juga merupakan stimulan pelepasan IL-1, TNF-α, dan IFN-γ. Pada jalur
komplemen, kompleks imun akan menyebabkan aktivasi jalur komplemen sehingga dilepaskan C3a dan C5a
(anafilatoksin) yang meningkatkan jumlah histamin. Hasil akhir respon imun tersebut adalah peningkatan IL-
1, TNF-α, IFN-γ, IL-2, dan histamin (Kresno, 2001; Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).

IL-1, TNF-α, dan IFN-γ dikenal sebagai pirogen endogen sehingga timbul demam. IL-1 langsung bekerja
pada pusat termoregulator sedangkan TNF-α dan IFN-γ bekerja tidak secara langsung karena merekalah
yang merangsang pelepasan IL-1. Bagaimana mekanisme IL-1 menyebabkan demam? Daerah spesifik IL-1
adalah pre-optik dan hipothalamus anterior dimana terdapat corpus callosum lamina terminalis (OVLT).
OVLT terletak di dinding rostral ventriculus III dan merupakan sekelompok saraf termosensitif ( cold dan hot
sensitive neurons). IL-1 masuk ke dalam OVLT melalui kapiler dan merangsang sel memproduksi serta
melepaskan PGE2. Selain itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi perubahan asam arakhidonat menjadi PGE2.
Selanjutnya PGE2 yang terbentuk akan berdifusi ke dalam hipothalamus atau bereaksi dengan cold sensitive
neurons. Hasil akhir mekanisme tersebut adalah peningkatan thermostatic set point yang menyebabkan
aktivasi sistem saraf simpatis untuk menahan panas (vasokontriksi) dan memproduksi panas dengan
menggigil (Kresno, 2001; Abdoerrachman, 2002).

Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab terhadap gejala lain seperti timbulnya rasa
kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan penurunan sintesis albumin serta transferin. Penurunan nafsu
makan merupakan akibat dari kerjasama IL-1 dan TNF-α. Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin oleh
sel adiposa. Peningkatan leptin dalam sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke hipothalamus
ventromedial yang berakibat pada penurunan intake makanan (Luheshi et al., 2000).

IFN-γ sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag yang poten, menghambat replikasi virus, dan
menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi. Namun, bila jumlahnya terlalu banyak akan menimbulkan
efek toksik seperti demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala berat, muntah, dan
somnolen (Soedarmo, 2002).

Sejak awal demam sebenarnya telah terjadi penurunan jumlah trombosit pada penderita DBD. Penurunan
jumlah trombosit memudahkan terjadinya perdarahan pada pembuluh darah kecil seperti kapiler yang
bermanifes sebagai bercak kemerahan. Di sisi lain, peningkatan jumlah histamin meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan cairan plasma dari intravaskuler ke interstisiel. Hal itu
semakin diperparah dengan penurunan jumlah albumin akibat kerja IL-1 dan gangguan fungsi hati.
Adanyaplasma leakage tersebut menyebabkan peningkatan Hct. Trombositopenia terjadi akibat pemendekan
umur trombosit akibat destruksi berlebihan oleh virus dengue dan sistem komplemen (pengikatan fragmen
C3g); depresi fungsi megakariosit, serta supresi sumsum tulang. Destruksi trombosit terjadi di hepar, lien,
dan sumsum tulang. Trombositopenia menyebabkan perdarahan di mukosa tubuh sehingga sering muncul
keluhan melena, epistaksis, dan gusi berdarah. Hepatomegali pada pasien DBD terjadi akibat kerja
berlebihan hepar untuk mendestruksi trombosit dan untuk menghasilkan albumin. Selain itu, sel-sel hepar
terutama sel Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat infeksi virus dengue. Bila kebocoran plasma dan
perdarahan yang terjadi tidak segera diatasi, maka pasien dapat jatuh ke dalam kondisi kritis yang
disebut DSS(Dengue Shock Sydrome) dan sering menyebabkan kematian (Soedarmo, 2002; Nainggolan et al.,
2006).

References:

Abdoerrachman MH. 2002. Demam : Patogenesis dan Pengobatan. In: Soedarmo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta: IDAI, pp: 27-51.

Kresno SB. 2001. Respons Imun terhadap Infeksi Virus. In: Imunologi – Diagnosis dan Prosedur
Laboratorium. Jakarta : FK UI, pp: 178-181.

Luheshi GN, Gardner JD, Rushforth DA, Luodon SA, Rothwell NJ. 2000. Leptin actions on food intake and
body temperature are mediated by IL-1. Neurobiology Journal, pp: 7047-52.

Nainggolan L, Chen K, Pohan HT, Suhendro. 2006. Demam Berdarah Dengue. In: In: Sudoyo dkk (ed). Buku
Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 1731-1736.

Soedarmo PS. 2002. Infeksi Virus Dengue. In: Soedarmo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi
dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta: IDAI, pp: 176-209.

Anda mungkin juga menyukai